spina bifida

Upload: alif-fakhrurrozi

Post on 08-Jan-2016

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

EMBRIOLOGI

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah (BBLR), bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK). Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.

Untuk menegakkan diagnosa kelainan kongenital pada janin, diperlukan pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik, selain itu, dikenal pula adanya diagnosis pre atau ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban (amniotomi) dan darah janin, bahkan menurut perkembangan ilmu mutakhir mengenai imunulogi antara ibu dan janin, untuk menegakkan diagnosa kelainan kongenital sejak janin masih di dalam kandungan, kini dapat dilakukan dengan pemeriksaan melalui darah ibu, hal ini karena disinyalir bahwa rangkain DNA penyusun janin kini telah dapat beredar sampai ke darah perifer ibu, sehimgga dapat digunakan sebagai salah satru marker untuk melakukan pemeriksaan dan menegakkan diagnose keadaan janin, termasuk mengenai kelainan Kongenital.

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Salah satu kelainan kongenital yang sering terjadi adalah meningokel atau dikenal dengan Spina Bifida. Spina Bifida adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra) yang terjadi karena satu atau beberapa bagian dari tulang belakang (vertebra) gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Gangguan fungsi tuba neural terjadi sekitar minggu ke tiga setelah konsepsi. Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Angka kejadiannya adalah 3 di antara 1000 kelahiran.

1.2. Tujuan Penulisan1.2.1. Tujuan UmumUntuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Embriologi dan agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai kelainan kongenital pada janin secara umum dan mengenai spina bifida secara khusus yang merupakan kelainan kongenital akibat gangguan embriogenesis janin.1.2.2. Tujuan Khusus1. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai kelainan kongenital pada janin.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, gejala klinis, patofisiologi, pemeriksaan fisik pada, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, diagnosis, komplikasi, dan prognosis spina bifida.

3. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah/ makalah di bidang ilmu kesehatan reproduksi khususnya yang berkaitan dengan embriologi reproduksi.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital atau kelainan bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi. Selain itu, pengertian lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang dapat berwujud dalam bentuk berbagai gangguan tumbuh-kembang bayi baru lahir, yang mencakup aspek fisis, intelektual dan kepribadian.

2.2 Embriogenesis

Embriogenesis adalah proses pembentukan organ dari tahap embrio sampai menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis normal merupakan proses yang sangat kompleks. Perkembangan pranatal terdiri dari 3 tahap yaitu:

2.2.1.Tahap implantasi (implantation stage), dimulai pada saat fertilisasi/pembuahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.

2.2.2.Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu keempat sampai minggu ketujuh kehamilan: a. Terjadi diferensiasi jaringan dan pembentukan organ definitif.

b. Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan menutupnya tabung saraf (neural tube) dan fleksi dari segmen anterior membentuk bagian-bagian otak.

c. Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi melalui sistem vaskular yang baru terbentuk meskipun struktur jantung belum terbentuk sempurna.

d. Terlihat primordial dari struktur wajah dan ekstremitas.

2.2.3. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir. Pada tahap ini diferensiasi seluruh organ telah sempurna, bertambah dalam ukuran, pertumbuhan progresif struktur skeletal dan muskulus.

Seluruh proses perkembangan normal terjadi dengan urutan yang spesifik, khas untuk setiap jaringan atau struktur dan waktunya mungkin sangat singkat. Oleh sebab itu meskipun terjadinya perlambatan proses diferensiasi sangat singkat, dapat menyebabkan pembentukan yang abnormal tidak hanya pada struktur tertentu, tetapi juga pada berbagai jaringan di sekitarnya. Sekali sebuah struktur sudah selesai terbentuk pada titik tertentu, maka proses itu tidak dapat mundur kembali meskipun struktur tersebut dapat saja mengalami penyimpangan, dirusak atau dihancurkan oleh tekanan mekanik atau infeksi.2.3 Embriogenesis Abnormal

Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu janin dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin. Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses embriogenesis dapat menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Penyimpangan pada tahap implantasi dapat merusak embrio dan menyebabkan abortus spontan. Diperkirakan 15% dari seluruh konsepsi akan berakhir pada periode ini.

Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas sampai ukuran daun telinga yang kecil. Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi sel menjadi jaringan yang matang mungkin akan menyebabkan lesi hamartoma lokal seperti hemangioma atau kelainan yang lebih luas dari suatu organ. Kelainan induksi sel dapat menyebabkan beberapa kelainan seperti atresia bilier, sedangkan penyimpangan imigrasi sel dapat menyebabkan kelainan seperti pigmentasi kulit.

Proses kematian sel yang tidak adekuat dapat menyebabkan kelainan, antara lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi jaringan yang tidak sempurna akan menyebabkan celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat teratogen dapat mengganggu perkembangan, tetapi efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada saat aktivitas teratogen berlangsung selama tahap embrio.

2.4 Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologi dan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

2.4.1 Malformasi

Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Perkembangan awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang menetap. Beberapa contoh malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit, defek penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat jantung.

Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor. Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup. Sedangkan malformasi minor tidak akan menyebabkan problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik. Malformasi pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran cerna termasuk malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada kelopak mata, kelainan pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra putting susu adalah contoh dari malformasi minor.

2.4.2 Deformasi

Deformasi didefinisikan sebagai bentuk, kondisi, atau posisi abnormal bagian tubuh yang disebabkan oleh gaya mekanik sesudah pembentukan normal terjadi, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula yang kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor ibu yang lain seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, kehamilan kembar.

2.4.3 Disrupsi

Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal. Ini biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Misalnya helaian-helaian membran amnion, yang disebut pita amnion, dapat terlepas dan melekat ke berbagai bagian tubuh, termasuk ekstrimitas, jari-jari, tengkorak, serta muka.

2.4.4 Displasia

Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan kongenital adalah displasia. Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan struktur) akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat penyimpangan biokimia di dalam sel, biasanya mengenai kelainan produksi enzim atau sintesis protein. Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal secara intrinsik, efek klinisnya menetap atau semakin buruk. Ini berbeda dengan ketiga patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan efek dalam kurun waktu yang jelas, meskipun kelainan yang ditimbulkannya mungkin berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif berlangsung singkat. Displasia dapat terus-menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup.

2.5 Pengelompokan kelainan kongenital

2.5.1 Menurut gejala klinis

Kelainan kongenital dikelompokkan berdasarkan hal-hal berikut:

a. Kelainan tunggal (single-system defects)

Porsi terbesar dari kelainan kongenital terdiri dari kelainan yang hanya mengenai satu regio dari satu organ (isolated). Contoh kelainan ini yang juga merupakan kelainan kongenital yang tersering adalah celah bibir, club foot, stenosis pilorus, dislokasi sendi panggul kongenital dan penyakit jantung bawaan. Sebagian besar kelainan pada kelompok ini penyebabnya adalah multifaktorial.

b. Asosiasi (Association)

Asosiasi adalah kombinasi kelainan kongenital yang sering terjadi bersama-sama. Istilah asosiasi untuk menekankan kurangnya keseragaman dalam gejala klinik antara satu kasus dengan kasus yang lain. Sebagai contoh Asosiasi VACTERL (vertebral anomalies, anal atresia, cardiac malformation, tracheoesophageal fistula, renal anomalies, limbs defects). Sebagian besar anak dengan diagnosis ini tidak mempunyai keseluruhan anomali tersebut, tetapi lebih sering mempunyai variasi dari kelainan di atas.

c. Sekuensial (Sequences)

Sekuensial adalah suatu pola dari kelainan multiple dimana kelainan utamanya diketahui. Sebagai contoh, pada Potter Sequence kelainan utamanya adalah aplasia ginjal. Tidak adanya produksi urin mengakibatkan jumlah cairan amnion setelah kehamilan pertengahan akan berkurang dan menyebabkan tekanan intrauterine dan akan menimbulkan deformitas seperti tungkai bengkok dan kontraktur pada sendi serta menekan wajah (Potter Facies). Oligoamnion juga berefek pada pematangan paru sehingga pematangan paru terhambat. Oleh sebab itu bayi baru lahir dengan Potter Sequence biasanya lebih banyak meninggal karena distress respirasi dibandingkan karena gagal ginjal.

d. Kompleks (Complexes)

Istilah ini menggambarkan adanya pengaruh berbahaya yang mengenai bagian utama dari suatu regio perkembangan embrio, yang mengakibatkan kelainan pada berbagai struktur berdekatan yang mungkin sangat berbeda asal embriologinya tetapi mempunyai letak yang sama pada titik tertentu saat perkembangan embrio. Beberapa kompleks disebabkan oleh kelainan vaskuler. Penyimpangan pembentukan pembuluh darah pada saat embriogenesis awal, dapat menyebabkan kelainan pembentukan struktur yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut. Sebagai contoh, absennya sebuah arteri secara total dapat menyebabkan tidak terbentuknya sebagian atau seluruh tungkai yang sedang berkembang. Penyimpangan arteri pada masa embrio mungkin akan mengakibatkan hipoplasia dari tulang dan otot yang diperdarahinya. Contoh dari kompleks, termasuk hemifacial microsomia, sacral agenesis, sirenomelia, Poland Anomaly, dan Moebius Syndrome.

e. Sindrom

Kelainan kongenital dapat timbul secara tunggal (single), atau dalam kombinasi tertentu. Bila kombinasi tertentu dari berbagai kelainan ini terjadi berulang-ulang dalam pola yang tetap, pola ini disebut dengan sindrom. Istilah syndrome berasal dari bahasa Yunani yang berarti berjalan bersama. Pada pengertian yang lebih sempit, sindrom bukanlah suatu diagnosis, tetapi hanya sebuah label yang tepat. Apabila penyebab dari suatu sindrom diketahui, sebaiknya dinyatakan dengan nama yang lebih pasti, seperti Hurler syndrome menjadi Mucopolysaccharidosis type I. Sindrom biasanya dikenal setelah laporan oleh beberapa penulis tentang berbagai kasus yang mempunyai banyak persamaan. Sampai tahun 1992 dikenal lebih dari 1.000 sindrom dan hampir 100 diantaranya merupakan kelainan kongenital kromosom. Sedangkan 50% kelainan kongenital multipel belum dapat digolongkan ke dalam sindrom tertentu.

2.5.2 Menurut berat dan ringannyaKelainan kongenital dibedakan menjadi:

a. Kelainan mayor

Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan medis segera demi mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya.

b. Kelainan minor

Kelainan minor adalah kelainan yang tidak memerlukan tindakan medis.

2.5.3 Menurut kemungkinan hidup bayiKelainan kongenital dibedakan menjadi:

a.Kelainan kongenital yang tidak mungkin hidup, misalnya anensefalus.

b.Kelainan kongenital yang mungkin hidup, misalnya sindrom down, spina bifida, meningomielokel, fokomelia, hidrosefalus, labiopalastokisis, kelainan jantung bawaan, penyempitan saluran cerna, dan atresia ani.

2.5.4 menurut bentuk atau morfologiKelainan kongenital dibedakan menjadi:

a.Gangguan pertumbuhan atau pembentukan organ tubuh, dimana tidak terbentuknya organ atau sebagian organ saja yang terbentuk, seperti anensefalus, atau terbentuk tapi ukurannya lebih kecil dari normal, seperti mikrosefali.

b. Gangguan penyatuan/fusi jaringan tubuh, seperti labiopalatoskisis, spina bifida

c. Gangguan migrasi alat, misalnya malrotasi usus, testis tidak turun.

d. Gangguan invaginasi suatu jaringan, misalnya pada atresia ani atau vagina

e. Gangguan terbentuknya saluran-saluran, misalnya hipospadia, atresia esofagus

2.5.5 Menurut tindakan bedah yang harus dilakukan

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:

a. Kelainan kongenital yang memerlukan tindakan segera, dan bantuan tindakan harus dilakukan secepatnya karena kelainan kongenital tersebut dapat mengancam jiwa bayi.

b. Kelainan kongenital yang memerlukan tindakan yang direncanakan, pada kasus ini tindakan dilakukan secara elektif.

2.6 Macam-macam Kelainan Kongenital

2.6.1. Spina Bifida Spina Bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect yaitu suatu celah pada tulang belakang yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Kelainan ini biasanya disertai kelainan di daerah lain, misalnya hidrosefalus, atau gangguan fungsional yang merupakan akibat langsung spina bifida sendiri, yakni gangguan neurologik yang mengakibatkan gangguan fungsi otot dan pertumbuhan tulang pada tungkai bawah serta gangguan fungsi otot sfingter.

Gambar 2.1. Spina Bifida

2.6.2. Labiopalatoskisis (Celah Bibir dan Langit-langit) Labiopalatoskisis adalah kelainan kongenital pada bibir dan langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi akibat faktor non-genetik. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu. Komplikasi potensial meliputi infeksi, otitis media, dan kehilangan pendengaran.

Gambar 2.2. Labiopalatoskisis2.6.3. Hidrosefalus Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel dan dapat diakibatkan oleh gangguan reabsorpsi LCS (hidrisefalus komunikans) atau diakibatkan oleh obstruksi aliran LCS melalui ventrikel dan masuk ke dalam rongga subaraknoid (hidrosefalus non komunikans). Hidrosefalus dapat timbul sebagai hidrosefalus kongenital atau hidrosefalus yang terjadi postnatal. Secara klinis, hidrosefalus kongenital dapat terlihat sebagai pembesaran kepala segera setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai ukuran kepala normal tetapi tumbuh cepat sekali pada bulan pertama setelah lahir. Peninggian tekanan intrakranial menyebabkan iritabilitas, muntah, kehilangan nafsu makan, gangguan melirik ke atas, gangguan pergerakan bola mata, hipertonia ekstrimitas bawah, dan hiperefleksia. Etiologi hidrosefalus kongenital dapat bersifat heterogen. Pada dasarnya meliputi produksi cairan serebrospinal di pleksus korioidalis yang berlebih, gangguan absorpsi di vilus araknoidalis, dan obsruksi pada sirkulasi cairan serebrospinal.

Gambar 2.3. Hidrosefalus2.6.4. Anensefalus Anensefalus adalah suatu keadaan dimana sebagian besar tulang tengkorak dan otak tidak terbentuk. Anensefalus merupakan suatu kelainan tabung saraf yang terjadi pada awal perkembangan janin yang menyebabkan kerusakan pada jaringan pembentuk otak. Salah satu gejala janin yang dikandung mengalami anensefalus jika ibu hamil mengalami polihidramnion (cairan ketuban di dalam rahim terlalu banyak). Prognosis untuk kehamilan dengan anensefalus sangat sedikit. Jika bayi lahir hidup, maka biasanya akan mati dalam beberapa jam atau hari setelah lahir.

Gambar 2.4. Anensefalus2.6.5. Omfalokel Omfalokel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke luar dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam suatu kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga perut dari posisi ekstra-abdominal di daerah umbilicus yang terjadi dalam minggu keenam sampai kesepuluh kehidupan janin. Terkadang kelainan ini bersamaan dengan terjadinya kelainan kongenital lain, misalnya sindrom down. Pada omfalokel yang kecil, umumnya isi kantong terdiri atas usus saja sedangkan pada yang besar dapat pula berisi hati atau limpa.

Gambar 2.5. Omfalokel2.6.6. Hernia Umbilikalis Hernia umbilikalis berbeda dengan omfalokel, yaitu kulit dan jaringan subkutis menutupi benjolan herniasi pada defek tersebut, pada otot rektus abdominis ditemukan adanya celah. Hernia umbilikalis bukanlah kelainan kongenital yang memerlukan tindakan dini, kecuali bila hiatus hernia cukup lebar dan lebih dari 5 cm. Hernia umbilikalis yang kecil tidak memerlukan penatalaksanaan khusus, umumnya akan menutup sendiri dalam beberapa bulan sampai 3 tahun.

Gambar 2.6. Hernia Umbilikalis2.6.7. Atresia Esofagus Dari segi anatomi, khususnya bila dilihat bentuk sumbatan dan hubungannya dengan organ sekitar, terdapat bermacam-macam penampilan kelainan kongenital atresia esophagus, misalnya jenis fistula trakeo-esofagus. Dari bentuk esofagus ini yang terbanyak dijumpai (lebih kurang 80%) adalah atresia atau penyumbatan bagian proksimal esofagus sedangkan bagian distalnya berhubungan dengan trakea sebagai fistula trakeo-esofagus. Secara klinis, pada kelainan ini tampak air ludah terkumpul dan terus meleleh atau berbusa, pada setiap pemberian minum terlihat bayi menjadi sesak napas, batuk, muntah, dan biru.

Gambar 2.7. Atresia Esofagus2.6.8. Atresia dan Stenosis Duodenum Pada kehidupan janin, duodenum masih bersifat solid, perkembangan selanjutnya berupa vakuolisasi secara progresif sehingga terbentuklah lumen. Gangguan pertumbuhan inilah yang menyebabkan terjadinya atresia atau stenosis duodenum sering kali diikuti kelainan pankreas anularis. Pada pemeriksaan fisis tampak dinding perut yang memberi kesan skafoid karena tidak adanya gas atau cairan yang masuk ke dalam usus dan kolon.

Gambar 2.8. Atresia Duodenum

2.6.9. Atresia dan Stenosis Jejunum/ileum Jenis kelainan kongenital ini merupakan salah satu obstruksi usus yang sering dijumpai pada bayi baru lahir. Angka kejadian berkisar 1 per 1.500-2.000 kelahiran hidup. Patofisiologi atresia usus halus diduga terjadi sejak kehidupan intrauterine sebagai volvulus, kelainan vaskular mesenterika, dan intususepsi intrauterine. Sisa kejadian inilah yang kemudian menyebabkan nekrosis usus halus yang masih steril menjadi atresia atau stenosis.

2.6.10. Obstruksi pada Usus Besar Salah satu obstruksi pada usus besar yang agak sering dijumpai adalah gangguan fungsional pada otot usus besar yang dikenal sebagai Hirschsprung Disease dimana tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Umumnya kelainan ini baru diketahui setelah bayi berumur beberapa hari atau bulan.

2.6.11. Atresia Ani Patofisiologi kelainan kongenital ini disebabkan karena adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal, struktur mesoderm lateralis, dan struktur ectoderm dalam pembentukan rektum dan traktus urinarius bagian bawah. Secara klinis letak sumbatan dapat tinggi, yaitu di atas muskulus levator ani, atau letak rendah di bawah otot tersebut. Pada bayi perempuan umumnya (90%) ditemukan adanya fistula yang menghubungkan usus dengan perineum atau vagina, sedangkan pada bayi laki-laki umumnya fistula tersebut menghubungkan bagian ujung kolon yang buntu dengan traktus urinarius. Bila anus imperforata tidak disertai adanya fistula, maka tidak ada jalan ke luar untuk udara dan mekonium, sehingga perlu segera dilakukan tindakan bedah.

Gambar 2.9. Atresia Ani2.6.12. Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Penyakit jantung bawaan ada beraneka ragam. Pada bayi yang lahir dengan kelainan ini, 80% meninggal dunia dalam tahun pertama, diantaranya 1/3 meninggal pada minggu pertama dan separuhnya dalam 1-2 bulan. Sebab PJB dapat bersifat eksogen atau endogen. Faktor eksogen terjadi akibat adanya infeksi, pengaruh obat, pengaruh radiasi, dan sebagainya. Pada periode organogenesis, faktor eksogen sangat besar pengaruhnya terhadap diferensiasi jantung karena diferensiasi lengkap susunan jantung terjadi sekitar kehamilan bulan kedua. Sebagai faktor endogen dapat dikemukakan pengaruh faktor genetik, namun peranannya terhadap kejadian penyakit PJB kecil. Dalam satu keturunan tidak selalu ditemukan adanya PJB. 2.7. DiagnosisDalam menegakkan diagnosis postnatal kita perlu beberapa pendekatan, antara lain:

2.7.1. Penelaahan Prenatal Riwayat ibu: usia kehamilan, penyakit ibu seperti epilepsi, diabetes melitus, varisela, kontak dengan obat-obatan tertentu seperti alkohol, obat anti-epilepsi, kokain, dietilstilbisterol, obat antikoagulan warfarin, serta radiasi.

2.7.2. Riwayat Persalinan Posisi anak dalam rahim, cara lahir, lahir mati, abortus, status kesehatan neonatus.

2.7.3. Riwayat Keluarga Adanya kelainan kongenital yang sama, kelainan kongenital yang lainnya, kematian bayi yang tidak bisa diterangkan penyebabnya, serta retardasi mental.

2.7.4. Pemeriksaan Fisik Mulai dari pengukuran sampai mencari anomali baik defek mayor maupun minor. Biasanya bila ditemukan dua kelainan minor, sepuluh persen diserai kelainan mayor. Sedangkan bila ditemukan tiga kelainan minor, delapan puluh lima persen disertai dengan kelainan mayor.

2.7.5. Pemeriksaan Penunjang Sitogenetik (kelainan kromosom), analisis DNA, ultrasonografi, organ dalam, ekokardiografi, radiografi, serta serologi TORCH. Pemeriksaan yang teliti terhadap pemeriksaan fisis dan riwayat ibu serta keluarga kemudian ditunjang dengan melakukan pemotretan terhadap bayi dengan kelainan konenital adalah merupakan hal yang sangat penting dibanding dengan pemeriksaan penunjang laboratorium.

2.8. Epidemiologi2.8.1. Distribusi Frekuensi Penelitian Parmar, dkk (2010) di Entebbe, Uganda menunjukkan proporsi kelainan kongenital lebih tinggi pada anak laki-laki (8%; 99 dari 1.224) daripada anak perempuan (7%; 81 dari 1.141), akan tetapi tidak ada perbedaan secara signifikan (p = 0,4).6 Di Urmia, Iran (2008), kejadian kelainan kongenital lebih tinggi pada perempuan (1,99%; 139 dari 6.979) dibandingkan laki-laki bayi baru lahir (1,68%; 120 dari 7.137), namun perbedaan itu tidak signifikan secara statistik (p = 0,65).34 Di Sir T Hospital, Gujarat (Januari 2006 Juni 2007) menunjukkan kejadian kongenital secara signifikan lebih tinggi (6,1%) pada ibu yang berusia >30 tahun dibandingkan dengan kelompok usia muda.

Penelitian Prabawa (1998) di RSUP dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa sebanyak 101 kasus (65%) berjenis kelamin laki-laki dan 54 kasus (35%) berjenis kelamin perempuan. Jika dibandingkan dengan jumlah persalinan, tampak kejadian terbanyak pada ibu dalam kelompok umur >35 tahun yaitu sebanyak 64 kasus dari 2.871 persalinan (2,23%).36 Di RSIA Sri Ratu Medan (2009), dari 20 bayi dengan kelainan kongenital, persentase laki-laki (60%) lebih besar daripada perempuan (40%). Lebih dari 90% dari semua bayi dengan kelainan kongenital serius dilahirkan di negara-negara berkembang.6 Dari survei perinatal, hampir semua negara maju memiliki angka kematian perinatal sebesar lebih dari 1% dan sekitar 25% dari jumlah ini meninggal sebagai akibat langsung dari suatu malformasi berat.

2.8.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Kelainan Kongenital Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:

a. Kelainan Genetik dan Kromosom. Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan (dominant traits) atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutnya.

Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindrom Down (mongolisme), kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.

b. Mekanik Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (club foot).

c. Infeksi. Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ tubuh. Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus ialah :

c.1.Infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.

c.2. Infeksi virus sitomegalovirus (bulan ketiga atau keempat), kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus, retardasi mental, mikrosefalus, atau mikroftalmia pada 5-10%. c.3.Infeksi virus toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah hidrosefalus, retardasi mental, korioretinitis, mikrosefalus, atau mikroftalmia. Ibu yang menderita infeksi toksoplasmosis berisiko 12% pada usia kehamilan 6-17 minggu dan 60% pada usia kehamilan 17-18 minggu.

c.4. Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi.

c.5.Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang, kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan keterbelakangan mental.

d. ObatBeberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.

e. Faktor Ibu e.1. Umur

Usia ibu yang makin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Contohnya yaitu bayi sindrom down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Beberapa faktor ibu yang dapat menyebabkan deformasi adalah primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, dan kehamilan kembar.

e.2. Ras/Etnis

Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda-beda untuk berbagai ras dan etnis, misalnya celah bibir dengan atau tanpa celah langit-langit bervariasi tergantung dari etnis, dimana insiden pada orang asia lebih besar daripada pada orang kulit putih dan kulit hitam.38 Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak cacat.39

e.3. Agama

Agama berkaitan secara tidak langsung dengan kejadian kelainan kongenital. Beberapa agama menerapkan pola hidup vegetarian seperti agama Hindu, Buddha, dan Kristen Advent. Pada saat hamil, ibu harus memenuhi kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan janinnya.40 Ibu yang vegetarian selama kehamilan memiliki risiko lima kali yang lebih besar melahirkan anak laki-laki dengan hipospadia atau kelainan pada penis.41 Penelitian yang dilakukan di Irlandia menemukan bahwa wanita dengan tingkat vitamin B12 (dapat ditemukan dalam daging, telur, dan susu) yang rendah ketika hamil berisiko lebih besar untuk memiliki anak dengan cacat tabung saraf. Wanita yang mungkin menjadi hamil atau yang sedang hamil disarankan untuk mengonsumsi suplemen asam folat.

e.4. Pendidikan

Tingkat pendidikan ibu berkaitan secara tidak langsung dengan kelainan kongenital. Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan risiko tinggi dan kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal menyebabkan angka kematian perinatal meningkat. Pendidikan ibu yang rendah menyulitkan berlangsungnya suatu penyuluhan kesehatan terhadap ibu karena mereka kurang menyadari pentingnya informasi-informasi tentang kesehatan ibu hamil.

e.5. Pekerjaan

Masyarakat dengan derajat sosio ekonomi akan menunjukkan tingkat kesejahteraannya dan kesempatannya dalam menggunakan dan menerima pelayanan kesehatan. Pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan keadaan sosio ekonomi keluarga. Berdasarkan jenis pekerjaan tersebut dapat dilihat kemampuan mereka terutama dalam menemukan makanan bergizi, khususnya pada ibu hamil,pemenuhan pangan yang bergizi berpengaruh terhadap perkembangan kehamilannya. Kekurangan gizi saat hamil berdampak kurang baik pada ibu maupun bayi yang dikandung, pada ibu dapat terjadi anemia, keguguran, perdarahan saat dan sesudah hamil, infeksi, persalinan macet, sedang pada bayi dapat menyebabkan terjadi berat badan lahir rendah bahkan kelainan bawaan lahir.

f. Faktor Mediko Obstetrik Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor mediko obstetrik adalah umur kehamilan, riwayat komplikasi, dan riwayat kehamilan terdahulu, dimana hal ini akan memberi gambaran atau prognosa pada kehamilan pada kehamilan berikutnya.

f.1. Umur Kehamilan

Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:

f.1.1. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat janin antara 1.000-2.500 gram.

f.1.2. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 gram.

f.1.3. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus cukup bulan.

Penelitian Prabawa (1998) menunjukkan bahwa sekitar 26,5% bayi kelainan kongenital lahir pada umur kehamilan < 36 minggu (kurang bulan).

f.2. Riwayat Kehamilan Terdahulu

Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan risiko adalah persalinan prematur, perdarahan, abortus, lahir mati, preeklampsia, eklampsia, dan lain-lain.45 Dengan memperoleh informasi yang lengkap tentang riwayat kehamilan ibu pada masa lalu diharapkan risiko kehamilan yang dapat memperberat keadaan ibu dan janin dapat diatasi dengan pengawasan obstetrik yang baik. f.3. Riwayat Komplikasi

Risiko terjadinya kelainan kongenital terjadi pada bayi dengan ibu penderita diabetes melitus adalah 6% sampai 12%, yang empat kali lebih sering daripada bayi dengan ibu yang bukan penderita diabetes melitus. Keturunan dari ibu dengan insulin-dependent diabetes mellitus mempunyai risiko 5-15% untuk menderita kelainan kongenital terutama PJB, defek tabung saraf (neural tube defect) dan agenesis sacral. Penyakit ibu lain yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital adalah epilepsi. Risiko meningkat sekitar 6% untuk timbulnya celah bibir dan PJB dari ibu penderita epilepsi.

g. Faktor Hormonal Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.

h. Faktor Radiasi Radiasi pada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gen yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya.

i. Faktor Gizi Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kurang gizi lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian & kelainan kongenital.

j. Faktor-faktor Lain Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenital tidak diketahui.

2.9. Pencegahan

2.9.1. Pencegahan Primer Upaya pencegahan primer dilakukan untuk mencegah ibu hamil agar tidak mengalami kelahiran bayi dengan kelainan kongenital, yaitu dengan :

a. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi dengan kelainan kongenital.

b. Mengonsumsi asam folat yang cukup bila akan hamil.

Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan seperti spina bifida terjadi sangat dini. Maka kepada wanita yang hamil agar rajin memeriksakan kehamilannya pada trimester pertama dan dianjurkan kepada wanita yang berencana hamil untuk mengonsumsi asam folat sebanyak 400mcg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari. Asam folat banyak terdapat dalam sayuran hijau daun, seperti bayam, brokoli, buah alpukat, pisang, jeruk, berry, telur, ragi, serta aneka makanan lain yang diperkaya asam folat seperti nasi, pasta, kedelai, sereal.

c. Perawatan Antenatal (Antenatal Care)

Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan agar pada setiap kehamilan dilakukan antenatal care secara teratur dan sesuai dengan jadwal yang lazim berlaku. Tujuan dilakukannya antenatal care adalah untuk mengetahui data kesehatan ibu hamil dan perkembangan bayi intrauterin sehingga dapat dicapai kesehatan yang optimal dalam menghadapi persalinan, puerperium dan laktasi serta mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai pemeliharaan bayinya. Perawatan antenatal juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan prematuritas atau berat badan lahir rendah yang sangat rentan terkena penyakit infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan kehamilan dapat dideteksi kelainan kongenital. Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut:

c.1. Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12 minggu.

c.2. Minimal 1 kali pada trimester II (K2), usia kehamilan 13-24 minggu.

c.3. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan > 24 minggu

d. Menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan, dan alkohol karena dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti atresia ani, celah bibir dan langit-langit.

2.9.2. Pencegahan Sekunder a. Diagnosis Diagnosis kelainan kongenital dapat dilakukan dengan cara:

a.1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara dini beberapa kelainan kehamilan/pertumbuhan janin, kehamilan ganda, molahidatidosa, dan sebagainya. Beberapa contoh kelainan kongenital yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan non invasive (ultrasonografi) pada midtrimester kehamilan adalah hidrosefalus dengan atau tanpa spina bifida, defek tuba neural, porensefali, kelainan jantung bawaan yang besar, penyempitan sistem gastrointestinal (misalnya atresia duodenum yang memberi gambaran gelembung ganda), kelainan sistem genitourinaria (misalnya kista ginjal), kelainan pada paru sebagai kista paru, polidaktili, celah bibir, mikrosefali, dan ensefalokel.

a.2. Pemeriksaan cairan amnion (amnionsentesis)

Amnionsentesis dilakukan pada usia kehamilan 15-19 minggu dengan aspirasi per-abdomen dengan tuntunan USG. Dari cairan amnion tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut antara lain pemeriksaan genetik/kromosom, pemeriksaan alfa-feto-protein terhadap defek tuba neural (anensefali, mengingomielokel), pemeriksaan terhadap beberapa gangguan metabolic (galaktosemia, fenilketonurua), dan pemeriksaan lainnya.

a.3. Pemeriksaan Alfa feto protein maternal serum (MSAFP).

Apabila serum ini meningkat maka pada janin dapat diketahui mengalami defek tuba neural, spina bifida, hidrosefalus, dan lain-lain. Apabila serum ini menurun maka dapat ditemukan pada sindrom down dan beberapa kelainan kromosom.

a.4. Biopsi korion

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom pada janin, kelainan metabolik, kelainan genetik dapat dideteksi dengan analisis DNA, misalnya talasemia dan hiperplasia adrenal kongenital.

a.5. Fetoskopi/kordosentesis

Untuk mengenal kelainan kongenital setelah lahir, maka bayi yang baru lahir perlu diperiksa bagian-bagian tubuh bayi tersebut, yaitu bentuk muka bayi, besar dan bentuk kepala, bentuk daun telinga, mulut, jari-jari, kelamin, serta anus bayi.

b. Pengobatan Pada umumnya penanganan kelainan kongenital pada suatu organ tubuh umumnya memerlukan tindakan bedah. Beberapa contoh kelainan kongenital yang memerlukan tindakan bedah adalah hernia, celah bibir dan langit-langit, atresia ani, spina bifida, hidrosefalus, dan lainnya. Pada kasus hidrosefalus, tindakan non bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian obat-obatan yang dapat mengurangi produksi cairan serebrospinal. Penanganan PJB dapat dilakukan dengan tindakan bedah atau obat-obatan, bergantung pada jenis, berat, dan derajat kelainan.

2.9.3. Pencegahan Tersier Upaya pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi penting pada pengobatan dan rehabilitasi, membuat penderita cocok dengan situasi yang tak dapat disembuhkan. Pada kejadian kelainan kongenital pencegahan tersier bergantung pada jenis kelainan. Misalnya pada penderita sindrom down, pada saat bayi baru lahir apabila diketahui adanya kelemahan otot, bisa dilakukan latihan otot yang akan membantu mempercepat kemajuan pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi ini nantinya bisa dilatih dan dididik menjadi manusia yang mandiri untuk bisa melakukan semua keperluan pribadinya.

Banyak orang tua yang syok dan bingung pada saat mengetahui bayinya lahir dengan kelainan. Memiliki bayi yang baru lahir dengan kelainan adalah masa-masa yang sangat sulit bagi para orang tua. Selain stres, orang tua harus menyesuaikan dirinya dengan cara-cara khusus. Untuk membantu orang tua mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan suatu tim tenaga kesehatan yang dapat mengevaluasi dan melakukan penatalaksanaan rencana perawatan bayi dan anak sesuai dengan kelainannya.

2.10 Spina Bifida2.10.1 Pengertian Spina BifidaSpina Bifida atau Meningokel adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra) yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara sempurna dan utuh, keadaan ini biasanya terjadi pada minggu ke empat embrio. Spina bifida ini merupakan akibat dari gagal menutupnya columna vertebralis pada masa perkembangan fetus. Defek ini berhubungan dengan herniasi jaringan (penonjolan) dan gangguan fungsi tuba neural akibat penonjolan dari pembungkus medulla spinalis melalui spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Pembengkakan kistis ini ditutupi oleh kulit yang sangat tipis. Pada kasus tertentu kelainan ini dapat dikoreksi dengan pembedahan. Pembedahan terdiri dari insisi meningokel dan penutupan dura meter. Kemudian kulit diatas cacat ditutup. Hidrosefalus kemungkinan merupakan komplikasi yang memerlukan drainase. (Prinsip Keperawatan Pediatric, Rosa M. sachrin. Hal-283). Gangguan fusi tuba neural pada spina bifida dapat terjadi mulai minggu ketiga setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya belum diketahui dengan jelas.

Beberapa hipotesis terjadinya spina bifida antara lain adalah:

1. Terhentinya proses pembentukan tuba neural karena penyebab tertentu

2. Adanya tekanan yang berlebihan pada kanalis sentralis yangbaru terbentuk sehingga menyebabkan rupture permukaan tuba neural.

3. Adanya kerusakan pada dinding tuba neural yang baru terbentuk karena suatu penyebab.

Spina bifida merupakan kelainan kongenital SSP yang paling sering terjadi. Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Tidak terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan menjadi normal sesudah operasi. (IKA-FKUI. Hal-1136).Spina bifida dimanifestasikan pada hampir semua kasus disrafisme spinal yang merupakan terminologi untuk kelompok kelainan spinal yang umumnya menunjukkan ketidaksempurnaan menutupnya jaringan mesenkim, tulang dan saraf di garis tengah. . (Buku Ajar Neurologi Anak. Hal-144).

Pembagian disrafisme spinal antara lain:a.Spina bifida okulta Defek terdapat pada arkus vertebrata tanpa herniasi jaringan.b.Meningokel spinalis Defek pada durameter dan arkus spinalis. Herniasi jaringan saraf spinalis atau sebagian medulla spinalis.c.Meningomielokel Kantung herniasi terdiri dari leptomeningen, cairan, jaringan saraf berupa serabut spinalis atau sebagian medulla spinalis.d.Mielomeningosistokel Kantung terdiri dari leptomeningen, cairan cerebrospinal, serabut saraf yang membenntuk kista berisi cairan yang berhubungan dengan kanalis sentralis.e.Rakiskisis spinal lengkap Tulang belakang terbuka seluruhnya.

2.10.2 Etiologi/ Penyebab Spina BifidaResiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan. Penonjolan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau di bagian bawahnya. Gejalanya tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida. Kebanyakan terjadi di punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sakral, karena penutupan vertebra di bagian ini terjadi paling akhir Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.1. Kekurangan Asam Folat

Kekurangan asam folat pada saat kehamilan satu gugus yangberperan dalam pembentukan DNA pada proses erithropoesis, yaitu pembentukan sel darah merah atau eritrosit (butir-butir darah merah) dan perkembangan sistem saraf.2. Rendahnya kadar vitamin maternal

Rendahnya vitamin maternal yang dikonsumsi, akan mengurangi jumlah vitamin yang dibutuhkan dalam pembentukan embrio, terutama dalam masa awal kehamilan, sehingga nutrisi yang dibutuhkan dalam membentuk tulang pada bayi menjadi lambat dan kurang sempurna.

Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum diketahui. Banyak faktor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal-hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal rendah, termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam valfroat: dan hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi, termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric e/3 [Cecila L. Betz & Linda A. Sowden.2002] hal-468).

Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting ialah defek tabung neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir hidup. Bermacam-macam penyebab yang berat menentukan morbiditas dan mortalitas, tetapi banyak dari abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat dideteksi pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan. (Patologi Umum Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885).

2.10.3 Patofisiologi Spina BifidaCacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya adalah karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali. (Media Aesculapius. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3. Jilid 2. 2000. Jakarta: MA).

Ada dua jenis kegagalan penyatuan lamina vertebrata dan kolumna spinalis: spina bifida okulta dan spina bifida sistika. Spina bifida okulta adalah defek penutupan dengan meninges tidak terpajan di permukaan kulit. Defek vertebralnya kecil, umumnya pada daerah lumbosakral. Spina bifida sistika adalah defek penutupan yang menyebabkan penonjolan medula spinalis dan pembungkusnya. Meningokel adalah penonjolan yang terdiri dari meningens dan sebuah kantong berisi cairan serebrospinal (CSS): penonjolan ini tertutup kulit biasa. Tidak ada kelainan neurologi, dan medulla spinalis tidak terkena.

Hidrosefalus terdapat pada 20% kasus spina bifida sistika. Meningokel umumnya terdapat pada lumbosakral atau sacral.Mielomeningokel adalah penonjolan meninges dan sebagian medulla spinalis, selain kantong berisi CSS. Daerah lumbal atau lumbosakral terdapat pada 42% kasus; torakolumna pada 27 kasus, sacral 21% kasus; dan torakal atau servikal pada 10% kasus. Bayi dengan mielomeningokel mudah terkena cedera selama proses kelahiran. Hidrosefalus terdapat pada hampir semua anak yang menderita spina bifida (85% sampai 90%); kira-kira 60% sampai 70% tersebut memiliki IQ normal. Anak dengan mielomeningokel dan hidrosefalus menderita malformasi system saraf pusat lain, dengan deformitas Arnold-Chiari yang paling umum.

Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum diketahui. Banyak ahli percaya bahwa defek primer pada NTD (neural tube defect) merupakan kegagalan penutupan tuba neural selama perkembangan awal embrio. Akan tetapi, ada bukti bahwa defek ini merupakan akibat dari pemisahan tuba neural yang sudah menutup karena peningkatan abnormal tekanan cairan serebrospinal selama trimester pertama. Derajat disfungsi neurologik secara lansung berhubungan dengan level anatomis defek tersebut dan saraf-saraf yang terlibat. Kebanyakan mielomeningokel melibatkan area lumbal atau lumbosakral, dan hidrosefalus merupakan anomali yang sering menyertainya (90% sampai 95%). (buku ajar keperawatan pediatrik, Donna L. Wong. Hal-1425).

Pembedahan dilakukan secepatnya pada spina bifida yang tidak tertutup kulit, sebaiknya dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang-kadang sebagai akibat eksisi meningokel terjadi hidrosefalus sementara atau menetap, karena permukaan absorpsi CSS yang berkurang. Kegagalan tabung neural untuk menutup pada hari ke-28 gestasi, atau kerusakan pada strukturnya setelah penutupan dapat dideteksi in utero dengan pemeriksaan ultrasonogrfi. Pada 90% kasus, kadar alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan cairan amnion ditemukan meningkat; penemuan ini sering digunakan sebagai prosedur skrining. Keterlibatan baik kranial maupun spinal dapat terjadi; terminology spina bifida digunakan pada keterlibatan spinal, apabila malformasi SSP disertai rachischisis maka terjadi kegagalan lamina vertebrata. (Patologi Umum Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885).

Posisi tengkurap mempengaruhi aspek lain dari perawatan bayi. Misalnya, posisi bayi ini, bayi lebih sulit dibersihkan, area-area ancaman merupakan ancaman yang pasti, dan pemberian makanan menjadi masalah. Bayi biasanya diletakkan di dalam incubator atau pemanas sehingga temperaturnya dapat dipertahankan tanpa pakaian atau penutup yang dapat mengiritasi lesi yang rapuh. Apabila digunakan penghangat overhead, balutan di atas defek perlu sering dilembabkan karena efek pengering dari panas yang dipancarkan.Sebelum pembedahan, kantung dipertahankan tetap lembap dengan meletakkan balutan steril, lembab, dan tidak lengket di atas defek tersebut. Larutan pelembab yang dilakukan adalah salin normal steril. Balutan diganti dengan sering (setiap 2 sampai 4 jam). Dan sakus tersebut diamati dengan cermat terhadap kebocoran, abrasi, iritasi, atau tanda-tanda infeksi. Sakus tersebut harus dibersihkan dengan sangat hati-hati jika kotor atau terkontaminasi. Kadangkadang sakus pecah selama pemindahan dan lubang pada sakus meningkatkan resiko infeksi pada system saram pusat.Latihan rentang gerak ringan kadang-kadang dilakukan untuk mencegah kontraktur, dan meregangkan kontraktur dilakukan, bila diindikasikan. Akan tetapi latihan ini dibatasi hanya pada kaki, pergelangan kaki dan sendi lutut. Bila sendi panggul tidak stabil, peregangan terhadap fleksor pinggul yang kaku atau otot-otot adductor, mempererat kecenderungan subluksasi.Penurunan harga diri menjadi ciri khas pada anak dan remaja yang menderita keadaan ini. Remaja merasa khawatir akan kemampuan seksualnya, penguasaan social, hubungan kelompok remaja sebaya, dan kematangan serta daya tariknya. Beratnya ketidakmampuan tersebut lebih berhubungan dengan persepsi diri terhadap kemampuannya dari pada ketidakmampuan yang sebenarnya ada pada remaja itu.

2.10.4 Gambaran Klinis Spina BifidaGambaran klinis dari spina bifida memiliki gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinali dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.

Terdapat beberapa jenis spina bifida:

1. Spina bifida okulta (tersembunyi) : bila kelainan hanya sedikit, hanya ditandai oleh bintik, tanda lahir merah anggur, atau ditumbuhi rambut dan bila medula spinalis dan meningens normal.

2. Meningokel : bila kelainan tersebut besar, meningen mungkin keluar melalui medula spinalis, membentuk kantung yang dipenuhi dengan CSF. Anak tidak mengalami paralise dan mampu untuk mengembangkan kontrol kandung kemih dan usus. Terdapat kemungkinan terjadinya infeksi bila kantung tersebut robek dan kelainan ini adalah masalah kosmetik sehingga harus dioperasi.

3. Mielomeningokel : jenis spina bifida yang paling berat, dimana sebagian dari medula spinalis turun ke dalam meningokel.

Gejalanya berupa Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir. Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki. Penurunan sensasi. Inkontinensia urin maupun inkontinensia tinja. Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).Akibat spina bifida, terjadi sejumlah disfungsi tertentu pada rangka, kulit dan saluran genitourinari akibat spina bifida, tetapi tergantung pada bagian medulla spinalis yang terkena. Pada meningokel dapat ditemukan:

a. Kantong herniasi CSS yang dapat dilihat pada daerah lumbosakralb. Hidrosefalus.

2.10.5 Pemeriksaan diagnostikDeteksi Prenatal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa spina bifida. Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa NTD terbuka selama masa prenatal. Pemindaian ultrasuara pada uterus dan peningkatan konsentrasi alfafetoprotein (AFP), suatu gamma, globulin yang spesifik pada fetus, dalam cairan amnion mengindikasikan adanya arensefali atau Mielomeningokel. Waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan diagnostic ini adalah pada usia gestasi 16 dan 18 minggu, sebelum konsentrasi AFP yang normalnya menurun, dan pada saat yang tepat untuk melakukan aborsi terapeutik. Pengambilan sampel virus koronik (chorionic villus sampling, CVS) juga merupakan pemeriksaan untuk diagnostik NTD pada masa prenatal. Prosedur diagnostic di atas direkomendasikan untuk semua ibu yang telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan dan pemeriksaan ditawarkan bagi semua wanita hamil. Selain itu, rencana kelahiran dengan sesar dapat menurunkan disfungsi motorik. (buku ajar keperawatan pediatrik, Donna L. Wong. Hal-1425).

Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:

1. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan

2. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda spinalis maupun vertebra

3. CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan lokasi dan luasnya kelainan.

2.10.6 Penatalaksanaan Spina BifidaPenatalaksanaan Medis dan pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah rupture. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi hidrosefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan kulit diperlakukan bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai system tubuh. Untuk spina bifida okulta atau maningokel tidak diperlukan pengobatan Perbaikan mielomeningokel, dan kadang-kadang meningokel, secara bedah diperlukan apabila dilakukan perbedahan secara bedah, maka perlu dipasang suatu pirau (shunt) untuk memungkinkan drainase CSS dan mencegah timbulnya hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranium. Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat mengurangi kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek korda spinalis.

Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk dan untuk mengobati hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih serta kelainan bentuk fisik yang sering menyertai spina bifida. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, diberikan antibiotik. Untuk mengatasi gejala muskuloskeletal (otot dan kerangka tubuh) perlu campur tangan dari ortopedi (bedah tulang) maupun terapi fisik. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi. Kadang pembedahan shunting untuk memperbaiki hidrosefalus akan menyebabkan berkurangnya mielomeningokel secara spontan .

2.10.7 Pengobatan Spina BifidaTujuan dari pengobatan awal Spina Bifida adalah:

1. Mengurangi kerusakan saraf akibat spina bifida

2. Meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi)

Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk dan untuk mengobatihidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih serta kelainan bentuk fisik yang sering menyertai spina bifida. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, diberikan antibiotik. Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan penekanan lembut diatas kandung kemih. Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa membantu memperbaiki sistem pencernaan.BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam masa organogenesis atau pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat menyebabkan terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah (BBLR), bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK).

Untuk mencegah terjadinya hal tersebut dapat ditegakkan diagnosa kelainan kongenital pada janin, melalui pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik, selain itu, dikenal pula adanya diagnosis pre atau ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban (amniotomi) dan darah janin, atau darah ibu.

Salah satu kelainan kongenital yang sering terjadi adalah meningokel atau dikenal dengan Spina Bifida, yaitu suatu celah pada tulang belakang (vertebra) yang terjadi karena satu atau beberapa bagian dari tulang belakang (vertebra) gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Gangguan fungsi tuba neural ini terjadi sekitar minggu ke tiga setelah konsepsi. Kelainan ini biasanya disertai kelainan di daerah lain, misalnya hidrosefalus, atau gangguan fungsional yang merupakan akibat langsung spina bifida sendiri, yakni gangguan neurologik yang mengakibatkan gangguan fungsi otot dan pertumbuhan tulang pada tungkai bawah serta gangguan fungsi otot sfingter.Penanganan medis yang dapat dilakukan untuk manangani masalah spina bifida ini adalah dengan terapi pembedahan, terapi ini dipilih dengan tujuan mengatasi gangguan secara fisik dan dengan mempertimbangkan untuk mngurangi risiko komplikasi sekecil mungkin.3.2 SARANDari beberapa pemaparan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini terkait dengan masalah Spina Bifida, penulis dapat menyarankan beberpa hal terhadap pembaca, yaitu:1. Pertimbangkan usia menikah dalam renatang usia produktif untuk meminimalisir kejadian kelaingan congenital atau cacat bawaan pada janin, karena usia produktif dapat mempengaruhi kualitas baik dari sel telur, sel sperma, maupun proses terjadinya kehamilan.

2. Lakukan deteksi dini sejak masa kehamilan untuk mengetahui keadaan janin yang dikandung, agar ibu hamil dapat mempersiapkan diri menghadapi segala keungkinan terburuk jika bayi yang dikandungnya mengalami cacat congenital.

3. Spina bifida atau dikenal dengan meningokel, merupakan kelainan bawaan yang merupakan akibat terganggunya proses embryogenesis, terutama gagalnya pembentukan tabung saraf pada tulang belakang janin. Keadaan ini dapat dilakukan terapi pembedahan setelah bayi lahir.

4. Konsultasikan semua masalah yang dihadapi kepada dokter ahli untuk meminimalisir kemungkinan risiko menjadi lebih besar.

38