status pernikahaan campuran berdasarkan perspektif hukum islam

28

Click here to load reader

Upload: muhammad-nur-udpa

Post on 18-Jun-2015

1.220 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

karya ini membahas secara rinci mengenai status perkawinan campuran dari sudut pandang hukum islam dan disertai dengan beberapa pendapat ahli agama dan empat jenis mazhab misalnya hanafi

TRANSCRIPT

Page 1: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

STATUS PERNIKAHAN CAMPURAN BERDASARKAN

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

OLEH:

MUH. NUR UDPA

B 111 07 173

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2010

1

Page 2: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………… i

Daftar isi ………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang …………………………………………………………….. 1

1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………….3

1.3. Tujuan Penulisan …………………………………………………………… 3

BAB II PEMABAHASAN

2.1. Tinjauan Pustaka …………………………………………………………… 4

2.2. Pemaparan mengenai status perkawinan campuran dalam perspektif hukum islam

…………………………………………………………………………………. 7

BAB III SIMPULAN

3.1. Simpulan …………………………………………………………………… 15

3.2 Saran ………………………………………………………………………….. 15

2

Page 3: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu

pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Interaksi manusia dalam

masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat

kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria

dengan seorang wanita dalam ikatan pernikahan.

Pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh

dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara,

dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu

dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau

aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.

Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang

mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara

yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan

kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang

melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian

mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.1

1 www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 3 April 2010. Pukul 21.20 WITA

3

Page 4: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang

mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu : “Ikatan lahir batin antara pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan tersebut ada satu hal yang harus

mendapatkan perhatian dan menjadi satu fenomena yang masih diperdebatkan yaitu tentang

perkawinan beda kewarganegaraan. Undang-Undang Perkawinan secara eksplisit tidak mengatur

tentang perkawinan bedakewarganegaraan, sedangkan pada kenyataannya sering terjadi

sebagaimana yang terjadi pada beberapa artis di Indonesia. Berdasarkan pasal 2 Undang Undang

Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

dan kepercayaan itu.

Berdasarkan sudut pandang Islam pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan antara yang satu

dan warga negara yang lain bukanlah suatu problem bagi Islam selama kelainan

kewarganegaraan atau bangsa itu tidak disertai kelainan agama yang dianut keduanya. Artinya,

kedua calon calon itu beragama Islam, apapun suku dan kebangsaannya, tidaklah menjadi

penghalang perkawinan.

4

Page 5: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

Namun, permasalahan muncul ketika terjadi perkawinan campuran2 yang mencuat ditengah-

tengah masyarakat Indonesia khususnya Agama Islam. Keberadaan perkawinan campuran

menimbulkan polemik, bagaimana status pernikahan ini dimata hukum Indonesia, melalui

perspektif hukum Islam dengan dasar sahnya pernikahan didasarkan oleh agama dan

kepercayaan masing-masing .

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka permasalahan yang diangkat dalam

penulisan ini adalah bagaimana status perkawinan campuran berdasarkan perspektif hukum

Islam?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan adalah untuk mengetahui status perkawinan campuran berdasarkan

perspektif hukum Islam.

BAB II

2 Perkawinan campuran yang dimaksudkan yaitu perkawinan antaragama, atara orang yang berlainan agama dan salah satunya beragama Islam, baik musyrik maupun ahli kitab atau kitabiyah (penganut agama selain Islam yang mempunyai kitab suci)

5

Page 6: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan pustaka

2.1.1.   Pengertian

 

Menurut Pasal 1 UUP, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sini disyaratkan perkawinan antara seorang

pria dan wanita dan belum/tidak diatur tentang perkawinan dengan status baru yang terjadi

dengan adanya fenomena operasi ganti kelamin. Sementara Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

(KHI) menentukan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang

sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

 

2.1.2.   Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari pernyataan Al Quran sebagai sumber

ajaran yang pertama. Al-Quran dalam Surat Ar-Ruum : 21 menegaskan bahwa Di antara tanda-

tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Dia menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki dan jenis

mereka sendiri agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah

menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara

mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau

berfikir. Tujuan perkawinan di atas terefleksi dalam ketentuan Pasal 3 KHI, yaitu bahwa

perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

6

Page 7: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

mawaddah dan rahmah. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai Pasal 2

ayat (1) UUP.

 

2.1.3.   Pencatatan Perkawinan

Setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sesuai dengan ketentuan

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam.

Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN. Pencatatan

perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa

peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi semata-mata bersifat administratif. Namun

apabila ada perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN, maka perkawinan tersebut

tidak mempunyai kekuatan hukum artinya hukum tidak memberikan perlindungan apabila terjadi

sesuatu terhadap perkawinan tersebut.

 

2.1.4.   Alat Bukti Perkawinan

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN. Jika akta nikah

tidak ada, berdasarkan Pasal 7 ayat (4) KHI dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama

oleh suami atau isteri, anak-anak, wali dan pihak yang berkepentingan (misalnya jaksa dalam

rangka penuntutan perkara pidana pelangganan perkawinan ex Pasal 279 KUHP, yakni jika

pernikahan yang dijadikan dasar penuntutan itu tidak mempunyai akta nikah/belum tercatat pada

PPN KUA Kecamatan, maka jaksa dapat mengajukan itsbat nikah ke pengadilan agama untuk

membuktikan terjadinya pelanggaran tindak pidana).

 

7

Page 8: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

Itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal sebagai berikut:

a.  Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

b.  Hilangnya akta nikah.

c.  Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d.  Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UUP.

e.  Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

menurut UUP.

 

2.1.5. Alat Bukti Putusnya Perkawinan dan Rujuk

 Putusnya perkawinan selain cerai mati dibuktikan dengan Surat Cerai berupa putusan PA

(perceraian, ikrar talak, khuluk, taklik talak)

talak : perceraian atas kehendak suami, disebut juga dengan cerai talak. Menurut hukum

Islam, suami yang mempunyai kekuasaan memegang tali perkawinan dan karena itu

maka suami yang berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak.

Suami yang ingin mengucapkan ikrar talak, ia tidak mengajukan gugatan perceraian,

tetapi mengajukan permohonan ijin untuk mengucapkan ikrar talak. Pengadilan akan

menilai apakah permohonan itu sah, layak dan memenuhi alasan -alasan menurut hukum

Islam.

cerai gugat: isteri tidak punya hak menceraikan suami, karena itu ia harus mengajukan

gugatan untuk bercerai. Selanjutnya hakim yang akan memutuskan perkawinannya

dengan kewenangan yang dimilikinya.

khuluk perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan

tebusan (iwadl) kepada dan atas persetujuan suaminya.

8

Page 9: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

taklik talak : perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang

dicantumkan dalam akta nikah berupa janji yang digantungkan kepada suatu keadaan

tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Catatan: alasan-alasan yang dipergunakan untuk mengajukan cerai gugat oleh isteri sama

dengan alasan cerai talak oleh suami.3

2.2. Pemaparan status perkawinan campuran dalam perspektif hukum Islam

Perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu

(bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti berkumpulnya sesuatu yang tidak sama atau

seragam antara lain dalam bidang agama atau keagamaan. Jadi, perkawinan campuran adalah

perkawinan antara seseorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.

Perkawinan antar agama disini dapat terjadi dalam beberapa jenis yaitu:

(1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab

ataupun musyrik, dan

(2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab

ataupun musyrik.

Musyrik pada prinsipnya adalah mereka yang tidak memeluk agama samawi, penyembah

berhala, penyembah api, atau agama-agama politeisme. Adapun ahli kitab atau kitabiyyah adalah

mereka yang menganut agama samawi lain, selain Islam. Meraka juga memiliki kitab suci,

seperti Nasrani dan Yahudi. Pada dasarnya para ahli kitab ini tidak berbeda jauh dengan Islam.

3 http://elisa.ugm.ac.id/chapter_view.php?HKU.304_Hartini&684. Diakses pada tanggal 4 April 2010. Pukul 12.20 WITA

9

Page 10: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

Mereka percaya kepada Allah dan menyembahnya, seperti halnya Islama, ada larangan berbuat

jahat dan perintah berbuat kebaikan. Perbedaan mendasar terletak pada keengganan mereka akan

kerasuluan Muhammad SAW, serta pandangan yang salah terhadap eksistensi para nabi yang

diutus kepada mereka.

Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya.

Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita

Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang laki-

laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik. Adapun tentang

perkawinan antarorang berlainan agama ini pada dsarnya terbagi atas dua yaitu:4

Orang musyrik

Seluruh ulama sepakat akan keharamannya, artinya tidak halal perkawinan wanita muslimah

dengan laki-laki musyrik dan sebaliknya seorang muslim menikah dengan wanita musrik.

Diperjalas lagi bahwa jika terjadi perkwinan antara seorang wanita muslim dengan seorang laki-

laki non Muslim baik ahlul al- kitab atau musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-

Sunnah (1990 : 95) ulama fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Adapun

dalilnya adalah surat Al-Baqarah ayat 221:

�ين� ر�ك م�ش� ال �نك�ح�وا ت � و�ال �م ك �ت ب عج�� أ �و و�ل �ة� ر�ك م�ش م�ن ر� ي خ� �ة� م�ؤم�ن م�ة�

� و�أل �ؤم�ن# ي #ى ح�ت �ات� ر�ك م�ش ال �نك�ح�وا ت � و�ال

#ة� ن ج� ال �ل�ى إ �دع�و� ي ,ه� و�الل #ار� الن �ل�ى إ �دع�ون� ي �ك� ئ ـ� ول� أ �م �ك ب عج�

� أ �و و�ل ر�ك� م�ش م�ن ر� ي خ� م�ؤم�ن� د� �ع�ب و�ل �وا �ؤم�ن ي #ى ح�ت

ون� #ر� �ذ�ك �ت ي #ه�م �ع�ل ل #اس� �لن ل �ه� �ات آي �ن� �ي �ب و�ي �ه� �ذن �إ ب ة� م�غف�ر� و�ال

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya

wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan

4 Rahmat Hakim. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Garut. Hal 130

10

Page 11: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia

menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan

dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Dari ayat tersebut, terlihat jelas bagi kita bahwa tidak ada pilihan bagi orang musyrik dalam

kaitannya dengan perkawinan. Laki-laki muslim haram mengawinimusyrikah, apalagi wanita

muslimah menikah dengan orang musyrik. Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan

hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang laki-laki non

muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini dimana suami tetap pada

agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.

Ahli kitab

Dalam hal ini ada dua persoalan, pertama adalah laki-laki muslim dibolehkan mengawini wanita

ahli kitab. , berdasarkan firman Allah SWT, Al-Maidah 5:

م� ل�ه� ل� ح ك�م� و�ط�ع�ام� ل�ك�م� ل� ح ال�كت�اب� � أ�وت�وا ال�ذين� و�ط�ع�ام� الط�ي�ب�ات� ل�ك�م� ل� أ�ح ال�ي�و�م�

إذ�ا ب�لك�م� ق� من ال�كت�اب� � أ�وت�وا ال�ذين� من� ن�ات� ص� ال�م�ح� و� ن�ات م ؤ� ال�م� من� ن�ات� ص� ال�م�ح� و�

ان باإليم� ر� ي�ك�ف� و�م�ن د�ان0 أ�خ� ذي ت�خ م� و�ال� ين� افح م�س� غ�ي�ر� نين� ص م�ح� ه�ن� ور� أ�ج� آت�ي�ت�م�وه�ن�

رين� اس ال�خ� من� ة ر� اآلخ في و�ه�و� ل�ه� ع�م� بط� ح� د� ق� ف�

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi

Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan

mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-

wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila

kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud

berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman

11

Page 12: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk

orang-orang merugi.

Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita

kitabiyah adalah tidak mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu

sebagai berikut :

1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak

beragama selain agama samawi.

2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat (memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan

zina)

3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya berstatus musuh dengan kaum muslimin.

Kedua adalah perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab apalagi musyrik tidak

dihalalkan. Dalam ayat di atas tidak disebutkan tentang perkawinan muslimah dengan ahli kitab.

Namun, dari dalil itu kita dapat mengambil hukum, yang merupakan hukum kebalikannya, yaitu

keharamannya. Sayid sabiq dalam fiqhus sunnah menjelaskan, para ulama sepakat bahwa

perempuan muslimah tidak halal menikah dengan laki-laki yang bukan muslim baik itu ahli kitab

apalagi musyrik. Alasannya adalah firman Allah SWT, Al-Mumtahanah 10:

الل�ه� ن� انه بإيم� أ�ع�ل�م� الل�ه� ن�وه�ن� ت�ح ام� ف� ات0 ر� اج م�ه� ن�ات� م ؤ� ال�م� اء�ك�م� ج� إذ�ا ن�وا ء�ام� ال�ذين� ا ي�ه�� ي�اأ

و�ال� م� ل�ه� ل� ح ه�ن� ال� ار ال�ك�ف� إل�ى ع�وه�ن� ج ت�ر� ال� ف� ن�ات0 م ؤ� م� ت�م�وه�ن� ع�لم� إن� ف� ن� انه بإيم� أ�ع�ل�م�

ن� ء�ات�ي�ت�م�وه� إذ�ا وه�ن� ت�ن�كح� أ�ن� ع�ل�ي�ك�م� ن�اح� ج� و�ال� وا ق� �ن�ف� أ ا م� ء�ات�وه�م� و� ن� ل�ه� ل�ون� ي�ح ه�م�

ك�م� ح� ذ�لك�م� وا ق� �ن�ف� أ ا م� أ�ل�وا ل�ي�س� و� ت�م� ق� �ن�ف� أ ا م� أ�ل�وا و�اس� ر اف ال�ك�و� م بعص� ك�وا ت�م�س و�ال� ه�ن� ور� أ�ج�

Mيمك ح� Mيمع�ل الل�ه� و� ب�ي�ن�ك�م� ك�م� ي�ح� الل�ه

12

Page 13: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan

yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang

keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka

janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka

tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan

berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu

mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap

berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu

minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka

bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Keharaman perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan

pertimbangan kemadaratan. Artinya seandainya diperbolehkan, perkawinan tersebut akan

mendatangkan kemadaratan bagi wanita yang bersangkutan. Hal ini karena setelah perkawinan

wanita tersebut terikat kepada suaminya, di bawah kekuasaannya. Dia harus taat kepada

suaminya, walaupun mungkin pada awalnya terbatas pada hal-hal yang bukan peribadatan,

namun lama-lama ia akan terbawa pada agama suaminya dan hilanglah kebebasannya. Apabila

kemudian lahir anak-anak dari perkawinan tersebut, mereka dikhawatirkan akan terseret agama

bapaknya sebab bapak sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewenangan lebih daripada

ibunya.

Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku

Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama

ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan.

Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan

kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tidak berlaku lagi.

13

Page 14: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti sosial yaitu Noryamin Aini yang melakukan

penelitian terhadap praktek perkawinan beda agama di Yokjakarta mendapatkan hasil yang

mengejutkan, dimana figur seorang ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-

anaknya memeluk agama yang dianutnya. Kenyataan dari data ini sungguh dapat meruntuhkan

asumsi dan mitos klasik sebagaimana yang disebutkan oleh Maulana Muhammad Ali yang

menyatakan bahwa seorang wanita muslim yang menikah dengan pria non muslim akan

menemukan banyak permasalahan dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena itu tidak

ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan antar agama.

Sedangkan, dalam sudut pandang mazhab empat, perkawinan campuran tetap memandang bahwa

wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh

tersebut mengenai hukum perkawinan campuran:

1). Mazhab Hanafi.

Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik

hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan

Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang

terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang

dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang

pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan

Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya

boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita

kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan

dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan

14

Page 15: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan

wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul

kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.

2). Mazhab Maliki.

Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu :

pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita

non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun

harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan

bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama

ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak

melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al

Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan

yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.

3). Mazhab Syafi’i.

Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul

kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-

wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa

lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab

ini adalah :

1)   Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa

lainnya.

15

Page 16: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

2)   Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada

dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.

Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut

agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak

sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani

sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena

tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

4. Mazhab Hambali.

Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan

bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani.

Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung

pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab

adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang

menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.

16

Page 17: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

BAB III

SIMPULAN

3.1. Simpulan

Perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu

(bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti berkumpulnya sesuatu yang tidak sama atau

seragam antara lain dalam bidang agama atau keagamaan. Jadi, perkawinan campuran adalah

perkawinan antara seseorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.

Perkawinan antar agama disini dapat terjadi dalam beberapa jenis yaitu:

(1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab

ataupun musyrik, dan

(2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab

ataupun musyrik.

Mengenai hukum perkawinan beda agama ini disatu sisi melarang dan mengharamkannya.

Namun harus terlebih dahulu kita pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita

Islam dengan laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik, ataukah antara seorang laki-

laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.

3.2. Saran

Dalam kehidupan perkawinan, laki-laki ataupun wanita tidak lagi hidup secara terpisah. Mereka

telah menyatu dalam ikatan akad, serta perasaan saling mencintai, seia sekata, seiring setujuan.

17

Page 18: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

Namun, dalam proses ikatan ini sebaiknya didasari akan cinatnya pada Allah SWT, sehingga

perkawinan campuran yang lebih membawa mudarabah lebih diminimalisir.

18

Page 19: Status pernikahaan Campuran Berdasarkan Perspektif Hukum Islam

DAFTAR PUSTAKA

Hakim. Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Pustaka Setia Bandung: Garut.

Prodjohamidjojo. 2001. Hukum Perkawinan Indonesia. Indonesia Legal Center Publishing:

Jakarta

Soemiyati. 1982M. Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan. Liberty:

Yogyakarta

www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 3 April 2010. Pukul 21.20 WITA

http://elisa.ugm.ac.id/chapter_view.php?HKU.304_Hartini&684. Diakses pada tanggal 4 April

2010. Pukul 12.20 WITA

19