skripsi pram
TRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah menggalakkan
sektor industri dan pertanian. Pertanian sebagai sektor utama dan menjadi andalan
perekonomian negara serta sebagai mata pencaharian yang paling banyak diminati
masyarakat Indonesia. Pertanian merupakan sektor kehidupan manusia yang
pertama dalam mempertahankan hidup serta dasar bagi perkembangan sektor-
sektor lainnya seperti sektor industri dan perdagangan. Sektor pertanian mencakup
sektor peternakan dan perikanan. Ketiga hal tersebut selalu berkaitan dan saling
membutuhkan.
Pertanian sangat penting artinya bagi prospek pembangunan di dunia
Ketiga dan pada tahun-tahun terakhir ini telah diberi prioritas tinggi dalam
perencanaan-perencanaan pembangunan. Telah terbukti bahwa sektor pertanian
memiliki ketahanan dalam menghadapi krisis ekonomi yang menyebabkan
perubahan pola pikir para perencana pembangunan di negara-negara sedang
berkembang. Pertanian juga sebagai sumber penyediaan makanan baik bagi
penduduk pedesaan maupun perkotaan di negara-negara Dunia Ketiga termasuk
Indonesia. Dalam banyak kasus, pertanian juga memberikan bahan ekspor dalam
jumlah besar untuk menunjang devisa negara.
Meskipun dengan teknologi terbatas, petani telah menunjukkan
kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan pertumbuhan penduduk,
diperkenalkannya jenis tanaman baru dan tekanan perdagangan internasional.
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang mendorong
terbentuknya tanah dan tanaman yang sehat dengan melakukan praktik-praktik
budidaya tanaman seperti daur ulang hara pada bahan organik (sisa tanaman),
rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta mengurangi penggunaan pupuk
buatan dan pestisida sintetik
Sebagai suatu negara dengan keanekaragaman hayati yang melimpah,
Indonesia mempunyai peluang yang amat besar dalam mengembangkan sistem
pertanian organik dengan potensi yang dimilikinya di bidang sektor pertanian
1
2
khususnya tanaman buah-buahan. Salah satu produk pertanian tanaman buah
Indonesia adalah tanaman jambu biji. Di luar negeri, jambu biji dikatakan sebagai
buah masa depan karena mulai digemari. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai
buah segar, minuman sari buah serta obat alami untuk diare dan demam berdarah.
Walaupun pemasaran di dalam negeri belum memadai dan peluang ekspor masih
kecil, buah ini memiliki prospek cerah terutama karena nilai gizinya yang baik
dan bentuk serta cita rasa yang eksotik.
Tanaman jambu merupakan tanaman yang berasal dari Brazilia Amerika
Tengah, menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti
Indonesia. Tanaman ini sangat murah dan mudah tumbuh dan berkembang di
segala jenis tanah Indonesia baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi
sehingga banyak yang menganggap tanaman jambu merupakan tanaman asli
Indonesia.
Sebagai contoh, jambu biji yang dibudidayakan di lahan Kusuma
Agrowisata dengan ketinggian tempat ± 800 m diatas permukaan laut (dpl), dapat
tumbuh dan berkembang dengan sangat baik dimana tiap pohon jambu
diperkirakan menghasilkan buah hingga mencapai 100 kg atau 1 kw dalam satu
musim. Hal ini sangat menguntungkan sekali bagi perusahaan, apabila harga per
kg Rp. 6.500,- berarti tiap pohon menghasilkan Rp. 650.000,- dan Kusuma
Agrowisata memiliki ribuan pohon jambu.
Terdapat kebun jambu biji yang sangat prospek untuk dikembangkan
tepatnya di Desa Sukokerto - Kecamatan Sukowono - Kabupaten Jember, seperti
halnya yang dilakukan oleh Kusuma Agrowisata. Tanaman tersebut ditanam pada
lahan dataran dan bukit dengan jenis tanahnya yaitu tanah regosol. Perlu diketahui
bahwa karakteristik tanah regosol (entisol) adalah tanah yang sedikit atau tanpa
perkembangan profil (tanpa proses pedogenik) akibat waktu pembentukan
pendek, tanah ini didominasi oleh pasir sehingga kemantapan agregatnya rendah
(lepas-lepas). Karena unsur lempung pada tanah yang rendah maka tanah ini
rawan erosi sehingga menyulitkan usaha konservasi tanah. Tanaman ini sudah
bertahun-tahun tumbuh dan berkembang, akan tetapi produksinya belum bisa
dipasarkan karena buah yang dihasilkan belum memenuhi standar.
3
Kondisi di sekitar lahan sebagian besar merupakan pemukiman warga dan
lahan persawahan padi, palawija dan tembakau. Tiap warga terkadang memelihara
hewan ternak yaitu sapi pedaging. Hewan ini sangat kaya manfaat diantaranya
daging dapat dikonsumsi oleh manusia, kulit dijadikan bahan sepatu kulit, kotoran
padat dan cair dapat dijadikan sumber hara bagi segala jenis tanaman. Satu ekor
sapi saja menghasilkan kotoran padat ± 15 kg per hari. Di dalam kotoran tersebut
terkandung unsur hara makro dan mikro dalam bentuk senyawa organik yang
kompleks serta berjuta-juta mikroba dekomposer. Peternak biasanya hanya
membuang kotoran dalam kubangan atau mengalirkan lewat selokan dengan
disiram air. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan berupa
bau yang tidak sedap, pencemaran sumber air dan juga penurunan unsur hara
dalam kotoran.
Unsur-unsur tersebut tidak dapat langsung diserap tanaman karena
diperlukan penyederhanaan senyawa menjadi senyawa anorganik melalui proses
dekomposisi yang membutuhkan waktu cukup lama. Organisme perombak bahan
organik memegang peranan penting dalam proses dekomposisi.
Apabila sudah matang, kotoran sapi tersebut dapat digunakan sebagai
pupuk dan efek pemberiannya untuk jangka panjang bagi tanah dan tanaman
sangat baik, sedangkan jangka pendek tidak dapat secara langsung terlihat pada
tanaman. Kekurangan tersebut membuat petani kurang berminat untuk membuat
pupuk organik sendiri, mereka lebih memilih produk instan yang mudah didapat
dan efek pemberiannya dalam jangka pendek terlihat secara langsung pada
tanaman budidaya.
Permasalahan yang harus dihadapi adalah ketersediaan air dan hara dalam
tanah. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dalam pemanfaatan bahan organik dari kotoran sapi segar dalam bentuk
padat dan urine sebagai bahan pemantap tanah dan sumber pupuk bagi tanaman
jambu biji.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, inti
permasalahan dalam penelitian ini mengenai Aplikasi Kotoran Sapi Segar Dan
Urine di Permukaan Regosol Terhadap Ketersediaan Hara di Lahan
Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava .L) yang dirumuskan dalam
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kandungan hara pada lahan tanaman jambu biji sebelum dan
sesudah perlakuan pemupukan.
2. Bagaimana respon tanaman jambu biji terhadap penyerapan hara setelah
pemberian kotoran dan urine sapi segar.
3. Bagaimana perbandingan pengaruh yang ditunjukkan oleh pupuk organik dan
pupuk Urea.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kandungan hara pada lahan tanaman jambu biji sebelum
dan sesudah perlakuan.
2. Untuk mengetahui respon tanaman jambu biji terhadap penyerapan hara
setelah pemberian kotoran dan urine sapi segar.
3. Untuk membandingkan pengaruh yang ditunjukkan oleh pupuk organik dan
pupuk Urea.
1.4 Hipotesis
1. Terjadi perbaikan kandungan hara pada lahan tanamana jambu biji sesudah
perlakuan pemupukan.
2. Peningkatan penyerapan hara oleh tanaman setelah pemberian kotoran dan
urine sapi segar.
3. Pemberian pupuk organik jauh lebih baik pengaruhnya terhadap tanah dan
tanaman dibandingkan pupuk Urea.
5
1.5 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan dengan pemberian pupuk
kotoran sapi dan urine segar dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan
tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi buah dari tanaman jambu biji
(Psidium guajava L.) serta memberikan informasi baru kepada petani tentang
pemanfaatan limbah sapi secara langsung dan dosis pemberian kotoran dan urine
yang tepat.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Sukokerto, Kecamatan Sukowono. Lokasi
lahan tanaman jambu biji berjarak ± 30 km dari pusat kota Jember. Lahan tersebut
merupakan bukit yang berada pada ketinggian ± 285 m dpl dan tanahnya termasuk
jenis tanah regosol karena kaya akan pasir. Beberapa bagian bukit tersebut
dimanfaatkan untuk penambangan pasir. Terdapat kurang lebih 500 pohon jambu
biji merah yang masih produktif, akan tetapi kondisi tanaman sangat merana
karena kurang perawatan dan adanya kompetisi hara dalam tanah dengan tanaman
sengon yang tumbuh disela-sela tanaman jambu biji. Jarak tanam yang digunakan
adalah 3 x 3 m2.
Lokasi geografis berada pada posisi 1130809264 BB - 11308098569 BT
serta 080059007 LU – 080059609 LS (Google Map, 2012). Berdasarkan Peta Zona
Agroekologi Buah-buahan Kabupaten Jember, iklim di daerah Kecamatan
Sukowono termasuk tipe iklim D dengan curah hujan 1500 – 2500 mm/tahun.
Suhu rata-rata 24 – 25oC. Tingkat kesuburan tanah termasuk sedang.
Gambar 2.1 Peta Lahan Penelitian Tanaman Jambu Biji (Sumber : Googlemap)
6
7
2.2 Tanah Regosol
Tanah adalah hasil pengalihragaman bahan mineral dan organik yang
berlangsung di permukaan daratan bumi di bawah pengaruh faktor-faktor
lingkungan yang bekerja dalam waktu yang sangat panjang, dan berwujud sebagai
suatu tubuh dengan organisasi dan morfologi. Pada dasarnya tanah merupakan
tubuh alam. Namun demikian banyak tanah yang memperlihatkan tanda-tanda
pengaruh antropogen (Notohadiprawiro, 1999).
Tanah sebagai tubuh alam mampu menyediakan sejumlah unsur hara
penting yang dibutuhkan oleh tanaman. Unsur hara tersebut akan terserap dan
tersedia kembali dengan adanya proses pelapukan dari seresah tanaman tersebut.
Tanah mempunyai tiga sifat diantaranya sifat fisik, kimia dan biologi. Sifat
fisik dan biologi tanah yang akan diteliti meliputi tekstur, porositas dan total
mikroorganisme tanah.
a. Tekstur
Tekstur tanah adalah perbandingan relative dalam persen (%) antara fraksi
pasir, debu dan liat. Partikel-partikel ini telah dibagi ke dalam grup atau
kelompok-kelompok atas dasar ukuran diameternya, tanpa memandang komposisi
kimia, warna, berat atau sifat lainnya. Kelompok partikel ini pula disebut dengan
“separate tanah”.
Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan daya serap air,
ketersediaan air dalam tanah, besar aerasi, infiltrasi dan laju pergerakan air
(perkolasi). Secara tidak langsung tekstur tanah juga dapat mempengaruhi
perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman serta efisiensi pemupukan (Hakim,
1986).
b. Ruang Pori Total (Porositas)
Ruang pori total adalah volume dari tanah yang ditempati oleh udara dan
air. Persentase volume ruang pori total disebut porositas nilainya berkisar 30 –
60%. Untuk menentukan porositas, contoh tanah ditempatkan pada tempat berisi
air sehingga jenuh dan kemudian cawan ini ditimbang. Perbedaan berat antara
keadaan jenuh air dan cawan yang kering oven merupakan volume ruang pori.
8
Untuk 400 cm3 cawan yang berisi 200 gr (200 cm3) air pada kondisi jenuh
porositas tanahnya akan mencapai 50% (Foth, 1988).
Tanah bertekstur kasar mempunyai persentase ruang pori total lebih
rendah daripada tanah bertekstur halus, meskipun rataan ukuran pori bertekstur
kasar lebih bedar daripada ukuran pori tanah bertekstur halus (Arsyad, 1989).
Berikut kelas porositas tanah.
Tanah-tanah dengan tekstur halus memiliki pori mikro lebih banyak,
sehingga memiliki kapasitas menahan air yang tinggi. Pada tanah yang lembab
dengan drainase baik, ruang-ruang pori yang besar selalu dipenuhi udara dan air
(Foth, 1994).
c. Total Mikroorganisme
Tanah dihuni oleh bermacam-macam mikroorganisme. Jumlah tiap grup
mikroorganisme sangat bervariasi, ada yang terdiri dari beberapa individu, akan
tetapi ada pula yang jumlahnya mencapai jutaan per gram tanah. Mikroorganisme
tanah itu sendirilah yang bertanggung jawab atas pelapukan bahan organik dan
pendauran unsur hara. Dengan demikian mereka mempunyai pengaruh terhadap
sifat fisik dan kimia tanah (Anas, 1989).
Selanjutnya Anas (1989), menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme
yang terdapat didalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah (fertility
indeks), tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur mengandung
sejumlah mikroorganisme, populasi yang tinggi ini menggambarkan adanya suplai
makanan atau energi yang cukup ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai,
ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan
mikroorganisme pada tanah tersebut.
Jumlah mikroorganisme sangat berguna dalam menentukan tempat
organisme dalam hubungannya dengan sistem perakaran, sisa bahan organik dan
kedalaman profil tanah. Data ini juga berguna dalam membandingkan keragaman
iklim dan pengelolaan tanah terhadap aktifitas organisme didalam tanah (Anas,
1989).
Sifat kimia tanah meliputi derajat kemasaman (pH), C-organik, nitrogen,
fosfor, kalium, dan kapasitas tukar kation.
9
a. Derajat Kemasaman Tanah (pH)
pH tanah atau kemasaman tanah atau reaksi tanah menunjukkan sifat
kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH
menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H +) di dalam tanah. Makin
tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Di dalam
tanah selain ion H+ dan ion-ion lain terdapat juga ion hidroksida (OH-), yang
jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya ion H+. Pada tanah-tanah
masam jumlah ion H+ lebih tinggi dibandingakan dengan jumlah ion OH-,
sedangkan pada tanah alkalis kandungan ion OH- lebih banyak dari ion H+. Jika
ion H+ dan ion OH- sama banyak di dalam tanah atau seimbang, maka tanah
bereaksi netral.
Pentingnya pH tanah untuk diketahui, yaitu untuk :
Menentukan mudah tidaknya unsur hara mudah diserap oleh tanaman.
Pada umumnya unsur hara mudah diserap oleh akar tanaman pada pH
tanah sekitar netral, karena pada pH netral tersebut kebanyakan unsur hara
mudah larut di dalam air. Sebagai contoh pada tanah masam unsur P tidak
dapat diserap oleh tanaman karena diikat oleh unsur Al, sedangkan pada
tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena diikat
oleh unsur Ca.
Menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun
Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme (Anonim, 2012a).
b. Bahan Organik
c. Nitrogen (N)
Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5%
bobot tanaman dan berfungsi dalam pembentukan protein (Hanafiah, 2005).
Menurut Hardjowigeno (2003) nitrogen dalam tanah berasal dari :
1. Bahan organik tanah : bahan organik halus dan bahan organik kasar.
2. Pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara.
3. Pupuk
4. Air hujan
10
Kandungan N total umumnya berkisar antara 2 – 4 ton/ha pada lapisan 0 –
20 cm tetapi tersedia bagi tanaman hanya kurang 3% dari jumlah tersebut
(Hardjowigeno, 2003). Manfaat dari nitrogen adalah untuk memacu pertumbuhan
tanaman pada fase vegetative, serta berperan dalam pembentukan klorofil, asam
amino, lemak, enzim, dan senyawa lain. Nitrogen dalam tanah memiliki bentuk
organik dan anorganik. Bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, N2O dan unsur
N.
Bentuk Nitrogen yang dapat digunakan oleh tanaman adalah ion nitrat
(NO3-) dan ion amonium (NH4
+). Ion-ion ini kemudian membentuk material
kompleks seperti asam-asam amino dan asam-asam nukleat yang dapat langsung
diserap dan digunakan oleh tanaman tingkat tinggi. Menurut Mengel dan Kirby
(1987) dalam Anonim (2012b) pada pH tanah yang rendah ion nitrat lebih cepat
diserap oleh tanaman dibandingkan ion amonium, pada pH tanah yang tinggi ion
Amonium diserap oleh tanaman lebih cepat dibandingkan ion nitrat dan pada pH
netral kemungkinan penyerapan keduanya berlangsung seimbang.
Fungsi Nitrogen bagi pertumbuhan tanaman adalah memperbaiki
pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N,
berwarna lebih hijau. Selain itu Nitrogen berfungsi dalam pembentukan protein.
d. Fosfor (P)
Fosfor (P) merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah besar
(hara makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan Nitrogen
dan Kalium. Tetapi fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (Key of life). Unsur
Fosfor di tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral-mineral di
dalam tanah (apatit).
Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfat (H2PO4-) dan ion
ortofosfat sekunder (HPO42-). Menurut Tisdale (1985) dalam Anonim (2012c)
unsur P masih dapat diserap dalam bentuk lain, yaitu bentuk pirofosfat dan
metafosfat, bahkan menurut Thomson (1982) dalam Anonim (2012c) bahwa
kemungkinan unsur P diserap dalam bentuk senyawa oraganik yang larut dalam
air, misalnya asam nukleat dan phitin.
11
Fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion anorganik cepat berubah
menjadi senyawa fosfor organic. Fosfor ini bersifat mobile atau mudah bergerak
antar jaringan tanaman. Kadar optimal fosfor dalam tanaman pada saat
pertumbuhan vegetatif adalah 0.3% - 0,5% dari berat kering tanaman
Fungsi fosfor adalah untuk pembelahan sel, pembentukan albumin,
pembentukan bunga, buah dan biji. Selain itu fosfor juga berfungsi untuk
mempercepat pematangan buah, memperkuat batang, untuk perkembangan akar,
memperbaiki kualitas tanaman, metabolisme karbohidrat, membentuk
nucleoprotein (sebagai penyusun RNA dan DNA) dan menyimpan serta
memindahkan energi seperti ATP. Unsur Fosfor juga berfungsi untuk
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit.
e. Kalium (K)
Kalium (K) merupakan unsur hara utama ketiga setelah N dan P. Kalium
mempunyai valensi satu dan diserap dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong
unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam jaringan tanaman,
maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma.
Kalium pupuk buatan dan mineral-mineral tanah seperti feldspar, mika dan lain-
lain.
Hakim (1986), menyatakan bahwa ketersediaan kalium merupakan kalium
yang dapat dipertukarkan dan dapat diserap tanaman yang tergantung penambahan
dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri dan adanya penambahan dari kaliumnya
sendiri.
Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang
mengandung kalium. Melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik
maka kalium akan larut dan kembali ke tanah. Selanjutnya sebagian besar kalium
tanah yang larut akan tercuci atau tererosi dan proses kehilangan ini akan
dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik. Beberapa tipe tanah
mempunyai kandungan kalium yang melimpah. Kalium dalam tanah ditemukan
dalam mineral – mineral yang terlapuk dan melepaskan ion – ion kalium. Ion –
ion adsorpsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman. Tanah
– tanah organik mengandung sedikit Kalium.
12
Kekurangan kalium pada tanaman menyebabkan turgor tanaman menjadi
berkurang sehingga sel tanaman menjadi lemah (Anonim, 2012d).
f. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat
hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah – tanah dengan kandungan bahan
organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah – tanah
dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir
(Hardjowigeno, 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat
dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh :
1. Reaksi tanah
2. Tekstur atau jumlah liat
3. Jenis mineral liat
4. Bahan organik dan,
5. Pengapuran serta pemupukan.
Soepardi (1983) mengemukakan kapasitas tukar kation tanah sangat
beragam, karena jumlah humus dan liat serta macam liat yang dijumpai dalam
tanah berbeda – beda pula.
Klasifikasi Tanah
Tanah regosol (entisol), yaitu tanah yang sifat-sifatnya didominasi bahan
induk (regolite), merupakan tanah muda dan belum adanya perkembangan profil
tanah, belum terjadi pencucian (eluviasi) dan proses pengendapan atau
pelonggokan (illuviasi) bahan-bahan pembentuk tanah. Tanah regosol kelabu ini
tidak berbatu besar dan terdapat di daerah gumuk pasir loess. Menurut Brady
(1982), tanah regosol adalah tanah yang sangat muda, dengan ciri umum
perkembangan profil kurang nyata dan perkembangannya ditentukan oleh iklim
setempat. Jenis tanah ini mempunyai kandungan bahan organic 1,4% dan nitrogen
0,06% (termasuk rendah), kandungan air dan clay (6,41%) juga rendah, sehingga
penggunaan tanah ini jika digunakan untuk lahan pertanian agak terbatas . Jenis
tanah regosol memiliki solum tanah yang tipis yang akan memperberat beban
tanah untuk menahan terjadinya longsor. Mineral lempungnya tidak aktif sehingga
13
aktivitas pertukaran kation juga tidak aktif, tanah ini mempunyai pH 5 atau lebih
yang berarti tidak masam
Sifat-sifat tanah regosol yang lain adalah bertekstur kasar ditentukan oleh
bahan induknya, struktur kersai dan remah, permeabilitas lambat sampai dengan
sedang, kapasitas pertukaran kation rendah, permeabilitasnya ditentukan oleh
tekstur dan strukturnya. Pengaruh tekstur terhadap permeabilitas cukup besar dan
yang berpengaruh adalah fraksi pasirnya.
Genesis Tanah
Proses pembentukan tanah regosol dipengaruhi oleh faktor-faktor antara
lain iklim yang sangat kering sehingga pelapukan dan reaksi kimia dalam tanah
berjalan sangat lambat. Regosol merupakan jenis tanah yang muda, dimana secara
alami pembentukan tanahnya belum berlangsung. Tidak berlangsungnya proses
pembentukan tanah tersebut dikarenakan faktor dari lingkungan yang tidak
memungkinkan, misalnya iklim dengan suhu rendah dan curah hujan yang tinggi
sehingga mineralisasinya berjalan lambat. Beberapa proses pembentukan tanah
mungkin belum dapat menghasilkan horison penciri tertentu yang dapat
digolongkan dalam ordo tanah selain regosol. Proses tersebut baru dapat
menghasilkan epipedon okhrik, sebagai akibat pembentukan struktur dan
pencampuran bahan organik dengan bahan mineral yang ada di lapisan atasnya.
Makin kasar teksturnya, makin miskin unsur hara, khususnya N, P, K dan Mg.
Potensi
Pada tanah Regosol ini memiliki tekstur geluh berpasir serta struktur halus
sehingga akan mempengaruhi keadaan aerasi dan drainase tanah. Keadaan aerasi
dan drainase pada profil ini cepat. Regosol umumnya cukup mengandung P dan
K yang masih segar yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang rendah atau
masih terbentuk sebagai mineral primer sehingga belum siap untuk diserap oleh
tanaman kandungan bahan organik yang rendah hanya memungkinkan tanah ini
berpotensi untuk ditanami rumput gajah yang merupakan tanaman pakan ternak,
palawija, tanaman jenis hortikultura dan bisa juga tanaman jenis kelapa.
14
2.3 Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L.)
Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu, dalam bahasa
Inggris disebut Lambo guava. Tanaman ini berasal dari Brazilia Amerika Tengah,
menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti Indonesia. Hingga
saat ini telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-daerah Jawa. Jambu biji
sering disebut juga jambu klutuk, jambu siki, atau jambu batu. Jambu tersebut
kemudian dilakukan persilangan melalui stek atau okulasi dengan jenis yang lain,
sehingga akhirnya mendapatkan hasil yang lebih besar dengan keadaan biji yang
lebih sedikit bahkan tidak berbiji yang diberi nama jambu Bangkok karena proses
terjadinya dari Bangkok.
Menurut sistematika Taksonomi termasuk dalam :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Klas : Magnoliopsida
Subklas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava L.
Nama lain : Jambu batu (Indonesia), Jambu klutuk (Indonesia, Jawa,
Sunda), jambu krikil (Jawa), Jambu petakol (Jawa), jambu bayawas (Jawa), jambu
siki (Sunda), jambu bhendher (madura), jambu bighi (Madura), guava (Inggris).
Syarat Tumbuh
Menurut FAO (Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat, 1993:7)
menyatakan bahwa semua tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi
memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yang kemungkinan antara tanaman
yang satu dengan yang lainnya berbeda. Persyaratan tersebut terutama energi
radiasi, temperatur yang cocok untuk pertumbuhannya, kelembaban, oksigen, dan
unsur hara. Persyaratan temperatur dan kelembaban sering digabungkan dan
disebut dengan istilah periode pertumbuhan.
15
Dalam budidaya tanaman jambu biji angin berperan dalam penyerbukan,
namun angin yang kencang dapat menyebabkan kerontokan pada bunga. Tanaman
jambu biji merupakan tanaman daerah tropis dan dapat tumbuh di daerah sub-
tropis dengan intensitas curah hujan yang diperlukan berkisar antara 250 – 4.000
mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan bulan kering mencapai 4 bulan.
Tanaman jambu biji dapat tumbuh berkembang serta berbuah dengan optimal
pada suhu sekitar 15 - 40oC di siang hari (Djaenudin et al, 2000). Kekurangan
sinar matahari dapat menyebabkan penurunan hasil atau kurang sempurna
(kerdil), yang ideal musim berbunga dan berbuah pada waktu musim kemarau
yaitu sekitar bulan Juli - September sedang musim buahnya terjadi bulan
Nopember-Februari bersamaan musim penghujan. Kelembaban udara sekeliling
cenderung rendah karena kebanyakan tumbuh di dataran rendah dan sedang.
Apabila udara mempunyai kelembaban yang rendah, berarti udara kering karena
miskin uap air. Kondisi demikian cocok untuk pertumbuhan tanaman jambu biji.
Tanaman jambu biji sebenarnya dapat tumbuh pada semua jenis tanah
akan tetapi pada jenis tanah yang kaya bahan organik, tanaman ini dapat
menghasilkan buah secara optimal. Tanaman ini tidak toleran pada tanah dengan
salinitas tinggi (Popenoe, 1974). Jambu biji dapat tumbuh baik pada lahan yang
subur dan gembur serta banyak mengandung unsur nitrogen, bahan organik atau
pada tanah yang keadaan liat dan sedikit pasir dengan kedalaman tanah minimum
50 cm. Derajat keasaman tanah (pH) tidak terlalu jauh berbeda dengan tanaman
lainnya, yaitu antara 4,3 - 8,0 dan yang optimum antara 5,0 – 6,0, bila kurang dari
pH tersebut maka perlu dilakukan pengapuran terlebih dahulu. Jambu biji dapat
tumbuh subur pada daerah tropis dengan ketinggian antara 5 – 1.200 m dpl
(Prihatman, 2000).
Tabel 2.1 Persyaratan Penggunaan Lahan Untuk Jambu Biji.Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan
Kelas Kesesuaian LahanS1 S2 S3 N
Temperatur (tc)Temperatur rerata (oC) 22 – 28 28 – 34
18 – 2234 – 4015 – 18
> 40< 15
Ketersediaan air (wa)Curah Hujan (mm)
1000-2000 500 – 10002000 – 3000
250 – 5003000 – 4000
> 250< 4000
16
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan
Kelas Kesesuaian LahanS1 S2 S3 N
Ketersediaan oksigen (oa)Drainase baik, agak
baikagak ter-hambat
terhambat, agak cepat
sangat terhambat cepat
Media perakaran (rc)TeksturBahan kasar (%)Kedalaman tanah (cm)
h, ah, s< 15> 100
h, ah, s15 - 35
75 – 100
ak35 - 5550 – 75
k> 55< 50
Retensi hara (nr)KTK liat (cmol)Kejenuhan Basa (%)pH H2O
C – organik (%)
> 16> 35
5,0 – 6,0
> 1,2
≤ 1620 – 354,5 – 7,06,0 – 7,50,8 – 1,2
< 20< 4,5> 7,5< 0,8
Toksinitas (xc)Salinitas (dS/m) < 4 4 – 6 6 – 8 > 8Sodisitas (xn)Alkalinitas/ESP (%) < 15 15 – 20 20 – 25 > 25Bahaya sulfidik (xs)Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 – 100 40 – 75 < 40Bahaya erosi (eh)Lereng (%)Bahaya erosi
< 8sr
8 – 16r – sd
16 – 30b
> 30sb
Bahaya banjir (fh)Genangan F0 F1 F2 > F3Penyiapan lahan (lp)Batuan di permukaan (%)Singkapan batuan (%)
< 5< 5
5 – 155 – 15
15 – 4015 – 25
> 40> 25
Sumber : Djaenudin et al (2000)
2.4 Pupuk
Pupuk merupakan bahan yang diberikan ke dalam tanah baik yang organik
maupun yang anorganik dengan maksud untuk mengganti kehilangan unsur hara
dari dalam tanah dan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman dalam
keadaan faktor keliling atau lingkungan yang baik. Belum lama berselang, pupuk
secara umum hanya dibagai dua berdasarkan asalnya yaitu pupuk anorganik dan
pupuk organik (Suteja, 1999). Pupuk organik bisa berasal dari sisa tanaman dan
kotoran hewan. Pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan biasa disebut
dengan pupuk kandang.
2.2.1 Pengertian Pupuk Kandang
Pupuk kandang (pukan) didefinisikan sebagai semua produk buangan dari
binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki
17
sifat fisik, dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas
seperti sekam pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut
akan dicampur menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pukan pula. Beberapa
petani di beberapa daerah memisahkan antara pukan padat dan cair.
Beberapa manfaat pupuk organik adalah dapat menyediakan unsur hara
makro dan mikro, mengandung asam humat (humus) yang mampu meningkatkan
kapasitas tukar kation tanah, meningkatkan aktivitas bahan mikroorganisme tanah,
pada tanah masam penambahan bahan organik dapat membantu meningkatkan pH
tanah, dan penggunaan pupuk organik tidak menyebabkan polusi tanah dan polusi
air (Novizan, 2007).
a. Pupuk kandang padat
Pupuk kandang (pukan) padat yaitu kotoran ternak yang berupa padatan
baik belum dikomposkan dalam keadaan segar maupun sudah dikomposkan
sebagai sumber hara terutama N bagi tanaman dan dapat memperbaiki sifat kimia,
biologi, dan fisik tanah.
Kotoran ternak sapi akan memperbaiki sifat fisik dan agregat tanah,
meningkatkan kapasitas tukar kation serta kandungan air tersedia karena setiap
kenaikan 1% bahan organik akan meningkatkan kapasitas lapang top soil lahan
2,5% sehingga dapat menurunkan laju erosi (Jo, 1990).
Penanganan pukan padat akan sangat berbeda dengan pukan cair.
Penanganan pukan padat oleh petani umumnya adalah sebagai berikut: kotoran
ternak besar dikumpulkan 1-3 hari sekali pada saat pembersihan kandang dan
dikumpulkan dengan cara ditumpuk di suatu tempat tertentu. Petani yang telah
maju ada yang memberikan mikroba dekomposer dengan tujuan untuk
mengurangi bau dan mempercepat pematangan, tetapi banyak pula yang hanya
sekedar ditumpuk dan dibiarkan sampai pada waktunya digunakan ke lahan.
Crowder dan Chheda (1982) mengungkapkan terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa seekor sapi perah menghasilkan 25 kg feses dan 10 kg urine
per ekor per hari. Kotoran sapi segar mengandung sekitar 0,38% N; 0,18% P2O5
18
dan 0,22% K2O, ekuivalen dengan 650-850 kg N, 125-400 kg P dan 150-170 kg
K/ha/tahun.
Tisdale et al. (1985) menyatakan keuntungan yang didapat pada
penggunaan kotoran ternak terhadap kesuburan tanah, yaitu : (1) merupakan
sumber nitrogen; (2) merupakan sumber fosfor tersedia dan mikronutrien lain
yang dibutuhkan tanaman; (3) meningkatkan kelembaban tanah; (4) memperbaiki
kemampuan tanah dalam mengikat air; (5) meningkatkan kandungan CO2 pada
tanaman di bawah naungan; (6) meningkatkan kapasitas buffer; dan (7)
menurunkan tingkat keracunan dari Al3+.
Tabel 2.2 Kadar Hara Beberapa Bahan Dasar Pupuk Organik Sebelum Dikomposkan.
Tabel 2.3 Jenis dan Kandungan Hara Beberapa Kotoran Ternak Padat dan Cair.
Nama ternak dan bentuk kotorannya
Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%)
Kuda –padat 0.55 0.30 0.40 75
Kuda –cair 1.40 0.02 1.60 90
Kerbau –padat 0.60 0.30 0.34 85
Kerbau –cair 1.00 0.15 1.50 92
Sapi –padat 0.40 0.20 0.10 85
Sapi –cair 1.00 0.50 1.50 92
Kambing –padat 0.60 0.30 0.17 60
Kambing –cair 1.50 0.13 1.80 85
Domba –padat 0.75 0.50 0.45 60
19
Nama ternak dan bentuk kotorannya
Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%)
Domba –cair 1.35 0.05 2.10 85
Babi – padat 0.95 0.35 0.40 80
Babi –cair 0.40 0.10 0.45 87
Ayam –padat dan cair 1.00 0.80 0.40 55
Sumber: Lingga, 1993
Kotoran ternak dan limbah organik lainnya secara alami banyak
mengandung mikroorganisme yang dapat merombak bahan kompos (Rynk et al.,
1992). Tiap gram kotoran ternak mengandung kira-kira 37.600 juta bakteri
(Sutedjo, 1991). Selama proses pengomposan mikroba yang berperan adalah
bakteri, protozoa dan jamur dari kelompok mesofil dan termofil. Bakteri dalam
hal ini selalu dominan walau temperatur berubah (Rynk et al., 1992).
Dekomposisi merupakan proses yang paling penting dikarenakan terjadi
penurunan rasio C/N dan penguraian lignin pada kotoran sapi yang diakibatkan
oleh aktivitas mikroba pengurai hingga mencapai tingkat yang sesuai untuk
pertumbuhan tanaman (Djaja, 2008). Biasanya waktu pematangan berlangsung
selama satu bulan (Rynk et al., 1992).
Secara umum proses dekomposisi berjalan baik yang dicirikan oleh
terjadinya fase-fase progresif degradasi. Fase termofilik (peningkatan suhu tinggi,
>40oC) yang merupakan fases penting dalam proses perombakan bahan organik
secara aerob (Zibilske, 1997; Diaz et al., 1993; FAO, 2003). Dekomposisi aerobik
merupakan modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau
biologi bahan organik dengan kehadiran oksigen.
Secara teknis, transformasi bahan organik tidak-stabil menjadi bahan
organik stabil (kompos matang) ditandai oleh pembentukan panas dan produksi
CO2. Selam proses dekomposisi, komposisi populasi mikroba berubah dari tahap
mesofilik (suhu 20-40oC) ke tahap termofilik (suhu bisa mencapai 80oC), dan
terakhir tahap stabilisasi atau pendinginan. Mikroba mesofilik memulai
dekomposisi substrat mudah hancur seperti protein, gula dan pati yang selanjutnya
digantikan oleh mikroba termofilik yang secara cepat merombak substrat organik.
Pada tahap akhir stabilisasi, jumlah populasi mikroba meningkat. Panas yang
20
timbul selama fase termofilik mampu membunuh mikroba pathogen (≥55oC) dan
benih gulma (≥62oC) (FAO, 2003).
Sampai minggu keempat masa pengomposan (masa inkubasi), tekstur
kompos umumnya sudah lunak walaupun pada beberapa bagian masih agak kasar
dengan warna coklat tua. Hampir semua substrat kompos ditumbuhi hifa jamur
berwarna putih yang terlihat sejak minggu pertama masa pembalikan kompos.
Perbedaan sifat biofisik yang kontras terdapat pada aroma kompos yang bervariasi
dari aroma alkohol (fermen) sampai aroma ammonia atau tengik yang mengarah
pada pembentukan senyawa intermediet seperti H2S, asam-asam organik dan
fenolat yang dalam beberapa kasus berpotensi toksik bagi tanaman (Butler et al.,
2001; Samekto, 2006).
Keunggulan sistem ini adalah kotoran ternak menjadi lebih cepat
terdekomposisi jika dibandingkan dengan sistem tertutup (dekomposisi anaerob).
Kelemahannya adalah bau kotoran akan terbawa angin sehingga kemungkinan
akan menyebar (Setiawan, 2008). Bau tidak sedap tersebut merupakan ammonia
yang dilepaskan saat proses dekomposisi akibat dari kelebihan N, namun hal
tersebut dapat diminimalkan dengan menambahkan bahan campuran jerami padi
atau bahan organik lain yang mengandung sedikit N sehingga penguapan
ammonia dapat diminalisir (Djaja, 2008).
b. Pupuk kandang cair
Pupuk kandang (pukan) cair merupakan pukan berbentuk cair berasal dari
kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urine hewan atau
kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dalam perbandingan tertentu. Umumnya
urine hewan cukup banyak dan yang telah dimanfaatkan oleh petani adalah urine
sapi, kerbau, kuda, babi, dan kambing. Urine yang dihasilkan ternak dipengaruhi
oleh makanan, aktifitas ternak, suhu eksternal, konsumsi air, musim dan lain
sebagainya. Banyaknya feses dan urine yang dihasilkan adalah sebesar 10% dari
berat ternak. Rasio feses sapi potong 2,4:1 (71% feses, 29% urine).
21
Menurut Rohmat (2009), air kencing dari satu ekor sapi mampu
menyuburkan sekitar empat hektare sawah yang setiap hektarenya bisa
menghasilkan enam hingga delapan ton padi atau gabah.
Urine sapi juga dapat mencegah datangnya berbagai hama tanaman karena
baunya yang khas dan menyengat bagi organisme pengganggu tanaman (Naswir,
2003). Selain itu, urine sapi memiliki kandungan N, P, dan K yang tergolong
tinggi, lebih tinggi dibandingkan urine ternak lain maupun kotoran padat sapi
tersebut (Lingga, 1993).
Menurut Suteja (1999), kandungan unsur hara urine yang dihasilkan ternak
tergantung mudah atau sukarnya makanan dalam perut hewan dapat dicerna.
Kandungan kimia urine sapi adalah N (1,4 - 2,2 %), P (0,6 - 0,7%), dan K (1,6 -
2,1%). Urine sapi memang memiliki bau yang khas dan tidak sedap, namun bagi
petani manfaatnya jauh lebih besar dari pada baunya. Zat-zat unsur hara di dalam
pupuk cair berupa urine murni tersedia bagi tanaman, sebagian langsung dapat
diserap dan sebagian dapat diurai dengan cepat. (Sosrosoedirdjo et al., 1981).
Urine sapi bersifat menolak hama atau penyakit pada tanaman. Urine sapi secara
ilmiah mengandung zat pengatur tumbuh yaitu auxin (Solikun dan Masdiko dalam
Mardalena, 2007).
Tabel 2.4 Kandungan Hara Urine Ternak
22
Tabel 2.5 Beberapa Sifat Urine Sapi Sebelum dan Sesudah Difermentasi.pH N P K Ca Na Fe Warna Bau
Sebelum ferm.
7,2 1,1 0,5 0,9 1,1 0,2 3726 kuning menyengat
Sesudah ferm.
8,7 2,7 2,4 3,8 5,8 7,2 7692 hitam kurang
Sumber : Naswir, 2003.
Fungsi auxin pada tanaman antara lain merangsang pertumbuhan dan
mempertinggi persentase timbulnya bunga dan buah, mendorong partenokarpi
yaitu suatu kondisi dimana tanaman berbuah tanpa fertilisasi atau penyerbukan,
mengurangi gugurnya buah sebelum waktunya, serta mematahkan dominasi
pucuk atau apical yaitu suatu kondisi dimana pucuk tanaman atau akar tidak mau
berkembang (Nazwir dalam Mardalena, 2007). Auxin IAA (Indole-3-Acetid Acid)
dengan rumus bangun C10H9O2N dapat mempengaruhi masa vegetative dan
reproduktif pada tanaman, mempunyai peranan pembelahan sel, pembesaran sel
dan diferensiasi sel
CH2 - COOH
Asam Indolasetat (IAA)Gambar. 2.2 Struktur Auxin (Heddy, 1989).
2.2.2 Pupuk Anorganik
Pupuk anorganik atau pupuk buatan adalah pupuk yang sengaja dibuat
oleh manusia dalam pabrik dan mengandung unsur hara tertentu dalam kadar
tinggi. Pupuk anorganik digunakan untuk mengatasi kekurangan mineral murni
dari alam yang diperlukan tanaman untuk hidup secara wajar (Anonim, 2011b).
a. Pupuk Nitrogen (N)Pupuk Nitrogen (N) sering digunakan di daerah agrikultur untuk
meningkatkan dan memperbaiki kualitas hasil panen tanaman. Tujuan utama
penggunaan pupuk N secara efektif adalah untuk mencapai hasil maksimum
tanaman yang banyak dikembangkan di negara berkembang. Salah satu dari
pupuk-pupuk N adalah urea yang banyak digunakan karena biayanya yang rendah
23
per satuan N-nya. Ketika urea ditaburkan pada laha, urea terhidrolisasi menjadi
ammonium melalui aktivitas enzim urease secara ekstraselular (Kumar dan
Wagenet, 1984).
Urea (carbamide) merupakan padatan kristalin putih dengan rumus kimia
CO(NH2)2, yang sebagian besar kandungannya adalah nitrogen. Urea ini biasanya
dalam bentuk curah dan butiran. Senyawa urea memiliki berat jenis 1,3 g/l dengan
titik leleh 133 oC. urea larut dalam air tetapi tidak larut dalam pelarut organik.
Senyawaan nitrogen ini juga merupakan produk akhir dari metabolism yang
disekresikan oleh mamalia, dan disintesis dalam daur urea (reaksi biokimia yang
mengubah ammoniak menjadi urea). Urea juga disintesis dalam skala industri dari
amoniak dan karbondioksida untuk digunakan dalam resin urea-formaldehid
(resin sintetik yang mengandung gugus ulang (-NH-CO-O-) dan obat-obatan,
pupuk nitrogen.
Gambar 2.3 Struktur Urea (Carbamide)
Urea merupakan material kering dalam bentuk butiran atau curah, urea-N
secara cepat terhidrolisis menjadi NH4+. Pupuk ini sering digunakan untuk aplikasi
langsung dalam pupuk campuran, dan dalam larutan nitrogen. N (Nitrogen) yang
pada aplikasi ini berwujud sebagai urea-N, dan sekitar 66% dari urea-N
dihidrolisa menjadi Ammonia-N dalam penggunaan 1 hari hingga 1 minggu.
Reaksi urea terhidrolisis dalam air sebagai berikut:
CO(NH2) 2 (urea) + H2O 2NH4+ + CO32- (1)
Menurut Indranada (1985), sebelum terjadi hidrolisis, urea mudah
bergerak bebas sama dengan nitrat dan dapat tercuci ke bawah daerah perakaran
dengan adanya air hujan dan struktur tanah yang memungkinkan, yaitu tanah
kurang mampu menahan air (daya serapnya kecil/rendah). Amonium dalam tanah
dapat hilang atau mengalami volatilisasi dalam bentuk gas NH3. Volatilisasi
24
terjadi bila amonium dalam larutan alkalin yaitu bila NH4+ atau urea diaplikasikan
pada tanah kapuran. Keseimbangan antara dua bentuk kimia yang terjadi adalah :
Ca(OH)2 + CO(NH2)2 -> 2NH4OH + CaCO3
2NH4OH -> NH3 + H2O
NH3 + H2O -> NH4+ + OH-
Pemberian pupuk N dosis tinggi menyebabkan kadar N yang tinggi
terdeteksi di dalam aliran air permukaan dan menyebabkan peningkatan di dalam
konsentrasi N total aliran. Umumnya, kehilangan N disebabkan sebagian besar
oleh denitrifikasi, NH3 atau mobilisasi pada N organik sebagai residu tanaman
atau mikroorganisme. Ukuran N organik biasanya dalam jumlah besar dari jumlah
N anorganik di dalam lahan (Broadbent, 1981).
Kebanyakan studi-studi sejenis yang dipublikasikan memiliki temuan yang
serupa (eg., Diez et al., 1994; Perez et al., 2003) pemupukan konvensional (urea)
mempengaruhi pencemaran lebih besar. Praktek-praktek agrikultur konvensional
adalah salah satu penyebab utama pencemaran NO3, disamping itu juga akibat
pemupukan dengan pupuk nitrogen ditemukannya kandungan nitrogen di badan
air, dikarenakan pengawasan aliran sistem irigasi genangan yang tidak cermat,
serta dosis penggunaan pupuk urea yang tidak rasional, mempercepat pelarutan
NO3 (Diez et al., 1994). Ditegaskan bahwa bergeraknya NO3-N dari zone akar
menyebabkan kerugian secara ekonomi karena N ini tidak bisa digunakan untuk
pertumbuhan tanaman (Timmons dan Dylla, 1981). Jika NO3-N terakumulasi
dilapisan air bawah tanah, memiliki potensi membahayakan lingkungan jika air
itu digunakan langsung oleh penduduk (Khadijah dan Chaerun, 2008).
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di lahan tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto,
Kecamatan Sukowono dan dilakukan analisa tanah di Laboratorium Kesuburan
Tanah, Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah serta Laboratorium Biologi
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember mulai bulan April sampai dengan
Agustus 2012.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah urine sapi, feses
sapi dan air. Bahan yang digunakan di laboratorium adalah Hidrogen peroksida
(H2O2); aquades; larutan buffer pH 4,0 dan 7,0; KCl 1 M; .
3.2.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah Global
Positioning System (GPS), pita warna, timbangan gantung, gerobak sorong,
cangkul, timba, jurigen, kantong plastik, ring sampel, pisau lapangan, hammer,
balok kayu dan roll meter.
Peralatan yang digunakan di laboratorium adalah pH meter, tabung reaksi,
neraca analitik, pipet, alat hidrometer tanah tipe 152 H, ball pipet, beaker glass,
gelas ukur, colony counter, vortex, bunsen, seperangkat alat destruksi dan
destilasi, flamephotometer, spectrophotometer.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa perlakuan pada tanaman, metode
survei lapangan, analisa kandungan hara pada kotoran sapi segar padat dan cair,
analisa contoh tanah dan analisa jaringan tanaman di laboratorium. Dalam metode
survei lapangan dilakukan pengukuran ketinggian tempat, penentuan lokasi dan
pengambilan contoh tanah secara terusik dan tidak terusik. Kandungan hara dalam
25
26
kotoran sapi segar yang dianalisa berupa unsur C-organik, N, P dan K. Analisa
contoh tanah di laboratorium meliputi sifat fisik tanah (penetapan tekstur tanah,
bulk density (BV), berat jenis partikel (BJP), total pori tanah (porositas); sifat
kimia tanah (pH, KTK, C-organik, N total, P, K) dan sifat biologi tanah (total
mikroorganisme tanah).
3.3.1 Rancangan Percobaan
Aplikasi pemupukan yang dilakukan dalam penelitian ini menerapkan
prinsip lima tepat pemupukan, yaitu tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu
dan tepat tempat. Aplikasi pemupukan dilakukan selama 60 hari. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 7 perlakuan dan 6 ulangan.
Tanaman jambu biji akan mendapat perlakuan berupa pemberian kotoran sapi
segar dalam bentuk padat (feses) dan urine sapi dengan dosis pemberian seperti di
bawah. Untuk membedakan tiap perlakuan digunakan 6 pita dengan warna
berbeda.
Perlakuan :
Perlakuan 1 (P1) : Kotoran sapi segar padat dengan dosis 25 kg/tanaman (kuning)
Perlakuan 2 (P2) : Kotoran sapi segar padat dengan dosis 50 kg/tanaman (hijau)
Perlakuan 3 (P3) : Kotoran sapi segar padat dengan dosis 100 kg/tanaman (pink)
Perlakuan 4 (P4) : Urine sapi dengan dosis 48 liter/tanaman (tosca)
Perlakuan 5 (P5) : Urine sapi dengan dosis 95 liter/tanaman (ungu)
Perlakuan 6 (P6) : Urine sapi dengan dosis 190 liter/tanaman (oranye)
Pembanding : Urea 45% dengan dosis 1,78 kg/tanaman
Perlakuan pembanding diberikan dua kali pada hari ke-1 dan ke-20 sesuai
dosis yang dibagi rata. Pupuk Urea ditempatkan di empat lubang yang telah dibuat
di sekitar tanaman jambu, lalu lubang tersebut ditutup dengan tanah. Perlakuan
P1, P2 dam P3 diberikan dua kali pada hari ke-1 dan ke-30 sesuai dosis yang
dibagi rata, sedangkan perlakuan P4, P5 dan P6 diberikan bertahap pada hari ke-1,
ke-10, ke-20 dan ke-30 sesuai dosis yang dibagi rata. Perlakuan P1, P2 dan P3
diberikan keliling di atas permukaan tanah sekitar batang tanaman jambu biji
dengan jarak 10 cm. Khusus untuk perlakuan P1, P2 dan P3, satu minggu setelah
27
perlakuan kotoran yang telah kering dicampur aduk dengan tanah. Perlakuan P4,
P5 dan P6 diberikan secara langsung ke tanaman jambu biji dengan cara
menyiram.
Gambar 3.4 Penempatan Kotoran Sapi
(gbr kiri : tampak samping; gbr kanan : tampak atas)
3.3.2 Persiapan Bahan Penelitian
Peninjauan lokasi secara langsung di lapang perlu dilakukan oleh penulis
dan dosen pembimbing karena lahan jambu biji berada jauh dari pusat kota
Jember. Dalam peninjauan lokasi penelitian dilakukan pengukuran ketinggian
tempat, pencatatan koordinat lokasi, pengambilan sampel tanah dan daun serta
28
buah tanaman jambu biji. Data ketinggian tempat merupakan salah satu kriteria
kesesuaian lahan yang nantinya akan memberikan informasi cocok atau tidaknya
tanaman jambu biji ditanam pada lahan tersebut. Data koordinat lokasi merupakan
sumber informasi bagi penulis, dosen pembimbing dan pembaca yang ingin
berkunjung ke lokasi, dengan mencocokkan data koordinat lokasi ke peta digital
nantinya akan menunjukkan lokasi dan arah untuk menuju ke lahan. Sampel tanah
diambil pada tiap-tiap tanaman dengan metode ring sampel dan terusik.
Selanjutnya sampel tanah tersebut dianalisa sifat fisik dan kimianya.
Sampel daun digunakan untuk analisa jaringan tanaman. Teknik
pengambilan sampel daun, yaitu daun muda diambil yang telah membuka
sempurna berwarna hijau muda berada di ujung batang.
Kotoran sapi segar padat dan urine diambil dari peternak sapi perah di
daerah Perumahan Bumi Mangli. Sebelum diaplikasikan ke lahan, diambil sampel
pada kotoran sapi segar padat dan urine untuk dianalisa kandungan hara. Kotoran
sapi segar ditimbang terlebih dahulu sebelum diaplikasikan menggunakan
timbangan gantung. Urine sapi menyesuaikan wadah yang digunakan diantaranya
timba 12 dan 18 liter serta jurigen 10 dan 30 liter
3.3.3 Analisa Laboratorium
Tanah dianalisa sifat fisiknya meliputi penetapan tekstur tanah dengan
metode hydrometer, penetapan porositas tanah dan konduktivitas hidrolik. Analisa
sifat biologi meliputi total mikroorganisme tanah. Kemudian tanah dan jaringan
tanaman dianalisa sifat kimianya pada hari ke-1; hari ke-30 dan hari ke-60.
Analisa Pupuk Organik dengan menggunakan kadar N-total, kadar C-organik
(Walkey & Black) dan penetapan P, K total. Analisa sifat kimia meliputi pH H2O
dan pH KCl dengan mengunakan pH-meter, KTK, C-organik dengan metode
Kurmis (kolorimeter), Nitrogen dengan metode Kjeldahl, fosfor (P-Total) dengan
metode Bray I dan Olsen diukur langsung secara kolorimetri dengan
pewarnaan biru molibden pada spectrophotometer dengan
panjang gelombang 693nm dan kalium yaitu K-Total diukur dengan
29
flamephotometer. Analisa jaringan tanaman dilakukan untuk mengetahui
kandungan N, P, K dan C-organik.
Data penelitian yang diperoleh dari analisa laboratorium diolah menjadi
data statistic dengan Analisis Varians. Apabila galat percobaan tidak menyebar
menurut sebaran normal maka dilakukan transformasi data menggunakan metode
transformasi √ x. Selanjutnya, apabila data yang diperoleh berbeda nyata maka
akan dilanjutkan dengan pengujian Tukey (HSD 5%).
Tabel 3.1 Kriteria penilaian hasil analisis tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005)
Parameter tanah *Nilai
Sangat rendah
Rendah Sedang TinggiSangat tinggi
C (%) <1 1-2 2-3 3-5 >5N (%) <0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25P2O5 HCl 25% (mg/100g) <15 15-20 21-40 41-60 >60P2O5 Bray (ppm P) <4 5-7 8-10 11-15 >15P2O5 Olsen (ppm P) <5 5-10 11-15 16-20 >20K2O HCl 25% (mg/100g) <10 10-20 21-40 41-60 >60KTK/CEC (me/100 g tanah) <5 5-16 17-24 25-40 >40Susunan kationK (me/100 g tanah) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 >1
Sangat masam
MasamAgak
masamNetral
Agak alkalis
Alkalis
pH H2O <4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5
Sifat Fisika Rendah Sedang Tinggi
Porositas (%) 5 – 10 11 – 15 >15
30
*Penilaian ini hanya didasarkan pada sifat umum secara empiris
Tabel 3.7 Kelas Porositas Tanah
Porositas (%) Kelas
100 Sangat Porus
80 – 60 Porus
60 – 50 Baik
50 – 40 Kurang Baik
40 – 30 Jelek
< 30 Sangat Jelek
Sumber : Arsyad, 1989
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pupuk yang akan diberikan dalam penelitian terlebih dahulu dianalisa
kandungan hara diantaranya pH, C-organik dan NPK karena nilai unsur N
merupakan acuan perhitungan jumlah pupuk yang akan diberikan. Selanjutnya
analisis fisika tanah, kimia tanah dan jaringan serta biologi tanah dilakukan secara
bertahap, yaitu satu bulan sekali. Analisis fisika tanah, kimia tanah dan jaringan
dilakukan sebelum aplikasi, hari ke – 30 dan hari ke – 60, sedangkan analisis
biologi tanah dilakukan pada awal dan akhir aplikasi.
Penelitian yang dilakukan adalah memupuk tanaman jambu biji dengan
pupuk organik yang kurang lazim digunakan oleh petani. Pupuk organik tersebut
terdiri dari kotoran sapi segar dan urine sapi segar yang langsung diaplikasikan ke
tanaman tanpa proses dekomposisi. Kedua bahan tersebut dianggap kurang aman
apabila diberikan ke tanaman karena hara yang terkandung di dalamnya masih
berbentuk senyawa organik, perlu proses dekomposisi menjadi senyawa
anorganik agar hara dapat terserap tanaman. Selama proses dekomposisi,
dihasilkan energi atau panas yang dapat menyebabkan temperatur di dalam tanah
meningkat sekaligus dapat mempengaruhi kinerja akar tanaman dalam menyerap
hara. Namun dari awal hingga akhir penelitian tidak ada tanda-tanda tanaman
mengalami gangguan akibat proses dekomposisi bahan organik.
4.1 Karakteristik Tanah Regosol Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Karakteristik tanah awal lahan jambu biji Desa Sukokerto Kecamatan
Sukowono dari hasil analisa pendahuluan disajikan dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Karakteristik Tanah Regosol
Karakteristik Nilai Keterangan*Kerapatan Massa (BV) 1,24 g/cm3
Kerapatan Partikel (BJP) 2,51 g/cm3
Porositas 50,43 %Tekstur : Sand 2,76 % Loamy sand Silt 82,72 % (Pasir bergeluh) Clay 14,52 %pH : H2O 5,9 Agak masam
31
32
Karakteristik Nilai Keterangan* KCl 4,9 MasamC-organik 0,74 % Sangat rendahN-total (metode KJdahl) 0,19 % RendahP-tersedia (metode Bray) 2,3 ppm Sangat rendahK-tersedia 0,20 me/100 g tanah RendahKTK 11,20 me/100 g tanah Rendah
*) Sumber Kriteria : Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005
Berdasarkan data awal analisa fisika, tekstur tanah di lahan jambu biji di
Desa Sukokerto didominasi oleh fraksi sand dengan nilai rata-rata 82,72%,
sedangkan fraksi clay 2,76% dan fraksi silt 14,52%. Berdasarkan segitiga tekstur
termasuk ke dalam kelas Loamy sand (Pasir begeluh). Tanah tersebut tergolong
pada jenis tanah regosol atau tanah pasiran dengan ciri porositas tinggi,
kandungan hara rendah, dan memiliki pH berkisar 5 atau lebih. Nilai Kerapatan
Volume (BV) dan Berat Jenis Partikel (BJP) yang rata-rata 1,24 g/cm3 dan 2,66
g/cm3 merupakan tergolong nilai untuk jenis tanah mineral. Tanah pada lahan
tersebut memiliki porositas yang sangat baik dengan nilai rata-rata 53,28% akan
tetapi kemampuan tanah untuk menahan air sangat buruk. Besarnya nilai porositas
pada tanah ini menyebabkan kemampuan tanah untuk menahan air sangat rendah.
Terbukti pada saat musim kemarau, tanah ini terlihat kering dan sulit untuk
mendapat air. Kandungan hara dalam tanah juga rendah sehingga perlu
meningkatkan kesuburan tanah melalui pemupukan.
Berdasarkan data awal analisa kimia, derajat kemasaman (pH) tanah
jambu ini rata-rata 5,9. pH tersebut ideal bagi budidaya tanaman salah satunya
jambu biji ini karena kadar hara dalam tanah baik makro maupun mikro tersedia
dalam jumlah yang optimal. Aktivitas mikroorganisme pun optimal serta sifat-
sifat kimia lainnya juga optimal sehingga berdasarkan kelas kesesuaian lahan
untuk tanaman jambu biji tergolong kelas S1. Selisih antara nilai pH H2O dan pH
KCl (ΔpH) rata-rata adalah -1,0. Nilai tersebut menjelaskan bahwa tanah jambu
tersebut bermuatan negatif dan tetap karena nilainya lebih dari ± 0,5 sehingga
nantinya tidak membutuhkan biaya yang besar untuk menaikkan pH. Kandungan
hara yang tersedia dalam tanah rata-rata tergolong rendah, yaitu 0.19% N; 0,74%
C-organik; 0,00023% P dan 0,008% K serta KTK 11,20 me/100 g tanah.
33
Kekurangan hara merupakan masalah dalam hal kesuburan tanah dilihat
dari aspek kimia tanah maka perlu penambahan input dari luar berupa pupuk baik
secara organik atau anorganik. Pemupukan dengan pupuk anorganik dalam jangka
pendek dapat memenuhi hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman tersebut. Akan tetapi, dampak jangka
panjang dalam penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus terhadap tanah
sangat buruk karena residu yang dihasilkan akan mencemari lingkungan baik
tanah itu sendiri dan air. Apabila hal tersebut terjadi akan membahayakan
makhluk hidup di sekitar lahan tersebut.
Lain halnya dengan penggunaan pupuk organik yang memberikan dampak
jangka panjang dalam membenahi kualitas tanah dan menambahkan hara tanah
secara bertahap serta memberikan hasil yang baik dalam budidaya tanaman.
4.2 Hasil Pengamatan Fisik Tanaman dan Tanah
Aplikasi pemberian kotoran sapi segar dan urine segar selama ± 30 hari
telah dilakukan. Tanaman setiap harinya membutuhkan air untuk metabolisme
tubuhnya, di lahan tersebut belum ada sumur untuk pengairan. Kami hanya
mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan tanaman tersebut. Kondisi
tanaman sebelum aplikasi sangat merana akan tetapi beberapa tanaman muncul
kuncup bunga bahkan berbuah. Buah kurang bagus banyak terserang lalat buah.
Berbagai pengamatan telah dilakukan setiap 10 hari sekali dengan melihat
dari sisi fisiologi tanaman khususnya daun tanaman, yang diberi perlakuan
kotoran sapi segar dan urine segar serta kondisi kotoran sapi yang diberikan ke
tanaman. Pengamatan ini bukan menjadi parameter dalam penulisan tugas akhir
ini, hanya sebagai informasi tambahan untuk melengkapi data-data yang dijadikan
parameter sehingga hasilnya akan lebih akurat.
Pada hari ke-1 tanaman diberi perlakuan kotoran sapi segar (kondisi basah
berwarna hijau rumput) separo dosis yang telah ditentukan diantaranya, 25; 50
dan 100 kg/tanaman, karena perlakuan tersebut diberikan dua kali pada hari ke-1
dan ke-30. Selain itu, tanaman jambu juga diberi perlakuan urine sapi segar
seperempat dosis yang telah ditentukan diantaranya, 48; 95 dan 190 liter/tanaman,
34
karena perlakuan tersebut diberikan empat kali pada hari ke-1, ke-10, ke-20 dan
ke-30. Sebelum aplikasi kotoran sapi segar ditimbang menggunakan timbangan
gantung, sedangkan untuk urine sapi segar pengukuran menggunakan timba 12
dan 18 liter/tanaman serta jirigen 10 dan 30 liter/tanaman. Dalam penelitian ini
dilakukan pula pemupukan Urea dengan dosis 1,78 kg/tanaman sebagai perlakuan
pembanding antara perlakuan pupuk organik dengan anorganik. Urea diberikan
dua kali pada hari ke-1 dan ke-20 sesuai dosis yang dibagi rata.
Selanjutnya, pada hari ke-7 perlakuan tersebut dilakukan pencampuran
dengan tanah tanaman jambu. Kondisi kotoran sapi pada hari ke-7 permukaan luar
berwarna coklat tua seperti warna tanah, akan tetapi kondisi dalam masih basah
dan warna hijau rumput berangsur berubah menjadi coklat. Tidak ada perubahan
pada tanah yang diberi perlakuan urine sapi segar.
Pada hari ke-10, aplikasi yang dilakukan hanya pemberian perlakuan urine
sapi segar tahap II. Sebelum urine tersebut disiram, tanah dicangkul keliling
dengan jarak ± 60 cm dari batang tanaman. Lingkar terluar ditinggikan dengan
tanah agar saat menyiram urine tidak mengalir jauh dari batang tanaman.
Beberapa hal dapat diamati pada waktu ini, diantaranya tanaman yang mendapat
perlakuan urine segar dengan dosis 190 liter/tanaman mulai menunjukkan hasil
dimana tunas daun tumbuh lebih banyak dibanding dengan perlakuan urine
dengan dosis berbeda dan kotoran sapi segar. Untuk tanaman dengan perlakuan
kotoran sapi segar dan Urea belum menunjukkan reaksi.
Pada hari ke-20, pemberian perlakuan urine sapi segar tahap III dilakukan
serta pemupukan Urea tahap terakhir diberikan ke tanaman. Tanaman yang telah
berbuah mendapatkan perlakuan khusus, yaitu dibungkus dengan plastik sebagai
langkah antisipasi serangan dari lalat buah. Di hari ini, untuk perlakuan kotoran
sapi segar dengan dosis tertinggi, yaitu 100 kg/tanaman menunjukkan hasil
dimana tunas daun bermunculan akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak perlakuan
urine sapi segar 190 liter/tanaman.
Lambatnya reaksi yang ditunjukkan oleh tanaman dengan perlakuan
kotoran sapi segar disebabkan karena adanya proses pelapukan atau proses
mineralisasi yang membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut merubah hara
35
kotoran sapi segar dengan susunan senyawa yang kompleks menjadi hara dengan
susunan senyawa yang lebih sederhana agar hara tersebut dapat diserap oleh
tanaman. Berikut penjelasan secara kimia proses mineralisasi kotoran sapi segar :
CHO(Unsur Hara) CO2 + Unsur Hara + H2O + energi (panas)
senyawa kompleks mikroba pengurai senyawa sederhana
Kotoran sapi segar sama halnya dengan bahan organik tanah yang tersusun atas
gugus karboksilat, yaitu CHO dan unsur hara lainnya baik makro maupun mikro.
Terdapat perbadaan susunan senyawa yang menyusun dalam kotoran sapi segar
dan bahan organik. Kotoran sapi segar tersusun oleh senyawa kompleks sehingga
hara yang terkandung di dalamnya belum dapat diserap oleh tanaman, sedangkan
bahan organik berasal dari proses mineralisasi kotoran ternak atau residu tanaman
yang susunan senyawa lebih sederhana sehingga hara yang terkandung dapat
diserap langsung oleh tanaman.
Senyawa kompleks tersebut akan diurai oleh mikroba pengurai yang ada
dalam tanah maupun kotoran tersebut menjadi lebih sederhana. Penguraian
tersebut secara alami membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, secara
perlahan penguraian tersebut menghasilkan hara-hara yang dapat diserap langsung
oleh tanaman. Dan proses tersebut tidak jauh beda dengan proses pupuk anorganik
jenis slow release. Hara dalam urine sapi segar memiliki keunggulan dimana
sudah larut dalam larutan sehingga proses penguraian lebih singkat dan lebih
cepat terserap oleh tanaman.
Ada sisi negatif dari perlakuan kotoran dan urine sapi segar, yaitu kalor
(energi panas) yang dihasilkan dari proses penguraian mampu meningkatkan suhu
tanah dan dapat menyebabkan kerusakan pada akar tanaman. Oleh karena itu,
kotoran sapi ditempatkan di permukaan tanah. Kedua perlakuan tersebut hanya
dapat diperlakukan pada tanaman keras.
Khusus pada perlakuan Urea dengan dosis 1,78 kg/tanaman, pemupukan
dilakukan dengan menggali tanah lalu pupuk disebar dan terakhir ditutup dengan
tanah. Ternyata pada saat penggalian tanah, terdapat butiran-butiran pupuk Urea
yang diberikan pada hari pertama dalam jumlah yang cukup banyak.
36
Pada hari ke-30, dilakukan pemberian kotoran sapi segar tahap II dan urine
sapi segar tahap IV serta pengambilan sampel tanah dan daun untuk uji analisis
kimia tanah dan jaringan. Sampel daun dan tanah diambil sebelum dilakukan
aplikasi. Sampel tanah tiap pohon diambil empat titik di sekitar lingkar pemberian
pupuk, yaitu pada jarak ± 30 cm dari batang dan pada kedalaman tanah ± 20 cm.
Kemudian tanah dari empat titik tersebut dikompositkan/ dicampur secara merata
diambil ± 1 kg. Sampel daun tiap pohon diambil 20 daun dengan kriteria daun
muda yang segar, warna hijau agak tua dan berada dekat dengan pucuk daun.
Daun dengan kriteria demikian dianggap dapat mewakili kandungan hara pada
pucuk daun, daun muda dan daun tua.
Hasil pengamatan dari segi fisik tanaman yang mendapat perlakuan
kotoran dan urine sapi segar sangat berbeda dengan perlakuan pupuk Urea. Secara
keseluruhan terlihat lebih segar dan tunas daun tumbuh lebih banyak, sedangkan
tanaman dengan perlakuan pupuk Urea tidak segar, daun terlihat kering dan tunas
daun tumbuh lebih sedikit.
Hasil pengamatan tanah yang diambil sebagai sampel juga berbeda. Tanah
yang diberi perlakuan kotoran dan urine sapi segar warna tanah lebih gelap,
gembur dan tidak berbau, sedangkan pembandingnya (Urea) tanah berwarna lebih
cerah, terdapat butiran pupuk yang belum larut dan menghasilkan bau yang
menyengat. Selang beberapa hari tanah dengan perlakuan kotoran dan urine sapi
lebih banyak ditumbuhi jamur.
Pada hari ke-60, dilakukan pengambilan sampel tanah terakhir. Tidak
banyak perubahan yang terjadi pada tanah dan tanaman secara fisik, hanya
beberapa tanaman dengan perlakuan kotoran sapi dosis 100 kg/tanaman
menunjukkan pertumbuhan daun yang baik. Dalam proses pengeringan secara
alami menggunakan angin tanpa sinar matahari, tanah dengan perlakuan pupuk
Urea tetap menghasilkan bau menyengat. Hal ini berbeda dengan perlakuan
lainnya yang tidak menghasilkan bau sama sekali, namun terdapat beberapa jamur
yang tumbuh. Pada sampel tanah yang diambil pada hari ke-30 dan ke-60 terdapat
uret atau disebut juga gayas (Jawa Tengah dan Jawa Timur) merupakan
37
Organisme Pengganggu Tanaman yang dapat merusak akar karena hama ini
tinggal di sekitar perakaran (Saragih, 2009).
4.3 Sifat Fisika Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Tabel 4.12 Sifat Fisika Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
KarakteristikTanah
Perlakuan
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7BV (g/cm3) 1,24 1,29 1,36 1,29 1,31 1,23 1,33 1,34
BJP (g/cm3) 2,51 2,43 2,46 2,44 2,51 2,38 2,34 2,44
Porositas (%) 50,43 (B) 46,47 (KB)
44,66 (KB)
47,04 (KB)
47,77 (KB)
48,22 (KB)
43,05 (KB)
45,10 (KB)
Sumber Kriteria : Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005
Keterangan :
P1 – P3 : Pemupukan Kotoran Sapi B : Baik
P4 – P6 : Pemupukan Urine Sapi KB : Kurang Baik
P7 : Pemupukan Urea
Hasil uji laboratorium di atas menunjukkan Porositas tanah di lahan jambu
biji tergolong tinggi dengan nilai di atas 15%. Hasil tersebut sangat sesuai dengan
karakteristik tanah pada lahan tersebut yang tergolong tanah regosol (pasiran)
yang memiliki porositas tinggi. Nilai porositas pada Kontrol 50,43% termasuk
kelas baik, akan tetapi kemampuan tanah menahan air atau Water Holding
Capacity (WHC) kurang baik. Porositas yang baik secara otomatis drainasenya
juga baik sehingga berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jambu biji
termasuk kelas S1.
Selanjutnya setelah aplikasi pemupukan terjadi penurunan nilai porositas.
Secara menyeluruh tergolong dalam kelas kurang baik. Perlakuan P6 dan P2,
Urine Sapi dosis 190 liter/tanaman dan Kotoran Sapi dosis 50 kg/tanaman,
menunjukkan penurunan lebih banyak daripada perlakuan lainnya, yaitu 43,05%
dan 44,66%. Penurunan ini disebabkan karena kandungan bahan organik dalam
kotoran sapi dan urine dapat memperbaiki agregat tanah dengan mengisi pori-pori
tanah yang kosong sehingga tanah tersebut mulai mampu menahan air.
38
Indikasi tersebut memberikan penilaian bahwa penurunan nilai porositas
berdampak pada peningkatan kemampuan tanah untuk menahan air, meskipun
dampaknya tidak signifikan namun perubahan ini tidak merubah kelas kesesuaian
lahan tersebut. Hal tersebut memberikan solusi untuk penyiraman tanaman
dimana intensitas penyiraman tanaman dapat dikurangi karena ketersediaan air
merupakan masalah yang terjadi pada lahan tersebut. Aplikasi pemupukan dengan
kotoran sapi dan urine tersebut mampu meningkatkan kemampuan tanah menahan
air secara bertahap.
Perlakuan P4, Urine Sapi dosis 49 liter/tanaman, ternyata kurang
memberikan dampak terhadap kemampuan tanah untuk menahan air. Hal ini
disebabkan karena dari segi bentuknya urine merupakan benda cair yang mudah
lolos terutama pada jenis tanah di lahan jambu ini sehingga dengan dosis yang
telah ditentukan dianggap kurang kuat mengikat agregat-agregat tanah.
39
Tabel 4.12 Sifat Kimia Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
PerlakuanpH C N P K KTK
---------- (%) ---------- ppm -------- (me/100g) --------30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 60
Kontrol 5,9 (AM) 0,74 (SR) 0,19 (R) 2,3 (SR) 0,20 (R) 11,20 (R)
Kotoran Sapi
P1 6,80 (N) 6,82 (N) 1,14 (R) 1,05 (R) 0,64 (T) 0,57 (T) 5,47 (R) 9,75 (R) 0,42 (S) 0,23 (R) 18,87 (S)
P2 6,80 (N) 6,75 (N) 1,21 (R) 1,33 (R) 0,62 (T) 0,58 (T) 10,10 (R) 16,15 (S) 0,40 (S) 0,28 (R) 15,93 (R)
P3 6,83 (N) 6,90 (N) 1,32 (R) 1,69 (R) 0,66 (T) 0,61 (T) 20,02 (T) 23,20 (ST) 0,57 (T) 0,42 (S) 17,33 (S)
Urine Sapi
P4 6,63 (N) 6,83 (N) 1,07 (R) 1,20 (R) 0,71 (T) 0,54 (T) 11,02 (S) 9,95 (R) 0,47 (S) 0,33 (R) 19,60 (S)
P5 6,58 (N) 6,62 (N) 1,32 (R) 1,36 (R) 0,71 (T) 0,59 (T) 13,33 (S) 9,87 (R) 0,47 (S) 0,42 (S) 16,60 (S)
P6 6,45 (AM) 6,73 (N) 1,41 (R) 1,45 (R) 0,78 (ST) 0,60 (T) 12,80 (S) 22,23 (ST) 0,55 (T) 0,42 (S) 23,53 (S)
Urea
P7 7,08 (N) 6,68 (N) 0,93 (SR) 0,81 (SR) 0,85 (ST) 0,58 (T) 0,48 (SR) 2,12 (SR) 0,28 (R) 0,20 (R) 23,13 (S)
Sumber Kriteria : Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005
Keterangan :
AM : Agak Masam R : Rendah ST : Sangat Tinggi
N : Netral S : Sedang
SR : Sangat Rendah T : Tinggi
40
4.4 Sifat Kimia Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Analisa sifat kimia dilakukan pada hari ke-30 dan ke-60. Analisa sifat
kimia meliputi pH, C-Organik, N, P, K dan KTK.
4.4.1 pH Tanah pada Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Derajat kemasaman tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas
tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai tersebut menunjukkan jumlah
konsentrasi ion hidrogen (H +) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam
tanah, semakin masam tanah tersebut. Selain ion H+ di dalam tanah terdapat ion-
ion lain, yaitu ion hidroksida (OH-), jumlahnya berbanding terbalik dengan jumlah
ion H+. Pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi dibandingakan dengan
jumlah ion OH-, sedangkan pada tanah alkalis kandungan ion OH- lebih banyak
dari ion H+. Jika jumlah ion H+ dan ion OH- sama di dalam tanah atau seimbang,
maka tanahnya bersifat netral.
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P75.2
5.4
5.6
5.8
6.0
6.2
6.4
6.6
6.8
7.0
7.2
5.9
6.8 6.8 6.8
6.6 6.66.5
7.1
6.8
6.8
6.96.8
6.6 6.7 6.7
pH
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60
Gambar 4.5 pH Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Gambar 4.5 di atas merupakan hasil uji laboratorium dengan metode pH
H2O menggunakan alat ukur pH meter. Kontrol merupakan kondisi lahan sebelum
diberi perlakuan. Pada kondisi tersebut pH tanah berkisar 5,9. Berdasarkan
standarnya pH demikian termasuk agak masam. Kriteria lahan dengan pH agak
41
masam ini sangat cocok dijadikan lahan budidaya tanaman jambu biji dan
berdasarkan kelas kesesuaian lahan lahan termasuk tergolong S1. Terdapat alasan
lain mengenai pH tersebut yakni pada kondisi tersebut senyawa-senyawa dalam
tanah yang dapat merusak jaringan tanaman terutama akar sebagai jalur distribusi
makanan, terikat oleh mineral lempung sehingga kemungkinan terjadinya
keracunan sangat kecil.
Seluruh perlakuan pemupukan tanaman memberikan hasil yaitu
peningkatan pH yang signifikan dari kondisi awal 5,90 (agak asam) menjadi 6,45
– 7,08 (netral) dan rata-rata selisih perubahan pH 1,0 – 1,5 baik pada H-30 dan H-
60. Berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jambu terjadi pergeseran
kelas. Dengan pH berkisar 6,45 – 7,08 tergolong kelas S2. Kelas ini masih cocok
untuk ditanami tanaman jambu biji.
Perubahan pH yang signifikan merupakan efek pemberian kotoran sapi
dan urine. Bahan organik yang terkandung dalam pupuk tersebut mampu
menaikkan pH pada tanah masam karena pada tanah tersebut bahan organik
bermuatan negatif sehingga dapat mengikat ion H+ yang jumlahnya sangat
banyak. Ion H+ dalam tanah menyebabkan tanah masam, dengan berkurangnya
ion tersebut tanah tersebut beralih menjadi tanah netral.
Perlakuan terbaik untuk pemupukan kotoran sapi ditunjukkan perlakuan
P3, Kotoran Sapi Segar dosis 100 kg/tanaman. Pada H-30, menunjukkan pH tanah
sebesar 6,83, kemudian pada H-60 menunjukkan pH tanah 6,90. Kenaikan pH
pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kotoran sapi
lainnya.
Perlakuan terbaik untuk pemupukan urine sapi ditunjukkan perlakuan P4
dan P6, Urine Sapi Segar dosis 48 dan 190 liter/tanaman. Perlakuan P4
menghasilkan nilai pH tertinggi pada H-30 dan H-60, yaitu 6,63 dan 6,83.
Perlakuan P6 menunjukkan nilai pH terendah pada H-30, yaitu 6,45 dan pada H-
60 nilai pH 6,73. Dilihat dari segi nilai pH, perlakuan P4 merupakan yang terbaik,
namun kenaikan pH dari H-30 ke H-60 berkisar 0,2, sedangkan perlakuan P6 pada
H-30 nilai pH merupakan yang terendah diantara perlakuan lainnya. Pada H-60
perlakuan ini menunjukkan kenaikan nilai pH pula dan kenaikannya berkisar 0,28,
42
lebih tinggi dari perlakuan P4. Akan tetapi nilai pH H-60 lebih rendah dari
perlakuan P4.
Pada H-30 perubahan pH tertinggi ditunjukkan perlakuan P7, Urea dosis
1,78 kg/tanaman, yaitu 7,08. Madjid (2010) menyatakan pupuk yang
menggunakan ammonium (NH4+) sebagai sumber nitrogen menyebabkan
kemasaman tanah karena proses oksidasi ammonium menjadi nitrat terjadi
pelepasan ion H+ ke tanah sehingga tanah menjadi masam. Namun berbeda
dengan data pH H-30 untuk perlakuan P7 nilai pH menjadi netral. Hal ini dapat
disebabkan karena faktor penggenangan lahan oleh air hujan yang sering terjadi
saat penelitian berjalan. Pada saat penggenangan terjadi pembebasan ion OH-
dalam proses reduksi senyawa Al dan Fe sehingga menghasilkan nilai pH netral.
Pada H-60 penurunan pH sangat drastis untuk perlakuan P7 dari 7,08
menjadi 6,68 disebabkan karena proses oksidasi NH4+ sehingga jumlahnya dalam
tanah meningkat mengakibatkan pH tanah turun.
Berikut penjelasan secara kimia :
NH4+ + 2O2 = NO3
- + 2H+ + H2O
Pada kondisi lahan dengan jenis tanah pasiran dengan ruang pori yang banyak
memiliki kelebihan dimana sirkulasi udara dalam tanah lebih baik. Namun hal
tersebut malah menyebabkan pupuk urea lebih mudah teroksidasi. NH4+ yang
terkandung dalam pupuk teroksidasi menjadi NO3- dan melepaskan ion H+ ke
tanah. Semakin banyak ion H+ yang dilepas maka pH tanah akan semakin turun
(masam).
4.4.2 Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Jambu Biji Desa
Sukokerto
Kandungan bahan organik dalam setiap tanah berbeda-beda sesuai dengan
jenis tanah dan bahan induk pembentuk tanah tersebut. Tanah tersusun atas
mineral 45 %, air 25 %, udara 25 %, dan bahan organik 5%. Ternyata kondisi
tanah di lapangan tidak seperti itu, kandungan bahan organik dalam tanah kurang
dari 5%. Berkurangnya bahan organik dapat terjadi akibat terkikis oleh erosi,
pengolahan tanah dan pemupukan kimia secara berlebihan.
43
Manfaat dari bahan organik yang diperoleh lebih besar. Bahan organik
memiliki peranan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah :
b. Sifat Fisik
Pada tanah pasiran bahan organik mampu meningkatkan pengikatan antar
partikel dan meningkatkan kapasitas mengikat air karena bahan tersebut
memenuhi pori-pori tanah. Bahan organik diketahui dapat menjerap air lebih
banyak melebihi bahan organik itu sendiri (Abdul-Rauf, 1999).
c. Sifat Kimia
Menurut Tan (1995), bahan organik dikenal mengandung sejumlah gugus
fungsional, seperti gugus karboksilat, gugus hidroksil, fenilat dan alkoholik
Akibat penggunaan pupuk nitrogen buatan secara terus menerus dalam
jumlah besar menyebabkan penurunan pH tanah menjadi lebih masam (Brady,
1990). Pemberian bahan organik dapat menyeimbangkan pH tanah di segala jenis
tanah. Pada tanah masam, bahan organik dapat meningkatkan pH karena senyawa
yang dominan (Al dan Fe) diikat oleh bahan organik menjadi senyawa kompleks
(oksida hidroksida Al dan Fe) sehingga tidak terhidrolisis lagi.
Hara pada tanah masam jumlahnya kurang tersedia bagi tanaman
dikarenakan adanya pengikatan unsur P dan K oleh Al, Fe, Mg dan Ca sehingga
unsur tersebut menjadi tidak tersedia dalam tanah. Bahan organik yang diberikan
pada tanah akan memperbesar ketersediaan P dan K dalam tanah melalui
pengikatan unsur Al, Fe, Mg dan Ca. Hal tersebut disebabkan karena adanya
peningkatan kation yang mudah dpertukarkan dan pelarutan sejumlah unsur hara
dari mineral oleh asam humus. Dengan kata lain penambahan bahan organik
mampu meningkatkan Kapasitas Tukar Kation dalam tanah sehingga ketersediaan
hara dalam tanah akan meningkat.
d. Sifat Biologi
Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi
mikroorganisme yang hidup dalam tanah. Bahan organik menyediakan karbon
yang bermanfaat sebagai sumber energi untuk tumbuh, dari proses inilah bahan
organik tersebut dikonversi dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana
sehingga unsur hara dalam bahan organik dapat terserap oleh tanaman.
44
Pada kondisi awal, lahan tersebut tergolong dalam jenis tanah yang
kandungan bahan organik rendah. Hal tersebut dibenarkan dengan data hasil uji
laboratorium dimana nilai C-organik sebesar 0,74% tergolong sangat rendah.
Dengan penambahan pupuk kotoran dan urine sapi segar memberikan hasil baik
terhadap peningkatan kandungan C-organik dalam tanah.
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
1.75
2.00
0.74
1.14 1.211.32
1.071.32
1.41
0.931.05
1.33
1.69
1.201.36
1.45
0.81
C-Organik(%)
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60
Gambar 4.6 Kandungan C-Organik Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Sebagian besar terjadi peningkatan kandungan C-organik yang sangat baik
untuk perlakuan kotoran sapi dan urine sapi. Perlakuan Urea menunjukkan
peningkatan kandungan C-organik pada hari ke-30 sebesar 0,93% namun pada
hari ke-60 turun sebesar 0,81%. Pada perlakuan P3 untuk perlakuan kotoran sapi
peningkatannya sangat signifikan. Hari ke-30 dan ke-60, perlakuan P3
menunjukkan nilai C-organik sebesar 1,32% dan 1,69%. Pada perlakuan P6 untuk
perlakuan urine sapi menunjukkan nilai tertinggi pada hari ke-30 dan ke-60
sebesar 1,41% dan 1,45%, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan.
Perlakuan P4 dianggap perlakuan yang terbaik meskipun nilai peningkatannya
jauh di bawah perlakuan P6, yaitu sebesar 1,07% hari ke-30 dan 1,20% hari ke-
45
60. Hal ini disebabkan karena selisih peningkatan dari hari ke-30 ke hari ke-60
lebih besar daripada perlakuan P6.
4.4.3 KTK Tanah pada Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Salah satu sifat kimia tanah yang terkait erat dengan ketersediaan hara bagi
tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah adalah Kapasitas Tukar Kation
(KTK) atau Cation Exchangable Cappacity (CEC). KTK merupakan jumlah total
kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid
yang bermuatan negatif. Satuan hasil pengukuran KTK adalah milliequivalen
kation dalam 100 gram tanah atau me kation per 100 g tanah.
Tanah di lahan jambu biji ini termasuk jenis tanah memiliki KTK rendah
dan hal tersebut terbukti dengan adanya hasil uji laboratorium terhadap tanah
sebelum perlakuan, menunjukkan nilai KTK sebesar 11,20 me/100 g tanah
tergolong rendah. Rendahnya nilai KTK ini menjadi indikator ketersediaan hara
dalam tanah, semakin rendah KTK maka hara yang tersedia untuk tanaman juga
sedikit. Pernyataan tersebut juga dibuktikan dengan data hasil uji laboratorium
dimana hara, seperti C-organik (0,74%); N (0,19%); P (2,3 ppm) dan K (0,20
me/100 g tanah) tersedia dalam jumlah yang sedikit.
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00
2.50
5.00
7.50
10.00
12.50
15.00
17.50
20.00
22.50
25.00
11.20
18.87
15.9317.33
19.60
16.60
23.53 23.13
KTK(me/100 g tanah)
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60
46
Gambar 4.7 KTK Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
4.4.4 Kandungan N Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
0.19
0.64 0.620.66
0.71 0.710.78
0.85
0.57 0.580.61
0.540.59 0.60 0.58
Kadar N(%)
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60
Gambar 4.8 Kandungan N Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
4.4.5 Kandungan P Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Ketersediaan unsur P dalam tanah sebenarnya sangat banyak akibat
kebiasaan perilaku petani kita selama puluhan tahun yang memberikan pupuk
NPK secara terus menerus tanpa melihat jumlahnya yang ada dalam tanah dan
yang dibutuhkan tanaman sehingga menyebabkan penimbunan unsur P.
Penimbunan ini dapat merusak kondisi lingkungan tanah dan air tanah karena
unsur P tidak bergerak bebas seperti unsur N yang dapat menguap. Apabila terjadi
47
pencucian hara dalam tanah, unsur ini akan ikut tercuci dan mengendap di dasar
tanah atau di dalam air tanah.
Pada tanah masam unsur P bisa terjerap oleh unsur Al dan Fe sehingga
menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Pada tanah dengan pH normal unsur P
sangat tersedia bagi tanaman namun pemupukan P dalam jumlah banyak dan tidak
sesuai dengan kebutuhan tanaman akan menghasilkan residu pupuk P di tanah
dalam jumlah yang sangat besar. Hal tersebut dapat menimbulkan pencemaran
tanah dan air tanah. Untuk mengatasi dampak buruk yang diakibatkan
penimbunan pupuk serta memanfaatkan pupuk yang tertimbun dalam tanah maka
dilakukan pemupukan tanah dengan pupuk organik.
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00
2.50
5.00
7.50
10.00
12.50
15.00
17.50
20.00
22.50
25.00
2.30
5.47
10.10
20.02
11.02
13.33 12.80
0.48
9.75
16.15
23.20
9.95 9.87
22.23
2.12
Kadar P(ppm)
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60
Gambar 4.9 Kandungan P Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Berdasarkan uji laboratorium, peningkatan unsur P dalam tanah sangat
signifikan saat
4.4.6 Kandungan K Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
Kandungan K dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah, semakin
asam pH tanah maka semakin sedikit jumlah K yang tersedia untuk tanaman. Hal
48
tersebut disebabkan karena unsur K dijerap oleh unsur Al dan Fe sehingga
menjadi tidak tersedia untuk tanaman.
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.000.050.100.150.200.250.300.350.400.450.500.550.60
0.20
0.42 0.40
0.57
0.47 0.47
0.55
0.280.23
0.28
0.42
0.33
0.42 0.42
0.20
Kadar K(me/100 g tanah)
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60
Gambar 4.10 Kandungan K Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto
4.5 Kandungan Hara dalam Jaringan Tanaman
Tabel 4.12 Kandungan Hara dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto
PerlakuanN P K
(%) ppm me/ 100 g tanah30 60 30 60 30 60
Kontrol 1.44 39.90 3.02Kotoran Sapi
P1 0.95 1.03 23.23 23.13 1.75 2.95
P2 1.37 1.16 19.12 23.97 1.86 3.17
P3 1.36 1.27 20.53 24.23 2.08 3.24
Urine Sapi
P4 1.03 1.26 21.65 22.78 2.66 3.10
P5 1.07 1.16 20.33 22.47 2.15 3.10
P6 0.90 1.26 20.83 21.58 2.51 2.63
Urea
P7 1.12 1.13 22.35 20.85 2.08 2.52
49
4.5.1 Kandungan N dalam Jaringan Tanaman
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.601.44
0.95
1.37 1.36
1.03 1.07
0.90
1.121.03
1.161.27 1.26
1.161.26 1.13
Kadar N(%)
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60
Gambar 4.11 Kandungan N dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto
4.5.2 Kandungan P dalam Jaringan Tanaman
50
Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.0039.90
23.23
19.12 20.53 21.65 20.33 20.8322.3523.13
23.97 24.23 22.78 22.47 21.5820.85
Kadar P(ppm)
Perlakuan
Ket :Cerah H-30GelapH-60z
Gambar 4.12 Kandungan P dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto
4.5.3 Kandungan P dalam Jaringan Tanaman
Awal P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.503.02
1.75 1.862.08
2.66
2.15
2.51
2.08
2.953.17 3.24
3.10 3.10
2.632.52
Kadar K(me/100 g tanah)
Perlakuan
Gambar 4.13 Kandungan K dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto
51
4.6 Hubungan Antar Karakteristik Tanah
No ParameterNilai F Hitung
Hari ke-30 Hari ke-60
FISIKA TANAH
1 Porositas 0.82 tn
KIMIA TANAH
1 pH 8.20 ** 3.26 *
2 C-Organik (%) 1.23 tn 2.70 *
3 N (%) 2.99 * 0.24 tn
4 P (ppm) 4.60 ** 5.84 **
5 K (me/100 g tanah) 5.34 ** 11.38 **
6 KTK (me/100 g tanah) 2.09 tn
JARINGAN TANAMAN
1 N (%) 1.43 tn 0.61 tn
2 P (ppm) 0.16 tn 0.56 tn
3 K (me/100 g tanah) 1.68 tn 0.90 tn
BIOLOGI TANAH
1 Total Mikroorganisme
52
DAFTAR PUSTAKA
Abdul-Rauf. 1999. Pengaruh Mulsa Vertikal terhadap Sifat Fisik Tanah, Produksi Jagung, Erosi dan Pemanenan Air di Lahan Kering Berlereng Curam. Makalah pada Kongres VII dan Seminar Nasional HITI, Bandung, 27 – 28 November 1999.
Anas, I. 1989. Petunjuk Laboratorium. Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 1993. Urine-A Wasted, Renewable Natural Resource. Norwegia : Noragric.
Anonim. 2011. Jenis dan Fungsi Pupuk. Serial Online. http://www.wordpress.com [diakses tanggal 25 Mei 2012].
Anonim. 2012. Kemasaman Tanah (pH Tanah). Serial Online. http://www.silvikultur.com [diakses tanggal 24 Mei 2012].
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press.
Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Bogor : Balai Penelitian Tanah.
Butler, T.A., L.J. Sikora, P. M. Steinhilber and L. W. Douglass. 2001. Compost Age and Sample Storage Effects on Maturity Indicators of Biosolids Compost. J. Environ. Qual. 30 : 2141-2148.
Brady, N.C dan H.O. Buckman. 1982. Ilmu Tanah. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Brady, N.C dan H.O. Buckman. 1990. Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : Bhatara Karya.
53
Diaz, L.F., G.M. Savage, L.L. Eggerth and C.C. Golueke. 1993. Composting and Recycling Municipal Solid Waste. Boca Raton : Lewis Publishers.
Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani dan N. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah. Jakarta : AgroMedia Pustaka.
FAO. 2003. On-farm Composting Methods. Rome : Food and Agriculture Organization.
Foth, HD. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Endang Dewi Purbayati, dkk. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.
Foth, HD. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.
Google Maps. 2012. Desa Sukokerto, Kecamatan Sukowono, Jawa Timur. Peta Digital. http://maps.google.co.id [diakses tanggal 02 Mei 2012].
Hakim, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung : Universitas Lampung.
Hanafiah, KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Presindo.
Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. Jakarta : Rajawali.
Indranada, H.K. 1985. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bina Aksara. Jakarta.
Jo, I.S. 1990. The Use of Organic Fertilizer on Soil Physical Properties and Plant Growth. Paper Presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers
54
in Crop Production, at Suweon, South Korea, 18-24 June 1990 (Unpublished).
Khadijah, S. dan Chaerun A. 2008. Dampak Lingkungan Penggunaan Pupuk Urea pada Pembebanan N dan Hilangnya Kandungan N di Sawah. Jurnal Pendidikan IPA Volume VI No. 7. Bandung : Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB.
Kumar V., Wagenet R.J. 1984. Urease Activity and Kinetics of Urea Transformation in Soils. Soil Science, 137, 263 – 269.
Lingga, P. 1991. Jenis dan Kandungan Hara pada Beberapa Kotoran Ternak. Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) ANTANAN. Bogor (Tidak dipublikasikan).
Mardalena. 2007. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis sativa L.) Terhadap Urine Sapi Yang Telah Mengalami Perbedaan Lama Fermentasi. Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Naswir. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi yang Difermentasi Sebagai Nutrisi Tanaman. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Notohadiprawiro, T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Popenoe, W. 1974. Manual of Tropical and Subtropical Fruits. Hafner Press. Facsimile of the 1920. pp. 272-279.
Prihatman, K. 2000. Budidaya Pertanian : Jambu Biji / Jambu Batu. Jakarta : Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Rynk, R., M. van de Kamp, G.B. Wilson, T.L. Richard, J.J. Kolega, F.R. Gouin, L. Laliberty, Jr., D. Kay, D.W. Murphy, H.A.J. Hoitink, and W.F. Brinton. 1992. On-farm Composting Handbook. Editor R. Rynk.
55
Northeast Regional Agricultural Engineering Service, U.S. Department of Agriculture. Ithaca, N.Y., Pp. 1-13.
Samekto, R. 2006. Pupuk Kandang. Yogyakarta : Citra Aji Prama.
Saragih, DM. 2009. Serangan Uret dan Cara Pengendaliannya pada Tanaman Eucalyptus hybrid di Hutan Tanaman PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Na Uli Sumatera Utara. Skripsi Kehutanan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Subowo G. 2010. Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik untuk Kesuburan dan Produktivitas Tanah melalui Pemberdayaan Sumberdaya Hayati Tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1. Bogor : Balai Penelitian Tanah.
Suteja, M.M. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, dan RD. S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Cetakan pertama. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm. 1-105.
Tan, K.H. 1993. Environmental Soil Science. New York : Marcel Dekker, Inc.
Zibliske, L.M. 1997. Composting of Organic Wastes. P 482-497. In D.M. Silvia, J.J. Fuhrmann, P.G. Hartel & D.A. Zuberer (Eds.) Principles and Apllications of Soil Microbiology. New Jersey : Prentice Hall.
56