sterilisasi tuba puerperium pada p4a0 post partum spontan nifas hari ke1,peb

22
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sterilisasi tuba pertama kali dilakukan oleh dokter Samuel Smith di Toledo Ohayo pada tahun 1880, setelah tindakan seksio sesarea pada wanita dengan contracted pelvis. Pada tahun 1919, Madlener melaporkan 85 tindakan sterilisasi tuba yang dilakukan setelah seksio sesaria ataupun laparatomi 3 diantaranya meninggal pasca operasi dikarenakan infeksi. Dikarenakan adanya factor resiko yang cukup besar prosedur sterilisasi tuba melalui laparatomi merupakan hal yang kurang popular sampai pertengahan abad 20. Sepanjang tahun 1936 sampai 1950 dari 1022 wanita yang menjalani prosedur sterilisasi metode Pomeroy pasca salin 3 diantaranya meninggal. Peneliti menyimpulkan bahwa resiko dari tindakan sterilisasi sebanding dengan resiko kehamilan multiparitas. Pada pertemuan tahunan dari American Gynecological Society tahun 1886, didebatkan mengenai hak seorang waniata untuk menjalani metode sterilisasi sebagai usaha untuk mengontrol kesuburan. Tersedianya dan diterimanya metode sterilisasi tuba sebagai metode untuk mengontrol kesuburan masih tetap terbatas hingga pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1970-an, popularitas dari metode sterilisasi tuba meningkat secara dramatis di seluruh dunia. Pada tahun 1970-1980-an angka operasi sterilisasi tuba meningkat secara signifikan di Eropa, Tiongkok, India, dan di berbagai negara di Asia, serta Amerika Latin. Di Amerika Serikat sendiri, angka operasi sterilisasi tuba meningkat hampir empat kali lipat, dari 200.000 (pada tahun 1970) hingga 700.000 (pada tahun 1977).Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan hal ini adalah adanya metode pembedahan baru, yaitu minilaparotomi dan laparoskopi. Berbeda dengan operasi sterilisasi dengan laparotomi, operasi dengan minilaparotomi atau laparoskopi lebih aman, memungkinkan pasien dapat rawat jalan, waktu pemulihan yang lebih pendek, dan memberikan hasil kosmetik yang lebih baik. Minilaporotomi telah banyak dilakukan di negara berkembang sedangkan laparoskopi lebih popular di negara maju, seperti Amerika Serikat. Minilaparotomi sebagai metode sterilisasi interval, dengan insisi suprapubik 2.5-3.0 cm, pertama kali diperkenalkan oleh Uchida dkk, di Jepang pada tahun 1961.Laparaskopi sebagai metode sterilisasi pertama kali diperkenalkan oleh Anderson (1937), kemudian oleh Power dan Barnes (1941). Penggunaan metode laparoskopi di Eropa dikemukakan

Upload: brilliantine-ch

Post on 04-Jan-2016

59 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

kzdlkn,zxnc

TRANSCRIPT

Page 1: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sterilisasi tuba pertama kali dilakukan oleh dokter Samuel Smith di Toledo Ohayo

pada tahun 1880, setelah tindakan seksio sesarea pada wanita dengan contracted pelvis.

Pada tahun 1919, Madlener melaporkan 85 tindakan sterilisasi tuba yang dilakukan

setelah seksio sesaria ataupun laparatomi 3 diantaranya meninggal pasca operasi

dikarenakan infeksi. Dikarenakan adanya factor resiko yang cukup besar prosedur

sterilisasi tuba melalui laparatomi merupakan hal yang kurang popular sampai

pertengahan abad 20. Sepanjang tahun 1936 sampai 1950 dari 1022 wanita yang

menjalani prosedur sterilisasi metode Pomeroy pasca salin 3 diantaranya meninggal.

Peneliti menyimpulkan bahwa resiko dari tindakan sterilisasi sebanding dengan resiko

kehamilan multiparitas.

Pada pertemuan tahunan dari American Gynecological Society tahun 1886,

didebatkan mengenai hak seorang waniata untuk menjalani metode sterilisasi sebagai

usaha untuk mengontrol kesuburan. Tersedianya dan diterimanya metode sterilisasi tuba

sebagai metode untuk mengontrol kesuburan masih tetap terbatas hingga pertengahan

abad ke-20. Pada tahun 1970-an, popularitas dari metode sterilisasi tuba meningkat secara

dramatis di seluruh dunia. Pada tahun 1970-1980-an angka operasi sterilisasi tuba

meningkat secara signifikan di Eropa, Tiongkok, India, dan di berbagai negara di Asia,

serta Amerika Latin. Di Amerika Serikat sendiri, angka operasi sterilisasi tuba meningkat

hampir empat kali lipat, dari 200.000 (pada tahun 1970) hingga 700.000 (pada tahun

1977).Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan hal ini adalah adanya

metode pembedahan baru, yaitu minilaparotomi dan laparoskopi. Berbeda dengan operasi

sterilisasi dengan laparotomi, operasi dengan minilaparotomi atau laparoskopi lebih

aman, memungkinkan pasien dapat rawat jalan, waktu pemulihan yang lebih pendek, dan

memberikan hasil kosmetik yang lebih baik. Minilaporotomi telah banyak dilakukan di

negara berkembang sedangkan laparoskopi lebih popular di negara maju, seperti Amerika

Serikat.

Minilaparotomi sebagai metode sterilisasi interval, dengan insisi suprapubik 2.5-3.0

cm, pertama kali diperkenalkan oleh Uchida dkk, di Jepang pada tahun 1961.Laparaskopi

sebagai metode sterilisasi pertama kali diperkenalkan oleh Anderson (1937), kemudian

oleh Power dan Barnes (1941). Penggunaan metode laparoskopi di Eropa dikemukakan

Page 2: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

oleh Palmer (Perancis), Steptoe (Inggris), Frangenheim (Jerman). Di Amerika Serikat,

pada tahun 1970, kurang dari1 % dari total sterilisasi dilakukan dengan laparoskopi.

Namun pada tahun 1975, lebih dari sepertiga dari 550.000 wanita yang menjalani

prosedur sterilisasi tuba dilakukan secara laparskopi.

Transisi tersebut berhubungan dengan menurunnya hari perawatan pasca operasi

dari 6.5 hari (pada tahun 1970) menjadi 4 hari (pada tahun 1975 hingga 1978). Pada tahun

1987, sepertiga dari operasi sterilisasi tuba di Amerika Serikat dapat dilakukan rawat

jalan, dan 79% diantaranya dilakukan dengan laparoskopi.

Sekarang, sterilisasi merupakan metode keluarga berencana yang paling sering

dilakukan di seluruh dunia. Pada tahun 1995, sekitar 223 juta pasangan menjalani

sterilisasi untuk motede kontrasepsi (180 juta wanita menjalani sterilisasi tuba dan 43 juta

laki-laki menjalani vasektomi)

Negara berkembang merupakan penyumbang terbanyak dari pengguna sterlirisasi.

Hampir setengahnya berasal dari Tiongkok, dan seperempatnya berasal dari India.

Vasektomi memberikan nilai persentase yang kecil pada negara berkembang, kecuali di

Tiongkok, India dan Korea Selatan. Rasio untuk sterilisasi pada wanita dengan pria

berkisar 4 berbanding 1.

Di Amerika Serikat, lebih dari 3 juta sterlirisasi tuba dilakukan pada periode tahun

1994 hingga 1996. Setengahnya dilakukan pada periode pasca salin, dan 58% dilakukan

setelah persalinan pervaginam dan sisanya (42%) dilakukan setelah seksio sesaria.

Setengahnya juga dilakukan pada periode interval, 96% dari seluruh total pasien

menjalani rawat jalan. Selama periode interval, laparoskopi digunakan sebanyak 89% dari

seluruh total pasien rawat jalan yang menjalani sterilisasi.

Di Amerika Serikat, sterilisasi merupakan metode kontrasepsi yang paling sering

digunakan pada pasangan menikah. Proporsi pasangan yang menjalani sterilisasi

meningkat sebanyak dua kali lipat, dari 16% (pada tahun 1973) hingga 36% (pada tahun

2002). Sebagaian besar terjadi peningkatan dari metode sterilisasi wanita (dari 9%

meningkat menjadi 27%).Berdasarkan distribusi usia pengguna metode sterilisasi, 10%

berusia 25 hingga 29 tahun, 19% berusia 30 hingga 34 tahun, 29% berusia 35 hingga 40

tahun, dan 35% berusia 40 hingga 44 tahun.

Page 3: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sterilisasi

Kontrasepsi bedah permanen, juga disebut sterilisasi sukarela, adalah metode bedah

dimana fungsi reproduksi seorang laki-laki atau perempuan sengaja dan secara permanen

dihancurkan. Operasi dilakukan pada laki-laki adalah vasektomi dan pada perempuan

adalah oklusi tuba, atau tubektomi.1 Menurut Williams Sterilisasi adalah pilihan

kontrasepsi populer bagi jutaan pria dan wanita. Prosedur ini ditunjukkan pada mereka

yang meminta sterilisasi dan yang jelas memahami sulitnya prosedur ini. American

College of Obstetricians dan Gynecologists (2009, 2013) merekomendasikan bahwa

semua orang yang menginginkan sterilisasi harus dikonseling mengenai pilihan

kontrasepsi alternatif.2

Konseling pasangan

Harus dilakukan konseling pasangan terlebih dahulu sebelum dilakukan prosedur

sterilisasi. Prosedur sterilisasi harus dibahas dari segi manfaat, risiko, efek samping,

tingkat kegagalan dan reversibilitas. Oklusi tuba falopii dalam beberapa bentuk adalah

prinsip yang mendasari sterilisasi wanita. Metode oklusi tuba adalah metode yang paling

populer pada kontrasepsi sterilisasi di seluruh dunia.1

2.1.1 Indikasi

1. Tujuan perencanaan keluarga adalah indikasi utama di sebagian besar negara-

negara berkembang.

2. Sosial ekonomi: Seorang individu diindikasikan untuk menerima metode ini

setelah mendapatkan jumlah anak yang diinginkan.

3. Indikasi medikosurgikal (terapi): Penyakit medis seperti penyakit jantung,

diabetes, penyakit ginjal kronis, hipertensi dengan perburukan, jika terjadi

kehamilan berulang dengan kondisi dan penyakit penyerta di atas, maka

disarankan untuk dilakukan sterilisasi. Pasien dengan riwayat operasi saesar

berulang sebanyak tiga kali atau operasi perbaikan prolaps, untuk menghindari

risiko yang terjadi komplikasi pada proses kehamilan berikutnya, operasi

sterilisasi harus dipertimbangkan. Waktu operasi:

a. Selama masa nifas (nifas): Jika pasien sehat, operasi bisa dilakukan 24-48

jam setelah persalinan. Keuntungan utama adalah kesederhanaan teknis.

Page 4: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

Tinggal di rumah sakit dan istirahat di rumah setelah persalinan cukup

untuk membantu pasien pulih secara bersamaan dari dua peristiwa, yaitu

melahirkan dan operasi.

b. Interval: Operasi ini dilakukan di luar 3 bulan setelah persalinan atau

aborsi. Waktu yang ideal untuk operasi mengikuti periode menstruasi

dalam fase proliferasi.

c. Bersamaan dengan MTP: Sterilisasi dilakukan bersama dengan

penghentian kehamilan. Hal ini banyak dilakukan terutama di kota besar.1

2.1.2 Metode Operasi Wanita (MOW)

Dari sudut pandang medis, sterilisasi dapat dilakukan kapan saja dan sering

dilakukan saat seksio sesarea. Bagi wanita yang melahirkan per vaginam, awal

masa nifas adalah masa yang paling tepat. Selama beberapa hari setelah

melahirkan, tuba falopii dan dapat diakses melalui umbilicus tepat dibawah

dinding abdomen.2 Metode sterilisasi wanita adalah Oklusi dengan cara reseksi

kedua segmen tuba falopii (biasa disebut Tubektomi) adalah prosedur yang

diterima secara luas. Metode operasi yang popular saat ini adalah oklusi tuba

dengan cincin atau klip atau elektrokoagulasi menggunakan laparoskopi.

Histerektomi selama periode melahirkan anak telah mendapat efek sterilisasi

insidental tetapi tidak harus dilakukan untuk tujuan sterilisasi.1

A. Sterilisasi Tuba Puerperium

Selama beberapa hari setelah melahirkan, fundus uteri terletak setinggi

umbilikus, dan saluran tuba dapat teraba langsung di bawah dinding perut.

Selain itu, kelemahan perut memungkinkan mudah reposisi insisi atas pada

cornu uterus. Dengan demikian, sterilisasi nifas secara teknis sederhana, dan

rumah sakit tidak perlu lama.3

Beberapa memilih untuk melakukan sterilisasi segera setelah

melahirkan, meskipun orang lain menunggu 12 sampai 24 jam. Di Parkland

Hospital, nifas ligasi tuba dilakukan di kamar bedah kandungan pagi hari

setelah melahirkan. Ini meminimalkan rawat inap di rumah sakit tetapi

menurunkan kemungkinan bahwa perdarahan postpartum akan mempersulit

pemulihan setelah operasi. Selain itu, status bayi baru lahir lebih baik

dipastikan sebelum operasi.3

Page 5: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

Berbagai teknik yang sekarang digunakan untuk mengganggu patensi

tuba. Secara umum, pertengahan segmen tuba fallopi dipotong, dan ujung-

ujungnya putus segel oleh fibrosis dan pertumbuhan kembali peritoneal.

Metode yang umum digunakan sterilisasi selang termasuk Parkland, Pomeroy,

dan dimodifikasi teknik Pomeroy (American College of Obstetricians dan

Gynecologists, 2013). Irving dan Uchida teknik atau Kroener fimbriectomy

jarang digunakan karena mereka melibatkan peningkatan diseksi, waktu

operasi, dan kemungkinan cedera mesosalpingeal. Dengan fimbriectomy,

tingkat kegagalan tidak baik tinggi berasal dari rekanalisasi dari segmen tuba

proksimal (Pati, 2000).2

B. Sterilisasi Tuba Non Puerperium

Teknik-teknik dan modifikasi lainnya pada dasarnya terdiri dari (1) ligasi

dan reseksi pada laparotomi seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk

sterilisasi masa nifas; (2) penerapan cincin permanen, klip, atau sisipan ke

saluran tuba dengan laparoskopi atau histeroskopi; atau (3) elektrokoagulasi

dari segmen tuba, biasanya melalui laparoskopi. Sebuah penjelasan rinci dan

ilustrasi ini dapat ditemukan di Williams Ginekologi, 2nd edition (Thompson,

2012). Di Amerika Serikat, pendekatan laparoskopi ke interval sterilisasi tuba

adalah yang paling umum. Prosedur ini sering dilakukan dalam pengaturan

rawat jalan bedah dan anestesi umum. Dalam hampir semua kasus, wanita itu

bisa habis dalam waktu beberapa jam. Minilaparotomy menggunakan insisi

suprapubik 3-cm juga populer, terutama di negara-negara miskin sumber daya

(Kulier, 2004). Meskipun tidak umum digunakan, rongga peritoneum dapat

masuk melalui vagina posterior fornix-colpotomy atau culdotomy-untuk

melakukan interupsi tuba. Morbiditas utama adalah langka baik

minilaparotomy atau laparoskopi.2

1. Tubektomi

Tubektomi adalah suatu operasi di mana reseksi segmen dari kedua

saluran tuba dilakukan untuk mencapai sterilisasi permanen. Dapat melalui

abdomen dan vagina.1

A. Abdomen

a. Konvensional (Laparatomy)

Page 6: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

Gambar 2.1 Langkah-langkah tubektomi pada metode pomeroy

Anestesi: Operasi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau

spinal atau lokal. Di mass camp anestesi lokal lebih baik. Dalam kasus

anestesi lokal, premedikasi dengan injeksi morfin 15 mg atau injeksi

petidin 100 mg dengan phenergan 50 mg IM yang akan diberikan

setidaknya 30-45 menit sebelum operasi. Daerah insisi yang disusupi

dengan 1% lignokain.

Insisi: Dalam kasus nifas, di mana rahim dirasakan

perabdominal, sayatan dibuat dua jari luasnya (1 inci) di bawah fundus

uteri dan pada jarak kasus, sayatan dibuat lebar 2 jari di atas simfisis

pubis. Sayatan dapat berupa garis tengah atau paramedian atau

melintang. Perut dibuka dengan prosedur biasa.

Pengeluaran tuba : Jari telunjuk diarahkan menyusuri sayatan.

Jari melewati seluruh permukaan posterior rahim dan kemudian ke

lapisan posterior ligamentum yang luas dimana tuba terhubungkan

keluar. Tuba diidentifikasi pada akhir fimbrial dan mesosalping

mengandung pembuluh anastomosis utero-ovarium.1 Jenis-jenis

metode tubektomi:

A. Metode Pomeroy

Ini adalah metode pemisahan tuba yang paling sederhana dan

cukup efektif. Untuk mengikat lengkung tuba harus digunakan

catgut polos, karena dasar ilmiah prosedur ini adalah absorpsi cepat

ligase dan kemudian pemisahan ujung-ujung tuba yang terpotong.2

Page 7: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

Sebuah loop dibuat dengan memegang tuba oleh forsep Allis

sedemikian rupa sehingga bagian utama dari loop sebagian besar

terdiri dari sebagian isthmus dan sebagian dari bagian ampullary

tuba (di persimpangan proksimal dan ketiga tengah). Melalui

daerah avaskular di mesosalping itu, jarum ulir dengan No '0'

catgut kromik dilewatkan dan kedua tungkai loop tegas diikat

bersama-sama. Sekitar 1-1,5 cm dari segmen loop distal ligatur

yang dipotong. Tuba dipotong sampai sekitar 1,5 cm dari tuba utuh

yang berdekatan dengan rahim.

Gambar 2.2 Metode Pomeroy

Segmen dari loop yang diangkat harus diperiksa untuk

memastikan bahwa dinding belum sebagian reseksi dan

mengirimkannya untuk pemeriksaan histologi. Prosedur yang sama

diulangi di sisi lain. Karena penyerapan ligatur diserap, cut

berakhir menjadi independen ditutup dan dipisahkan setelah

beberapa minggu. Keuntungan: Sangat mudah, aman dan sangat

efektif terlepas dari kesederhanaan teknik. Tingkat kegagalan 0,1-

0,5 persen. Cut berakhir menjadi independen ditutup dan menarik

kembali secara luas dari satu sama lain.

Page 8: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

B. Metode Irving

Prosedur ini merupakan prosedur yang paling kecil

kemungkinan kegagalannya. Prosedur ini berupa pemutusan tuba

falopii dan pemisahan tuba bagian medial dari mesosalping

secukupnya sehingga membentuk suatu segmen medial tuba.

Potongan distal dari segmen tuba proksimal ditanam dalam suatu

terowongan di myometrium di belakang uterus, dan ujung

proksimal segmen tuba distal ditanam didalam mesosalping.

Prosedur ini memerlukan permajanan yang cukup lebar.2

C. Metode Parkland

Gambar 2.3 Metode Parkland

Dikembangkan tahun 1990-an dan dirancang untuk

menghindari aproksimasi ujung-ujung tuba falopii yang dipotong

seperti pada prosedur Pomeroy.

Dibuat sebuah insisi kecil di dinding abdomen

infraumbilikus. Tuba falopii di identifikasi dengan menjepit bagian

tengah dengan sebuah klem Babock dan memastikannya melalui

identifikasi langsung fimbriae di bagian distal. Hal ini mencegah

kesalahan identifikasi ligamentum rotundum sebagai bagian tengah

tuba falopii. Apabila secara tidak sengaja tuba falopii terjatuh,

prosedur identifikasi di atas harus diulang kembali dari awal.

Kemudian dilakukan perforasi di tempat avascular di mesosalping

dekat tuba falopii dengan sebuah hemostat kecil, dan rahang

Page 9: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

hemostat dibuka untuk memisahkan tuba falopii dari mesosalping

di dekatnya sepanjang sekitar 2,5 cm. tuba falopii yang sudah

dibebaskan diikat di bagian proksimal dan distal dengan benang

kromik 0, dan segmen di tengah sekitar 2 cm dieksisi dan diperiksa

untuk melihat ada tidaknya perdarahan. Kedua segmen yang telah

dieksisi diberi label dan dikirim untuk konfirmasi histologis.

Angka kegagalan adalah sekitar 1 per 400 prosedur.2

D. Metode Madlener

Prosedur ini serupa dengan operasi Pomeroy, tetapi lengkung

tuba di hancurkan dan diligasi dengan benang tidak dapat diserap

dan tidak dilakukan reseksi. Prosedur ini tidak dianjurkan karena

angka kegagalannya sekitar 7 persen.2

E. Metode Kroener atau fimbriektomi

Merupakan pengangkatan semua bagian distal tuba untuk

menghasilkan sterilisasi dianjurkan oleh Kroener (1969) dan

penulis lain. Kroener mengikat tuba falopii dua kali dengan benang

sutera dan kemudian mengeksisi ujung tuba yang berfimbriae.

Walaupun Kroener melaporkan tidak ada angka kegagalan, penulis

lain mengungkapkan angka kegagalan sampai 3 persen (Metz,

1997;Taylor, 1972). Kegagalan biasanya disebabkan oleh adanya

sedikit jaringan fimbriae yang tersisa, atau akibat rekanalisasi

ujung proksimal tuba.1

b. Minilaparatomy

Tubektomi dilakukan melalui insisi kecil menggunakan beberapa

perangkat, prosedur ini disebut mini-lap. Ini telah dipopulerkan oleh

Uchida dari Jepang sejak 1961.

Langkah-langkah: (1) Anestesi - Selalu di bawah anestesi lokal

(2) Rencana sayatan - Seperti dijelaskan dalam metode konvensional

tetapi sayatan harus 1/2cm - 3/4cm, (3) retractor khusus dirancang

untuk dapat dimasukkan ke bagian abdomen yang telah dibuka (4)

Rahim diangkat atau didorong ke satu sisi atau sisi yang lain dengan

lift yang telah dimasukkan transvaginal ke dalam rongga rahim. Ini

membantu manipulasi tuba dan mendekatkannya ke daerah insisi,

Page 10: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

ketika dipegang menggunakan forceps arteri. (5) Teknik tubektomi

yang tepat dilakukan di satu sisi dan kemudian diulang di sisi lain. (6)

peritoneum ditutup oleh jahitan purse string.1

c. Ligasi Vaginal

Tubektomi melalui vagina dapat dilakukan bersama dengan

operasi plastik vagina atau dalam isolasi. Ketika dilakukan dalam

isolasi, pendekatan ke tuba adalah melalui posterior colpotomy. Dokter

bedah membutuhkan keterampilan tambahan operasi vagina. Kasus

Interval (uterus <12 minggu) yang paling cocok. Hal ini dilakukan di

bawah anestesi umum atau spinal. Dibutuhkan waktu yang lebih lama.

Laparotomi kadang-kadang diperlukan karena kesulitan. Komplikasi:

perdarahan, hematoma ligamentum yang luas dan cedera jarang dubur.

Dispareunia bisa menjadi komplikasi dikemudian hari. Keuntungan:

perawatan sederhana, nyaman pada wanita obesitas. Keterbatasan dan

keuntungan, dan kerugian relatif.

Tabel 2.1 Female Sterilization

2.1.3 Resiko Sterilisasi Tuba

Bahaya utama adalah penyulit anastesi, cedera struktur sekitar secara

tidak sengaja, embolisme paru (walaupun jarang), dan kegagalan

menghasilkan infertilitas sehingga kemudian terjadi kehamilan ektopik.

Karena membaiknya tingkat keamanan teknik anestesi dan laparaskopi,

angka kasus kematian untuk sterilisasi tuba telah jauh berkurang selama 2

dekade terakhir. Sebagai contoh, dari tahun 1977 sampai 1981, Peterson dkk.

Page 11: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

(1983) memperkirakan frekuensi kematian per kasus adalah 8 per 100.000

prosedur. Data yang lebih baru dari Hatcher dkk. (1998) menyatakan bahwa

angka kematian adalah sekitar 1,5 per 100.000 untuk sterilisasi laparaskopi.

Angka ini lebih baik dibandingkan dengan angka kematian ibu hamil yang

sekitar 8 per 100.000 kelahiran hidup.

DeStefano dkk. (1983) mengidentifikasi penyulit intra dan pascaoperasi

pada 1,7 persen dari sejumlah besar wanita yang menjalani elektrokoagulasi

tuba laparaskopi non-nifas untuk sterilisas. Factor-faktor yang diketahui

meningkatkan morbiditas adalah riwayat bedah abdomen atau panggul,

riwayat infeksi panggul, kegemukkan, diabetes dan anestesi umum.

2.1.4 Kegagalan Sterilisasi Tuba

Tidak ada metode sterilisasi tuba yang bebas kegagalan. Kegagalan ini

dapat menyebabkan kehamilan intrauterus atau ektopik.

a. Kegagalan Sterilisasi Tuba Interval

Penyebab kegagalan sterilisasi tuba interval tidak selalu jelas, tetapi

sebagian alasannya adalah:

1. Kesalahan bedah mungkin menjadi penyebab 30 sampai 50 persen

kasus

2. Pasien sudah hamil saat pembedahan, yaitu yang disebut sebagai

kehamilan fase luteal.

3. Kegagalan metode oklusi mungkin disebabkan oleh terbentuknya

fistula, yang dapat timbul setelah tindakan elektrokauterisasi. Klip

penjepit mungkin kurang bekerja sempurna, atau tuba falopii secara

spontan mengalami reanastomosis.

4. Kerusakan alat, misalnya gangguan arus listrik pada kauterisasi juga

dapat menjadi factor penyebab.

2.1.5 Kegagalan Sterilisasi Puerperium

Walaupun sejumlah pasien melaporkan peningkatan angka kegagalan

untuk sterilisasi yang dilakukan pada saat seksio sesarea, dengan teknik

sterilisasi tuba yang digunakan di Parkland Hospital, kami tidak menjumpai

adanya perbedaan. Dua penyebab utama pada kegagalan sterilisasi masa nifas

adalah:

Page 12: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

1. Kesalahan pembedahan, yakni pemotongan ligamentum rotundum dan

bukan tuba falopii, atau pemotongan tuba secara parsial.

2. Terbentuknya saluran fistula antara punting tuba yang terpotong, atau

reanastomosis spontan.

Soderstrom (1985) menyimpulkan bahwa sebagian besar kegagalan

sterilisasi tidak dapat dicegah. Kesimpulan serupa dikemukakan oleh

American College Obstetricians and Gynecologists (1996), yang

menyatakan “kehamilan setelah sterilisasi dapat terjadi tanpa kesalahan

teknis apapun”.

2.1.6 Sindrom Pascaligasi Tuba

Sindrom ini biasanya ditandai oleh rasa tidak nyaman di panggul,

pembentukan kista ovarium, dan khususnya menoragia. Masih perlu dibuktikan

apalah ligase tuba menyebabkan salah satu dari keluhan diatas. Kasonde dan

Bonnar (1997) mengukur darah hadi yang keluar sebelum dan 6 sampai 12

bulan setelah sterilisasi tuba. Mereka tidak menemukan perbedaan bermakna

dalam hal pengeluaran darah haid. Mereka juga melaporkan bahwa wanita yang

datang sudah mengalaminya segera setelah sterilisasi biasanya sudah mengalami

gangguan haid. Sebenarnya, separuh atau lebih wanita yang mengalami

gangguan haid sebelumnya sterilisasi memperlihatkan perbaikan 2 tahun setelah

sterilisasi. DeStefano dkk (1985) serta Shy dkk (1992) menyertakan kelompok

control berupa wanita yang pasangannya menjalani vasektomi. Mereka

melaporkan bahwa gangguan perdarahan haid jarang terjadi kecuali apabila hal

tersebut sudah dilaporkan sebelum sterilisasi. Yang menarik, bandingkan

dengan control normal, wanita yang haidnya tidak teratur sebelum sterilisasi

memberi kemungkinan lebih kecil untuk pulih secara spontan ke siklus normal

setelah itu. Vessey dkk. (1983) membandingkan frekuensi gangguan ginekologis

dan psikologis antara wanita yang menjalani sterilisasi tuba dan mereka yang

suaminya menjalani vasektomi, dan hanya mendapatkan sedikit perbedaan

antara kedua kelompok tersebut.

Observasi terakhir yang dilaporkan Peterson dkk. (2000) untuk US

Collaborative Review of Sterilization Working Group penting diperhatikan.

Mereka memperlihatkan bahwa sterilisasi tuba tidak diikuti oleh peningkatan

resiko kelainan haid. Hal ini disimpulkan setelah dilakukan penelitian terhadap

Page 13: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

9514 wanita yang telah menjalani sterilisasi tuba dan membandingkannya

dengan 573 wanita yang pasangannya menjalani vasektomi. Pada kedua

kelompok tidak terdapat perbedaan dalam peningkatan volume darah haid atau

perdarahan antarhaid. Wanita yang menjalani sterilisasi tuba cenderung lebih

banyak melaporkan penurunan durasi haid, jumlah darah haid, dan dismenorea.

Meski pemotongan total tuba falopii merupakan keharusan, pada saat

yang sama aliran darah melalui mesosalping di dekatnya sebaiknya

dipertahankan. Hal ini dapat memperkecil kemungkinan kelainan “pascaligasi”

yang oleh sebagian pihak diduga disebabkan oleh sterilisasi tuba. Yang menarik,

El-Minawi dkk (1983) dengan bantuan venografi sering menemukan varises

uterovagina dan ovarium setelah prosedur Pomeroy dan beberapa prosedur lain,

tetapi tidak ditemukan pada prosedur Parkland.

Page 14: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Yenny Maay

Umur : 35 Tahun, Waris 11 November 1979

Alamat : Aryoko

Agama : Kristen Katolik

Suku/Bangsa : Keerom

Pendidikan : Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)

Tanggal MRS : 11 Oktober 2015

3.2 ANAMNESIS :

1. Keluhana Utama : ingin tutup kandungan

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien P4A0 datang dengan rencana mengganti alat kontrasepsi. HPHT 18/11/2014.

Pasien mengeluh bila memakai pil KB atau suntik KB merasa mual, sakit kepala, dan

haid menjadi tidak teratur terkadang tiap 2-3 bulan. Pasien juga mengeluh saat

memakai suntik KB sering kali lupa kembali untuk control suntik berikutnya. Pasien

mengaku pernah mendengar mengenai implant dan spiral tetapi mengaku kurang

menyukai metode tersebut. Pasien mengaku pernah mendengar mengenai tutup

kandungan atau steril dan merasa lebih mantap dengan steril karena pasien merasa

sudah cukup dengan 4 orang anak dan tidak ingin menambah anak lagi, selain karena

alasan usia dan penyakit penyerta saat hamil anak ke 4.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi, Jantung, Diabetes Melitus, Alergi, Asma, infeksi kelamin lainnya, infeksi

sistemin lainnya, dan riwayat operasi sebelumnya disangkal.

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung, Alergi dan Asma disangkal.

Page 15: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

5. Riwayat Obestetri

a. Riwayat Kehamilan

No Jenis

Persalinan Penolong BB

Jenis

Kelamin

Umur

Sekarang Hidup/Mati

1. Spontan Bidan 2900 gr ♂ 14 thn Hidup

2. Spontan Bidan 2700 gr ♀ 13 thn Hidup

3. Spontan Bidan 2700 gr ♂ 9 thn Hidup

4. Spontan Dokter 3450 gr ♀ 1 hari Hidup

b. Riwayat Kehamilan

Usia Pernikahan : ♂ Umur : 26 tahun, pendidikan : SMA, Pekerjaan : PNS

♀ Umur : 24 tahun, pendidikan : SMP, Pekerjaan : IRT

Pernikahan ke : I, Suami ke : I

Dengan suami sekarang : 11 tahun.

c. Riwayat Menstruasi

Menarche : 12 tahun

Siklus haid : teratur, 28 hari

Gejala Penyerta : tidak ada

HPHT : 18 November 2014

6. Riwayat Penggunaan Kontrasepsi sebelum hamil

Jenis kontrasepsi : Suntik dan Pil

Berapa lama : 3 tahun

Sebab berhenti : menstruasi tidak 15ancer

Rencana KB setelah melahirkan : rencana steril

3.3 STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis

Tinggi Badan : 157 cm Berat Badan : 67 Kg

Tanda-tanda vital : TD 130/90, N: 88 kali/menit, RR: 22 kali/menit, SB: 37,6 oC

Kepala : Mata : Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Pupil : bulat, isokhor

Page 16: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

Hidung : Dalam batas normal

Mulut : Dalam batas normal

Telinga : Dalam batas normal

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks : Jantung : Bunyi Jantung I-II regular

Paru : Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen : Hati : tak teraba

Limpa : tak teraba

Ekstremitas : Udem tungkai (-)

Refleks : Patella (+)

3.4 STATUS OBSTETRI

Pemeriksaan Luar

TFU : 2 jari di atas sympisis pubis

Kontraksi : Baik

Pemeriksaan Dalam

v/v : tenang

VT : Kasa (-), Perdarahan aktif (-)

3.5 DIAGNOSIS SEMENTARA : post partum spontan pada P4A0, Nifas hari ke 1

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Laboratorium

Parameter Result Units Reference Range

WBC

RBC

HGB

HCT

MCV

MCH

MCHC

PLT

Proteinuria

10.6

5.01

10.3

21.0

56.6

19.1

33.8

201

++

10^3/uL

10^6/uL

g/dL

%

fL

pg

g/dL

10^3/uL

5 – 10

M=4.50-5.50, F=4.0-5.0

M=14.0-17.4, F=12.0-16.0

M=42-52, F=36-48

84.0-96.0

28.0-34.0

32.0-26.0

150-400

Page 17: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

3.7 RESUME

Ny. YM, umur 35 tahun datang dengan keluhan ingin tutup kandungan. HPHT

18/11/2014. Pasien P4A0 datang dengan rencana mengganti alat kontrasepsi. Pasien

mengeluh bila memakai pil KB atau suntik KB merasa mual, sakit kepala, dan haid

menjadi tidak teratur terkadang tiap 2-3 bulan. Pasien juga mengeluh saat memakai suntik

KB sering kali lupa kembali untuk control suntik berikutnya. Pasien mengaku pernah

mendengar mengenai implant dan spiral tetapi mengaku kurang menyukai metode

tersebut. Pasien mengaku pernah mendengar mengenai tutup kandungan atau steril dan

merasa lebih mantap dengan steril karena pasien merasa sudah cukup dengan 4 orang

anak dan tidak ingin menambah anak lagi, selain karena alasan usia dan penyakit penyerta

saat hamil anak ke 4. Status generalis : dalam batas normal, status obstetric : Tinggi

fundus uteri 2 jari dibawah umbilicus, kontraksi baik. Pemeriksaan penunjang: Hb: 10.3

g/dl, proteinuria (++).

3.8 DIAGNOSIS KERJA : post partum spontan pada P4A0, Nifas hari ke 1 + PEB

3.9 RENCANA TERAPI

- IVFD RL 500 cc (20 tpm)

- Ceftriaxone 2 gr/ 24 jam (i.v)

- Metronidazole 3 x 500 mg (i.v)

- Paracetamol 500 mg (bila perlu)

- Cek DDR ulang

- Metildopa 3 x 250 g

- Mobilisasi dini

- Hygiene vulva

- Edukasi ASI

- Rencana MOW

3.10 LAPORAN OPERASI

A. Laporan operasi Tubektomi tanggal 13 Agustus 2015 (dokter ahli dr.DHU,Sp.OG,

Jam 1120

– 1150

WIT)

- Pasien terlentang di meja operasi dalam spinal anastesi

- Dilakukan asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya

- Insisi subumbilikus ± 3 cm

Page 18: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

- Identifikasi tuba → dilakukan tubektomi pomeroy pada tuba kanan dan kiri

- Perdarahan minimal

- Dinding abdomen di jahit lapis demi lapis

- Tindakan selesai

B. Instruksi post operasi

- IVFD RL : D5% : Tutofusin : Clinimix

- Ceftriaxone 1x2gr

- Metronidazole 3x500mg

- Ketorolac 3x1

- Alinamin F 3x1

- Ranitidine 2x1

- Ondancentron 3x1

- Vitamin C 3x1

- Asam tranexamat 3x1

3.1 OBSERVASI POST OPERASI

Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis

Tinggi Badan : 157 cm Berat Badan : 67 Kg

Tanda-tanda vital : TD 130/90, N: 80 kali/menit, RR: 20 kali/menit, SB: 36,0 oC

Kepala : Mata : Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Pupil : bulat, isokhor

Hidung : Dalam batas normal

Mulut : Dalam batas normal

Telinga : Dalam batas normal

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks : Jantung : Bunyi Jantung I-II regular

Paru : Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen : Hati : tak teraba

Limpa : tak teraba

Ekstremitas : Udem tungkai (-)

Refleks : Patella (+)

Page 19: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

Diagnosa Akhir : sterilisasi tuba puerperium pada P4 post partum spontan, nifas

hari ke 1 + PEB

Terapi :

- Co Amoxcilav 3x 625mg (p.o)

- Natrium Diclofenac 3x 50mg (p.o)

- Sulfas Ferosus 2x 300mg (p.o)

- Methyldopa 3x 250mg (p.o)

Page 20: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

BAB 4

MASALAH DAN PEMBAHASAN

4.1 Sudah tepatkah metode kontrasepsi pada pasien ini?

Metode kontrasepsi yang ditawarkan pada pasien ini adalah metode kontrasepsi jangka

panjang. Berdasarkan jenis metode kontrasepsi jangka panjang yang ada, yaitu tubektomi

(MOW), pemasangan IUD dan implant, metode tubektomi (MOW) merupakan metode

kontrasepsi jangka panjang yang paling cocok pada psien ini dikarenakan pasien memiliki

jumlah anak yang sudah cukup. Indikasi lainnya yang menjadi pertimbangan adalah usia

dari pasien sendiri, 35 tahun, dimana untuk kehamilan berikutnya dengan usia ibu lebih

dari 35 tahun, maka resiko untuk terjadinya komplikasi/ penyulit pada proses kehamilan

dan persalinan baik bagi ibu dan janin akan lebih besar. Terlebih ibu dengan riwayat

preeclampsia berat pada kehamilan ini. Resiko untuk terjadinya preeclampsia berulang

pada kehamilan berikutnya akan lebih besar. Angka kegagalan tubektomi (MOW) lebih

rendah bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi jangka panjang lainnya (implant

dan IUD).

4.2 Sudah tepatkah indikasi sterilisasi pada pasien ini?

Indikasi sterilisasi pada pasien ini adalah untuk perencanaan keluarga, dimana jumlah

anak yang dimiliki sudah cukup. Indikasi lainnya yaitu indikasi medikosurgikal yaitu

yang menjadi pertimbangan adalah usia dari pasien sendiri, 35 tahun, dimana untuk

kehamilan berikutnya dengan usia ibu lebih dari 35 tahun, maka resiko untuk terjadinya

komplikasi/ penyulit pada proses kehamilan dan persalinan baik bagi ibu dan janin akan

lebih besar. Terlebih ibu dengan riwayat preeclampsia berat pada kehamilan ini. Resiko

untuk terjadinya preeclampsia berulang pada kehamilan berikutnya akan lebih besar.

4.3 Sudah tepatkah metode sterilisasi yang dipilih pada pasien ini?

Metode yang dipilih adalah metode sterilisasi Pomeroy. Metode sterilisasi Pomeroy

memang metode sterilisasi yang paling mudah dan aman dikerjakan, dengan tingkat

kegagalan 0.1-0.5%. Bila dibandingkan dengan metode sterilisasi lainnya, yang memiliki

tingkat kegagalan paling kecil adalah metode Kroener. Dari daftar pustaka didapatkan,

angka kegagalan tubektomi metode Kroener/ fimbrektomi berkisar 0.1-.0.19%. Jadi

sebaiknya metode sterilisasi yang dipilih adalah metode dengan tingkat kegagalan yang

paling rendah dikarenakan pasien sudah tidak menginginkan kehamilan lagi.

Page 21: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

4.4 Sudah tepatkah waktu sterilisasi pada pasien ini?

Pemilihan waktu sterilisasi pada pasien ini adalah dalam masa puerpurium/ masa nifas.

Pada masa nifas, telah diketahui, kita dapat mencapai dan mengidentifikasi uterus dan

tuba lebih mudah bila dibandingkan dengan sterilisasi interval. Terkait dengan tingkat

kepatuhan pasien, pada pasien ini, dirasakan tingkat kepatuhan untuk kembali lagi ke RS

untuk dilakukan sterilisasi interval sangat rendah. Jadi disarankan untuk dilakukan

sterilisasi puerpurium.

Page 22: Sterilisasi Tuba Puerperium Pada P4A0 Post Partum Spontan Nifas Hari Ke1,PEB

DAFTAR PUSTAKA

1. Dutta, DC : Normal Labor;Textbook of Obstetrics;5th

ed. New Central Book Agency,

Calcutta, 2013

2. Cunningham, Leveno, Bloom, Spong, Dashe, Hoffman, et all. Puerperium. Williams

Obstetrics. 24th

edition. New York: McGraw Hill Publishing; 2014

3. Beshay, VE & Carr, BR 2012, ‘Sterilisation’, Williams Gynecology, 2nd

edn, McGraw

Hill Professional, United States.

4. Evidence-based Clinical Guidline Number 4, Male and Female Sterilisation, RCOG,

London; 2004