bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep lansia bab ii.pdf · kata-kata, terjadi pengumpulan serumen yang...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Menjadi tua merupakan suatu proses yang alamiah, dimana hal tersebut
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu tahap anak-anak,
dewasa, dan tua. Ketiga tahap ini memiliki perbedaan baik secara biologis
maupun psikologis (Nugroho, 2008). Pudjiastuti (2003) dalam Efendi &
Makhfudli (2009) menyatakan bahwa lansia bukan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang telah memasuki
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres fisiologis dan lingkungan.
2.1.1 Klasifikasi Lansia
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh)
tahun ke atas. World Health Organization (WHO) membagi usia lanjut menjadi
11
empat kriteria meliputi, usia pertengahan (middle age) ialah usia 45-59 tahun,
lansia (elderly) ialah usia 60-74 tahun, lansia tua (old) ialah usia 75-90 tahun, usia
sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Efendi & Makhfudli, 2009).
2.1.2 Perubahan Akibat Proses Menua
Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
dari jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Ismail &
Santoso, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi perubahan fisik,
perubahan mental dan psikologis, perubahan sosial, dan spiritual.
a. Perubahan Fisik
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2008), yaitu:
1) Sistem Persarafan
Perubahan pada sistem saraf yaitu terjadi penurunan berat otak sebesar 10-
20%, penurunan hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk
bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, dan penurunan
sensitifitas terhadap sentuhan.
2) Sistem Pendengaran
Dapat terjadi gangguan dalam pendengaran (presbiakusis), sulit mengerti
kata-kata, terjadi pengumpulan serumen yang dapat mengeras akibat
meningkatnya keratin, dan penurunan pendengaran pada lansia akibat ketegangan
jiwa/stres.
12
3) Sistem Penglihatan
Mulai terjadi kekeruhan pada lensa dan menyebabkan katarak, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam gelap, hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya membedakan
warna biru atau hijau.
4) Sistem Integumen
Kulit mengkerut dan keriput akibat kehilangan jaringan lemak, elastisitas
berkurang akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi lebih
keras dan rapuh, serta penurunan jumlah dan fungsi dari kelenjar keringat.
5) Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan density (cairan) dan semakin rapuh, bungkuk (kifosis),
pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan
menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sclerosis, serta serabut otot
mengalami atrofi.
6) Sistem Gastrointestinal
Terjadi kehilangan gigi, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah
terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, rasa lapar menurun, asam lambung
menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, melemahnya daya
absorbsi dan lansia mudah mengalami gizi yang buruk.
7) Sistem Pernapasan
Otot-otot pernafasan mengalami penurunan kekuatan dan menjadi kaku,
penurunan aktivitas dari silia, elastisitas paru-paru menurun, kapasitas pernafasan
maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun, kemampuan kekuatan
13
otot pernafasan menurun, menarik nafas menjadi lebih berat, kemampuan untuk
batuk berkurang.
8) Sistem Reproduksi
Terjadi penciutan pada ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta
atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi
spermatozoa meskipun secara berangsur-angsur akan menurun.
9) Sistem Perkemihan
Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, filtrasi
di glomerulus menurun dan fungsi tubulus menurun, otot-otot vesika urinaria
menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan
retensi urin pada pria.
10) Sistem Endokrin
Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas
tiroid, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, BMR, menurunnya daya pertukaran zat,
penurunan produksi aldosteron, progesterone, estrogen, dan testosterone.
11) Sistem Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa
darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, meningkatnya resistensi pembuluh
darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.
b. Perubahan Mental dan Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan
perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),
14
lingkungan, tingkat kecerdasan (intelligence quotient-I.Q), dan kenangan
(memory) (Efendi & Makhfudli, 2009). Perubahan psikologis pada lansia meliputi
perubahan fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan kepribadian. Perubahan fungsi
kognitif yaitu perubahan pada kemampuan belajar, kemampuan pemahaman,
kinerja, pemecahan masalah, daya ingat, motivasi, pengambilan keputusan, dan
kebijaksanaan. Sementara itu, perubahan fungsi afektif (emosi atau perasaan)
akan nampak jelas pada lansia yang sangat tua (diatas 90 tahun), penurunan
tersebut sering diikuti oleh tingkah laku regresi dan penurunan fungsi mental yang
semakin buruk dan sering tidak tertolong dengan upaya terapi. Perubahan pada
psikomotor dimana lansia umumnya masih memiliki dorongan dan kemauan
untuk melakukan kegiatan atau memenuhi activity daily living, akan tetapi
kadang-kadang realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kesiapan/
kemampuan organ dan fungsi tubuh yang berkurang (Kuntjoro, 2002).
c. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang dapat dialami lansia yaitu perubahan status dan
perannya dalam kelompok atau masyarakat, kehilangan pasangan hidup, serta
kehilangan sistem dukungan dari keluarga, teman dan tetangga (Ebersole, 2005
dalam Syarniah, 2010). Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat
berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya
badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur
dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. (Kuntjoro, 2007
dalam Kartinah & Sudaryanto, 2008).
15
d. Perubahan Spiritual
Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu:
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan.
2) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam
berpikir dan bertindak sehari-hari.
3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978),
perkembangan yang diapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak
dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan.
2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia
Tugas perkembangan pada lansia adalah beradaptasi terhadap penurunan
kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan
pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai
individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan
kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara
mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). Erickson dalam Maryam,
Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara (2008) menyatakan kesiapan lansia untuk
beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut
dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila
seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-
hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-
orang disekitarnya, maka pada saat memasuki usia lanjut ia akan tetap melakukan
kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti
olahraga, mengembangkan hobi, bercocok tanam, dan lain-lain.
16
2.2 Stres Pada Lansia
2.2.1 Pengertian Stres
Beberapa ahli memberikan arti stres sebagai respon fisiologik, psikologik,
dan perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian terhadap tekanan
yang bersifat internal ataupun eksternal. Stres dapat diartikan sebagai suatu
ancaman, tantangan, kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, memerlukan
penyesuaian psikologis, perilaku, dan fisiologis yang konstans (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Hans Selye, seorang fisiologi dan tokoh di bidang stres yang
terkemuka dari Universitas Montreal, merumuskan bahwa stres adalah tanggapan
tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Tubuh
akan berusaha menyelaraskan rangsangan atau manusia akan cukup cepat untuk
pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres (Yosep & Sutini, 2009).
Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa
sehari-hari stres dikenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu
untuk melakukan penyesuaian (Nasution, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres
adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang sebagai tanggapan tubuh yang bersifat
non-spesifik terhadap setiap tuntutan/tekanan baik yang bersifat internal maupun
eksternal dan menghasilkan respon fisiologik, psikologik, serta perilaku individu
sebagai penyesuaian terhadap tekanan tersebut.
2.2.2 Penyebab Stres
Seseorang menjadi stres karena adanya stressor. Stressor adalah suatu
peristiwa, situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan stres dan reaksi
17
terhadap stres (Cahyono, 2008). Macam-macam stressor menurut Indriana (2010)
antara lain:
a. Stressor biologis seperti panas, dingin, nyeri, masuknya organism, trauma
fisik, kesulitan eliminasi, kekurangan makan, dan lain-lain.
b. Stressor psikologis seperti kritik yang tidak dapat dibenarkan, kehilangan,
ketakutan, krisis situasi, dan lain sebagainya.
c. Stressor sosial meliputi isolasi atau diasingkan, status sosial dan ekonomi,
perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, bertambahnya anggota
keluarga, dan lain sebagainya.
2.2.3 Tanda dan Gejala Stres
Menurut Hawari (2006), seseorang yang mengalami stres dapat pula dilihat
ataupun dirasakan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya,
meliputi:
a. Rambut
Warna rambut mengalami perubahan dari hitam menjadi kecoklat-coklatan
serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula
dengan kerontokkan pada rambut.
b. Mata
Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak jelas
karena kabur. Hal ini terjadi karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran
atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata.
c. Telinga
Pendengaran seringkali terganggu dengan suara berdenging (tinitus).
18
d. Daya pikir
Kemampuan berpikir dan mengingat serta konsentrasi menurun. Orang
menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala atau pusing.
e. Ekspresi wajah
Wajah seseorang yang mengalami nampak tegang, dahi berkerut, mimik
wajah tampak serius, tidak santai, bicara berat, dan sukar untuk senyum/tertawa.
f. Mulut
Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum. Selain itu,
pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga akan susah menelan, hal ini
disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan mengalami spasme.
g. Kulit
Stres dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam pada kulit mulai
dari terasa panas atau dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain yaitu kulit
menjadi lebih kering. Dapat pula muncul penyakit kulit seperti eksim, urtikaria
(biduran), gatal-gatal, dan timbulnya jerawat (acne) yang berlebihan, serta telapak
tangan dan kaki yang mudah berkeringat/basah.
h. Sistem pernafasan
Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat terganggu
misalnya nafas terasa berat dan sesak oleh karena penyempitan pada saluran
pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada. Otot rongga
dada mengalami spasme atau kurang elastis, sehingga diperlukan tenaga ekstra
untuk menarik nafas.
19
i. Sistem pencernaan
Gangguan pada sistem pencernaan misalnya, lambung terasa kembung, mual
dan pedih karena asam lambung yang meningkat dan biasa dikenal dengan maag
(gastritis). Gangguan lainnya seperti perut sering terasa mulas, sukar buang air
besar atau sebaliknya yaitu mengalami diare.
j. Sistem perkemihan
Yang sering dikeluhkan saat sedang mengalami stres biasanya frekuensi
buang air kecil yang lebih sering dari biasanya, meskipun bukan penderita
kencing manis (diabetes mellitus).
k. Sistem otot dan tulang
Keluhan-keluhan pada otot dan tulang (musculoskeletal) contohnya, sering
mengeluh otot terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal, dan tegang. Keluhan lain
seperti rasa ngilu atau kaku bila menggerakkan anggota tubuh atau yang lebih
dikenal dengan pegal-linu.
l. Sistem endokrin
Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada orang yang mengalami
stres yaitu terjadi peningkatan kadar gula darah, dan bila hal ini terjadi
berkepanjangan dapat mengakibatkan kencing manis (diabetes mellitus).
Gangguan lain yaitu seperti menstruasi yang tidak teratur dan rasa sakit ketika
menstruasi (dysmenorrhoe).
m. Sistem reproduksi
Stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami penurunan libido atau
sebaliknya.
20
n. Sistem kardiovaskuler
Sistem jantung dan pembuluh darah dapat terganggu fungsinya oleh karena
stres. Misalnya, jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau
menyempit (constriction) sehingga orang dapat terlihat kemerahan ataupun
kepucatan pada area wajah. Menurut Iskandar (2010), stres akan mendorong
tubuh mengeluarkan hormon adrenalin dan noradrenalin yang merangsang sistem
saraf otonom, menyebabkan vasokonstriksi, penyempitan pembuluh darah arteri,
denyut jantung meningkat, kadar gula darah meningkat serta kadar kolesterol
tinggi. Jika situasi ini terjadi terus-menerus maka orang yang bersangkutan dapat
mengalami kenaikan tekanan darah dan dapat mengidap tekanan darah tinggi
(hipertensi).
o. Kondisi psikologis
Hardjana (1994, dalam Puspasari, 2009) menyatakan bahwa stres juga
berdampak pada kondisi emosional. Seseorang yang sedang stres akan mudah
merasa gelisah atau cemas, sedih, depresi, menangis, mood atau suasana hati yang
sering berubah-ubah, mudah panas atau cepat marah, rasa harga diri menurun atau
merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, gampang menyerah pada
orang dan mempunyai sikap bermusuhan.
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Stres
Stres dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan
eksternal (Hardjana, 1994, Suparto, 2000 dalam Puspasari, 2009).
21
a. Faktor internal
Faktor internal berarti stres yang bersumber dari diri seseorang. Beberapa
faktor tersebut meliputi:
1) Penyakit (illness) dan kesehatan
Menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada
orang yang menderitanya. Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi
kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stres pada kaum lansia
yang mengalaminya.
2) Pertentangan (konflik)
Kehidupan sering dihadapkan oleh berbagai pilihan, dimana dalam proses
memilih tersebut dapat terjadi pertentangan (konflik) karena ada dua kekuatan
motivasi yang berbeda bahkan berlawanan. Berhadapan dengan dorongan
memilih yang berbeda dan berlawanan itulah seseorang akan mudah mengalami
stres.
3) Kepribadian
Semakin luas dan semakin tinggi harapan seseorang tentang hidup dan
optimis maka semakin jauh dari stres.
4) Falsafah hidup
Semakin berserah diri kepada Tuhan maka semakin terbebaskan rasa stres
seseorang.
5) Persepsi (penangkapan)
Semakin santai dalam mempersepsikan suatu kejadian maka seseorang
tidak akan mudah mengalami stres akibat kejadian tersebut.
22
6) Posisi sosial
Semakin berperan dan menyatu seseorang dengan lingkungan sosialnya,
semakin sukar stres timbul dalam diri seseorang tersebut.
7) Pengalaman
Semakin sering seseorang mendapatkan stressor maka semakin sering
kemungkinannya terserang stres akibat stressor tersebut.
8) Usia
Semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal
ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami
kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir,
mengingat dan mendengar (Gibson; Rachmaningrum, 1999 dalam Nasution,
2011).
9) Jenis kelamin
American Psychological Association (2010) menyatakan laki-laki dan
perempuan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres baik dari fisik maupun
mental. Laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan dan cara yang berbeda
dalam mengelola stres. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin
untuk mengungkapkan terjadinya gejala fisik terkait stres, dan memiliki hubungan
yang lebih baik dengan orang lain sebagai salah satu strategi manajemen stres.
b. Faktor eksternal
1) Keluarga
Stres dalam keluarga dapat disebabkan karena adanya konflik dalam
keluarga seperti perilaku yang kurang terkendali, terjadinya peristiwa-peristiwa
23
yang berkaitan dengan anggota keluarga seperti sakit, terutama sakit yang serius
dan berkepanjangan, dan juga kematian anggota keluarga.
2) Lingkungan
Lingkungan yang dapat menyebabkan stres dapat meliputi lingkungan kerja
dan lingkungan hidup disekitar. Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres
karena beberapa alasan seperti tuntutan kerja dan tanggung jawab yang terlalu
besar dan berat. Sementara lingkungan sekitar yang dapat menjadi sumber stres
seperti lingkungan yang penuh dengan suara bising dan keras diluar pengendalian
diri, lingkungan sekitar yang tercemar dapat membuat seseorang merasa tidak
aman dan mudah mengalami stres.
2.2.5 Stres Yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Pada waktu seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai
perubahan baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Jadi, memasuki usia
lanjut tidak lain adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan
tersebut. Sebagai proses alamiah, perkembangan manusia sejak periode awal
hingga masa usia lanjut merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari.
Perubahan-perubahan menyertai proses perkembangan termasuk ketika memasuki
masa usia lanjut. Ketidaksiapan dan upaya melawan perubahan-perubahan yang
dialami pada masa usia lanjut justru akan menempatkan individu usia ini pada
posisi serba kalah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stres dan
frustasi belaka (Indriana, 2008).
Stres yang dihadapi oleh lansia berasal dari berbagai situasi yang berbeda
dari yang dihadapi oleh orang dewasa. Berbagai situasi yang dapat menyebabkan
24
stres pada lansia, yaitu lansia harus merawat pasangan yang sakit, kehilangan
pasangan, kematian kerabat dan teman-teman dekat lainnya, penurunan kekuatan
fisik dan kesadaran bahwa lansia sudah tidak sehat dan sekuat sebelumnya,
kekhawatiran mengenai keuangan setelah pensiun, serta kesepian. Stres lebih
lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi
stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi
lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam
manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).
2.2.6 Penanganan Stres
Strategi menghadapi stres yaitu dengan mempersiapkan diri dalam
menghadapi stressor melalui perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial.
Selain itu, menurut Ray (2004 dalam Perese, 2012) untuk menghadapi stressor
diperlukan strategi koping, yaitu cara yang digunakan orang untuk memodifikasi
situasi mereka dan mengurangi stres dan perasaan tertekan.
Penanganan dan pengelolaan stres merupakan suatu usaha untuk
mengurangi atau meniadakan dampak negatif stressor (Isnaeni, 2010). Mengelola
stres dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu dengan terapi
farmakologis, dan nonfarmakologis seperti relaksasi, pendekatan perilaku dan
kognitif (Yulianti, 2004 dalam Isnaeni, 2010).
a. Pendekatan farmakologi yaitu menggunakan obat-obatan anti cemas
(axiolytic) dan anti depresi (anti depressant).
b. Relaksasi yaitu upaya untuk melepas ketegangan yaitu relaksasi otot,
relaksasi kesadaran indera dan relaksasi melalui yoga, serta meditasi.
25
c. Pendekatan perilaku yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stres,
adaptabilitas terhadap stres, menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan
nutrisi, serta manajemen perencanaan, organisasi dan waktu.
d. Pendekatan kognitif; mengubah pola pikir individu, berpikir positif dan
sikap yang positif, membekali diri dengan pengetahuan tentang stres,
menyeimbangkan antara aktivitas otak kiri dan kanan, serta hipnoterapi.
Terapi dengan pendekatan kognitif-perilaku lainnya yaitu terapi
reminiscence.
2.2.7 Instrumen Pengukuran Stres
Instrumen untuk mengukur tingkat stres dalam penelitian ini adalah Stress
Assessment Questionnaire (SAQ) yang mengukur empat domain stres utama
yaitu sumber, gejala, penanganan, dan stabilitas, dengan 16 aspek atau elemen
yang mendefinisikan keempat domain tersebut. Instrumen ini dirancang untuk
memberikan bimbingan konseling dan pengembangan diri tentang stres.
Instrumen ini berupa pengkajian yang terdiri dari 16 aspek, yaitu aspek kerja,
hubungan, pola asuh, kejadian, emosional, perilaku, fisik, dukungan, sosial,
pengaturan diri sendiri, pemecahan masalah, selingan, kesehatan, penundaan,
perfeksionis, harga diri, depresi, dan kecemasan. Pengkajian pada instrumen juga
terdapat tanda dan gejala yang biasanya terjadi pada seseorang yang mengalami
stres sehingga instrumen ini cukup lengkap dan mendetail (Smith, 2003 dalam
Putri, 2012).
26
2.3 Terapi Reminiscence
2.3.1. Pengertian Terapi Reminiscence
Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang
menekankan pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk
mencapai rasa intergritas diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan
mengumpulkan perasaan, tujuan serta makna hidup. Nursing Interventions
Classification (NIC) mendefinisikan terapi Reminiscence sebagai intervensi yang
dilakukan dengan mengingat peristiwa masa lalu, perasaan, dan pikiran untuk
memfasilitasi kesenangan, kualitas hidup, dan beradaptasi dengan kondisi saat ini.
Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Banon, 2011) menambahkan terapi ini dapat
menjadi intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah psikososial. Terapi
Reminiscence diterapkan pada lansia melalui proses motivasi dan diskusi tentang
pengalaman masa lalu yang dialami dan upaya penyelesaian masalah yang
dilakukan pada saat itu (Glod, 1998; Meiner dan Lueckenotte, 2006 dalam Banon,
2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi
Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai
upaya untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan
memberikan perhatian terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya
penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan
kepada keluarga, kelompok, ataupun staf keperawatan.
27
2.3.2. Manfaat Terapi Reminiscence
National Guideline Clearinghouse (2008, dalam Stinson, 2009)
menyatakan terapi Reminiscence dapat memfasilitasi penyesuaian lansia terhadap
proses penuaan dengan membantu lansia memikirkan kembali dan memperjelas
pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan studi penelitian telah menunjukkan
adanya peningkatan kesejahteraan psikologis setelah mendapat intervensi
Reminiscence. Menurut Banon (2011), melalui proses mengenang, lansia dapat
mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama,
mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema
universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan
diri. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Syarniah, 2010) menambahkan bahwa
terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu
individu mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap stres
dan melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut
Bohlmeijer (2007 dalam Utami, 2013), terapi Reminiscence dapat menjadi
treatment psikologis yang menarik bagi para lansia karena membuat mereka
mempunyai ikatan masa lalu baik yang bersifat umum maupun yang khusus.
Reminiscence juga dapat berfokus pada mengevaluasi kembali, memecahkan
konflik pada masa lalu, menemukan arti kehidupan dan memperkirakan koping
adaptif yang bisa dilakukan sebelumnya.
Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman
yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat
meningkatkan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan stimulasi
28
kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif
untuk gejala depresi (Bohlmeijer, 2003; Haight & Burnside, 1993; Ebersole, 2005
dalam Syarniah, 2010).
Bohlmeijer (2007, dalam Utami, 2013), menambahkan bahwa terapi
reminiscence memiliki enam fungsi, yaitu integrative (menemukan arti dan
keberlanjutan kehidupan); instrumental (menggunakan pemecahan masalah masa
lalu untuk pemecahan masalah di masa kini); transmissive (menceritakan cerita
yang merupakan petunjuk-petunjuk kehidupan kepada anak muda); escapist
(mengingat keindahan masa lalu untuk melupakan sejenak hal-hal yang tidak
menyenangkan di masa sekarang); obsessive (memikirkan ulang permasalahan-
permasalahan tak terpecahkan pada masa lalu); dan narrative (mempertahankan
ingatan-ingatan mengenal orang-orang penting dalam kehidupan pribadi).
2.3.3. Tipe Terapi Terapi Reminiscence
Menurut Kennard (2006, dalam Syarniah, 2010), terapi Reminiscence dapat
dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Simple atau Positive Reminiscence
Tipe ini merefleksikan informasi dari pengalaman dan perasaan yang
menyenangkan di masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan
menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara
klien dan terapis yang bertujuan untuk meningkatkan adaptasi dan memelihara
harga diri.
29
b. Evaluative Reminiscence
Tipe ini biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan
masalah, seperti pada terapi life review.
c. Offensive Defensive Reminiscence
Tipe ini dapat menggali informasi yang tidak menyenangkan dan dapat
menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi, serta menimbulkan resolusi
terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.
2.3.4. Media dalam Terapi Reminiscence
Media yang digunakan dalam terapi Reminiscence yaitu benda-benda yang
berhubungan dengan kenangan/ masa lalu lansia. Menurut Collins (2006), media
yang dapat digunakan yaitu Reminiscence kit yang berisi barang-barang di masa
lalu seperti majalah, peralatan memasak, dan peralatan kebersihan, selain itu dapat
juga menggunakan foto-foto pribadi, alat untuk memutar musik atau video, video
dan kaset, buku, pulpen, stimulus bau seperti kopi, stimulus rasa, dan bahan-bahan
lain untuk menstimulasi sentuhan.
2.3.5. Pelaksanaan Terapi Reminiscence
Penelitian yang dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek
Individual Reminiscence terhadap harga diri dan depresi pada lansia di India,
terapi Reminiscence dapat dilakukan secara individu yang dibagi menjadi 8 sesi
dan dilaksanakan selama 8 hari meliputi, 1 hari untuk pre-assessment, 6 hari
untuk terapi Reminiscence, dan hari terakhir dilakukan post-assessment. Terapi
Reminiscence dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya, baik tanpa
30
pedoman maupun yang sudah terstruktur. Tiap sesi terapeutik dimulai dengan fase
pengantar selama 5-10 menit yang meliputi memberikan salam, membiarkan klien
memilih tempat yang nyaman untuk pelaksanaan terapi, menanyakan keadaan
umum klien, memberikan deskripsi singkat terkait sesi sebelumnya, dan
memperkenalkan tema baru. Pada fase kerja setiap sesi, klien akan mengingat dan
mengumpulkan kembali memori-memori yang berhubungan dengan tema setiap
sesinya kira-kira selama 10 menit. Selama mengumpulkan dan sharing memori
menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Berbagai stimulus dapat digunakan
untuk mengembalikan memori yang sesuai dengan tema dari tiap sesi. Di akhir
fase (kira-kira selama 5 menit) meliputi menjawab pertanyaan jika klien bertanya,
mengemukakan kembali tema utama dan memori dari sesi tersebut, sharing
pengalaman antara klien dan fasilitator, rencana untuk sesi selanjutnya
(Poorneselvan & Steefel, 2014).
Terapi Reminiscence yang dikembangkan oleh Syarniah (2010) terdiri dari 5
sesi yaitu:
a. Sesi 1: berbagi pengalaman masa anak-anak. Pada sesi ini pengalaman masa
anak lebih difokuskan pada pengalaman yang berkaitan dengan permainan
yang paling disenangi dan pengalaman tentang guru yang paling disenangi
pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut.
b. Sesi 2: berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang
didiskusikan lebih ditujukan pada hobi yang dilakukan bersama teman-
teman sebaya dan pengalaman rekreasi bersama teman pada masa remaja
tersebut.
31
c. Sesi 3: berbagi pengalaman masa dewasa. Focus pada sesi ini adalah
pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan dan makanan yang disukai.
d. Sesi 4: berbagi pengalaman keluarga di rumah. Pada sesi ini topik kegiatan
terapi menakup pengalaman merayakan hari raya agama bersama anggota
keluarga dan bergaul dengan tetangga.
e. Sesi 5: evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah
mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi
pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 4 untuk
mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan
meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.
Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini merupakan
modifikasi dari terapi Reminiscence yang sudah dilakukan Poorneselvan & Steefel
(2014) dan Syarniah (2010). Tipe terapi yang digunakan yaitu simple atau positive
Reminiscence terkait pengalaman dan perasaan yang menyenangkan di masa lalu.
Terapi ini akan dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan yaitu satu kali
pertemuan untuk pre-test, lima pertemuan untuk pelaksanaan 5 sesi terapi
Reminiscence, dan pertemuan terakhir untuk post-test. Terapi Reminiscence
dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya.
Pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Pertemuan 1: melakukan perkenalan, menjelaskan tujuan dari intervensi
yang akan diberikan dan memberikan informed consent dan dilakukan pre-
test.
32
b. Pertemuan 2 (Terapi Sesi 1): berbagi pengalaman masa anak-anak.
Mengungkapkan memori terkait asal atau keterkaitan hubungan dari
keluarga dengan menggunakan foto atau gambar keluarga, klien dapat
menggambar genogram dari keluarga asal, nama-nama anggota keluarga,
dan urutan kelahirannya. Dapat menceritakan pengalaman masa anak-anak
yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi, pengalaman yang
menyenangkan pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa
tersebut, mendiskusikan foto atau gambar keluarga pada masa anak-anak,
dan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti acara perayaan, mengunjungi
tempat-tempat saat masih anak-anak.
c. Pertemuan 3 (Terapi Sesi 2): berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi
ini topik yang didiskusikan terkait teman-teman baik atau teman sebaya,
olahraga, hobi, prestasi yang pernah diraih, dan pengalaman rekreasi
bersama teman pada masa remaja.
d. Pertemuan 4 (Terapi Sesi 3): berbagi pengalaman masa dewasa. Stimulus
dapat berupa perkerjaan pertama, peristiwa atau pengalaman-pengalaman,
hubungan yang terkait dengan pekerjaan, perubahan pekerjaan, dan pensiun.
Selain itu, dapat pula mendiskusikan foto atau gambar dan makanan yang
paling disukai pada masa itu.
e. Pertemuan 5 (Terapi Sesi 4): berbagi pengalaman keluarga di rumah dan
kegiatan sosial. Pada sesi ini topik kegiatan terapi menakup pengalaman
bersama keluarga, saat pertama bertemu dengan pasangan, menikah, hari-
hari yang menyenangkan dari kehidupan berkeluarga, merayakan hari raya
33
agama bersama anggota keluarga, kegiatan yang sering dilakukan di
masyarakat, pertunjukkan atau hiburan yang sering ada di masyarakat, dan
transportasi serta media-media elektronik di jaman tersebut.
f. Pertemuan 6 (Terapi Sesi 5): evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan
yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia.
Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan
kegiatan sesi 1 sampai 5 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan
diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.
g. Pertemuan 7: dilakukan post-test dengan wawancara menggunakan
kuesioner.
Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence dalam penelitian ini lebih lanjut akan
dijelaskan pada Lampiran 5.
2.4 Hubungan Terapi Reminiscence dengan Stres Pada Lansia
Semua individu menghadapi stres setiap hari, dan sebagian besar
menghadapi stres yang signifikan selama masa hidup mereka (Perese, 2012). Stres
yang dihadapi oleh lansia dapat berasal dari berbagai situasi. Ketidaksiapan dalam
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam proses penuaan dapat menjadi
sumber akumulasi dari stres (Indriana, 2008). Stres lebih lanjut ditambah oleh
fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari
waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa
sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak
lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).
34
Terapi Reminiscence dapat menjadi suatu mekanisme untuk mengatasi
perubahan. Dalam terapi ini individu berbagi kenangan dengan orang lain, dimana
hal ini dapat membantu individu dalam mencapai integritas diri dan harga diri.
Melalui proses ini lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan
pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan
keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia,
dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Terapi Reminiscence yang diberikan
pada lansia dapat meningkatkan harga diri dan kepuasan hidup lansia,
meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stres melalui kemampuan
penyelesaian masalah dan meningkatkan hubungan sosial berdasarkan keunikan
dan prestasi yang dimiliki lansia (Banon, 2011). Selain itu, menurut Muhlbauer,
Chrisler, Denmark (2014), terapi Reminiscence yang terstruktur merupakan
intervensi kognitif-perilaku yang efektif untuk mengurangi depresi pada orang
lansia. Depresi sendiri dapat terjadi salah satunya akibat paparan stres secara
jangka panjang (Astri, 2012).
Dasar teoritis untuk terapi reminiscence adalah teori kontinuitas yang
menyatakan bahwa individu yang mengalami perubahan dalam hidup mereka
mencoba untuk memahami perubahan dengan mengingat orang, kejadian, dan
pengalaman dari masa lalu mereka. Proses mengingat perubahan masa lalu atau
tantangan dan pengetahuan, keterampilan, dan strategi yang mereka gunakan
untuk mengatasi perubahan menghasilkan rasa kontinuitas dalam hidup mereka
dan kemampuan untuk menggunakan metode koping yang biasa digunakan untuk
beradaptasi dengan adanya perubahan (Parker, 1995; Atchley, 1989; dalam
35
Perese, 2012). Selama proses terapi reminiscence, individu didorong untuk
berbicara tentang kenangan yang menyenangkan dalam hidup mereka di masa
yang sebelumnya. Saat mereka mengingat pengalaman positif dari masa lalu,
seseorang yang telah memasuki usia tua dapat menggunakan pengetahuan umum,
keterampilan, dan strategi untuk beradaptasi dengan stressor penuaan. Selain itu,
ketika kenangan dibagi dengan orang lain, mereka akan memberikan bukti koping
yang sukses di masa lalu dan membangun identitas individu sebagai individu yang
kompeten (Parker, 1995; Perese, Rohloff, & Ryan, 2008; Watt & Cappeliez, 2000
dalam Perese, 2012).
Penelitian yang dilakukan Chou, Lan, dan Chao (2008) mengenai
Application of individual Reminiscence therapy to decrease anxiety in an elderly
woman with dementia. Hasil yang ditemukan setelah diberikan terapi
reminiscence, responden terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia di
wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan,
memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain, dan jarang menggunakan obat
untuk membantunya tidur. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbaikan
pada emosi negatif dan kecemasan.
Penelitian eksperimental yang dilakukan Fallot (1980 dalam Banon, 2011)
mengenai terapi Reminiscence sebagai metode terapeutik pada 30 wanita dari
berbagai usia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan mood yang
positif setelah mendapat terapi Reminiscence. Cappliez, dkk (2007 dalam Banon,
2011) dalam penelitiannya tentang fungsi reminscence dan regulasi emosi pada
lansia meliputi pemecahan masalah, persiapan kematian, pengalaman kehidupan,
36
kegagalan masa lalu, kebosanan dan memelihara keakraban. Hasil penelitian
menunjukkan adanya perubahan emosi positif pada lansia yang berpengaruh
secara signifikan terhadap kecemasan, depresi dan kualitas hidup. Penelitian
tersebut menunjukan bahwa melalui terapi Reminiscence, lansia dapat lebih
mengekspresikan dirinya sendiri, lebih banyak berinterkasi dengan orang lain,
meningkatkan harga diri, dan meningkatkan mood positif untuk mengatasi kondisi
stres.