sterilisasi tuba puerperium pada p4a0 post partum spontan nifas hari ke1,peb
DESCRIPTION
kzdlkn,zxncTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sterilisasi tuba pertama kali dilakukan oleh dokter Samuel Smith di Toledo Ohayo
pada tahun 1880, setelah tindakan seksio sesarea pada wanita dengan contracted pelvis.
Pada tahun 1919, Madlener melaporkan 85 tindakan sterilisasi tuba yang dilakukan
setelah seksio sesaria ataupun laparatomi 3 diantaranya meninggal pasca operasi
dikarenakan infeksi. Dikarenakan adanya factor resiko yang cukup besar prosedur
sterilisasi tuba melalui laparatomi merupakan hal yang kurang popular sampai
pertengahan abad 20. Sepanjang tahun 1936 sampai 1950 dari 1022 wanita yang
menjalani prosedur sterilisasi metode Pomeroy pasca salin 3 diantaranya meninggal.
Peneliti menyimpulkan bahwa resiko dari tindakan sterilisasi sebanding dengan resiko
kehamilan multiparitas.
Pada pertemuan tahunan dari American Gynecological Society tahun 1886,
didebatkan mengenai hak seorang waniata untuk menjalani metode sterilisasi sebagai
usaha untuk mengontrol kesuburan. Tersedianya dan diterimanya metode sterilisasi tuba
sebagai metode untuk mengontrol kesuburan masih tetap terbatas hingga pertengahan
abad ke-20. Pada tahun 1970-an, popularitas dari metode sterilisasi tuba meningkat secara
dramatis di seluruh dunia. Pada tahun 1970-1980-an angka operasi sterilisasi tuba
meningkat secara signifikan di Eropa, Tiongkok, India, dan di berbagai negara di Asia,
serta Amerika Latin. Di Amerika Serikat sendiri, angka operasi sterilisasi tuba meningkat
hampir empat kali lipat, dari 200.000 (pada tahun 1970) hingga 700.000 (pada tahun
1977).Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan hal ini adalah adanya
metode pembedahan baru, yaitu minilaparotomi dan laparoskopi. Berbeda dengan operasi
sterilisasi dengan laparotomi, operasi dengan minilaparotomi atau laparoskopi lebih
aman, memungkinkan pasien dapat rawat jalan, waktu pemulihan yang lebih pendek, dan
memberikan hasil kosmetik yang lebih baik. Minilaporotomi telah banyak dilakukan di
negara berkembang sedangkan laparoskopi lebih popular di negara maju, seperti Amerika
Serikat.
Minilaparotomi sebagai metode sterilisasi interval, dengan insisi suprapubik 2.5-3.0
cm, pertama kali diperkenalkan oleh Uchida dkk, di Jepang pada tahun 1961.Laparaskopi
sebagai metode sterilisasi pertama kali diperkenalkan oleh Anderson (1937), kemudian
oleh Power dan Barnes (1941). Penggunaan metode laparoskopi di Eropa dikemukakan
oleh Palmer (Perancis), Steptoe (Inggris), Frangenheim (Jerman). Di Amerika Serikat,
pada tahun 1970, kurang dari1 % dari total sterilisasi dilakukan dengan laparoskopi.
Namun pada tahun 1975, lebih dari sepertiga dari 550.000 wanita yang menjalani
prosedur sterilisasi tuba dilakukan secara laparskopi.
Transisi tersebut berhubungan dengan menurunnya hari perawatan pasca operasi
dari 6.5 hari (pada tahun 1970) menjadi 4 hari (pada tahun 1975 hingga 1978). Pada tahun
1987, sepertiga dari operasi sterilisasi tuba di Amerika Serikat dapat dilakukan rawat
jalan, dan 79% diantaranya dilakukan dengan laparoskopi.
Sekarang, sterilisasi merupakan metode keluarga berencana yang paling sering
dilakukan di seluruh dunia. Pada tahun 1995, sekitar 223 juta pasangan menjalani
sterilisasi untuk motede kontrasepsi (180 juta wanita menjalani sterilisasi tuba dan 43 juta
laki-laki menjalani vasektomi)
Negara berkembang merupakan penyumbang terbanyak dari pengguna sterlirisasi.
Hampir setengahnya berasal dari Tiongkok, dan seperempatnya berasal dari India.
Vasektomi memberikan nilai persentase yang kecil pada negara berkembang, kecuali di
Tiongkok, India dan Korea Selatan. Rasio untuk sterilisasi pada wanita dengan pria
berkisar 4 berbanding 1.
Di Amerika Serikat, lebih dari 3 juta sterlirisasi tuba dilakukan pada periode tahun
1994 hingga 1996. Setengahnya dilakukan pada periode pasca salin, dan 58% dilakukan
setelah persalinan pervaginam dan sisanya (42%) dilakukan setelah seksio sesaria.
Setengahnya juga dilakukan pada periode interval, 96% dari seluruh total pasien
menjalani rawat jalan. Selama periode interval, laparoskopi digunakan sebanyak 89% dari
seluruh total pasien rawat jalan yang menjalani sterilisasi.
Di Amerika Serikat, sterilisasi merupakan metode kontrasepsi yang paling sering
digunakan pada pasangan menikah. Proporsi pasangan yang menjalani sterilisasi
meningkat sebanyak dua kali lipat, dari 16% (pada tahun 1973) hingga 36% (pada tahun
2002). Sebagaian besar terjadi peningkatan dari metode sterilisasi wanita (dari 9%
meningkat menjadi 27%).Berdasarkan distribusi usia pengguna metode sterilisasi, 10%
berusia 25 hingga 29 tahun, 19% berusia 30 hingga 34 tahun, 29% berusia 35 hingga 40
tahun, dan 35% berusia 40 hingga 44 tahun.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sterilisasi
Kontrasepsi bedah permanen, juga disebut sterilisasi sukarela, adalah metode bedah
dimana fungsi reproduksi seorang laki-laki atau perempuan sengaja dan secara permanen
dihancurkan. Operasi dilakukan pada laki-laki adalah vasektomi dan pada perempuan
adalah oklusi tuba, atau tubektomi.1 Menurut Williams Sterilisasi adalah pilihan
kontrasepsi populer bagi jutaan pria dan wanita. Prosedur ini ditunjukkan pada mereka
yang meminta sterilisasi dan yang jelas memahami sulitnya prosedur ini. American
College of Obstetricians dan Gynecologists (2009, 2013) merekomendasikan bahwa
semua orang yang menginginkan sterilisasi harus dikonseling mengenai pilihan
kontrasepsi alternatif.2
Konseling pasangan
Harus dilakukan konseling pasangan terlebih dahulu sebelum dilakukan prosedur
sterilisasi. Prosedur sterilisasi harus dibahas dari segi manfaat, risiko, efek samping,
tingkat kegagalan dan reversibilitas. Oklusi tuba falopii dalam beberapa bentuk adalah
prinsip yang mendasari sterilisasi wanita. Metode oklusi tuba adalah metode yang paling
populer pada kontrasepsi sterilisasi di seluruh dunia.1
2.1.1 Indikasi
1. Tujuan perencanaan keluarga adalah indikasi utama di sebagian besar negara-
negara berkembang.
2. Sosial ekonomi: Seorang individu diindikasikan untuk menerima metode ini
setelah mendapatkan jumlah anak yang diinginkan.
3. Indikasi medikosurgikal (terapi): Penyakit medis seperti penyakit jantung,
diabetes, penyakit ginjal kronis, hipertensi dengan perburukan, jika terjadi
kehamilan berulang dengan kondisi dan penyakit penyerta di atas, maka
disarankan untuk dilakukan sterilisasi. Pasien dengan riwayat operasi saesar
berulang sebanyak tiga kali atau operasi perbaikan prolaps, untuk menghindari
risiko yang terjadi komplikasi pada proses kehamilan berikutnya, operasi
sterilisasi harus dipertimbangkan. Waktu operasi:
a. Selama masa nifas (nifas): Jika pasien sehat, operasi bisa dilakukan 24-48
jam setelah persalinan. Keuntungan utama adalah kesederhanaan teknis.
Tinggal di rumah sakit dan istirahat di rumah setelah persalinan cukup
untuk membantu pasien pulih secara bersamaan dari dua peristiwa, yaitu
melahirkan dan operasi.
b. Interval: Operasi ini dilakukan di luar 3 bulan setelah persalinan atau
aborsi. Waktu yang ideal untuk operasi mengikuti periode menstruasi
dalam fase proliferasi.
c. Bersamaan dengan MTP: Sterilisasi dilakukan bersama dengan
penghentian kehamilan. Hal ini banyak dilakukan terutama di kota besar.1
2.1.2 Metode Operasi Wanita (MOW)
Dari sudut pandang medis, sterilisasi dapat dilakukan kapan saja dan sering
dilakukan saat seksio sesarea. Bagi wanita yang melahirkan per vaginam, awal
masa nifas adalah masa yang paling tepat. Selama beberapa hari setelah
melahirkan, tuba falopii dan dapat diakses melalui umbilicus tepat dibawah
dinding abdomen.2 Metode sterilisasi wanita adalah Oklusi dengan cara reseksi
kedua segmen tuba falopii (biasa disebut Tubektomi) adalah prosedur yang
diterima secara luas. Metode operasi yang popular saat ini adalah oklusi tuba
dengan cincin atau klip atau elektrokoagulasi menggunakan laparoskopi.
Histerektomi selama periode melahirkan anak telah mendapat efek sterilisasi
insidental tetapi tidak harus dilakukan untuk tujuan sterilisasi.1
A. Sterilisasi Tuba Puerperium
Selama beberapa hari setelah melahirkan, fundus uteri terletak setinggi
umbilikus, dan saluran tuba dapat teraba langsung di bawah dinding perut.
Selain itu, kelemahan perut memungkinkan mudah reposisi insisi atas pada
cornu uterus. Dengan demikian, sterilisasi nifas secara teknis sederhana, dan
rumah sakit tidak perlu lama.3
Beberapa memilih untuk melakukan sterilisasi segera setelah
melahirkan, meskipun orang lain menunggu 12 sampai 24 jam. Di Parkland
Hospital, nifas ligasi tuba dilakukan di kamar bedah kandungan pagi hari
setelah melahirkan. Ini meminimalkan rawat inap di rumah sakit tetapi
menurunkan kemungkinan bahwa perdarahan postpartum akan mempersulit
pemulihan setelah operasi. Selain itu, status bayi baru lahir lebih baik
dipastikan sebelum operasi.3
Berbagai teknik yang sekarang digunakan untuk mengganggu patensi
tuba. Secara umum, pertengahan segmen tuba fallopi dipotong, dan ujung-
ujungnya putus segel oleh fibrosis dan pertumbuhan kembali peritoneal.
Metode yang umum digunakan sterilisasi selang termasuk Parkland, Pomeroy,
dan dimodifikasi teknik Pomeroy (American College of Obstetricians dan
Gynecologists, 2013). Irving dan Uchida teknik atau Kroener fimbriectomy
jarang digunakan karena mereka melibatkan peningkatan diseksi, waktu
operasi, dan kemungkinan cedera mesosalpingeal. Dengan fimbriectomy,
tingkat kegagalan tidak baik tinggi berasal dari rekanalisasi dari segmen tuba
proksimal (Pati, 2000).2
B. Sterilisasi Tuba Non Puerperium
Teknik-teknik dan modifikasi lainnya pada dasarnya terdiri dari (1) ligasi
dan reseksi pada laparotomi seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk
sterilisasi masa nifas; (2) penerapan cincin permanen, klip, atau sisipan ke
saluran tuba dengan laparoskopi atau histeroskopi; atau (3) elektrokoagulasi
dari segmen tuba, biasanya melalui laparoskopi. Sebuah penjelasan rinci dan
ilustrasi ini dapat ditemukan di Williams Ginekologi, 2nd edition (Thompson,
2012). Di Amerika Serikat, pendekatan laparoskopi ke interval sterilisasi tuba
adalah yang paling umum. Prosedur ini sering dilakukan dalam pengaturan
rawat jalan bedah dan anestesi umum. Dalam hampir semua kasus, wanita itu
bisa habis dalam waktu beberapa jam. Minilaparotomy menggunakan insisi
suprapubik 3-cm juga populer, terutama di negara-negara miskin sumber daya
(Kulier, 2004). Meskipun tidak umum digunakan, rongga peritoneum dapat
masuk melalui vagina posterior fornix-colpotomy atau culdotomy-untuk
melakukan interupsi tuba. Morbiditas utama adalah langka baik
minilaparotomy atau laparoskopi.2
1. Tubektomi
Tubektomi adalah suatu operasi di mana reseksi segmen dari kedua
saluran tuba dilakukan untuk mencapai sterilisasi permanen. Dapat melalui
abdomen dan vagina.1
A. Abdomen
a. Konvensional (Laparatomy)
Gambar 2.1 Langkah-langkah tubektomi pada metode pomeroy
Anestesi: Operasi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau
spinal atau lokal. Di mass camp anestesi lokal lebih baik. Dalam kasus
anestesi lokal, premedikasi dengan injeksi morfin 15 mg atau injeksi
petidin 100 mg dengan phenergan 50 mg IM yang akan diberikan
setidaknya 30-45 menit sebelum operasi. Daerah insisi yang disusupi
dengan 1% lignokain.
Insisi: Dalam kasus nifas, di mana rahim dirasakan
perabdominal, sayatan dibuat dua jari luasnya (1 inci) di bawah fundus
uteri dan pada jarak kasus, sayatan dibuat lebar 2 jari di atas simfisis
pubis. Sayatan dapat berupa garis tengah atau paramedian atau
melintang. Perut dibuka dengan prosedur biasa.
Pengeluaran tuba : Jari telunjuk diarahkan menyusuri sayatan.
Jari melewati seluruh permukaan posterior rahim dan kemudian ke
lapisan posterior ligamentum yang luas dimana tuba terhubungkan
keluar. Tuba diidentifikasi pada akhir fimbrial dan mesosalping
mengandung pembuluh anastomosis utero-ovarium.1 Jenis-jenis
metode tubektomi:
A. Metode Pomeroy
Ini adalah metode pemisahan tuba yang paling sederhana dan
cukup efektif. Untuk mengikat lengkung tuba harus digunakan
catgut polos, karena dasar ilmiah prosedur ini adalah absorpsi cepat
ligase dan kemudian pemisahan ujung-ujung tuba yang terpotong.2
Sebuah loop dibuat dengan memegang tuba oleh forsep Allis
sedemikian rupa sehingga bagian utama dari loop sebagian besar
terdiri dari sebagian isthmus dan sebagian dari bagian ampullary
tuba (di persimpangan proksimal dan ketiga tengah). Melalui
daerah avaskular di mesosalping itu, jarum ulir dengan No '0'
catgut kromik dilewatkan dan kedua tungkai loop tegas diikat
bersama-sama. Sekitar 1-1,5 cm dari segmen loop distal ligatur
yang dipotong. Tuba dipotong sampai sekitar 1,5 cm dari tuba utuh
yang berdekatan dengan rahim.
Gambar 2.2 Metode Pomeroy
Segmen dari loop yang diangkat harus diperiksa untuk
memastikan bahwa dinding belum sebagian reseksi dan
mengirimkannya untuk pemeriksaan histologi. Prosedur yang sama
diulangi di sisi lain. Karena penyerapan ligatur diserap, cut
berakhir menjadi independen ditutup dan dipisahkan setelah
beberapa minggu. Keuntungan: Sangat mudah, aman dan sangat
efektif terlepas dari kesederhanaan teknik. Tingkat kegagalan 0,1-
0,5 persen. Cut berakhir menjadi independen ditutup dan menarik
kembali secara luas dari satu sama lain.
B. Metode Irving
Prosedur ini merupakan prosedur yang paling kecil
kemungkinan kegagalannya. Prosedur ini berupa pemutusan tuba
falopii dan pemisahan tuba bagian medial dari mesosalping
secukupnya sehingga membentuk suatu segmen medial tuba.
Potongan distal dari segmen tuba proksimal ditanam dalam suatu
terowongan di myometrium di belakang uterus, dan ujung
proksimal segmen tuba distal ditanam didalam mesosalping.
Prosedur ini memerlukan permajanan yang cukup lebar.2
C. Metode Parkland
Gambar 2.3 Metode Parkland
Dikembangkan tahun 1990-an dan dirancang untuk
menghindari aproksimasi ujung-ujung tuba falopii yang dipotong
seperti pada prosedur Pomeroy.
Dibuat sebuah insisi kecil di dinding abdomen
infraumbilikus. Tuba falopii di identifikasi dengan menjepit bagian
tengah dengan sebuah klem Babock dan memastikannya melalui
identifikasi langsung fimbriae di bagian distal. Hal ini mencegah
kesalahan identifikasi ligamentum rotundum sebagai bagian tengah
tuba falopii. Apabila secara tidak sengaja tuba falopii terjatuh,
prosedur identifikasi di atas harus diulang kembali dari awal.
Kemudian dilakukan perforasi di tempat avascular di mesosalping
dekat tuba falopii dengan sebuah hemostat kecil, dan rahang
hemostat dibuka untuk memisahkan tuba falopii dari mesosalping
di dekatnya sepanjang sekitar 2,5 cm. tuba falopii yang sudah
dibebaskan diikat di bagian proksimal dan distal dengan benang
kromik 0, dan segmen di tengah sekitar 2 cm dieksisi dan diperiksa
untuk melihat ada tidaknya perdarahan. Kedua segmen yang telah
dieksisi diberi label dan dikirim untuk konfirmasi histologis.
Angka kegagalan adalah sekitar 1 per 400 prosedur.2
D. Metode Madlener
Prosedur ini serupa dengan operasi Pomeroy, tetapi lengkung
tuba di hancurkan dan diligasi dengan benang tidak dapat diserap
dan tidak dilakukan reseksi. Prosedur ini tidak dianjurkan karena
angka kegagalannya sekitar 7 persen.2
E. Metode Kroener atau fimbriektomi
Merupakan pengangkatan semua bagian distal tuba untuk
menghasilkan sterilisasi dianjurkan oleh Kroener (1969) dan
penulis lain. Kroener mengikat tuba falopii dua kali dengan benang
sutera dan kemudian mengeksisi ujung tuba yang berfimbriae.
Walaupun Kroener melaporkan tidak ada angka kegagalan, penulis
lain mengungkapkan angka kegagalan sampai 3 persen (Metz,
1997;Taylor, 1972). Kegagalan biasanya disebabkan oleh adanya
sedikit jaringan fimbriae yang tersisa, atau akibat rekanalisasi
ujung proksimal tuba.1
b. Minilaparatomy
Tubektomi dilakukan melalui insisi kecil menggunakan beberapa
perangkat, prosedur ini disebut mini-lap. Ini telah dipopulerkan oleh
Uchida dari Jepang sejak 1961.
Langkah-langkah: (1) Anestesi - Selalu di bawah anestesi lokal
(2) Rencana sayatan - Seperti dijelaskan dalam metode konvensional
tetapi sayatan harus 1/2cm - 3/4cm, (3) retractor khusus dirancang
untuk dapat dimasukkan ke bagian abdomen yang telah dibuka (4)
Rahim diangkat atau didorong ke satu sisi atau sisi yang lain dengan
lift yang telah dimasukkan transvaginal ke dalam rongga rahim. Ini
membantu manipulasi tuba dan mendekatkannya ke daerah insisi,
ketika dipegang menggunakan forceps arteri. (5) Teknik tubektomi
yang tepat dilakukan di satu sisi dan kemudian diulang di sisi lain. (6)
peritoneum ditutup oleh jahitan purse string.1
c. Ligasi Vaginal
Tubektomi melalui vagina dapat dilakukan bersama dengan
operasi plastik vagina atau dalam isolasi. Ketika dilakukan dalam
isolasi, pendekatan ke tuba adalah melalui posterior colpotomy. Dokter
bedah membutuhkan keterampilan tambahan operasi vagina. Kasus
Interval (uterus <12 minggu) yang paling cocok. Hal ini dilakukan di
bawah anestesi umum atau spinal. Dibutuhkan waktu yang lebih lama.
Laparotomi kadang-kadang diperlukan karena kesulitan. Komplikasi:
perdarahan, hematoma ligamentum yang luas dan cedera jarang dubur.
Dispareunia bisa menjadi komplikasi dikemudian hari. Keuntungan:
perawatan sederhana, nyaman pada wanita obesitas. Keterbatasan dan
keuntungan, dan kerugian relatif.
Tabel 2.1 Female Sterilization
2.1.3 Resiko Sterilisasi Tuba
Bahaya utama adalah penyulit anastesi, cedera struktur sekitar secara
tidak sengaja, embolisme paru (walaupun jarang), dan kegagalan
menghasilkan infertilitas sehingga kemudian terjadi kehamilan ektopik.
Karena membaiknya tingkat keamanan teknik anestesi dan laparaskopi,
angka kasus kematian untuk sterilisasi tuba telah jauh berkurang selama 2
dekade terakhir. Sebagai contoh, dari tahun 1977 sampai 1981, Peterson dkk.
(1983) memperkirakan frekuensi kematian per kasus adalah 8 per 100.000
prosedur. Data yang lebih baru dari Hatcher dkk. (1998) menyatakan bahwa
angka kematian adalah sekitar 1,5 per 100.000 untuk sterilisasi laparaskopi.
Angka ini lebih baik dibandingkan dengan angka kematian ibu hamil yang
sekitar 8 per 100.000 kelahiran hidup.
DeStefano dkk. (1983) mengidentifikasi penyulit intra dan pascaoperasi
pada 1,7 persen dari sejumlah besar wanita yang menjalani elektrokoagulasi
tuba laparaskopi non-nifas untuk sterilisas. Factor-faktor yang diketahui
meningkatkan morbiditas adalah riwayat bedah abdomen atau panggul,
riwayat infeksi panggul, kegemukkan, diabetes dan anestesi umum.
2.1.4 Kegagalan Sterilisasi Tuba
Tidak ada metode sterilisasi tuba yang bebas kegagalan. Kegagalan ini
dapat menyebabkan kehamilan intrauterus atau ektopik.
a. Kegagalan Sterilisasi Tuba Interval
Penyebab kegagalan sterilisasi tuba interval tidak selalu jelas, tetapi
sebagian alasannya adalah:
1. Kesalahan bedah mungkin menjadi penyebab 30 sampai 50 persen
kasus
2. Pasien sudah hamil saat pembedahan, yaitu yang disebut sebagai
kehamilan fase luteal.
3. Kegagalan metode oklusi mungkin disebabkan oleh terbentuknya
fistula, yang dapat timbul setelah tindakan elektrokauterisasi. Klip
penjepit mungkin kurang bekerja sempurna, atau tuba falopii secara
spontan mengalami reanastomosis.
4. Kerusakan alat, misalnya gangguan arus listrik pada kauterisasi juga
dapat menjadi factor penyebab.
2.1.5 Kegagalan Sterilisasi Puerperium
Walaupun sejumlah pasien melaporkan peningkatan angka kegagalan
untuk sterilisasi yang dilakukan pada saat seksio sesarea, dengan teknik
sterilisasi tuba yang digunakan di Parkland Hospital, kami tidak menjumpai
adanya perbedaan. Dua penyebab utama pada kegagalan sterilisasi masa nifas
adalah:
1. Kesalahan pembedahan, yakni pemotongan ligamentum rotundum dan
bukan tuba falopii, atau pemotongan tuba secara parsial.
2. Terbentuknya saluran fistula antara punting tuba yang terpotong, atau
reanastomosis spontan.
Soderstrom (1985) menyimpulkan bahwa sebagian besar kegagalan
sterilisasi tidak dapat dicegah. Kesimpulan serupa dikemukakan oleh
American College Obstetricians and Gynecologists (1996), yang
menyatakan “kehamilan setelah sterilisasi dapat terjadi tanpa kesalahan
teknis apapun”.
2.1.6 Sindrom Pascaligasi Tuba
Sindrom ini biasanya ditandai oleh rasa tidak nyaman di panggul,
pembentukan kista ovarium, dan khususnya menoragia. Masih perlu dibuktikan
apalah ligase tuba menyebabkan salah satu dari keluhan diatas. Kasonde dan
Bonnar (1997) mengukur darah hadi yang keluar sebelum dan 6 sampai 12
bulan setelah sterilisasi tuba. Mereka tidak menemukan perbedaan bermakna
dalam hal pengeluaran darah haid. Mereka juga melaporkan bahwa wanita yang
datang sudah mengalaminya segera setelah sterilisasi biasanya sudah mengalami
gangguan haid. Sebenarnya, separuh atau lebih wanita yang mengalami
gangguan haid sebelumnya sterilisasi memperlihatkan perbaikan 2 tahun setelah
sterilisasi. DeStefano dkk (1985) serta Shy dkk (1992) menyertakan kelompok
control berupa wanita yang pasangannya menjalani vasektomi. Mereka
melaporkan bahwa gangguan perdarahan haid jarang terjadi kecuali apabila hal
tersebut sudah dilaporkan sebelum sterilisasi. Yang menarik, bandingkan
dengan control normal, wanita yang haidnya tidak teratur sebelum sterilisasi
memberi kemungkinan lebih kecil untuk pulih secara spontan ke siklus normal
setelah itu. Vessey dkk. (1983) membandingkan frekuensi gangguan ginekologis
dan psikologis antara wanita yang menjalani sterilisasi tuba dan mereka yang
suaminya menjalani vasektomi, dan hanya mendapatkan sedikit perbedaan
antara kedua kelompok tersebut.
Observasi terakhir yang dilaporkan Peterson dkk. (2000) untuk US
Collaborative Review of Sterilization Working Group penting diperhatikan.
Mereka memperlihatkan bahwa sterilisasi tuba tidak diikuti oleh peningkatan
resiko kelainan haid. Hal ini disimpulkan setelah dilakukan penelitian terhadap
9514 wanita yang telah menjalani sterilisasi tuba dan membandingkannya
dengan 573 wanita yang pasangannya menjalani vasektomi. Pada kedua
kelompok tidak terdapat perbedaan dalam peningkatan volume darah haid atau
perdarahan antarhaid. Wanita yang menjalani sterilisasi tuba cenderung lebih
banyak melaporkan penurunan durasi haid, jumlah darah haid, dan dismenorea.
Meski pemotongan total tuba falopii merupakan keharusan, pada saat
yang sama aliran darah melalui mesosalping di dekatnya sebaiknya
dipertahankan. Hal ini dapat memperkecil kemungkinan kelainan “pascaligasi”
yang oleh sebagian pihak diduga disebabkan oleh sterilisasi tuba. Yang menarik,
El-Minawi dkk (1983) dengan bantuan venografi sering menemukan varises
uterovagina dan ovarium setelah prosedur Pomeroy dan beberapa prosedur lain,
tetapi tidak ditemukan pada prosedur Parkland.
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Yenny Maay
Umur : 35 Tahun, Waris 11 November 1979
Alamat : Aryoko
Agama : Kristen Katolik
Suku/Bangsa : Keerom
Pendidikan : Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)
Tanggal MRS : 11 Oktober 2015
3.2 ANAMNESIS :
1. Keluhana Utama : ingin tutup kandungan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien P4A0 datang dengan rencana mengganti alat kontrasepsi. HPHT 18/11/2014.
Pasien mengeluh bila memakai pil KB atau suntik KB merasa mual, sakit kepala, dan
haid menjadi tidak teratur terkadang tiap 2-3 bulan. Pasien juga mengeluh saat
memakai suntik KB sering kali lupa kembali untuk control suntik berikutnya. Pasien
mengaku pernah mendengar mengenai implant dan spiral tetapi mengaku kurang
menyukai metode tersebut. Pasien mengaku pernah mendengar mengenai tutup
kandungan atau steril dan merasa lebih mantap dengan steril karena pasien merasa
sudah cukup dengan 4 orang anak dan tidak ingin menambah anak lagi, selain karena
alasan usia dan penyakit penyerta saat hamil anak ke 4.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi, Jantung, Diabetes Melitus, Alergi, Asma, infeksi kelamin lainnya, infeksi
sistemin lainnya, dan riwayat operasi sebelumnya disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Hipertensi, Diabetes Melitus, Jantung, Alergi dan Asma disangkal.
5. Riwayat Obestetri
a. Riwayat Kehamilan
No Jenis
Persalinan Penolong BB
Jenis
Kelamin
Umur
Sekarang Hidup/Mati
1. Spontan Bidan 2900 gr ♂ 14 thn Hidup
2. Spontan Bidan 2700 gr ♀ 13 thn Hidup
3. Spontan Bidan 2700 gr ♂ 9 thn Hidup
4. Spontan Dokter 3450 gr ♀ 1 hari Hidup
b. Riwayat Kehamilan
Usia Pernikahan : ♂ Umur : 26 tahun, pendidikan : SMA, Pekerjaan : PNS
♀ Umur : 24 tahun, pendidikan : SMP, Pekerjaan : IRT
Pernikahan ke : I, Suami ke : I
Dengan suami sekarang : 11 tahun.
c. Riwayat Menstruasi
Menarche : 12 tahun
Siklus haid : teratur, 28 hari
Gejala Penyerta : tidak ada
HPHT : 18 November 2014
6. Riwayat Penggunaan Kontrasepsi sebelum hamil
Jenis kontrasepsi : Suntik dan Pil
Berapa lama : 3 tahun
Sebab berhenti : menstruasi tidak 15ancer
Rencana KB setelah melahirkan : rencana steril
3.3 STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 157 cm Berat Badan : 67 Kg
Tanda-tanda vital : TD 130/90, N: 88 kali/menit, RR: 22 kali/menit, SB: 37,6 oC
Kepala : Mata : Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Pupil : bulat, isokhor
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks : Jantung : Bunyi Jantung I-II regular
Paru : Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen : Hati : tak teraba
Limpa : tak teraba
Ekstremitas : Udem tungkai (-)
Refleks : Patella (+)
3.4 STATUS OBSTETRI
Pemeriksaan Luar
TFU : 2 jari di atas sympisis pubis
Kontraksi : Baik
Pemeriksaan Dalam
v/v : tenang
VT : Kasa (-), Perdarahan aktif (-)
3.5 DIAGNOSIS SEMENTARA : post partum spontan pada P4A0, Nifas hari ke 1
3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Result Units Reference Range
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
Proteinuria
10.6
5.01
10.3
21.0
56.6
19.1
33.8
201
++
10^3/uL
10^6/uL
g/dL
%
fL
pg
g/dL
10^3/uL
5 – 10
M=4.50-5.50, F=4.0-5.0
M=14.0-17.4, F=12.0-16.0
M=42-52, F=36-48
84.0-96.0
28.0-34.0
32.0-26.0
150-400
3.7 RESUME
Ny. YM, umur 35 tahun datang dengan keluhan ingin tutup kandungan. HPHT
18/11/2014. Pasien P4A0 datang dengan rencana mengganti alat kontrasepsi. Pasien
mengeluh bila memakai pil KB atau suntik KB merasa mual, sakit kepala, dan haid
menjadi tidak teratur terkadang tiap 2-3 bulan. Pasien juga mengeluh saat memakai suntik
KB sering kali lupa kembali untuk control suntik berikutnya. Pasien mengaku pernah
mendengar mengenai implant dan spiral tetapi mengaku kurang menyukai metode
tersebut. Pasien mengaku pernah mendengar mengenai tutup kandungan atau steril dan
merasa lebih mantap dengan steril karena pasien merasa sudah cukup dengan 4 orang
anak dan tidak ingin menambah anak lagi, selain karena alasan usia dan penyakit penyerta
saat hamil anak ke 4. Status generalis : dalam batas normal, status obstetric : Tinggi
fundus uteri 2 jari dibawah umbilicus, kontraksi baik. Pemeriksaan penunjang: Hb: 10.3
g/dl, proteinuria (++).
3.8 DIAGNOSIS KERJA : post partum spontan pada P4A0, Nifas hari ke 1 + PEB
3.9 RENCANA TERAPI
- IVFD RL 500 cc (20 tpm)
- Ceftriaxone 2 gr/ 24 jam (i.v)
- Metronidazole 3 x 500 mg (i.v)
- Paracetamol 500 mg (bila perlu)
- Cek DDR ulang
- Metildopa 3 x 250 g
- Mobilisasi dini
- Hygiene vulva
- Edukasi ASI
- Rencana MOW
3.10 LAPORAN OPERASI
A. Laporan operasi Tubektomi tanggal 13 Agustus 2015 (dokter ahli dr.DHU,Sp.OG,
Jam 1120
– 1150
WIT)
- Pasien terlentang di meja operasi dalam spinal anastesi
- Dilakukan asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
- Insisi subumbilikus ± 3 cm
- Identifikasi tuba → dilakukan tubektomi pomeroy pada tuba kanan dan kiri
- Perdarahan minimal
- Dinding abdomen di jahit lapis demi lapis
- Tindakan selesai
B. Instruksi post operasi
- IVFD RL : D5% : Tutofusin : Clinimix
- Ceftriaxone 1x2gr
- Metronidazole 3x500mg
- Ketorolac 3x1
- Alinamin F 3x1
- Ranitidine 2x1
- Ondancentron 3x1
- Vitamin C 3x1
- Asam tranexamat 3x1
3.1 OBSERVASI POST OPERASI
Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 157 cm Berat Badan : 67 Kg
Tanda-tanda vital : TD 130/90, N: 80 kali/menit, RR: 20 kali/menit, SB: 36,0 oC
Kepala : Mata : Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Pupil : bulat, isokhor
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thoraks : Jantung : Bunyi Jantung I-II regular
Paru : Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen : Hati : tak teraba
Limpa : tak teraba
Ekstremitas : Udem tungkai (-)
Refleks : Patella (+)
Diagnosa Akhir : sterilisasi tuba puerperium pada P4 post partum spontan, nifas
hari ke 1 + PEB
Terapi :
- Co Amoxcilav 3x 625mg (p.o)
- Natrium Diclofenac 3x 50mg (p.o)
- Sulfas Ferosus 2x 300mg (p.o)
- Methyldopa 3x 250mg (p.o)
BAB 4
MASALAH DAN PEMBAHASAN
4.1 Sudah tepatkah metode kontrasepsi pada pasien ini?
Metode kontrasepsi yang ditawarkan pada pasien ini adalah metode kontrasepsi jangka
panjang. Berdasarkan jenis metode kontrasepsi jangka panjang yang ada, yaitu tubektomi
(MOW), pemasangan IUD dan implant, metode tubektomi (MOW) merupakan metode
kontrasepsi jangka panjang yang paling cocok pada psien ini dikarenakan pasien memiliki
jumlah anak yang sudah cukup. Indikasi lainnya yang menjadi pertimbangan adalah usia
dari pasien sendiri, 35 tahun, dimana untuk kehamilan berikutnya dengan usia ibu lebih
dari 35 tahun, maka resiko untuk terjadinya komplikasi/ penyulit pada proses kehamilan
dan persalinan baik bagi ibu dan janin akan lebih besar. Terlebih ibu dengan riwayat
preeclampsia berat pada kehamilan ini. Resiko untuk terjadinya preeclampsia berulang
pada kehamilan berikutnya akan lebih besar. Angka kegagalan tubektomi (MOW) lebih
rendah bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi jangka panjang lainnya (implant
dan IUD).
4.2 Sudah tepatkah indikasi sterilisasi pada pasien ini?
Indikasi sterilisasi pada pasien ini adalah untuk perencanaan keluarga, dimana jumlah
anak yang dimiliki sudah cukup. Indikasi lainnya yaitu indikasi medikosurgikal yaitu
yang menjadi pertimbangan adalah usia dari pasien sendiri, 35 tahun, dimana untuk
kehamilan berikutnya dengan usia ibu lebih dari 35 tahun, maka resiko untuk terjadinya
komplikasi/ penyulit pada proses kehamilan dan persalinan baik bagi ibu dan janin akan
lebih besar. Terlebih ibu dengan riwayat preeclampsia berat pada kehamilan ini. Resiko
untuk terjadinya preeclampsia berulang pada kehamilan berikutnya akan lebih besar.
4.3 Sudah tepatkah metode sterilisasi yang dipilih pada pasien ini?
Metode yang dipilih adalah metode sterilisasi Pomeroy. Metode sterilisasi Pomeroy
memang metode sterilisasi yang paling mudah dan aman dikerjakan, dengan tingkat
kegagalan 0.1-0.5%. Bila dibandingkan dengan metode sterilisasi lainnya, yang memiliki
tingkat kegagalan paling kecil adalah metode Kroener. Dari daftar pustaka didapatkan,
angka kegagalan tubektomi metode Kroener/ fimbrektomi berkisar 0.1-.0.19%. Jadi
sebaiknya metode sterilisasi yang dipilih adalah metode dengan tingkat kegagalan yang
paling rendah dikarenakan pasien sudah tidak menginginkan kehamilan lagi.
4.4 Sudah tepatkah waktu sterilisasi pada pasien ini?
Pemilihan waktu sterilisasi pada pasien ini adalah dalam masa puerpurium/ masa nifas.
Pada masa nifas, telah diketahui, kita dapat mencapai dan mengidentifikasi uterus dan
tuba lebih mudah bila dibandingkan dengan sterilisasi interval. Terkait dengan tingkat
kepatuhan pasien, pada pasien ini, dirasakan tingkat kepatuhan untuk kembali lagi ke RS
untuk dilakukan sterilisasi interval sangat rendah. Jadi disarankan untuk dilakukan
sterilisasi puerpurium.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dutta, DC : Normal Labor;Textbook of Obstetrics;5th
ed. New Central Book Agency,
Calcutta, 2013
2. Cunningham, Leveno, Bloom, Spong, Dashe, Hoffman, et all. Puerperium. Williams
Obstetrics. 24th
edition. New York: McGraw Hill Publishing; 2014
3. Beshay, VE & Carr, BR 2012, ‘Sterilisation’, Williams Gynecology, 2nd
edn, McGraw
Hill Professional, United States.
4. Evidence-based Clinical Guidline Number 4, Male and Female Sterilisation, RCOG,
London; 2004