status tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur

24
Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur Utama Yang Terikat Dalam Perkawinan Untuk Kepentingan Kegiatan Usaha Perseroan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2705 K/PDT/2016) Exori Claudia Isura Purba, S.H., Winanto Wiryomartani, S.H., M.Hum., Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H. Penelitian ini membahas mengenai perbuatan hukum pembelian beberapa bidang tanah Hak Milik atas nama direktur utama perusahaan pengembang yang digunakan untuk kepentingan kegiatan usaha perusahaan tanpa perjanjian. Pemisahan harta kekayaan dalam suatu perseroan dengan pemiliknya seharusnya menjadi salah satu prinsip yang penting untuk diperhatikan dalam mendirikan dan menjalankan suatu perseroan. Hal ini disebabkan perseroan merupakan subyek hukum tersendiri yaitu suatu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban tersendiri. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini ialah mengenai status kepemilikan tanah yang dibeli oleh direktur utama yang terikat dalam perkawinan namun digunakan dan dikuasai untuk kepentingan perseroan dan mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap tanah yang dibeli direktur utama tersebut dalam ikatan perkawinan. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah data sekunder serta alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut merupakan harta bersama dari direktur utama dan istrinya walaupun objek sengketa tersebut dikuasai dan digunakan untuk kepentingan perseroan. Akibat putusnya perkawinan direktur utama dan istrinya menyebabkan tanah tersebut menjadi objek pembagian harta bersama. Saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah bahwa aset yang dibeli perseroan baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak agar dibeli langsung atas nama perseroan sehingga kepemilikannya menjadi sempurna serta menghindari upaya berupa perjanjian pinjam nama. Kata kunci: perseroan terbatas, harta bersama, kepemilikan tanah.

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur Utama Yang Terikat

Dalam Perkawinan Untuk Kepentingan Kegiatan Usaha Perseroan

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2705

K/PDT/2016)

Exori Claudia Isura Purba, S.H., Winanto Wiryomartani, S.H., M.Hum., Dr. Drs.

Widodo Suryandono, S.H., M.H.

Penelitian ini membahas mengenai perbuatan hukum pembelian beberapa bidang tanah

Hak Milik atas nama direktur utama perusahaan pengembang yang digunakan untuk

kepentingan kegiatan usaha perusahaan tanpa perjanjian. Pemisahan harta kekayaan

dalam suatu perseroan dengan pemiliknya seharusnya menjadi salah satu prinsip yang

penting untuk diperhatikan dalam mendirikan dan menjalankan suatu perseroan. Hal ini

disebabkan perseroan merupakan subyek hukum tersendiri yaitu suatu badan hukum yang

mempunyai hak dan kewajiban tersendiri. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian

ini ialah mengenai status kepemilikan tanah yang dibeli oleh direktur utama yang terikat

dalam perkawinan namun digunakan dan dikuasai untuk kepentingan perseroan dan

mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap tanah yang dibeli direktur utama tersebut

dalam ikatan perkawinan. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif,

dengan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah

data sekunder serta alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Hasil

penelitian ini menyimpulkan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut

merupakan harta bersama dari direktur utama dan istrinya walaupun objek sengketa

tersebut dikuasai dan digunakan untuk kepentingan perseroan. Akibat putusnya

perkawinan direktur utama dan istrinya menyebabkan tanah tersebut menjadi objek

pembagian harta bersama. Saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah

bahwa aset yang dibeli perseroan baik berupa barang bergerak maupun barang tidak

bergerak agar dibeli langsung atas nama perseroan sehingga kepemilikannya menjadi

sempurna serta menghindari upaya berupa perjanjian pinjam nama.

Kata kunci: perseroan terbatas, harta bersama, kepemilikan tanah.

Page 2: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

2

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemisahan harta kekayaan antara suatu perseroan dengan pemiliknya seharusnya

menjadi salah satu prinsip yang penting untuk diperhatikan dalam mendirikan dan

menjalankan suatu perseroan. Hal ini disebabkan perseroan merupakan suatu subyek

hukum tersendiri yaitu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah

dengan pemiliknya. Kemudian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), setelah perseroan disahkan menjadi

badan hukum, pemegang saham perseroan tidak lagi bertanggung jawab secara pribadi

terhadap perikatan yang dibuat atas nama perseroan.1

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UUPT, Perseroan Terbatas berdiri

semata-mata karena perjanjian oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris. UUPT

menetapkan bahwa pendirian Perseroan Terbatas adalah berdasarkan perjanjian.

Perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilaksanakan paling sedikitnya oleh dua

orang2 sehingga karenanya Perseroan Terbatas juga didirikan paling sedikit dua pihak

atau dua subyek hukum. Dalam hal ini penulis mengatakan dua subyek hukum karena

pendirian Perseroan Terbatas tidak selalu didirikan secara eksplisit oleh dua orang

sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 ayat 1 UUPT, melainkan dapat juga didirikan oleh

subyek hukum selain orang seperti Perseroan Terbatas maupun badan hukum lainnya

yang diperbolehkan mendirikan Perseroan Terbatas menurut peraturan perundang-

undangan. Dalam UUPT memang menggunakan frasa dua orang karena pada dasarnya

pemilik dari badan hukum sendiri secara langsung atau secara tidak langsung merupakan

subyek hukum orang.

Setiap pendiri Perseroan Terbatas wajib mengambil bagian saham pada saat

perseroan didirikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UUPT. Hal ini berarti

pada saat para pendiri menghadap notaris untuk dibuat akta pendirian Perseroan Terbatas,

setiap pendiri telah mengambil bagian saham Perseroan. Sebagai bentuk tindakan konkret

untuk mewujudkan ketentuan tersebut, pada saat pendirian perseroan di hadapan notaris,

pengambilan bagian saham harus sudah dilaksanakan oleh masing-masing pendiri

Perseroan agar pendirian sah secara hukum.3 Perihal syarat mengenai modal perseroan

juga diatur dalam UUPT dan perseroan tidak dapat didirikan tanpa memenuhi ketentuan

syarat modal minimum perseroan. Pemenuhan syarat modal minimun bertujuan agar pada

waktu Perseroan Terbatas didirikan setidak-tidaknya sudah mempunyai modal, yaitu

sebesar modal dasar (authorized capital), modal ditempatkan (issued capital) dan modal

disetor (paid-up capital) yang akan menjadi jaminan bagi pihak ketiga terhadap Perseroan

Terbatas.4

1 Indonesia, Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun

2007, TLN No. 4756, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf a jo. Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6).

2 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip & Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,

2009), hlm. 44-45.

3 Orinton Purba, Petunjuk Praktis Bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan Terbatas agar

Terhindar dari Jerat Hukum, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm. 24.

4 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996),

hlm. 185.

Page 3: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

3

Hal penting lainnya selain modal adalah organ perseroan. Sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 1 angka 2 UUPT, organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Garis besar kedudukan atau fungsi dari organ di

atas dapat dipahami sesuai Pasal 1 angka 4, 5, 6 UUPT dan dengan pemahaman tersebut

akan diketahui fungsi masing-masing organ seluruhnya. Secara garis besar RUPS

merupakan wadah dari pemegang saham untuk melakukan atau memutuskan hal-hal yang

berkaitan dengan perseroan. Sedangkan direksi adalah suatu organ yang akan melakukan

pengurusan dan perwakilan perusahaan. Sementara itu, dewan komisaris adalah organ

yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap direksi. Berkembang atau

tidaknya perseroan sesungguhnya bergantung pada ketiga organ tersebut.

Tindakan direksi yang menggunakan modal perseroan tentunya harus

dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan yang dalam setiap tahunnya

disampaikan dan disetujui oleh RUPS. Namun dalam praktiknya, tidak jarang perseroan

belum mempunyai cukup modal sehingga dalam kondisi tertentu harus melakukan

pinjaman kepada pihak ketiga atau tidak jarang juga terdapat direksi yang menyalahi

kewenangannya dan menggunakan modal perseroan untuk membeli aset pribadi direksi.

Dalam kondisi inilah pentingnya dijalankan prinsip pemisahan harta kekayaan perseroan

dengan pemiliknya terlebih dengan organ-organ perseroan.

Di samping itu, direksi perseroan harus senantiasa berhati-hati dan menjalankan

prinsip fiduciary duty dalam setiap perbuatannya yang berkaitan dengan perseroan.

Direksi dikatakan telah menjalankan fiduciary duty, apabila mempunyai kemampuan,

itikad baik serta loyalitas dengan derajat yang tinggi. Walaupun direksi telah hati-hati

dalam menjalankan tugasnya, hal tersebut belum cukup kuat untuk mengatakan bahwa

direksi tersebut terbebas dari tanggung jawab hukum apabila terdapat pihak yang

dirugikan sebagai akibat dari tindakan-tindakan direksi.5 Mengamankan aset milik

perseroan merupakan salah satu wujud dari perbuatan pengurusan perseroan yang harus

secara hati-hati dilakukan oleh direksi, terlebih lagi apabila aset tersebut merupakan salah

satu fondasi dari kegiatan usaha perseroan. Pada praktiknya, tidak semua aset-aset yang

digunakan untuk kepentingan perseroan merupakan milik perseroan secara hukum,

sebagaimana yang terjadi antara PT Jasari dan Direktur Utama PT Jasari dalam Putusan

Nomor 2705 K/PDT/2016.

PT Jasari adalah perseroan yang bergerak di bidang properti atau pengembangan

lahan perumahan. Pemegang saham PT Jasari terdiri dari tiga orang yaitu Riana Siregar,

Mira Yanti dan Jafar Ritonga dimana ketiganya juga berperan sebagai organ perseroan

yaitu direksi yang dijabat oleh Mira Yanti dan Jafar Ritonga dan komisaris yang dijabat

oleh Jafar Ritonga.

Mengingat PT Jasari yang bergerak di bidang properti, tentu tanah merupakan salah

satu unsur penting dalam menjalankan kegiatan usahanya. PT Jasari banyak melakukan

pembelian lahan untuk dikembangkan dan dijual kembali ke masyarakat. Dalam kasus

ini, PT Jasari membeli puluhan bidang tanah di empat daerah Sumatera Utara dimana

pembelian tersebut menggunakan dana Perseroan namun pembelian dilakukan atas nama

Direktur Utama Jafar dan sertipikat yang dikeluarkan adalah atas nama Direktur Utama

Jafar Ritonga. Direktur Utama Jafar Ritonga sendiri pada saat pembelian tersebut terikat

5 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum

Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 52.

Page 4: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

4

perkawinan dengan Direktur Mira Yanti. Hal ini menyebabkan perolehan bidang tanah

yang dibeli tersebut menjadi harta bersama antara Jafar Ritonga dan Mira Yanti.

Kasus dimulai ketika terjadi perceraian antar Jafar Ritonga dan Mira Yanti dimana

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Undang-Undang

Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam ketika terjadi perceraian harta bersama dibagi

di antara suami dan istri. Peristiwa ini merugikan PT Jasari karena bidang-bidang tanah

tersebut dibeli oleh Jafar Ritonga sebagai direktur utama sekaligus pemegang saham PT

Jasari ketika dalam ikatan perkawinan yang sah. Kondisi ini membawa ketidakpastian

hukum terhadap kepemilikan bidang-bidang tanah yang dibeli oleh Jafar Ritonga.

Mengingat hal ini membawa potensi kerugian PT Jasari, Komisaris sekaligus pemegang

saham Perseroan mengajukan gugatan kepada Jafar Ritonga dan Mira Yanti untuk

mengembalikan aset tersebut kepada PT Jasari.

Bercermin dari kasus ini, tindakan direktur utama yang merupakan sekaligus

pemegang saham dapat membawa kerugian bagi perseroan. Tanah yang dibeli atas nama

direktur utama apabila dilihat dari segi pembuktiannya menurut Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria (UUPA) serta peraturan

pelaksanaanya tentu tanah tersebut berdasarkan alat buktinya merupakan milik dari

direktur utama tersebut. Perseroan dirugikan dalam hal ini karena adanya ketidakpastian

aset dan kekayaan perseroan serta para pihak yang melakukan perbuatan hukum dengan

perseroan. Melihat lagi adanya status perkawinan tanpa perpisahan harta antara direktur

utama yang sekaligus menjadi pemegang saham perseroan. Tentu hal ini membawa

kerugian bilamana Mira Yanti sebagai direktur dan pemegang saham perseroan

berkeinginan mengundurkan diri dari perseroan dan perseroan tidak diuntungkan lagi dari

tanah-tanah yang menjadi hak dari Mira Yanti.

Merujuk pada kasus di atas, dapat dilihat bahwa terdapat gesekan antara

kepentingan direktur utama sebagai subyek hukum indvidu yang terikat dalam

perkawinan sah dengan kepentingan perseroan. Jafar sebagai direktur utama dan

pemegang saham PT Jasari sekaligus sebagai seorang suami yang terikat dalam

perkawinan sudah seharusnya secara tegas memberikan kepastian apakah barang yang

dibelinya tersebut merupakan harta perseroan atau harta pribadi. Ketidakpastian hukum

ini tentunya juga harus ditinjau berdasarkan hukum keluarga, khususnya hukum harta

perkawinan.

Menurut J. Satrio, Hukum harta perkawinan adalah peraturan hukum yang

mengatur akibat- akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-istri yang telah

melangsungkan perkawinan, hukum harta perkawinan merupakan terjemahan dari kata

“huwelijksvermogensrecht”, sedangkan hukum harta benda perkawinan adalah

terjemahan dari kata “huwelijksgoderenrecht.6 Salah satu permasalahan dalam

perkawinan yang dapat berujung pada perceraian adalah permasalahan harta bersama.

Pengaturan harta bersama telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) dan Undang-Undang Perkawinan. Selain dalam kedua peraturan tersebut,

Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang

sama seperti dianut dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Dalam Kompilasi Hukum Islam harta bersama diistilahkan dengan

istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama

6 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 70.

Page 5: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

5

suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar

atas nama siapapun.7

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui undang-undang dan

peraturan berikut:8

a. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1),

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta benda

yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang

diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama.

b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119, disebutkan bahwa

“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta

bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-

ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama

perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu

persetujuan antara suami istri”

c. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta

bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik

masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan adanya harta bersama

dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya harta milik

masing-masing suami istri.

Proses perceraian antara Jafar Ritonga dan Mira Yanti dilakukan di Pengadilan

Agama Kelas I A Medan dan sumber hukum yang dijadikan rujukan adalah hukum Islam,

sehingga untuk menentukan apakah tanah yang dibeli Jafar Ritonga tersebut merupakan

harta bersama atau tidak haruslah merujuk pada hukum Islam. Secara umum, hukum

Islam tidak melihat adanya harta bersama. Hukum Islam pada umumnya lebih

memandang adanya keterpisahan antara harta suami harta istri. Harta yang dihasilkan istri

adalah milik istri, demikian juga sebaliknya harta yang dihasilkan suami adalah harta

milik suami. Konsep harta bersama memang lebih dikenal dalam tradisi masyarakat

Indonesia. Konsep ini merupakan bagian dari warisan berbagai macam tradisi yang ada

di Indonesia.9

Pandangan hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya

memudahkan penggolongan mana yang termasuk harta suami dan mana harta istri, mana

yang merupakan harta bawaan suami dan mana harta bawaan istri sebelum perkawinan,

mana harta suami istri yang diperoleh secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta

mana harta gono-gini yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan.

Apabila terjadi perceraian penggolongan harta tersebut akan sangat berguna dalam

menentukan bagian mereka masing-masing.10 Di sisi lain apabila kita merujuk KHI,

konsep harta bersama diakui sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 huruf f yaitu harta

kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri

7 Mochamad Djais, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, (Semarang: Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, 2003), hlm. 34. 8 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Bandung: Alumni,

2005), hlm. 59. 9 Zulfiqar Mokodompit, “Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini Dihubungkan

Dengan Hukum Islam,” Lex Administratum (Agustus 2015 Volume III Nomor 6), hlm. 169. 10 Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:

Bina Cipta, 1999), hlm. 111.

Page 6: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

6

atau bersama suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya

sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Kemudian

ditegaskan dalam Pasal 85 KHI bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak

menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Secara

konsep, harta kekayaan dalam perkawinan dalam KHI hampir serupa dengan konsep

dalam Undang-Undang Perkawinan. Dalam KUHPerdata maupun KHI harta yang

diperoleh sebelum perkawinan dikuasai oleh masing-masing pihak yang membawanya.

Merujuk kembali pada kasus di atas, permasalahan apakah tanah tersebut memang

merupakan harta bersama Jafar Ritonga dengan Mira Yanti akan dibahas dalam penelitian

ini. Dalam perkembangan permasalahan perceraian antara Jafar Ritonga dan Mira Yanti

telah diputus oleh Pengadilan Agama Kelas I A Medan, namun permasalahan mengenai

harta perkawinan belum diselesaikan di hadapan pengadilan agama.

Mengingat objek yang disengketakan merupakan beberapa bidang tanah, maka

dibutuhkan juga pemahaman mengenai peraturan pertanahan, khususnya bidang

pendaftaran tanah. Sistem pendaftaran tanah di negara kita menggunakan sistem

pendaftaran hak dan bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut nampak dengan adanya

buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun

serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Pembuktian

dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa

hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan

dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.11

Sedangkan sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif tendensi positif

karena menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

kuat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayaat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal

38 ayat (2) UUPA. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,

sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat

ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Ini berarti, bahwa selama tidak dapat dibuktikan

sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus diterima

sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun

dalam berperkara di pengadilan.12

Sertipikat atas bidang tanah yang menjadi objek sengketa dalam perkara di atas

beratasnamakan direktur utama PT Jasari yaitu Jafar. Apabila merujuk pada UUPA dan

peraturan pelaksanaannya, maka secara yuridis objek sengketa merupakan milik Jafar

Ritonga walaupun Jafar Ritonga mengakui bahwa pembelian tanah tersebut

menggunakan uang perseroan. Praktik seperti ini sesungguhnya tidak jarang terjadi di

masyarakat dan hampir serupa dengan kasus dimana seseorang telah melewati batas luas

kepemilikan tanah dan bekerja sama dengan orang lain agar tanah tersebut diatasnamakan

orang lain namun tanah tersebut aslinya dimiliki adalah pihak yang membeli tanah.

Praktik ini tidak sesuai dengan semangat peraturan pertanahan nasional dan

sesungguhnya dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum. Sepanjang perkembangan

sengketa pertanahan di Indonesia, peradilan di Indonesia memandang praktik ini tidak

11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2016), hlm. 477. 12 Ibid.

Page 7: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

7

sesuai dengan ketentuan pertanahan dan tetap memberi perlindungan hukum terhadap

pemilik tanah yang tertulis di sertifikat.

Pada kasus di atas dalam tingkat pengadilan negeri dan banding, majelis hakim

mengabulkan gugatan dari Riana Siregar dan demi hukum tanah tersebut menjadi milik

PT Jasari namun dalam tingkat kasasi majelis hakim membatalkan putusan pengadilan

negeri dan pengadilan tinggi tersebut. Majelis Hakim di tingkat kasasi menyetujui bahwa

secara hukum tanah tersebut sebagiannya adalah milik Mira Yanti.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penelitian tesis ini akan membahas dan

menganalisis mengenai pembelian tanah atas nama Dierksi untuk kegiatan usaha

perseroan yang tidak dilakukan proses peralihan kepemilikan tanah atas nama Perseroan,

dengan judul yaitu: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur Utama

Yang Terikat Dalam Perkawinan Untuk Kepentingan Kegiatan Usaha Perseroan

(Studi Kasus Putusan Nomor 2705 K/PDT/2016).

1.2. Pokok Permasalahan

1. Bagaimana status kepemilikan tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur

utama yang terikat dalam perkawinan yang dikuasai dan digunakan untuk

kegiatan usaha perseroan?

2. Bagaimana akibat putusnya perkawinan terhadap tanah yang dibeli oleh direktur

utama secara pribadi yang digunakan untuk kegiatan usaha perseroan?

1.3. Sistematika Penulisan

Artikel ini dibagi dalam tiga bagian. hal ini untuk mempermudah pembaca dalam

memahami isi artikel. bagian pertama berisi tentang Pendahuluan, yang terdiri dari latar

belakang, pokok permasalahan dan sistematika penulisan. Kemudian bagian kedua

tentang pembahasan dari rumusan masalah, yang merupakan inti dari jurnal ini yaitu

status kepemilikan tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur utama yang terikat

dalam perkawinan yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan usaha perseroan serta

akibat putusnya perkawinan terhadap tanah tersebut. Serta yang terakhir, yaitu bagian

penutup yang terdiri dari simpulan dan saran atas masalah yang dijabarkan

2. PEMBAHASAN

2.1. Kasus Posisi Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2705

K/Pdt/2016

Para Pihak dalam kasus pada Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016 adalah Mira Yuni

Yanti dengan kedudukan sebagai Pemohon Kasasi, dahulu Tergugat II dan Pembanding,

kemudian Hj. Riana Siregar yang bertindak untuk dan atas nama PT Jasari sebagai

Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding dan Jafar Ritonga sebagai Turut

Termohon Kasasi dahulu Tergugat I/Turut Terbanding. Seluruh pihak dalam perkara

tersebut mempunyai kedudukan dalam organ perseroan PT Jasari, yaitu:

Tabel 2.1

No. Pihak Status dalam Perkara Status Dalam Perseroan

1. Hj. Riana

Siregar − Tingkat Pertama: Penggugat

− Tingkat Banding:

Terbanding

− Komisaris

− Pemegang Saham

PT Jasari sebanyak

75 lembar saham

Page 8: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

8

− Tingkat Kasasi: Termohon

Kasasi

atau sebesar 60%

(enam puluh persen)

2. Jafar

Syahbuddin − Tingkat Pertama: Tergugat I

− Tingkat Banding: Turut

Terbanding

− Tingkat Kasasi: Turut

Termohon Kasasi

− Direktur Utama

− Pemegang Saham PT

Jasari sebanyak 38

lembar saham atau

sebesar 30% (tiga

puluh persen)

3. Mira Yuni

Yanti − Tingkat Pertama: Tergugat II

− Tingkat Banding:

Pembanding

− Tingkat Kasasi: Pemohon

Kasasi

− Direktur

− Pemegang Saham PT

Jasari sebanyak 12

lembar saham atau

sebesar 10% (sepuluh

persen)

Selain status yang terkait dengan organ perseroan, para pihak juga mempunyai

keterkaitan hubungan kekeluargaan sebelum terjadinya perkara, dimana Jafar Ritonga

merupakan anak dari Hj. Riana Siregar dan merupakan suami dari Mira Yanti. PT Jasari

adalah perseroan yang bergerak di bidang properti atau pengembangan lahan perumahan.

Mengingat PT Jasari yang bergerak di bidang properti, tentu tanah merupakan salah satu

unsur penting dalam menjalankan kegiatan usahanya. PT Jasari banyak melakukan

pembelian lahan untuk dikembangkan dan dijual kembali ke masyarakat. Tanah-tanah

yang lahannya dibeli oleh PT Jasari tersebut merupakan objek sengketa dalam perkara

ini. Kronologis perkara secara singkat adalah sebagai berikut:

1) Bahwa sejak tahun 1998 PT Jasari telah menjalankan usaha dalam bidang

pembangunan dan sebagai pengembang perumahan dan real estate dengan cara

melakukan pembelian terhadap bidang-bidang tanah dan kemudian membangun

perumahan di atasnya. Letak dan bidang-bidang tanah yang dibeli tersebut antara

lain:

a. Desa Bakaran Batu, Lubuk Pakam, komplek perumahan Jasica Asri Lubuk

Pakam, 41 Kavling, SHM atas nama Jafar Ritonga;

b. Desa Bandar Setia, Percut Sei Tuan, Perumahan Graha Muslim-Jasari Setia, 6

kavling, SHM atas nama Jafar Ritonga;

c. Kelurahan Binjai, Komplek Perumahan Jasari Pasti, 34 kavling, SHM atas nama

Jafar Ritonga;

d. Sebidang tanah beserta 1 ruko 80 m2, Jalan sersan Sani, Kemuning Kota

Palembang, SHM atas nama Jafar Ritonga.

Untuk selanjutnya disebut dengan “Objek Sengketa”,

2) Bahwa pembelian tanah tersebut dilakukan oleh Jafar Ritonga (Tergugat I) sebagai

kapasitasnya Direktur Utama yang bertindak untuk dan atas nama PT Jasari.

3) Bahwa pembelian Objek Sengketa tersebut memang dilakukan oleh Jafar Ritonga

(Tergugat I) dengan kapasitas sebagai Direktur perseroan, namun sertifikat atas

Objek Sengketa tersebut diatasnamakan Jafar Ritonga. Berdasarkan gugatan

Penggugat Nyonya Hj. Riana Siregar hal ini disebabkan untuk mempermudah

administrasi jual beli.

Page 9: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

9

4) Bahwa pembelian Objek Sengkta tersebut dilakukan pada saat Jafar Ritonga terikat

perkawinan dengan Mira Yanti.

5) Bahwa Objek Sengketa tersebut ditawarkan dan akan diperjualbelikan ke Pihak

Ketiga.

6) Bahwa permasalahan dimulai ketika pada tahun 2010 terjadi perceraian antara Jafar

Ritonga dan Mira Yanti dimana mereka putus perceraian dengan talak satu raj’i

berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 458/Pdt.G/2010/PA.Mdn

tanggal 16 Agustrus 2010 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap jo.

Penetapan Ikrar Talak Pengadilan Agama Medan Nomor 458/Pdt.G/2010/PA.Mdn

tanggal 6 September 2010.

7) Bahwa perceraian tersebut menimbulkan akibat hukum bagi PT Jasari, yakni

kesulitan dalam proses jual beli kepada pihak ketiga yang bermaksud membeli rumah

yang siap dibangun, dikarenakan harus turut disetujui dan ditandatangani Mira Yanti.

8) Bahwa Hj Riana Siregar sebagai Penggugat meminta seluruh aset dibaliknama

menjadi PT Jasari sehinggga perseroan dapat beroperasi secara normal tanpa

memperoleh hambatan akibat persoalan hukum yang belum terselesaikan antara Mira

Yanti dan Jafar Ritonga.

9) Bahwa Jafar Ritonga setuju untuk untuk melakukan balik nama Objek Sengketa

tersebut yang semula atas nama Jafar Ritonga menjadi PT Jasari.

10) Bahwa dikarenakan tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara Jafar Ritonga dan

Mira Yanti maka proses balik nama selalu tertunda.

11) Bahwa Hj Riana menganggap perbuatan Jafar Ritonga dan Mira Yanti tersebut

merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga Hj Riana dalam kapasitasnya

sebagai pemegang saham mayoritas perseroan mengajukan gugatan kepada Jafar

Ritonga dan Mira Yanti agar mengembalikan aset tersebut kepada PT Jasari.

12) Bahwa petitum gugatan Hj. Riana antara lain:

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan sah dan berharganya sita jaminan;

3. Menyatakan demi hukum Objek Sengketa milik PT Jasari;

4. Menyatakan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II yang tidak bersedia

mengembalikan aset milik Penggugat adalah Perbuatan Melaan Hukum;

5. Menghukum Tergugat I dan II untuk menyerahkan Objek Sengketa;

6. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar uang paksa (dwangsom);

7. Menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan;

13) Bahwa dalam perkembangannya, Jafar Ritonga sebagai Tergugat memberikan

jawaban yang pada intinya adalah Jafar Ritonga memang beritikad baik untuk

membaliknama Objek Sengketa menjadi atas nama PT Jasari dan bahwa pembelian

Objek Sengketa tersebut diakui Jafar Ritonga memakai dana perseroan.

14) Bahwa Mira Yanti memberikan jawaban yang menyatakan perceraiannya dengan

Jafar Ritonga mempunyai akibat terhadap harta kekayaan dimana Objek Sengketa

merupakan harta bersama Mira Yanti dan Jafar Ritonga sehingga Mira Yanti berhak

½ (setengah) dari seluruh harta bersama. Selanjutnya Mira Yanti menyatakan bahwa

hal ini menjadi wewenang Pengadilan Agama untuk membuktikan dan memutusnya.

15) Bahwa Mira Yanti juga menambahkan bahwa sejak dirinya bercerai dengan Jafar

Ritonga, tidak pernah sekalipun dirinya mendapat gaji walaupun statusnya masih

sebagai Direktur perseroan.

16) Bahwa kasus di atas dalam tingkat pertama, majelis hakim memberikan amar:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

Page 10: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

10

2. Menyatakan demi hukum Objek Sengketa merupakan aset-aset/harta kekayaan

milik PT Jasari;

3. Menyatakan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II uang tidak bersedia

mengembalikan aset milik Penggugat adalah perbuatan melawan hukum.

4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk mengembalikan dan/atau

menyerahkan seluruh Objek Sengketa kepada PT Jasari.

5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar uang paksa

(dwangsom) sebesar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah);

6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ongkos yang timbul

dalam perkara sejumlah Rp 401.000 (empat ratus satu ribu rupiah);

7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

17) Bahwa dalam tingkat banding, majelis hakim menguatkan putusan hakim pada

tingkat pertama tersebut dan dalam tingkat kasasi, majelis hakim membatalkan

putusan tingkat pertama dan tingkat banding tersebut.

18) Bahwa dalam perkembangan permasalahan perceraian antara Jafar dan Mira Yanti

telah diputus oleh Pengadilan Agama Kelas I A Medan dan mengenai perkara harta

bersama di antara mereka telah diputus dalam tingkat pertama Putusan Pengadilan

Agama Medan Nomor 183/Pdt.G/2013/PA.Mdn dan pada tingkat banding oleh

Pengadilan Tinggi Medan Nomor 6/Pdt.G/2014/PTA-Mdn.

2.2. Alat Bukti Para Pihak

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para

pihak yang beperkara kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan

kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.13 Pembuktian merupakan hal

penting yang mana sejalan dengan Pasal 283 Rbg/163 HIR yang menyatakan bahwa:

Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu

perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain,

haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.

Apabila dihubungkan dengan kasus di atas, maka Riana Siregar yang menuntut

bahwa Objek Sengketa merupakan milik PT Jasari maka harus menyajikan alat-alat bukti

yang mendasari dan dapat mendukung tuntutannya. Namun dalam pembuktian tidak

selalu pihak penggugat saja yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang

berperkara yang diwajibkan memberikan bukti. Hakim membebankan kepada para pihak

untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya. Adapun menurut

Pasal 1866 KUHPerdata maupun Pasal 164 HIR/284 RBg alat-alat bukti dalam hukum

acara perdata terdiri atas:

a. Bukti tulisan atau surat;

b. Bukti dengan saksi-saksi;

c. Persangkaan-persangkaan;

d. Pengakuan;

e. Sumpah;

Dari urutan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, maka alat bukti tulisan atau

surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. Berbeda dengan

perkara pidana dimana alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi. Hal ini

13 H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2004), hlm. 83.

Page 11: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

11

dikarenakan seseorang yang melakukan tindakan pidana selalu menyingkirkan atau

melenyapkan bukti-bukti tulisan dan apa saja yang memungkinkan terbongkarnya tindak

pidana yang dilakukan oleh para pelakunya, sehingga bukti harus dicari dari keterangan

orang-orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri kejadian tindak pidana

tersebut. Berikut adalah bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak dalam kasus ini:

Tabel 2.2

Pokok Dalil

Penggugat

Termohon

Kasasi

Bukti Pokok

Jawaban

Tergugat

II/Pemohon

Kasasi

Bukti

Objek Sengketa

merupakan milik

dari PT Jasari

• Bukti Tulisan

− Akta Pendirian dan

Anggaran Dasar

PT Jasari yang

menyatakan bahwa

bidang usaha dari

PT Jasari adalah

sebagai

pengembang/real

estate

− Brosur penjualan

perumahan Jasica

Asri Lubuk Pakam

dimana tercantum

nama Pengembang

PT Jasari

• Saksi

Terdapat dua orang

saksi yaitu Mutiadi dan

Abdul Rahim dimana

mereka adalah pembeli

tanah pada Komplek

Jasica Asri yang

dibangun oleh PT

Jasari. Pada pokoknya

menerangkan bahwa

mereka melihat brosur

PT Jasari dan memesan

rumah bukan dari

Direktur Utama

(Tergugat I/Turut

Termohon Kasasi).

Objek

Sengketa

merupakan

milik dari

Direktur

Utama

(Tergugat

I/Turut

Termohon

Kasasi dan

merupakan

harta gono-gini

Pemohon

Kasasi dan

Turut

Termohon

Kasasi.

• Bukti Tulisan

− Seluruh

Sertifikat

Kepemilikan

Objek Sengketa

beratasnamakan

Jafar Ritonga

2.3. Analisa Analisa Terhadap Status Kepemilikan Objek Sengketa Yang Dibeli

Secara Pribadi Oleh Direktur Utama Yang Terikat Dalam Perkawinan untuk

Kegiatan Usaha Perseroan

Page 12: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

12

Pemahaman mengenai fakta hukum dibutuhkan dalam menganalisa suatu kasus

merupakan suatu keharusan, termasuk dalam menganalisa kepemilikan terhadap suatu

bidang tanah yang sedang dalam sengketa. Fakta hukum penting yang dapat diperoleh

dari kasus posisi di atas adalah bahwa Sertifikat Hak Milik atas Objek Sengketa

seluruhnya beratasnamakan Jafar yaitu direktur utama PT Jasari. Gugatan terhadap

kepemilikan Objek Sengketa muncul pada saat pemegang saham mayoritas PT Jasari

menuntut agar Objek Sengketa dikembalikan kepada PT Jasari. Dari titik mula

permasalahan ini, seiring berjalannya kasus sampai sebelum diajukannya permohonan

kasasi ditemukan fakta-fakta hukum lainnya yang dapat mempengaruhi analisa

kepemilikan terhadap Objek Sengketa maupun yang memicu permasalahan baru lainnya,

antara lain:

1. Jafar terikat dalam perkawinan yang sah dengan Mira Yanti yang dilakukan menurut

agama Islam sejak tanggal 28 November 1997 dan putus karena perceraian

berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 458/Pdt.G/2010/PA. Mdn

tanggal 16 Agustus 2010 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Jafar, Mira Yanti dan Riana Siregar masing-masing merupakan direktur utama,

direktur dan komisaris sekaligus sebagai pemegang saham PT Jasari berdasarkan

Akta Berita Acara Rapat No. 97 tanggal 31 Mei 2001 yang dibuat dihadapan Alina

Hanum Nasution, SH, Notaris di Medan.

3. Pembelian Objek Sengketa dilakukan oleh Jafar dilakukan saat berada dalam ikatan

perkawinan mulai dari tahun 2005 sampai tahun 2010.

4. Majelis Hakim pada tingkat pertama memutus bahwa Objek Sengketa merupakan

harta kekayaan milik Penggugat i.c PT Jasari dan majelis hakim pada tingkat banding

memberikan amar menguatkan putusan pengadilan pada tingkat pertama tersebut.

Mengingat Objek Sengketa dalam kasus Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016

merupakan beberapa bidang tanah sehingga dalam menentukan status kepemilikan Objek

Sengketa haruslah merujuk dan menganalisa berdasarkan ketentuan hukum agraria.

Berdasarkan fakta hukum di atas yang dapat dianalisa adalah bahwa apakah Sertifikat

Hak Milik dapat menjadi dasar kepemilikan terhadap Objek Sengketa. Sebagaimana telah

dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya sertipikat merupakan surat tanda bukti hak untuk

hak atas tanah yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan. Sertipikat sebagai surat tanda bukti hak berlaku sebagai pembuktian yang

kuat. Sedangkan yang dimaksud dengan “hak atas tanah” dalam definisi tersebut adalah

“macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-

orang lain serta badan hukum, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak

pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang

tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-

undang serta hak-hak yang sifatnya sementara seperti : hak gadai, hak usaha bagi hasil,

hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.” Kegunaan setipikat antara lain:

1. Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah yang dimiliki secara

perorangan maupun oleh suatu badan hukum.

2. Memberikan bukti autentik bahwa orang yang tercantum namanya dalam sertipikat

tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya.

3. Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak

atas tanah tersebut.

Page 13: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

13

Pada intinya adanya sertipikat akan memberikan kekuatan pembuktian yang kuat

bagi orang yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut apabila terjadi sengketa.

Walaupun demikian pemegang/pemilik sertipikat tidak selamanya akan menang dalam

persidangan, hal ini mengingat bahwa pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem

pendaftaran hak dimana terhadap pemegang sertipikat dapat diajukan gugatan apabila

data awal penerbitan sertipikatnya mengandung cacat yuridis misalnya akta PPAT seperti

jual beli, hibah, tukar menukar cacat hukum hingga kehilangan kekuatan hukumnya,

maka dalam hal ini bisa saja terjadi pemegang/pemilik sertipikat dinyatakan kalah oleh

pengadilan. Pihak yang menang dapat mengajukan surat permohonan kepada Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN untuk membatalkan/mencabut penerbitan sertipikat tersebut

dan selanjutnya diterbitkan sertipikat yang baru bagi pemohon tersebut.

Dalam persengkataan mengenai kepemilikan tanah, terdapat penilaian hakim

terhadap siapa yang berhak atas tanah bersengketa baik itu sengketa yang terjadi karena

diterbitkannya sertipikat ganda maupun karena adanya bukti lain diluar sertipikat yakni

bukti-bukti yang diakui menurut ketentuan PP 24/1997. Mengingat hal tersebut, maka

dirasa perlu ditelaah sampai sejauh mana kekuatan hukum sertipikat tanah sebagai tanda

bukti hak atas tanah.

Pasal 137 HIR/Pasal 163 Rbg telah memberikan kemungkinan kepada kedua belah

pihak yang berperkara untuk saling dapat meminta supaya diserahkan kepada Hakim

surat-surat yang digunakan sebagai bukti agar pihak lawan dapat mengetahui tentang

isinya. Tentunya surat-surat yang diminta pihak-pihak itu hanyalah surat- surat yang ada

hubungannya dengan persengketaan yang sedang diperiksa itu yaitu untuk membuktikan

sesuatu soal, misalnya saja dalam sengketa pemilikan tanah, para pihak akan

menyerahkan tanda bukti hak masing-masing baik yang berupa surat bukti sertipikat

tanah atau jika tanahnya belum didaftar akan menyerahkan surat bukti segel tanah dalam

rangka guna meneguhkan dalil gugatan/dalil bantahan masing-masing pihak. Kepada

hakimlah yang akan memberikan penilaian berdasarkan pemeriksaaan yang teliti

ditambah dengan bukti-bukti lain antara lain keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti

lainnya menurut hukum pembuktian.

Untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum suatu sertipikat tanah, maka kita

tilik kembali sifat dari pendaftaran tanah yang disselenggarakan di Indonesia untuk

menjamin kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum disini adalah untuk menghindari

terjadinya penerbitan sertipikat tanah bukan kepada orang yang tidak berhak (bukan

pemilik). Dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUPA, maka

pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif dengan tendensi

positif yang artinya segala apa yang tercantum dalam setipikat tanah adalah benar sampai

dapat dibuktikan keadaan yang sebaliknya di pengadilan.

Sistem negatif dengan tendensi positif ini tercermin dalam Pasal 19 ayat (2) huruf

c UUPA yang menegaskan bahwa surat-surat tanda bukti hak yang diberikan itu berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata “kuat” dalam hubungannya dengan sistem

negatif adalah berarti “tidak mutlak” yang berarti bahwa sertipikat tanah tersebut masih

mungkin dibatalkan sepanjang ada pembuktian yang sebaliknya yang menyatakan

ketidakabsahan sertipikat tanah tersebut. Dengan demikian sertipikat tanah bukanlah

satu-satunya surat bukti pemegang hak atas tanah dan harus dilihat kembali dalam

pembuktiannya.

Berdasarkan hal di atas, maka tidak tepat ada anggapan bahwa dengan memegang

Page 14: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

14

sertipikat tanah berarti pemegang tersebit adalah mutlak pemilik tanah dan dijamin

kepastiannya oleh hukum serta di muka pengadilan. Sertipikat tanah adalah alat bukti kuat

namun bukan berarti tidak tergoyahkan. Mahkamah Agung Republik Indonesia

berpendapat yakni dalam putusannya tanggal 18 September 1975 Nomor 459 K/Sip/1975

menegaskan bahwa:

Mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di

Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut

menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak

lain.

Dengan demikian maka sampai dibuktikan sebaliknya, sertipikat dianggap sah dan

memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah. Dalam PP 24/1997

diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang

dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan

bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang

dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam

perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data

tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang

bersangkutan, dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat

atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama lima tahun sejak dikeluarkan

sertipikat itu dia tidak boleh mengajukan gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah

tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara

fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapat

persetujuannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka harus dibuktikan terlebih dahulu apakah

berdasarkan bukti-bukti yang diperiksa di muka pengadilan terdapat bukti yang

menyanggah kepemilikan dari Jafar. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam sub bab

alat bukti para pihak, alat bukti yang terkuat merupakan alat bukti tulisan. Berdasarkan

bukti yang diajukan pihak lawan dari Jafar, tidak terdapat satupun bukti auntentik yang

menunjukkan bahwa PT Jasari merupakan pemilik dari Objek Sengketa. Maka dengan

demikian, secara bukti yang diberikan oleh para pihak Objek Sengketa merupakan milik

dari Jafar. Namun, hal yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah bahwa Jafar membeli

Objek Sengketa tersebut pada saat dalam ikatan perkawinan dengan Mira Yanti dan

diketahui bahwa tidak ada perjanjian perkawinan yang diadakan di antara mereka.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, harta benda yang dibeli

dalam perkawinan merupakan harta bersama suami dan istri. Sehingga dalam hal ini nyata

bahwa kepemilikan sertifikat Objek Sengketa belum tentu menunjukkan kepemilikan

seluruhnya terhadap suatu tanah melainkan harus dilihat kembali status perkawinan dari

pemilik sertifikat. Dengan demikian, status kepemilikan Objek Sengketa tersebut

merupakan harta bersama antara Jafar dan Mira Yanti.

Kemudian mengingat keterkaitan kasus ini dengan kedudukan Jafar sebagai

Direktur Utama PT Jasari, haruslah ditinjau juga berdasarkan hukum perseroan

khususnya mengenai kapasitas Jafar dalam melakukan transaksi pembelian Objek

Sengketa. Analisa terhadap ketentuan-ketentuan hukum tersebut akan dihubungkan

dengan pernyataan, fakta dan/atau bukti yang ditemukan dalam putusan sebagai berikut:

1) Kapasitas Jafar dalam Pembelian Objek Sengketa

Page 15: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

15

Sesuai dengan pembahasan di bagian sebelumnya mengenai syarat dan pelaksanaan

jual beli tanah, dalam jual beli harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal

1320 KUHPerdata antara lain sepakat, cakap, mengenai hal tertentu dan sebab yang

halal. Untuk mengetahui apakah syarat tersebut telah terpenuhi, tentunya harus

diketahui dahulu identitas para pihak yang bertransaksi dan kapasitas atau

kedudukannya dalam melakukan transaksi. Dalam Posita poin 9 gugatan, Penggugat

menyatakan bahwa dalam pembelian tersebut Jafar sebagai Direktur Utama PT Jasari

bertindak dan untuk dan atas nama PT Jasari. Bila seorang Direktur Utama bertindak

untuk dan atas nama perseroan dalam suatu transaksi, maka sesungguhnya yang

melakukan transaksi tersebut adalah perseroan dan bukan pihak yang mewakili.

Penggugat tidak dapat menunjukkan akta jual beli yang mendukung pernyataan

tersebut. Apabila dilihat dari logika hukum yang mengacu pada peraturan perundang-

undangan agraria, maka pernyataan tersebut bertentangan dengan hukum. Hal ini

mengingat tanah hak milik hanya bisa dimiliki oleh WNI dan bukan perseroan

sehingga tidaklah mungkin terdapat pihak yang dalam kapasitasnya mewakili

perseroan dalam akta jual beli tanah hak milik tersebut. Para pihak dalam akta jual beli

tersebut seharusnya dilakukan antar WNI atau para pihak yang diberi kuasa oleh WNI

lain. Dalam Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016, tidak secara jelas dijabarkan mengenai

proses transaksi jual beli antara Jafar dan para pemilik Objek Sengketa. Tanah yang

menjadi objek dari jual beli apabila sudah terjadi transaksi jual beli maka secara

otomatis menjadi hak dari pembeli, permasalahan akan muncul apakah pembeli

tersebut berhak atau tidak terhadap hak atas tanah yang dibelinya. Hal yang diketahui

adalah bahwa sertifikat-sertifikat atas Objek Sengketa tersebut beratasnamakan Jafar.

Sertifikat hak milik tersebut menunjukkan bahwa pihak yang mengadakan transaksi

merupakan Jafar sendiri dan bukan dilakukan atas nama perseroan karena tidak

mungkin BPN menerbitkan sertifikat hak milik untuk perseroan. Kemudian apabila

kita merujuk kepada syarat sahnya jual beli tanah secara materiil sebagaimana telah

dijelaskan di atas bahwa pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, maka

tidak mungkinlah transaksi jual beli Objek Sengketa tersebut diadakan antara PT Jasari

dan penjual Objek Sengketa. Hal ini dikarenakan seluruh sertifikat merupakan

sertifikat Hak Milik yang menandakan status hak atas Objek Sengketa merupakan

tanah Hak Milik dimana berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa

hanya WNI yang dapat memperoleh Hak Milik. Maka pernyataan penggugat yang

menyatakan bahwa tanah tersebut dibeli untuk dan atas nama PT Jasari secara yuridis

dan de jure dapat dibantahkan, karena PT Jasari tidak berhak menjadi pembeli hak atas

tanah Hak Milik.

2) Sumber Pendanaan Pembelian Objek Sengketa

Dalam perkara ini, penggugat menyatakan dalil bahwa pembelian Objek Sengketa

menggunakan dana perseroan namun penggugat tidak dapat menunjukkan bukti

laporan keuangan yang menyatakan hal tersebut maupun bukti yang menunjukkan

bahwa PT Jasari telah melakukan pemindahbukuan rekening kepada Jafar untuk

membeli Objek Sengketa. Bahkan RUPS untuk membeli tanah Objek Sengketa tidak

pernah diadakan oleh PT Jasari. Dalam hal ini terdapat kontradiksi antara pernyataan

Jafar dan kondisi perseroan PT Jasari. Apabila Jafar membeli Objek Sengketa

menggunakan dana perseroan, sudah jelas Jafar sebagai Direktur Utama perseroan

bertanggung jawab untuk menyatakannya dalam laporan keuangan. Apabila

pembelian tersebut memang benar menggunakan dana perseroan, maka dapat

Page 16: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

16

dikatakan bahwa Jafar sebagai Direktur Utama PT Jasari telah lalai dalam melakukan

tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota Direksi perseroan dan telah terjadi

perbuatan melawan hukum bahkan dapat ditarik ke jalur pidana terkait perbuatan

penggelapan. Dikatakan dalam jalur pidana ialah karena Jafar dapat dituntut

melakukan penggelapan dalam jabatannya sesuai dengan Pasal 374 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) apabila dapat dibuktikan bahwa sumber biaya

pembelian Objek Sengketa berasal dari PT Jasari dan secara nyata ia sengaja atau

menunda-nunda tidak melakukan upaya balik nama agar Objek Sengketa menjadi

milik PT Jasari. Adapun isi dari Pasal 374 KUHP tersebut ialah bahwa penggelapan

yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena

ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dihubungkan dengan unsur-

unsur dalam pasal tersebut, Jafar memang melakukan penguasaan terhadap barang dan

adanya hubungan kerja antara Jafar dengan PT Jasari. Namun dalam hal ini tidak

terdapat bukti yang menunjukan sumber pendanaan pembelian Objek Sengketa berasal

dari PT Jasari. Apabila memang benar Objek Sengketa tersebut akan diperuntukkan

sebagai aset PT Jasari, seharusnya Jafar membuat upaya tertentu agar rencana tersebut

direalisasikan. Salah satu upaya tertentu disini adalah:

1. Mengadakan RUPS untuk menyetujui pembelian Objek Sengketa. RUPS ini

kemudian dapat menyetujui bahwa pembelian Objek Sengketa dilakukan atas nama

Direktur Utama untuk sementara dan bahwa akan dibaliknama kemudian menjadi

atas nama PT Jasari setelah dilakukannya penurunan hak atas tanah Objek Sengketa

dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau hak yang dapat dimiliki oleh

badan hukum perseroan.

2. Membuat surat pernyataan dari Jafar sebagai Direktur Utama perseroan ke PT Jasari

yang dapat menyatakan:

(i) Bahwa pembelian tanah tersebut menggunakan memang benar menggunakan

dana perseroan.

(ii) Bahwa pembelian tanah dilakukan atas nama Direktur Utama Jafar dalam

waktu sementara untuk mempermudah administrasi jual beli Objek Sengketa

yang mana merupakan tanah Hak Milik yang tidak dapat dimiliki perseroan.

(iii) Bahwa Direktur Utama Jafar akan berupaya semaksimal mungkin untuk segera

mengurus penurunan hak atas Objek Sengketa tersebut dari Hak Milik menjadi

Hak Guna Bangunan dan melaksanakan balik nama Objek Sengketa yang

semula atas nama Jafar menjadi atas nama perseroan.

Apabila Direktur Utama Jafar memang bertujuan untuk menjadikan aset tersebut

menjadi aset perseroan, dengan dilakukannya upaya-upaya tersebut di atas, maka

Direktur Utama Jafar dapat dinyatakan mempunyai itikad baik untuk mengamankan

aset perseroan. Hal yang menjadi masalah adalah pernyataan tersebut tidak sesuai

dengan fakta yang terjadi dalam perseroan. Dengan tidak adanya upaya tertentu oleh

PT Jasari untuk menjadikan Objek Sengketa menjadi aset perseroan serta tidak adanya

bukti otentik yang dimiliki perseroan, maka fakta tersebut tidak menunjukkan adanya

itikad PT Jasari untuk membeli dan menguasai Objek Sengketa.

3) Alat Bukti Otentik Sehubungan Dengan Pembelian Objek Sengketa

Berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan

tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan. Kemudian

perihal bukti tulisan, dalam hukum pembuktian dikenal tiga jenis surat, yaitu akta

Page 17: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

17

otentik, akta dibawah tangan dan surat bukan akta. Baik akta otentik maupun akta

dibawah tangan dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti. Perbedaan yang penting

antara kedua jenis bukti tulisan tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik

mempunyai pembuktian yang sempurna.

Sebagaimana telah diuraikan dalam pembagian sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal

1 angka 20 UUPA, sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana di dalam Pasal

19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, pengelolaan, tanah wakaf, hak milik

atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan

dalam buku tanah yang bcrsangkutan. Kemudian dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan

bahwa Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan Sertifikat

Hak atas Tanah. Sertifikat diterbitkan Badan Pertanahan Nasional yang didalamnya

memuat data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah tertentu. Data fisik berkenaan

dengan letak, batas dan luas bidang tanah. Sedangkan data yuridis berkenaan dengan

subyek hak, alas hak dan pembebanan hak atas tanah. Data tersebut diperoleh dari

pemohon sertifikat dan pemeriksaan oleh BPN melalui proses pendaftaran tanah.

Karena itu dalam kaitannya dengan alat-alat bukti dalam proses peradilan perdata

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 HIR/284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata

serta berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUPA maka sertifikat berstatus sebagai

bukti surat yang berkualifikasi sebagai akta otentik.

Dalam perkara ini, alat bukti otentik yang ditemukan hanyalah berupa sertikat hak

milik atas nama Jafar. Tidak ada bukti otentik yang dapat diberikan oleh Penggugat

untuk membuktikan Objek Sengketa merupakan milik PT Jasari. Tidak ada alat bukti

seperti Berita Acara Rapat RUPS atau Akta Pernyatan Keputusan Rapat PT Jasari yang

menyatakan akan membeli Objek Sengketa maupun bukti diadakannya RUPS

Tahunan yang seharusnya menyajikan laporan keuangan dikeluarkannya dana

perseroan untuk membeli Objek Sengketa. Tidak ada juga alat bukti otentik seperti

Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menunjukkan terjadinya pemasukan Objek

Sengketa ke dalam PT Jasari sebagaimana yang menjadi salah satu pertimbangan

Majelis Hakim pada tingkat pertama. Bukti yang diajukan Penggugat hanya berupa 2

(dua) orang saksi sebagai calon pembeli dan penggugat mengaitkannya dengan brosur

yang diedarkan oleh tim pemasaran PT Jasari bahwa PT Jasari berniat untuk menjual

tanah tersebut ke pembeli. Bukti tersebut tidaklah cukup membuktikan kepemilikan

oleh PT Jasari. Berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa Objek Sengketa

merupakan milik dari Jafar dan merupakan harta bersama Jafar dengan istrinya Mira

Yanti.

Dalam kasus Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016, secara yuridis tanah tersebut

merupakan milik dari Direktur Utama PT Jasari yaitu Jafar. Namun terlihat jelas juga

bahwa tanah yang dibeli atas nama Direktur Utama tersebut digunakan dan dikuasai oleh

PT Jasari dalam mewujudkan kegiatan usahanya sebagai perusahaan pembangunan

perumahan. Berikut beberapa akibat pembelian Objek Sengketa atas nama direktur utama

untuk kepentingan perusahaan pengembang:

1) Objek Sengketa Jatuh ke Ahli Waris Dan Tidak Dapat Dikuasai dan Digunakan oleh

PT Jasari Apabila Direktur Utama Meninggal Dunia

Di dalam praktik, memang banyak dijumpai kondisi dimana pihak perseroan ingin

membeli sebidang tanah, dimana sertifikatnya berstatus Hak Milik. Karena perseroan

menginginkan agar tanah tersebut tetap berstatus Hak Milik, perseroan tanah tersebut

Page 18: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

18

di atas namakan kepada salah seorang pemegang saham atau direksi. Walaupun ini

sering dilakukan dalam praktik dan yang dalam kasus ini dilakukan oleh PT Jasari,

namun akan berakibat jika ternyata direksi di kemudian hari meninggal dunia, tanah

secara hukum akan menjadi milik dan terdaftar atas nama ahli waris. Jika di

kemudian hari ahli waris menolak untuk menandatangani akta pengalihan ataupun

pengakuan terhadap Objek Sengketa, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan baru

bagi PT Jasari. Apabila PT Jasari ingin menjadikan Objek Sengketa menjadi

kekayaan perseroan, seharusnya tanah milik direksi tersebut haknya diturunkan

terlebih dahulu menjadi Hak Guna Bangunan, barulah dilakukan jual beli langsung

ke atas nama PT Jasari. Kondisi demikian juga memberikan hak kepada PT Jasari

tersebut untuk memasukkan pembelian aset dimaksud sebagai aset dalam laporan

keuangan PT Jasari. Hal ini lebih aman dan bebas dari potensi risiko di kemudian

hari.

2) Objek Sengketa Tidak Menjadi Boedel Pailit Apabila Perseroan Dinyatakan Pailit

yang Menyebabkan Potensi Kerugian Bagi Kreditur Perseroan

Apabila di kemudian hari PT Jasari dinyatakan pailit, maka harta perusahaan akan

masuk ke dalam budel pailit (sita umum harta debitor), hanya harta yang

dikategorikan sebagai boedel pailitlah yang bisa dieksekusi untuk membayar hutang-

hutang krediturnya dan harta di luar itu tidak. Harta yang masuk dalam boedel pailit

hanyalah harta yang sudah terdaftar atas nama PT Jasari. Ketentuan pasal 21 ayat (2)

UUPA yang menyatakan bahwa hanya WNI yang dapat memperoleh hak milik jo.

PP 38/1963 yang menentukan badan hukum yang boleh memiliki hak mili telah

menutup kemungkinan kepemilikan tanah Hak Milik atas nama PT Jasari. Ketentuan

di atas tidak terlalu bermasalah bagi badan hukum pada umumnya, tapi bermasalah

untuk PT Jasari sebagai perusahaan pengembang. Mengingat perusahaan

pengembang fokus utamanya adalah pada jual beli bangunan, dan tanah menjadi

sesuatu yang tidak bisa dipisahkan meskipun asas hukum agraria menganut

pemisahan horisontal. PP 38/1963 telah menyebutkan badan hukum tertentu yang

bisa mempunyai hak milik atas tanah yakni bank-bank negara, perkumpulan-

perkumpulan koperasi pertanian, badan-badan keagamaan dan badan-badan sosial,

tidak ada perseroan terbatas yang termasuk kedalamnya. Dengan demikian tanah-

tanah milik perusahaan pengembang yang masih diatasnamakan direksinya, tidak

akan masuk ke dalam boudel pailit, sehingga tidak turut menjadi pertimbangan di

dalam pemberesan harta pailit perusahaan. Kreditur-kreditur akan sangat dirugikan

jika PT Jasari dipailitkan.

2.4. Analisa Akibat Perceraian Terhadap Objek Sengketa

Perceraian menimbulkan akibat hukum terhadap anak dan harta kekayaan. Dampak

pada harta kekayaan tersebut, selain membawa akibat di antara suami istri, juga dapat

menimbulkan dampak kepada pihak ketiga yang akan melakukan perikatan atau

mempunyai hubungan kausa dengan harta kekayaan suami istri dalam perkawinan.

Dalam bagian ini akan dibahas kedua akibat tersebut. Objek Sengketa dibeli oleh Jafar

ketika masih terikat dalam perkawinan yang sah sehingga apabila menurut Pasal 1 huruf

f KHI yang menyatakan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah

harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam

ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa

mempersoalkan terdaftara atas nama siapapun, maka Objek Sengketa dapat dikategorikan

Page 19: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

19

sebagai harta bersama. Jafar dan Mira Yanti melangsungkan perkawinan yang didasarkan

pada Hukum Islam sehingga acuan pembagian harta bersama haruslah merujuk pada

ketentuan Hukum Islam.

Al-Quran maupun Hadist Nabi tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang

diperoleh selama dalam hubungan perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga

tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan

perkawinan itu menjadi milik bersama. Sehingga masalah ini merupakan masalah yang

perlu ditentukan dengan cara ijtihad yaitu penggunaan akal pikiran manusia dengan

sendirinya hasil pemikiran itu sesuai dan bersumber dengan jiwa ajaran Islam. Akan tetapi

apabila keperluan rumah tangga diperoleh karena usaha bersama antara suami dan istri,

maka dengan sendirinya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Besar atau kecilnya harta yang menjadi bagian suami atau istri bergantung kepada banyak

atau sedikitnya usaha yang mereka lakukan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga

itu. Kalau usahanya sama kuat, maka harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak

adalah seimbang, tetapi kalau suami lebih banyak usahanya daripada istri, maka hak

suami juga lebih besar dari hak istri, demikian pula sebaliknya. Apabila dihubungkan

dengan kasus ini, Jafarn dan Mira Yanti bersama-sama merupakan Direksi dan pemegang

saham PT Jasari. Dengan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka mempunyai andil

dan usaha terhadap harta benda dalam perkawinan. Sehingga harta benda dalam

perkawinan, yang dalam hal ini adalah Objek Sengketa, bukanlah milik Jafar sepenuhnya.

Akibat perceraian terhadap harta bersama menurut Hukum Islam secara tertulis

dalam hukum positif ditentukan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang

menyatakan janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama

sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Terhadap harta bersama,

Pasal 88 KHI menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang

harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk dapat menentukan mana yang hartab bersama atau

tidak maka suami istri dapat memperkarakannya di pengadilan agama. Apabila sudah

mendapat putusan pengadilan mana yang menjadi harta bersama, hal itu dapat menjadi

petunjuk untuk pembagian harta bersama sebanyak seperdua masing-masing suami istri

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 97 KHI.

Berdasarkan Pasal 78 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 dan 50

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menegaskan

bahwa apabila terjadi sengketa mengenai kepemilikan atas suatu benda oleh orang-orang

yang beragama Islam maka wewenang Pengadilan Agama untuk memutuskan sengketa

milik atau keperdataan lain yang terikat dengan objek sengketa yang apabila subjeknya

antara orang-orang yang beragama Islam. Oleh karena masalah harta benda yang

disengketakan oleh Jafar dan Mira Yanti sebagai adanya hubungan sebab dan akibat dan

dengan adanya perceraian sebelumnya yang diputuskan sebelumnya di Pengadilan

Agama Medan maka dengan sendirinya secara absolut merupakan kewenangan

Pengadilan Agama untuk pembuktiannya atau mengadili mengenai harta bersama ini.

Pembuktian dan penyelesaian yang diserahkan kepada Pengadilan Agama tentunya

akan merujuk pada hukum Islam. Berdasarkan kasus Putusan Nomor 2705/K/Pdt/2016,

Objek Sengketa tersebut diperoleh dalam ikatan perkawinan Jafar dan Mira yanti. Dalam

perkawinan mereka tidak dinyatakan bahwa mereka mengadakan perjanjian perkawinan.

Sehingga apabila tidak ada perjanjian perkawinan maka penyelesaian mengenai harta

Page 20: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

20

bersama merujuk pada ketentuan Hukum Islam. Apabila kita merujuk pada pasal Pasal 1

huruf f KHI jo. Pasal 97 KHI, Objek Sengketa masuk ke dalam kategori harta bersama

dan terjadinya perceraian mengakibatkan Objek Sengketa harus dibagi dua antara Jafar

dan Mira Yanti. Berdasarkan perkembangannya, perkara harta bersama di antara mereka

telah diputus dalam tingkat pertama Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor

183/Pdt.G/2013/PA.Mdn dan pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Medan

Nomor 6/Pdt.G/2014/PTA-Mdn.

Selain dari akibat perceraian suami istri terhadap harta kekayaan, maka terdapat

lagi akibat terhadap pihak ketiga, khususnya dalam hal ini mengingat Objek Sengketa

digunakan oleh PT Jasari untuk kepentingan kegiatan usahanya. Apabila melihat bidang

usaha PT Jasari yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan penjualan unit-

unit bidang tanah serta rumah dimana objek usaha dari PT Jasari adalah Objek Sengketa,

maka akan terdapat akibat perceraian dalam penjualan bidang tanah atau rumah tersebut

kepada pihak ketiga. Dalam hal belum dilakukan penyelesaian terhadap harta bersama,

maka apabila PT Jasari melalui Jafar ingin menjual salah satu atau seluruh Objek

Sengketa, maka haruslah diperoleh persetujuan Mira Yanti. Hal ini dikarenakan Mira

Yanti mempunyai hak terhadap Objek Sengketa tersebut sebagai bagian dari harta

bersama dirinya dengan Jafar. Kemudian apabila telah diselesaikan permasalahan

mengenai harta bersama dan sebagian Objek Sengketa jatuh ke tangan Mira Yanti, maka

Jafar sebagai anggota Direksi perseroan tidak berwenang untuk menjual tanah yang telah

menjadi hak Mira Yanti tersebut kepada pihak ketiga.

2.5. Analisa Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016 serta

Putusan Judex Facti

Berikut adalah analisa terhadap alasan-alasan dalam memori kasasi pertimbangan

hakim dalam Judex Facti:

1) Judex Facti telah salah dan keliru dalam menafsirkan dan menginterpretasikan

peraturan tentang pertanahan dan peralihan hak atas tanah sehingga bertentangan

dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah. Ketentuan yang diipretasikan secara keliru oleh Judex Facti

adalah Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 serta PP 37/1998

tentang PPAT. Dalam hal ini, Majelis Hakim dalam tingkat pertama

mengesampingkan fakta hukum bahwa tanda bukti sertipikat merupakan alat

pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Majelis

hakim menyatakan bahwa tanah beserta bangunan adalah milik PT Jasari namun tidak

merujuk pada bukti otentik yang kuat dimana tidak adanya sertifikat atau akta PPAT

seperti Akta Jual Beli, Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan, bahwa Objek Sengketa

merupakan milik PT Jasari. Bukti Sertifikat Hak Milik atas nama Jafar adalah bukti

yang kuat bahwa Objek Sengketa bukan milik Jafar melainkan PT Jasari.

2) Judex Facti mengenyampingkan ketentuan mengenal pengalihan hak atas tanah wajib

dibuktikan dengan Akta Notaris menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997

menyatakan bahwa atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,

Page 21: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

21

tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat

didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkara tidak

ada alat bukti yang membuktikan peralihan hak atas tanah dari Jafar ke PT Jasari baik

itu peralihan secara jual beli maupun peralihan dalam bentuk inbreng (pemasukan

tanah ke dalam perusahaan).

3) Judex Facti telah salah dan keliru dalam menafsirkan dan menginterpretasikan Undang

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya tentang

pemasukan aset ke dalam perusahaan (inbreng) dimana Judex Facti

mengesampingkan fakta hukum bahwa proses pembelian dan pemasukan aset

(inbreng) Kepada PT Jasari tidak pernah dilakukan. Bahwa Majelis Hakim pada

tingkat pertama mempertimbangkan bahwa tanah tersebut menjadi inbreng dari Jafar

ke PT Jasari namun tidak ada bukti berupa bahwa pernah dilangsungkannya RUPS

untuk menyetujui inbreng Objek Sengketa tersebut tidak pernah dilakukan dilakukan

sama sekali dan tidak ada ditandatanganinya Akta Pemasukan dalam Perusahaan yang

dibuat oleh PPAT. Apabila dilihat dari kewenangan pemegang hak atas tanahnya, PT

Jasari seharusnya tidak secara langsung dapat memiliki tanah tersebut karena statusnya

yang adalah Hak Milik. Hak Milik atas tanah yang dialihkan melalui penyertaan

kedalam perusahaan harus terlebih dahulu diturunkan haknya menjadi hak guna

bangunan agar Perseroan Terbatas sebagai menjadi subyek hukum yang menerima

peralihan hak tersebut memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang

sebagai pemegang hak atas tanah. Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut

menyebabkan terjadinya cacat administrasi yang dapat mengakibatkan dibatalkannya

hak atas tanah yang bersangkutan dan status tanah menjadi tanah negara.

4) Judex Facti telah salah dalam membuktikan karena pembelian 2 (dua) bidang tanah

beserta rumah yang dibeli oleh 2 (dua) orang saksi yaitu Mutiadi, S.Ps i. dan H. Abdul

Rahim, S.Ag. sebagai Pembeli dan dikaitkan dengan brosur yang diedarkan bagian

pemasaran PT Jasari. Dalam sidang pembuktian, Penggugat menghadirkan Mutiadi

dan Abdul Rahim dimana mereka memberikan keterangan bahwa masing-masing

mereka adalah selaku pembeli bidang tanah di komplek Jasica Asri Lubuk Pakam yang

merupakan salah satu Objek Sengketa, menerangkan bahwa mereka membeli

perumahan di Komplek Jasica Asri setelah mendapat brosur yang diedarkan bahagian

marketing PT. Jasica Asri ke kantor saksi lalu saksi tertarik dan setelah melihat lokasi

lalu berbicara dengan bahagian marketing bernama Anto dan memesan salah satu

rumah yang ada di Komplek Jasica Asri melalui Anto dan bukan melalui Jafar dan saat

ini telah melunasi pembelian rumah tersebut. Saksi yang membeli 2 (dua) tanah beserta

bangunan di atasnya tersebut bukan berarti kepemilikan atas rumah beserta bangunan

yang berdiri di atasnya tersebut adalah milik PT. Jasari. Bukan berarti mereka yang

menawarkan rumah merupakan pemilik sah rumah tersebut karena bukti kepemilikan

atas suatu alas hak adalah dapat dilihat dari nama pemegang hak Sertifikat Hak Milik

tersebut berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah.

5) Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan permohonan kasasi dari Mira Yanti dan

membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yaitu Putusan Pengadilan Negeri

Page 22: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

22

Medan Nomor 163/Pdt.G/2012/PN Mdn dan putusan tingkat banding Putusan

Pengadilan Tinggi Medan Nomor 183/Pdt/2014/PT Mdn. Mahkamah Agung

mempertimbangkan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan Pemohon Kasasi Mira

Yanti dapat dibenarkan dan Judex Facti telah salah menerapkan hukum. Dalam hal ini

penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memang

tidak menyatakan Objek Sengketa merupakan milik Jafar karena harus dibuktikan

lebih lanjut dalam Pengadilan Agama yang berwenang memutuskan pembagian

mengenai Objek Sengketa.

3. PENUTUP

3.1. Simpulan

Simpulan yang dapat penulis berikan terhadap penelitian ini antara lain:

1. Status kepemilikan tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur utama yang terikat

dalam perkawinan yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan usaha perseroan secara

yuridis merupakan milik direktur utama dan istrinya. Hal ini dikarenakan sertifikat

tanah beratasnamakan direktur utama dan tidak terdapat satu bukti tulisan termasuk

bukti autentik yang dapat membuktikkan tanah tersebut merupakan milik perseroan

walaupun tanah tersebut dikuasai dan digunakan oleh perseroan. Hal ini sesuai dengan

Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA jo. Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 tentang Pendaftaran

Tanah yang menyatakan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang kuat

mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya. Walaupun sertifikat

beratasnamakan direktur utama, tanah tersebut menjadi harta bersama direktur utama

dan istrinya karena tanah dibeli pada saat dalam ikatan perkawinan dimana hal ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

2. Akibat putusnya perkawinan terhadap tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur

utama yang terikat dalam perkawinan adalah tanah tersebut menjadi objek pembagian

harta bersama direktur utama dengan istrinya. Direktur utama dan istrinya tidak

membuat perjanjian perkawinan sehingga pembagian harta bersama dilakukan sesuai

dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 97 KHI dimana apabila terjadi

perceraian maka harta bersama tersebut dibagi seperdua di antara suami istri.

3.2. Saran

Saran yang dapat penulis berikan atas hasil penelitian ini antara lain:

1. Dalam sengketa mengenai kepemilikan tanah, hakim baik dalam tingkat pertama

sampai pada tingkat kasasi seharusnya memutus perkara dengan melihat kewenangan

pemegang hak atas tanah serta mempertimbangkan alat-alat bukti yang sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Bukti kepemilikan hak atas tanah tidak hanya dilihat

dari sertipikat kepemilikan tanah melainkan dilihat kewenangannya berdasarkan akta

jual beli atau akta lain yang menjadi dasar perolehannya.

2. Bahwa aset yang dibeli perseroan baik berupa barang bergerak maupun barang tidak

bergerak berupa sertifikat hak milik agar dibeli langsung atas nama perseroan terbatas

sehingga kepemilikannya menjadi sempurna serta menghindari upaya berupa

perjanjian pinjam nama.

Page 23: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

23

DAFTAR REFERENSI

A. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5

Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043.

_____. Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun

2007, TLN No. 4756.

_____. Undang-Undang Tentang Peradilan Agama, No. 7 Tahun 1989, LN No. 49, TLN

No. 3400.

_____. Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN

No. 59 Tahun 1997, TLN No. 3696

_____. Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun

1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746.

_____. Instruksi Presiden Republik Indonesia Tentang Penyebarluasan Kompilasi

Hukum Islam, No. 1 Tahun 1991.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 37. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2013.

B. Buku

Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis: Prinsip & Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta:

Rajawali Pers, 2009.

Djais, Mochamad. Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Semarang: Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro, 2003.

Hamid, Zahri. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia.

Jakarta: Bina Cipta, 1999.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti, 2016.

Munir, Fuady. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam

Hukum Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1996.

Purba, Orinton. Petunjuk Praktis Bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan Terbatas

agar Terhindar dari Jerat Hukum. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012.

Samudra, Teguh. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Bandung: Penerbit Alumni,

2004.

Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.

Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. Bandung:

Alumni, 2005.

Syahrani, H. Riduan. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2004.

Page 24: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur

24

Yani, dan Widjaya Gunawan. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2008.

C. ARTIKEL

Mokodompit, Zulfiqar. “Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini

Dihubungkan Dengan Hukum Islam”. Lex Administratum (Agustus 2015 Volume

III Nomor 6). Hlm. 165-172.