studi pustakaeprints.unisnu.ac.id/1587/3/3. bab ii.pdf · pengikatan (set) adalah perubahan bentuk...
TRANSCRIPT
6
2. BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1. Geopolimer
Geopolimer adalah bahan material yang ramah lingkungan dan bisa
dikembangkan sebagai alternatif pengganti semen sebagai bahan pengikat.
Jika di tambah aktivator akan menjadi pasta geopolimer, dan di tambah
agregat halus menjadi mortar yang jika digabungkan dengan agregat kasar
akan menjadi campuran beton segar dan mengeras (concrete). Bahan dasar
utama pembuatan beton geopolimer yaitu fly ash (abu terbang) sisa proses
pembakaran batu bara yang dihasilkan PLTU Jepara Tanjung Jati B Jepara
Unit 3 dan 4 Tipe F Desa Tubanan, Kec. Kembang Kab. Jepara – Jawa
Tengah dengan penambahan gypsum dari limbah PLTU, limbah las karbit
dari limbah bengkel pengelasan kontruksi baja, dan kapur padam dengan
aktivator sebagai senyawa kimia berfungsi untuk mempercepat reaksi
polimerisasi.
Penggunaan fly ash sudah ideal untuk mempercepat setting time pasta
geopolimer jika ada penambahan material lain yang mengandung Ca seperti
gypsum,limbah las karbit dan kapur padam maka akan sangat
memperngaruhi setting timenya, dengan menghasilkan pasta geopolimer
kualitas yang tinggi dan ramah lingkungan.
Salah satu permasalahan yang muncul adalah bagaimana pengaruh
penambahan gypsum, limbah las karbit, kapur padam dengan bahan utama
fly ashterhadap setting timepasta geopolimer. Pengikatan (set) adalah
perubahan bentuk dari cair menjadi bentuk padat atau mengeras. Waktu ikat
dibagi atas 2 yaitu waktu ikat awal dan waktu ikat akhir. Waktu ikat awal
dari pencampuran bahan fly ash dengan aktivator maupun semen dengan air
diperlukan waktu 1-2 jam pasta akan mulai menjadi kaku atau mengeras
inilah yang disebut pengikatan awal (intial set). Selanjutnya pasta yang
plastis akan meningkat kekakuannya sehingga menjadi padatan yang utuh
disebut pengikatan akhir (final set) pada umumnya diperlukan waktu 4-6
jam.
7
Geopolimer merupakan pasta yang reaksi pengikatannya terjadi
melalui reaksi polimerisasi dan bukan melalui reaksi hidrasi seperti pada
beton konvensional. Material penyusun untuk proses polimerisasi pasta
geopolimer yang memiliki 2 kandungan komponen solidterdiri dari
komponen alkali aktivator berupa NaOH (sodium hidroksida) dan Na2SiO3
(sodium silika) perbandingan 1 : 2 dengan molaritas 8M dan 12M yang
banyak mengandung silika dan alumunium berfungsi untuk mereaksikan
unsur-unsur Si dan Al yang terkandung dalam abu terbang (fly ash) dan
digabungkan dengan pencampuran antara gypsum, limbah las karbit dan
kapur padam sesuai dengan mix design, sehingga dapat menghasilkan pasta
geopolimer tanpa menggunkan semen. Pengujian dilakukan menggunakan
alat vicat dengan perbandingan variasi 39 mix design.
2.2. Fly ash
Fly ash didefinisikan sebagai butiran halus hasil dari proses
pembakaran batubara atau bubuk batubara yang berwarna keabu-abuan
sebagai bahan bakarnya dari PLTU (ASTM C618). Fly ash merupakan
material utama untuk pembentukan geopolimer yang memiliki ikatan silika
(SI) aluminium (AI) Ini bisa berarti material alam seperti kaolin, dan
lempung dimana formula empirisnya mengandung Si, Al, dan oksigen
(Ekaputri dan Triwulan, 2007). Fly ash yang memiliki kadar CaO rendah
dan Si dan AI lebih dari 50%, antara fly ash kelas F, kelas C, kelas N, yang
memenuhi persyaratan ASTM C618 yaitu fly ash kelas F dan Kelas C. Dari
kedua fly ash tersebut memiliki perbedaan yaitu kelas F ditandai untuk
digunakan spesifikasi berdasarkan asal produksi batubara tau kadar CaO,
sedangkan kelas C mengandung banyaknya kalsium, silika, aluminium dan
kadar besi di fly ash tersebut.
Klasifikasi fly ash menurut ASTM C618-96, yaitu:
a. Kelas C :
1) Fly ash yang memiliki kadar CaO kurang dari 10% dihasilkan dari
pembakaran anthrachite atau bitumen batubara.
2) Kadar ((SiO2 + AI2O3 + Fe2O3 ) > 70%
8
b. Kelas F :
1) Fly ash yang memiliki kadar CaO lebih dari 10%, dihasilkan dari
pembakaran lignite atau sub bitumen batubara
2) Kadar (SiO2 + AI2O3 + Fe2O3 ) > 50%
c. Kelas N
Pozzolan alam atau hasil pembakaran yang dapat digolongkan
antara lain tanah diatomic, tuff dan abu vulkanik, opalinechertz dan
shales, dapat diproses melalui proses pembakaran yang mempunyai
sifat pozzolan yang baik.
Gambar 2.1 Fly ash Tipe F
Sumber: Dokumentasi penulis
2.3. Gypsum
Gypsum yang digunakan untuk penelitian ini berasal dari PLTU
Jepara Tanjung Jati B berlokasi di Desa Tubanan Kecamatan Kembang
Kabupaten Jepara. Gypsum merupakan limbah gas SO2 dari PLTU Jepara
Tanjung Jati B, proses pembuatan gypsum dilakukan dengan proses
desulfurisasi gas buang PLTU. CaO (Batu gamping) dan sejumlah air di
campurkan di dalam mixer sehingga akan bereaksi kemudian akan terbentuk
larutan Ca(OH)2 yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara PLTU
akan diinjeksikan ke dalam menara absorber pada bagian bawah dan akan
dikontakkan dengan larutan Ca(OH)2 yang disemprotkan melalui bagian
atas menara absorber. Pada sisi lainmenara juga diinjeksikan ke udara.
9
Didalam absorber akan terjadi reaksi kimia dan mekanisme difisi gas SO2
masuk kedalam larutan Ca(OH)2 dan akan membentuk lumpur CaSO4.
Reaksi ini berlangsung pada suhu 50⁰C dan tekanan 1,1 atm. Lumpur yang
terbentuk selanjutnya akan melalui proses pemurnian lagi di dalam
thickener dan filter.
Penambahan gypsum pada pembuatan setting time dapat mengurangi
dan mengolah limbah gypsum yang lebih bermanfaat pada kontruksi beton.
Sebelum digunakan gypsum di jemur hingga kering setelah itu harus melalui
pemeriksaan dengan alat SEM EDX (Scanning Electron Microscopy Energy
Dispersive X-Ray) selanjutnya gypsum bisa digunakan untuk pencampuran
pasta konvensional dan geopolimer.
Gambar 2.2 Gypsum
Sumber: Dokumentasi penulis
2.4. Limbah Las Karbit
Limbah las karbit merupakan limbah yang dihasilkan dari pekerjaan
pengelasan berupa buangan kapur atau lebih yang dikenal limbah las karbit
yang berupa koloid yang mengandung gas dan air, setelah beberapa hari gas
yang terkandung akan menguap dan perlahan akan mengering berubah
menjadi gumpalan-gumpalan berwarna putih kehitaman atau keabu-abuan.
Sebelum digunakan untuk setting time pasta konvensional dan pasta
geopolimer, terlebih dahulu limbah las karbit di jemur hingga kering
kemudian dihancurkan dan disaring dengan saringan 0.6 mm sehingga
10
menjadi serbuk selanjutnya harus melalui pemeriksaan dengan alat SEM-
EDX (ScanningElectron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray).
Karbit dibuat dengan proses yang sangat sederhana, dimana terjadi
reaksi antara kalsium karbida (CaC2) dengan air H2O untuk menghasilkan
calcium hydroxide Ca(OH)2 dan gas acetylene (C2H2) kalsium karbit yang
merupakan hasil sampingan pembuatan gas acetelin adalah padatan
berwarna putih. (Sutarno, 2017).
Penambahan limbah karbit (CaO) merupakan upaya yang diperlukan
untuk meningkatkan unsur kalsium dalam terjadinya reaksi pozzolanic bila
tercampur dalam fly ash dengan SiO2. Reaksi pozzolanic merupakan reaksi
antara silikat dengan kalsium aluminat dan kalsium sehingga membentuk
“comenting agent” merupakan suatu massa yang keras dan kaku yang
hampir sama dengan proses hidrasi padaportland cement (Aswad, 2013)
Gambar 2.3 Limbah Las Karbit
Sumber: Dokumentasi penulis
2.5. Kapur Padam
Kapur padam adalah jenis batuan yang mempunyai unsur dasar
CaOyaitu kalsium oksida. Kalsium oksida merupakan unsur dari penyusun
semen yang membuat warna semen menjadi sedikit keputih-putihan dan
kabu-abuan, hasil dari pemadaman dari kapur tohor yang membentuk hidrat
kapur bereaksi dengan bermacam-macam komponen pozzolan yang halus
untuk membentuk kalsium silika semen (Lisantono, 2010). Silika adalah
11
mineral utama dari fly ash jika bereaksi dengan kapur dan air akan bereaksi
membentuk kalsium silikat hidrat, akan berpengaruh pada kecepatan setting
time.
Berdasarkan SNI 03-4147-1996 membagi tipe kapur menjadi 4 macam:
1. Kapur tipe I yaitu kapur yang mengandung kalsium hidrat tinggi dengan
kadar magnesium oksida (MgO) paling tinggi 4%.
2. Kapur tipe II, yaitu kapur magnesium yang mengandung magnesium
oksida lebih dari 4% dan maksimum 36% berat.
3. Kapur tohor (CaO), yaitu hasil pembakaran batu kapur pada suhu ±90C,
dengan komposisi sebagian besar kalsium karbonat Ca(OH)2.
4. Kapur padam, yaitu kapur dari hasil pemadaman kapur tohor dengan air,
sehingga terbentuk hidrat Ca(OH)2
Gambar 2.4 Kapur Padam
Sumber: Dokumentasi penulis
2.6. Semen
Menurut SNI 15-2049-2004 portland cement merupakan semen
hidrolis dihasilkan dari proses menggiling terak portland cement terutama
yang terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan digiling bersama-
sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa
kalsium sulfat dan boleh ditambah dengan bahan tambahan lain.
Fungsi portland cement adalah untuk bereaksi dengan air mengikat
butiran-butiran agregat sehingga terjadi massa yang kompak. Jika portland
12
cement dicampur dengan air, dalam beberapa waktu akan mengeras.
Campuran antara portland cement dan air jika diaduk akan menghasilkan
pasta semen. Portland cemen dibuat dengan memanaskan suatu campuran
yang terdiri dari bahan-bahan yang mengandung kapur, silika, alumina,
oksida, besi, dan oksida-oksida lainnya. (Sutarno, 2017)
Dalam penelitian ini semen yang digunakan untuk setting time pasta
konvensional yaitu semen tiga roda. Selain itu bahan semen ini nantinya
akan dicampur dengan bahan tambahan lainnya seperti limbah las karbit,
gypsum dan kapur padam.
Gambar 2.5 Semen
Sumber: Dokumentasi penulis
2.7. Air
Air merupakan bahan yang paling murah diantara bahan lainnya dan
salah satu bahan dasar yang penting dalam pembuatan pasta. Penggunaan air
digunakan untuk melarutkan kristal NaOH (Sodium hidroksida) dan
mereaksikan semen sehingga menghasilkan pasta konvensional yang
berfungsi untuk mengikat binder, penggunaan fas yang terlalu tinggi
mengakibatkan setting time lama dan semakin kecil nilai fas dalam adukan
maka tingkat kekentalan adukan semakin tinggi akan mempercepat
pengikatan.
13
Menurut Standart SNI–03 2847–2002 syarat-syarat air sebagai berikut:
1. Air harus bersih, tidak terdapat benda terapung lebih dari 2 gram per
liter dan tidak mengandung lumpur minyak
2. Tidak mengandung garam-garam yang dapat larut dan mrusak beton
(asam-asam, zat organik) lebih dari 15 gram per liter
3. Tidak mengandung asam sulfat lebih dari 1 gram per liter
Gambar 2.6 Air PDAM
Sumber: Dokumentasi penulis
2.8. Aktivator
Aktivator merupakan senyawa yang digunakan agar terjadi reaksi
polimerisasi pada beton geopolimer. Jenis larutan alkali aktivator yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu NaOH (sodium hidroksida) dan
Na₂SiO₃ (sodium silikat) yang dapat menghasilkan setting time yang
optimum dan mempercepat proses polimerisasi.
Larutan alkali yang paling sering digunakan dalam polimerisasi
geopolimer adalah kombinasi NaOH (sodium hidroksida) atau KOH
(kalium hidroksida) dan Na₂SiO₃ (sodium silika) atau silikat kalium
(Hardjito, 2005). Larutan yang berfungsi untuk mereaksikan unsur-unsur Si
dan Al yang terdapat dalam fly ash. (Manuahe, 2014).
14
2.8.1. Sodium Hidroksida (NaOH )
Larutan alkali yang digunakan untuk pembuatan geopolimer
adalah logam alkali sebagai reagen reaksi geopolimerisasi, sodium
hidroksida (NaOH) dapat mengabsorbsi CO2 dari udara, sangat
korosif pada logam alumunium dan akan menghasilkan panas
(eksotermis) jika dilarutkan dalam air dengan asam, NaOH dapat
mencapai kemurnian 97% - 98%. (Windholtz, 1976)
Sodium hidroksida merupakan senyawa yang berfungsi
mereaksikan unsur-unsur SI dan yang merupakan senyawa asam
kuat yang terkandung dalam fly ash sehingga akan menghasilkan
ikatan polimer yang kuat. (Hardjito, 2004). Sebagai alkali aktivator,
sodium hidroksida harus dilarutkan terlebih dahulu dengan air sesuai
dengan molaritas yang diinginkan.Setelah pembuatan larutan ini
harus didiamkan setidaknya selama satu malam sebelum pemakaian.
Gambar 2.7 Sodium Hidroksida
Sumber: Dokumentasi penulis
2.8.2. Sodium Silikat (Na₂SiO₃)
Sodium silikat atau sering disebut water glass yang berupa
jell agak lengket berwarna putih keabu-abuan, sodium silikat
(Na₂SiO₃) berfungsi mempercepat reaksi polimerisasi dengan
pencampuran sodium hidroksida (NaOH). Maksimal pencampuran
sodium silikat dan sodium hidroksida adalah 24 jam, jika melewati
tidak bisa di gunakan.
15
Gambar 2.8 Sodium Silikat
Sumber: Dokumentasi penulis
2.9. Alat Vicat
Vicat merupakan alat yang digunakan dalam pengujian setting time
untuk mengetahui waktu ikat awal dan waktu ikat akhir.
Gambar 2.9 Alat Vicat
Sumber : Dokumentasi penulis
Batang Peluncur
Penggerak Batang Peluncur
Pembacaan Skala
Jarum Penetrasi
Cincin Ebonit
Plat Kaca
16
Tabel 2.1 Data Form Untuk Uji Waktu Ikat
Nomor Urutan
Penurunan
Waktu Penurunan
(menit)
Penurunan (mm)
Suhu ⁰C
1 5 2 10 3 15 4
20 5 25 6 30 7 105
Dst.................
Sumber: Analisis, 2018
Grafik penurunan jarum terhadap waktu terdiri dari waktu penurunan
(menit) dan penurunan jarum (mm). Penurunan jarum terjadi setelah waktu
terjadi selang 5 menit. Sedangkan waktu penurunan akan berhenti setelah
terjadinya waktu ikat akhir yaitu penurunan jarum menunjukan angka 0 mm.
Sebelum pembuatan grafik dilakukan pengisian fom seperti tabel 2.1.
2.10. Setting time (Waktu Ikat)
Setting time (waktu pengikatan) adalah semen atau fly ash bercampur
dengan air atau aktivator akan mengalami pengikatan dan setelah mengikat
lalu mengeras. Lamanya pengikatan sangat tergantung dari komposisi
senyawa dalam semen dan fly ash termasuk suhu udara sekitarnya, waktu
yang diperlukan pasta geopolimer dan pasta konvensional untuk mengeras,
terhitung mulai bereaksi saat pencampuran material dan air. dan menjadi
pasta hingga pasta cukup kaku untuk menahan tekanan, Setting time
bertujuan untuk menentukan jumlah aktivator (air) yang dibutuhkan untuk
menghasilkan pasta geopolimer maupun pasta konvensional. Setting time
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Waktu ikat awal yaitu waktu saat pencampuran fly ash dengan aktivator
(air) menjadi pasta geopolimer dari kondisi plastis menjadi tidak plastis.
Jangka waktu dari awal pencampuran sampai mencapai tahap setengah
mengeras dan ditandai dengan adanya reaksi setting sebagian.
2. Waktu ikat akhir yaitu waktu antara terbentuknya pasta dari kondisi
plastis hingga mengeras. Jangka waktu dari waktu pencampuran sampai
17
massa menjadi keras dan bisa dipisahkan dari bahan percetakannya.
Setting time akhir ditandai dengan adanya penyelesaian reaksi hydration
dan melepaskan panas. ASTM C191 – 04
Waktu ikat awal menurut SII minimum 45 menit, sedang waktu
ikat akhir maksimum 360 menit. Waktu ikat awal tercapai apabila
masuknya jarum vicat kedalam sampel dalam waktu 30 detik sedalam
25 mm. Waktu ikat akhir tercapai apabila masuknya jarum vicat
diletakkan diatas sampel selama 30 detik. Pada permukaan sampel tidak
berbekas atau tidak tercetak. Catat berapa jam waktu ikat akhir tercapai,
dalam pengujian waktu ikat pada semen terkadang dalam kurang dari
10 menit pasta semen sudah mencapai waktu ikat awal, yang ditandai
dengan masuknya jarum vicat kurang dari 20 mm. Waktu ikat awal
bukanalah waktu ikat yang sebenarnya, tetapi waktu ikat awal palsu
(false setting). Hal ini terjadi karena gips alam yang terdapat dalam
semen berubah menjadi gips hemihidrat karena panas, akibatnya gips
alam yang asalnya stabil menjadi tidak stabil sehingga cepat bereaksi
dengan air.
2.11. Rumus Interpolasi Waktu Ikat Awal
Rumus interpolasi merupakan rumus yang digunakan untuk mencari
waktu yang diperlukan dalam pembacaan skala mencapai angka penurunan
25 mm. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut: ( − )
( − )=
( − ) ( − )
ketentuan: = Waktu ikat awal
= Waktu penurunan sebelum 25 mm
= Waktu penurunan setelah 25 mm
= Penurunan waktu ikat (25 mm)
= Penurunan sebelum 25 mm
= Penurunan setelah 25 mm
18
2.12. Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan yang berkaitan
tentang waktu ikat. Penelitian tersebut sebagai berikut :
2.12.1. Siwi Dias Artini, 2017
Melakukan penelitian tentang Pengaruh Penambahan Kapur
Dalam Pembuatan Paving Stone Geopolimer Berbahan Dasar
Lumpur Lapindo Dan Abu Terbang Terhadap Kuat Tekan Dan
Permeabilitas (Penyerapan) hasil penelitian ini diantaranya :
a. Hubungan waktu pengikatan dan penambahan kapur terhadap
penggunaan fly ash dilakukan dengan suhu ruang 28⁰C -32⁰C
dapat diketahui waktu pengikatan awal dengan perbandingan fly
ash dan kapur sebesar 30% yaitu pada menit ke 45 sedangkan
waktu pengikatan akhir terjadi pada menit ke 135. Waktu total
pengikatan yang dialami kapur 30% yaitu selama 135 atau 2 jam
lebih 15 menit.
b. Waktu pengikatan awal dengan perbandingan fly ash dengan
kapur sebesar 40% yaitu pada menit ke 45, sedangkan waktu
pengikatan akhir terjadi pada menit ke 75. Waktu total
pengikatan yang kapur 40% yaitu selama 75 menit atau 1 jam
lebih 15 menit.
c. Sedangkan waktu pengkitan awal dengan perbandingan fly ash
dengan kapur sebesar 50% yaitu pada menit ke 15, sedangkan
waktu pengikatan akhir terjadi pada menit ke 60. Waktu total
pengikatan yang dialami kapur 50% selama 60 menit atau 1 jam.
Dari hasil pengujian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin
banyak menambahkan kapur dalam pasta maka semakin cepat
waktu pengikatan yang terjadi.
19
2.12.2. R.Arianto, Alex Kurniawandy, Ermiyanti, 2013
Melakukan penelitian tentang Kuat Tekan Dan Waktu Ikat
Semen Porland Pozzolan, hasil penelitian ini :
Berdasarkan hasil penelitian ini pengujian waktu ikat dengan
menggunakan alat vicat terhadap Semen Tipe 1 dan PCC didapat
perbedaan waktu ikat awal Semen Tipe 1 lebih cepat dari Semen
PCC sebesar 28.5 menit. Perbedaan waktu ikat akhir ternyata
semen tipe 1 lebih cepat dari Semen PCC yaitu sebesar 30 menit.
Berarti Semen Tipe 1 lebih cepat mengikat campuran dengsan baik
dibandingkan Semen PCC.
2.12.3. Ervin Ningtyas, 2010
Melakukan penelitian tentang Pengaruh Molaritas dan
Modulus Alkali (Na₂O / SiO₂) Terhadap Setting time fly ash –
Based Geopolimer, hasil penelitian ini sebagai beriku:
a. Fly ash-based geopolimer adalah campuran fly ash sebagai
pengganti semen, air, dan alkaline aktivator. Penggunaan fly
ash pada pasta ini menyebabkan peningkatan setting time pada
keduanya, baik initial dan final set. Untuk mempercepat setting
time maka ditambahkan alkaline aktivator sebagai pengikatnya
syaitu sodium silikat dan sodium hidroksida.
b. Setting time tercepat pada variasi NaOH diperoleh pada 8M
yaitu pada 16.67 jam untuk initial setting time dan 25.17 jam
untuk final setting time. Sedangkan pada variasi Modulus
Alkali Na2O/SiO2 diperoleh pada modulus alkali 1.25 yaitu
pada 19.33 jam untuk initial setting time dan 28.67 jam untuk
final setting time.
c. Dari hasil penelitian ini didapatkan komposisi molaritas NaOH
dan modulus alkali Na2O/SiO2dengan setting time tercepat
yang kemudian akan digunakan sebagai acuan komposisi
larutan geopolimer untuk penelitian selanjutnya yanitu pada
komposisi molaritas NaOH 8M dan modulus alkali 1.25.
20
2.12.4. Januarti Jaya Ekaputri, Triwulan, Oktavina Damayanti 2007
Melakukan penelitian tentang Sifat Mekanik Beton
Geopolimer Berbahan Dasar Fly ash Jawa Power Paiton Sebagai
Material Alternatif, hasil penelitian ini sebagai beriku:
a. Semakin tinggi perbandingan massa larutan sodium silika dan
sodium hidrosida maka semakin lama waktu pengikatan awal
berlangsung, tetapi semakin cepat waktu pengikatan berakhir.
b. Diperkirakan, semakin tinggi molaritas yang digunakan dalam
campuran, maka pengikatan akhir berlangsung relatif lebih
cepat. Larutan aktivator NaOH 10M lebih pekat jika
dibandingkan dengan larutan NaOH 8M. Semakin tinggi
molaritas yang digunakan maka jumlah air yang ada dalam
campuran juga semakin sedikit. Hal ini menyebabkan beton
cepat mengeras.
2.12.5. Triwulan, Januarti Jaya Ekaputri, Tami Adiningtyas, 2007
Melakukan penelitian tentang Analisis Sifat Mekanik Beton
Geopolimer Berbahan Dasar Fly ash Dan Lumpur Porong Kering
Sebagai Pengisi, hasil penelitian ini :
Waktu pengikatan binder geopolimer lumpur penambahan air
dan molaritas larutan aktivator pada beton geopolimer-lumpur ini
hanya sedikit berpengaruh pada initial setting time. Sedangkan
pada finish setting time, penambahan air memberikan pengaruh
besar. Semakin besar molaritas aktivator, maka semakin besar
kadar air terhadap lumpur yang ditambahkan, maka semakin lama
finish setting time.
21
Tabel 2.2 Penelitian Sebelumnya
No Peneliti Judul Hasil
1.
Siwi Dias Artini,
2017
Pengaruh Penambahan
Kapur Dalam
Pembuatan Paving
Stone Geopolimer
Berbahan Dasar
Lumpur Lapindo Dan
Abu Terbang
Terhadap Kuat Tekan
Dan Permeabilitas
(Penyerapan)
Waktu
pengikatan
awal dengan
perbandingan
fly ash dengan
kapur sebesar
40% yaitu
pada menit ke
45. Waktu
total
pengikatan
kapaur 40%
yaitu selama
75 menit atau
1 jam 15 menit
2. R.Arianto,
AlexKurniawandy,
Ermiyanti, 2013
Kuat Tekan Dan
Waktu Ikat Semen
Pozzolan
waktu ikat
terhadap
semen tipe1
dan PCC,
waktu ikat
awal lebih
cepat semen
tipe 1
dibandingkan
PCC. Karena
semen tipe 1
lebih cepat
mengikat
campuran
dengan baik
22
No Peneliti Judul Hasil
3. Ervin Ningtyas,
2010
Pengaruh Molaritas
dan Modulus Alkali
(Na₂O/SiO₂) Terhadap
Setting time fly ash –
Based Geopolimer,
Setting time
tercepat pada
variasi naoh
diperoleh pada
8m yaitu pada
16.67 jam dan
untuk final
setting time
25.17 jam
4. Januarti Jaya
Ekaputri,
Triwulan, Oktavia
Damayanti, 2007
Sifat Mekanik Beton
Geopolimer Berbahan
Dasar Fly ash Jawa
Power Paiton Sebagai
Material Alternatif
Semakin tinggi
perbandingan
massa larutan
NaOH dan
Na2SiO3 maka
semakin lama
waktu
pengikatan
awal
berlangsung
5. Triwulan, Januarti
Jaya Ekaputri,
Tami
Adiningtyas,
2007
Analis Sifat Mekanik
Beton Geopolimer
Berbahan Dasar Fly
ash Dan Lumpur
Porong Kering
Sebagai Pengisi
Semakin besar
molaritas
aktivator maka
semakin besar
kadar air
terhadap
lumpur yang
ditambahkan,
maka semakin
lama finish
setting time