sorogan

40
Melalui Metode Sorogan dan Bandongan 1 KONSEP MASTERY LEARNING di Dayah Ulee Titi Aceh Besar ~ Harapandi Dahri Geliat Pesantren di Era Modern Banyak dari kita mengenal pesantren dari kesederhanaan bangunan fisik lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan mutlak santri terhadap kiainya, dan pengajaran-pengajaran kitab klasik abad pertengahan. Di sisi lain, tidak sedikit pula orang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas setelah membaca dan menyadari besarnya pengaruh pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan. Misalnya, Dr. Soebardi dan Profesor Johns talah merekam sejarah fakta bahwa penyebaran Islam di Tanah Jawa berkaitan erat dengan peranan strategis pesantren. Hal tersebut telah dirilis oleh Zamakhsyari dalam bukunya, Tradisi Pesantren. Lembaga-lembaga pesantren itulah yang sesungguhnya paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam. Lembaga itulah yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga pesantren itulah asal usul manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengambara pertama dari perusahaan- perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat memahami sejarah Islamisasi di Wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pendidikan tersebut, karena

Upload: harapandi

Post on 26-Jun-2015

1.191 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Naskah ini membahas salah satu Metode pembelajaran yang di praktekan di lingkungan Pondok Pesantren.

TRANSCRIPT

Page 1: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan1

KONSEP MASTERY LEARNING di Dayah Ulee Titi Aceh Besar

~Harapandi Dahri

Geliat Pesantren di Era Modern

Banyak dari kita mengenal pesantren dari kesederhanaan bangunan fisik lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan mutlak santri terhadap kiainya, dan pengajaran-pengajaran kitab klasik abad pertengahan.

Di sisi lain, tidak sedikit pula orang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas setelah membaca dan menyadari besarnya pengaruh pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.

Misalnya, Dr. Soebardi dan Profesor Johns talah merekam sejarah fakta bahwa penyebaran Islam di Tanah Jawa berkaitan erat dengan peranan strategis pesantren. Hal tersebut telah dirilis oleh Zamakhsyari dalam bukunya, Tradisi Pesantren.

Lembaga-lembaga pesantren itulah yang sesungguhnya paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam. Lembaga itulah yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga pesantren itulah asal usul manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengambara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat memahami sejarah Islamisasi di Wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pendidikan tersebut, karena

Page 2: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 2

lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini.

Secara terminologis, pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Perlu dijelaskan bahwa pengertian “tradisional” dalam definisi ini bukan berarti kolot dan ketinggalan zaman, tetapi kata tersebut menunjuk pada pengertian bahwa lembaga ini telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu. Ia telah menjadi bagian dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia. Bahkan, telah pula mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan perjalanan hidup umat Islam. Jadi, term “tradisional” di sini bukan dalam arti tetap, statis dan terbelakang tanpa mengalami penyesuaian.

Menurut Dhofier sekurang-kurangnya harus ada lima elemen agar suatu lembaga dapat disebut pesantren. Lima hal terebut adalah pondok, masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik, santri, dan kiai. Dhofier juga mengklasifikasi pesantren dengan indikator jumlah santri dan pengaruh pesantren. Pertama, jika pesantren hanya memiliki kurang dari 1000 santri dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, maka pesantren seperti ini digolongkan sebagai pesantren kecil. Kedua, jika pesantren memiliki santri antara 1000 sampai 2000 dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten, ia menggolongkannya sebagai pesantren menengah. Ketiga, jika pesantren yang memiliki santri di atas 2000 dan pengaruhnya meliputi beberapa kabupaten dan provinsi bahkan kawasan (regional), maka pesantren tersebut digolongkan sebagai pesantren besar.

Klasifikasi pesantren menurut Dhofier ini tentu saja masih menuai kritik. Ahmad Tafsir, misalnya, walaupun mengakui bahwa teori Dhofier itu patut dipertimbangkan, tetapi ia mempertanyakan manakah yang lebih penting jumlah santri atau pengaruhnya pada masyarakat. Lalu, bagaimana dengan pesantren yang santrinya sedikit, tetapi memiliki pengaruh yang besar terhadap tokoh-tokoh politik.

Sampai saat ini salah satu khas pembelajaran di pesantren adalah metode pembelajaran yang unik dan berbeda dengan

Page 3: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan3

metode pembelajaran di sekolah-sekolah formal. Di antara metode dimaksud adalah metode sorogan. Metode sorogan yang dimaksud adalah metode di mana seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya kedalam bahasa ibu (mis: Jawa). Pada gilirannya, murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis mungkin dengan apa yang diungkapkan oleh

gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sademikian rupa agar murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat arab. Sistem tersebut mengharuskan murid menguasai cara pembacaan dan penerjemahan secara tepat dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya.

Metode sorogan inilah yang dianggap fase tersulit dari seluruh system pengajaran pesantren, karena metode tersebut menuntut kesabaran, keuletan, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Di sini banyak murid yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka harus mematangkan diri dalam metode tersebut sebelum dapat mengikuti metode pembelajaran yang lain. Ketika murid telah menguasai sistem sorogan ini, maka dialah yang dapat memetik manfaat keilmuan dari sistem bandongan di pesantren. Sorogan memungkinkan sang kiai membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan murid. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid.

Metode ini telah terbukti dapat meghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas dan telah berkiprah dalam kancah pendidikan di tanah air. Jika dibandingkan dengan metode-metode terbaru dalam dunia pendidikan, metode sorogan ternyata masih belum tergantikan. Bertahannya metode tersebut, menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang perlu dijawab seperti: mengapa

Metode sorogan inilah yang dianggap fase tersulit dari seluruh system pengajaran pesantren, karena metode tersebut menuntut kesabaran, keuletan, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri.

Page 4: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 4

metode tersebut masih bisa bertahan, apa keistimewaan dan apa juga kelemahan metode sorogan dan bandongan? Bagaimana pelaksanaan metode sorogan dan bandongan di beberapa pesantren salaf? Standarisasi mastery learning apakah yang diterapkan pada Dayah Ulee Titi, Aceh Besar?

Kajian berikut ini berusaha menjawab berbagai pertanyaan tersebut dengan lebih komprehenship sesuai dengan pantauan dan kajian di lapangan.

-[]-

PESANTREN DAN BERBAGAI PERSOALANNYA

Untuk menemukan landasan epistemologis metode sorogan dan bandongan yang tetap dipertahankan oleh pesantren-pesantren yang dikenal sebagai pesantren salafi di Indonesia, perlu kiranya kita menengok karya Imam al-Ghazali tentang epistemology ilmu pengetahuan. Mengapa al-Ghazali? Jawabnya adalah karena al-Ghazali memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi lembaga ilmu pengetahuan di dunia Islam secara umum terutama dalam kalangan Sunni dan di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia secara khusus. Oleh karena itulah, kitab Fatihah al-Ulum, karya al-Ghazali tentang epistemologi ilmu pengetahuan dipilih dalam proses penelitian ini.1

Karya ini disusun oleh al-Ghazali untuk mengawali setiap kajian ilmu. Kajian dalam kitab Fatihah al-Ulum meliputi hal-hal penting berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti kriteria ilmu dan keutamaannya, berbagai konsekwensi dan problematika yang dihadapi ulama, kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh penyalahgunaan ilmu pengetahuan, berbagai norma dan kewajiban yang perlu diperhatikan dalam proses belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan, perjalanan ulama salaf (terdahulu) dalam menuntut dan mengajarkan ilmu serta ciri-ciri ulama ukhrawi dan duniawi. (al-Ghazali. 2006: xxiii)

Mengapa Imam al-Gazhali merancang epistemologi ilmu pengetahuan? Karena al-Ghazali berusaha menjelaskan dasar-dasar pengetahuan tentang landasan filosofis ilmu pengetahuan dalam Islam serta bagaimana sikap orang-orang yang menuntut ilmu. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam dan hubungannya

Page 5: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan5

dengan system pengajaran dilembaga lembaga pendidikan Islam pada umumnya dan pesantren di Indonesia pada khususnya, maka dalam penelitian ini pertama-tama akan diuraikan secara ringkas pokok-pokok pikiran dalam epistemologi ilmu pengetahuan yang disusun oleh Imam al-Ghazali. Selanjutnya mengamati dan meneliti kaitannya dengan landasan filosofis dari sistem pengajaran bandongan dan sorogan di pesantren salafi.

Tujuan utama yang selayaknya dimengerti oleh para penuntut ilmu adalaha bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan alat untuk mencapai hidayah dan ma’rifah Allah. Dengan demikian, suatu pandangan mendasar yang amat penting dicamkan adalah bahwa gemerlap perhiasan dunia adalah mata’ al-ghurur (kesenangan yang menipu) karena itulah, maka akhirat yang kekal haruslah menjadi tujuan utama (al-Ghazali. 2006: 5). Dengan konteks dan pemahaman seperti ini, ilmu pengetahuan berfungsi sebagai pelita penerang bagi umat manusia untuk kebahagiaan dan kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Para ulama yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan merupakan pewaris tugas kenabian dalam menegakkan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat manusia dengan ilmu-ilmu lahiriah dan batiniah yang diperlukan. (al-Ghazali. 2006: 6-17).

Demikian mulianya ilmu pengetahuan, sekaligus juga beratnya tanggung jawab ulama dan penuntut ilmu pengetahuan sebagai pewaris tugas kenabian, jauh-jauh hari, al-Ghazali telah memperingatkan perlunya ulama berhati-hati agar tidak menjadi ulama jahat yang menggunakan ilmu pengetahuannya hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak peduli pada kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. (al-Ghazali. 2006: 17-23). Bertolak dari hal tersebut di atas, maka landasan ketulusan niat menjadi syarat pertama dan utama yang harus dimiliki pelajar dan pengajar dalam epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam.

Sebagaimana seorang murid diwajibkan untuk meluruskan niatnya dalam belajar, para guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan juga memiliki kewajiban yang sama dalam meluruskan niatnya. Bahkan, pengajar lebih ditekankan karena ibadah mengajar lebih utama daripada ibadah belajar. Di samping itu, penting untuk benar-benar diketahui bahwa bahaya kekeliruan yang mungkin ditimbulkan oleh seorang murid hanya menimpa

Page 6: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 6

satu orang. Tidak demikian dengan kekeliruan guru. Kesalahan seorang guru akan menimpa semua muridnya karena murid cenderung meniru dan mengikuti apa yang dikerjakan gurunya. Oleh karena itulah, kesesatan seorang alim adalah kesesatan alam semesta. (al-Ghazali. 2006: 40).

Menurut al Ghazali, seorang guru wajib memancangkan niat agar apa yang diajarkannya akan mendekatkan dirinya dan orang lain kepada Allah SWT dengan menghidupkan agamanya, menyebarkan syariatnya, mengajak orang-orang yang telah melarikan diri dari para hambanya agar kembali ke jalan Allah SWT. Seorang guru hendaklah menjauhkan niat untuk mendapatkan tempat di hati para pejabat dan orang orang awam atau popularitas nama serta membanggakan jasa-jasanya di hadapan murid muridnya. Bila seorang guru memiliki ketulusan niat dan bersungguh sungguh dalam mengajar, sesungguhnya dialah ulama sejati. (al-Ghazali. 2006: 40-41).

Selanjutnya al-Ghazali mengklasifikasikan ulama menjadi dua golongan, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Pangkal perbedaan keduanya adalah pada niat dan pengamalannya. Bila ulama dunia niatnya adalah hanya tertuju untuk meraih dunia dan kenikmatannya, maka ulama akhirat meniatkan perbuatannya untuk Allah SWT semata dan kemaslahatan manusia sebagaimana tugas yang diemban oleh para nabi. Bila golongan ulama dunia tidak peduli pada kerusakan masyarakat dan kesejahteraannya dalam upaya melaksanakan kewajiban kewajiban dunia dan akhirat, ulama akhirat sangat peduli pada ketulusan niat untuk membimbing masyarakat agar dapat mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan untuk dunia dan akhirat. Golongan ulama akhirat menyadari bahwa membimbing masyarakat untuk menuju kebaikan di akhirat memerlukan sarana dan sarana tersebut adalah kemaslahatan dan kesejahteraan di dunia dengan menjadikan dunia ladang untuk melaksanakan kebaikan dan keadialan untuk kesejahteraan hidup manusia. (al-Ghazali. 2006: 55-109).

Pada bab selanjutnya, ketika membahas tentang prioritas ilmu yang perlu dipelajari, al-Ghazali membaginya menjadi ilmu syariat dan non-syariat. Ilmu syariat adalah ilmu yang sumber rujukannya dari para nabi AS dan tentu saja tidak dapat diatur oleh akal sebagaimana ilmu eksakta atau ilmu kedokteran yang diperoleh

Page 7: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan7

atas dasar eksperimen atau ilmu-ilmu bahasa yang dihasilkan dari proses pendengaran. (al-Ghazali. 2006: 113)

Karena alasan tersebut, maka al-Ghazali menekankan pentingnya memahami ilmu fiqh lahir dan fiqh batin (tasawuf) sebagai prioritas utama untuk dipelajari. Setelah itu, dilanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu penunjang kehidupan dunia. Ringkasnya, walaupun al-Ghazali menekankan pentingnya pengetahuan tentang ibadah lahiriah dan batiniah sebagai prioritas utama dalam menuntut ilmu, namun karena implikasi fiqh lahiriah (fiqh ibadah dan muamalat) dan fiqh batiniah (tasawuf) akan tercermin dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat, maka menuntut ilmu untuk memenuhi kebutuhan sarana-sarana tersebut juga harus dilakukan sebagai kelanjutan ilmu-ilmu utama. Ilmu-ilmu seperti kedokteran, politik, tehnologi dan ekonomi merupakan ilmu ilmu yang harus dipelajari. (al-Ghazali. 2006:113-146).

Pada bab selanjutnya, al-Ghazali membahas tentang dialog dan perdebatan dalam menuntut ilmu. Pada hakekatnya, al-Ghazali memandang penting dialog dan perdebatan. Namun demikian, al-Ghazali juga meletakkan dasar-dasar serta syarat yang ketat untuk hal ini. Misalnya adalah dialog dan perdebatan dilakukan untuk mencari kebenaran atau pendapat yang lebih kuat dasar hukumnya. Dialog dilakukan oleh orang-orang yang memang berkompeten dalam bidang keilmuan tersebut. (al-Ghazali. 2006: 149-172).

Kekhawatiran bahwa perdebatan dan dialog akan berdampak buruk jelas terlihat dari kriteria etika yang disebutkan oleh al-Ghazali. Misalnya al-Ghazali mengatakan: “Ketahuilah bahwa munazharah yang dilakukan hanya untuk mencari kemenangan dan keunggulan antara teman belaka adalah sumber akhlak-akhlak tercela di sisi Allah dan terpuji di sisi musuh-Nya yaitu Iblis. (al-Ghazali. 2006: 162)

Ketika membahas etika seorang murida dan guru, tesis utama al-Ghazali adalah bahwa guru harus memiliki keikhlasan dan kasih sayang dalam pengajaran kepada murid. Sebaliknya murid haruslah memiliki keikhlasan dan ketaatan serta pengabdian dalam melayani guru. (al-Ghazali.2006:175-195). Dengan demikian

Page 8: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 8

menurut al-Gazali, proses belajar mengajar tersebut mendapat keberkahan dari Allah.

Selanjutnya al-Ghazali mengupas tentang kekayaan negara yang halal yang diperoleh oleh ulama. Inti dari bab ini adalah pentingnya sifat wara’ dari para ulama serta tetap mengawasi dan memastikan secara ketat bahwa sumber-sumber penghasilannya hanya bersumber dari yang halal. (al-Ghazali. 2006: 199-212).

Pada bab penutup al-Ghazali kembali memperingatkan pentingnya berhati hati agar tidak jatuh ke dalam kezaliman yang diakibatkan oleh kebodohan, kekejaman dan kerakusan penguasa ataupun kebodohan dan kelalaian para penuntut ilmu dalam memahami perkara halal dan haram. (al-Ghazali. 2006: 215-217).

Paparan di atas akan dapat kita temukan relevansinya dengan landasan landasan epistemologis pengajaran sistem sorogan dan bandongan serta pengkajian kitab-kitab klasik Islam di pesantren-pesantren yang biasa disebut salafi tradisional. Pesantren-pesantren ini biasa dikenal sebagai pesantren yang tidak ketat menekankan formalitas kelas, seragam maupun sistem sekolah. Meskipun, tetap mengadakan sistem penjenjangan antara santri senior dan yunior untuk menentukan ketepatan materi yang diberikan. Benang merah yang sangat kuat terasa pada sistem epistemologi etika antara guru dan murid seperti diterangkan di atas.

Pendidikan Pesantren

Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang muncul dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat, pada hakekatnya merupakan bagian dari bentuk kultur keagamaan. Seperti yang dinyatakan Hansen (1979), bahwa proses alih (transfer) pengetahuan dan nilai-nilai budaya suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan bagian dari budaya mereka.

Pendidikan pesantren pada dasarnya bertujuan untuk menyiapkan para santri dapat mendalami dan menguasai ilmu agama Islam yang dikenal dengan istilah tafaqquh fi al-din. Lebih jauh diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat indonesia (Departemen Agama, 2000).

Perkembangan selanjutnya menunjukkan upaya untuk mengintegrasikan fungsi pesantren sebagai pusat pendidikan

Page 9: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan9

berbasis tafaqquh fi al-din dengan tugas dakwah, membangun benteng pendidikan akhlak, dan meningkatkan kehidupan masyarakat di sekitar pesantren. Sejalan dengan fungsi pesantren sebagai pendidikan keagamaan, pasal 30 ayat (2) UU Sisitim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa: “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama.”

Eksistensi pesantren sebagai pendidikan pengkajian agama Islam tidak dapat dipisahkan lima unsur pokok yaitu kiai sebagai pemimpin dan pengasuh, santri yang ikhlas dalam menuntut ilmu agama, masjid sebagai tempat suci dalam penyelenggaraan pendidikan, kegiatan pengajian (halaqah/sorogan dan bandongan) sebagai metode pembelajaran yang berlangsung di pesantren dan asrama (pondok) sebagai tempat pendidikan 24 jam.

Sinergi kelima komponen pokok tersebut telah menghasilkan lulusan yang berjiwa bebas, berukhuwah islamiyah, kesederhanaan dan keikhlasan dalam pola kehidupan sesuai dengan kaidah agama Islam.

Pola pendidikan pesantren yang berbasis tafaqquh fi al-din hanya dapat dipertahankan oleh masing-masing pesantren atau oleh umat Islam jika semua komponen umat menyadari makna hakiki pendidikan Islam itu sendiri. Mengintegrasikan pendidikan pesantren berbasis tafaqquh fi al-din dengan misi pendidikan lainnya (pendidikan umum) dapat diterima dalam kerangka untuk mewarnai pendidikan umum tersebut dengan visi tafaqquh fi al-din. Apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu menjadikan pesantren sekadar wadah penyelenggaraan pendidikan umum, maka lama kelamaan jiwa tafaqquh fi al-din dalam pesantren tersebut akan hilang. Jika ruh tafaqquh fi al-din pada pesantren hilang maka ruh pendidikan keagamaan Islam juga akan sirna, dan tercipatalah sistem pendidikan pesantren yang sekuler. Keadaan seperti ini telah dialami oleh Turki pada tahun 1926 melalui revolusi Turki di bawah Musthafa Kamal Attaturk yang diperkuat dengan undang-undang Organisasi Pendidikan Nomor 430 tanggal 3 maret 1924.

Di antara usaha penting sebagai langkah yang harus diambil dalam rangka mempertahankan pesantren agar tetap berbasis tafaqquh fi al-din adalah penyusunan kurikulum, peningkatan

Page 10: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 10

sumber daya manusia (SDM) berkualitas, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan termasuk masjid dan asrama yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajian, dan pembangunan kegiatan ekonomi berbasis Islam.

Metode Pembelajaran di Pesantren

Secara etimologi, metode berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Depdikbud. 1996: 580-581). Sedangkan secara terminologi, metode pendidikan pada dasarnya merupakan cara yang digunakan dalam proses pendidikan yang bertujuan mempermudah pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.

Metode mempunyai peranan yang sangat besar dalam sebuah proses pendidikan. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat, maka akan sulit sekali mengharapkan hasil maksimal. Kesadaran akan pentingnya metode, sudah diakui oleh semua aktifitas yang sistematis dan terencana. Lewat metode yang digunakan akan dapat diprediksi dan dianalisis sampai sejauh mana keberhasilan sebuah proses. Terdapat sejumlah metode yang dapat digunakan oleh para pendidik, seperti:

a. Metode informatif yaitu metode untuk menyampaikan informasi. Bentuknya bisa berupa pengajaran sorogan, wetonan, ceramah, atau diskusi panel.

b. Metode partisipatif digunakan untuk melibatkan peserta dirik dalam pengolahan materi. Bentuknya tanya jawab, diskusi kelompok, atau curah gagasan (brain storming).

c. Metode eksperiensial adalah metode yang memungkinkan peserta ikut terlibat dalam pengalaman untuk belajar. Bentuknya dapat berupa metode latihan kepekaan, demontrasi, atau latihan.

Metode pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren cendrung menggunakan metode sorogan dan bandongan (pesantren salafi), metode gabungan antara ketiga macam metode tersebut (pesantren: ashriyah). Metode sorogan seperti diketahui telah banyak menghasilkan para tokoh kiai, ulama dan intelektual, walaupun terdapat beberapa catatan penting terhadap metode tersebut seperti long time education (waktu yang amat panjang).

Page 11: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan11

Namun, di lain pihak metode tersebut terbukti mampu membuat kesuksesan para penggunanya terutama pada pondok-pondok pesantren salafi.

Parameter Ketuntasan di Pondok Pesantren

Teori belajar tuntas (mastery learning theory) merupakan salah satu usaha dalam pembaharuan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi serta usaha belajar siswa agar siswa dapat mencapai tingkat ketuntasan (mastery level).

Belajar tuntas (mastery learning) adalah proses belajar mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara tuntas sehingga dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Dengan sistem belajar tuntas diharapkan program belajar mengajar dapat dilaksanakan sedemikian rupa agar tujuan instruksional yang hendak dicapai dapat diperoleh secara optimal sehingga proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien.

Strategi belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal berikut: Pertama, pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh umpan balik (feed back) terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic progress test). Kedua, peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai dengan patokan yang ditentukan. Ketiga, pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran remedial (pengajaran korektif).

Strategi belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: pertama, mengidentifikasi pra-kondisi. Kedua, mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar. Ketiga, implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang meliputi: (a) Corrective technique, semacam pengajaran remedial, yang dilakukan dengan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan metode yang berbeda dari sebelumnya. (b) Memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).

Page 12: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 12

Parameter ketuntasan di pondok pesantren dapat dilihat lebih komprehensif melalui ketercapaian kitab-kitab klasik yang disyaratkan oleh para kiai. Pada tingkat dasar (basic) seorang santri baru dikatakan belajarnya telah tuntas jika telah mengkhatamkan dan memahami kitab dasar seperti dalam ilmu alat (Nahwu dan Sharaf) yang dibuktikan dengan kepahaman membaca kitab-kitab klasik lainnya.

Jadi secara lebih detail, indikator ketuntasan pembelajaran di pondok pesantren dapat dilihat dalam beberapa hal berikut:

1. Mengkahatamkan kitab-kitab dasar (basic) yang dipersya-ratkan.

2. Memahami subsantasi kitab-kitab dasar tersebut.

3. Dapat membaca kitab-kitab klasik (tanpa harakat) lainnya.

4. Mampu menjawab beberapa persoalan dasar yang tertuang dalam kitab-kitab klasik.

-[]-

MENGENAL DAYAH ULEE TITI ACEH BESAR

Selayang Pandang Ponpes Ulee Titi

Pondok pesantren yang berdiri semenjak sepertiga abad silam, sekarang beralamat di Desa Siron sebuah desa yang terletak di pinggiran jalan raya menuju Blang Bintang. Desa Siron termasuk dalam wilayah Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Dalam usia yang ke-78, Pondok Pesantren Ulee Titi bisa dikatagorikan salah satu pesantren tertua di tanah Aceh yang penuh dengan balutan sejarah. Lembaga yang dirintis oleh Tengku (Tgk) H.Ishaq al-Amiry2 seorang tokoh ulama karismatik yang memiliki keuletan dan ketabahan yang tak tertandingi sehingga mampu menentang ancaman dan rintangan yang menghadangnya baik dari dalam maupun dari luar pondok. Keuletan (al-mujahadah), ketabahan (al-shabr) dan konsisten (al-istiqamah) menjadi ciri khas yang patut kita teladani.

Keistiqamahan yang dimiliki oleh pendiri Pondok Pesantren Ulee Titi ditunjukan dengan tidak pernah –walau sedikitpun—menelantarkan santri-santrinya dan proses pembelajaran yang

Page 13: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan13

diaplikasikannya lima waktu tak kenal lelah. Persoalan dan janji-janji politik tidak mampu menggoyahkan keagungan sikapnya nan komit. Pembelajaran tanpa henti di pondok merupakan motto yang selalu ia junjung tinggi. Jika ada undangan dari masyarakat selalu diberikan waktu saat pembelajaran time out (istirahat).

Sikap istiqamah dan ketabahan inilah yang menyebabkan santri bertambah dan terus bertambah. Karismatik beliau sangat menonjol di kalangan masyarakat, hal ini di terbukti dengan kecendrungan masyarakat yang silih berganti berdatangan untuk meneguk air ilmu pengetahuan. Tgk. H. Ishaq al-Amiry sadar betul dengan stigma masyarakat jika seorang kiai/TGK berkecimpung dalam dunia politik sekecil apapun akan dapat menurunkan dan bahkan menghilangkan karismatiknya.

Aktivitas Dayah Ulee Titi berada di bawah naungan Yayasan Ulee Titi. Yayasan ini terdiri dari lima kemukiman yang ada di lingkungan Dayah Ulee Titi. Kelima kemukiman yang dimaksud adalah Kemukiman Lamgarot, Lubuk, Pagar Air, Lamteungoh, dan Kemukiman Gani. Seluruh kemukiman yang berada di Kecamatan Ingin Jaya di atur oleh yayasan tersebut. Tugas pimpinan yayasan adalah mengurus kelancaran pelaksanaan pendidikan pondok melalui kerjasama antara pimpinan dan pihak yayasan.

Letaknya bisa digolongkan sangat strategis. Pondok Pesantren Ulee Titi berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, hanya berjarak 10 km dari ibukota provinsi dan 1,5 km dari ibukota kecamatan yaitu di Desa Siron, Aceh Besar. Bagi orang yang berkunjung ke Nangreo Aceh Darussalam melalui udara pasti melintasi lembaga ini. Berada pada ketinggian 5 m di atas permukaan laut dan kondisi cuacanya maksimal 32°C dengan curah hujan cukup. Lokasi yang dipadati pemukiman penduduk memungkinkan pengembangan lanjutan.

Sebuah komplek berdiri kokoh terletak di pinggir jalan. Di dalamnya tampak beberapa bangunan asrama pemondokan santri, ruangan kantor serta balai–balai pengajian. Orang mengenal tempat ini dengan sebutan “Dayah Ulee Titi”. Bisa dimaklumi, sebuah lembaga pendidikan Islam yang di beri nama Dayah Ulee Titi merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Kabupaten Aceh Besar. Tokoh-tokoh penting, kiai-kiai penebar

Page 14: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 14

hikmah dan pembawa berkah, serta para pencinta Tuhan pun berdatangan tak kenal waktu untuk mengais seteguk air keilmuan yang mampu menghilangkan dahaga kebodohan bagi masyarakat Aceh Besar.

Lembaga yang kini menampung 785 santri plus 85 Staf pengajar/ustaz terlihat berbeda dengan wajah masa lampaunya yang berbentuk bilik-bilik reyot sudah berganti wajah dengan bangunan-bangunan kokoh.

Keunikan yang terjadi pada pondok-pondok pesantren salafiah juga terjadi pada Pondok Pesantren Ulee Titi. Pada awal berdirinya, proses belajar di pondok pesantren ini dimulai dari sekelompok remaja datang kepada Abu Ishak al-Amiry untuk menimba ilmu keagamaan. Seiring dengan berjalannya waktu, santri yang berkunjung ke kediaman sang Tengku semakin banyak dan tak tertampung lagi. Akhirnya, dayah sederhana pun didirikan.

Penamaan pondok pesantren dengan nama “Dayah Ulee Titi”3 tidak terlepas dari nama tempat pondok pesantren. Ulee dalam bahasa Aceh berarti ujung dan titi berarti jembatan, maka nama “Ulee Titi” berarti ujung Jemabatan hal ini disebabkan keberadaannya yang persisis diujung jembatan yang menghubungkan Jl. Lambaro – Bandara Sultan Iskandar Muda dengan kota Banda Aceh, 1 km dari ibukota kecamatan Ingin Jaya. Dalam perkembangannya pondok pesantren ini bergeser sekitar 1 km dari ujung jembatan karena perlebaran dan perpanjangan jembatan.

Dua tahun sebelum mangkat, sekitar tahun 1995, Tgk. Abu Ishak al-Amiry mempercayakan pengelolaan dan pengurusan lembaga kepada putranya Tgk. H. Athaillah Ishaq al-Amiry4 yang pada saat itu masih berusia 38 tahun. Beliau memegang teguh amanah yang telah diamanahkan oleh sang Abuya. Dasar kekuatan motivasi sang pelanjut perjuangan adalah statemen Abuya dalam bentuk wasiat akhir: “Wahai anakku, lihatlah kehidupanku selama kamu mengikutiku, tidak pernah meninggalkan santri walau sehari pun untuk mencari kesibukan di luar, oleh karena itu janganlah kamu meninggalkan mereka Allah akan selalu memberkahi pengabdian yang kita lakukan.”

Dari pengalaman tersebut Tgk. H. Athaillah Ishaq al-Amiry telah jauh-jauh hari mempersiapkan putranya dengan memberikan bekal keilmuan yang kuat dan pengalaman yang banyak. Pada

Page 15: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan15

saatnya tiba, sang anak dapat menggantikan perannya sebagai tokoh pada Pondok Pesantren Ulee Titi. Persoalan regenerasi pada pondok pesantren di seluruh pelosok nusantara menjadi masalah –yang sampai saat ini— tidak terselesaikan. Berapa banyak pondok pesantren mati seiring dengan wafatnya sang pendiri dan kiai karismatiknya.

Fasilitas Pesantren

Pondok Pesantren Ulee Titi memiliki luas tanah sekitar 3 ha. Tanah tersebut dipergunakan untuk membangun berbagai sarana dan prasarana untuk menunjang tetap berjalannya proses belajar mengajar di pesantren. Sebagai sebuah pondok pesantren, Dayah Ulee Titi dilengkapi dengan gedung asrama putra, balai pengajian, perpustakaan, klinik pesantren, koperasi, mushallah, dan lain-lain. Di samping dilengkapi dengan berbagai sarana yang berbentuk gedung, pondok pesantren juga dilengkapi berbagai sarana penunjang lain seperti peralatan elektronik, perlengkapan praktek keterampilan, sarana air bersih dan penerangan.

Dari data sarana dan prasarana yang dimiliki, dapat dikatakan bahwa Pondok Pesantren Ulee Titi adalah pesantren salafi yang bertaraf modern. Pemanfatan bangunan terlihat sangat efektif dan efisien karena pembelajaran dimulai dari pukul 08.00 sampai pukul 21.00 hanya diselingi oleh waktu istirahat dan shalat.

Kurikulum yang Diterapkan

Agar terhindar dari tindakan simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, ada baiknya jika konsep dalam arti luas dibahas secara singkat, sehingga dapat dicermati kapan dan bagaimana guru dapat memberikan kontribusinya dalam proses pengembangan kurikulum.

Definisi kurikulum menurut Beane dkk (1986), yakni bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis pengertian yang meliputi: 1. kurikulum sebagai produk; 2. kurikulum sebagai program; 3. kurikulum sebagai hasil yang diinginkan: dan 4. kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik.

Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan rekayasa kurikulum. Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan terkait

Page 16: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 16

dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah dokumen yang kemudian diberi label kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum dalam arti produk merupakan hasil konkret yang dapat diamati dalam bentuk dokumen hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Perlu diingat bahwa definisi tersebut memiliki kelemahan pada adanya pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi suatu mata pelajaran.

Kurikulum sebagai program secara esensial merupakan kurikulum yang berbentuk program-program pembelajaran secara riil. Dalam bentuk yang ekstrem, kurikulum sebagai program dapat termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu seperti halnya dalam kurun waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi yang lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakupi aspek-aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran suatu kajian ilmu tertentu. Keuntungan dalam pandang tersebut adalah 1. dengan cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang dimaksud kurikulum dengan lebih konkret; 2. dapat memahami bahwa kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam setting yang berbeda pada jenjang yang berbeda. Kelemahan kurikulum sebagai program adalah munculnya asumsi bahwa apa yang ada dalam daftar pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa tidak ada perluasan pokok bahasan.

Pandangan kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap, dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan dalam bentuk dokumen. Seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar dan sebagainya. Keuntungan dari cara pandang seperti ini adalah 1. kurikulum menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga tidak sekadar produk semata yang secara “ritual” harus diajarkan apa adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultur baik di sekolah maupun di masyarakat; 2. dapat menyusun

Page 17: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan17

kurikulum menjadi lebih manageable baik dari segi scope maupun sequen-nya. Kelemahan pemahaman ini adalah adanya kesulitan bagi para guru maupun sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari oleh siswa dan cara mempelajarinya.

Dan, pemahaman kurikulum sebagai pengalaman belajar pada hakikatnya merupakan pemisahan yang sangat jelas dari tiga pemaknaan sebelumnya. Sebagai konsekuensinya apa yang direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tentu banyak faktor yang memengaruhinya seperti halnya kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya, sebaik apa pun kurikulum bila tidak didukung oleh guru yang profesional, itu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa, demikian pula sebaliknya.

Paling tidak ada dua keuntungan pemaknaan tersebut: 1. pihak guru maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya kepada siswa dalam proses pembelajaran; 2. guru akan lebih melibatkan semua pengalaman siswa. Walaupun demikian pemahaman seperti itu memiliki kelemahan: 1. kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya, dan 2. kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana. Sebagai konsekuensinya muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Depertemen Pendidikan Nasional). Kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (out comes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai). (Grayson, 197)

Page 18: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 18

Kurikulum sebagai a plan for learning diartikan sebagai sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Pendapat lain mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah. (Hilda Taba, 1962, “Curriculum Development Theory and Practice)

Dari beberapa definisi tentang kurikulum tersebut dapat diambil sebuah natijah bahwa makna kurikulum secara keseluruhan adalah sebuah program, rencana yang akan di terapkan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan apakah kurikulum sebagai produk, sebagai program, sebagai hasil yang diinginkan, maupun sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik.

Sementara kurikulum yang dimaknai di pondok pesantren secara umum dapat juga diartikan sebagai produk yang dihasilkan oleh kiai untu para santrinya, sebagai program yang telah diciptakannya untuk menghasilkan santri-santri berkualitas, sebagai hasil yang diinginkan. Definisi ini diarasa lebih tepat karena kurikulum juga merupakan pengalaman belajar bagi peserta didik. Oleh karenanya tidak sedikit pondok pesantren yang menerapkan kurikulum sebagai pengalaman belajar para santrinya. Pondok Pesantren Ulee Titi lebih memaknai kurikulum sebagai empat komponen di atas.

Silabus Pendidikan Tidak Sistematis

Mengapa mereka bisa, sedang kita tidak? Ada sejumlah faktor yang menghambat terjadinya akselerasi intelektual santri salaf untuk dapat mumpuni dan produktif dalam disiplin ilmu agama yang mereka tekuni. Salah satu yang terpenting adalah silabus pesantren salaf yang kurang sistematis. Seperti diketahui, umumnya pesantren salaf memiliki dua sistem pendidikan: madrasah dan pengajian langsung ke kiai. Penulis melihat kurikulum madrasah di pesantren salaf kurang padat, terlalu banyak pengulangan khususnya dalam bidang tata bahasa Arab (nahwu dan sharaf) dan fiqh. Keharusan menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik sebanyak seribu bait adalah sangat memakan waktu (time consuming) yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menghafal materi yang lebih bermanfaat, seperti al-Qur’an atau Hadits. Sementara kajian

Page 19: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan19

al-Quran dan Hadits, yang nota bene menjadi ujung tombak dari fiqh itu sendiri sangatlah kurang.

Umumnya, santri membutuhkan waktu minimum sembilan sampai 12 tahun untuk dapat lulus dari madrasah di pesantren salaf. Ketika seorang santri lulus dari tingkat Tsanawiyah, (SMP) bagi pesantren yang pendidikan utamanya sampai tingkat ini, seperti yang terjadi pada pondok pesantren Ulee Titi5, maka kemampuan yang dapat diharapkan dari mereka adalah penguasaan nahwu / sharaf yang baik, dan dapat membaca kitab-kitab fiqh kelas menengah seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, dll. Jarang sekali mereka dapat menguasai kitab-kitab tafsir di atas kitab Tafsir Jalalain atau kitab-kitab Hadits standar seperti Kutub al-Sittah, karena yang dipelajari umumnya tidak lebih dari Bulugh al-Maram, atau sekelas dengan itu.

Untuk sekedar perbandingan, Pesantren Deoband (India) hanya membutuhkan waktu delapan tahun untuk menempuh pendidikan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah serta ditambah tiga tahun untuk Fadhilat (S-1). Setelah selesai selama 12 tahun, santri sudah menguasai nahwu/sharaf, sastra Arab, kitab Hidayat untuk mazhab Hanafi (setingkat kitab al-Umm dalam madzhab Syafii), hadits Kutub al-Sittah, plus al-Muwaththa’ karya Imam Malik, al-Muwaththa’ karya Imam Muhammad, dan Thahawi Tafsir al-Jalalain, dan sejarah Islam dari era Nabi sampai Dinasti Muslim India. Kalau santri hendak mengambil spesialisasi (program Master) di bidang tertentu, ia harus menambah dua tahun lagi. Sebagai contoh, bagi yang hendak mengambil spesifikasi tafsir, maka dalam dua tahun tersebut ia akan merampungkan Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Baidhawi, dan ilmu tafsir untuk tingkat advanced (tinggi) yang kemudian diakhiri dengan menulis thesis. Dus, untuk mencapai tingkat “master” santri Deoband hanya membutuhkan waktu 10 tahun.6

Kitab-kitab Klasik yang menjadi acuan

Kitab-kitab yang menjadi acuan dan sekaligus sebagai referensi yang diajarkan di Pondok Pesantren Ulee Titi dapat dilihat secara terperinci dari silabus di atas. Untuk lebih mendalam apa dan bagaimana kitab-kitab tersebut diajarkan berikut ini sebagai illustrasi singkatnya.

Page 20: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 20

1. Dalam bidang fiqh: Safinah al-Naja, Matan at-Taqrib, al-Bajuri, I’anah al-Thalibin, al-Qulyubi / al-Mahalli, al-Bujairimi,

2. Dalam bidang tauhid: Kifayah al-Mubtadin, Aqidah Islamiah, Khamsatun Mutun, Tijan al-Dharari, Kifayah al-Awwam, Hud Hudi, al-Dusuki,

3. Dalam bidang sharaf: Zammon, Matan al-Bina, al-Kailani, Sals al-Madkhal, al-Madlub,

4. Dalam bidang tasawuf: Taisir al-Akhlaq, Ta’lim al-Muta’allim, Muraqi Ubudiah, Minhaj al-Abidin, Ihya Ulum al-Din,

5. Dalam bidang nahwu: al-‘Awamil, Matn al-Jurumiyah, Muhktasar Jiddan, Kawakib al-Durriyah, Matn Alfiah / Huzari, Ibnu Aqil /Huzari

6. Dalam bidang tarikh: Khulasah, Nur al-Yakin,

7. Dalam bidang manteq: Matn Sulam, Idhah al-Mubham, Isaghuji, Subban, Syamsiah, al-Talkhis,

8. Dalam bidang ushul: Waraqad, Nufahat, Lathaiful Isyarah, Ghayah al-Usul,

9. Dalam badang ilmu bayan: Ahmad Sawi, Jauhar al-Maknun,

10. Dalam bidang Hadits: Arbain al-Nawawi, Majlis al-Saniah, al-Baiquni,

11. Dalam bidang Tafsir: al-Shawi, al-Khazin

Perkembangan Pembelajaran

Perkembangan pembelajaran pada Dayah Ulee Titi terlihat sangat pesat. Periode awaliyah hanya bersifat tradisional dengan menggunakan kajian-kajian murni terhadap kitab-kitab klasik di balik bilik bambu dan bedek reot. Namun, seiring dengan perkembangan zaman terutama setelah musibah Tsunami dan masuknya donatur-donatur luar, Dayah Ulee Titi pun tak luput dari sasaran pembaharuan, mulai dari sarana prasana yang dimilikinya ditambah dan diperbaharui sampai pada sistem yang dikembangkannya.

Sistem dan wajah baru yang ditampilkan oleh Dayah Ulee Titi tidak serta merta membuang sistem paten yang telah dimilikinya

Page 21: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan21

yakni perpaduan antara sistem tradisional dengan sistem modern. Tapi dalam pembelajaran sistem sorogan dan bandongan merupakan dua sistem yang tetap bertahan di tengah-tengah gempuran sistem baru.

Kelas-kelas yang dimiliki oleh Dayah Ulee Titi lebih merupakan kelas dengan sistem sorogan dan bandongan. Prinsip kelas yang dikembangkannya tidak berdasarkan usia santri tapi lebih kepada sistem waktu kapan santri bergabung di dayah. Dayah ini tidak mengenal batas usia santri. Bisa jadi mereka yang bergabung setelah usia 20 an dan bisa saja setelah usia tua. Umumnya, mereka bergabung pada usia belasan.

Aktivitas Pondok Selain Pembelajaran

Karena tujuan awak pendirian Dayah Ulee Titi adalah untuk membina masyarakat sekitar, maka pada awalnya program-program selalu diorientasikan pada kebutuhan masyarakat. Di antara program kemasyarakatan yang dilakukan oleh Dayah Ulee Titi adalah;

a. Pengurusan Jenazah

Salah satu program yang dilestarikan oleh Dayah Ulee Titi dalam pengabdiaannya terhadap masyarakat sekitar adalah melakukan pengurusan jenazah terutama mensholatkannya. Santri-santrinya dikerahkan untuk melakukan salat jenazah sebagai salah satu bentuk pengabdiannya terhadap masyarakat sekitar.

b. Samadiah/Tahlilan;

Kegiatan ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut untuk menghantarkan orang yang meninggal dunia. Kegiatan ini dimaksudkan selain untuk mengiringi kepergian sanak keluarga yang telah meninggal dunia juga sebagai sarana mempererat persaudaraan antar sesama. Momentum tahlilan dapat dijadikan sebagai ajang sambung rasa antar masyarakat guna memperkuat ukhuwah Islamiyah dan memperdalam kajian keIslamannya.

Page 22: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 22

c, Menekuini Tarekat Samadiah

Tarekat Samadiah diperuntukan –sebenarnya—untuk para santri yang tidak turut pulang di saat teman-temannya pulang kampung untuk berlibur. Tarekat tersebut dimaksudkan sebagai jalan ber-taqarrub kepada Allah SWT sedekat mungkin. Hiburan spiritual ini ternyata mampu membuat para santrinya menjadi santri-santri yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi dan pada akhirnya kesedihan mereka terobati dengan banyak berzikir dan berkontemplasi secara berkala dan terus-menerus.

Tarekat yang menjadi andalan Dayah Ulee Titi adalah Tarekat Nahsyabandiyah. Tarekat ini didirikan sekitar tahun (717 H – 791 H) oleh Muhammad bin Muhammad Baka’ al–Din al-Uwaisi al–Bukhari al-Naqsabandi. Ia adalah seorang pemuka ilmu tasawuf ketika itu. Sementara proses penyebarannya di Dayah Ulee Titi dilakukan di luar jam belajar sebagai bentuk pembelajaran ekstrakurikuler.

d. Fidyah Sembahyang

Fidyah sembahyang ini secara hukum masih mengundang perdebatan antar pakar dan ahli ilmu. Walau demikian dasar yang dijadikan acuan adalah kitab I’anah al-Thalibin jilid I hal. 29 yang tersirat pada kata–kata tanbih.

Dalam pelaksanaannya fidyah sembahyang memiliki keunikan tersendiri, persoanil yang dibutuhkan dalam fidyah sembahyang sebanyak 30 orang, mareka dibagi dalam 2 kelompok dengan posisi duduk saling berhadapan (pace to pace).

Di tengah–tengah mereka diletakkan sekarung beras ukuran 15 kg berarti harus menyediakan 15 karung beras untuk 30 peserta, dan tiap – tiap kelompok dipandu oleh seorang Teungku selaku pengarah acara. Kemudian beras tersebut dimaju mundurkan sesuai dengan aba–aba pengarah acara. Lama dan singkatnya tarikan sangat bergantung dengan sedikit dan banyaknya shalat yang ditinggalkan oleh Almarhum. Secara umum fidyah yang dibayar selain sembahyang adalah puasa dan sumpah atau janji yang telah dibuat orang yang meninggal dunia.

Page 23: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan23

e. Peusijuk

Peusijuk merupakan ibadah yang isinya mengandung do’a–do’a dan beberapa jenis zikir. Kegitatan ini dilaksanakan untuk menuai masa depan yang lebih beruntung, untuk mencari keberkahan, disertai rahmat. Karena ibadah yang menganut sistem tafa’ul selain berguna ukhrawi juga menyangkut dengan persoalan duniawi. Kegiatan ini dilakukan --ada kalanya-- pada pagi, siang atupun malam hari, tergantung kebutuhan dan keperluan serta tujuan melakukannya.

f. Aqiqah

Aqiqah mengandung makna penyembelihan kambing bagi anak yang baru dilahirkan. Jumlah kambing yang disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki–laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan. Prosesi ini dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran, dengan membaca burdah yang terdapat di dalam Dalail al-Khairat, dibawakan dengan irama sendu sehingga menarik perhatian pengunjung. Peserta yang membaca burdah dipilih dari mareka yang mempunyai suara merdu. Jumlah personil terdiri dari 10 orang bahkan lebih, tergantung keinginan keluarga. Bentuknya hampir sama dengan zikir maulid.

g. Khatam al-Qur’an;

Peutamat Qur’an adalah kata yang sudah populer di tengah–tengah masyarakat. Khatam mengandung arti membaca Qur’an dari awal surat al-Fatihah hingga selesai surat al-Ikhlash (30 juz). Di kalangan masyarakat, acara ini biasanya dilakukan tatkala ada anggota keluarganya yang meninggal dunia. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan minimal 30 orang santri yang dipimpim langsung oleh Abu. Tiap–tiap santri membaca 1 juz hingga selesai, sesudah semuanya selesai baru dikhatam dengan ditutup do’a–do’a dan zikir.

Seiring dengan perkembangan zaman minat masyarakat dan generasi peneurus untuk mempelajari, membaca dan memahami al-Qur’an semakin menurun. Oleh karena itulah, dalam acara-acara khatam al-Qur’an Dayah Ulee Titi mengajak masyarakat khatam al-Qur’an dengan cara membagi keseluruhan isi al-Qur’an per juz per orang/ santri, dengan

Page 24: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 24

harapan lambat laun generasi-generasi cinta al-Qur’an akan tumbuh dan bergairah kembali.

h. Ceramah Agama

Aspek lain yang ditekuni para santri dayah guna mensosialisasikan dan memberdayakan masyarakat tentang ilmu pendidikan adalah berdakwah. Sebanyak 30 orang da’i dikirim dan diberikan tugas untuk memberikan siraman rohani pada seluruh pelosok Kabupaten Aceh Besar baik melalui mimbar Jum’at, maulid atupun acara-acara lainya.

i. Majlis Ta’lim

Di samping mengajar di Dayah, para pengajar pun secara berkala melakukan pembinaan majlis-majlis ta’lim di wilayah Aceh Besar. Prinsip dasar dalam kehidupan para pengajar di Dayah adalah: “Hidup merupakan pengorbanan dan pengorbanan yang paling mulia adalah pengorbanan untuk agama Allah.” Ada 35 titik pengajian yang sudah terbentuk dalam 5 kecamatan yang menurunkan 12 da’i dari kalangan guru-guru dayah.

-[]-

POLA PEMBELAJARAN DAYAH ULEE TITI

Gambaran Pelaksanaan Sorogan dan Bandongan

Sejak zaman penjajah, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat. Pondok Pesantren Ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah pula ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fi al-din), pondok pesantren telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat, muballigh, guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini pondok pesantren tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik, bahkan sebagian telah mengembangkan fungsinya dan perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat. (Depag RI, 2003:1).

Page 25: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan25

Tugas pokok yang dipikul pondok pesanten selama ini pada esensinya adalah mewujudkan manusia dan masyarakat muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam konteks ini, lebih khusus, pondok pesantren diharapkan berfungsi lebih dari itu; ia diharapkan agar memikul tugas yang tak kalah pentingnya, yakni melakukan reproduksi ulama’. Dengan kualitas ke-Islaman, keimanan, keilmuan dan akhlaknya, para santri diharapkan mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya. Di sini, para santri diharapkan dapat memainkan fungsi ulama; dan pengakuan terhadap keulamaan mereka biasanya pelan-pelan tapi pasti datang dari masyarakat. Selain itu juga pondok pesantren bertujuan untuk menciptakan manusia muslim mandiri -dan ini kultur pondok pesantren yang cukup menonjol - yang mempunyai swakarya dan swadaya.

Dalam menghadapi era globalisasi dan informasi, pondok pesantren perlu meningkatkan peranannya. Ini dikarenaan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama yang berlaku seantero dunia sepanjang masa. Ini berarti ajaran Islam adalah global dan melakukan globalisasi untuk semua. (QS. al-Hujurat:13). Kunci dari ayat di atas adalah setiap persaingan yang keluar sebagai pemenang adalah yang berkualitas, yaitu memiliki iman-takwa, kemampuan, ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan (Rahim, 2001:160). Di sinilah peran pondok pesantren perlu ditingkatkan, tuntutan globalisasi tidak mungkin dihindari. Maka salah satu langkah bijak jikalau tidak mau dalam persaingan, adalah mempersiapkan pondok pesantren agar “tidak ketinggalan kereta”.

Keunggulan lain dari pondok pesantren terletak pada sistem pembelajaran yang telah dilestarikannya, sehingga berhasil memproduksi generasi-generasi handal yang dapat bersaing di dunia global dan dapat mewujudkan generasi muda yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik. (Azra,2000:48).

Metode sorogan merupakan sistem yang juga dipraktekan di berbagai kajian sebagai metode yang telah terbukti menjadikan alumninya menjadi orang-orang yang mumpuni dalam bidang pengembangan sumber daya manusia. Di samping itu, alumni metode sorogan diharapkan tidak hanya mempunyai perspektif

Page 26: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 26

keilmuan yang lebih integratif dan komprehensif antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain, tetapi juga memiliki kemampuan teoritis dan praktis tertentu yang diperlukan dalam masa industri dan pasca industri.

Proses pembelajaran seperti inilah yang telah dipresentasikan oleh Pondok Pesantren Ulee Titi sehingga para alumni yang telah terdidik di dalamnya mampu mendesain berbagai bentuk teori dan praktek untuk kemudian diaplikasikan kepada masyarakat sebagai konsumen.

Secara garis besar aplikasi sistem sorogan yang dipraktekan di Dayah Ulee Titi terlihat sebagai berikut;

Pertama, para santri terbagi menjadi beberapa kelas. Ukuran kelas masing-masing terletak pada waktu tempuh (lama belajar) yang telah dijalankan di pesantren. Jumlah santri pada masing-masing sangat bervariasi sehingga sistem sorogan yang diterapkan juga bervariatif. Sistem sorogan berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau pembantunya (badal, asisten kiai). System sorogan ini termasuk belajar secara individual, di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Dayah Ulee Titi menerapkan hal yang sama, seorang santri mendatangi guru dengan membuka kitab yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Beberapa persoalan yang dijadikan standar dalam pembelajaran sorogan adalah: a. penguasaan ilmu alat (nahwu & sharf) yang dibuktikan dalam tingkat kebenaran dalam membaca kitab-kitab gundul (tidak berharakat); b. mengetahui dengan baik terjemahan dari kitab yang telah dibaca (secara generik maupun istilah); c. memahami dengan benar apa yang terkandung dari teks kitab yang telah dibaca; d. mampu menjelaskan dan menguraikan dari aspek makna yang tersirat di balik naskah yang dibaca. Indikator-indikator inilah yang dijadikan acuan dalam melihat kemajuan para santrinya.

Kedua, setelah masing-masing santri membaca dan mempertanggungjawabkan isi, makna, dan maksud kitab sesuai dengan batasan yang telah ditentukan, maka giliran guru memberikan ulasan secara menyeluruh terhadap apa yang telah dibaca oleh masing-masing santri tersebut. Ulasan inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sitilah bandongan atau wetononan.

Page 27: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan27

Istilah wetonan ini berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu. Penamaan seperti itu dikarenakan pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu. Istilah wetonan seperti ini tidak berlaku di Dayah Ulee Titi karena bandongan atau wetonan yang diaplikasikan di Dayah Ulee Titi tidak sama seperti yang berlangsung di Jawa. Metode weton merupakan metode kuliah, di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat cacatan padanya.

Ketiga, –masih dalam satu waktu— bentuk pembelajaran berikutnya adalah membahas maksud teks kitab yang telah dibaca masing-masing santri dengan sistem diskusi. Para santri diberikan kebebasan bertanya dan memberikan ulasan tersendiri sesuai dengan pemahaman mereka terhadap apapun yang terkandung dalam teks. Pada proses ini, tidak jarang terjadi perbedaan pendangan antara santri dan guru ketika, namun tidak menjadikannya sebagai aib bagi guru dan kendala bagi santri. Kebebasan berpendapat seperti ini di Dayah Ulee Titi telah dibina dengan baik sehingga tidak terkesan santri harus menerima secara hitam putih apa yang dikatakan gurunya. Pada pesantren ini tidak mengenal istilah “kualat” atau tidak berkah ilmunya jika bertanya apalagi berdiskusi sampai berbeda pendapat dengan guru. Hal ini jarang terjadi pada pondok pesantren lain baik di Jawa maupun di luar Pulau Jawa (Wahhab, 973: 26).

Faktor-Faktor pendukung Sorogan dan Bandongan

Seperti kita ketahui bahwa pesantren di Nusantara telah terpola sistem dan metode kajiannya menjadi dua pola besar yakni sistem sorogan dan bandongan. Namun, pada masa-masa terakhir ini, telah terjadi beberapa sistem baru yang dimasukkan untuk mencapai tujuan yang lebih maksimal. Sistem-sistem tersebut sangat terkait dengan tipologi pondok pesantren yang dikemabngkan oleh pemerintah. Tipologi-tipologi pondok pesantren berakibat pada sistem dan metode yang dikembangkan oleh masing-masing pondok pesantren.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan

Page 28: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 28

zaman, tertama sekali adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti bahwa pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat. Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:

1. Pondok Pesantren Tradisional:

Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh ulama pada abad ke-15. Pola pengajarannya menerapakan sisitem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghapalan dengan tujuan akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang ke arah paripurnanya ilmu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh kiainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kiai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).

2. Pondok Pesantren Modern

Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orietasi belajaranya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan system belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama tampak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kiai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum muatan lokal.

Page 29: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan29

3. Pondok Pesantren Komprehensif

Sistem pesantren ini disebut komprehensif karena sistem pendidikan dan pengajaran yang merupakan gabungan antara sistim tradisional dan modern. Artinya, di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan watonan, namun secara reguler sistem pesekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua (Ghazali, 3003:15)

Faktor Perkembangan Dayah Ulee Titi

Berkembangnya metode sorogan dan bandongan di Dayah Ulee Titi tidak terlepas dari beberapa faktor beriktu:

1. Faktor Internal

Faktor internal yang dimaksud adalah bangunan-bangunan berupa bale-bale yang telah disiapkan dengan kapasitas sekitar 20-30 santri. Guru-guru yang siap setiap saat untuk memberikan bimbingan secara mendalam terutama karena para guru tinggal bersama santri dalam komplek yang sama, santri-santri tinggal dalam asrama yang telah ditentukan dengan seorang pembimbing (kakak kelas). Di samping itu, aturan-aturan yang diterapkan di Dayah Ulee Titi sangat mendukung proses pelaksanaan program pembelajaran sorogan dan bandongan. Dalam aturan tersebut juga terselip sanksi bagi santri yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dimaksud adalah keinginan orang tua yang begitu kuat dalam memberikan semangat dan dukungan kepada anak-anaknya serta dukungan nyata terhadap para guru yang memberikan pembelajaran dengan bantuan dana secara berkelanjutan walaupun tidak besar. Dukungan pemerintah setempat memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana yang dapat mendukung proses pembelajaran.

Page 30: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 30

Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan dan Bandongan

Metode sorogan dan bandongan merupakan metode tradisional sejak awal berdirinya pesantren di nusantara . Metode klasik ini telah mampu memberdayakan dan meningkatkan santrinya dalam menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Pola pengajaran sorogan dan bandongan/wetonan telah digunakan untuk mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama pada zaman abad pertengahan yang populer dengan istilah “kitab kuning.” (Bruinessen, 1997:23).

Masing-masing metode (sorogan dan bandongan) memiliki keunggulan diantaranya:

1. Keunggulan metode sorogan:

a. Terbukti sangat efektif sebagai tahap pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi alim.

b. Metode ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran.

c. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pengembangan kemampuan perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang kiai atau ustadz.

d. Membiasakan santri untuk selalu siap berhadapan dengan guru yang mengajarnya, di samping memberikan pembelajaran bahwa persiapan sebelum menghadapi guru sangat dibutuhkan.

e. Memberikan pembelajaran bahwa seorang santri harus patuh –tentunya bukan pada hal-hal yang bertentangan- kepada gurunya.

6. Memungkinkan hubungan kiai dengan santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu.

2. Keunggulan metode bandongan:

Sistem bandongan yang diterapkan di Dayah Ulee Titi memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pesantren lain di Nusantara. Keunggulannya adalah setelah guru memberikan

Page 31: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan31

penegasan dan penjelasan terhadap isi kitab yang (secara tematik) telah dibaca oleh para santri pada sistem sorogan, guru dan santri berdiskusi layaknya perguruan tinggi. Perbedaan pendapat antara santri dan guru sudah biasa dilakukan dan bukan menjadi kendala kemajuan buat santri. Bahkan, proses seperti ini dapat menjadi ukuran kematangan pengetahuan seorang santri ketika santri dapat memberikan argumentasi terhadap pandangan yang dikemukakannya. Dalam hal ini santri dituntut membaca referensi selain kitab kuning yang dikaji bersama untuk dapat memberikan wawasan luar selain dari kitab yang dibaca. (Azzurnuji, 1999:25)

Adapun kelemahan yang mendasar dari metode sorogan dapat dilihat pada beberapa hal:

1. Waktu yang sangat panjang (long time) dihabiskan untuk mempelajari sebuah kalimat.

2. Tidak terjadi ketuntasan pemahaman karena habis digunakan untuk mengkaji kebahasaan.

3 Tidak fokus terhadap spesifikasi keilmuan karena semua kitabdikaji bahkan –pada tingkat lanjutan—hanya dibaca secara tuntas untuk memperoleh “berkah” dengan ijazah diakhir bacaan sebuah kitab.

Semantara kelemahan bandongan yang diterapkan di Dayah Ulee Titi adalah tidak terdapat sebuah konklusi yang dapat dijadikan pegangan bagi santri yang notabenenya mencari kebenaran. Tidak jarang kemudian santri tidak mendapatkan sebuah kepastian hukum atau simpulan makna dari sebuah teks yang dikaji. Kecendrungan perdebatan bukan pada substansi bahasan kitab namun kepada kebahasaan seperti mengapa dibaca kasrah, fathah, ataupun dhammah. Bukan mencari solusi, makna yang tersirat dalam substansi teks yang telah dibaca.

Abstrak Kitab-kitab Klasik yang Dikaji

Penelitian ini dimaksudkan selain melihat metode sorogan dan bandongan, juga untuk mengetahui makna “ketuntasan” dalam pembelajaran di pondok pesantren.

Dengan demikian metode sorogan dan bandongan memiliki hubungan dan kemiripan dengan prinsip pembelajaran tuntas.

Page 32: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 32

Secara umum pembelajaran tuntas dapat diartikan sebagai suatu strategi pembelajaran, di mana keberhasilan peserta ditentukan oleh pencapaian tingkat penguasaan kompetensi minimal yang dipersyaratkan untuk dinyatakan menguasai (mastery). Jadi peserta hanya boleh pindah topik atau program, jika topik atau program yang sedang dipelajarinya telah dikuasai secara tuntas sampai standar minimal yang dipersyaratkan. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada peserta untuk menguasai bahan pelajaran dan kompetensi yang dipelajarinya dengan terstandar, melalui langkah-langkah pembelajaran secara bertahap, utuh, dan tuntas, sehingga memberikan pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning).

Sementara makna ketuntasan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mengetahui kemampuan santri melalui bacaan, pemahaman, dan kemampuan menerjemahkan teks-teks yang sudah dibaca. Untuk melihat beberapa contoh standar makan ketuntasan dalam penelitian ini, maka perlu disajikan abstrak kitab-kitab standar yang dijadikan acuan di Dayah Ulee Titi:

1) Kitab ilmu alat (nahwu dan sharf) meliputi kitab: Matn al-Ajurumiyah. Kitab ini disajikan oleh Imam Abu al-Aswad al-Du’ali, seorang pakar nahwu yang mencoba memberikan tanda-tanda pada ilmu kebahasaan. Kitab ini dimulai dari pengertian sebuah kalimat dalam bahasa Arab. Disebutkan bahwa yang dimaksud kalimat dalam bahasa Arab adalah sebuah lafadz yang mengandung pengertian dengan sempurna, tersusun dan berbahasa arab. Ada tiga tanda dan unsur sebuah kalimat dikatakan sempurna (al-ism, al-fi’l, dan al-harf). Al-Ism adalah unsur-unsur yang dapat dikenali melalui berbagai hal di antaranya dapat awali dengan huruf “al”, dapat menerima huruf jar al-majrur, dapat ditanwinkan dan lain-lani. Semua persoalan tanda baca ini dipelajari dari kitab awal sebagai dasar untuk memahami gramatika bahasa Arab. Kitab ini dapat dikatakan sebagai sebuah kitab pengantar yang sangat sempurna, sebab kitab-kitab lanjutannya hanya sebagai pelanjut pembahasan lebih mendalam dari topik-topik yang dibahas dalam Matn al-Jurumiyah.

Kitab-kitab sharf membahas persoalan asal usul sebuah kata secara mendalam. Misalnya kata nashara dapat diperluas

Page 33: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan33

sampai ke akar kata yang mengandung pengertian dan makna yang berbeda dan tersendiri. Makna asal dari nashara adalah telah menolong. Kemudian berlanjut ke dalam konsep keterangan waktu sekarang dan akan datang dalam kata yanshuru berarti sedang atau akan menolong dan ketika di-tashrif menjadi unshur maka kata tersebut berubah menjadi kata perintah yang berarti tolonglah. Perubahan bentuk dan makna sangat erat kaitannya dengan syiaq al-kalimat (konteks kata) yang diinginkan.

2. Kitab yang terkait dengan aqidah adalah kitab Kifayah al-Mubtadin. Kitab ini menjelaskan konsep-konsep dasar dalam ilmu aqidah seperti rukun iman, rukun Islam, kewajiban seorang hamba terhadap khaliqnya. Rukun iman dapat diartikan sebagai dasar-dasar keimanan seseorang yang wajib dilakukan dan dipercayai sehingga keyakinan tersebut dapat termanifestasi dalam rukun Islam. Rukun Islam merupakan sebuah konsep aplikatif yang bisa menunjukkan jati diri seorang muslim. Setiap orang Islam belum tentu mukmin karena iman sangat terkait dengan hati dan keyakinan mendalam terhadap apapun yang telah digariskan Allah dan rasul-Nya. Kitab ini memberikan dasar seperti itu agar orang yang baru mengenal tauhid dapat menambahkan keyakinannya secara mendalam.

3. Kitab yang menyangkut hukum dalam Islam atau yang lebih populer kitab fiqh adalah Safinah al-Naja. Secara generik arti safinah adalah kapal dan an-naja berarti keselamatan. Jadi jika dilihat dari namanya kitab ini bisa dimaknai dengan kitab yang berarti kapal yang dapat membawa keselamatan bagi orang yang mengamalkan substansi yang terkandung di dalamnya. Kitab dasar ini masih sangat sederhana. Di dalamnya terakumulasi sebatas syarat dan rukun berwudlu, syarat dan rukun shalat, syarat dan rukun bersuci, segala hal yang dapat merusak dan membatalkan wudlu, salat, dan kesucian.

4) Kitab fiqh lanjutan yang terdiri dari Kitab Ghayah al-taqrib. Kata ghayah berarti tujuan dan al-taqrib berarti kedekatan. Jadi kitab ini mengandung pengertian menyampaikan pada tujuan dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Kitab ini lebih jauh melihat dan membahas persoalan-persoalan hukum. Lebih jauh dalam artian tidak hanya sebatas persoalan

Page 34: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 34

rukun, syarat syah maupun batalnya sebuah salat, tapi lebih jauh dari itu mempersoalkan beberapa interkasi sosial, cara transaksi dalam jual beli, cara melakukan pinjam-meminjam dan berbagai hukum lainnya.

5. Dalam bidang akhlaq, kitab yang dijadikan dasar adalah Taisir al-Akhlaq. Kata taisir berarti ringan, mudah, gampang. Sedangkan kata akhlaq berarti perilaku, sikap dan tatacara pergaulan kita baik terkait dengan Allah, makhluk Allah, orang tua dan pergaulan dengan sesama manusia. Kitab ini secara umum memberikan gambaran bahwa manusia harus mengatur cara-cara berinteraksi, mengetahui kewajiban bersyukur dan beribadah hanya kepada Allah, mengetahui tata cara menghormati dan sekaligus kewajiban bersama orang tua dan manusia lainnya.

6. Dalam bidang akhlaq lanjutan, kitab yang dipakai adalah Ta’lim al-Muta’allim. Ia adalah sebuah kitab yang dijadikan referensi pada kalangan pesantren yang mengatur tata cara berinteraksi antara guru dan murid baik dalam pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Sikap murid terhadap guru harus selalu dipelihara dengan maksimal, menjaga cara berkomunikasi, cara bertanya dan tatacara lainnya. Kitab ini menganjurkan para murid agat tidak terlalu vokal terhadap apa yang dialami maupun dilihat terkait dengan gurunya, sebab jika seorang murid bertanya sedikitpun tentang persoalan yang dilihatnya, maka ia dianggap “ragu” terhadap gurunya. Oleh karenanya, ia tidak akan pernah “selamat” selama-lamanya. Tidak akan selamat selama-lamanya mengandung pengertian seorang murid tidak akan bisa menapaki jalan kesuksesan karena apa yang dia lihat dan belum tentu sampai pada pengetahuannya, oleh karena itulah jika ingin selamat maka harus mengikuti apapun yang dikatakan oleh seorang guru tanpa pernah bertanya mengapa hal itu harus dilakukan.

7. Dalam bidang tafsir, kitab yang dijadikan referensi adalah kitab al-Shawi. Kitab ini menjelaskan makna-makna dasar sekaligus memberikan ulasan yang sangat sederhana tentang firman-firman Allah yang dimulai dengan pembahasan surat al-Fatihah. Kitab ini secara sederhana memberikan uraian

Page 35: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan35

singkat terhadap makna-makna dan maksud dasar dari ayat-ayat yang termaktub didalamnya.

Dari beberapa contoh kitab tersebut masih banyak lagi kitab-kitab yang dijadikan dasar dalam pembelajaran secara sorogan maupun bandongan. Kitab-kitab tersebut dibaca dan dikaji secara tuntas sesuai dengan kelas masing-masing santri. Kitab-kitab contoh tersebut baru menyentuh kelas-kelas dasar (tajhizi dan kelas satu). Seiring dengan meningkatnya kelas maka kitab yang dijadikan referensi pun lebih tinggi. Kajian-kajian dengan sistem sorogan dapat memberikan –paling tidak— gambaran utuh secara tuntas mulai dari basmalah hingga hamdalah terhadap sebuah kitab kajian. Ketuntasan akan sangat tergantung bagaiamana seorang santri dapat memahami dan membaca kitab-kitab referensi tersebut secara baik dan benar sesuai dengan tata bahasa yang telah ditentukan. Inilah yang dinamakan pembelajaran tuntas melalui metode sorogan dan bandongan.

Kesimpulan

Dari beberapa temuan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran tuntas melalui metode sorogan dan bandongan telah diaplikasikan oleh Dayah Ulee Titi Aceh Besar. Ukuran ketuntasan yang dijadikan standar minimal adalah penguasaan dari segi cara membaca (kebahasaan), pemahaman, dan dapat menterjemahkan teks-teks secara generik maupun secara umum dengan bahasa yang baik dan dapat dipahami oleh pembaca berikutnya.

Metode sorogan yang diaplikasikan di Dayah Ulee Titi telah memberikan nuansa berbeda tinimbang dengan pesantren-pesantren lain di Nusantara. Perbedaan tersebut terlihat dari metode sorogan yang digabungkan dengan sistem bandongan secara langsung dan diberikan kesempatan untuk berdiskusi dan argumentasi bagi para santrinya.

Hal yang sangat bereda jika dilihat di pesantren-pesantren lain adalah diskusi dan argumentasi –yang sepertinya— haram hukumnya bagi santri yang menginginkan keselamatan dalam arti keberkahan dari sang guru. Hal itu tidak ditemukan di Dayah Ulee Titi.

Page 36: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 36

Beberapa keunggulan metode sorogan yang diterapkan di Dayah Ulee Titi adalah

1. Terbukti sangat efektif sebagai tahap pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi alim.

2. Metode ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran.

3. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang kiai atau ustadz.

4. Membiasakan santri untuk selalu siap berhadapan dengan guru yang mengajarnya dan memberikan pembelajaran bahwa persiapan sebelum menghadapi guru sangat dibutuhkan.

5. Memberikan pembelajaran bahwa seorang santri harus patuh –tentunya bukan pada hal-hal yang bertentangan—kepada gurunya.

6. Metode pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kiai dengan santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu.

Sementara metode bandongan memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan penerapan metode bandongan di tempat lain. Keunggulan metode bandongan di antaranya: adanya diskusi dan peluang bagi santri untuk berbeda pendapat dengan gurunya setelah melaksanakan metode sorogan. Diskusi dan perbedaan yang terjadi antara santri dan guru tidak menjadi kendala kemajuan buat santri, bahkan dapat menjadi ukuran kematangan pengetahuan seorang santri jika dapat memberikan argumentasi terhadap pandangan yang dikemukakannya. Dalam hal ini santri dituntut membaca referensi selain kitab kuning yang dikaji bersama untuk dapat memberikan wawasan luar selain kitab yang dibaca.

Rekomendasi

Beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah:

Page 37: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan37

1. metode sorogan ini sangat baik diterapkan bagi pendidikan dasar di seluruh bentuk dan tipologi pendidikan, bukan hanya di pesantren namun juga di sekolah-sekolah umum baik di dalam maupun di luar kurikulum.

2. Ketuntasan pembelajaran yang teraplikasikan di Dayah Ulee Titi dengan sistem mengkaji tuntas sebuah kitab, baik untuk diterapkan di berbagai bidang keilmuan lainnya.

3) Metode bandongan yang diterapkan di Dayah Ulee Titi juga dapat ditiru oleh berbagai pesantren lainnya agar tidak menjadikan santri sebagai manusia-manusia penurut tanpa menggunakan rasionalitas yang telah mereka miliki. Kebebasan berpendapat dengan argumentasi hendaknya diberikan ruang yang luas agar kematangan santri dapat tercermin dari pola pikir yang diekspresikan.

-[]-

Catatan

1 Imam al-Ghazali, Fatihah al-Ulum, Epistemology Ilmu Pengetahuan, Terjemahan Indonesia oleh Muhammad Adib, (Jakarta: Media Nusantara, 2006)

2 Keuletan beliau juga ditunjukan dengan mengarang kitab–kitab. Paling tidak ada 17 kitab kecil dan besar beliau yang tercatat, tapi sayang kitab-kitab tersebut tidak dicetak ulang karena ketakutan terjadinya kekeliruan dalam percetakan. Walaupun demikian kitab tersebut tetap menjadi kitab acuan.

3 Ciri Khas Dayah Ulee Titi adalah pimpinannya alim dan beribawa, fanatisme masyarakat sangat kuat, pola hidup sederhana (wara’), berani berkorban untuk mencapai suatu tujuan, mandiri dan indenpenden, tenaga pengajar tidak mendapat imbalan dari ponpes, mareka mengharapkan imbalan di akhirat kelak, Semua fasilitas pondok ditanggung oleh masyarakat, tidak dipungut biaya BP 3 dari santri, penghasilan orang tua santri tergolong menengah ke bawah.

4 Tgk. H. Athaillah Ishaq al-Amiry adalah putra kecil yang telah menerima ilmu dari orang tuanya, bahkan diusia 10 tahun (lahir tahun 1955) sudah sanggup menghafal Alfiah. Konon sulit sekali menemukan anak yang bisa menempuh ilmu setinggi itu. Setelah beranjak usia 17 tahun Dayah Budi Lamno (Aceh Barat) menjadi tempat menimba ilmunya dan tiga tahun sesudahnya pimpinan Ponpes mengangkatnya sebagai Ketua Umum (orang nomor 2 di ponpes). Diangkatnya ke jabatan tersebut bukan karena kharisma seorang Abuya, juga bukan karena beliau sebagai ulama besar, tapi karena ketinggian ilmunya. Setelah enam tahun di Ponpes tersebut kemudian dia melanjutkan ke salah satu Dayah di Aceh Utara selama empat tahun. Setelah beliau selesai dari pondok kemudian Abuyanya memanggilnya pulang untuk mengabdi pada masyarakat dan meneruskan pondok pesantren Dayah Ulee Titi.

Page 38: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 38

5 Hal yang sama juga terjadi di berbagai pondok pesantren seperti Sidogiri; atau Aliyah bagi pesantren-pesantren salaf seperti Lirboyo, Langitan, dll

6Buletin Alkhoirot Edisi Desember 2007, A. Fatih Syuhud, Website: www.fatihsyuhud.com

Page 39: Sorogan

Melalui Metode Sorogan dan Bandongan39

DAFTAR BACAAN

Abdurrahman, Mas’ud, MA., Ph.D, Dari Haramain ke Nusantara;Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

Arifin, As’ad Syamsul, Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-Wejangan Dari Balik Mimbar, BP2M PP. Salafiyah Syafiiyah, Situbondo, 2000.

A’la, Abd, Pembaharuan Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2006.

Al-Ghazali, (terj:Muhammad Adib), Fatihah al-‘Ulum; Efistemologi Pesantren, Media Nusantara, Jakarta, 2006.

Bruinessen Martin Van, NU-Tradisi-Relasi Kuasa-Pencarian Wacana Baru, LKIS, Yogyakarta, 1999.

Dhofier, Zamakhsyari, Ttradisi Pesantren-Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, 1994.

Faely, Greg, Ijtihad Politik Ulama’- Sejarah NU 1952-1967, LKIS, Yogyakarta, 2007.

Hasan, Syamsul A, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, LKIS, Yogyakarta, 2003.

Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia-Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, UMM Press, Malang, 2006.

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004,

Sulton, M dan Khusnurridlo, M., Manajemen Pesantren Dalam Perspektif Global, Laksbang Press, Yogyakarta, 2006.

Geertz, Clifort, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.

Tolkhah, Imam, dan Barizi, Ahmad, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,

Badan Libang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, Edukasi, Volume I Nomor 3 Juli –September & nomor 4 Oktober-Desember. 2003

Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, Lektur Keagamaan, volume I, No 1, 2003.

Page 40: Sorogan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 40

Anni, Catharina, Tri, dkk, Dra, M.Pd.. Psikologi Belajar. UPT UNNES Press, Semarang, 2004

Joyce, B. dan Well, M. Models of Teaching. N.J, Prentice-Hall, Englewood, 1986.