strategi pengembangan pendidikan menengah dan … · aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa...

93
STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN PARTISIPASI STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANGKA PASCA PEMEKARAN WILAYAH HARI SUBARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: hoangnga

Post on 27-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH

DAN PARTISIPASI STAKEHOLDER DI KABUPATEN

BANGKA PASCA PEMEKARAN WILAYAH

HARI SUBARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan

Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca

Pemekaran Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Hari Subari

NIM A156110204

RINGKASAN

HARI SUBARI. Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi

Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah. Dibimbing oleh

ERNAN RUSTIADI dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Kabupaten Bangka adalah salah satu wilayah administratif yang terletak di

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dimekarkan pada tahun 2003 menjadi

empat kabupaten terdiri dari satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru. Saat

ini Kabupaten Bangka sedang dalam tahap untuk meningkatkan akses pendidikan

yang luas di jenjang pendidikan menengah karena saat ini nilai Angka Partisipasi

Kasar (APK) pendidikan menengah adalah sebesar 82.29 persen, sedangkan target

nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah secara nasional pada

tahun 2020 adalah sebesar 97 persen.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan pendidikan

menengah dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka setelah pemekaran

wilayah. Metode analisis yang digunakan yaitu: 1) Analisis Regresi Data Panel

untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai angka

partisipasi kasar (APK), 2) Analisis Deskriptif (Metode Diskusi Objektif, Reflektif,

Interpretatif dan Decision atau ORID) untuk menganalisis tingkat partisipasi

stakeholder, dan 3) Analisis Proses Hirarki (AHP) untuk menentukan skala

prioritas pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.

Hasil penelitian menunjukkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK)

pendidikan menengah dipengaruhi oleh jumlah penduduk usia pendidikan

menengah, jumlah ruang kelas pendidikan menengah, dan luas wilayah kecamatan.

Berdasarkan pada delapan tangga Arstein, secara keseluruhan tingkat partisipasi

stakeholder termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Hal ini berarti

bahwa terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab

dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta adanya kesamaan pandangan

antara stakeholder dalam perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan.

Pandangan stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka menilai penyediaan dana jauh lebih penting dibandingkan

peningkatan partisipasi stakeholder dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya,

pengembangan tenaga pendidik serta sarana dan prasarana dinilai jauh lebih

penting dari pengembangan aparatur negara.

(Kata kunci: pengembangan pendidikan, pendidikan menengah, angka partisipasi

kasar, partisipasi stakeholder, Kabupaten Bangka dan pemekaran wilayah).

SUMMARY

HARI SUBARI. The Strategy of Secondary Educational Development and

Stakeholder Participation in Bangka Regency after Regional Proliferation.

Supervised by ERNAN RUSTIADI and FREDIAN TONNY NASDIAN.

Bangka regency is one of the administratif areas in the Province of Bangka

Belitung island and becomes four regency with one old district and three new

districts after the regional proliferation process in 2003. Now, Bangka regency is

in processing to increase the secondary education because gross enrollment rate is

82.29 percent and the national target of gross enrollment rate for secondary

education in 2020 is 97 percent.

This research was aimed to study secondary educational development and

stakeholder participation aftermath regional proliferation in Bangka regency: 1) to

analyze the factors that will affect the gross enrollment rate of secondary

education, 2) to analyze the participation rate of stakeholder in the developmental

of secondary education, and 3) to formulate the strategy for development of

secondary education. The analysis methods used in this study were: regression

analysis of panel data, descriptive analysis such as objective discussion, reflective,

interpretative and decisions, analytical hierarchy process (AHP).

The results showed that the gross enrollment rate was influenced by the the

number of secondary education age population, the number of the classrooms

secondary education, and the land area of district. Based on eight stars Arstein, the

overall participation rate of stakeholders was included in the partnership level.

This meant that there was a mutual agreement for sharing the responsibility and

the same perception between the stakeholders in the planning and decision-

making for the development of education. The views of stakeholders in the

development of secondary education in Bangka regency assess the provision of

funds is much more important than the increased participation of stakeholder and

public participation. Furthermore, the development of teaching staff and facilities

assessed far more important than the development of the state apparatus.

(Keywords: educational development, secondary education, gross enrollment rate,

stakeholder participation, Bangka regency and regional proliferation).

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

MAGISTER SAINS

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN

PARTISIPASI STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANGKA

PASCA PEMEKARAN WILAYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

HARI SUBARI

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Setia Hadi, MS

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi

Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah

Nama : Hari Subari

NIM : A156110204

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ernan Rustiadi, MAgr

Ketua

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Januari 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji Syukur dipanjatkan kepada Allah SWT. atas Ridho-Nya maka

penyusunan hasil penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian yang berjudul

Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di

Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah ini merupakan tahap akhir dalam

menyelesaikan pendidikan.

Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada: Dr Ir Ernan Rustiadi,

MAgr dan Ir Fredian Tonny Nasdian, MS. selaku komisi pembimbing, Prof Dr Ir

Santun RP Sitorus selaku Ketua Program Studi PWL beserta seluruh dosen

pengajar dan staf, H Yusroni Yazid, SE selaku Bupati Bangka, Drs Yunan Helmi,

MSi. (Kepala Dinas) dan Zuniar, SE (Kepala Bidang Perencanaan) pada Dinas

Pendidikan Kabupaten Bangka beserta teman-teman sekantor. Special thank you

to ibunda Holiyah beserta Eddy (first bro) Sil dan Dinda, Eddo (second bro),

ibunda mertua Zubaidah, A’ Irma dan Bang Narto, Yuk Elis dan Bang Toni, My

lovely family: Firdia Agustin (istri) dan Fatih Annafis (anak) untuk doa,

pengorbanan, pengertian, dan dukungannya, serta kepada berbagai pihak yang

telah membantu penyelesaian tesis ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, Februari 2013

Hari Subari

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah

bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila

ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku dan

segala larangan-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku (Yakin bahwa Aku selalu

hadir dikehidupannya), agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

(Q.S. Al-Baqarah: 186)

Ku persembahkan karya ini kepada:

Ayahanda Sopiyan (alm) dan Ibunda Holiyah,

Ibunda mertua Zubaidah,

Adik-adikku tersayang: Eddy Sugara dan Hamdu Santoso,

My Lovely wife (Firdia Agustin) and our hero (Fatih Annafis),

Keluarga besar dan guru-guruku.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 11

Pemekaran Wilayah 11

Pendidikan 13

Partisipasi Stakeholder 16

Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan

Menengah dan Partisipasi Stakeholder 19

METODE PENELITIAN 23

Lokasi dan Waktu 23

Bahan dan Alat 23

Metode dan Teknik Analisis Data 24

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 27

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka 27

Letak Geografis dan Administratif Wilayah 28

Keadaan Alam 30

Profil Sosial Budaya 31

KERAGAAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI ANGKA PARTISIPASI KASAR (APK) 33

Keragaan Pendidikan Menengah 33

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) 36

TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN MENENGAH 45

Bentuk Partisipasi Stakeholder 45

Tingkat Partisipasi Stakeholder 48

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH PASCA PEMEKARAN

KABUPATEN BANGKA 57

Pemekaran Wilayah, Tingkat Partisipasi dan Pendidikan 57

Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah 59

SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 71

RIWAYAT HIDUP 73

DAFTAR TABEL

1 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun

2003 5 2 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun

2011 6 3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008) 26 4 Jarak dari Sungailiat ke daerah lainnya 28 5 Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010 31 6 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum

dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka 33

7 Jumlah gedung sekolah jenjang pendidikan menengah sebelum dan

setelah pemekaran di Kabupaten Bangka 34 8 Daya tampung pendidikan menengah (ruang kelas) sebelum dan setelah

pemekaran Kabupaten Bangka 35 9 Hasil regresi data panel 36 10 Hasil uji korelasi 37 11 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan 45 12 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan 46 13 Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi 48 14 Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan 48 15 Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan

pendapat 50 16 Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik 52 17 Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar 53 18 Perhitungan tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan 55 19 Rangkuman perhitungan tingkat partisipasi stakeholder 55

DAFTAR GAMBAR

1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan 3 2 Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan 3 3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

tahun 2003 5 4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

tahun 2011 6 5 Delapan tangga tingkat partisipasi (Arnstein 1969 dalam Chusnah

2008) 18 6 Lokasi penelitian 23

7 Bagan alir penelitian 24 8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008) 26 9 Lokasi kecamatan sampel 29 10 Adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung

atau nganggong di Pulau Bangka 32 11 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum

dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka 34 12 Sebaran rasio penduduk usia pendidikan menengah pada tahun 2011 38 13 Sebaran rasio daya tampung pendidikan menengah pada tahun 2011 39 14 Sebaran jumlah ruang kelas pendidikan menengah pada tahun 2011 40 15 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 41

16 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 42 17 Sebaran kepadatan penduduk pada tahun 2011 43 18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan 45 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan

kegiatan 47 20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam

pertemuan 49 21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam

berdiskusi dan mengemukakan pendapat 51 22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat

dalam kegiatan fisik 52 23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk

membayar 54 24 Hasil AHP dari level alternatif 59 25 Hasil AHP dari level kriteria 60

26 Hasil AHP dari faktor partisipasi stakeholder 61 27 Hasil AHP dari faktor partisipasi masyarakat 61 28 Hasil AHP dari faktor ketersediaan dana 62 29 Hasil Analisis Proses Hirarki (AHP) 62

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Pemali 71 2 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Mendo Barat 71 3 Rekapitulasi jawaban wawancara mendalam kepada stakeholder sektor

pendidikan tingkat Kabupaten Bangka 71 4 Hasil regresi data panel menggunakan software eviews 6.0 72

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemekaran wilayah semakin marak terjadi sejak diterapkannya sistem

otonomi daerah sebagai implikasi penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan Undang-Undang Otonomi

Daerah. Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang kepada suatu daerah

untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-undang

ini mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus, dapat

berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi

dua daerah atau lebih dengan syarat yang diatur dalam undang-undang. Pemekaran

wilayah diharapkan akan membentuk daerah yang mampu menghidupi kebutuhan

pembangunan secara mandiri. Adapun tujuan pemekaran wilayah sebagaimana

tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui: 1) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2)

Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, 3) Percepatan pelaksanaan

pembangunan perekonomian daerah, 4) Percepatan pengelolaan potensi daerah, 5)

Peningkatan keamanan dan ketertiban, 6) Peningkatan hubungan yang serasi antara

pusat dan daerah.

Menurut Mardiasmo dalam Hermani (2007), otonomi daerah diharapkan

dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam melaksanakan pembangunan

daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin dapat meningkatkan partisipasi

aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan

dengan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: 1) Menciptakan efisiensi dan efektivitas

pengelolaan sumber daya daerah, 2) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan

kesejahteraan masyarakat, 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi

masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan. Selanjutnya Effendy

(2008) menyatakan bahwa pemekaran wilayah yang dilakukan pada beberapa

daerah dimaksudkan agar terjadi peningkatan kemampuan pemerintah daerah,

berupa makin pendeknya rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan

efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.

Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu upaya yang

berkaitan dengan perluasan kesempatan masyarakat untuk memperoleh pendidikan.

Pengembangan pendidikan memegang peranan yang sangat penting karena

peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan akan memberikan kontribusi

terhadap pengembangan sumber daya masyarakat. Wilayah/daerah yang mencapai

keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan penduduknya adalah yang

menanamkan investasi yang relatif besar di bidang pendidikan dan pelatihan.

Gambaran ini memberikan indikasi betapa pentingnya investasi di bidang

pendidikan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan indikator yang memegang

peranan penting sebagai penentu kualitas penduduk di suatu negara/daerah, dapat

diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang akan terkait dengan

indikator lainnya yaitu pendapatan masyarakat (daya beli) dan kesehatan

masyarakat (angka harapan hidup).

2

Todaro (1998) menyatakan bahwa sumber daya manusia dari suatu bangsa

merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial

dan ekonomi dari bangsa yang bersangkutan. Keberhasilan pembangunan di suatu

daerah tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan pengembangan sumber daya

manusia, disamping ketersediaan sumber alam, modal dan teknologi yang dimiliki.

Selain itu juga, terdapat empat unsur yang menjadi modal dalam upaya

pengembangan wilayah yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber

daya infrastruktur, dan sumber daya sosial. Kemudian Iwahashi (2004) menyatakan

bahwa pengembangan suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan

ekonomi penduduknya. Meningkatnya taraf kehidupan ekonomi akan memberikan

kesempatan yang lebih besar bagi penduduk untuk mendapatkan kesempatan

pendidikan yang lebih baik. Penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang

tinggi akan memiliki peran untuk mengisi sektor-sektor pembangunan karena

memiliki nilai keunggulan komparatif yang memadai. Selanjutnya Nasution (2011)

menyatakan bahwa pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan

kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan

prasangka. Pendidikan adalah suatu aktivitas masyarakat yang berfungsi

mentransformasikan keadaan suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.

Pendidikan merupakan wadah untuk membentuk kepribadian dan watak masyarakat

yang berilmu dan berbudaya serta dapat menunjukkan tingkat peradaban suatu

bangsa.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan

dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain

yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah

(MTs.) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah

Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah

yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan

doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Adapun usia jenjang

pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar yaitu 7-12 tahun dan tingkat Sekolah

Menengah Pertama (SMP) yaitu 13-15 tahun, jadi dapat dikatakan bahwa jenjang

pendidikan dasar berusia antara 7-15 tahun. Kemudian untuk jenjang pendidikan

menengah (SMA/SMK/MA/MAK) yaitu 16-18 tahun.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 7 Tahun 2001

Tentang Pembentukan sembilan kecamatan, maka terjadilah pemekaran wilayah

kecamatan di Kabupaten Bangka dengan terbentuknya sembilan kecamatan baru,

yaitu: Kecamatan Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar, Tempilang, Simpang

Teritip, Simpang Katis, Simpang Rimba dan Air Gegas. Selanjutnya, sesuai amanat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 Tanggal 23 Januari 2003 sebagai

implementasi terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terwujudnya

pemekaran Kabupaten Bangka menjadi empat kabupaten yaitu Kabupaten Bangka,

Bangka Tengah, Bangka Selatan dan Bangka Barat. Sembilan kecamatan baru

tersebut, hanya empat kecamatan yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bangka,

yaitu: Kecamatan Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar. Lingkup wilayah

Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 1.

3

Gambar 1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan

Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan memiliki wilayah seluas 11 554

km², terdiri dari 22 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat,

Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar, Toboali, Payung, Simpang Rimba, Lepar

Pongok, Air Gegas, Koba, Pangkalan Baru, Namang, Sungai Selan, Mentok,

Simpang Teritip, Kelapa, Jebus, dan Tempilang. Wilayah Kabupaten Bangka

setelah dimekarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2 Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan

4

Kabupaten Bangka setelah dimekarkan memiliki wilayah seluas 2 950.68

km², terdiri dari 8 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat,

Pemali, Bakam, Riau Silip, dan Puding Besar.

Salah satu indikator kinerja utama yang digunakan untuk menilai

keberhasilan program pendidikan dan juga indikator keberhasilan sistem

pendidikan dalam mendidik anak-anak dan remaja adalah nilai Angka Partisipasi

Kasar (APK) yang dapat juga memberikan gambaran secara umum banyaknya

anak-anak yang sedang atau telah menerima pendidikan pada jenjang tertentu.

Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan indikator yang paling sederhana dalam

mengukur daya serap penduduk usia sekolah untuk masing-masing jenjang

pendidikan. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) dapat diperoleh dengan membagi

jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah siswa), tanpa memperhitungkan

umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia

yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut atau jumlah siswa jenjang

pendidikan tertentu dibagi jumlah penduduk kelompok usia tertentu dikalikan

seratus persen. Makin tinggi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) berarti makin

banyak anak usia sekolah yang bersekolah disuatu daerah, atau makin banyak anak

usia di luar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan

tertentu. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah diperoleh

dengan cara sebagai berikut: jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah

siswa) tingkat SMA/SMK/MA negeri dan swasta dibagi dengan jumlah penduduk

kelompok usia pendidikan menengah (16-18 tahun) kemudian dikalikan dengan

100 persen. Semakin tinggi Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah,

berarti semakin banyak penduduk usia sekolah SMA/SMK/MA yang bersekolah

sehingga akan semakin baik (Kemdiknas 2009).

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Kabupaten

Bangka pada tahun 2011 untuk jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar

(SD) Angka Partisipasi Kasar (APK) sudah mencapai 114.25 persen dan untuk

jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 109.13

persen. Hal ini dapat menjadi gambaran keberhasilan pemerintah Kabupaten

Bangka dalam melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar

Dikdas) sembilan tahun karena nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) ditargetkan

secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar (SD/SMP) sebesar 95 persen sudah

tercapai. Tetapi pada jenjang pendidikan menengah Angka Partisipasi Kasar (APK)

untuk tingkat SMA/SMK/MA di Kabupaten Bangka sebesar 82.29 persen dan

masih jauh untuk target secara nasional pada tahun 2020 sebesar 97 persen.

Salah satu penyebab tingginya nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang

pendidikan dasar dikarenakan ketersediaan prasarana yang sangat memadai. Setiap

desa sudah memiliki Sekolah Dasar (SD) atau sederajat minimal dengan daya

tampung enam ruang kelas. Demikian juga untuk tingkat Sekolah Menengah

Pertama (SMP) atau sederajat minimal tiap kecamatan sudah memiliki dua unit

minimal dengan daya tampung enam ruang kelas. Beda halnya dengan jenjang

pendidikan menengah (SMA/SMK/MA) yang tidak terdapat di setiap desa atau pun

kelurahan. Bahkan di Kabupaten Bangka ketersediaan prasarana pendidikan

menengah terdapat di setiap kecamatan baru dapat terealisasi pada tahun 2009.

Kabupaten Bangka pada waktu dimekarkan tepatnya pada Januari 2003,

memiliki prasarana pendidikan menengah sebanyak 16 unit SMA (6 berstatus

negeri dan 10 berstatus swasta), 10 SMK (2 berstatus negeri dan 5 berstatus swasta)

5

dan 5 MA (1 berstatus negeri dan 4 berstatus swasta) yang tersebar hampir di

seluruh kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2003

No. Nama kecamatan Sekolah (N/S)

Jumlah SMA SMK MA

1 Sungailiat 7 6 1 14

2 Mendo Barat 2 1 2 5

3 Belinyu 4 2 0 6

4 Merawang 1 1 1 3

5 Riau Silip 0 0 1 1

6 Puding Besar 1 0 0 1

7 Pemali 1 0 0 1

8 Bakam 0 0 0 0

Jumlah 16 10 5 31

Sumber: DISDIK (2004)

Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar

(APK) pendidikan menengah tahun 2003 sebagaimana terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

tahun 2003

Tampak pada Gambar 3, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan

menengah untuk Kecamatan Riau Silip, Merawang, Puding Besar dan Mendo Barat

masih sangat rendah yaitu kurang dari 20 persen. Bahkan untuk Kecamatan Bakam

masih nol persen karena belum memiliki prasarana pendidikan menengah di

kecamatan tersebut. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

paling tinggi yaitu Kecamatan Sungailiat yaitu sebesar 114.58 persen. Kondisi ini

menggambarkan tidak meratanya ketersediaan prasarana pendidikan menengah di

tiap kecamatan.

6

Tampak pada Tabel 2, menggambarkan kondisi prasarana pendidikan

menengah sudah hampir tersebar merata diseluruh kecamatan, namun masih ada

satu kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah yaitu

Kecamatan Bakam.

Kemudian, setelah delapan tahun pemekaran atau tepatnya pada tahun 2011,

Kabupaten Bangka telah memiliki 15 SMA (8 berstatus negeri dan 7 berstatus

swasta), 7 MA (1 berstatus negeri dan 6 berstatus swasta) serta 9 SMK (4 berstatus

negeri dan 5 berstatus swasta) dan sudah terdapat atau tersebar merata diseluruh

kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2011

No. Nama kecamatan Sekolah (N/S)

Jumlah SMA SMK MA

1 Sungailiat 6 5 0 11

2 Mendo Barat 1 1 3 5

3 Belinyu 3 3 0 6

4 Merawang 1 0 2 3

5 Riau Silip 1 0 1 2

6 Puding Besar 1 0 0 1

7 Pemali 1 0 1 2

8 Bakam 1 0 0 1

Jumlah 15 9 7 31

Sumber: DISDIK (2012)

Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar

(APK) pendidikan menengah tahun 2011 atau delapan tahun setelah pemekaran

Kabupaten Bangka sebagaimana terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

tahun 2011

Tampak pada Gambar 4, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan

menengah untuk Kecamatan Pemali, Mendo Barat dan Belinyu mengalami

7

peningkatan yaitu sudah di atas 85 persen. Bahkan untuk Kecamatan Belinyu sudah

mencapai di atas 90 persen. Demikian juga halnya untuk Kecamatan Riau Silip,

Puding Besar dan Merawang yang sudah berkisar di atas 70 persen. Kecamatan

yang memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah paling

rendah adalah Kecamatan Bakam yang masih berkisar di bawah 70 persen, yaitu

54,12 persen.

Terwujudnya pemekaran Kabupaten Bangka menjadi empat kabupaten

dengan satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru menarik minat penulis untuk

mengadakan penelitian bagaimana strategi pengembangan pendidikan menengah

dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka pasca pemekaran wilayah. Hal ini

perlu dilakukan karena bukan suatu hal yang mustahil setelah dimekarkan,

pengembangan pendidikan menengah mengalami kemunduran ataupun jalan

ditempat sehingga berpengaruh terhadap daya serap pendidikan menengah yang

akan mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan

menengah di Kabupaten Bangka.

Perumusan Masalah

Salah satu kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada

pemerintah daerah dalam sistem otonomi daerah yaitu urusan bidang pendidikan,

khususnya pendidikan dasar dan pendidikan menengah karena urusan pendidikan

tinggi masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam konteks pemekaran

wilayah diharapkan pelayanan pendidikan akan lebih mempercepat tersedianya

sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan ilmiah sehingga

dapat berperan dalam pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya.

Pemekaran wilayah telah memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar

bagi masyarakat dan pemerintah melalui stakeholder untuk berpartisipasi dalam

perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan daerah karena

tranformasi sentralisasi menjadi desentralisasi mengharuskan keterlibatan

masyarakat dalam pembangunan. Pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003

merupakan implikasi dari pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada

tahun 2001. Setelah dimekarkan tentu saja ruang lingkup wilayah menjadi lebih

kecil namun hal ini harus menjadi motivator bagi pemerintah daerah untuk berbuat

lebih baik dalam hal pelayanan masyarakat.

Realita sekarang ketersediaan prasarana pendidikan menengah terutama untuk

pendidikan menengah kejuruan belum terdistribusi secara merata. Masih ada empat

kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah kejuruan.

Demikian juga untuk sarana penunjangnya, keberadaan laboratorium dengan

peralatan yang lengkap masih menjadi sarana penunjang yang langka bila

dibandingkan dengan sekolah jenjang pendidikan menengah yang berada di

Kecamatan Sungailiat.

Kondisi tersebut diatas menyebabkan terjadinya mobilitas peserta didik

karena harus melanjutkan pendidikan menengah ke luar tempat tinggalnya namun

status kependudukannya tetap terdaftar sebagai penduduk tempat tinggal asalnya.

Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perhitungan angka partisipasi sekolah

peserta didik. Tentu saja yang dirugikan adalah kecamatan yang belum memiliki

8

prasarana pendidikan memadai karena sebagian peserta didiknya melanjutkan

pendidikan menengah ke kecamatan lain.

Dari permasalahan diatas, petanyaan penelitian dalam karya ilmiah ini yaitu:

1 Bagaimana dampak pemekaran Kabupaten Bangka terhadap nilai Angka

Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah?

2 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar

(APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?

3 Bagaimana tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?

4 Bagaimana persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan

menengah di Kabupaten Bangka?

5 Bagaimana arahan strategi pengembangan pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pemekaran Kabupaten Bangka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan

dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Upaya memperluas dan memberikan

kemudahan akses pendidikan bagi masyarakat, percepatan pembangunan

infrastruktur pendidikan seharusnya menjadi prioritas untuk ditingkatkan karena

pemerintah daerah dapat lebih fokus untuk membangun dalam ruang lingkup

wilayah yang tidak terlalu luas serta alokasi dana bantuan pembangunan

infrastruktur pendidikan dari pemerintah pusat akan langsung dikelola oleh

pemerintah kabupaten masing-masing. Namun, pembangunan infrastruktur

pendidikan harus diikuti dengan peningkatan daya serap untuk meningkatkan angka

partisipasi sekolah sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan:

1 Menganalisis tingkat Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

di Kabupaten Bangka pasca pemekaran

2 Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai Angka

Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

3 Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

4 Menganalisis persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan

menengah di Kabupaten Bangka dan merumuskan arahan strategi

pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi

pendidikan menengah sehingga menjadi bahan masukan dalam menyusun rencana

strategis pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.

Ruang Lingkup Penelitian

Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta kendala yang

dihadapi, menimbulkan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu :

9

1 Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung,

2 Jenjang pendidikan menengah (SMA, SMK, MA negeri/swasta),

3 Periode waktu analisis yaitu tahun 1998, 2000 dan 2003 (sebelum pemekaran)

serta 2009 sampai dengan 2011 (setelah pemekaran).

11

TINJAUAN PUSTAKA

Pemekaran Wilayah

Pengertian, maksud dan tujuan

Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit

geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponennya

memiliki arti di dalam pendeskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya

pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi

seringkali bersifat dinamis. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi

antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu

batasan unit geografis tertentu.

Terlepas dari unsur politis yang menyelimutinya, bahwa tujuan mulia

dilakukannya pembangunan daerah dalam konteks pemekaran wilayah adalah

kesejahteraan. Pemekaran wilayah juga akan mewujudkan birokrasi pemerintahan

menjadi lebih efektif dan efisien. Secara umum, pemekaran wilayah merupakan

suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan

meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Menurut Juanda (2007),

tujuan ideal dari pemekaran wilayah adalah dapat diwujudnyatakannya melalui

peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan

pemerintahan yang efektif dan efisien, dapat meningkatkan pelayanan dasar publik,

menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat serta dapat akses langsung

pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dengan mudah dijangkau oleh

masyarakat pedesaan maupun kota.

Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru

pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan

pada masyarakat. Effendy (2008) menyatakan bahwa pemekaran wilayah

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: 1)

peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2) percepatan pertumbuhan kehidupan

demokrasi, 3) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian, 4) percepatan

pengelolaan potensi suatu daerah, dan 5) peningkatan keamanan dan ketertiban.

Kemudian Saefulhakim dalam Agusniar (2006) menyatakan bahwa terciptanya

wilayah administrasi baru, secara logika harus dapat menciptakan hal-hal sebagai

berikut: 1) mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan

kewenangan lebih kepada masyarakat lokal untuk mengelola potensi sumberdaya

wilayah secara arif, 2) partisipasi dan rasa memiliki dari masyarakat meningkat, 3)

efisiensi, produktivitas serta pemeliharaan kelestarianya, 4) kumulasi dari nilai

tambah secara lokal dan kesejahteraan masyarakat masyarakat meningkat, 5)

prinsip keadilan dan kesejahteraan yang berkeadilan lebih tercipta, sehingga

ketahanan nasional semakin kuat. Hal ini perlu diupayakan agar tidak

mengakibatkan kesenjangan yang signifikan dimasa mendatang. Selanjutnya dalam

suatu usaha pemekaran wilayah akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan

kebutuhan kolektif semua warga wilayah baru. Ruang publik baru ini akan

mempengaruhi aktivitas seseorang atau masyarakat sehingga merasa diuntungkan

karena pelayanannya yang lebih maksimal. Akhirnya pemekaran wilayah ini

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya

secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan

12

antar sektor, memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat

meningkatkan kualitas hidup. Riyadi dan Bratakusumah (2004) berpendapat bahwa pengembangan wilayah

merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan

kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu

wilayah. Tentu saja upaya ini sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya

dan keadaan geografis yang ada disetiap wilayah sangat berbeda-beda, sehingga

diperlukan perlakuan yang berbeda-beda pula dan pengembangan wilayah bertujuan

untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Beberapa konsep

pengembangan wilayah, antara lain: 1) mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana

konsep ini bertujuan untuk menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk

membentuk struktur ruang yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah

non-metropolitan, 2) membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah

yang memiliki karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita

yang rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat, 3)

memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju pusat-

pusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan maka telah

memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Hal ini diharapkan akan dapat

mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.

Dasar Hukum dan Syarat Teknis Pemekaran Wilayah

Payung hukum terjadinya pemekaran wilayah yaitu Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999, kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 yang mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II

tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Oleh karena itu, masalah

pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah.

Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu

daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum

dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan bahwa

undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara

lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan

menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah,

pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan,

dokumen, serta perangkat daerah. Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan

dalam pasal yang sama pada ayat (3) yang menyatakan bahwa pembentukan daerah

dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan

atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Kemudian ayat (4)

menyebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas

minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menyatakan bahwa pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila

telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi,

syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD

kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi

bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi

dari pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk

kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya

persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan

13

DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menetapkan syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi

faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di

bawah ini, antara lain: 1) kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan

usaha perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota,

yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan

daerah sendiri, 2) potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya

yang dapat dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari

lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana

transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan, 3) sosial

budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola

budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari tempat

peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana olahraga, 4)

sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat

diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi kemasyarakatan, 5)

kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah, 6) luas daerah,

merupakan luas tertentu suatu daerah, 7) pertahanan dan keamanan merupakan

kesiapan system pertahanan dan kondisi keamanan yang kondusif, 8) faktor-faktor

lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, meliputi paling sedikit

5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan

untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi

calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Pembentukan daerah otonom baru tidak boleh mengakibatkan daerah induk

menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik

daerah yang dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan

otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Oleh karena

itu dalam usulan pembentukan daerah baru harus dilengkapi dengan kajian daerah.

Pendidikan

Sebagaimana menurut Conyers (1994) bahwa keuntungan investasi pelayanan

sosial tidaklah dapat diukur dengan kriteria ekonomis, seperti naiknya pengeluaran

atau pendapatan keuangan, walaupun mungkin mempunyai beberapa dampak tak

langsung terhadap pembangunan ekonomi. Pendidikan, misalnya merupakan

investasi yang meningkat mungkin dapat dicarikan alasan bahwa di satu pihak

dianggap sebagai cara mencapai perkembangan ekonomi melalui tenaga-tenaga

terampil atau di lain pihak pendidikan merupakan hak dasar yang berlaku bagi

rakyat secara keseluruhan. Perencanaan pendidikan akan semakin erat kaitannya

dengan perencanaan dan sumber tenaga kerja yang didasarkan pada ramalan akan

kebutuhan berbagai jenis kategori tenaga terampil serta adanya keyakinan bahwa

kebutuhan ini akan terpenuhi, namun apabila pendidikan dilihat sebagai bentuk hak

sosial yang mendasar, maka adalah mungkin memperdebatkan kelengkapan sumber

daya yang hampir tak terbatas, paling tidak seluruh penduduk telah memperoleh

kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan tertentu.

14

langsung terhadap pembangunan ekonomi. Pendidikan, misalnya merupakan

investasi yang meningkat mungkin dapat dicarikan alasan bahwa di satu pihak

Infrastruktur Pendidikan

Menurut Amirin (2011), bahwa infrastruktur pendidikan disebut juga sarana

dan prasarana pendidikan. Kerap kali istilah itu digabung begitu saja menjadi

sarana-prasarana pendidikan. Dalam bahasa Inggris sarana dan prasarana itu disebut

dengan facility (facilities). Jadi, sarana dan prasarana pendidikan akan disebut

educational facilities. Sebutan itu jika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia akan

menjadi fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan artinya segala sesuatu (alat dan

barang) yang memfasilitasi (memberikan kemudahan) dalam menyelenggarakan

kegiatan pendidikan. Definisi secara umum tentang sarana pendidikan sebagai

segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam proses pendidikan dan

prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara langsung

digunakan dalam proses pendidikan. Sarana pendidikan adalah segala macam alat

yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, sementara prasarana pendidikan

tidak digunakan dalam proses atau kegiatan belajar-mengajar. Erat terkait dengan

sarana dan prasarana pendidikan itu, dalam daftar istilah pendidikan dikenal pula

sebutan alat bantu pendidikan (teaching aids), yaitu segala macam peralatan yang

dipakai guru untuk membantunya memudahkan melakukan kegiatan mengajar. Alat

bantu pendidikan ini yang pas untuk disebut sebagai sarana pendidikan. Jadi, sarana

pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan guru untuk

memudahkan penyampaian materi pelajaran.

Selanjutnya Amirin (2011) juga menyatakan jika dilihat dari sudut murid,

sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan murid untuk

memudahkan mempelajari mata pelajaran dan prasarana pendidikan adalah segala

macam peralatan, kelengkapan, dan benda-benda yang digunakan guru (dan murid)

untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan. Perbedaan sarana pendidikan dan

prasarana pendidikan adalah pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan

untuk memudahkan penyampaian/mempelajari materi pelajaran sedangkan

prasarana pendidikan untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan

Terdapat lima faktor yang harus ada pada proses belajar mengajar yaitu ; guru,

murid, tujuan, materi dan waktu. Ketidakadanya salah satu dari faktor tersebut,

maka proses belajar mengajar tidak mungkin terjadi. Walaupun sudah memenuhi

lima faktor tersebut, proses belajar mengajar terkadang memperoleh hasil yang

tidak maksimal. Hasil yang maksimal dapat ditingkatkan apabila didukung dengan

sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Bafadal (2004) menyatakan bahwa

prasarana pendidikan adalah semua perangkat perlengkapan dasar yang secara tidak

langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.

Fungsi dan Tujuan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional pada pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

15

mencerdaskan dan mendewasakan anak didik. Dalam pengertian sempit,

pendidikan berarti pembuatan atau proses pembuatan untuk memperoleh

pengetahuan. Menurut Marimba (1981) bahwa pendidikan merupakan suatu

bimbingan atau pimpinan dilakukan secara sadar yang dilakukan oleh seorang

pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak menuju terbentuknya

kepribadian prima. Upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah untuk

menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya,

demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam

bidang ilmu pengetahuan teknologi dan seni, budaya dan agama. Proses pendidikan

yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang sejalan dengan upaya

pencapaian masyarakat madani. Dampak dari proses perubahan dunia yang cepat

berdampak pada perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat

berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Pendidikan memegang peranan

penting dalam membentuk dan menciptakan masyarakat sesuai dengan yang

diharapkan. Keberadaan pendidikan, apa yang dicita-citakan masyarakat dapat

diwujudkan melalui anak didik sebagai generasi masa depan. Adapun tujuan

pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Sastrawijaya dalam Idi (2011) adalah

mencakup kesiapan jabatan, keterampilan memecahkan masalah, penggunaan

waktu senggang secara membangun, dan sebagainya karena tiap siswa/anak

mempunyai harapan yang berbeda. Tujuan pendidikan secara umum menyangkut

kemampuan luas yang akan membantu siswa untuk berpartisipasi dalam

masyarakat.

Lebih jauh, ada sejumlah fungsi dan peranan pendidikan bagi suatu

masyarakat, seperti diungkapkan oleh Wuradji dalam Idi (2011): 1) fungsi

Sosialisasi yaitu proses reproduksi budaya dimaksudkan upaya mendidik anak-anak

untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah

mapan adalah menjadi tugas sekolah. Masa-masa permulaan pendidikan merupakan

masa sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan serta pengadopsian

nilai-nilai ini, 2) fungsi kontrol sosial yaitu sekolah dalam menanamkan nilai-nilai

dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus berfungsi sebagai

lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme fungsi kontrol sosial, 3)

fungsi pelestarian budaya yaitu sekolah disamping mempunyai tugas mempersatu

budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga perlu melestarikan budaya-budaya

daerah yang masih layak dipertahankan, 4) fungsi seleksi, latihan dan

pengembangan tenaga kerja yaitu sekolah mengajarkan bagaimana menjadi

seseorang yang akan memangku jabatan tertentu, patuh terhadap pimpinan, rasa

tanggungjawab akan tugas, disiplin mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang

telah ditetapkan. Sekolah juga mendidik agar seseorang dapat menghargai harkat

dan martabat manusia, memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan

memperhatikan segala bakat yang dimilikinya demi keberhasilan dalam tugasnya,

5) fungsi pendidikan dan perubahan sosial yaitu pendidikan mempunyai fungsi

untuk mengadakan perubahan sosial, memiliki beberapa fungsi: (a) melakukan

reproduksi budaya, (b) difusi budaya, (c) mengembangkan analisis kultur terhadap

kelembagaan-kelembagaan tradisional, dan (d) melakukan perubahan yang lebih

mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan, 6) fungsi

sekolah dan masyarakat yaitu hubungan timbal balik pendidikan di sekolah dan

16

masyarakat sangat besar manfaat dan artinya bagi kepentingan pembinaan

dukungan moral, materiil, dan pemanfaatan masyarakat sebagai sumber belajar.

Partisipasi Stakeholder

Pengertian partisipasi

Terdapat banyak definisi mengenai partisipasi diantaranya adalah sebagai

berikut: 1) bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan

dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas

saja, yang berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya (Allport dalam Sastropoetro

1988:12), 2) partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan

emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk

memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut

bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Davis dalam Sastropoetro

1988:13), 3) partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam

merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil

pembangunan (Soetrisno 1995:207)

Menurut FAO dalam Mikkelsen (2003:64): 1) partisipasi adalah kontribusi

sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan

keputusan, 2) partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-

proyek pembangunan, 3) partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang

mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan

menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu, 4) partisipasi adalah

pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan

persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi

mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social, 5) partisipasi adalah

keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri,

6) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan,

dan lingkungan mereka.

Schubeller (1996:3) menyatakan, bahwa partisipasi tidak dapat dipisahkan

dari pemberdayaan dan menurutnya ada 4 pendekatan strategi partisipasi yaitu: 1)

community–based strategies merupakan bentuk paling dasar dari pembangunan

partisipatif, 2) area-based strategies merupakan bentuk umum dari program-

program pemerintah, 3) functionally-based strategies merupakan struktur

fungsional dari sistem infrastruktur sebagai kerangka referensi, 4) process-based

strategies merupakan seluruh proses manajemen infrastruktur sebagai kerangka

referensi.

Pengertian tentang partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang,

baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangan kepada

proses pembuatan keputusan mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi orang

yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya

(Talizuduhu 1990:103 dalam Chusnah 2008). Selanjutnya Korten dalam

Khadiyanto (2007: 28-29) mendefinisikan partisipasi sebagai suatu tindakan yang

mendasar untuk bekerjasama yang memerlukan waktu dan usaha, agar menjadi

mantap dan hanya berhasil baik dan terus maju apabila ada kepercayaan. Lain

halnya dengan definisi partisipasi menurut Suherlan dalam Khadiyanto (2007: 29).

17

Menurutnya, partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat

dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek

pemerintah.

Pengertian stakeholder

Istilah stakeholder sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh

banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagai ilmu atau konteks,

misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam,

sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas

istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi

keputusan. Stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku,

atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.

Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu

yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan

tertentu. Menurut Hatry dalam Rosyada (2004:276) menyatakan bahwa stakeholder

adalah salah satu kategori masyarakat sekolah, yang merupakan unsur-unsur

sekolah yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka proses persekolahan

tersebut menjadi terganggu. Definisi ini lebih diperjelas dalam Kamus Manajemen

Mutu yang menyatakan bahwa stakeholder adalah kelompok atau individu di dalam

atau luar organisasi yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi oleh pencapaian

misi, tujuan dan strategi organisasi biasanya terdiri atas pemegang saham,

karyawan, pelanggan, pemerintah dan peraturannya.

Tingkatan dalam partisipasi

Arstein (1969) dalam Chusnah (2008), menyatakan delapan tangga tingkat

partisipasi yaitu: kesatu, manipulation (manipulasi). Tingkat partisipasi ini

merupakan tingkatan paling rendah yang memposisikan masyarakat hanya dipakai

sebagai pihak yang memberikan persetujuan dalam berbagai badan penasehat.

Dalam hal ini tidak ada partisipasi masyarakat yang sebenarnya dan tulus, tetapi

diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi dari pihak penguasa. Kedua,

theraphy (terapi/penyembuhan) yaitu berkedok melibatkan partisipasi masyarakat

dalam perencanaan, para ahli memperlakukan anggota masyarakat seperti proses

penyembuhan pasien dalam terapi. Meskipun masyarakat terlibat dalam kegiatan

namun pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mendapatkan

masukan dari masyarakat demi kepentingan pemerintah. Ketiga, informing

(informasi) yaitu memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak

mereka, tanggungjawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama yang

sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Meskipun yang sering

terjadi adalah pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kekuasaan

kepada masyarakat, tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik

atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam situasi saat itu terutama

informasi diberikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit

kesempatan untuk mempengaruhi rencana. Keempat, consultation (konsultasi) yaitu

mengundang opini masyarakat, setelah memberikan informasi kepada mereka,

dapat merupakan langkah penting dalam menuju partisipasi penuh dari masyarakat.

Meskipun telah terjadi dialog dua arah, akan tetapi cara ini tingkat keberhasilannya

rendah karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan

diperhatikan. Metode yang sering seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi.

18

Meskipun masyarakat terlibat digunakan adalah survei, pertemuan lingkungan

masyarakat, dan dengar pendapat dengan masyarakat.

Selanjutnya, kelima, placation (penentraman/perujukan) yaitu pada tingkat ini

masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih

tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya beberapa

anggota masyarakat dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-

badan kerjasama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya

wakil dari berbagai instansi pemerintah. Walaupun usulan dari masyarakat

diperhatikan sesuai dengan kebutuhannya, namun suara masyarakat seringkali tidak

didengar karena kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit

dibanding anggota dari instansi pemerintah. Keenam, partnership (kerjasama) yaitu

pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi

antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Hal ini disepakati

bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan

keputusan serta pemecahan berbagai masalah. Terdapat kesamaan kepentingan

antara pemerintah dan masyarakat. Ketujuh, delegated power (pelimpahan

kekuasaan) yaitu pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk

memberikan keputusan dominan pada rencana atau program tertentu. Upaya

memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan harus mengadakan tawar

menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas.

Jadi masyarakat diberi wewenang untuk membuat keputusan rencana dan rencana

tersebut kemudian ditetapkan oleh pemerintah, dan kedelapan, citizen control

(kontrol masyarakat) yaitu pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk

mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka.

Mereka mempunyai kewenangan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-

pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Hal ini terdapat usaha bersama

warga bisa langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapat

bantuan atau pinjaman tanpa melalui pihak ketiga. Jadi masyarakat memiliki

kekuasaan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program yang

dibuatnya. Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arstein (1969), sebagaimana

terdapat pada Gambar 5.

Gambar 5 Delapan tangga tingkat partisipasi (Arnstein 1969 dalam Chusnah 2008)

19

Tampak pada Gambar 5, pada tingkat 1 dan 2 disimpulkan sebagai tingkat

yang bukan partisipasi atau non participation. Tingkat 3, 4, dan 5 disebut tingkatan

penghargaan/ tokenisme atau Degree of Tokenism. Tingkat 6, 7, 8 disebut tingkatan

kekuatan masyarakat atau Degree of Citizen Power.

Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan

Menengah dan Partisipasi Stakeholder

Analisis Regresi Data Panel

Menurut Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data

longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series.

Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap

banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan

dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu

metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin

dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section.

Data panel merupakan analisis untuk menjelaskan hubungan antara peubah

respon (variabel dependen) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lebih dari

satu prediktor (variabel independen). Data panel (longitudinal data) adalah data

yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Data cross section yang sama

diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah

observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah

observasi = N x T). Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit

cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan

time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan

menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time

series murni. Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik

maupun teori ekonomi. Manfaat penggunaan panel data adalah sebagai berikut: 1)

mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini melakukan estimasi secara

eksplisit dengan memasukkan unsur heterogenitas individu, 2) memberikan data yang

informatif, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom,

sehingga diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien, 3) mampu mengidentifikasi dan

mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section

murni atau time series murni, 4) dapat menguji dan membangun model prilaku yang

lebih kompleks, 5) lebih baik untuk studi dynamic of adjustments karena berkaitan

dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam

mempelajari perubahan dinamis. Berdasarkan keunggulan tersebut maka tidak harus

dilakukan pengujian asumsi klasik dalam model data panel (Verbeek 2000; Gujarati

2006; Wibisono 2005; Aulia 2004, dalam Shochrul dan Ajija 2011 ).

Terdapat tiga macam estimasi model yang dapat digunakan dalam analisis

regresi data panel yaitu model common effects, fixed effects, dan random effects.

Pada dasarnya, perbedaan yang mendasari ketiganya adalah keberadaan efek

spesifik individu (αi). Keberadaan efek spesifik individu dan korelasinya dengan

variabel penjelas yang teramati (Xit) sangat menentukan spesifikasi model yang

akan digunakan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

commone effect yang hanya dengan mengkombinasikan data time series dan cross

section. Penggabungan kedua jenis data tersebut dapat menggunakan metode OLS

20

untuk mengestimasi model data panel. Pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi

individu maupun waktu, dan dapat diasumsikan bahwa perilaku data antar wilayah

sama dalam berbagai rentang waktu.

Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t) digunakan untuk menguji

parameter secara parsial, dengan kata lain untuk mengetahui apakah variabel

independent (x) berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap variabel dependent

(y).

H0 : βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5,6

H1 : βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5,6

Tolak H0 jika p-value (masing-masing koefisien x) < alpha (0,05).

Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) digunakan untuk menguji

kelayakan model dan menguji parameter regresi secara keseluruhan :

H0 : βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model tidak layak digunakan)

H1 : βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model layak digunakan)

Tolak H0 jika p-value (prob F-statistic) < alpha (0,05).

Uji korelasi digunakan untuk menentukan terjadi atau tidaknya

multikolinearitas. yaitu apabila nilai R-square yang tinggi namun banyak variabel

yang tidak signifikan maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas, dan demikian

juga sebaliknya. Cara lain yaitu dengan melihat angka korelasi. Apabila korelasi

antara variabel penjelas tidak lebih besar dibanding korelasi variabel terikat dengan

masing-masing variabel penjelas, maka dapat dikatakan tidak terdapat masalah

yang serius sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila angka korelasi lebih kecil

dari 0,8 maka dapat dikatakan telah terbebas dari masalah multikolinearitas

(Gujarati 2004).

Metode Deskriptif

Menurut Walpole (1992) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah metode

yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga

memberikan informasi yang berguna Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi

upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan, yang terkandung

dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana,

sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.

Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan gagasan, dari hasil

diskusi dengan isu yang disepakati, kemudian melakukan refleksi atas isu dan

peristiwa yang muncul dan dilakukan suatu pengambilan keputusan. Adapun

penarikan sampel digunakan metode pengambilan sampel gugus bertahap

(multistage random sampling).

Tahapan yang dilakukan dalam metode ini sebagai berikut: 1) objective,

yaitu menyampaikan data-data/fakta-fakta/permasalahan yang ada, 2) reflective,

yaitu melihat refleksi/reaksi responden terhadap data-data/fakta-fakta yang telah

disampaikan, 3) interpretative, yaitu menggali/mengundang pemikiran kritis

responden terhadap data-data/fakta-fakta yang disampaikan, 4) decision, yaitu

menentukan keputusan/saran/langkah-langkah yang akan dilakukan untuk

mengatasi permasalahan yang ada.

Analisis data dilakukan dengan menghubungkan antara satu variabel dengan

variabel yang lain. Tingkat partisipasi stakeholder akan diukur dengan

menggunakan analisis deskriptif kuantitatif melalui penjumlahan skor dari indikator.

Indikator yang digunakan yaitu bentuk partisipasi yang didapatkan dari hasil

21

analisis sebelumnya. Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi

yang digunakan oleh Arstein (1969), yaitu delapan tangga tingkatan partisipasi.

Delapan tangga tersebut diberi skor masing-masing berkisar antara 1-8.

Berdasarkan hasil penjumlahan skor tersebut akan didapatkan tingkat partisipasi.

Analisis Proses Hirarki (Analytic Hierarchy Process atau AHP)

Menurut Falatehan (2009), untuk memecahkan persoalan dengan analisis

logis eksplisit, ada tiga prinsip yaitu prinsip menyusun hirarki, menetapkan prioritas

dan konsistensi. Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk

menelaah kebijakan adalah AHP (Analytical Hierarchy Process) yang

dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1970-an. AHP merupakan suatu teori

pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat

tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan

berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006). AHP juga merupakan suatu

teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat

tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan

berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006).

Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama

berupa persepsi stakeholder, kemudian diberi bobot mengunakan skala

perbandingan (Saaty 2008). Komponen-komponen utama penelitian dibuat urutan

secara hierarki lalu diberi nilai (skoring) dalam angka kepada setiap bagian yang

menunjukkan penilaian subjektif. Tahap selanjutnya penilaian tersebut kemudian

disintesiskan (dengan eigen vector) guna menentukan variabel mana yang

mempunyai prioritas tertinggi. Model ini banyak digunakan pada pengambilan

keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan

prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Aplikasi

AHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu : 1) choice (pilihan),

yang merupakan evaluasi atau penetapan prioritas dari berbagai alternatif tindakan

yang ada, dan 2) forecasting (peramalan), yaitu evaluasi terhadap berbagai

alternatif hasil di masa yang akan datang (Saaty dan Niemira 2006).

Beberapa langkah berikut ini dalam menggunakan AHP yaitu: 1)

Menentukan goal (tujuan) dan menentukan kriteria atau sub kriteria berdasarkan

tujuan, 2) Menyusun kriteria ke dalam hirarki dari level teratas (tujuan dari sudut

pandang pembuat keputusan) melalui level menengah hingga level terbawah, yang

biasanya memuat beberapa alternatif, 3) Menyusun matriks perbandingan

berpasangan (ukuran n x n) untuk masing-masing level bawah dengan satu matrik

untuk setiap unsur dalam level menengah di atasnya dengan menggunakan skala

relative, dan 4) Pengujian konsistensi dengan mengambil rasio konsistensi (CR)

dari indeks konsistensi (CI) dengan nilai yang tepat. Nilai CR dapat diterima jika,

tidak melebihi 0.10. Jika nilai CR > 0.10, berarti matriks tersebut tidak konsisten

(Saaty 1980).

23

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bangka, Provinsi kepulauan Bangka

Belitung, dengan luas wilayah 2 950.68 km² atau 295.068 ha persegi terdiri dari 8

kecamatan, 9 kelurahan dan 60 desa. Lokasi penelitian sebagaimana terdapat pada

Gambar 6.

Gambar 6 Lokasi penelitian

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

pertimbangan bahwa Kabupaten Bangka merupakan salah satu kabupaten yang

dimekarkan pada tahun 2003 sebagai implikasi dari pembentukan Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung yang terbentuk pada tahun 2000.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Peta administrasi wilayah

Kabupaten Bangka, Profil pendidikan Kabupaten Bangka 1998/1999, 2000/2001

dan 2003/2004 (sebelum pemekaran) serta 2009/2010 sampai dengan 2011/2012

(setelah pemekaran) dan Bangka Dalam Angka 2011.

24

Untuk keperluan analisis data, perangkat lunak yang digunakan dalam

pelaksanaan penelitian ini adalah ArcGis ver. 9.3, Eviews 6.0, Expert Choice 11,

dan Ms. Office 2010.

Tahapan penelitian mulai dari persiapan sampai pengolahan data terdapat

pada Gambar 7.

Gambar 7 Bagan alir penelitian

Metode dan Teknik Analisis Data

Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan primer. Data sekunder

diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Badan Pusat Statistik (BPS)

Kabupaten Bangka, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)

Kabupaten Bangka, laporan hasil studi terdahulu, serta instansi lainnya yang dapat

membantu ketersedian data, terdiri dari: 1) jumlah penduduk usia pendidikan

menengah, 2) jumlah daya tampung ruang kelas jenjang pendidikan menengah, dan

3) luas wilayah kecamatan. Adapun profil pendidikan yang dipakai yaitu tahun

1998, 2000 dan 2003 (sampel tahun sebelum pemekaran wilayah) serta tahun 2009

sampai dengan 2011 (sampel tahun setelah pemekaran wilayah).

Data primer diperoleh dengan melakukan kegiatan wawancara langsung

menggunakan kuesioner dan diajukan kepada responden (para stakeholder).

Metode pengumpulan data: 1) wawancara terstruktur menggunakan kuesioner

kepada responden, 2) wawancara mendalam dengan informan, dan 3) data

sekunder. Responden dan informan ditentukan secara purposive yaitu stakeholder

bidang pendidikan tingkat Kabupaten Bangka, kecamatan sampel yaitu: Kecamatan

Mendo Barat yang mewakili kecamatan tipikal kota dan Kecamatan Pemali yang

mewakili kecamatan tipikal desa.

Tahap Persiapan :

1. Pemilihan Topik dan Judul Penelitian

2. Penyusunan Proposal Penelitian

3. Studi Pustaka

4. Pemilihan Metode untuk Analisis Data

Tahap Persiapan :

1. Pemilihan Topik dan Judul Penelitian

2. Penyusunan Proposal Penelitian

3. Studi Pustaka

4. Pemilihan Metode untuk Analisis Data

Tahap Pengumpulan Data :

- Data Primer :

kuesioner/wawancara/ studi pustaka

- Data Sekunder :

studi pustaka

Tahap Pengumpulan Data :

- Data Primer :

kuesioner/wawancara/ studi pustaka

- Data Sekunder :

studi pustaka

Tahap

Analisis Data

Tahap

Analisis Data

Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap angka partisipasi kasar (APK)

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(ANALISIS REGRESI DATA PANEL)

Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap angka partisipasi kasar (APK)

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(ANALISIS REGRESI DATA PANEL)

Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder

dalam pengembangan pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka

(METODE DISKUSI (Objectif,

Replectif, Interpretatif, Decision atau ORID))

Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder

dalam pengembangan pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka

(METODE DISKUSI (Objectif,

Replectif, Interpretatif, Decision atau ORID))

Merumuskan arahan strategi pengembangan

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(ANALISIS HIERARCHY PROCESS)

Merumuskan arahan strategi pengembangan

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(ANALISIS HIERARCHY PROCESS)

25

Analisis Regresi Data Panel

Analisis regresi data panel ini dilakukan untuk menjawab tujuan pertama dari

penelitian ini, yaitu menganalisis tingkat Angka Partisipasi kKasar (APK)

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran.

Hubungan indeks angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan

menengah terhadap variabel-variabel bebas terlihat dalam bentuk persamaan

berikut:

dimana :

= Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

a = Konstanta

= Koefisien jumlah penduduk usia pendidikan menengah

= Koefisien jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah

= Koefisien luas wilayah kecamatan

= Jumlah penduduk usia pendidikan menengah

= Jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah

= Luas wilayah kecamatan

D = Peubah Dummy pemekaran wilayah

D = 0 : sebelum pemekaran wilayah

D = 1 : setelah pemekaran wilayah

ε = Error / residual

Alasan pemilihan variabel tersebut diatas adalah: 1) penduduk usia

pendidikan menengah merupakan angka pembilang dan penentu utama nilai Angka

Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan menengah, 2) jumlah ruang kelas

merupakan parameter daya tampung sebagai tolok ukur daya serap peserta didik

jenjang pendidikan menengah, dan 3) luas wilayah kecamatan merupakan indikator

pemekaran wilayah karena ada kecamatan yang baru terbentuk.

Metode Deskriptif ORID

Metode Deskriptif Objektif, Reflektif, Interpretatif dan Decision (ORID)

digunakan untuk menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya

pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran.

Tingkat partisipasi stakeholder akan diukur melalui penjumlahan skor kuesioner

dari indikator dengan responden dari stakeholder tingkat kabupaten adalah Kepala

Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Anggota DPRD Kabupaten Bangka, Ketua

Dewan Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua MKKS Kabupaten Bangka, LSM

Pendidikan dan pihak swasta. Responden untuk stakeholder tingkat kecamatan dan

desa yaitu camat, kepala UPTD Pendidikan kecamatan, ketua PGRI kecamatan,

kepala desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), tokoh masyarakat dan pihak swasta.

Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi yaitu delapan tangga

tingkatan partisipasi yang digunakan oleh Arstein (1969).

Analisis Proses Hierarki (Analytical Hierarchy Process)

Analisis ini dilakukan untuk menentukan arahan strategi pembangunan

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Responden dari Stakeholder yang

+D + ε

26

diminta pendapatnya adalah anggota DPRD Kabupaten Bangka, Kepala Dinas

Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS)

Tingkat Kabupaten Bangka, tokoh masyarakat, pihak swasta dan LSM bidang

pendidikan yang kesemuanya berjumlah enam orang. Adapun struktur analisis

proses hirarkinya dapat dilihat pada Gambar 8.

Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen

dengan perbandingan berpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai level

terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan judgment para pengambil

keputusan/para pakar berdasarkan nilai skala komparasi 1-9. Nilai skala

perbandingan secara berpasangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Pengembangan

pendidikan Menengah

di Kabupaten Bangka

Pengembangan

pendidikan Menengah

di Kabupaten Bangka

Partisipasi StakeholderPartisipasi Stakeholder Partisipasi MasyarakatPartisipasi Masyarakat Ketersediaan DanaKetersediaan Dana

Sarana dan PrasaranaSarana dan Prasarana Sumberdaya AparaturSumberdaya Aparatur Tenaga PendidikTenaga Pendidik

Level 1

Level 2

Level 3 Gambar 8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008)

Tabel 3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008)

Tingkat

Kepentingan

Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama

pentingnya

Dua elemen mempunyai pengaruh yang

sama besar terhadap tujuannya

3 Elemen yang satu sedikit

lebih penting dari elemen

yang lain

Pengalaman dan penilaian sedikit

mendukung satu elemen dibanding elemen

yang lain

5 Elemen yang satu lebih

penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sangat kuat

mendukung satu elemen dibanding yang

lain

7

Elemen yang satu jelas lebih

penting dari elemen yang lain

Satu elemen dengan kuat didukung dan

dominan terlihat dalam praktek

9 Elemen yang satu mutlak

lebih penting dari elemen

yang lain

Bukti yang mendukung elemen yang satu

terhadap elemen yang lain memiliki

tingkat penegasan tertinggi yang mungkin

menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai

pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada kompromi

diantara dua pilihan

Kebalikan Reciprocals Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka

bila dibandingkan dengan aktivitas j,

mempunyai nilai kebalikan bila

dibandingkan dengan i

27

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka

Selama lebih dari seratus tahun, Bangka dikepalai oleh residen secara

administratif dan taktis operasional berada dibawah Pemerintahan Pusat di Batavia

(Jakarta). Demikian juga dengan Belitung yang pada mulanya merupakan suatu

asisten residen, berdiri sendiri langsung di bawah Pemerintah Pusat. Atas dasar

ordonansi tanggal 2 Desember 1933 (Stbl.No.565), terhitung dari tanggal 11 Maret

1933 terbentuklah “Residentie Bangka en Ouderhoregheden” yang menetapkan

Biliton (Belitung) menjadi salah satu “onderafdeling” dikepalai oleh seorang

“controleur” dengan pangkat asisten residen dari Karesidenan Bangka, berikut

pulau-pulau lain sekitarnya. Pulau Bangka sendiri terbagi dalam lima

onderafdeling, yang masing-masing dikepalai oleh seorang controleur. Lima

onderafdeling kemudian menjadi Kawedanan Residen Bangka yang terakhir

menjelang perang dunia kedua adalah P. Brouwer. Ketika kekuasaan kolonial

Belanda atas kepulauan Indonesia direbut oleh Nippon pada tahun 1942, semasa

berkobarnya perang Asia Timur Raya, Karesidenan Bangka-Belitung diperintah

oleh Pemerintah Militer yang dinamakan “Bangka Biliton Gunseibu”. Pemerintah

administratif menurut sistem pemerintahan Belanda diteruskan, dengan mengganti

nama/istilah saja, yaitu dengan istilah-istilah Jepang dan atau Indonesia. Sehingga

Residence menjadi “chokan” dan controleur menjadi “sidokan”. Namun disamping

petugas-petugas Jepang diangkat pembantu-pembantu bangsa Indonesia seperti

“gunco” dan “fuku gunco”. Pada waktu Dai Nippon sudah terdesak didalam

peperangan melawan Sekutu, barulah di Bangka dibentuk semacam DPRD, yang

dinamakan Bangka Syu Sangikai, yang diketuai oleh Masyarif Datuk Bendaharo

Lelo.

Setelah Jepang ditaklukkan oleh sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945

kemudian diikuti dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal

17 Agustus 1945, atas inisiatif tokoh-tokoh Sumatera Selatan dibentuklah

Pemerintahan Otonomi Sumatera Selatan dibawah pimpinan Gubernur Militer.

Pulau Bangka termasuk didalamnya, dimana pimpinan pemerintahan dipegang oleh

Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Bangka Syu Sangikai, dengan gelar

Residen yang dibantu oleh seorang asisten residen dan seorang kontrolir yang

diperbantukan. Letnan Gouveneur General Nederlandsch Indie mempergunakan

kekuasaannya menjadi daerah otonom dengan membentuk Dewan Bangka

Sementara (Voorlopige Bangka Raad) dengan surat keputusan tanggal 10

Desember 1946 nomor 8 (Stbl.1946.Nomor 38). Dewan Bangka Sementara ini

merupakan Lembaga Pemerintah tertinggi dalam bidang otonomi, dibuka dengan

resmi pada tanggal 10 Februari 1947, diangkat sebagai ketua yaitu Masyarif Datuk

Bendaharo Lelo, sedangkan anggota-anggotanya terdiri dari 16 orang. Sepuluh

bulan kemudian “Dewan Bangka Sementara” ini ditetapkan menjadi “Dewan

Bangka” yang tidak bersifat sementara lagi, dengan surat keputusan Lt. GG. Ned.

Indie tanggal 12 Juli 1947 Nomor 7 (Stbl. 1947 Nomor 123) yang dilantik pada

tanggal 11 Nopember 1947, dengan ketua dan anggota-anggota Dewan Bangka

Sementara itu juga.

28

Setelah Masyarif meninggal, diangkatlah Saleh Ahmad, Sekretaris dari

Dewan tersebut sebagai ketua. Pada bulan Januari 1948 Dewan Bangka bergabung

dengan Dewan Riau dan Dewan Belitung dalam suatu federasi Bangka Belitung

Riau (BABERI), yang disahkan oleh Lt. GG. Ned. Indie dengan surat keputusan

tanggal 23 Januari 1948 nomor 4 (Stbl. 1948 No. 123), yang kemudian disahkan

menjadi salah satu Negara Bagian dalam pemerintahan federal Republik Indonesia

Serikat (RIS). Hal ini ternyata tidak berlangsung lama, dengan keputusan Presiden

RIS No. 141 tahun 1950, Negara Bagian ini disatukan kembali dalam Negara RI,

sehingga berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dalam wilayah ini.

Kemudian pada tanggal 21 April 1950 datanglah Perdana Menteri Dr. Halim

beserta rombongannya ke Bangka yang terdiri dari 18 orang, diantaranya Dr. Mohd.

Isa – Gubernur Sumatera Selatan, tanggal 22 April bertempat di Karesidenan

diserahkanlah pemerintahan atas Bangka kepada Gubernur Sumatera Selatan.

Dengan demikian bubarlah Dewan Bangka dan pemerintahan setempat dipimpin

oleh R. Soemardjo yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai Residen

Bangka Belitung dengan kedudukan di Pangkalpinang. Bangka sendiri menjadi

kabupaten, dengan 5 wilayah kewedanan, masing-masing Pangkalpinang,

Sungailiat, Belinyu, Mentok dan Toboali dan 13 wilayah kecamatan. Sebagai

Bupati yang pertama ditunjuk R. Soekarta Martaatmadja.

Penetapan Bangka sebagai daerah otonom kabupaten didasarkan atas

Undang-Undang Darurat Nomor 2, 5 dan 6 tahun 1956. Dalam rangka penyesuaian

dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah, maka ketiga undang-undang darurat ini diganti dengan Undang-Undang

Nomor 28 tahun 1959. Undang-undang inilah kemudian disebut sebagai dasar

hukum pembentukan Daerah Tingkat II Bangka dan dijelaskan pemisahan

Kabupaten Bangka dengan Kotapraja Pangkalpinang

Letak Geografis dan Administratif Wilayah

Kabupaten Bangka merupakan salah satu dari tujuh wilayah administratif

yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki luas

wilayah lebih kurang 2 950.68 km² atau 295.068 ha dengan titik koordinat terletak

antara 1o29’-2

o21’ Lintang Selatan dan 105

o36’-106

o11’ Bujur Timur.

Kabupaten Bangka dengan ibukota Sungailiat memiliki banyak pantai

sebagai tujuan wisata, diantaranya: Pantai Matras, Parai, Tanjung Pesona,

Romodong, Teluk Uber, Batu Bedaun, dan lain sebagainya. Adapun jarak dari

Sungailiat ke ibukota kabupaten lain dan Kota Pangkalpinang seperti yang tertera

pada Tabel 4.

Tabel 4 Jarak dari Sungailiat ke daerah lainnya

No. Dari Sungailiat ke daerah lainnya Jarak (km)

1 Kota Pangkalpinang 33

2 Muntok (Bangka Barat) 140

3 Koba (Bangka Tengah) 90

4 Toboali (Bangka Selatan) 158

29

Wilayah Kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan daratan wilayah

kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu Kabupaten

Bangka Barat, Bangka Tengah dan Kota Pangkalpinang. Ditinjau dari ketersediaan

infrastruktur dan kehidupan social ekonomi masyarakatnya maka kecamatan di

Kabupaten Bangka dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kecamatan

bertipikal kota dan desa. Pengambilan sampel untuk penelitian ini dan penyebaran

kuesioner penelitian terletak di dua kecamatan dengan dua desa yang menjadi

daerah sampel yaitu Desa Petaling Banjar, Kecamatan Mendo Barat mewakili

kecamatan bertipikal kota dan Desa Pemali, Kecamatan Pemali mewakili

kecamatan bertipikal desa. Lokasi pengambilan sampel sebagaimana terdapat pada

Gambar 9.

Gambar 9 Lokasi kecamatan sampel

Berdasarkan letak geografis, dari delapan kecamatan di Kabupaten Bangka,

terdapat dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Pangkalpinang

yaitu Kecamatan Merawang dan Mendo Barat. Kondisi ini secara langsung

berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya,

terutama desa-desa yang terletak diperbatasan terluar dengan Kota Pangkalpinang.

Bahkan terkadang menjadi suatu persoalan dilematis karena tidak sedikit warga

yang berstatus penduduk Kota Pangkalpinang namun berdomisili di wilayah

Kecamatan Merawang ataupun Mendo Barat. Selain itu, banyak warga dua

kecamatan ini yang memiliki dokumen kependudukan ganda sehingga terkadang

menimbulkan polemik tersendiri terutama pada saat akan berlangsungnya

pemilihan kepala daerah.

Kecamatan

sampel

30

Keadaan Alam

Iklim, Tanah dan Hidrologi

Wilayah penelitian termasuk dalam Kabupaten Bangka yang berada pada

zona tropis, berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth-Ferguson wilayah ini termasuk

dalam tipe iklim A. Suhu udara rata-rata di Kabupaten Bangka menurut data

Stasiun Meteorologi Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 25.7˚C hingga

29˚C dengan suhu rata-rata 27˚C.

Tanah di Kabupaten Bangka mempunyai pH rata-rata dibawah 5,

didalamnya mengandung mineral bijih timah dan bahan galian lainnya, seperti :

pasir kwarsa, kaolin, batu gunung, dan lain-lain. Bentuk dan keadaan tanahnya

adalah sebagai berikut :

- 4 persen berbukit seperti Gunung Maras lebih kurang 699 meter, Bukit

Pelawan, Bukit Rebo, dan lain-lain. Jenis tanah perbukitan tersebut adalah

podsolik coklat kekuning-kuningan dan litosol berasal dari batu plutonik

Masam,

- 52 persen berombak dan bergelombang, tanahnya berjenis asosiasi podsolik

coklat kekuning-kuningan dengan bahan induk komplek batu pasir kwarsit dan

batuan plutonik masam,

- 20 persen lembah/datar sampai berombak, jenis tanahnya asosiasi podsolik

berasal dari komplek batu pasir dan kwarsit,

- 25 persen rawa dan bencah/datar dengan jenis asosiasi alluvial hedromotif dan

glei humus serta regosol kelabu muda berasal dari endapan pasir dan tanah liat.

Pada umumnya sungai-sungai di daerah Kabupaten Bangka berhulu di daerah

perbukitan yang berada di bagian tengah Pulau Bangka dan bermuara di laut.

Sungai-sungai yang terdapat di wilayah Kabupaten Bangka, antara lain : Sungai

Baturusa, Sungai Layang, Sungai Menduk, dan lain-lain. Kabupaten Bangka

memiliki banyak kolong yang merupakan areal bekas penambangan bijih timah

yang luas sehingga menjadikannya tampak seperti danau.

Fauna dan Flora

Di kawasan hutan terdapat binatang liar seperti : rusa, beruk, monyet, lutung,

babi, trenggiling, napuh, musang, berbagai jenis burung, ayam hutan. Namun, hutan

di Kabupaten Bangka tidak terdapat binatang buas seperti harimau, macan, dan

sebagainya.

Tumbuhan hutan terdapat bermacam-macam jenis kayu, seperti : kayu ramin,

meranti, kapuk, jelutung, pulai, gelam, bitanggor, meranti rawa, mahang, bakau,

dan lain sebagainya.

Khusus untuk tanaman bakau, merupakan jenis tanaman yang menjadi

andalan untuk ditanam di rawa-rawa daerah pantai sebagai habitat ikan dan

binatang laut lainnya. Penanaman bakau ini menjadi sangat penting karena sebagian

besar daerah pinggiran pantai sudah mengalami kerusakan sebagai akibat

penambangan timah yang dilakukan baik secara legal maupun illegal di daerah laut.

Penduduk

Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang dua

peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai subyek/pelaku sekaligus

sebagai obyek dari pembangunan. Berdasarkan data Bangka Dalam Angka (2011),

31

jumlah penduduk di Kabupaten Bangka sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar

260 935 jiwa, dengan luas wilayah 2 950.68 km² maka kepadatan penduduk di

Kabupaten Bangka adalah 88 jiwa/km², sebagaimana tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010

No Kecamatan Luas (km2) Jumlah penduduk (jiwa)

Kepadatan

(jiwa/km2)

1 Sungailiat 146.38 74 066 506

2 Belinyu 546.50 40 625 74

3 Merawang 164.40 24 962 151

4 Mendo Barat 570.46 43 052 75

5 Puding Besar 383.29 16 068 41

6 Pemali 127.87 23 786 186

7 Riau Silip 523.68 22 275 42

8 Bakam 488.10 15 561 32

Jumlah 2 950.68 260 935 88

Sumber : BPS Kabupaten Bangka (2011)

Berdasarkan Tabel 5, jumlah penduduk pada dua kecamatan penarikan

sampel penelitian yaitu Kecamatan Pemali sebanyak 23 786 jiwa dan Kecamatan

Mendo Barat sebanyak 43 052 jiwa.

Profil Sosial Budaya

Masyarakat Kabupaten Bangka, pada umumnya Pulau Bangka adalah

masyarakat yang mempunyai akar budaya dasar, yakni budaya melayu yang

kemudian diperkaya dengan budaya pendatang seperti: Cina, Minangkabau, Batak,

Bugis, Jawa, dan lain sebagainya, dan menyatu dengan budaya masyarakat asli.

Beberapa seni budaya yang asli masih terjaga sampai sekarang, bahkan beberapa

ritual adat istiadat setempat dikembangkan menjadi bagian dari even pariwisata

seperti: nujuh jerami di Desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu, rebo kasan di

Desa Air Anyir dan mandi belimau di Desa Jada Bahrin Kecamatan Merawang,

peringatan 1 muharam di Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat, maulud Nabi

Muhammad SAW di Desa Kemuja dan Desa Zed Kecamatan Mendo Barat.

Adapun budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Kabupaten Bangka serta

Pulau Bangka pada umumnya, yang merupakan gambaran kebersamaan dan

semangat persatuan adalah adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan

nganggung atau nganggong dimana pada setiap peringatan hari besar agama islam

ataupun momen lainnya masyarakat tiap rumah akan membawakan makanan

berupa nasi beserta lauknya ataupun kue-kue yang diletakkan dalam wadah

dinamakan dulang kemudian dibawa ke masjid untuk dinikmati secara bersama-

sama.

32

Gambar 10 Adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung

atau nganggong di Pulau Bangka

Budaya nganggung atau nganggong masyarakat Bangka sebagaimana

tampak pada Gambar 10 juga diadakan untuk menyambut sekaligus menjamu

pejabat pemerintahan maupun non pemerintahan, tokoh masyarakat serta tokoh

agama.

33

KERAGAAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN FAKTOR-

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA PARTISIPASI

KASAR (APK)

Keragaan Pendidikan Menengah

Kondisi sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, nilai Angka Partisipasi

Kasar (APK) pendidikan menengah antar kecamatan terdapat perbedaan yang

cukup signifikan. Kecamatan Sungailiat memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar

(APK) yang sangat besar, sedangkan kecamatan lainnya memiliki nilai Angka

Partisipasi Kasar (APK) yang lebih kecil. Hal ini menggambarkan bahwa peluang

dan kesempatan peserta didik yang dapat mengenyam pendidikan menengah antar

kecamatan tidak merata. Kondisi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan

menengah sebelum dan setelah pemekaran wilayah tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum dan

setelah pemekaran Kabupaten Bangka

No. Kecamatan

Tahun

1998/1999 2000/2001 2003/2004 2009/2010 2010/2011 2011/2012

1 Sungailiat 95,76 97,61 81,83 95,14 90,63 95,94

2 Belinyu 57,72 50,03 41,07 98,87 110,90 91,73

3 Merawang 5,36 9,22 13,45 65,62 47,27 74,64

4 Mendo Barat 11,30 11,29 18,19 63,83 71,42 87,68

5 Bakam - - - 8,40 78,27 54,12

6 Pemali - - - 89,05 98,03 89,07

7 Puding Besar - - - 51,14 71,42 81,70

8 Riau Silip - - - 25,77 47,27 83,42

Tampak dari Tabel 6, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan

menengah untuk kecamatan yang baru terbentuk, yaitu: Bakam, Pemali, Puding

Besar dan Riau Silip mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa meningkatnya

partisipasi penduduk dan peserta didik dalam pendidikan, khususnya pendidkan

menengah. Satu hal yang paling penting adalah upaya pemerintah daerah untuk

meningkatkan daya serap agar setelah pemekaran wilayah, kebutuhan masyarakat

terhadap layanan pendidikan menengah dapat terpenuhi dan akses untuk

mendapatkan pendidikan yang layak dan terjangkau dapat dipermudah. Adapun

untuk gambaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

sebagaimana terdapat pada Gambar 11.

34

a. Sebelum pemekaran wilayah b. Setelah pemekaran wilayah

Gambar 11 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum

dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka

Suatu kondisi yang dapat dimaklumi apabila Kecamatan Sungailiat

memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah yang tinggi

karena sebagai ibukota kabupaten sarana dan prasarana pendidikan menengah yang

dimiliki cukup memadai sehingga memungkinkan peserta didik leluasa memilih

program studi sesuai dengan minat dan keinginan mereka. Selain itu, pilihan

bersekolah di sekolah yang berstatus negeri adalah satu alasan tersendiri bagi

peserta didik untuk lebih memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Sungailiat

karena jumlah sekolah negeri yaitu lima unit dengan daya tampung ruang kelas

sejumlah lima belas ruang atau paling banyak diantara kecamatan lainnya sehingga

peluang dan kesempatan bersekolah di sekolah negeri terbuka lebar ada di

Kecamatan Sungailiat. Adapun jumlah prasarana pendidikan menengah berupa

gedung sekolah di Kecamatan Sungailiat sebagaimana terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah gedung sekolah jenjang pendidikan menengah sebelum dan setelah

pemekaran di Kabupaten Bangka

b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

i.

j.

k.

l.

m.

n.

o.

p.

Kecamatan Sungailiat yang pada tahun 2003 memiliki 14 unit sekolah jenjang

No. Kecamatan

Tahun

1998/1999 2000/2001 2003/2004 2009/2010 2010/2011 2011/2012

1 Sungailiat 13 14 14 11 11 11

2 Belinyu 6 7 6 5 5 6

3 Merawang 2 2 3 3 3 3

4 Mendo Barat 3 2 5 5 5 5

5 Bakam - - - 1 1 1

6 Pemali - - - 2 2 2

7 Puding Besar - - - 1 1 1

8 Riau Silip - - - 2 2 2

35

Kecamatan Sungailiat yang pada tahun 2003 memiliki 14 unit sekolah jenjang

pendidikan menengah perlahan mengalami penurunan sebagai dampak

pembangunan prasarana pendidikan menengah di wilayah pemekaran sehingga ada

beberapa sekolah swasta yang tidak mampu bersaing dalam mendapatkan peserta

didik dan terpaksa tutup.

Tampak pada Tabel 7, keadaan jumlah ruang kelas jenjang pendidikan

menengah mengalami fluktuasi, seperti yang terjadi di Kecamatan Sungailiat dan

Belinyu. Sebelum pemekaran wilayah, cakupan wilayah yang luas dengan

prasarana terbatas dan fokus pembangunan infrastruktur pendidikan yang sebagian

besar teralokasi di ibukota kabupaten telah menjadikan Sungailiat sebagai tujuan

favorit peserta didik untuk melanjutkan pendidikan menengahnya. Kondisi daya

tampung ruang kelas tiap kecamatan sebagaimana tertera pada Tabel 8.

Tabel 8 Daya tampung pendidikan menengah (ruang kelas) sebelum dan setelah

pemekaran Kabupaten Bangka

Tampak dari Tabel 8, bahwa Kecamatan Sungailiat memiliki ketersediaan

daya tampung ruang kelas yang sangat banyak. Pada tahun ajaran 2003/2004 atau

sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, Kecamatan Sungailiat memiliki 153 ruang

kelas, namun pada tahun ajaran 2009/2010 berkurang menjadi 126 ruang kelas. Hal

ini dikarenakan dalam kurun waktu tersebut ada dua unit SMA swasta yaitu SMA

YPBI 11 dan SMA YPLP PGRI yang terpaksa tutup karena sepi pendaftar peserta

didik sebagai akibat berdirinya sekolah baru di daerah pemekaran. Namun setelah

tahun 2010/201 daya tampung mengalami kenaikan yang mengindikasikan

terjadinya peningkatan jumlah peserta didik.

Kabupaten Bangka memiliki permasalahan cukup rumit terkait dengan bidang

pendidikan menengah. Terdapat dua kecamatan, Merawang dan Mendo Barat,

secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Pangkalpinang yang memiliki

prasarana pendidikan menengah cukup memadai karena ketersediaan program studi

lebih bervariasi mulai dari sekolah menengah atas, madrasah aliyah dan sekolah

menengah kejuruan. Hal tersebut menjadi daya tarik bagi peserta didik di dua

kecamatan itu ataupun kecamatan lainnya, bahkan tidak jarang juga peserta didik di

Sungailiat lebih memilih melanjutkan pendidikannya ke Kota Pangkalpinang.

No. Kecamatan

Tahun

1998/1999 2000/2001 2003/2004 2009/2010 2010/2011 2011/2012

1 Sungailiat 119 139 153 126 131 157

2 Belinyu 48 50 46 45 45 43

3 Merawang 3 8 12 18 22 19

4 Mendo Barat 6 9 16 34 41 46

5 Bakam - - - 3 3 6

6 Pemali - - - 31 28 31

7 Puding Besar - - - 14 14 14

8 Riau Silip - - - 8 14 13

36

Kondisi ini terjadi juga di beberapa kecamatan lain, seperti Kecamatan Bakam dan

Puding Besar yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kelapa (Kabupaten

Bangka Barat). Kasus serupa terjadi juga di Kecamatan Riau Silip bahwa masih ada

memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Kecamatan Belinyu ataupun

Kecamatan Sungailiat, serta penduduk usia pendidikan menengah di Kecamatan

Pemali yang memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Kecamatan Sungailiat.

Hal ini ternyata terjadi juga antar kecamatan lainnya yang memiliki prasarana

pendidikan lebih memadai dan dianggap lebih baik yang berdampak pada nilai

APK pendidikan menengah di beberapa kecamatan.

Setelah pemekaran wilayah yang menerapkan sistem otonomi daerah,

paradigma pembangunan infrastruktur pendidikan menengah mengalami pergeseran

karena tiap kabupaten yang baru dimekarkan mulai memperluas akses dengan

menyediakan prasarana pendidikan menengah. Demikian juga orientasi

pembangunan infrastruktur pendidikan menengah di Kabupaten Bangka yang

semakin memperhatikan wilayah lainnya, khususnya kecamatan yang baru

terbentuk pada tahun 2001. Kondisi ini menjadikan peserta didik memiliki

kemudahan dalam akses melanjutkan pendidikan menengah sehingga sebagian

besar memilih untuk bersekolah di kecamatan tempat tinggalnya walaupun masih

ada sebagian kecil yang tetap melanjutkan pendidikan menengah ke Sungailiat

ataupun Kota Pangkalpinang.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK)

Terdapat banyak faktor terkait yang dapat mempengaruhi nilai Angka

Partisipasi Kasar (APK) pendidikan. Beberapa faktor yang menjadi variabel

independen dalam penelitian ini yaitu: jumlah penduduk usia pendidikan menengah,

jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah, luas wilayah tiap

kecamatan dan kepadatan penduduk tiap kecamatan. Hasil regresi data panel

dengan menggunakan software eviews 6.0 adalah sebagaimana pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil regresi data panel

Variable Coefficient Prob.

X1 -1.995 0.0000

X2 2.035 0.0000

X3 0.039 0.0004

X4 0.504 0.0000

DUMMY -49.537 0.0005

C 103.698 0.0000

Weighted Statistics

R-squared 0.9432 69.5959

Adjusted R-squared 0.9274 42.2994

Dari output diatas, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : ̂ D

Berdasarkan hasil output tersebut terdapat nilai R Square 0.9432 yang artinya

sebanyak 94.32 persen variabel dependen dapat dijelaskan variabel independen,

sisanya sebesar 5.68 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model (tidak dapat

dijelaskan oleh model).

37

Hasil uji statistik t terlihat nilai p-value dari masing-masing koefisien

( < alpha=0,05 yang artinya variable ( ) berpengaruh

signifikan terhadap angka partisipasi kasar pendidikan menengah pada taraf nyata 5

persen atau variabel independen (x) berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap

variabel dependen (y).

Hasil uji statistik F terlihat nilai dari p-value=0,00000< alpha=0,05 (tolak H0)

yang artinya model yang digunakan layak pada taraf nyata 5 persen atau secara

keseluruhan variabel x memiliki pengaruh terhadap angka partisipasi kasar

pendidikan menengah.

Tampak pada Tabel 10, hasil uji korelasi menunjukkan angka korelasi lebih

kecil dari 0,8 dan variabel (x2, x3, x4 dan dummy) signifikan (terlihat pada uji-t)

dan tidak ada koefisien korelasi yang memiliki nilai<0.8, maka dapat dikatakan

tidak terdapat masalah yang serius. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi

multikolinearitas antar variabel yang artinya bahwa tidak ada korelasi antar peubah

independen x, dapat disimpulkan bahwa data telah terbebas dari masalah

multikolinearitas (Gujarati 2004).

Tabel 10 Hasil uji korelasi

Y x1 x2 x3 x4

Y 1.000000 -0.544795 0.681808 0.267862 0.637748

x1 -0.544795 1.000000 0.104652 0.024744 -0.129476

x2 0.681808 0.104652 1.000000 0.252861 0.517868

x3 0.267862 0.024744 0.252861 1.000000 -0.151655

x4 0.637748 -0.129476 0.517868 -0.151655 1.000000

Hasil regresi, nilai R-square 94.32 persen Nilai R-square 0.9432

menunjukkan bahwa sebesar 94.32 persen nilai angka partisipasi kasar (APK)

pendidikan menengah dipengaruhi oleh rasio penduduk usia pendidikan menengah

terhadap jumlah total penduduk, rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah total

penduduk, luas wilayah kecamatan dan kepadatan penduduk. Sisanya 5.68 persen

dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Pada peubah x1, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK)

pendidikan menengah sebesar negatif 1.99 untuk setiap kenaikan peubah bebas

rasio jumlah penduduk usia pendidikan menengah terhadap jumlah penduduk

seluruhnya dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hal ini berarti setiap

peningkatan satu orang penduduk usia pendidikan menengah dalam setiap seribu

penduduk akan menurunkan 1.99 persen (dibulatkan 2.00 persen) nilai Angka

Partisipasi Kasar (APK). Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien

x2<alpha=0.05, yang artinya rasio penduduk usia pendidikan menengah terhadap

jumlah penduduk seluruhnya berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi

kasar pendidikan menengah pada taraf nyata 5 persen.

Penduduk usia pendidikan menengah (16-18 tahun) merupakan parameter

pembilang untuk menghitung nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan

menengah namun peningkatan jumlah penduduk usia pendidikan menengah di

suatu kecamatan ternyata tidak langsung secara otomatis akan menaikkan nilai

Angka Partisipasi Kasar (APK). Apabila keberadaan penduduk usia pendidikan

menengah (16-18 tahun) tidak diimbangi dengan jumlah siswa pendidikan

38

menengah di suatu wilayah maka akan menyebabkan nilai Angka Partisipasi Kasar

(APK) pendidikan menengah akan semakin turun. Sebaran rasio jumlah penduduk

usia pendidikan menengah terhadap jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 2011

sebagaimana terdapat pada Gambar 12.

Gambar 12 Sebaran rasio penduduk usia pendidikan menengah pada tahun 2011

Berdasarkan Gambar 12, maka Kecamatan Sungailiat memiliki rasio yang

paling tinggi. Pada tahun 2010/2011 nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan

menengah Kecamatan Sungailiat adalah sebesar 90.63 persen dan pada tahun

2011/2012 adalah sebesar 95.94 persen, yang artinya mengalami kenaikan sebesar

5.31 persen. Kondisi berbeda terdapat di Kecamatan Belinyu, Bakam dan Pemali.

Hal ini disebabkan tidak merata dan keterbatasan prasarana atau belum tersedianya

banyak pilihan jurusan program studi yang terdapat di kecamatan tersebut

mengakibatkan masih banyak peserta didik melanjutkan pendidikan ke daerah lain,

yaitu Sungailiat dan Kota Pangkalpinang. Beberapa faktor lain yang juga turut

menjadi faktor penyebabnya yaitu kemampuan ekonomi orangtua peserta didik,

kedekatan jarak dari tempat tinggal, dan masih adanya anggapan bahwa mutu

pendidikan di Sungailiat dan Kota Pangkalpinang lebih bermutu, dan lain

sebagainya.

Pada peubah x2, nilai dugaan rataan angka partisipasi kasar (APK)

pendidikan menengah akan naik sebesar 2.03 untuk setiap kenaikan peubah bebas

rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah total penduduk dengan asumsi peubah

bebas yang lain tetap. Hal ini berarti setiap peningkatan satu ruang kelas dalam

setiap 10 000 penduduk akan menaikkan 2.03 persen nilai Angka Partisipasi Kasar

(APK) pendidikan menengah. Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien

x2<alpha=0.05, yang artinya rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah penduduk

seluruhnya berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi kasar pendidikan

menengah pada taraf nyata 5 persen.

39

Pembangunan unit sekolah baru dan bertambahnya ruang kelas jenjang

pendidikan menengah menyediakan daya tampung yang lebih banyak sehingga

meningkatkan daya serap peserta didik. Ruang kelas merupakan daya tampung

yang dapat menggambarkan kemampuan sekolah untuk menyerap peserta didik,

sehingga semakin banyak ketersediaan ruang kelas mengindikasikan semakin besar

daya serap pendidikan suatu wilayah. Conyers (1994:70) menyatakan bahwa

pengembangan pendidikan secara cepat dan dalam waktu yang relatif singkat

adalah dengan memperbesar ukuran ruang kelas, yang pada akhirnya akan

menaikkan pula rasio murid dan guru, atau dapat pula menggunakan tenaga

pendidik yang belum matang guna diperbantukan pada staf pamong yang sudah

mapan. Kondisi rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah penduduk seluruhnya

sebagaimana tertera pada Gambar 13.

Gambar 13 Sebaran rasio daya tampung pendidikan menengah pada tahun 2011

Berdasarkan Gambar 13, maka daerah yang memiliki rasio jumlah ruang

kelas terhadap jumlah penduduk seluruhnya paling tinggi adalah Kecamatan

Sungailiat dan Mendo Barat. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) kecamatan ini

mengalami kenaikan yaitu sebesar 5.31 persen untuk Kecamatan Sungailiat dan

16.26 persen untuk Kecamatan Mendo Barat. Hal ini merupakan dampak dari

bertambahnya prasarana pendidikan menengah, khususnya di Kecamatan Mendo

Barat didirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Peternakan pada

tahun 2005.

40

Kabupaten Bangka memiliki rasio peserta didik terhadap ruang kelas yaitu

1:27 sedangkan rasio ideal peserta didik jenjang pendidikan menengah terhadap

ruang kelas sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 41 Tahun 2007 yaitu minimal 1:17 dan maksimal 1:32. Namun pada

kenyataannya jumlah daya tampung ruang kelas tersebut belum tersebar secara

merata karena masih terdapat kecamatan yang memiliki jumlah ruang kelas jauh

dari cukup. Kondisi sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah tiap kecamatan

pada tahun 2011 sebagaimana tertera pada Gambar 14.

Gambar 14 Sebaran jumlah ruang kelas pendidikan menengah pada tahun 2011

Tampak dari Gambar 14, daya tampung ruang kelas yang ada di Kecamatan

Sungailiat adalah yang paling banyak yaitu 157 lokal dan Kecamatan Bakam yang

memiliki jumlah ruang kelas paling sedikit atau sebanyak 6 lokal.

Pada peubah x3, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK)

pendidikan menengah akan naik sebesar 0.039 untuk setiap kenaikan peubah luas

wilayah kecamatan dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hasil uji-t, terlihat

bahwa nilai p-value dari koefisien x3<alpha=0.05, yang artinya luas wilayah

kecamatan berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi kasar (APK)

pendidikan menengah pada taraf nyata 5 persen.

Kondisi sebelum pemekaran wilayah, peningkatan angka partisipasi kasar

(APK) pendidikan menengah hanya terkonsentrasi di Kecamatan Sungailiat karena

memiliki prasarana yang beragam. Namun setelah pemekaran wilayah maka nilai

41

angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah tampak merata di semua

kecamatan, baik yang lama maupun yang baru karena disertai dengan

pembangunan unit sekolah baru pendidikan menengah, terutama SMA negeri di

tiap kecamatan yang saat ini telah terdapat di semua kecamatan se-Kabupaten

Bangka. Kondisi luas wilayah dan sebaran prasarana pendidikan menengah pada

tahun 2011 sebagaimana terdapat pada Gambar 15.

Gambar 15 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011

Tampak dari Gambar 15, kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu

Kecamatan Mendo Barat dengan 570.46 km² dan yang paling sempit yaitu

Kecamatan Pemali dengan 127.87 km². Berdirinya unit-unit sekolah baru

pendidikan menengah telah meningkatkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) di

kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001. Tampak pada Gambar 15,

kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu Kecamatan Mendo Barat dan

kecamatan yang paling sedikit wilayahnya yaitu Kecamatan Pemali. Meskipun

memiliki wilayah paling kecil dan hanya memiliki masing-masing satu unit SMA

Negeri dan MA Negeri namun nilai Angka Partisaipasi Kasar (APK) pendidikan

menengahnya pada tahun 2011 menempati urutan ketiga untuk tingkat kabupaten.

Berdasarkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah,

Kecamatan Mendo Barat (87.68 persen) lebih kecil daripada Kecamatan Pemali

(89.07 persen), yang artinya daya serap pendidikan di Kecamatan Pemali lebih baik

daripada di Kecamatan Mendo Barat walaupun jumlah ruang kelas di kecamatan

Mendo Barat lebih banyak. Hal ini berarti jumlah peserta didik tiap ruang kelas di

Kecamatan Pemali lebih banyak daripada di Kecamatan Mendo Barat.

42

Terjadinya pemekaran wilayah berarti terjadi penyempitan wilayah karena

jumlah luas wilayah tetap tetapi sudah terbagi dalam beberapa kecamatan. Namun

di sisi yang lain, pemekaran wilayah juga berarti terbentuknya wilayah baru.

Pemekaran Kabupaten Bangka telah mempercepat pembangunan prasarana

pendidikan termasuk pendidikan menengah. Pada tahun 2011 ini, setiap kecamatan

yang baru terbentuk pada tahun 2001 di Kabupaten Bangka telah memiliki fasilitas

Sekolah Menengah Atas (SMA) berstatus negeri. Kondisi sebaran prasarana

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pada tahun 2011 sebagaimana tampak

pada Gambar 16.

Gambar 16 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011

Tampak pada Gambar 16, tiap kecamatan telah memiliki prasarana

pendidikan menengah. Kondisi ini telah memberikan kemudahan dan memperluas

akses pendidikan kepada masyarakat karena peserta didik yang merupakan anak-

anak mereka dan generasi penerus tongkat estafet pembangunan tidak perlu jauh-

jauh lagi untuk mendapatkan layanan pendidikan menengah khususnya bersekolah

negeri kecuali untuk program studi yang belum tersedia didaerahnya.

Pada peubah x4, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK)

pendidikan menengah akan naik sebesar 0.504 untuk setiap kenaikan peubah

kepadatan penduduk dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hasil uji-t,

terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien x4<alpha=0.05, yang artinya kepadatan

penduduk berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi kasar (APK)

pendidikan menengah pada taraf nyata 5 persen.

Meningkatnya jumlah penduduk di beberapa kecamatan ternyata didominasi

oleh penduduk usia 16-18 tahun yang merupakan usia penduduk jenjang pendidikan

43

menengah sehingga ikut mempengaruhi angka partisipasi kasar (APK) penduduk

usia 16-18 tahun merupakan parameter pembilang nilai angka partisipasi kasar

(APK) pendidikan menengah. Sebaran kepadatan penduduk tiap kecamatan

sebagaimana tertera pada Gambar 17.

Gambar 17 Sebaran kepadatan penduduk pada tahun 2011

Tampak dari Gambar 17, kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk

paling tinggi adalah Sungailiat yaitu sebesar 549 jiwa/km². Jauh diatas kepadatan

rata-rata tingkat Kabupaten Bangka yang hanya 88 jiwa/km². Kemudian untuk

tingkat kepadatan terendah yaitu Kecamatan Riau Silip yang hanya 45 jiwa/km².

Kepadatan penduduk di Kecamatan Sungailiat sangat dipengaruhi karena statusnya

sebagai ibukota kabupaten yang merupakan pusat pemerintahan. Selain itu juga

menjadi pusat perdagangan dan jasa. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan

menengah yang cukup memadai juga telah menjadikan Sungailiat sebagai pilihan

untuk berdomisili bagi masyarakat.

Pemekaran Kabupaten Bangka telah mempercepat pembangunan prasarana

pendidikan termasuk pendidikan menengah karena tuntutan kebutuhan. Pada tahun

2011 ini, setiap kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001 di Kabupaten

Bangka telah memiliki fasilitas Sekolah Menengah Atas (SMA) berstatus negeri.

Kondisi ini telah memberikan kemudahan dan memperluas akses pendidikan

kepada masyarakat karena peserta didik yang merupakan anak-anak mereka dan

generasi penerus tongkat estafet pembangunan tidak perlu jauh-jauh lagi untuk

mendapatkan layanan pendidikan menengah khususnya bersekolah negeri kecuali

untuk program studi yang belum tersedia didaerahnya.

45

75%

25%

Menyumbang uang

Menyumbang barang

Menyumbang tenaga

Menyumbang ide/gagasan

Sumbangan bentuk lain

TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH

Bentuk Partisipasi Stakeholder

Pada tahap awal kegiatan, bentuk partisipasi yang paling banyak dipilih oleh

para stakeholder yaitu menyumbang ide/gagasan sebanyak 9 orang atau sebesar 75

persen dan 3 orang atau 25 persen memilih sumbangan bentuk lainnya yaitu

membantu mencarikan donatur. Sedangkan untuk pilihan jawaban menyumbang

uang, barang dan tenaga tidak ada yang memilih.

Hal ini menggambarkan bahwa secara pribadi ataupun sebagai stakeholder

tingkat kecamatan hanya mengajukan usulan kepada pemerintah tingkat diatasnya

karena ada asumsi bahwa pembiayaan pembangunan baik fisik maupun non fisik

kegiatan pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah baik tingkat

kabupaten, provinsi maupun pusat. Selain itu, masing-masing pihak beranggapan

bahwa bentuk partisipasi agar dapat terlaksananya suatu kegiatan tidak lagi hanya

berorientasi pada uang/materi tetapi sudah berkembang dan mempunyai makna

yang lebih luas serta disadari menjadi tanggung jawab bersama antara para

stakeholder beserta seluruh lapisan masyarakat. Hasil perhitungan bentuk

partisipasi pada tahap awal kegiatan sebagaimana pada Tabel 11 dan Gambar 18.

Tabel 11 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan

Tahap awal kegiatan Bentuk partisipasi

Pilihan jawaban Frekwensi %

Menyumbang uang a 0

-

Menyumbang barang b 0

-

Menyumbang tenaga c 0

-

Menyumbang ide/gagasan d 9 75

Sumbangan bentuk lain e 3 25

Jumlah 12 100

Gambar 18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan

46

Tampak pada Tabel 11 dan Gambar 18, bahwa tidak ada pilihan jawaban

pada opsi menyumbang uang, menyumbang barang dan menyumbang tenaga.

Biasanya dalam program pembangunan fisik kegiatan, untuk pembiayaan

konstruksi dan faktor pendukung lainnya sudah disiapkan oleh pemerintah

kabupaten ataupun pemerintah provinsi dan pemerintah pusat melalui APBD dan

APBN. Kemudian, sangat jarang terjadi para stakeholder menyumbang materi

kecuali mereka juga berpredikat sebagai orangtua/wali yang anaknya berstatus

siswa di suatu sekolah yang akan melaksanakan pembangunan fisik. Hal ini

merupakan representasi dari fungsi keberadaan stakeholder sebagai sosok yang

memiliki kemampuan untuk merencanakan, menetapkan dan melaksanakan suatu

program kegiatan.

Pada tahap pelaksanaan kegiatan, 11 stakeholder atau sebesar 92 persen

menentukan pilihan bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat. Sedangkan 1

stakeholder atau sebesar 8 persen memilih jawaban bentuk lainnya. Pemerintah

dalam hal ini adalah para stakeholder tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat.

Hasil perhitungan bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan kegiatan sebagaimana

pada Tabel 12 dan Gambar 19.

Tabel 12 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan

Tahap pelaksanaan kegiatan Bentuk partisipasi

Pilihan jawaban Frekwensi %

Bekerjasama dengan pemerintah dan

masyarakat a 11 92

Membuat kesepakatan atau aturan

tertentu dalam melaksanakan

program tersebut b 0 -

Menyerahkan kepada masyarakat

dengan dana dari pemerintah c 0 -

Menyerahkan kepada sekolah dengan

dana dari orang tua siswa d 0 -

Menyerahkan kepada sekolah dengan

dana dari orang tua siswa dan Komite

Sekolah e 0 -

Bentuk lainnya f 1 8

Jumlah 12 100

Tampak pada Tabel 12, bahwa hampir semua responden memilih opsi

bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat dan tidak ada pilihan jawaban

membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program,

menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah, menyerahkan

kepada sekolah dengan dana dari orangtua/siswa serta menyerahkan kepada sekolah

dengan dana dari orangtua siswa dan komite sekolah.

Hal ini mengambarkan bahwa semua stakeholder telah menyadari peran

penting semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah, dalam menyukseskan

suatu pelaksanaan program kegiatan sehingga sebagian besar memilih opsi untuk

bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat.

47

92%

8%

Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat

Membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalammelaksanakan program tersebut

Menyerahkan kepada masyarakat dengan dana daripemerintah

Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tuasiswa

Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tuasiswa dan Komite Sekolah

Bentuk lainnya

Gambar 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan

kegiatan

Tampak pada Tabel 12 dan Gambar 19, pada tahap pelaksanaan kegiatan

pilihan jawaban paling banyak pada opsi menyumbang ide/gagasan yaitu sebesar 92

persen. Pada tahap ini, nampaknya para stakeholder memanfaatkan posisi mereka

sebagai orang yang berkompeten menampung dan menyampaikan aspirasi

pembangunan dari masyarakat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan kegiatan opsi

yang paling banyak dipilih adalah bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat.

Para stakeholder telah menempatkan posisi mereka sebagai perwakilan pemerintah

daerah sehingga dalam setiap pelaksanaan pembangunan berupaya melibatkan

masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dimaklumi

karena stakeholder tingkat kecamatan merupakan perpanjangan tangan pemerintah

kabupaten sehingga segala kebijakan pembangunan yang dilaksanakan diwilayah

kecamatan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten, yang sumber dananya

baik berasal dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat.

Menganalisis tingkat kehadiran dalam pertemuan, digunakan skala penilaian

dengan berpedoman pada Teori Sherry Arstein yaitu menggunakan delapan tangga

partisipasi. Kedelapan tangga tersebut adalah : a) hadir karena terpaksa, b) hadir

sekedar memenuhi undangan, c) hadir untuk memperoleh informasi tanpa

menyampaikan pendapat, d) hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan

pendapat tapi pendapatnya tidak diperhitungkan, e) hadir dan memberikan pendapat

namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan, f) hadir dan mendapat

pembagian tanggungjawab yang setara, g) hadir dan memiliki kewenangan untuk

membuat keputusan, h) hadir dan mampu membuat keputusan.

Kategori tingkat partisipasi ditentukan dengan penghitungan sebagai berikut :

Dari satu variabel pertanyaan diatas terdapat delapan pilihan jawaban dengan skor

terendah 1 dan skor tertinggi 8. Urutan skor tersebut berdasarkan pada 8 (delapan)

tingkat partisipasi dari Sherry Arstein, sehingga diperoleh skor minimum 1, yang

berasal dari 1 x 1 dan skor maksimum dari tiap individu adalah 8, yang berasal dari

1 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah 12 orang, maka skor minimumnya

adalah 12 x 1 = 12, dan skor maksimum adalah 12 x 8 = 96. Menentukan jarak

intervalnya, yaitu (96 – 12) / 8 = 10,5. Sehingga dengan menggunakan tipologi

Arstein maka diperoleh 8 (delapan) tingkat partisipasi dengan nilainya masing-

masing yaitu sebagaimana yang terdapat pada Tabel 13.

48

Tabel 13 Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi

No. Tangga Tingkat partisipasi Jumlah skor

8 Citizen Control 85,5 - 96

7 Delegated Power 75 - 85,5

6 Partnership 64,5 - 75

5 Placation 54 - 64,5

4 Consultation 43,5 - 54

3 Informing 33 - 43,5

2 Therapy 22,5 - 33

1 Manipulation 12 - 22,5

Tingkat Partisipasi Stakeholder

Pada tahap ini, sebanyak 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi hadir

dalam pertemuan dan akan memberikan pendapat walaupun hanya sedikit pendapat

yang akan diperhitungkan, 3 orang atau sebesar 25 persen memilih opsi hadir dan

memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, 2 orang atau sebesar 17 persen

memilih opsi hadir hanya untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan

pendapat, dan 1 orang atau sebesar 8 persen yang memilih opsi hadir dan mendapat

pembagian tugas yang setara, demikian juga opsi hadir dan mampu membuat

keputusan dipilih oleh 1 orang atau sebesar 8 persen. Hasil perhitungan tingkat

partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Tabel 14 dan Gambar

19.

Tabel 14 Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan

No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x Bobot

1

Tingkat

kehadiran

dalam

pertemuan

Hadir karena terpaksa 0

- 1 0

Hadir sekedar memenuhi

undangan 0

- 2 0

Hadir untuk memperoleh

informasi tanpa menyampaikan

pendapat 2

17 3 6

Hadir untuk memperoleh

informasi dan menyampaikan

pendapat tapi tidak

diperhitungkan 0

- 4 0

Hadir dan memberikan pendapat

namun hanya sedikit pendapat

yang diperhitungkan 5

42 5 25

Hadir dan mendapat pembagian

tanggung jawab yang setara 1

8 6 6

Hadir dan memiliki kewenangan

untuk membuat keputusan 3

25 7 21

Hadir dan mampu membuat

keputusan 1

8 8 8

Jumlah 12 100 66

49

17%

42% 8%

25%

8%

Hadir karena terpaksa

Hadir sekedar memenuhi undangan

Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikanpendapatHadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikanpendapat tapi tidak diperhitungkan Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikitpendapat yang diperhitungkanHadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara

Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan

Hadir dan mampu membuat keputusan

Kesadaran stakeholder untuk hadir dalam pertemuan cukup tinggi, meski

dengan alasan yang bervariasi. Tidak ada stakeholder yang memilih opsi hadir

karena terpaksa ataupun hadir sekedar memenuhi undangan. Walaupun sebagian

besar stakeholder memilih opsi hadir dan memberikan pendapat namun hanya

sedikit pendapat yang diperhitungkan, yang menunjukkan masih terdapat rasa

pesimis terhadap realisasi berbagai usulan ide/gagasan. Penyebab mayoritas opsi ini

paling banyak dipilih karena berbagai macam alasan yang menjadi penyebab betapa

banyak usulan kegiatan pembangunan tidak dapat dilaksanakan, dan alasan klasik

adalah terbatasnya pendanaan sehingga setiap usulan hanya mendapat jawaban

klasik juga yaitu ditampung dan diupayakan. Tentu saja, kondisi ini menimbulkan

sikap apatis dan apriori dari stakeholder non pemerintah, sehingga apabila diminta

mengusulkan suatu kegiatan terkesan lambat dan bahkan malas untuk

mengusulkannya kepada stakeholder pemerintah baik tingkat kecamatan maupun

kabupaten. Fenomena yang ada dan berkembang bahkan tidak jarang stakeholder

non-pemerintah (kalangan masyarakat) lebih cenderung mengusulkan ke

stakeholder di tingkat provinsi ataupun stakeholder di tingkat pusat. Diagram

tingkat partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Gambar 20.

Gambar 20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam

pertemuan

Tampak pada Tabel 14 dan Gambar 20, sebanyak 3 stakeholder atau sebesar

25 persen dan 1 stakeholder atau sebesar 8 persen yang memilih opsi memiliki

kewenangan untuk membuat keputusan dan mampu membuat keputusan,

menunjukkan bahwa stakeholder telah memahami posisi strategis mereka sebagai

penentu kebijakan akhir dari usulan perencanaan pembangunan yang akan

dilakukan didaerahnya. Hal ini sejalan dengan pilihan para stakeholder bahwa

diantara mereka tidak ada yang hadir karena terpaksa ataupun hadir sekedar untuk

memenuhi undangan, yang mengindikasikan para stakeholder memiliki kepedulian

yang tinggi untuk bersama-sama masyarakat merencanakan dan melaksanakan

program pengembangan pendidikan didaerahnya.

Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa partisipasi tingkat kehadiran dalam

pertemuan memiliki nilai 66, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga

50

Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership (kerjasama). Pada tingkat ini,

kehadiran dalam suatu pertemuan tidak akan dapat menghasilkan apa-apa bila tidak

adanya kerjasama berbagai pihak dan harus ada kejelasan pembagian tanggung

jawab antar stakeholder dalam merencanakan berbagai program sehingga terdapat

kesamaan kepentingan antara stakeholder.

Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk aktif dalam berdiskusi dan

mengemukakan pendapat, 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi aktif

berdiskusi dan mendapat pembagian tanggungjawab yang setara, 3 orang atau

sebesar 25 persen memilih opsi aktif tetapi merasakan hanya sedikit hasil diskusi

yang diperhitungkan, 2 orang atau sebesar 17 persen memilih opsi aktif berdiskusi

dan memiliki kewenangan membuat keputusan, 1 orang atau sebesar 8 persen

memilih opsi mendapat informasi dan merasakan boleh berpendapat tapi tidak

diperhitungkan, dan 1 orang atau sebesar 8% memilih opsi aktif berdiskusi dan

merasakan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan. Tidak ada yang

memilih opsi berdiskusi karena terpaksa, mendapat informasi dan berdiskusi

sekedarnya ataupun mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat.

Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat

dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 21.

Tabel 15 Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan

pendapat

No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x

Bobot

2

Tingkat

keaktifan dalam

berdiksusi dan

mengemukakan

pendapat

Berdiskusi karena terpaksa 0 - 1 0

Mendapat informasi dan

berdiskusi sekedarnya 0 - 2 0

Mendapat informasi dan tidak

diberi kesempatan berpendapat 0 - 3 0

Mendapat informasi dan boleh

berpendapat tapi tidak

diperhitungkan 1 8 4 4

Aktif, tetapi hasil diskusi hanya

sedikit sekali diperhitungkan 3 25 5 15

Aktif berdiskusi dan mendapat

pembagian tanggung jawab yang

setara 5 42 6 30

Aktif berdiskusi dan memiliki

kewenangan membuat keputusan 2 17 7 14

Aktif berdiskusi dan mampu

membuat keputusan 1 8 8 8

Jumlah 12 100

71

Tampak pada Tabel 15 diatas, terlihat bahwa kondisi sesungguhnya para

stakeholder memiliki kesadaran untuk bertanggungjawab dalam hal pengembangan

pendidikan didaerahnya karena tidak ada yang memilih opsi berdiskusi karena

terpaksa ataupun mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya ataupun mendapat

informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat, yang artinya mereka tetap

memiliki harapan agar kiranya dari suatu pertemuan didapat kesepakatan yang

memberikan kontribusi positif terhadap upaya pengembangan pendidikan

didaerahnya.

51

8%

25%

42%

17%

8%

Berdiskusi karena terpaksa

Mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya

Mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat

Mendapat informasi dan boleh berpendapat tapi tidakdiperhitungkan

Aktif, tetapi hasil diskusi hanya sedikit sekali diperhitungkan

Aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yangsetara

Aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan

Aktif berdiskusi dan mampu membuat keputusan

Gambar 21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam

berdiskusi dan mengemukakan pendapat

Tampak pada Tabel 15 dan Gambar 21, sebagian besar stakeholder terlibat

aktif dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Opsi paling banyak yaitu

pada tingkat aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara,

yang artinya 5 orang atau sebesar 42 persen selalu terlibat aktif dalam pertemuan

untuk mengemukakan pendapat dan mereka mendapatkan pembagian tugas yang

merata, sesuai dengan jabatan masing-masing.

Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan dalam berdiksusi dan

mengemukakan pendapat memiliki skor 71 poin, yang apabila didasarkan pada 8

(delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini,

dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat, sebagian besar stakeholder

berkeinginan untuk aktif dalam berdiskusi dan berharap mendapatkan limpahan

tugas yang setara.

Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk terlibat dalam kegiatan fisik, ada

dua opsi yang dipilih oleh masing-masing 3 orang atau sebesar 25 persen yaitu

jawaban terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan dan opsi terlibat dan

memiliki pembagian tanggung jawab yang sama. Opsi berikutnya yaitu dipillih oleh

dua orang atau sebesar 17 persen yaitu terlibat dan mampu membuat keputusan

serta mampu mengakses dana dari luar. Kemudian, masing-masing satu orang atau

sebesar 8 persen memilih opsi terlibat sekedarnya saja, terlibat tanpa mendapat

kesempatan menyampaikan ide-ide, terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-

ide tapi tidak diperhitungkan serta terlibat dan memiliki kewenangan untuk

melaksanakan ide tersebut. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam

kegiatan fisik dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil perhitungan tingkat keaktifan

untuk terlibat dalam kegiatan fisik sebagaimana pada Gambar 22.

52

8% 8%

8%

25% 25%

8%

17%

Terlibat karena terpaksa

Terlibat sekedarnya saja

Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide

Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-ide tapi tidakdiperhitungkan

Terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan

Terlilbat dan mendapat pembagian tanggung jawab yangsama

Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide

Terlibat dan mampu membuat keputusan

Tabel 16 Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik

No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x

Bobot

3

Tingkat

keaktifan

dalam kegiatan

fisik

Terlibat karena terpaksa

0

- 1 0

Terlibat sekedarnya saja

1

8 2 2

Terlibat tanpa mendapat

kesempatan menyampaikan ide-ide 1

8 3 3

Terlibat dan berkesempatan

menyampaikan ide-ide tapi tidak

diperhitungkan 1

8 4 4

Terlibat tapi hanya sedikit ide

yang diperhitungkan 3

25 5 15

Terlilbat dan mendapat pembagian

tanggung jawab yang sama 3

25 6 18

Terlibat dan memiliki kewenangan

melaksanakan ide 1

8 7 7

Terlibat dan mampu membuat

keputusan 2

17 8 16

Jumlah 12 100

65

Gambar 22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat

dalam kegiatan fisik

Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan untuk terlibat dalam

kegiatan fisik memiliki skor 65 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan)

tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, dalam

kegiatan fisik, sebagian besar stakeholder terlibat dan mendapat pembagian

53

tanggungjawab yang sama serta terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan

ide.

Pada tingkat partisipasi stakeholder pada kesediaan untuk membayar, empat

orang atau sebesar 33 persen memilih opsi terlibat dan mendapat pembagian

tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang, tiga orang memilih opsi

membayar tapi merasakan hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan.

Masing-masing dua orang atau sebesar 17 persen memilih opsi membayar dan

berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi hanya sedikit yang

diperhitungkan serta opsi membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide

pemanfaatan uang tersebut. Hasil perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar

dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 23.

Tabel 17 Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar

No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x

Bobot

4

Tingkat

kesediaan untuk

membayar

Membayar karena terpaksa

0

- 1 0

Membayar sekedarnya dan

tidak memperhatikan

manfaatnya 0

- 2 0

Membayar dan tidak

berkesempatan menyampaikan

ide pemanfaatannya 1

8 3 3

Membayar dan berkesempatan

menyampaikan ide

pemanfaatannya tapi tidak

diperhitungkan 2

17 4 8

Membayar tetapi hanya sedikit

ide pemanfaatan uang yang

dilaksanakan 3

25 5 15

Membayar dan mendapat

pembagian tanggung jawab

yang setara dalam pemanfaatan

uang 4

33 6 24

Membayar dan memiliki

kewenangan melaksanakan ide

pemanfaatan uang 2

17 7 14

Membayar dan mampu

membuat keputusan serta

mampu mengakses dana dari

luar 0

- 8 0

Jumlah 12 100

64

Tampak pada Tabel 17, tidak ada yang memilih opsi membayar karena

terpaksa, membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya ataupun

membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar.

Menjadi hal menarik adalah ketidakmampuan stakeholder kecamatan untuk

mengakses dana dari luar karena bukan hal yang sulit mengajak pihak swasta untuk

bersinergi memberikan sumbangan dalam rangka pengembangan pendidikan

diwilayahnya.

54

8%

17%

25% 33%

17%

Membayar karena terpaksa

Membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya

Membayar dan tidak berkesempatan menyampaikan idepemanfaatannya

Membayar dan berkesempatan menyampaikan idepemanfaatannya tapi tidak diperhitungkan

Membayar tetapi hanya sedikit ide pemanfaatan uang yangdilaksanakan

Membayar dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setaradalam pemanfaatan uang

Membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan idepemanfaatan uang

Membayar dan mampu membuat keputusan serta mampumengakses dana dari luar

Gambar 23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk

membayar

Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa kesediaan untuk membayar memiliki

skor 64 poin atau paling rendah diantara empat tingkat partisipasi, yang apabila

didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat

partnership. Pada tingkat ini, sebagian besar stakeholder bersedia untuk membayar

dan mendapatkan pembagian tanggungjawab yang setara dalam pemanfaatan uang.

Setelah mendapatkan bobot hasil analisis dari tiap tingkat partisipasi

stakeholder, langkah selanjutnya adalah merangkum bobot-bobot tersebut secara

keseluruhan untuk mendapatkan tingkat partisipasinya. Hal ini dilakukan dengan

tujuan mendapatkan nilai dari masing-masing tingkat partisipasi untuk dihitung

nilai keseluruhan sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir tingkatan partisipasi

stakeholder dalam program pengembangan pendidikan menengah Di Kabupaten

Bangka.

Menghitung tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan dilakukan

dengan cara sebagai berikut: Dari empat tingkat partisipasi, diperoleh skor

minimum 4, yang berasal dari 4 x 1 dan skor maksimum dari tiap tingkat partisipasi

adalah 32 poin, yang berasal dari 4 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah

12 orang, maka skor minimumnya adalah 4 x 12 = 48 poin, dan skor maksimum

adalah 12 x 32 = 384 poin. Menentukan jarak intervalnya, yaitu (384 – 48) / 8 = 42

poin. Sehingga dengan menggunakan tipologi Arstein maka diperoleh 8 (delapan)

tingkat partisipasi dengan nilainya masing-masing yaitu sebagaimana yang terdapat

pada Tabel 18. Rangkuman hasil perhitungan tingkat partisipasi stakeholder yang

terdiri atas: 1) tingkat kehadiran dalam pertemuan, 2) keaktifan dalam berdiskusi

dan menyampaikan pendapat, 3) keterlibatan dalam kegiatan fisik dan 4) kesediaan

untuk membayar, dapat dirangkum hasil analisisnya sebagaimana terdapat pada

Tabel 19.

55

Tabel 18 Perhitungan tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan

No. Tangga Tingkat partisipasi Jumlah skor

8 Citizen Control 342 - 384

7 Delegated Power 300 - 342

6 Partnership 258 - 300

5 Placation 216 - 258

4 Consultation 174 - 216

3 Informing 132 - 174

2 Therapy 90 - 132

1 Manipulation 42 - 90

Tabel 19 Rangkuman perhitungan tingkat partisipasi stakeholder

No. Variabel Skor

1 Tingkat kehadiran dalam pertemuan 66

2 Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat 71

3 Keterlibatan dalam kegiatan fisik 65

4 Kesediaan untuk membayar 64

Jumlah 266

Dari Tabel 19, tampak bahwa tingkat partisipasi yang memiliki nilai paling

besar yaitu keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yaitu sebesar

71 poin. Berikutnya adalah tingkat kehadiran dalam pertemuan sebesar 66 poin,

kemudian tingkat keterlibatan dalam kegiatan fisik sebesar 65 poin, dan yang

memiliki nilai paling kecil yaitu tingkat kesediaan untuk membayar yaitu sebesar

64 poin.

Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yang memiliki

nilai paling besar menunjukkan bahwa para stakeholder menyadari bahwa

pelaksanaan suatu kegiatan berawal dari hasil pertemuan guna menentukan arah

dan sasaran kegiatan sehingga program yang dilaksanakan dapat bermanfaat secara

keseluruhan. Tentu saja keberadaan stakeholder dalam suatu pertemuan adalah

keharusan karena mereka memiliki kewenangan yang legal dalam hal pengambilan

suatu keputusan.

Dari hasil rangkuman penghitungan analisis tingkat partisipasi stakeholder

pada Tabel 19, maka dapat ditentukan bahwa bobot keseluruhan tingkat partisipasi

berjumlah 266 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka

termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Dalam hal ini diartikan bahwa

terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam

perencanaan dan pembuatan keputusan serta telah terdapat kesamaan pandangan

antara stakeholder. Seperti yang diungkapkan oleh Epstein (2009) bahwa kemitraan

(partnership) berperan penting dalam pengembangan pendidikan.

Pemekaran wilayah sebagai implikasi penetapan sistem otonomi daerah telah

memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat dan para stakeholder untuk

berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Rustiadi et al.

(2011) menyatakan bahwa otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan

pembangunan berbasis pengembangan wilayah dimana lebih berperannya

masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan.

57

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH PASCA

PEMEKARAN KABUPATEN BANGKA

Pemekaran Wilayah, Tingkat Partisipasi dan Pendidikan

Salah satu urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan

pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah daerah adalah pelayanan bidang

pendidikan, yaitu pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk urusan

pelayanan pendidikan tinggi masih menjadi kewenangan permerintah pusat.

Penerapan sistem otonomi daerah yang merupakan perubahan dari sentralisasi

menjadi desentralisasi telah membuka ruang dan memberikan kesempatan kepada

masyarakat dan pemerintah daerah untuk lebih berperan secara aktif dalam

pengelolaan pembangunan daerah. Sebagaimana menurut Chan dan Sam (2010)

yang menyatakan bahwa proses desentralisasi pendidikan meliputi dua konsep

utama. Pertama, pemindahan kewenangan kebijakan pendidikan dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah. Kedua, segi yang lebih spesifik adalah pemindahan

berbagai keputusan mengenai sektor pendidikan dari pemerintah kepada

masyarakat.

Implikasi pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003 selain

berkurangnya luas wilayah, juga berkurangnya jumlah kecamatan karena sebagian

besar masuk dalam wilayah kabupaten pemekaran. Awalnya jumlah kecamatan di

Kabupaten Bangka yaitu dua puluh dua kecamatan, namun setelah pemekaran

menjadi delapan kecamatan terdiri dari empat kecamatan lama, yaitu Sungailiat,

Belinyu, Merawang dan Mendo Barat serta empat kecamatan yang baru terbentuk

pada tahun 2001, yaitu Bakam, Pemali, Puding Besar dan Riau Silip. Tentu saja

sebagai wilayah baru, masih banyak keterbatasan sarana dan prasarana bidang

pendidikan terutama bidang pendidikan menengah, dibandingkan dengan

kecamatan yang sudah lama terbentuk.

Adapun terhadap keterlibatan stakeholder dan masyarakat dalam

pengembangan pendidikan sebelum pemekaran wilayah bisa dikatakan masih

minim karena pada saat itu, khususnya sekitar tahun 1960 sampai dengan 1990-an,

masih berlakunya sistem sentralisasi pendidikan oleh pemerintah pusat dan kasus di

Kabupaten Bangka adanya peran serta PT. Timah yang juga ikut membantu

pemerintah daerah dalam upaya pengembangan pendidikan dengan membangun

sarana dan prasarana pendidikan serta penyediaan tenaga pendidik terutama untuk

Jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti SD UPTB Komplek Nangnung

Sungailiat, SMP UPTB Pemali, SMA UPTB Sungaiselan dan sebagainya.

Walaupun sekolah-sekolah PT. Timah itu diperuntukkan khusus untuk anak-anak

pegawai dan karyawan PT. Timah namun kondisi ini sungguh sangat membantu

pemerintah daerah karena biaya operasional, pengadaan perlengkapan, penyediaan

peralatan penunjang pendidikan dan pembayaran gaji tenaga pendidik yang

berstatus pegawai ataupun tenaga honor ditanggung seluruhnya oleh PT. Timah.

Berhubung semua biaya menjadi tanggungan PT. Timah maka semua kebijakan

internal menjadi kewenangan manajemen PT. Timah melalui pihak sekolah

sehingga baik pemerintah daerah maupun masyarakat serta orangtua peserta didik

tidak diperkenankan mengintervensi dalam setiap pengambilan keputusan dalam

hal apapun. Bisa dibayangkan pada masa itu, orangtua peserta didik di sekolah-

58

sekolah PT. Timah tidak memiliki peran apapun dalam upaya pengembangan

pendidikan di sekolah. Kalaupun ada pengambilan keputusan yang harus

melibatkan orangtua peserta didik maka dapat dipastikan hal tersebut hanya bersifat

formalitas yang merujuk pada tangga partisipasi Arstein berada pada tingkatan non

participation atau tingkat 1 dan 2 yaitu manipulation dan therapy. Tingkat

manipulation merupakan tingkatan paling rendah yang menempatkan masyarakat

hanya sebagai pihak yang memberikan persetujuan. Kondisi sebenarnya bahwa

tidak ada peran serta masyarakat. Tingkat therapy merupakan tingkatan paling

rendah kedua dimana keterlibatan masyarakat hanya memberikan bahan masukan

demi kepentingan pengambil kebijakan.

Pada awal tahun 1990-an, perlahan PT. Timah menyerahkan hak kepemilikan

sarana dan prasarana pendidikan beserta tenaga pendidiknya kepada pemerintah

daerah. Kemudian tahun 1998, berdirinya SMA Negeri 2 Sungailiat, yang sekarang

berubah nama menjadi SMA Negeri 1 Pemali, PT. Timah Tbk masih memberikan

konstribusi positif terhadap upaya perluasan akses jenjang pendidikan menengah,

bersinergi dengan pemerintah daerah memberikan beasiswa khusus siswa

berprestasi melalui kelas unggulan. Hal yang menjadi pembeda dengan tahun

sebelumnya, peserta didik kelas unggulan tidak terbatas hanya untuk anak pegawai

ataupun karyawan PT. Timah Tbk namun terbuka bagi siapa saja yang lulus

persyaratan administrasi dan akademik. Selain dibebaskan dari biaya sekolah,

peserta didik kelas unggulan juga mendapatkan akomodasi penginapan di asrama

dan perlengkapan sekolah. Kemudian, manajemen PT. Timah Tbk tidak

mengintervensi kebijakan pemerintah daerah dan sekolah dalam hal pengambilan

keputusan di sekolah, sehingga peran masyarakat melalui komite sekolah memiliki

porsi yang lebih besar. Saat ini PT. Timah masih memegang penuh hak

kepemilikan dan pengelolaan terhadap satu perguruan tinggi di Sungailiat yaitu

Politeknik Manufaktur Timah Bangka Belitung (POLMAN Babel).

Seiring dengan dinamika pelaksanaan otonomi daerah dan sistem

desentralisasi salah satu fenomenanya pemekaran/pembentukan daerah baru

semenjak tahun 2000, pemerintah daerah baru wajib memberikan jaminan akses

pendidikan bagi masyarakat. Kaitannya dengan pemekaran wilayah, Pemerintah

Kabupaten Bangka dapat lebih mudah untuk merencanakan dan melaksanakan

program kegiatan pembangunan sarana dan prasarana karena ruang lingkup wilayah

yang tidak terlalu luas lagi. Sebagai ilustrasi, sebelum dimekarkan jarak tempuh

ibukota kecamatan terjauh dengan ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Lepar

Pongok dengan Sungailiat adalah sekitar 12 jam dan harus menggunakan alat

penyebarangan laut karena Kecamatan Lepar Pongok terletak di pulau kecil

terpisah dari Pulau Bangka. Sedangkan setelah dimekarkan, jarak tempuh ibukota

kecamatan terjauh dengan ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Belinyu dengan

Sungailiat adalah sekitar 45 menit saja, yang berjarak 54 km. Jarak tempuh antar

kecamatan yang semakin pendek waktu tempuhnya akan memudahkan pelaksanaan

pengelolaan pembangunan khususnya dalam hal koordinasi, monitoring dan

evaluasi pelaksanaan program kegiatan. Selain itu juga, pendeknya rentang kendali

urusan birokrasi dan administrasi penyelenggaraan pendidikan telah memberikan

ruang yang cukup besar dalam peningkatan peran dan partisipasi masyarakat baik

melalui stakeholder pemerintah maupun non pemerintah.

Salah satu manfaat yang terasa langsung bagi masyarakat dalam bidang

pendidikan setelah pemekaran Kabupaten Bangka adalah kemudahan peserta didik

59

untuk mendapatkan layanan pendidikan tanpa harus mengeluarkan biaya yang

tinggi. Sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, terlebih pada jenjang pendidikan

menengah, peserta didik di wilayah yang belum memiliki sarana dan prasarana

apabila ingin melanjutkan pendidikannya seperti: SMA, SMK, dan MA, terutama

sekolah yang berstatus negeri, terpaksa harus mengeluarkan biaya yang tidak

sedikit tiap bulan untuk transportasi dan akomodasi karena harus bersekolah ke luar

dari wilayah tempat tinggalnya. Tentu saja hal ini akan memberatkan bagi orangtua

yang berpenghasilan rendah sehingga hanya orangtua yang berpenghasilan tinggi

atau mampu saja dapat membiayai anaknya untuk bersekolah di jenjang pendidikan

menengah. Namun setelah Kabupaten Bangka dimekarkan, kondisi saat ini semua

kecamatan telah memiliki sarana dan prasarana pendidikan menengah atas sehingga

biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua peserta didik untuk menyekolahkan

anaknya dapat diminimalisir.

Berdasarkan analisis deskriptif yang mengintegasikan hasil kuesioner dengan

metode Objektif, Reflektif, Interpretatif and Decisional atau ORID, partisipasi

stakeholder dalam pengembangan pendidikan khususnya pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka pasca pemekaran wilayah menempati tingkatan partnership

(kemitraan). Keterlibatan stakeholder yang bermitra dengan masyarakat dalam

pengembangan pendidikan setelah pemekaran wilayah sangat penting karena

masyarakat lebih memahami dan mengetahui kebutuhan di daerahnya. Saat ini,

Pemerintah Kabupaten Bangka telah menerapkan sistem pembangunan partisipatif.

Usulan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan

daerahnya dapat diajukan kepada pemerintah daerah melalui forum musyawarah

pembangunan tingkat desa dan kecamatan.

Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah

Berdasarkan hasil AHP dari level alternatif sebagaimana terdapat pada

Gambar 24, diperoleh bahwa alternatif tenaga pendidik memberikan pengaruh

paling tinggi. Tingkat Inconsistency-nya = 0.02, menunjukkan bahwa hasil ini

berada di dalam batas toleransi kekonsistenan sehingga datanya dapat digunakan.

Hal ini berarti persepsi stakeholder dalam pengembangan pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka berdasarkan pada tiga faktor yang berpengaruh menyatakan

bahwa faktor tenaga pendidik dan faktor sarana prasarana menjadi prioritas pertama

karena memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu 0.425 atau 42.50 persen dan

0.415 atau 41.50 persen.

Inconsistency : 0.02

Gambar 24 Hasil AHP dari level alternatif

Walaupun dari segi jumlah pendidik sudah cukup memadai, namun

kompetensinya tetap harus ditingkatkan karena tuntutan perubahan zaman yang

60

dinamis serta terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Diharapkan

dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik dapat lebih meningkatkan

perkembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Kualitas tenaga

pendidik memang memegang peranan penting dalam upaya pengembangan

pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh Sahertian (2008) bahwa dalam usaha

meningkatkan kualitas sumberdaya pendidikan, guru merupakan komponen

sumberdaya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus menerus.

Sarana dan prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka untuk saat

ini bisa disimpulkan belum tersebar secara merata karena masih ada kecamatan

yang belum memiliki SMK yaitu Kecamatan Merawang, Puding Besar, Riau Silip,

Pemali dan Bakam. Peserta didik yang berminat melanjutkan ke jenjang pendidikan

menengah kejuruan bisa dipastikan akan melanjutkan pendidikannya ke kecamatan

lain, baik ke Sungailiat maupun ke Kota Pangkalpinang. Tentu saja hal ini akan

memerlukan dana tambahan yang tidak sedikit untuk transportasi dan akomodasi

mereka.

Berdasarkan hasil AHP dari level kriteria/faktor sebagaimana terdapat pada

Gambar 25, diperoleh bahwa faktor ketersediaan dana memberikan pengaruh paling

tinggi atau sebesar 68,1 persen. Tingkat Inconsistency-nya = 0.00, menunjukkan

bahwa hasil ini masih berada di dalam batas toleransi kekonsistenan sehingga dapat

digunakan.

Gambar 25 Hasil AHP dari level kriteria

Ketersediaan dana yang cukup akan memberikan keleluasaan kepada

pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana yang memadai karena sarana

dan prasarana merupakan alat bantu yang menjadi penunjang kelancaran

terlaksananya kegiatan belajar mengajar. Ketersediaan sarana dan prasarana

menjadi penting karena dengan sarana dan prasarana yang memadai, peserta didik

dan pendidik dapat berinteraksi ilmiah dengan baik. Kondisi saat ini, prasarana

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka terdiri dari: SMA negeri 8 unit dan

SMA swasta 5 unit, SMK negeri 4 unit dan SMK swasta 5 unit, MA negeri 1 unit

dan MA swasta 6 unit dengan jumlah keseluruhan ruang kelas 329 ruang kelas.

Faktor partisipasi stakeholder

Berdasarkan faktor partisipasi stakeholder sebagaimana terdapat pada

Gambar 26, ketersediaan sarana dan prasarana menjadi prioritas pertama dengan

nilai 0.378. Peningkatan akses dan kemudahan peserta didik melanjutkan ke jenjang

pendidikan menengah membuat minat bersekolah meningkat sehingga hal ini harus

disikapi dengan penyediaan prasarana pendidikan menengah yang tersebar merata

di semua kecamatan. Oleh karena itu, stakeholder memegang peranan penting

dalam pembangunan prasarana tersebut dalam upaya pengembangan pendidikan

menengah di Kabupaten Bangka.

61

Gambar 26 Hasil AHP dari faktor partisipasi stakeholder

Faktor partisipasi masyarakat

Berdasarkan faktor partisipasi masyarakat sebagaimana terdapat pada

Gambar 27, keberadaan tenaga pendidik menjadi prioritas pertama dengan nilai

0.566.

Gambar 27 Hasil AHP dari faktor partisipasi masyarakat

Hasil studi evaluasi pemekaran daerah tahun 2001-2007 yang dilakukan oleh

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2008) bekerjasama dengan United

Nations Development Programme (UNDP) menyatakan bahwa jumlah siswa untuk

pendidikan setingkat SLTP dan SLTA sepanjang 2001-2005 di Daerah Otonomi

Baru (DOB) mengalami perkembangan yang positif dengan pertumbuhan jumlah

guru yang positif pula. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan ketersediaan

tenaga pendidik yang disertai dengan peningkatan partisipasi masyarakat usia

sekolah.

Masyarakat memiliki peran penting dalam memotivasi peserta didik untuk

melanjutkan pendidikannya. Dalam hal ini, masyarakat cenderung memilih tenaga

pendidik sebagai prioritas pertama karena ketersediaan prasarana pendidikan yang

lengkap identik dengan biaya sekolah yang tinggi. Hal ini yang tidak jarang

membuat banyak orangtua keberatan menyekolahkan anak-anaknya. Mengenai

peningkatan kualitas guru, seperti yang disebutkan dalam Chan dan Sam (2010)

bahwa memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka

menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill kemampuan yang tinggi karena

guru (tenaga pendidik) merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia

pendidikan.

Faktor ketersediaan dana

Berdasarkan faktor ketersediaan dana sebagaimana terdapat pada Gambar

28, sarana dan prasarana menempati prioritas tertinggi dengan nilai 0.446. Tentu

saja dari sisi ketersediaan dana, maka sarana dan prasarana menempati prioritas

pertama. Ketersediaan dana yang cukup membuat pemerintah leluasa melakukan

peningkatan mutu dengan membangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang

proses pembelajaran. Peningkatan mutu sarana dan prasarana pendidikan memang

telah dibiayai oleh pemerintah daerah dan pusat melalui dana APBD ataupun

62

APBN. Namun kondisi faktualnya, jumlah dana yang terbatas dan jumlah

kabupaten yang banyak membuat pemerintah daerah melalui dana APBD ataupun

pemerintah pusat melalui dana APBN tidak mampu mengakomodir berbagai

keluhan dalam waktu yang singkat.

Gambar 28 Hasil AHP dari faktor ketersediaan dana

Menurut Sarana (2009) bahwa ketersediaan sarana prasarana pendidikan guna

menjamin akses masyarakat akan pendidikan dasar, menengah dan atas bahkan

lanjutan perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Bidang pendidikan

sebagai bagian dari kewenangan (desentralisasi) menjadi salah satu urusan wajib

pemerintah daerah (Kabupaten/Kota). Seiring dengan dinamika pelaksanaan

otonomi dan desentralisasi salah satunya fenomena pemekaran/ pembentukan

daerah baru semenjak tahun 2000, pemerintah daerah baru pun wajib memberikan

jaminan akses pendidikan bagi masyarakat. Dalam kaitan dengan pemekaran daerah,

pemerintah makin pendek rentang kendalinya maka peningkatan pelayanan publik,

khususnya pendidikan menjadi sangat penting.

Hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) secara keseluruhan terdapat pada

Gambar 29.

Gambar 29 Hasil Analisis Proses Hirarki (AHP)

Pengembangan

pendidikan Menengah

di Kabupaten Bangka

Pengembangan

pendidikan Menengah

di Kabupaten Bangka

Partisipasi stakeholder

(0,168)

Partisipasi stakeholder

(0,168)Partisipasi Masyarakat

(0,150)

Partisipasi Masyarakat

(0,150)

Ketersediaan Dana

(0,681)

Sarana dan Prasarana

(0,415)Sumberdaya Aparatur

(0,161)

Sumberdaya Aparatur

(0,161)

Tenaga Pendidik

(0,425)

Level 1

Level 2

Level 3

63

Hasil AHP, sebagaimana terdapat pada Gambar 29, dari hirarki ketiga atau

level alternatif bahwa peningkatan kualitas tenaga pendidik memberikan pengaruh

paling tinggi atau sebesar 42.50 persen, tidak jauh berbeda dengan alternatif

pengadaan sarana dan prasarana atau sebesar 41.50 persen. Hal ini berarti persepsi

stakeholder dalam pengembangan pendidikan di Kabupaten Bangka menyatakan

bahwa faktor tenaga pendidik dan faktor sarana dan prasarana menjadi prioritas

pertama. Surya (2000) dalam Wiharna (2007) menyatakan bahwa tanpa guru,

pendidikan hanya akan menjadi slogan karena segala bentuk kebijakan dan program

pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan

yaitu guru. Artinya ketersediaan guru di sekolah merupakan kunci utama dalam

berlangsungnya proses belajar mengajar. Kemudian Idi (2011) menyatakan bahwa

produk final dari interaksi edukatif disekolah (formal) dan di luar sekolah

(informal) adalah menginginkan keberhasilan anak didiknya. Sukses tidaknya anak

didik lebih ditentukan oleh kualitas seorang pendidik. Peningkatan mutu pendidikan

merupakan sebuah keharusan, walaupun dalam perjalanannya membutuhkan

banyak perbaikan pada sektor yang mendukung dunia pendidikan itu sendiri.

Persyaratannya adalah terdapat sarana dan prasarana yang tentu saja memadai, di

antaranya seperti gedung sekolah yang representatif, terdapat perpustakaan yang

lengkap, sistem pendidikan, anggaran yang cukup, dan guru sebagai tenaga

pendidik.

Pada tahun 2003, kondisi sebelum pemekaran wilayah, rasio pendidik dengan

peserta didik adalah sebesar 1:24. Pada tahun 2011, kondisi setelah pemekaran

wilayah, rasio pendidik dengan peserta didik menjadi 1:13. Kondisi ini

menunjukkan setelah pemekaran wilayah terjadi peningkatan jumlah tenaga

pendidik sedangkan kondisi prasarana pendidikan menengah saat ini bahwa semua

kecamatan telah memiliki SMA berstatus negeri namun untuk SMK dan MA belum

merata di semua kecamatan sehingga kondisi ini harus mendapat perhatian dari

pemerintah agar dapat memperluas akses pendidikan menengah di kecamatan yang

belum memilikinya. Hasil dari hirarki kedua atau level kriteria, bahwa ketersediaan

dana memberikan pengaruh paling tinggi yaitu 0.681 atau sebesar 68.10 persen.

Ketersediaan dana yang cukup akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah

daerah untuk melaksanakan berbagai program kegiatan yang berkaitan dengan

upaya pengembangan pendidikan menengah, baik bersifat fisik yaitu pembangunan

ataupun perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, penambahan tenaga pendidik,

maupun non fisik yaitu peningkatan kualitas tenaga pendidik.

65

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemekaran Kabupaten Bangka berdampak positif terhadap peningkatan nilai

Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.

Adapun faktor-faktor yang memberikan pengaruh meningkatnya Angka Partisipasi

Kasar (APK) pendidikan menengah adalah sebagai berikut: 1) rasio jumlah ruang

kelas jenjang pendidikan menengah terhadap jumlah total penduduk, 2) luas

wilayah kecamatan, dan 3) kepadatan penduduk memberikan pengaruh positif

terhadap peningkatan nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka.

Kemitraan antar stakeholder dalam upaya mengembangkan pendidikan

menengah di Kabupaten Bangka telah terjalin dengan baik karena sudah terdapat

kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan dan

penentuan keputusan.

Persepsi stakeholder dalam pengembangan pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka pada level kedua atau kriteria menyatakan bahwa faktor

ketersediaan dana merupakan faktor yang paling penting dibandingkan faktor

partisipasi stakeholder dan partisipasi masyarakat. Ketersediaan dana yang cukup

akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai

program kegiatan peningkatan mutu pendidikan menengah dengan membangun

sarana dan prasarana yang dapat menunjang proses pembelajaran. Kemudian pada

level ketiga atau alternatif menyatakan bahwa faktor tenaga pendidik serta

pengadaan sarana dan prasarana merupakan faktor paling penting dibandingkan

faktor sumberdaya aparatur. Keberadaan tenaga pendidik serta ketersediaan sarana

dan prasarana berkaitan erat dalam upaya memajukan bidang pendidikan karena

proses belajar mengajar akan memperoleh hasil yang maksimal apabila didukung

dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.

Saran

1 Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan menengah harus dilakukan

dengan mengedepankan azas pemerataan terutama di kecamatan yang memiliki

nilai angka partisipasi kasar (APK) masih di bawah 80 persen, yaitu

Kecamatan Merawang (74.64 persen) dan Kecamatan Bakam (54.12 persen),

2 Pemerintah daerah harus memperbanyak ketersediaan ruang kelas pendidikan

menengah untuk meningkatkan daya serap dan daya tampung peserta didik

khususnya pada daerah yang jumlah penduduk usia pendidikan menengahnya

tinggi,

3 Meningkatkan peran dan keterlibatan stakeholder untuk menyerap aspirasi

masyarakat sebagai bahan penyusunan rencana strategis pembangunan

partisipatif,

4 Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga pendidik secara berjenjang dan

bertahap berdasarkan kebutuhan wilayah, khususnya pada kecamatan dengan

nilai angka partisipasi kasar (APK) terendah, yaitu Kecamatan Bakam (54.12

persen).

67

DAFTAR PUSTAKA

Agusniar A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian

Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Amirin T.M. 2011. Pengertian sarana dan prasarana pendidikan. Jakarta (ID):

Raja Grafindo Persada.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Studi Evaluasi Dampak

Pemekaran Daerah 2001-2007 kerjasama Bappenas dan United Nations

Development Programme (UNDP). Jakarta (ID): BRIDGE (Building and

Reinventing Decentralised Governance).

Bafadal I. 2004. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Manajemen

Perlengkapan Sekolah, Teori dan Aplikasi, Jakarta (ID): Bumi Aksara.

[BPS Bangka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. 2011. Kabupaten Bangka

Dalam Angka 2011. Sungailiat (ID): Badan Pusat Statistik.

Chan S.M, Sam T.T. 2010. Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi

Daerah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.

Chusnah U. 2008. Evaluasi Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program

Peningkatan Kualitas Sarana Prasarana Pendidikan di SMA Negeri 1

Surakarta [Tesis]. Semarang (ID): Univ Diponegoro.

Conyers D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar.

Yogyakarta (ID): Univ Gadjah Mada.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Depdagri.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Depdagri.

[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): Depdiknas.

[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses.

[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 1999. Profil Pendidikan

Kabupaten Bangka Tahun 1999. Sungailiat (ID).

[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2000. Profil Pendidikan

Kabupaten Bangka Tahun 2000. Sungailiat (ID).

[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2003. Profil Pendidikan

Kabupaten Bangka Tahun 2003. Sungailiat (ID).

[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2009. Profil Pendidikan

Kabupaten Bangka Tahun 2009. Sungailiat (ID).

[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2010. Profil Pendidikan

Kabupaten Bangka Tahun 2010. Sungailiat (ID).

[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2011. Profil Pendidikan

Kabupaten Bangka Tahun 2011. Sungailiat (ID).

Effendy A.R. 2008. Input Paper Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota. Yogyakarta

(ID): Univ Gadjah Mada.

Epstein J.L & Associates. 2009. School, Family, and Community Patrnerships,

Your Handbook For Action. US: Corwin Pr.

68

Falatehan A.F. 2009. Teknik Pengambilan Keputusan Menggunakan Analytical

Hierarchy Process (AHP) dan Expert Choice 2000. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor Pr.

Freeman R.E. 1984. Strategic Management: A stakeholder Approach. Boston (US),

MA: Pitman.

Gujarati D.N. 2004. Basic Econometrics, 4th edition. New York (US): McGraw-

Hill Companies.

Hermani A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian di

Kabupaten Brebes dan Kota Tegal [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Idi A. 2011. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta

(ID): Rajawali Pr.

Iwahashi R. 2004. A Theoretical Assessment of Regional Development Effects on

The Demand for General Education Faculty of Law and Letters. Okinawa

(JP): Ryukyus Univ.

Juanda B. 2007. Pemekaran Daerah serta Implikasinya Terhadap APBN. Jurnal

Ekonomi. 25: 157-171.

[Kemdiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2009. Pusat Statistik Pendidikan.

Jakarta (ID): Kemdiknas.

Khadiyanto P. 2007. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Unit Sekolah

Baru. Semarang (ID): Univ Diponegoro.

Marimba A.D. 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung (ID): Al Ma’arif.

Mikkelsen B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya

Pemberdayaan. Terjemahan Matheos Nalle. Jakarta (ID): Yayasan Obor

Indonesia.

Nasution S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Ozdemir M.S, Saaty T.L. 2006. The unknown in decision making: What to do about

it. European Journal of Operational Research. 174:349-359.

Pemerintah Kabupaten Bangka. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor

7 Tahun 2001 tentang Pembentukan 9 (Sembilan) kecamatan.

Riyadi, Bratakusumah D.S. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta

(ID): Gramedia Pustaka Utama.

Rosyada D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Sebuah Model Pelibatan

Masyarakat dalam Penyelengaraan Pendidikan. Jakarta (ID): Kencana.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan

Wilayah. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Saaty T.L. 1980. The Analytical Hierarchy Process: Planning, Priority Setting,

Resource Allocation. New York (US): McGraw-Hill.

Saaty T.L. 2008. Making decisions in hierarchic and network systems. Int. J.

Applied Decision Sciences. 1 (1): 24-79.

Saaty T.L, Niemira M.P. 2006. A Framework for Making a Better Decision: How to

Make More Effective Site Selection, Store Closing and Other Real Estate

Decisions. Research Review. 13: 1-4.

Sahertian P.A. 2008. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka

Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Rineka Cipta.

Sarana J. 2009. Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Implikasi Pemekaran Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Joko

Suryanto [penyunting]. Jakarta (ID): LIPI.

69

Sastropoetro S. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam

Pembangunan Nasional. Bandung (ID): Alumni.

Schubeler P. 1996. Participation and Partnership in Urban Infrastructure

Management. Washington DC (US): World Bank.

Shochrul R, Ajija. 2011. Cara cerdas menguasai Eviews. Jakarta (ID): Salemba

Empat.

Soetrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Todaro M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. [terjemahan]. Jakarta

(ID): Erlangga.

Walpole R.E. 1992. Pengantar Statistika, Bambang S. [penerjemah]. Jakarta (ID):

Gramedia.

Wiharna O. 2007. Perencanaan Kebutuhan Guru Sekolah Dasar Berdasarkan

Pendekatan Kewilayahan. Jakarta (ID): Univ Pendidikan Indonesia.

70

Lampiran 1 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Pemali

No. Nama Pekerjaan

Bentuk

partisipasi Tingkat partisipasi

Nomor Nomor 1 2 3 7 8

1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Moh. Nursi, S.IP PNS / Camat d a e h d e a c b b a b

2 Daryanus Gultom

PNS/Ka.

UPTD Pendidikan

e a c f b d b b b a a b

3 Zuri Aprizal

PNS/Ka.

PGRI Kecamatan

e a e f f e a a a a a a

4 H. Sutarman Wiraswasta/

Kepala Desa d a g f h f a a a a a a

5 Ahmad Zarkoni Swasta/Ketua

Komite d a h f h f a a a a a a

6 Syaiful Anwar Swasta d a c d c d c a c b a a

Lampiran 2 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Mendo Barat

No. Nama Pekerjaan

Bentuk

partisipasi Tingkat partisipasi

Nomor Nomor

1 2 3 7 8

1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 H. Zulfakar PNS / Camat d a g g g g a a a a a b

2 Hadi Sukamta

PNS/Ka. UPTD

Pendidikan d a g g f f a a a a a a

3 Buyung Topan

PNS/Ka. PGRI

Kecamatan d a e e e e b b b a a b

4 Rudi Karmidi

Wiraswasta/

Kepala Desa

Petaling d a e e e g a a c a a a

5

Gumanto

Iswandi

Swasta/Ketua

BPD e f f f f f a c c b a a

6 Kurniawan Saputra Swasta d a e e e c a a a b a a

Lampiran 3 Rekapitulasi jawaban wawancara mendalam kepada stakeholder sektor

pendidikan tingkat Kabupaten Bangka

No. Nama

responden Instansi

Rekapitulasi nilai Nilai

total

Rata-

rata Perenc Pelaks Evaluasi Manfaat

1 Drs. Yunan

Helmi, M.Si

Kepala Dinas

Pendidikan

Kabupaten

Bangka 7 7 6 8 20 0,78

2 Drs. H. Usnen,

M.Si

Ketua Komisi A

DPRD Kabupaten

Bangka 5 6 8 9 19 0,78

3 Arizal, A.Md Swasta 5 4 3 6 12 0,50

4 Rusli H.S., S.H

Ketua Dewan

Pendidikan

Kabupaten

Bangka 9 9 9 9 27 1,00

5 Fadillah Sabri,

M.Eng Tokoh masyarakat

2 2 2 4 6 0,28

6 Iwan Kusumah,

S.Pd

Ketua MKKS

Kabupaten

Bangka 7 7 6 8 20 0,78

72

Lampiran 4 Hasil regresi data panel menggunakan software eviews 6.0

Dependent Variable: Y

Method: Panel EGLS (Cross-section weights)

Date: 11/20/12 Time: 08:12

Sample: 2001 2006

Periods included: 6

Cross-sections included: 4

Total panel (balanced) observations: 24

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

X2 -1.99 294.1739 -6.782704 0.0000

X3 2.03 2636.726 7.716496 0.0000

X4 0.039 0.009126 4.300408 0.0004

X5 0.504 0.047431 10.63199 0.0000

DUMMY -49.537 11.80534 -4.196152 0.0005

C 103.698 19.07382 5.436673 0.0000

Weighted Statistics

R-squared 0.9431 Mean dependent var 69.59489

Adjusted R-squared 0.9274 S.D. dependent var 42.29938

S.E. of regression 8.4805 Sum squared resid 1294.551

F-statistic 59.7544 Durbin-Watson stat 1.649909

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.924517 Mean dependent var 58.69321

Sum squared resid 1697.031 Durbin-Watson stat 1.744681

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung pada tanggal 3 Juli 1976 dari Ayah bernama Sopiyan (alm) dan

Ibu bernama Holiyah. Penulis merupakan putera kesatu dari tiga bersaudara yang

semuanya laki-laki. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sungailiat namun

baru pada Tahun 1999 berkesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi

tepatnya di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Bangka program studi

agronomi, dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2003.

Pada tahun 2006 penulis diangkat menjadi CPNS dan bertugas di Dinas

Pertanian Kabupaten Bangka. Kemudian pada tahun 2008 hingga sekarang, penulis

ditugaskan di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka.

Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar melalui

beasiswa Pusbindiklatren, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas),

pada Program Magister Sains (S2) Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (PWL IPB). Sebagai persyaratan

dalam penyelesaian studi di sekolah pascasarjana, penulis melakukan penelitian

dengan judul: Strategi Pengembangan Pendidikan dan Partisipasi Stakeholder di

Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah.