studi kasus gunung tangkuban perahu

40
BAB I PENDAHULUAN Gambar. Sketsa jika Tangkuban Perahu meletus oleh Brahmantyo (Geomagz, 2011) Gunung Tangkubanparahu merupakan gunungapi yang berjarak 30 kilometer sebelah utara kota Bandung. Pada gunung berapi ini dapat dijumpai hasil pembentukan gunungapi dan aktivitasnya berupa kawah, gejala mata air panas, endapan belerang, dan lainnya. Tinggi gunung Tangkubanparahu adalah 2084 mdpl dengan 13 kawah yang tersebar di puncak. Bila dilihat dari Bandung, gunung Tangkubanparahu memiliki bentuk khusus, seperti perahu yang terbalik. Bentuk khusus 1 | Page

Upload: wildan-nur-hamzah

Post on 07-Aug-2015

626 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

BAB I

PENDAHULUAN

Gambar. Sketsa jika Tangkuban Perahu meletus oleh Brahmantyo (Geomagz,

2011)

Gunung Tangkubanparahu merupakan gunungapi yang berjarak 30

kilometer sebelah utara kota Bandung. Pada gunung berapi ini dapat dijumpai

hasil pembentukan gunungapi dan aktivitasnya berupa kawah, gejala mata air

panas, endapan belerang, dan lainnya. Tinggi gunung Tangkubanparahu adalah

2084 mdpl dengan 13 kawah yang tersebar di puncak. Bila dilihat dari Bandung,

gunung Tangkubanparahu memiliki bentuk khusus, seperti perahu yang terbalik.

Bentuk khusus tersebut mendorong fantasi orang Sunda dari awal dinyatakan

dalam bagian legenda Sangkuriang. Gunung Tangkubanparahu merupakan salah

satu gunung api tipe-A yang beberapa tahun ke belakang menjadi pembicaraan

hangat di beberapa media massa terkait peningkatan aktivitas vulkaniknya.

Gunung yang terkenal dengan legenda Sangkuriangnya itu merupakan salah satu

bentuk bentang alam vulkanik yang menarik untuk dipelajari.

1 | P a g e

Page 2: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Geografi

G.Tangkubanparahu secara administrasi masuk kedalam wilayah

kabupaten bandung dan sebagian masuk kedalam kabupaten subang, provinsi

jawa barat, dan secara geografi terletak pada 6o46’ LS dan 107o36’BT. Puncak

G.Tangkubanparahu dapat dicapai dengan kendaraan bermotor beroda 2 maupun

roda 4 dari arah kota Bandung dan Lembang di sebelah selatan dan kota Subang

dan Jalan Cagak di sebelah utara Timur Laut melewati jalan aspal yang baik.

Untuk perjalanan dengan jalan kaki bisa melewati jalan setapak dari Jayagiri.

2.2 Geomorfologi

Gunung Tangkubanparahu memiliki bentuk kerucut dengan sisi-sisi

yang terjal. Puncaknya berbentuk cekung seperti panci. Kawah-kawah Gunung

Tangkubanparahu juga mengeluarkan material-material berupa lava dan sulfur.

Pada kawah yang sudah mati, tersingkap batuan yang beraliterasi hidrotermal

yang membentuk mineral sulfida. Kegiatan vulkanisme Gunung

Tangkubanparahu telah membentuk morfologi berupa depresi vulkanik di

sekitarnya. Depresi vulkanik adalah bentuk morfologi berupa cekungan hasil dari

kegiatan vulkanisme. Depresi vulkanik dapat berupa danau vulkanik, kawah dan

kaldera. Dalam hal ini, aktivitas vulkanisme Gunung Tangkubanparahu telah

membentuk banyak kawah yang sampai sekarang masih terus mengeluarkan

material vulkanik berupa lava dalam jumlah kecil dan uap sulfur. Kawah-kawah

terbentuk sebagai akibat dari pusat erupsi yang berpindah dari arah timur ke

barat. Kawah-kawah tersebut adalah Kawas Ratu, Kawah Domas, dan Kawah

Upas.

2 | P a g e

Page 3: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Gambar 2. Kawah Ratu dilihat dari sebelah timur

Morfologi gunungapi ini dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi utama yaitu:

Kerucut strato aktif.

Kerucut strato aktif menempati bagian tengah kaldera Sunda. Kawah-

kawah gunungapi ini membentang dengan arah barat-timur. Beberapa kawah

terletak di daerah puncak dan beberapa lainnya terletak di lereng timur. Kerucut

strato aktif ini tersusun dari selang-seling lava dan piroklastik, dan di bagian

puncak endapan freatik. Pola radier dengan bentuk lembah V, beberapa air terjun

yang sangat umum ditemukan pada satuan morfologi ini.

Lereng tengah.

Morfologi lereng tengah meliputi lereng timurlaut, selatan dan tenggara

gunungapi ini. Batuannya terdiri atas endapan piroklastik yang sangat tebal dan

lava yang biasanya tersingkap di lembah-lembah sungai yang dalam dengan pola

aliran sungai paralel dan semi memancar (semi radier). Lereng selatan dan

tenggara terpotong oleh sesar Lembang, yang berarah timur-barat.

3 | P a g e

Page 4: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Kaki.

Kaki selatan menempati bagian lereng tenggara dan selatan, yang

terletak pada ketinggian antara 1200 m hingga 800 m dan antara 1000 hingga

600 m di atas permukaan laut. Lereng timurlaut mempunyai pusat-pusat erupsi

parasit seperti G. Malang, G. Cinta dan G. Palasari. Aliran-aliran lava dan skoria

berwarna kemerahan yang menempati sebagian besar daerah kaki ini adalah

berasal dari pusat-pusat erupsi ini. Pola aliran sungai yang berkembang di daerah

ini adalah paralel dengan bentuk lembah U yang melewati batuan keras.

Lereng selatan terletak antara sesar Lembang dan dataran tinggi

Bandung di selatan. Bagian terbesar daerah ini dibentuk oleh batuan piroklastik

dan endapan lahar, sedangkan lava ditemukan di dasar sungai. Pola aliran sungai

yang berkembang di dalam satuan morfologi ini adalah paralel.

Berdasarkan Klasifikasi Brahmantyo dan Bandono (2006) yang

mengklasifikasikan bentang alam berdasarkan proses, morfologi yang terdapat

pada G.Tangkubanparahu dan sekitarnya terdiri dari punggungan dinding

kaldera (Kaldera sunda), dataran kaldera (Situ Lembang), Kerucut gunungapi

(G.Sunda, G. Burangrang,dll) , Kawah gunungapi (terbuka ke utara) dan

punggungan Block sesar (sesar lembang).

4 | P a g e

G. tangkubanparahu G.Sunda

sesar Lembang

Situ lembang

G. Burangrang Jayagiri

W E

Page 5: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Gambar klasifikasi bentang alam pegunungan Gunungapi (Brahmantyo dan

Bandono, 2006)

2.3 Litologi dan Stratigrafi

Secara umum, Gunung Tangkubanparahu tersusun dari perselingan antara

aliran lava dan breksi piroklastik. Litologi lava dan breksi piroklastik tersebut

terbentuk karena lava Gunung api Tangkubanparahu yang berjenis intermediet

sehingga tipe erupsinya berupa campuran antara aliran lava dan ledakan

(explosion). Oleh karena itu, Gunung Tangkubanparahu dimasukkan ke dalam

golongan gunung api strato (stratovolcano). Secara petrografi, lava

Tangkubanperahu terbagi atas lava andesit basalt augit hipersten, lava basalt

pigeonit enstatif dan andesit augit hipersten. Penghabluran plagioklas, piroksen

augit, hipersten dan olivin serta oksida bijih dalam wujud fenokris mikra dan

makro sebagai masa dasar berbutir agak kasar bersama-sama dalam masa dasar

kaca gunungapi. Beberapa fenokris plagioklas menunjukkan lubang korosi tak

teratur diduga bertindak sebagai mineral bawaan (senokris) (Syarifudin, 1984).

5 | P a g e

Page 6: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Gambar Peta Geologi lembar Bandung (Silitonga, 1973)

Qc KOLUVIUM berasal dari reruntuhan gunungapi tua, berupa bongah-

bongkah batuan beku andesit-basal ,breksi, batupasir, tufa, dan lempung

tufa.

Qyd TUFA PASIR berasal dari G. Dano dan G. Tangkubanparahu (erupsi “C”

Van Bemmelen, 1934). Tufa Pasir Cokelat sangat sarang, mengandung

kristal-kristal hornblenda yang kasar, lahar lapuk kemerah-merahan,

lapisan-lapisan lapili dan breksi.

Qyl LAVA berupa aliran Lava muda, terutama dari G. Tangkubanparahu, dan

G. Tampomas, umumnya bersifat basaldan mengandung lobang-lobang

gas (erupsi”B”), Van Bemmelen, 1934)

Qyt TUFA BERBATUAPUNG berupa pasir tufaan, lapili, bom-bom, lava

berongga, dan kepingan-kepingan andesit-basal padat yang bersudut

dengan banyak bongkah-bongkah dan pecaahan-pecahan batuapung.

6 | P a g e

Qyl

Qyd

Qob

Qc

Qyt

Qvu

Page 7: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Berasal dari G. Tangkubanparahu (Erupsi “A”, van Bemmelen 1934) dan

G. Tampomas.

Qvu HASIL GUNUNG API TUA TAK TERURAIKAN berupa breksi

gunungapi. Lahar dan lava berseling-seling

Qob HASIL GUNUNGAPI LEBIH TUA, berupa breksi dan pasir tufa

berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil

2.4 Struktur Geologi

Sesar Lembang adalah sebuah sesar terbesar di daerah ini, yang

melintang darti barat ke timur. Sesar ini terletak atau melalui Lembang dari mana

nama sesar ini berasal yang kira-kira 10 km sebelah utara Bandung. Ini adalah

sebuah sesar aktif dengan gawir sesar sangat jelas yang menghadap ke utara.

Sesar ini yang panjang seluruhnya kira-kira 22 km dapat diamati sebagai suatu

garis lurus dari G. Palasari di timur ke barat dekat Cisarua. Penyelidikan-

penyelidikan terdahulu telah menghubungkan bahwa sesar Lembang yang

dominannya adalah sesar normal terjadi setelah letusan besar G. Sunda yang

berlangsung pada zaman Kuarter Tua.

Gambar . Sesar Lembang dilihat dari Citra SRTM Global Mapper

7 | P a g e

W ELembang

Page 8: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

2.5 Geokimia

Penyelidikan geokimia di gunungapi dimaksudkan untuk mengetahui

perubahan tingkat kegiatan gunungapi, bahkan hingga pada perkiraan letusan.

adanya peningkatah suhu jauh di bawah permukaan akan mempengaruhi

komposisi serta konsentrasi gas yang dikeluarkan melalui lubang kepundan.

Dengan menggunakan teknik tertentu diambilah contoh-contoh gas yang

kemudian di analisis di laboratorium dengan beberapa metode, maka diperoleh

kakndungan unsur-unsur kimia gas. Pengambilan contoh gas dilakukan di Kawah

Ratu, Kawah Upas, Kawah Baru dan Kawah Domas.Secara umum gas vulkanik

Gunung Tangkubanparahu yang dikeluarkan dari setiap lubang solfatara

dicirikan oleh besarnya kandungan belerang dan uap air. Kadar uap air

ditentukan dengan perhitungan berat menggunakan P205 kering sebagai

penyerapnya. Hasil analisis contoh-contoh tersebut menunjukkan kandungan

unsur-unsur kalsium, magnesium, silikat, besi, sulfat, klorida, natrium, kalium

dan lithium relatif tinggi, sedangkan unsur kalsium, magnesium, natrium dan

kalium dipergunakan untuk menghitung besarnya suhu bawah permukaan dengan

beberapa grafik standar (sriwana, 1985). Pemeriksaan petrokimia aliran lava

Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanperahu, menunjukkan bahwa gunungapi

Sunda bersumber pada kegiatan erupsi magmatis dari kelompok dioritik gabro

dan dioritik termasuk seri alkali kapur kaya akan alumina tinggi berasosiasi

dengan magma toleitik.

Penyebaran lava selama kegiatan erupsi cenderung bersusunan andesit

augit hipersten dan andesit basalt augit hipersten (Syarifudin, 1984).

Penerapan metode petrokimia melalui diagram Hutchison (1973) dapat

menjelaskan bahwa proses magmatis gunungapi Sunda dan alkali kapur sangat

kaya alkali terutama K2O dan Na2O, sedangkan magma seri toleitik sangat

miskin alkali tersebut di atas (Syarifudin, 1984). Seri alkali kapur ini

menunjukkan semakin meningkatnya kadar oksida besi dan oksida MgO relatif

tinggi dibandingkan dengan magma seri toleitik, erat hubungannya dengan

8 | P a g e

Page 9: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

terbawanya mineral magnetit, piroksen dan olivin dalam bentuk asosiasi dengan

magma toleitik. Proses magmatis Gunungapi TangkubanPerahu bersumber pada

seri alkali kapur alumina tinggi dan seri alkali kapur K-tinggi. Magma seri alkali

kapur alumina tinggi kaya akan CaO dan Al2O3. Seri alkali kapur K-tingi

cenderung relatif kaya akan Na2O dan K2O dibandingkan dengan magma seri

alkali kapur alumina tinggi. Ciri lain yang dapat dijelaskan adalah bahwa seri

alkali kapur alumina tinggi relatif kaya akan oksida MgO sedangkan seri alkali

kapur K-tinggi relatif meningkatnya oksida besi FeO. Secara kimia, keaktifan

Gunungapi Tangkubanperahu bersumber pada magma:

a. alkali kapur alumina tinggi dari andesit basaltis sampai basalt dan

b. alkali kapur K-tinggi dan andesit basaltis sampai basalt

Gunungapi Tangkubanperahu mempunyai ciri petrokimia cenderung

pada kelompok (a) magma dioritik gabro dan (b) magma dioritik (syarifudin,

1984). Gunungapi Tangkubanperahu mempunyai sumber keaktifan magma pada

kedalaman zona dalam (Syarifudin, 1984) mempunyai temperatur magma antara

1010 derajat celcius - 1220 derajat celcius.

Tabel. Komposisi Kimia Gas Vulkanik Kawah Ratu

9 | P a g e

Page 10: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

2.6 Geofisika (penyelidikan geomagnet)

Penyelidikan geomagnet di G. Tangkubanparahu dilakukan dengan

maksud untuk membuat peta anomali magnet dengan tujuan mengetahui pola

sebaran batuan dan kondisi geologi serta stuktur daerah tersebut berdasarkan pola

anomalinya.

Berdasarkan beberapa parameter seperti gaya magnet, kuat medan

magnet, momen magnet, intensitas magnetisasi dan suseptibilitas magnet, maka

peta anomali kemagnetan di G. Tangkubanparahu dapat diperoleh dan

diinterpretasikan baik untuk penyebaran batuan, kondisi geologi maupun struktur

geologi yang ada di daerah tersebut. Berdasarkan interpretasi hasil penyelidikan

geomagnet oleh S. Palgunadi & Y. Hidayat, 2000 maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

Pola anomali magnet G. Tangkubanparahu memberi gambaran

prakiraan kaldera Sunda dengan bentuk elips relatif berarah tenggara-baratlaut.

Sebaran anomali magnet tinggi dengan membentuk kelurusan bulatan-bulatan

kontur di dalam kaldera Sunda, dapat diasosiasikan dengan terdapatnya batuan

terobosan (dyke?) melalui sesar barat-timur melewati puncak, dimana hal ini

didukung oleh terdapatnya harga positif dari anomali gaya berat.

G. Tangkubanparahu muncul pada jalur sesar berarah barat-timur, dimana

sebagian intrusi magma telah membeku membentuk suatu dike. Zona lemah yang

terdapat di dagian selatan dan barat, memungkinkan berlangsungnya aktifitas G.

Tangkubanparahu saat ini. Perpindahan titik-titik aktivitas (kawah) G.

Tangkubanparahu mempunyai trend arah sesar yaitu barat-timur. Struktur sesar

sangat menonjol ditampilkan oleh pola anomali sisa magnet (Contoh: Sesar

Lembang). Sumber air panas di Ciater, dimungkinkan akibat adanya pemanasan

air bawah permukaan yang berasal dari G. Tangkubanparahu yang mengalir

melalui bidang sesar.

10 | P a g e

Page 11: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

2.7 Pembentukan Gunung

Proses pembentukan Gunung Tangkubanparahu masih menyisakan

tanda tanya bagi para ahli. Dugaan sementara proses pembentukan Gunung

Tangkubanparahu dan wilayah Bandung saling berhubungan satu sama lain.

Salah satu teori menyebutkan bahwa Gunung Tangkubanparahu dan wilayah

Bandung merupakan sisa-sisa dari aktivitas gunung api purba di masa lalu.

Gunung Tangkubanparahu berasal dari sebuah gunung api purba yang

bernama Gunung Sunda. Gunung Tangkubanparahu diyakini sebagai sisa dari

letusan Gunung Sunda tersebut. Topografi Bandung yang berupa cekungan

dengan bukit dan gunung di sekitarnya semakin menguatkan teori bahwa

Bandung merupakan hasil depresi vulkanik berupa kawah Gunung Sunda.

Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan

kawasan Ngorongro di Tanzania, Afrika Stehn (1929) meneliti tentang urutan

pembentukan tiap kawah di gunung ini. Dia menyimpulkan bahwa kawah tertua

(I) adalah kawah Pangguyangan Badak, telah hancur karena letusan

pembentukan kawah kedua atau kawah Upas (II), sehingga yang tampak

sekarang dari Kawah Pangguyangan Badak hanyalah pinggiran kawahnya saja.

Secara periodik letusan terjadi kembali, yang akhirnya menghancurkan

Kawah Upas menjadi Kawah Upas yang selanjutnya (III). Setelah itu, pusat

letusan bergerak menghancurkan kawah I, kawah II, kawah III di bagian timur

sehingga terbentuklah Kawah Ratu (IV). Letusan berikutnya terjadi di dasar

kawah III dan menghasilkan Kawah Upas (V).Kemudian terjadi lagi perpindahan

pusat letusan dari arah barat ke timur dan terbentuklah Kawah Ratu (VI). Letusan

berikutnya terjadi di lereng sebelah timur, sebagai letusan lereng menghasilkan

Kawah Jurig (X), Kawah Domas, Kawah Badak, Kawah Jarian (XI), dan Kawah

Siluman (XII). Aktivitas letusan kemudian bergerak ke arah barat di tahun 1896

terjadi letusan di bagian bawah Kawah Upas (II) membentuk Kawah Baru (VII).

Di tahun 1910 aktivitas berikutnya ke arah timur. Di bagian bawah Kawah Ratu

(VIII). Pada tahun 1926 terjadi hal yang sama, menghasilkan kawah yang lebih

11 | P a g e

Page 12: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

kecil ukuranya, dinamakan Kawah Ecoma (IX). Pada tangaal 1 Mei 1960

aktivitas letusan membentuk lubang di dasar Kawah Ratu, Kawah (XIII). Pusat

letusan yang selalu berpindah sepanjang 1100 m mengakibatkan proses

penghancuran pada kawah terdahulu hanya berupa pinggiran kawah saja.

Akhirnya pergerakan pusat letusan dari Kawah Pangguyangan Badak ke Kawah

Ratu menghasilkan bentuk puncak gunung Tangkubanparahu menjadi tidak

lancip melainkan berbentuk seperti perahu terbalik.

Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan

dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-

gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui

bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba.

Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari

letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya

Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di

mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Van Bemmelen secara

rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar

20 juta tahun yang lalu).

Saat zaman Miosen daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti

dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang

punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi

batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.

Pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan

Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara

tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu

dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang

menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau.

Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas vulkanik ini bergeser ke utara dan

membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan

mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung

purba raksasa ini sekarang adalah punggung Gunung.

12 | P a g e

Page 13: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut

Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut

sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda

Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai

Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935,

1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-

situs artefak, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan

pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung

Sunda Purba ini adalah G.Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata,

2001).

Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu

kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung

Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu,

bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung

Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi

Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000

tahun yang lalu.

Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu

berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng

Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung sampai sekitar

Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi

Bandung. Banjir abu vulkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum

Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.

Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan

Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi

Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda

penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th

disequilibirum. Pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau

Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang

(Kabupaten Bandung) dan sedalam 104 m di Sukamanah (Kabupaten Bandung);

13 | P a g e

Page 14: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th

disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar

Bandung.

Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas

pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.

Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua

daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode

pembentukanGunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya.

Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka

air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der

Krass dan Dam, 1994).

Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan

oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi

mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125

KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).

Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100

juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain

di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun),

Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA).

Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun

yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas

yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi

yang baru di Padalarang (Kabupaten Bandung Barat), yang mempertajam

pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan

kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban

Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di

Curug Panganten (Kota CImahi) 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi

di danau Bandung berjalan terus. Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua

terjadi antara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan

melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan

14 | P a g e

Page 15: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu.

Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain

pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung

pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat

ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.

Pendapat lain mengatakan Gunung Sunda (1.854 m. dpl.) yang terdapat

dalam peta, itu hanyalah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung

Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar

lebih dari 20 km lebih, dengan ketinggian ± 4.000 m dpl. Sangat mungkin tinggi

sesungguhnya lebih dari taksiran itu, sebab, pada umumnya sebuah gunung yang

meletus hingga membentuk kaldera, menghancurkan dua per tiga tubuh

gunungnya. Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080

m dpl., artinya, tinggi gunung tersebut hanyalah satu per tiga bagian dari Gunung

Sunda.

Sebelum Gunung Sunda terbangun, di sana terdapat Gunung Jayagiri.

Letusan-letusan pertamanya mengalirkan lava yang terjadi dalam rentang waktu

antara 560.000-500.000 tahun yang lalu. Kemudian letusan-letusan besar

mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera.

Tiga ribu abad kemudian, dari dalam kaldera itu terjadi aktivitas yang

membangun gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan dahsyat Gunung Sunda

oleh MNK dibagi menjadi tiga episode letusan utama. Episode pertama berupa

letusan-letusan yang mengalirkan lava, terjadi antara 210.000-128.000 tahun

yang lalu. Episode kedua, terjadi 13 unit letusan, dalam satu unit letusan dapat

terjadi lebih dari satu kali letusan besar. Episode ketiga berupa letusan-letusan

yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, yang terjadi

±105.000 tahun yang lalu.

Episode ketiga letusan Gunung Sunda dibagi lagi menjadi tiga fase

letusan. Pertama fase plinian, letusan dengan tekanan gas yang sangat tinggi,

melontarkan material sebanyak 1,96 km kubik ke angkasa, membentuk tiang

15 | P a g e

Page 16: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

letusan setinggi 20 km dengan payung letusan sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7

km.

Kedua fase freatomagmatik, letusan yang melontarkan awan debu dengan

butiran-butiran kerikil gunung api, volumenya 1,71 km kubik. Ketiga fase

ignimbrit, yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy

Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km

kubik, yang mengarah ke baratlaut, selatan, dan timurlaut dari pusat letusan,

menutupi kawasan seluas 200 km persegi dengan rata-rata ketebalan 40 meter,

seperti dapat dilihat di Ciseupan, Campaka, Cisarua, Kampung Manglayang,

Cipeusing, dan Taman hutan raya Ir. H. Djuanda. Belum terhitung 40% dari total

material gunung api yang melayang-layang di angkasa dan jatuh di belahan bumi

yang sangat jauh. Akibat banyaknya material yang dikeluarkan, sebagian besar

dari tubuh Gunung Sunda ambruk dan membentuk kaldera seluas 6,5 x 7,5 km2.

Pada letusan dahsyat fase ketiga inilah material letusan Gunung Sunda

dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara terkubur

bersamaan dengan makhluk hidup yang ada di dalamnya seperti badak, rusa, dan

kijang yang sedang berada di lembah Ci Tarum, berjarak ± 35 km dari pusat

letusan (Umbgrove dan Stehn: 1929, R.W. van Bemmelen: 1936, Th. H.F.

Klompe: 1956). Arang kayu seukuran drum yang melintang searah datangnya

awan panas ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, Kota Cimahi.

Letusan Gunung Sunda fase yang telah mengurug Ci Tarum Purba di

utara Padalarang, kemudian membentuk danau raksasa, Danau Bandung Purba.

Bagian sungai ke arah hilir yang tidak tertimbun kini dinamai Ci Meta, sungai

kecil dalam lembah besar Ci Tarum Purba. Dari kaldera Gunung Sunda

kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu.

Letusan-letusannya dibagi ke dalam dua kategori letusan seperti ditulis

MNK, yaitu letusan Gunung Tangkubanparahu tua, antara 90.000-10.000 tahun

yang lalu, yang pernah meletus sebanyak 30 unit letusan, dan letusan Gunung

Tangkubanparahu muda, antara 10.000 – 50 tahun yang lalu, yang meletus 12

unit letusan.

16 | P a g e

Page 17: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Setelah letusan gunungapi Sunda, terjadilah gerak naik-turun dalam kerak

bumi. Oleh gerakan ini, maka terbentuklah patahan atau sesar Lembang. Bagian

sebelah utara turun sekitar 450 m dibandingkan bagian selatan. Contoh yang jelas

dari patahan ini adalah pada bukit Batu dan Batu Gantung. Bukit-bukit ini yang

dahulu merupakan satu arus lava, terpotong dan seakan-akan tergantung. Setelah

pembentukan patahan Lembang, gunung Tangkubanparahu mulai terbetuk pada

jaman Kwarter muda.

2.8 Sejarah Letusan

Menurut penelitian seorang ahli geologi Belanda, Van Bammelen, di

tahun 1934, riwayat letusan gunungapi Tangkubanparahu dapat di bagi menjadi

tiga periode berdasarkan coraknya, yaitu :

1. Tahap A, tahap explosive. Selama tahap ini dikeluarkan berbagai bahan

letusan yang terdiri atas segala ukuran, sehingga menutupi permukaan sekitarnya

dan dihanyutkan sebagai lahar atau lumpur gunungapi. Saat itu di duga bahan

letusanya menutupi aliran Sungai Citarum Purba sehingga airnya menggenangi

cekungan Bandung dan terjadilah Danau Bandung Purba.

2. Tahap B, tahap effusive. Pada tahap ini bahan letusan terdiri dari aliran lava.

3. Tahap C, tahap pembentukan gunung yang sekarang.17 | P a g e

Page 18: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Erupsi Tangkubanparahu dewasa ini tergolong fasa C, berupa erupsi

esplosif yang kecil-kecil saja dan kadang-kadang diselingi oleh erupsi

freatik. Secara nyata ikhtisar erupsinya dapat diuraikan sebagai berikut:

1829erupsi abu dan batu dari kawah Ratu dan Domas

terjadi erupsi, peningkatan kegiatan

1846terbentuk fumarol baru di sebelah utara kawah Badak

1896erupsi uap dari kawah Ratu

1900kolom asap membubung setinggi 2 km di atas dinding 

1910kawah, erupsi berasal dari kawah Ratu

1926erupsi freatik di kawah Ratu membentuk lubang Ecoma

1935lapangan fumarol baru disebut Badak terjadi, 150 m ke

arah selatan baratdaya dari kawah Ratu

1952erupsi abu didahului oleh erupsi hidrothermal (freatik)

1957erupsi freatik di kawah Ratu, terbentuk lubang kawah baru

1961,1965,1967erupsi freatik

1969erupsi freatik didahului oleh erupsi lemah menghasilkan

abu

1971erupsi freatik

1983awan abu membubung setinggi 159 m di atas Kawah ratu

1992peningkatan kegiatan kuat dengan gempa seismik dangkal

dengan erupsi freatik kecil

1994erupsi freatik di kawah Baru

1999 Peningkatan kegiatan

2002 Peningkatan kegiatan

2005 Peningkatan kegiatan

2.9 Tata Guna Lahan

18 | P a g e

Page 19: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Tata guna lahan merupakan sebuah pemanfaatan dan penataan lahan

yang di lakukan sesuai dengan kondisi bentukan muka bumi. Dalam hal ini tata

guna lahan di sekitar G.Tangkubanparahu.

G. Tangkubanparahu merupakan salah satu gunung api yang mudah

untuk diakses. Kawasan di sekitar G. Tangkubanparahu merupakan daerah

wisata alam yang menarik, baik dari hayati ataupun geologi. Mayoritas

komoditas utama masyrakat di sekitar G. Tangkubanparahu adalah bertani,

berkebun, beternak, sama seperti di tempat-tempat lainnya yang ada di Indonesia.

Selain dari aktivitas mata pencaharian, kebutuhan untuk hidup seperti

ketersediaan air bersih untuk memenuhi aktivitas hidup itu di butuhkan oleh

masyarakat sekitar kawasan G.Tangkubanparahu.

Dari data distribusi penggunaan lahan di kawasan bandung utara arahan

penggunaan lahan KBU di peruntukan bagi hutan 68,69%, dan peruntukan aneka

pertanian tanaman keras dan hortikultura 20,73%, dan untuk penggunaan lahan

lainnya seperti permukiman perkotaan maupun pedesaan serta peruntukan

lainnya 10,58 % (dari luas 38.548,35 ha). Berdasarkan arahan penggunaan lahan,

di KBU dapat di gunakan juga dalam hal kegiatan pariwisata, rekreasi dan

ilmiah.

2.10 Ancaman Bencana Dan Mitigasi

19 | P a g e

Page 20: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Bahaya Letusan Gunung Api di bagi menjadi dua berdasarkan waktu

kejadiannya, yaitu :

Bahaya Utama (Primer)

Awan Panas, merupakan campuran material letusan antara gas dan

bebatuan (segala ukuran) terdorong ke bawah akibat densitas yang tinggi dan

merupakan adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gunung

awan yang menyusuri lereng.

Selain suhunya sangat tinggi, antara 300 – 700 ° Celcius, kecepatan

lumpurnya pun sangat tinggi, > 70 km/jam (tergantung kemiringan lereng).

Lontaran Material (pijar),terjadi ketika letusan (magmatik) berlangsung. Jauh

lontarannya sangat tergantung dari besarnya energi letusan, bisa mencapai

ratusan meter jauhnya. Selain suhunya tinggi (>200?C), ukuran materialnya pun

besar dengan diameter > 10 cm sehingga mampu membakar sekaligus melukai,

bahkan mematikan mahluk hidup. Lazim juga disebut sebagai "bom vulkanik".

Hujan Abu lebat, terjadi ketika letusan gunung api sedang berlangsung.

Material yang berukuran halus (abu dan pasir halus) yang diterbangkan angin

dan jatuh sebagai hujan abu dan arahnya tergantung dari arah angin. Karena

ukurannya yang halus, material ini akan sangat berbahaya bagi pernafasan,

mata, pencemaran air tanah, pengrusakan tumbuh-tumbuhan dan mengandung

unsur-unsur kimia yang bersifat asam sehingga mampu mengakibatkan korosi

terhadap seng dan mesin pesawat.

Lava, merupakan magma yang mencapai permukaan, sifatnya liquid

(cairan kental dan bersuhu tinggi, antara 700 - 1200?C. Karena cair, maka lava

umumnya mengalir mengikuti lereng dan membakar apa saja yang dilaluinya.

Bila lava sudah dingin, maka wujudnya menjadi batu (batuan beku) dan daerah

yang dilaluinya akan menjadi ladang batu.

Gas Racun, muncul tidak selalu didahului oleh letusan gunung api sebab

gas ini dapat keluar melalui rongga-rongga ataupun rekahan-rekahan yang

terdapat di daerah gunung api. Gas utama yang biasanya muncul adalah CO2,

20 | P a g e

Page 21: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

H2S, HCl, SO2, dan CO. Yang kerap menyebabkan kematian adalah gas CO2.

Beberapa gunung yang memiliki karakteristik letusan gas beracun adalah

Gunung Api Tangkubanparahu, Gunung Api Dieng, Gunung Ciremai, dan

Gunung Api Papandayan.

Tsunami, umumnya dapat terjadi pada gunung api pulau, dimana saat

letusan terjadi material-material akan memberikan energi yang besar untuk

mendorong air laut ke arah pantai sehingga terjadi gelombang tsunami.

Bahaya Ikutan (Sekunder)

Bahaya ikutan letusan gunung api adalah bahaya yang terjadi setelah

proses peletusan berlangsung. Bila suatu gunung api meletus akan terjadi

penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas.

Pada saat musim hujan tiba, sebagian material tersebut akan terbawa oleh air

hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan,

banjir tersebut disebut lahar.

Letusan G. Tangkubanparahu dapat digolongkan sebagai letusan kecil..

Menurut Klompe (1954),Bandung hanya akan terlanda letusan bila erupsi terjadi

di kawah Badak. Berdasarkan pengalaman sejak abad ke 19, gunungapi ini tidak

pernah menunjukkan erupsi magmatik besar kecuali erupsi kecil-kecil yang

menghasilkan abu tanpa diikuti oleh leleran lava, awan panas ataupun lontaran

batu pijar. Erupsi freatik umumnya dominan dan biasanya diikuti oleh

penigkatan suhu solfatara dan fumarola di beberapa kawah yang aktif yaitu

Kawah Ratu, Kawah Baru, dan Kawah Domas.

Material vulkanik yang dilontarkan umumnya abu yang sebarannya

terbatas di sekitar daerah puncak hingga beberapa kilometer. Semburan lumpur

hanya terbatas di daerah sekitar kawah. Pada waktu peningkatan kegiatan, asap

putih fumarola/solfatara kadang-kadang diikuti oleh peningkatan gas-gas

vulkanik seperti gas racun CO dan CO2. Bila akumulasi gas-gas racun di sekitar

kawah aktif semakin tinggi, daerahnya dapat diklasifikasikan ke dalam daerah

21 | P a g e

Page 22: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

bahaya primer terbatas. Bahaya sekunder seperti banjir lahar tidak pernah terjadi

dalam waktu sejarah.

Longsoran lokal terjadi di dalam kawah dan lereng atas yang terjal.

Berdasarkan sejarah kegiatannya, sifat erupsi, komposisi kimia dan frekwensi

letusannya yang tergolong jarang, kawasan rawan bencana G. Tangkubanparahu

dapat dibagi dua tingkatan yaitu Kawasan Rawan Bencana II dan Kawasan

Rawan Bencana I.

A. Kawasan Rawan Bencana II

Secara umum yang disebut kawasan rawan bencana II adalah kawasan yang

berpotensi terlanda oleh awan panas, aliran lava, lontaran atau guguran batu

(pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran lahar dan gas beracun).

Kawasan ini dibagi menjadi dua, yaitu:

Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa awan panas, aliran

lava, guguran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.

Untuk Tangkubanparahu, bahaya aliran massa yang mungkin terjadi

adalah lava, gas beracun dan kemungkinan base surge, sedangkan awan panas

dan lahar kemungkinannya kecil. Aliran lava juga diperkirakan hanya terbatas di

daerah kawah dan sekitarnya, kecuali terjadi erupsi/letusan samping. Bila terjadi

peningkatan kegiatan atau letusan masyarakat yang tinggal di dalam Kawasan

Rawan Bencana II diharuskan mengungsi sesuai dengan saran Direktorat

Vulkanologi.

Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan jatuhan seperti

lontaran batu (pijar), aliran lahar dan gas beracun.

Bencana terhadap lontaran batu (pijar), hujan abu lebat dan hujan lumpur

(panas) kemungkinan dapat melanda daerah sekitar puncak hingga radius 3 km

dari pusat letusan (berdasarkan sejarah kegiatan masa lalu dan data geologi yang

ada).

22 | P a g e

Page 23: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

B. Kawasan Rawan Bencana I

Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda

lahar/banjir dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas

dan aliran lava. Kawasan ini terletak di sepanjang sungai/ di dekat lembah sungai

atau bagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak. Selama letusan

membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu

lebat dan lontaran batu (pijar).

Kawasan rawan bencana I juga terbagi menjadi dua, yaitu :

Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa berupa lahar/banjir, dan

kemungkinan perluasan awan panas dan aliran lava. Telah disebutkan pada

paragraf di atas bahwa awan panas kemungkinannya kecil terjadi, sedangkan

sebagian besar material lahar terdiri atas endapan awan panas. Oleh karena

itu, lahar juga termasuk bahaya yang kemungkinannya kecil terjadi kecuali

yang berupa banjir biasa. Adapun aliran lava diperkirakan hanya terbatas di

daerah kawah dan sekitarnya, kecuali terjadi erupsi samping. Namun

demikian, data geologi gunungapi Tangkubanparahu menunjukkan bahwa di

lereng utara ditemukan aliran lava cukup luas diantaranya hasil erupsi

samping pada masa pra sejarah seperti di daerah Jalan Cagak, Kasomalang,

Ciceuri (Sagala Herang). Ke arah selatan aliran lava mencapai Cikole

(daerah) Lembang dan Bandung seperti di Cikapundung (Curug Dago),

Gunungbatu dan beberapa sungai lain di lereng selatan dan barat seperti

Cimahi, Cihideung dan Cibodas yang cukup jauh ±10-15 km dari pusat

erupsi.

Kawasan rawan bencana terhadap jatuhan berupa hujan abu tanpa

memperhatikan arah tiupan angin dan kemungkinan dapat terkena lontaran

batu (pijar). Berdasarkan data geologi, daerah yang dapat terkena hujan abu

Daerah di Kawasan Rawan Bencana I yang berpotensi dilanda bahaya

kemungkunan lontaran batu mencapai radius 3 km dari pusat erupsi.

23 | P a g e

Page 24: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Sedangkan kawasan yang berpotensi dilanda jatuhan piroklastik (hujan abu)

dapat mencapai radius 5 km dari pusat erupsi.

Peta Kawasan Rawan Bencana G. Tangkubanparahu

24 | P a g e

Page 25: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

BAB III

KESIMPULAN

25 | P a g e

Page 26: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

Daftar Pustaka

Bachtiar, T., 2011, “Danau Bandung Purba: Kedahsyatan Cinta Sang Kuriang

Dan Letusan Gunung Sunda”, “Geomagz”, Vol.I. No. I Maret 2011, Hal.

38-47, Badan Geologi Kementerian ESDM.

Brahmantyo, Budi, dan Bandono, 2006, “Klasifikasi Bentuk Muka Bumi

(Landform) Untuk Pemetaan Geomorfologi Skala 1:25.000 Dan

Aplikasinya Untuk Penataan Ruang”, “Jurnal Geoaplika” Vol. 1 No. 2:

071-078

Bronto, Sutikno, 2006,”Fasies Gunung Api dan Aplikasinya”, “Jurnal Geologi Indonesia”, Vol. 1 No. 2:59-71, Pusat Survei Geologi, Bandung.

Bronto, Sutikno, dan Udi Hartono, “Potensi sumber daya geologi di daerah Cekungan Bandung dan sekitarnya”, “jurnal Geologi Indonesia”, Vol. 1. No.1:9-18, Pusat Survei Geologi, Bandung.

Darmawan, Alwin, 2009, ”Identifikasi Proses Terjadinya Gerakan Tanah di

Kawasan bandung Utara Melalui Pendekatan Fasies Gunung Api”,

“Buletin Geologi”, Vol. 19 No. I:9-19, Pusat Lingkungan Geologi Badan

Geologi, Bandung.

Dirk, Mesker H.J., 2008,”Petrologi-Geokimia Batuan Gunung Api Tampomas”, “Jurnal geologi Indonesia”Vol. 3 No.1 : 23-25, Pusat Survei Geologi, Bandung.

Gunadi, Dwi Shanty Apriliani,2009, “Analisis Hubungan Antara Penggunaan

Lahan Dan Bentuk Lahan Di Wilayah Bandung Utara Dan Kajian Resiko

Bencana Alam Vulkanik”,Tugas Akhir, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Hadisantono, R.D., A.D. Sumpena, P.Warsito dan A. Martono, 2005,”Peta

Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Tangkubanparahu Provinsi Jawa

barat”, Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, skala

1:50.000.

http://www.bnpb.go.id/website/asp/benc.asp?p=8

http://era90.blogspot.com/2010/03/berwisata-di-cekungan-bandung.html

http://gea.itb.ac.id/tangkuban-parahu%E2%80%9Cpesona-di-balik-cinta-

terlarang%E2%80%9D/

26 | P a g e

Page 27: Studi Kasus Gunung Tangkuban Perahu

http://iqbalputra.wordpress.com/2010/02/19/menembus-jayagiri-menuju-

tangkuban-parahu/

http://volcanoindonesia.blogspot.com/2010/10/tangkuban-parahu.html

http://www.wisatalembang.com/

(sumber: forumkami.com & Pikiran Rakyat 21 Maret 2004)

27 | P a g e