skripsi pram

85
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah menggalakkan sektor industri dan pertanian. Pertanian sebagai sektor utama dan menjadi andalan perekonomian negara serta sebagai mata pencaharian yang paling banyak diminati masyarakat Indonesia. Pertanian merupakan sektor kehidupan manusia yang pertama dalam mempertahankan hidup serta dasar bagi perkembangan sektor-sektor lainnya seperti sektor industri dan perdagangan. Sektor pertanian mencakup sektor peternakan dan perikanan. Ketiga hal tersebut selalu berkaitan dan saling membutuhkan. Pertanian sangat penting artinya bagi prospek pembangunan di dunia Ketiga dan pada tahun-tahun terakhir ini telah diberi prioritas tinggi dalam perencanaan-perencanaan pembangunan. Telah terbukti bahwa sektor pertanian memiliki ketahanan dalam menghadapi krisis ekonomi yang menyebabkan perubahan pola pikir para perencana pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Pertanian juga sebagai sumber penyediaan makanan baik bagi penduduk pedesaan maupun perkotaan di negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia. Dalam banyak kasus, pertanian juga 1

Upload: ertriani-anindya-meiflorisa

Post on 03-Jan-2016

54 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi Pram

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah menggalakkan

sektor industri dan pertanian. Pertanian sebagai sektor utama dan menjadi andalan

perekonomian negara serta sebagai mata pencaharian yang paling banyak diminati

masyarakat Indonesia. Pertanian merupakan sektor kehidupan manusia yang

pertama dalam mempertahankan hidup serta dasar bagi perkembangan sektor-

sektor lainnya seperti sektor industri dan perdagangan. Sektor pertanian mencakup

sektor peternakan dan perikanan. Ketiga hal tersebut selalu berkaitan dan saling

membutuhkan.

Pertanian sangat penting artinya bagi prospek pembangunan di dunia

Ketiga dan pada tahun-tahun terakhir ini telah diberi prioritas tinggi dalam

perencanaan-perencanaan pembangunan. Telah terbukti bahwa sektor pertanian

memiliki ketahanan dalam menghadapi krisis ekonomi yang menyebabkan

perubahan pola pikir para perencana pembangunan di negara-negara sedang

berkembang. Pertanian juga sebagai sumber penyediaan makanan baik bagi

penduduk pedesaan maupun perkotaan di negara-negara Dunia Ketiga termasuk

Indonesia. Dalam banyak kasus, pertanian juga memberikan bahan ekspor dalam

jumlah besar untuk menunjang devisa negara.

Meskipun dengan teknologi terbatas, petani telah menunjukkan

kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan pertumbuhan penduduk,

diperkenalkannya jenis tanaman baru dan tekanan perdagangan internasional.

Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang mendorong

terbentuknya tanah dan tanaman yang sehat dengan melakukan praktik-praktik

budidaya tanaman seperti daur ulang hara pada bahan organik (sisa tanaman),

rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat serta mengurangi penggunaan pupuk

buatan dan pestisida sintetik

Sebagai suatu negara dengan keanekaragaman hayati yang melimpah,

Indonesia mempunyai peluang yang amat besar dalam mengembangkan sistem

pertanian organik dengan potensi yang dimilikinya di bidang sektor pertanian

1

Page 2: Skripsi Pram

2

khususnya tanaman buah-buahan. Salah satu produk pertanian tanaman buah

Indonesia adalah tanaman jambu biji. Di luar negeri, jambu biji dikatakan sebagai

buah masa depan karena mulai digemari. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai

buah segar, minuman sari buah serta obat alami untuk diare dan demam berdarah.

Walaupun pemasaran di dalam negeri belum memadai dan peluang ekspor masih

kecil, buah ini memiliki prospek cerah terutama karena nilai gizinya yang baik

dan bentuk serta cita rasa yang eksotik.

Tanaman jambu merupakan tanaman yang berasal dari Brazilia Amerika

Tengah, menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti

Indonesia. Tanaman ini sangat murah dan mudah tumbuh dan berkembang di

segala jenis tanah Indonesia baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi

sehingga banyak yang menganggap tanaman jambu merupakan tanaman asli

Indonesia.

Sebagai contoh, jambu biji yang dibudidayakan di lahan Kusuma

Agrowisata dengan ketinggian tempat ± 800 m diatas permukaan laut (dpl), dapat

tumbuh dan berkembang dengan sangat baik dimana tiap pohon jambu

diperkirakan menghasilkan buah hingga mencapai 100 kg atau 1 kw dalam satu

musim. Hal ini sangat menguntungkan sekali bagi perusahaan, apabila harga per

kg Rp. 6.500,- berarti tiap pohon menghasilkan Rp. 650.000,- dan Kusuma

Agrowisata memiliki ribuan pohon jambu.

Terdapat kebun jambu biji yang sangat prospek untuk dikembangkan

tepatnya di Desa Sukokerto - Kecamatan Sukowono - Kabupaten Jember, seperti

halnya yang dilakukan oleh Kusuma Agrowisata. Tanaman tersebut ditanam pada

lahan dataran dan bukit dengan jenis tanahnya yaitu tanah regosol. Perlu diketahui

bahwa karakteristik tanah regosol (entisol) adalah tanah yang sedikit atau tanpa

perkembangan profil (tanpa proses pedogenik) akibat waktu pembentukan

pendek, tanah ini didominasi oleh pasir sehingga kemantapan agregatnya rendah

(lepas-lepas). Karena unsur lempung pada tanah yang rendah maka tanah ini

rawan erosi sehingga menyulitkan usaha konservasi tanah. Tanaman ini sudah

bertahun-tahun tumbuh dan berkembang, akan tetapi produksinya belum bisa

dipasarkan karena buah yang dihasilkan belum memenuhi standar.

Page 3: Skripsi Pram

3

Kondisi di sekitar lahan sebagian besar merupakan pemukiman warga dan

lahan persawahan padi, palawija dan tembakau. Tiap warga terkadang memelihara

hewan ternak yaitu sapi pedaging. Hewan ini sangat kaya manfaat diantaranya

daging dapat dikonsumsi oleh manusia, kulit dijadikan bahan sepatu kulit, kotoran

padat dan cair dapat dijadikan sumber hara bagi segala jenis tanaman. Satu ekor

sapi saja menghasilkan kotoran padat ± 15 kg per hari. Di dalam kotoran tersebut

terkandung unsur hara makro dan mikro dalam bentuk senyawa organik yang

kompleks serta berjuta-juta mikroba dekomposer. Peternak biasanya hanya

membuang kotoran dalam kubangan atau mengalirkan lewat selokan dengan

disiram air. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan berupa

bau yang tidak sedap, pencemaran sumber air dan juga penurunan unsur hara

dalam kotoran.

Unsur-unsur tersebut tidak dapat langsung diserap tanaman karena

diperlukan penyederhanaan senyawa menjadi senyawa anorganik melalui proses

dekomposisi yang membutuhkan waktu cukup lama. Organisme perombak bahan

organik memegang peranan penting dalam proses dekomposisi.

Apabila sudah matang, kotoran sapi tersebut dapat digunakan sebagai

pupuk dan efek pemberiannya untuk jangka panjang bagi tanah dan tanaman

sangat baik, sedangkan jangka pendek tidak dapat secara langsung terlihat pada

tanaman. Kekurangan tersebut membuat petani kurang berminat untuk membuat

pupuk organik sendiri, mereka lebih memilih produk instan yang mudah didapat

dan efek pemberiannya dalam jangka pendek terlihat secara langsung pada

tanaman budidaya.

Permasalahan yang harus dihadapi adalah ketersediaan air dan hara dalam

tanah. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dalam pemanfaatan bahan organik dari kotoran sapi segar dalam bentuk

padat dan urine sebagai bahan pemantap tanah dan sumber pupuk bagi tanaman

jambu biji.

Page 4: Skripsi Pram

4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, inti

permasalahan dalam penelitian ini mengenai Aplikasi Kotoran Sapi Segar Dan

Urine di Permukaan Regosol Terhadap Ketersediaan Hara di Lahan

Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava .L) yang dirumuskan dalam

permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kandungan hara pada lahan tanaman jambu biji sebelum dan

sesudah perlakuan pemupukan.

2. Bagaimana respon tanaman jambu biji terhadap penyerapan hara setelah

pemberian kotoran dan urine sapi segar.

3. Bagaimana perbandingan pengaruh yang ditunjukkan oleh pupuk organik dan

pupuk Urea.

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui kandungan hara pada lahan tanaman jambu biji sebelum

dan sesudah perlakuan.

2. Untuk mengetahui respon tanaman jambu biji terhadap penyerapan hara

setelah pemberian kotoran dan urine sapi segar.

3. Untuk membandingkan pengaruh yang ditunjukkan oleh pupuk organik dan

pupuk Urea.

1.4 Hipotesis

1. Terjadi perbaikan kandungan hara pada lahan tanamana jambu biji sesudah

perlakuan pemupukan.

2. Peningkatan penyerapan hara oleh tanaman setelah pemberian kotoran dan

urine sapi segar.

3. Pemberian pupuk organik jauh lebih baik pengaruhnya terhadap tanah dan

tanaman dibandingkan pupuk Urea.

Page 5: Skripsi Pram

5

1.5 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan dengan pemberian pupuk

kotoran sapi dan urine segar dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan

tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi buah dari tanaman jambu biji

(Psidium guajava L.) serta memberikan informasi baru kepada petani tentang

pemanfaatan limbah sapi secara langsung dan dosis pemberian kotoran dan urine

yang tepat.

Page 6: Skripsi Pram

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukokerto, Kecamatan Sukowono. Lokasi

lahan tanaman jambu biji berjarak ± 30 km dari pusat kota Jember. Lahan tersebut

merupakan bukit yang berada pada ketinggian ± 285 m dpl dan tanahnya termasuk

jenis tanah regosol karena kaya akan pasir. Beberapa bagian bukit tersebut

dimanfaatkan untuk penambangan pasir. Terdapat kurang lebih 500 pohon jambu

biji merah yang masih produktif, akan tetapi kondisi tanaman sangat merana

karena kurang perawatan dan adanya kompetisi hara dalam tanah dengan tanaman

sengon yang tumbuh disela-sela tanaman jambu biji. Jarak tanam yang digunakan

adalah 3 x 3 m2.

Lokasi geografis berada pada posisi 1130809264 BB - 11308098569 BT

serta 080059007 LU – 080059609 LS (Google Map, 2012). Berdasarkan Peta Zona

Agroekologi Buah-buahan Kabupaten Jember, iklim di daerah Kecamatan

Sukowono termasuk tipe iklim D dengan curah hujan 1500 – 2500 mm/tahun.

Suhu rata-rata 24 – 25oC. Tingkat kesuburan tanah termasuk sedang.

Gambar 2.1 Peta Lahan Penelitian Tanaman Jambu Biji (Sumber : Googlemap)

6

Page 7: Skripsi Pram

7

2.2 Tanah Regosol

Tanah adalah hasil pengalihragaman bahan mineral dan organik yang

berlangsung di permukaan daratan bumi di bawah pengaruh faktor-faktor

lingkungan yang bekerja dalam waktu yang sangat panjang, dan berwujud sebagai

suatu tubuh dengan organisasi dan morfologi. Pada dasarnya tanah merupakan

tubuh alam. Namun demikian banyak tanah yang memperlihatkan tanda-tanda

pengaruh antropogen (Notohadiprawiro, 1999).

Tanah sebagai tubuh alam mampu menyediakan sejumlah unsur hara

penting yang dibutuhkan oleh tanaman. Unsur hara tersebut akan terserap dan

tersedia kembali dengan adanya proses pelapukan dari seresah tanaman tersebut.

Tanah mempunyai tiga sifat diantaranya sifat fisik, kimia dan biologi. Sifat

fisik dan biologi tanah yang akan diteliti meliputi tekstur, porositas dan total

mikroorganisme tanah.

a. Tekstur

Tekstur tanah adalah perbandingan relative dalam persen (%) antara fraksi

pasir, debu dan liat. Partikel-partikel ini telah dibagi ke dalam grup atau

kelompok-kelompok atas dasar ukuran diameternya, tanpa memandang komposisi

kimia, warna, berat atau sifat lainnya. Kelompok partikel ini pula disebut dengan

“separate tanah”.

Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan daya serap air,

ketersediaan air dalam tanah, besar aerasi, infiltrasi dan laju pergerakan air

(perkolasi). Secara tidak langsung tekstur tanah juga dapat mempengaruhi

perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman serta efisiensi pemupukan (Hakim,

1986).

b. Ruang Pori Total (Porositas)

Ruang pori total adalah volume dari tanah yang ditempati oleh udara dan

air. Persentase volume ruang pori total disebut porositas nilainya berkisar 30 –

60%. Untuk menentukan porositas, contoh tanah ditempatkan pada tempat berisi

air sehingga jenuh dan kemudian cawan ini ditimbang. Perbedaan berat antara

keadaan jenuh air dan cawan yang kering oven merupakan volume ruang pori.

Page 8: Skripsi Pram

8

Untuk 400 cm3 cawan yang berisi 200 gr (200 cm3) air pada kondisi jenuh

porositas tanahnya akan mencapai 50% (Foth, 1988).

Tanah bertekstur kasar mempunyai persentase ruang pori total lebih

rendah daripada tanah bertekstur halus, meskipun rataan ukuran pori bertekstur

kasar lebih bedar daripada ukuran pori tanah bertekstur halus (Arsyad, 1989).

Berikut kelas porositas tanah.

Tanah-tanah dengan tekstur halus memiliki pori mikro lebih banyak,

sehingga memiliki kapasitas menahan air yang tinggi. Pada tanah yang lembab

dengan drainase baik, ruang-ruang pori yang besar selalu dipenuhi udara dan air

(Foth, 1994).

c. Total Mikroorganisme

Tanah dihuni oleh bermacam-macam mikroorganisme. Jumlah tiap grup

mikroorganisme sangat bervariasi, ada yang terdiri dari beberapa individu, akan

tetapi ada pula yang jumlahnya mencapai jutaan per gram tanah. Mikroorganisme

tanah itu sendirilah yang bertanggung jawab atas pelapukan bahan organik dan

pendauran unsur hara. Dengan demikian mereka mempunyai pengaruh terhadap

sifat fisik dan kimia tanah (Anas, 1989).

Selanjutnya Anas (1989), menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme

yang terdapat didalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah (fertility

indeks), tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur mengandung

sejumlah mikroorganisme, populasi yang tinggi ini menggambarkan adanya suplai

makanan atau energi yang cukup ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai,

ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan

mikroorganisme pada tanah tersebut.

Jumlah mikroorganisme sangat berguna dalam menentukan tempat

organisme dalam hubungannya dengan sistem perakaran, sisa bahan organik dan

kedalaman profil tanah. Data ini juga berguna dalam membandingkan keragaman

iklim dan pengelolaan tanah terhadap aktifitas organisme didalam tanah (Anas,

1989).

Sifat kimia tanah meliputi derajat kemasaman (pH), C-organik, nitrogen,

fosfor, kalium, dan kapasitas tukar kation.

Page 9: Skripsi Pram

9

a. Derajat Kemasaman Tanah (pH)

pH tanah atau kemasaman tanah atau reaksi tanah menunjukkan sifat

kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH

menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H +) di dalam tanah. Makin

tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Di dalam

tanah selain ion H+ dan ion-ion lain terdapat juga ion hidroksida (OH-), yang

jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya ion H+. Pada tanah-tanah

masam jumlah ion H+ lebih tinggi dibandingakan dengan jumlah ion OH-,

sedangkan pada tanah alkalis kandungan ion OH- lebih banyak dari ion H+. Jika

ion H+ dan ion OH- sama banyak di dalam tanah atau seimbang, maka tanah

bereaksi netral.

Pentingnya pH tanah untuk diketahui, yaitu untuk :

Menentukan mudah tidaknya unsur hara mudah diserap oleh tanaman.

Pada umumnya unsur hara mudah diserap oleh akar tanaman pada pH

tanah sekitar netral, karena pada pH netral tersebut kebanyakan unsur hara

mudah larut di dalam air. Sebagai contoh pada tanah masam unsur P tidak

dapat diserap oleh tanaman karena diikat oleh unsur Al, sedangkan pada

tanah alkalis unsur   P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena diikat

oleh unsur Ca.

Menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun

Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme (Anonim, 2012a).

b. Bahan Organik

c. Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5%

bobot tanaman dan berfungsi dalam pembentukan protein (Hanafiah, 2005).

Menurut Hardjowigeno (2003) nitrogen dalam tanah berasal dari :

1. Bahan organik tanah : bahan organik halus dan bahan organik kasar.

2. Pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara.

3. Pupuk

4. Air hujan

Page 10: Skripsi Pram

10

Kandungan N total umumnya berkisar antara 2 – 4 ton/ha pada lapisan 0 –

20 cm tetapi tersedia bagi tanaman hanya kurang 3% dari jumlah tersebut

(Hardjowigeno, 2003). Manfaat dari nitrogen adalah untuk memacu pertumbuhan

tanaman pada fase vegetative, serta berperan dalam pembentukan klorofil, asam

amino, lemak, enzim, dan senyawa lain. Nitrogen dalam tanah memiliki bentuk

organik dan anorganik. Bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, N2O dan unsur

N.

Bentuk Nitrogen yang dapat digunakan oleh tanaman adalah ion nitrat

(NO3-) dan ion amonium (NH4

+). Ion-ion ini kemudian membentuk material

kompleks seperti asam-asam amino dan asam-asam nukleat yang dapat langsung

diserap dan digunakan oleh tanaman tingkat tinggi. Menurut Mengel dan Kirby

(1987) dalam Anonim (2012b) pada pH tanah yang rendah ion nitrat lebih cepat

diserap oleh tanaman dibandingkan ion amonium, pada pH tanah yang tinggi ion

Amonium diserap oleh tanaman lebih cepat dibandingkan ion nitrat dan pada pH

netral kemungkinan penyerapan keduanya berlangsung seimbang.

Fungsi Nitrogen bagi pertumbuhan tanaman adalah memperbaiki

pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N,

berwarna lebih hijau. Selain itu Nitrogen berfungsi dalam pembentukan protein.

d. Fosfor (P)

Fosfor (P) merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah besar

(hara makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan Nitrogen

dan Kalium. Tetapi fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (Key of life). Unsur

Fosfor di tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral-mineral di

dalam tanah (apatit).

Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfat (H2PO4-) dan ion

ortofosfat sekunder (HPO42-). Menurut Tisdale (1985) dalam Anonim (2012c)

unsur P masih dapat diserap dalam bentuk lain, yaitu bentuk pirofosfat dan

metafosfat, bahkan menurut Thomson (1982) dalam Anonim (2012c) bahwa

kemungkinan unsur P diserap dalam bentuk senyawa oraganik yang larut dalam

air, misalnya asam nukleat dan phitin.

Page 11: Skripsi Pram

11

Fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion anorganik cepat berubah

menjadi senyawa fosfor organic. Fosfor ini bersifat mobile atau mudah bergerak

antar jaringan tanaman. Kadar optimal fosfor dalam tanaman pada saat

pertumbuhan vegetatif adalah 0.3% - 0,5% dari berat kering tanaman

Fungsi fosfor adalah untuk pembelahan sel, pembentukan albumin,

pembentukan bunga, buah dan biji. Selain itu fosfor juga berfungsi untuk

mempercepat pematangan buah, memperkuat batang, untuk perkembangan akar,

memperbaiki kualitas tanaman, metabolisme karbohidrat, membentuk

nucleoprotein (sebagai penyusun RNA dan DNA) dan menyimpan serta

memindahkan energi seperti ATP. Unsur Fosfor juga berfungsi untuk

meningkatkan ketahanan tanaman  terhadap penyakit.

e. Kalium (K)

Kalium (K) merupakan unsur hara utama ketiga setelah N dan P. Kalium

mempunyai valensi satu dan diserap dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong

unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam jaringan tanaman,

maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma.

Kalium  pupuk buatan dan mineral-mineral tanah seperti feldspar, mika dan lain-

lain.

Hakim (1986), menyatakan bahwa ketersediaan kalium merupakan kalium

yang dapat dipertukarkan dan dapat diserap tanaman yang tergantung penambahan

dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri dan adanya penambahan dari kaliumnya

sendiri.

Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang

mengandung kalium. Melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik

maka kalium akan larut dan kembali ke tanah. Selanjutnya sebagian besar kalium

tanah yang larut akan tercuci atau tererosi dan proses kehilangan ini akan

dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik. Beberapa tipe tanah

mempunyai kandungan kalium yang melimpah. Kalium dalam tanah ditemukan

dalam mineral – mineral yang terlapuk dan melepaskan ion – ion kalium. Ion –

ion adsorpsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman. Tanah

– tanah organik mengandung sedikit Kalium.

Page 12: Skripsi Pram

12

Kekurangan kalium pada tanaman menyebabkan turgor tanaman menjadi

berkurang sehingga sel tanaman menjadi lemah (Anonim, 2012d).

f. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat

hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah – tanah dengan kandungan bahan

organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah – tanah

dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir

(Hardjowigeno, 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat

dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh :

1. Reaksi tanah

2. Tekstur atau jumlah liat

3. Jenis mineral liat

4. Bahan organik dan,

5. Pengapuran serta pemupukan.

Soepardi (1983) mengemukakan kapasitas tukar kation tanah sangat

beragam, karena jumlah humus dan liat serta macam liat yang dijumpai dalam

tanah berbeda – beda pula.

Klasifikasi Tanah

Tanah regosol (entisol), yaitu tanah yang sifat-sifatnya didominasi bahan

induk (regolite), merupakan tanah muda dan belum adanya perkembangan profil

tanah, belum terjadi pencucian (eluviasi) dan proses pengendapan atau

pelonggokan (illuviasi) bahan-bahan pembentuk tanah. Tanah regosol kelabu ini

tidak berbatu besar dan terdapat di daerah gumuk pasir loess. Menurut Brady

(1982), tanah regosol adalah tanah yang sangat muda, dengan ciri umum

perkembangan profil kurang nyata dan perkembangannya ditentukan oleh iklim

setempat. Jenis tanah ini mempunyai kandungan bahan organic 1,4% dan nitrogen

0,06% (termasuk rendah), kandungan air dan clay (6,41%) juga rendah, sehingga

penggunaan tanah ini jika digunakan untuk lahan pertanian agak terbatas . Jenis

tanah regosol memiliki solum tanah yang tipis yang akan memperberat beban

tanah untuk menahan terjadinya longsor. Mineral lempungnya tidak aktif sehingga

Page 13: Skripsi Pram

13

aktivitas pertukaran kation juga tidak aktif, tanah ini mempunyai pH 5 atau lebih

yang berarti tidak masam

Sifat-sifat tanah regosol yang lain adalah bertekstur kasar ditentukan oleh

bahan induknya, struktur kersai dan remah, permeabilitas lambat sampai dengan

sedang, kapasitas pertukaran kation rendah, permeabilitasnya ditentukan oleh

tekstur dan strukturnya. Pengaruh tekstur terhadap permeabilitas cukup besar dan

yang berpengaruh adalah fraksi pasirnya.

Genesis Tanah

Proses pembentukan tanah regosol dipengaruhi oleh faktor-faktor antara

lain iklim yang sangat kering sehingga pelapukan dan reaksi kimia dalam tanah

berjalan sangat lambat. Regosol merupakan jenis tanah yang muda, dimana secara

alami pembentukan tanahnya belum berlangsung. Tidak berlangsungnya proses

pembentukan tanah tersebut dikarenakan faktor dari lingkungan yang tidak

memungkinkan, misalnya iklim dengan suhu rendah dan curah hujan yang tinggi

sehingga mineralisasinya berjalan lambat. Beberapa proses pembentukan tanah

mungkin belum dapat menghasilkan horison penciri tertentu yang dapat

digolongkan dalam ordo tanah selain regosol. Proses tersebut baru dapat

menghasilkan epipedon okhrik, sebagai akibat pembentukan struktur dan

pencampuran bahan organik dengan bahan mineral yang ada di lapisan atasnya.

Makin kasar teksturnya, makin miskin unsur hara, khususnya N, P, K dan Mg.

Potensi

Pada tanah Regosol ini memiliki tekstur geluh berpasir serta struktur halus

sehingga akan mempengaruhi keadaan aerasi dan drainase tanah. Keadaan aerasi

dan drainase pada profil ini cepat. Regosol umumnya cukup mengandung  P dan

K yang masih segar yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang rendah atau

masih terbentuk sebagai mineral primer sehingga belum siap untuk diserap oleh

tanaman kandungan bahan organik yang rendah hanya memungkinkan tanah ini

berpotensi untuk ditanami rumput gajah yang merupakan tanaman pakan ternak,

palawija, tanaman jenis hortikultura dan bisa juga tanaman jenis kelapa.

Page 14: Skripsi Pram

14

2.3 Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L.)

Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu, dalam bahasa

Inggris disebut Lambo guava. Tanaman ini berasal dari Brazilia Amerika Tengah,

menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti Indonesia. Hingga

saat ini telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-daerah Jawa. Jambu biji

sering disebut juga jambu klutuk, jambu siki, atau jambu batu. Jambu tersebut

kemudian dilakukan persilangan melalui stek atau okulasi dengan jenis yang lain,

sehingga akhirnya mendapatkan hasil yang lebih besar dengan keadaan biji yang

lebih sedikit bahkan tidak berbiji yang diberi nama jambu Bangkok karena proses

terjadinya dari Bangkok.

Menurut sistematika Taksonomi termasuk dalam :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Klas : Magnoliopsida

Subklas : Rosidae

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava L.

Nama lain : Jambu batu (Indonesia), Jambu klutuk (Indonesia, Jawa,

Sunda), jambu krikil (Jawa), Jambu petakol (Jawa), jambu bayawas (Jawa), jambu

siki (Sunda), jambu bhendher (madura), jambu bighi (Madura), guava (Inggris).

Syarat Tumbuh

Menurut FAO (Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat, 1993:7)

menyatakan bahwa semua tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi

memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yang kemungkinan antara tanaman

yang satu dengan yang lainnya berbeda. Persyaratan tersebut terutama energi

radiasi, temperatur yang cocok untuk pertumbuhannya, kelembaban, oksigen, dan

unsur hara. Persyaratan temperatur dan kelembaban sering digabungkan dan

disebut dengan istilah periode pertumbuhan.

Page 15: Skripsi Pram

15

Dalam budidaya tanaman jambu biji angin berperan dalam penyerbukan,

namun angin yang kencang dapat menyebabkan kerontokan pada bunga. Tanaman

jambu biji merupakan tanaman daerah tropis dan dapat tumbuh di daerah sub-

tropis dengan intensitas curah hujan yang diperlukan berkisar antara 250 – 4.000

mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan bulan kering mencapai 4 bulan.

Tanaman jambu biji dapat tumbuh berkembang serta berbuah dengan optimal

pada suhu sekitar 15 - 40oC di siang hari (Djaenudin et al, 2000). Kekurangan

sinar matahari dapat menyebabkan penurunan hasil atau kurang sempurna

(kerdil), yang ideal musim berbunga dan berbuah pada waktu musim kemarau

yaitu sekitar bulan Juli - September sedang musim buahnya terjadi bulan

Nopember-Februari bersamaan musim penghujan. Kelembaban udara sekeliling

cenderung rendah karena kebanyakan tumbuh di dataran rendah dan sedang.

Apabila udara mempunyai kelembaban yang rendah, berarti udara kering karena

miskin uap air. Kondisi demikian cocok untuk pertumbuhan tanaman jambu biji.

Tanaman jambu biji sebenarnya dapat tumbuh pada semua jenis tanah

akan tetapi pada jenis tanah yang kaya bahan organik, tanaman ini dapat

menghasilkan buah secara optimal. Tanaman ini tidak toleran pada tanah dengan

salinitas tinggi (Popenoe, 1974). Jambu biji dapat tumbuh baik pada lahan yang

subur dan gembur serta banyak mengandung unsur nitrogen, bahan organik atau

pada tanah yang keadaan liat dan sedikit pasir dengan kedalaman tanah minimum

50 cm. Derajat keasaman tanah (pH) tidak terlalu jauh berbeda dengan tanaman

lainnya, yaitu antara 4,3 - 8,0 dan yang optimum antara 5,0 – 6,0, bila kurang dari

pH tersebut maka perlu dilakukan pengapuran terlebih dahulu. Jambu biji dapat

tumbuh subur pada daerah tropis dengan ketinggian antara 5 – 1.200 m dpl

(Prihatman, 2000).

Tabel 2.1 Persyaratan Penggunaan Lahan Untuk Jambu Biji.Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan

Kelas Kesesuaian LahanS1 S2 S3 N

Temperatur (tc)Temperatur rerata (oC) 22 – 28 28 – 34

18 – 2234 – 4015 – 18

> 40< 15

Ketersediaan air (wa)Curah Hujan (mm)

1000-2000 500 – 10002000 – 3000

250 – 5003000 – 4000

> 250< 4000

Page 16: Skripsi Pram

16

Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan

Kelas Kesesuaian LahanS1 S2 S3 N

Ketersediaan oksigen (oa)Drainase baik, agak

baikagak ter-hambat

terhambat, agak cepat

sangat terhambat cepat

Media perakaran (rc)TeksturBahan kasar (%)Kedalaman tanah (cm)

h, ah, s< 15> 100

h, ah, s15 - 35

75 – 100

ak35 - 5550 – 75

k> 55< 50

Retensi hara (nr)KTK liat (cmol)Kejenuhan Basa (%)pH H2O

C – organik (%)

> 16> 35

5,0 – 6,0

> 1,2

≤ 1620 – 354,5 – 7,06,0 – 7,50,8 – 1,2

< 20< 4,5> 7,5< 0,8

Toksinitas (xc)Salinitas (dS/m) < 4 4 – 6 6 – 8 > 8Sodisitas (xn)Alkalinitas/ESP (%) < 15 15 – 20 20 – 25 > 25Bahaya sulfidik (xs)Kedalaman sulfidik (cm) > 100 75 – 100 40 – 75 < 40Bahaya erosi (eh)Lereng (%)Bahaya erosi

< 8sr

8 – 16r – sd

16 – 30b

> 30sb

Bahaya banjir (fh)Genangan F0 F1 F2 > F3Penyiapan lahan (lp)Batuan di permukaan (%)Singkapan batuan (%)

< 5< 5

5 – 155 – 15

15 – 4015 – 25

> 40> 25

Sumber : Djaenudin et al (2000)

2.4 Pupuk

Pupuk merupakan bahan yang diberikan ke dalam tanah baik yang organik

maupun yang anorganik dengan maksud untuk mengganti kehilangan unsur hara

dari dalam tanah dan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman dalam

keadaan faktor keliling atau lingkungan yang baik. Belum lama berselang, pupuk

secara umum hanya dibagai dua berdasarkan asalnya yaitu pupuk anorganik dan

pupuk organik (Suteja, 1999). Pupuk organik bisa berasal dari sisa tanaman dan

kotoran hewan. Pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan biasa disebut

dengan pupuk kandang.

2.2.1 Pengertian Pupuk Kandang

Pupuk kandang (pukan) didefinisikan sebagai semua produk buangan dari

binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki

Page 17: Skripsi Pram

17

sifat fisik, dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas

seperti sekam pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut

akan dicampur menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pukan pula. Beberapa

petani di beberapa daerah memisahkan antara pukan padat dan cair.

Beberapa manfaat pupuk organik adalah dapat menyediakan unsur hara

makro dan mikro, mengandung asam humat (humus) yang mampu meningkatkan

kapasitas tukar kation tanah, meningkatkan aktivitas bahan mikroorganisme tanah,

pada tanah masam penambahan bahan organik dapat membantu meningkatkan pH

tanah, dan penggunaan pupuk organik tidak menyebabkan polusi tanah dan polusi

air (Novizan, 2007).

a. Pupuk kandang padat

Pupuk kandang (pukan) padat yaitu kotoran ternak yang berupa padatan

baik belum dikomposkan dalam keadaan segar maupun sudah dikomposkan

sebagai sumber hara terutama N bagi tanaman dan dapat memperbaiki sifat kimia,

biologi, dan fisik tanah.

Kotoran ternak sapi akan memperbaiki sifat fisik dan agregat tanah,

meningkatkan kapasitas tukar kation serta kandungan air tersedia karena setiap

kenaikan 1% bahan organik akan meningkatkan kapasitas lapang top soil lahan

2,5% sehingga dapat menurunkan laju erosi (Jo, 1990).

Penanganan pukan padat akan sangat berbeda dengan pukan cair.

Penanganan pukan padat oleh petani umumnya adalah sebagai berikut: kotoran

ternak besar dikumpulkan 1-3 hari sekali pada saat pembersihan kandang dan

dikumpulkan dengan cara ditumpuk di suatu tempat tertentu. Petani yang telah

maju ada yang memberikan mikroba dekomposer dengan tujuan untuk

mengurangi bau dan mempercepat pematangan, tetapi banyak pula yang hanya

sekedar ditumpuk dan dibiarkan sampai pada waktunya digunakan ke lahan.

Crowder dan Chheda (1982) mengungkapkan terdapat penelitian yang

menunjukkan bahwa seekor sapi perah menghasilkan 25 kg feses dan 10 kg urine

per ekor per hari. Kotoran sapi segar mengandung sekitar 0,38% N; 0,18% P2O5

Page 18: Skripsi Pram

18

dan 0,22% K2O, ekuivalen dengan 650-850 kg N, 125-400 kg P dan 150-170 kg

K/ha/tahun.

Tisdale et al. (1985) menyatakan keuntungan yang didapat pada

penggunaan kotoran ternak terhadap kesuburan tanah, yaitu : (1) merupakan

sumber nitrogen; (2) merupakan sumber fosfor tersedia dan mikronutrien lain

yang dibutuhkan tanaman; (3) meningkatkan kelembaban tanah; (4) memperbaiki

kemampuan tanah dalam mengikat air; (5) meningkatkan kandungan CO2 pada

tanaman di bawah naungan; (6) meningkatkan kapasitas buffer; dan (7)

menurunkan tingkat keracunan dari Al3+.

Tabel 2.2 Kadar Hara Beberapa Bahan Dasar Pupuk Organik Sebelum Dikomposkan.

Tabel 2.3 Jenis dan Kandungan Hara Beberapa Kotoran Ternak Padat dan Cair.

Nama ternak dan bentuk kotorannya

Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%)

Kuda –padat 0.55 0.30 0.40 75

Kuda –cair 1.40 0.02 1.60 90

Kerbau –padat 0.60 0.30 0.34 85

Kerbau –cair 1.00 0.15 1.50 92

Sapi –padat 0.40 0.20 0.10 85

Sapi –cair 1.00 0.50 1.50 92

Kambing –padat 0.60 0.30 0.17 60

Kambing –cair 1.50 0.13 1.80 85

Domba –padat 0.75 0.50 0.45 60

Page 19: Skripsi Pram

19

Nama ternak dan bentuk kotorannya

Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%)

Domba –cair 1.35 0.05 2.10 85

Babi – padat 0.95 0.35 0.40 80

Babi –cair 0.40 0.10 0.45 87

Ayam –padat dan cair 1.00 0.80 0.40 55

Sumber: Lingga, 1993

Kotoran ternak dan limbah organik lainnya secara alami banyak

mengandung mikroorganisme yang dapat merombak bahan kompos (Rynk et al.,

1992). Tiap gram kotoran ternak mengandung kira-kira 37.600 juta bakteri

(Sutedjo, 1991). Selama proses pengomposan mikroba yang berperan adalah

bakteri, protozoa dan jamur dari kelompok mesofil dan termofil. Bakteri dalam

hal ini selalu dominan walau temperatur berubah (Rynk et al., 1992).

Dekomposisi merupakan proses yang paling penting dikarenakan terjadi

penurunan rasio C/N dan penguraian lignin pada kotoran sapi yang diakibatkan

oleh aktivitas mikroba pengurai hingga mencapai tingkat yang sesuai untuk

pertumbuhan tanaman (Djaja, 2008). Biasanya waktu pematangan berlangsung

selama satu bulan (Rynk et al., 1992).

Secara umum proses dekomposisi berjalan baik yang dicirikan oleh

terjadinya fase-fase progresif degradasi. Fase termofilik (peningkatan suhu tinggi,

>40oC) yang merupakan fases penting dalam proses perombakan bahan organik

secara aerob (Zibilske, 1997; Diaz et al., 1993; FAO, 2003). Dekomposisi aerobik

merupakan modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau

biologi bahan organik dengan kehadiran oksigen.

Secara teknis, transformasi bahan organik tidak-stabil menjadi bahan

organik stabil (kompos matang) ditandai oleh pembentukan panas dan produksi

CO2. Selam proses dekomposisi, komposisi populasi mikroba berubah dari tahap

mesofilik (suhu 20-40oC) ke tahap termofilik (suhu bisa mencapai 80oC), dan

terakhir tahap stabilisasi atau pendinginan. Mikroba mesofilik memulai

dekomposisi substrat mudah hancur seperti protein, gula dan pati yang selanjutnya

digantikan oleh mikroba termofilik yang secara cepat merombak substrat organik.

Pada tahap akhir stabilisasi, jumlah populasi mikroba meningkat. Panas yang

Page 20: Skripsi Pram

20

timbul selama fase termofilik mampu membunuh mikroba pathogen (≥55oC) dan

benih gulma (≥62oC) (FAO, 2003).

Sampai minggu keempat masa pengomposan (masa inkubasi), tekstur

kompos umumnya sudah lunak walaupun pada beberapa bagian masih agak kasar

dengan warna coklat tua. Hampir semua substrat kompos ditumbuhi hifa jamur

berwarna putih yang terlihat sejak minggu pertama masa pembalikan kompos.

Perbedaan sifat biofisik yang kontras terdapat pada aroma kompos yang bervariasi

dari aroma alkohol (fermen) sampai aroma ammonia atau tengik yang mengarah

pada pembentukan senyawa intermediet seperti H2S, asam-asam organik dan

fenolat yang dalam beberapa kasus berpotensi toksik bagi tanaman (Butler et al.,

2001; Samekto, 2006).

Keunggulan sistem ini adalah kotoran ternak menjadi lebih cepat

terdekomposisi jika dibandingkan dengan sistem tertutup (dekomposisi anaerob).

Kelemahannya adalah bau kotoran akan terbawa angin sehingga kemungkinan

akan menyebar (Setiawan, 2008). Bau tidak sedap tersebut merupakan ammonia

yang dilepaskan saat proses dekomposisi akibat dari kelebihan N, namun hal

tersebut dapat diminimalkan dengan menambahkan bahan campuran jerami padi

atau bahan organik lain yang mengandung sedikit N sehingga penguapan

ammonia dapat diminalisir (Djaja, 2008).

b. Pupuk kandang cair

Pupuk kandang (pukan) cair merupakan pukan berbentuk cair berasal dari

kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urine hewan atau

kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dalam perbandingan tertentu. Umumnya

urine hewan cukup banyak dan yang telah dimanfaatkan oleh petani adalah urine

sapi, kerbau, kuda, babi, dan kambing. Urine yang dihasilkan ternak dipengaruhi

oleh makanan, aktifitas ternak, suhu eksternal, konsumsi air, musim dan lain

sebagainya. Banyaknya feses dan urine yang dihasilkan adalah sebesar 10% dari

berat ternak. Rasio feses sapi potong 2,4:1 (71% feses, 29% urine).

Page 21: Skripsi Pram

21

Menurut Rohmat (2009), air kencing dari satu ekor sapi mampu

menyuburkan sekitar empat hektare sawah yang setiap hektarenya bisa

menghasilkan enam hingga delapan ton padi atau gabah.

Urine sapi juga dapat mencegah datangnya berbagai hama tanaman karena

baunya yang khas dan menyengat bagi organisme pengganggu tanaman (Naswir,

2003). Selain itu, urine sapi memiliki kandungan N, P, dan K yang tergolong

tinggi, lebih tinggi dibandingkan urine ternak lain maupun kotoran padat sapi

tersebut (Lingga, 1993).

Menurut Suteja (1999), kandungan unsur hara urine yang dihasilkan ternak

tergantung mudah atau sukarnya makanan dalam perut hewan dapat dicerna.

Kandungan kimia urine sapi adalah N (1,4 - 2,2 %), P (0,6 - 0,7%), dan K (1,6 -

2,1%). Urine sapi memang memiliki bau yang khas dan tidak sedap, namun bagi

petani manfaatnya jauh lebih besar dari pada baunya. Zat-zat unsur hara di dalam

pupuk cair berupa urine murni tersedia bagi tanaman, sebagian langsung dapat

diserap dan sebagian dapat diurai dengan cepat. (Sosrosoedirdjo et al., 1981).

Urine sapi bersifat menolak hama atau penyakit pada tanaman. Urine sapi secara

ilmiah mengandung zat pengatur tumbuh yaitu auxin (Solikun dan Masdiko dalam

Mardalena, 2007).

Tabel 2.4 Kandungan Hara Urine Ternak

Page 22: Skripsi Pram

22

Tabel 2.5 Beberapa Sifat Urine Sapi Sebelum dan Sesudah Difermentasi.pH N P K Ca Na Fe Warna Bau

Sebelum ferm.

7,2 1,1 0,5 0,9 1,1 0,2 3726 kuning menyengat

Sesudah ferm.

8,7 2,7 2,4 3,8 5,8 7,2 7692 hitam kurang

Sumber : Naswir, 2003.

Fungsi auxin pada tanaman antara lain merangsang pertumbuhan dan

mempertinggi persentase timbulnya bunga dan buah, mendorong partenokarpi

yaitu suatu kondisi dimana tanaman berbuah tanpa fertilisasi atau penyerbukan,

mengurangi gugurnya buah sebelum waktunya, serta mematahkan dominasi

pucuk atau apical yaitu suatu kondisi dimana pucuk tanaman atau akar tidak mau

berkembang (Nazwir dalam Mardalena, 2007). Auxin IAA (Indole-3-Acetid Acid)

dengan rumus bangun C10H9O2N dapat mempengaruhi masa vegetative dan

reproduktif pada tanaman, mempunyai peranan pembelahan sel, pembesaran sel

dan diferensiasi sel

CH2 - COOH

Asam Indolasetat (IAA)Gambar. 2.2 Struktur Auxin (Heddy, 1989).

2.2.2 Pupuk Anorganik

Pupuk anorganik atau pupuk buatan adalah pupuk yang sengaja dibuat

oleh manusia dalam pabrik dan mengandung unsur hara tertentu dalam kadar

tinggi. Pupuk anorganik digunakan untuk mengatasi kekurangan mineral murni

dari alam yang diperlukan tanaman untuk hidup secara wajar (Anonim, 2011b).

a. Pupuk Nitrogen (N)Pupuk Nitrogen (N) sering digunakan di daerah agrikultur untuk

meningkatkan dan memperbaiki kualitas hasil panen tanaman. Tujuan utama

penggunaan pupuk N secara efektif adalah untuk mencapai hasil maksimum

tanaman yang banyak dikembangkan di negara berkembang. Salah satu dari

pupuk-pupuk N adalah urea yang banyak digunakan karena biayanya yang rendah

Page 23: Skripsi Pram

23

per satuan N-nya. Ketika urea ditaburkan pada laha, urea terhidrolisasi menjadi

ammonium melalui aktivitas enzim urease secara ekstraselular (Kumar dan

Wagenet, 1984).

Urea (carbamide) merupakan padatan kristalin putih dengan rumus kimia

CO(NH2)2, yang sebagian besar kandungannya adalah nitrogen. Urea ini biasanya

dalam bentuk curah dan butiran. Senyawa urea memiliki berat jenis 1,3 g/l dengan

titik leleh 133 oC. urea larut dalam air tetapi tidak larut dalam pelarut organik.

Senyawaan nitrogen ini juga merupakan produk akhir dari metabolism yang

disekresikan oleh mamalia, dan disintesis dalam daur urea (reaksi biokimia yang

mengubah ammoniak menjadi urea). Urea juga disintesis dalam skala industri dari

amoniak dan karbondioksida untuk digunakan dalam resin urea-formaldehid

(resin sintetik yang mengandung gugus ulang (-NH-CO-O-) dan obat-obatan,

pupuk nitrogen.

Gambar 2.3 Struktur Urea (Carbamide)

Urea merupakan material kering dalam bentuk butiran atau curah, urea-N

secara cepat terhidrolisis menjadi NH4+. Pupuk ini sering digunakan untuk aplikasi

langsung dalam pupuk campuran, dan dalam larutan nitrogen. N (Nitrogen) yang

pada aplikasi ini berwujud sebagai urea-N, dan sekitar 66% dari urea-N

dihidrolisa menjadi Ammonia-N dalam penggunaan 1 hari hingga 1 minggu.

Reaksi urea terhidrolisis dalam air sebagai berikut:

CO(NH2) 2 (urea) + H2O 2NH4+ + CO32- (1)

Menurut Indranada (1985), sebelum terjadi hidrolisis, urea mudah

bergerak bebas sama dengan nitrat dan dapat tercuci ke bawah daerah perakaran

dengan adanya air hujan dan struktur tanah yang memungkinkan, yaitu tanah

kurang mampu menahan air (daya serapnya kecil/rendah). Amonium dalam tanah

dapat hilang atau mengalami volatilisasi dalam bentuk gas NH3. Volatilisasi

Page 24: Skripsi Pram

24

terjadi bila amonium dalam larutan alkalin yaitu bila NH4+ atau urea diaplikasikan

pada tanah kapuran. Keseimbangan antara dua bentuk kimia yang terjadi adalah :

Ca(OH)2 + CO(NH2)2 -> 2NH4OH + CaCO3

2NH4OH -> NH3 + H2O

NH3 + H2O -> NH4+ + OH-

Pemberian pupuk N dosis tinggi menyebabkan kadar N yang tinggi

terdeteksi di dalam aliran air permukaan dan menyebabkan peningkatan di dalam

konsentrasi N total aliran. Umumnya, kehilangan N disebabkan sebagian besar

oleh denitrifikasi, NH3 atau mobilisasi pada N organik sebagai residu tanaman

atau mikroorganisme. Ukuran N organik biasanya dalam jumlah besar dari jumlah

N anorganik di dalam lahan (Broadbent, 1981).

Kebanyakan studi-studi sejenis yang dipublikasikan memiliki temuan yang

serupa (eg., Diez et al., 1994; Perez et al., 2003) pemupukan konvensional (urea)

mempengaruhi pencemaran lebih besar. Praktek-praktek agrikultur konvensional

adalah salah satu penyebab utama pencemaran NO3, disamping itu juga akibat

pemupukan dengan pupuk nitrogen ditemukannya kandungan nitrogen di badan

air, dikarenakan pengawasan aliran sistem irigasi genangan yang tidak cermat,

serta dosis penggunaan pupuk urea yang tidak rasional, mempercepat pelarutan

NO3 (Diez et al., 1994). Ditegaskan bahwa bergeraknya NO3-N dari zone akar

menyebabkan kerugian secara ekonomi karena N ini tidak bisa digunakan untuk

pertumbuhan tanaman (Timmons dan Dylla, 1981). Jika NO3-N terakumulasi

dilapisan air bawah tanah, memiliki potensi membahayakan lingkungan jika air

itu digunakan langsung oleh penduduk (Khadijah dan Chaerun, 2008).

Page 25: Skripsi Pram

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di lahan tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto,

Kecamatan Sukowono dan dilakukan analisa tanah di Laboratorium Kesuburan

Tanah, Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah serta Laboratorium Biologi

Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember mulai bulan April sampai dengan

Agustus 2012.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah urine sapi, feses

sapi dan air. Bahan yang digunakan di laboratorium adalah Hidrogen peroksida

(H2O2); aquades; larutan buffer pH 4,0 dan 7,0; KCl 1 M; .

3.2.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah Global

Positioning System (GPS), pita warna, timbangan gantung, gerobak sorong,

cangkul, timba, jurigen, kantong plastik, ring sampel, pisau lapangan, hammer,

balok kayu dan roll meter.

Peralatan yang digunakan di laboratorium adalah pH meter, tabung reaksi,

neraca analitik, pipet, alat hidrometer tanah tipe 152 H, ball pipet, beaker glass,

gelas ukur, colony counter, vortex, bunsen, seperangkat alat destruksi dan

destilasi, flamephotometer, spectrophotometer.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa perlakuan pada tanaman, metode

survei lapangan, analisa kandungan hara pada kotoran sapi segar padat dan cair,

analisa contoh tanah dan analisa jaringan tanaman di laboratorium. Dalam metode

survei lapangan dilakukan pengukuran ketinggian tempat, penentuan lokasi dan

pengambilan contoh tanah secara terusik dan tidak terusik. Kandungan hara dalam

25

Page 26: Skripsi Pram

26

kotoran sapi segar yang dianalisa berupa unsur C-organik, N, P dan K. Analisa

contoh tanah di laboratorium meliputi sifat fisik tanah (penetapan tekstur tanah,

bulk density (BV), berat jenis partikel (BJP), total pori tanah (porositas); sifat

kimia tanah (pH, KTK, C-organik, N total, P, K) dan sifat biologi tanah (total

mikroorganisme tanah).

3.3.1 Rancangan Percobaan

Aplikasi pemupukan yang dilakukan dalam penelitian ini menerapkan

prinsip lima tepat pemupukan, yaitu tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu

dan tepat tempat. Aplikasi pemupukan dilakukan selama 60 hari. Penelitian ini

menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 7 perlakuan dan 6 ulangan.

Tanaman jambu biji akan mendapat perlakuan berupa pemberian kotoran sapi

segar dalam bentuk padat (feses) dan urine sapi dengan dosis pemberian seperti di

bawah. Untuk membedakan tiap perlakuan digunakan 6 pita dengan warna

berbeda.

Perlakuan :

Perlakuan 1 (P1) : Kotoran sapi segar padat dengan dosis 25 kg/tanaman (kuning)

Perlakuan 2 (P2) : Kotoran sapi segar padat dengan dosis 50 kg/tanaman (hijau)

Perlakuan 3 (P3) : Kotoran sapi segar padat dengan dosis 100 kg/tanaman (pink)

Perlakuan 4 (P4) : Urine sapi dengan dosis 48 liter/tanaman (tosca)

Perlakuan 5 (P5) : Urine sapi dengan dosis 95 liter/tanaman (ungu)

Perlakuan 6 (P6) : Urine sapi dengan dosis 190 liter/tanaman (oranye)

Pembanding : Urea 45% dengan dosis 1,78 kg/tanaman

Perlakuan pembanding diberikan dua kali pada hari ke-1 dan ke-20 sesuai

dosis yang dibagi rata. Pupuk Urea ditempatkan di empat lubang yang telah dibuat

di sekitar tanaman jambu, lalu lubang tersebut ditutup dengan tanah. Perlakuan

P1, P2 dam P3 diberikan dua kali pada hari ke-1 dan ke-30 sesuai dosis yang

dibagi rata, sedangkan perlakuan P4, P5 dan P6 diberikan bertahap pada hari ke-1,

ke-10, ke-20 dan ke-30 sesuai dosis yang dibagi rata. Perlakuan P1, P2 dan P3

diberikan keliling di atas permukaan tanah sekitar batang tanaman jambu biji

dengan jarak 10 cm. Khusus untuk perlakuan P1, P2 dan P3, satu minggu setelah

Page 27: Skripsi Pram

27

perlakuan kotoran yang telah kering dicampur aduk dengan tanah. Perlakuan P4,

P5 dan P6 diberikan secara langsung ke tanaman jambu biji dengan cara

menyiram.

Gambar 3.4 Penempatan Kotoran Sapi

(gbr kiri : tampak samping; gbr kanan : tampak atas)

3.3.2 Persiapan Bahan Penelitian

Peninjauan lokasi secara langsung di lapang perlu dilakukan oleh penulis

dan dosen pembimbing karena lahan jambu biji berada jauh dari pusat kota

Jember. Dalam peninjauan lokasi penelitian dilakukan pengukuran ketinggian

tempat, pencatatan koordinat lokasi, pengambilan sampel tanah dan daun serta

Page 28: Skripsi Pram

28

buah tanaman jambu biji. Data ketinggian tempat merupakan salah satu kriteria

kesesuaian lahan yang nantinya akan memberikan informasi cocok atau tidaknya

tanaman jambu biji ditanam pada lahan tersebut. Data koordinat lokasi merupakan

sumber informasi bagi penulis, dosen pembimbing dan pembaca yang ingin

berkunjung ke lokasi, dengan mencocokkan data koordinat lokasi ke peta digital

nantinya akan menunjukkan lokasi dan arah untuk menuju ke lahan. Sampel tanah

diambil pada tiap-tiap tanaman dengan metode ring sampel dan terusik.

Selanjutnya sampel tanah tersebut dianalisa sifat fisik dan kimianya.

Sampel daun digunakan untuk analisa jaringan tanaman. Teknik

pengambilan sampel daun, yaitu daun muda diambil yang telah membuka

sempurna berwarna hijau muda berada di ujung batang.

Kotoran sapi segar padat dan urine diambil dari peternak sapi perah di

daerah Perumahan Bumi Mangli. Sebelum diaplikasikan ke lahan, diambil sampel

pada kotoran sapi segar padat dan urine untuk dianalisa kandungan hara. Kotoran

sapi segar ditimbang terlebih dahulu sebelum diaplikasikan menggunakan

timbangan gantung. Urine sapi menyesuaikan wadah yang digunakan diantaranya

timba 12 dan 18 liter serta jurigen 10 dan 30 liter

3.3.3 Analisa Laboratorium

Tanah dianalisa sifat fisiknya meliputi penetapan tekstur tanah dengan

metode hydrometer, penetapan porositas tanah dan konduktivitas hidrolik. Analisa

sifat biologi meliputi total mikroorganisme tanah. Kemudian tanah dan jaringan

tanaman dianalisa sifat kimianya pada hari ke-1; hari ke-30 dan hari ke-60.

Analisa Pupuk Organik dengan menggunakan kadar N-total, kadar C-organik

(Walkey & Black) dan penetapan P, K total. Analisa sifat kimia meliputi pH H2O

dan pH KCl dengan mengunakan pH-meter, KTK, C-organik dengan metode

Kurmis (kolorimeter), Nitrogen dengan metode Kjeldahl, fosfor (P-Total) dengan

metode Bray I dan Olsen diukur langsung secara kolorimetri dengan

pewarnaan biru molibden pada spectrophotometer dengan

panjang gelombang 693nm dan kalium yaitu K-Total diukur dengan

Page 29: Skripsi Pram

29

flamephotometer. Analisa jaringan tanaman dilakukan untuk mengetahui

kandungan N, P, K dan C-organik.

Data penelitian yang diperoleh dari analisa laboratorium diolah menjadi

data statistic dengan Analisis Varians. Apabila galat percobaan tidak menyebar

menurut sebaran normal maka dilakukan transformasi data menggunakan metode

transformasi √ x. Selanjutnya, apabila data yang diperoleh berbeda nyata maka

akan dilanjutkan dengan pengujian Tukey (HSD 5%).

Tabel 3.1 Kriteria penilaian hasil analisis tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005)

Parameter tanah *Nilai

Sangat rendah

Rendah Sedang TinggiSangat tinggi

C (%) <1 1-2 2-3 3-5 >5N (%) <0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75C/N <5 5-10 11-15 16-25 >25P2O5 HCl 25% (mg/100g) <15 15-20 21-40 41-60 >60P2O5 Bray (ppm P) <4 5-7 8-10 11-15 >15P2O5 Olsen (ppm P) <5 5-10 11-15 16-20 >20K2O HCl 25% (mg/100g) <10 10-20 21-40 41-60 >60KTK/CEC (me/100 g tanah) <5 5-16 17-24 25-40 >40Susunan kationK (me/100 g tanah) <0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 >1

Sangat masam

MasamAgak

masamNetral

Agak alkalis

Alkalis

pH H2O <4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5

Sifat Fisika Rendah Sedang Tinggi

Porositas (%) 5 – 10 11 – 15 >15

Page 30: Skripsi Pram

30

*Penilaian ini hanya didasarkan pada sifat umum secara empiris

Tabel 3.7 Kelas Porositas Tanah

Porositas (%) Kelas

100 Sangat Porus

80 – 60 Porus

60 – 50 Baik

50 – 40 Kurang Baik

40 – 30 Jelek

< 30 Sangat Jelek

Sumber : Arsyad, 1989

Page 31: Skripsi Pram

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pupuk yang akan diberikan dalam penelitian terlebih dahulu dianalisa

kandungan hara diantaranya pH, C-organik dan NPK karena nilai unsur N

merupakan acuan perhitungan jumlah pupuk yang akan diberikan. Selanjutnya

analisis fisika tanah, kimia tanah dan jaringan serta biologi tanah dilakukan secara

bertahap, yaitu satu bulan sekali. Analisis fisika tanah, kimia tanah dan jaringan

dilakukan sebelum aplikasi, hari ke – 30 dan hari ke – 60, sedangkan analisis

biologi tanah dilakukan pada awal dan akhir aplikasi.

Penelitian yang dilakukan adalah memupuk tanaman jambu biji dengan

pupuk organik yang kurang lazim digunakan oleh petani. Pupuk organik tersebut

terdiri dari kotoran sapi segar dan urine sapi segar yang langsung diaplikasikan ke

tanaman tanpa proses dekomposisi. Kedua bahan tersebut dianggap kurang aman

apabila diberikan ke tanaman karena hara yang terkandung di dalamnya masih

berbentuk senyawa organik, perlu proses dekomposisi menjadi senyawa

anorganik agar hara dapat terserap tanaman. Selama proses dekomposisi,

dihasilkan energi atau panas yang dapat menyebabkan temperatur di dalam tanah

meningkat sekaligus dapat mempengaruhi kinerja akar tanaman dalam menyerap

hara. Namun dari awal hingga akhir penelitian tidak ada tanda-tanda tanaman

mengalami gangguan akibat proses dekomposisi bahan organik.

4.1 Karakteristik Tanah Regosol Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Karakteristik tanah awal lahan jambu biji Desa Sukokerto Kecamatan

Sukowono dari hasil analisa pendahuluan disajikan dalam Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Karakteristik Tanah Regosol

Karakteristik Nilai Keterangan*Kerapatan Massa (BV) 1,24 g/cm3

Kerapatan Partikel (BJP) 2,51 g/cm3

Porositas 50,43 %Tekstur : Sand 2,76 % Loamy sand Silt 82,72 % (Pasir bergeluh) Clay 14,52 %pH : H2O 5,9 Agak masam

31

Page 32: Skripsi Pram

32

Karakteristik Nilai Keterangan* KCl 4,9 MasamC-organik 0,74 % Sangat rendahN-total (metode KJdahl) 0,19 % RendahP-tersedia (metode Bray) 2,3 ppm Sangat rendahK-tersedia 0,20 me/100 g tanah RendahKTK 11,20 me/100 g tanah Rendah

*) Sumber Kriteria : Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005

Berdasarkan data awal analisa fisika, tekstur tanah di lahan jambu biji di

Desa Sukokerto didominasi oleh fraksi sand dengan nilai rata-rata 82,72%,

sedangkan fraksi clay 2,76% dan fraksi silt 14,52%. Berdasarkan segitiga tekstur

termasuk ke dalam kelas Loamy sand (Pasir begeluh). Tanah tersebut tergolong

pada jenis tanah regosol atau tanah pasiran dengan ciri porositas tinggi,

kandungan hara rendah, dan memiliki pH berkisar 5 atau lebih. Nilai Kerapatan

Volume (BV) dan Berat Jenis Partikel (BJP) yang rata-rata 1,24 g/cm3 dan 2,66

g/cm3 merupakan tergolong nilai untuk jenis tanah mineral. Tanah pada lahan

tersebut memiliki porositas yang sangat baik dengan nilai rata-rata 53,28% akan

tetapi kemampuan tanah untuk menahan air sangat buruk. Besarnya nilai porositas

pada tanah ini menyebabkan kemampuan tanah untuk menahan air sangat rendah.

Terbukti pada saat musim kemarau, tanah ini terlihat kering dan sulit untuk

mendapat air. Kandungan hara dalam tanah juga rendah sehingga perlu

meningkatkan kesuburan tanah melalui pemupukan.

Berdasarkan data awal analisa kimia, derajat kemasaman (pH) tanah

jambu ini rata-rata 5,9. pH tersebut ideal bagi budidaya tanaman salah satunya

jambu biji ini karena kadar hara dalam tanah baik makro maupun mikro tersedia

dalam jumlah yang optimal. Aktivitas mikroorganisme pun optimal serta sifat-

sifat kimia lainnya juga optimal sehingga berdasarkan kelas kesesuaian lahan

untuk tanaman jambu biji tergolong kelas S1. Selisih antara nilai pH H2O dan pH

KCl (ΔpH) rata-rata adalah -1,0. Nilai tersebut menjelaskan bahwa tanah jambu

tersebut bermuatan negatif dan tetap karena nilainya lebih dari ± 0,5 sehingga

nantinya tidak membutuhkan biaya yang besar untuk menaikkan pH. Kandungan

hara yang tersedia dalam tanah rata-rata tergolong rendah, yaitu 0.19% N; 0,74%

C-organik; 0,00023% P dan 0,008% K serta KTK 11,20 me/100 g tanah.

Page 33: Skripsi Pram

33

Kekurangan hara merupakan masalah dalam hal kesuburan tanah dilihat

dari aspek kimia tanah maka perlu penambahan input dari luar berupa pupuk baik

secara organik atau anorganik. Pemupukan dengan pupuk anorganik dalam jangka

pendek dapat memenuhi hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan dapat

dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman tersebut. Akan tetapi, dampak jangka

panjang dalam penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus terhadap tanah

sangat buruk karena residu yang dihasilkan akan mencemari lingkungan baik

tanah itu sendiri dan air. Apabila hal tersebut terjadi akan membahayakan

makhluk hidup di sekitar lahan tersebut.

Lain halnya dengan penggunaan pupuk organik yang memberikan dampak

jangka panjang dalam membenahi kualitas tanah dan menambahkan hara tanah

secara bertahap serta memberikan hasil yang baik dalam budidaya tanaman.

4.2 Hasil Pengamatan Fisik Tanaman dan Tanah

Aplikasi pemberian kotoran sapi segar dan urine segar selama ± 30 hari

telah dilakukan. Tanaman setiap harinya membutuhkan air untuk metabolisme

tubuhnya, di lahan tersebut belum ada sumur untuk pengairan. Kami hanya

mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan tanaman tersebut. Kondisi

tanaman sebelum aplikasi sangat merana akan tetapi beberapa tanaman muncul

kuncup bunga bahkan berbuah. Buah kurang bagus banyak terserang lalat buah.

Berbagai pengamatan telah dilakukan setiap 10 hari sekali dengan melihat

dari sisi fisiologi tanaman khususnya daun tanaman, yang diberi perlakuan

kotoran sapi segar dan urine segar serta kondisi kotoran sapi yang diberikan ke

tanaman. Pengamatan ini bukan menjadi parameter dalam penulisan tugas akhir

ini, hanya sebagai informasi tambahan untuk melengkapi data-data yang dijadikan

parameter sehingga hasilnya akan lebih akurat.

Pada hari ke-1 tanaman diberi perlakuan kotoran sapi segar (kondisi basah

berwarna hijau rumput) separo dosis yang telah ditentukan diantaranya, 25; 50

dan 100 kg/tanaman, karena perlakuan tersebut diberikan dua kali pada hari ke-1

dan ke-30. Selain itu, tanaman jambu juga diberi perlakuan urine sapi segar

seperempat dosis yang telah ditentukan diantaranya, 48; 95 dan 190 liter/tanaman,

Page 34: Skripsi Pram

34

karena perlakuan tersebut diberikan empat kali pada hari ke-1, ke-10, ke-20 dan

ke-30. Sebelum aplikasi kotoran sapi segar ditimbang menggunakan timbangan

gantung, sedangkan untuk urine sapi segar pengukuran menggunakan timba 12

dan 18 liter/tanaman serta jirigen 10 dan 30 liter/tanaman. Dalam penelitian ini

dilakukan pula pemupukan Urea dengan dosis 1,78 kg/tanaman sebagai perlakuan

pembanding antara perlakuan pupuk organik dengan anorganik. Urea diberikan

dua kali pada hari ke-1 dan ke-20 sesuai dosis yang dibagi rata.

Selanjutnya, pada hari ke-7 perlakuan tersebut dilakukan pencampuran

dengan tanah tanaman jambu. Kondisi kotoran sapi pada hari ke-7 permukaan luar

berwarna coklat tua seperti warna tanah, akan tetapi kondisi dalam masih basah

dan warna hijau rumput berangsur berubah menjadi coklat. Tidak ada perubahan

pada tanah yang diberi perlakuan urine sapi segar.

Pada hari ke-10, aplikasi yang dilakukan hanya pemberian perlakuan urine

sapi segar tahap II. Sebelum urine tersebut disiram, tanah dicangkul keliling

dengan jarak ± 60 cm dari batang tanaman. Lingkar terluar ditinggikan dengan

tanah agar saat menyiram urine tidak mengalir jauh dari batang tanaman.

Beberapa hal dapat diamati pada waktu ini, diantaranya tanaman yang mendapat

perlakuan urine segar dengan dosis 190 liter/tanaman mulai menunjukkan hasil

dimana tunas daun tumbuh lebih banyak dibanding dengan perlakuan urine

dengan dosis berbeda dan kotoran sapi segar. Untuk tanaman dengan perlakuan

kotoran sapi segar dan Urea belum menunjukkan reaksi.

Pada hari ke-20, pemberian perlakuan urine sapi segar tahap III dilakukan

serta pemupukan Urea tahap terakhir diberikan ke tanaman. Tanaman yang telah

berbuah mendapatkan perlakuan khusus, yaitu dibungkus dengan plastik sebagai

langkah antisipasi serangan dari lalat buah. Di hari ini, untuk perlakuan kotoran

sapi segar dengan dosis tertinggi, yaitu 100 kg/tanaman menunjukkan hasil

dimana tunas daun bermunculan akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak perlakuan

urine sapi segar 190 liter/tanaman.

Lambatnya reaksi yang ditunjukkan oleh tanaman dengan perlakuan

kotoran sapi segar disebabkan karena adanya proses pelapukan atau proses

mineralisasi yang membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut merubah hara

Page 35: Skripsi Pram

35

kotoran sapi segar dengan susunan senyawa yang kompleks menjadi hara dengan

susunan senyawa yang lebih sederhana agar hara tersebut dapat diserap oleh

tanaman. Berikut penjelasan secara kimia proses mineralisasi kotoran sapi segar :

CHO(Unsur Hara) CO2 + Unsur Hara + H2O + energi (panas)

senyawa kompleks mikroba pengurai senyawa sederhana

Kotoran sapi segar sama halnya dengan bahan organik tanah yang tersusun atas

gugus karboksilat, yaitu CHO dan unsur hara lainnya baik makro maupun mikro.

Terdapat perbadaan susunan senyawa yang menyusun dalam kotoran sapi segar

dan bahan organik. Kotoran sapi segar tersusun oleh senyawa kompleks sehingga

hara yang terkandung di dalamnya belum dapat diserap oleh tanaman, sedangkan

bahan organik berasal dari proses mineralisasi kotoran ternak atau residu tanaman

yang susunan senyawa lebih sederhana sehingga hara yang terkandung dapat

diserap langsung oleh tanaman.

Senyawa kompleks tersebut akan diurai oleh mikroba pengurai yang ada

dalam tanah maupun kotoran tersebut menjadi lebih sederhana. Penguraian

tersebut secara alami membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, secara

perlahan penguraian tersebut menghasilkan hara-hara yang dapat diserap langsung

oleh tanaman. Dan proses tersebut tidak jauh beda dengan proses pupuk anorganik

jenis slow release. Hara dalam urine sapi segar memiliki keunggulan dimana

sudah larut dalam larutan sehingga proses penguraian lebih singkat dan lebih

cepat terserap oleh tanaman.

Ada sisi negatif dari perlakuan kotoran dan urine sapi segar, yaitu kalor

(energi panas) yang dihasilkan dari proses penguraian mampu meningkatkan suhu

tanah dan dapat menyebabkan kerusakan pada akar tanaman. Oleh karena itu,

kotoran sapi ditempatkan di permukaan tanah. Kedua perlakuan tersebut hanya

dapat diperlakukan pada tanaman keras.

Khusus pada perlakuan Urea dengan dosis 1,78 kg/tanaman, pemupukan

dilakukan dengan menggali tanah lalu pupuk disebar dan terakhir ditutup dengan

tanah. Ternyata pada saat penggalian tanah, terdapat butiran-butiran pupuk Urea

yang diberikan pada hari pertama dalam jumlah yang cukup banyak.

Page 36: Skripsi Pram

36

Pada hari ke-30, dilakukan pemberian kotoran sapi segar tahap II dan urine

sapi segar tahap IV serta pengambilan sampel tanah dan daun untuk uji analisis

kimia tanah dan jaringan. Sampel daun dan tanah diambil sebelum dilakukan

aplikasi. Sampel tanah tiap pohon diambil empat titik di sekitar lingkar pemberian

pupuk, yaitu pada jarak ± 30 cm dari batang dan pada kedalaman tanah ± 20 cm.

Kemudian tanah dari empat titik tersebut dikompositkan/ dicampur secara merata

diambil ± 1 kg. Sampel daun tiap pohon diambil 20 daun dengan kriteria daun

muda yang segar, warna hijau agak tua dan berada dekat dengan pucuk daun.

Daun dengan kriteria demikian dianggap dapat mewakili kandungan hara pada

pucuk daun, daun muda dan daun tua.

Hasil pengamatan dari segi fisik tanaman yang mendapat perlakuan

kotoran dan urine sapi segar sangat berbeda dengan perlakuan pupuk Urea. Secara

keseluruhan terlihat lebih segar dan tunas daun tumbuh lebih banyak, sedangkan

tanaman dengan perlakuan pupuk Urea tidak segar, daun terlihat kering dan tunas

daun tumbuh lebih sedikit.

Hasil pengamatan tanah yang diambil sebagai sampel juga berbeda. Tanah

yang diberi perlakuan kotoran dan urine sapi segar warna tanah lebih gelap,

gembur dan tidak berbau, sedangkan pembandingnya (Urea) tanah berwarna lebih

cerah, terdapat butiran pupuk yang belum larut dan menghasilkan bau yang

menyengat. Selang beberapa hari tanah dengan perlakuan kotoran dan urine sapi

lebih banyak ditumbuhi jamur.

Pada hari ke-60, dilakukan pengambilan sampel tanah terakhir. Tidak

banyak perubahan yang terjadi pada tanah dan tanaman secara fisik, hanya

beberapa tanaman dengan perlakuan kotoran sapi dosis 100 kg/tanaman

menunjukkan pertumbuhan daun yang baik. Dalam proses pengeringan secara

alami menggunakan angin tanpa sinar matahari, tanah dengan perlakuan pupuk

Urea tetap menghasilkan bau menyengat. Hal ini berbeda dengan perlakuan

lainnya yang tidak menghasilkan bau sama sekali, namun terdapat beberapa jamur

yang tumbuh. Pada sampel tanah yang diambil pada hari ke-30 dan ke-60 terdapat

uret atau disebut juga gayas (Jawa Tengah dan Jawa Timur) merupakan

Page 37: Skripsi Pram

37

Organisme Pengganggu Tanaman yang dapat merusak akar karena hama ini

tinggal di sekitar perakaran (Saragih, 2009).

4.3 Sifat Fisika Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Tabel 4.12 Sifat Fisika Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

KarakteristikTanah

Perlakuan

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7BV (g/cm3) 1,24 1,29 1,36 1,29 1,31 1,23 1,33 1,34

BJP (g/cm3) 2,51 2,43 2,46 2,44 2,51 2,38 2,34 2,44

Porositas (%) 50,43 (B) 46,47 (KB)

44,66 (KB)

47,04 (KB)

47,77 (KB)

48,22 (KB)

43,05 (KB)

45,10 (KB)

Sumber Kriteria : Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005

Keterangan :

P1 – P3 : Pemupukan Kotoran Sapi B : Baik

P4 – P6 : Pemupukan Urine Sapi KB : Kurang Baik

P7 : Pemupukan Urea

Hasil uji laboratorium di atas menunjukkan Porositas tanah di lahan jambu

biji tergolong tinggi dengan nilai di atas 15%. Hasil tersebut sangat sesuai dengan

karakteristik tanah pada lahan tersebut yang tergolong tanah regosol (pasiran)

yang memiliki porositas tinggi. Nilai porositas pada Kontrol 50,43% termasuk

kelas baik, akan tetapi kemampuan tanah menahan air atau Water Holding

Capacity (WHC) kurang baik. Porositas yang baik secara otomatis drainasenya

juga baik sehingga berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jambu biji

termasuk kelas S1.

Selanjutnya setelah aplikasi pemupukan terjadi penurunan nilai porositas.

Secara menyeluruh tergolong dalam kelas kurang baik. Perlakuan P6 dan P2,

Urine Sapi dosis 190 liter/tanaman dan Kotoran Sapi dosis 50 kg/tanaman,

menunjukkan penurunan lebih banyak daripada perlakuan lainnya, yaitu 43,05%

dan 44,66%. Penurunan ini disebabkan karena kandungan bahan organik dalam

kotoran sapi dan urine dapat memperbaiki agregat tanah dengan mengisi pori-pori

tanah yang kosong sehingga tanah tersebut mulai mampu menahan air.

Page 38: Skripsi Pram

38

Indikasi tersebut memberikan penilaian bahwa penurunan nilai porositas

berdampak pada peningkatan kemampuan tanah untuk menahan air, meskipun

dampaknya tidak signifikan namun perubahan ini tidak merubah kelas kesesuaian

lahan tersebut. Hal tersebut memberikan solusi untuk penyiraman tanaman

dimana intensitas penyiraman tanaman dapat dikurangi karena ketersediaan air

merupakan masalah yang terjadi pada lahan tersebut. Aplikasi pemupukan dengan

kotoran sapi dan urine tersebut mampu meningkatkan kemampuan tanah menahan

air secara bertahap.

Perlakuan P4, Urine Sapi dosis 49 liter/tanaman, ternyata kurang

memberikan dampak terhadap kemampuan tanah untuk menahan air. Hal ini

disebabkan karena dari segi bentuknya urine merupakan benda cair yang mudah

lolos terutama pada jenis tanah di lahan jambu ini sehingga dengan dosis yang

telah ditentukan dianggap kurang kuat mengikat agregat-agregat tanah.

Page 39: Skripsi Pram

39

Tabel 4.12 Sifat Kimia Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

PerlakuanpH C N P K KTK

---------- (%) ---------- ppm -------- (me/100g) --------30 60 30 60 30 60 30 60 30 60 60

Kontrol 5,9 (AM) 0,74 (SR) 0,19 (R) 2,3 (SR) 0,20 (R) 11,20 (R)

Kotoran Sapi

P1 6,80 (N) 6,82 (N) 1,14 (R) 1,05 (R) 0,64 (T) 0,57 (T) 5,47 (R) 9,75 (R) 0,42 (S) 0,23 (R) 18,87 (S)

P2 6,80 (N) 6,75 (N) 1,21 (R) 1,33 (R) 0,62 (T) 0,58 (T) 10,10 (R) 16,15 (S) 0,40 (S) 0,28 (R) 15,93 (R)

P3 6,83 (N) 6,90 (N) 1,32 (R) 1,69 (R) 0,66 (T) 0,61 (T) 20,02 (T) 23,20 (ST) 0,57 (T) 0,42 (S) 17,33 (S)

Urine Sapi

P4 6,63 (N) 6,83 (N) 1,07 (R) 1,20 (R) 0,71 (T) 0,54 (T) 11,02 (S) 9,95 (R) 0,47 (S) 0,33 (R) 19,60 (S)

P5 6,58 (N) 6,62 (N) 1,32 (R) 1,36 (R) 0,71 (T) 0,59 (T) 13,33 (S) 9,87 (R) 0,47 (S) 0,42 (S) 16,60 (S)

P6 6,45 (AM) 6,73 (N) 1,41 (R) 1,45 (R) 0,78 (ST) 0,60 (T) 12,80 (S) 22,23 (ST) 0,55 (T) 0,42 (S) 23,53 (S)

Urea

P7 7,08 (N) 6,68 (N) 0,93 (SR) 0,81 (SR) 0,85 (ST) 0,58 (T) 0,48 (SR) 2,12 (SR) 0,28 (R) 0,20 (R) 23,13 (S)

Sumber Kriteria : Pusat Penelitian Tanah, 1983 dan Balai Penelitian Tanah, 2005

Keterangan :

AM : Agak Masam R : Rendah ST : Sangat Tinggi

N : Netral S : Sedang

SR : Sangat Rendah T : Tinggi

Page 40: Skripsi Pram

40

4.4 Sifat Kimia Tanah di Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Analisa sifat kimia dilakukan pada hari ke-30 dan ke-60. Analisa sifat

kimia meliputi pH, C-Organik, N, P, K dan KTK.

4.4.1 pH Tanah pada Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Derajat kemasaman tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas

tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai tersebut menunjukkan jumlah

konsentrasi ion hidrogen (H +) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam

tanah, semakin masam tanah tersebut. Selain ion H+ di dalam tanah terdapat ion-

ion lain, yaitu ion hidroksida (OH-), jumlahnya berbanding terbalik dengan jumlah

ion H+. Pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi dibandingakan dengan

jumlah ion OH-, sedangkan pada tanah alkalis kandungan ion OH- lebih banyak

dari ion H+. Jika jumlah ion H+ dan ion OH- sama di dalam tanah atau seimbang,

maka tanahnya bersifat netral.

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P75.2

5.4

5.6

5.8

6.0

6.2

6.4

6.6

6.8

7.0

7.2

5.9

6.8 6.8 6.8

6.6 6.66.5

7.1

6.8

6.8

6.96.8

6.6 6.7 6.7

pH

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60

Gambar 4.5 pH Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Gambar 4.5 di atas merupakan hasil uji laboratorium dengan metode pH

H2O menggunakan alat ukur pH meter. Kontrol merupakan kondisi lahan sebelum

diberi perlakuan. Pada kondisi tersebut pH tanah berkisar 5,9. Berdasarkan

standarnya pH demikian termasuk agak masam. Kriteria lahan dengan pH agak

Page 41: Skripsi Pram

41

masam ini sangat cocok dijadikan lahan budidaya tanaman jambu biji dan

berdasarkan kelas kesesuaian lahan lahan termasuk tergolong S1. Terdapat alasan

lain mengenai pH tersebut yakni pada kondisi tersebut senyawa-senyawa dalam

tanah yang dapat merusak jaringan tanaman terutama akar sebagai jalur distribusi

makanan, terikat oleh mineral lempung sehingga kemungkinan terjadinya

keracunan sangat kecil.

Seluruh perlakuan pemupukan tanaman memberikan hasil yaitu

peningkatan pH yang signifikan dari kondisi awal 5,90 (agak asam) menjadi 6,45

– 7,08 (netral) dan rata-rata selisih perubahan pH 1,0 – 1,5 baik pada H-30 dan H-

60. Berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jambu terjadi pergeseran

kelas. Dengan pH berkisar 6,45 – 7,08 tergolong kelas S2. Kelas ini masih cocok

untuk ditanami tanaman jambu biji.

Perubahan pH yang signifikan merupakan efek pemberian kotoran sapi

dan urine. Bahan organik yang terkandung dalam pupuk tersebut mampu

menaikkan pH pada tanah masam karena pada tanah tersebut bahan organik

bermuatan negatif sehingga dapat mengikat ion H+ yang jumlahnya sangat

banyak. Ion H+ dalam tanah menyebabkan tanah masam, dengan berkurangnya

ion tersebut tanah tersebut beralih menjadi tanah netral.

Perlakuan terbaik untuk pemupukan kotoran sapi ditunjukkan perlakuan

P3, Kotoran Sapi Segar dosis 100 kg/tanaman. Pada H-30, menunjukkan pH tanah

sebesar 6,83, kemudian pada H-60 menunjukkan pH tanah 6,90. Kenaikan pH

pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kotoran sapi

lainnya.

Perlakuan terbaik untuk pemupukan urine sapi ditunjukkan perlakuan P4

dan P6, Urine Sapi Segar dosis 48 dan 190 liter/tanaman. Perlakuan P4

menghasilkan nilai pH tertinggi pada H-30 dan H-60, yaitu 6,63 dan 6,83.

Perlakuan P6 menunjukkan nilai pH terendah pada H-30, yaitu 6,45 dan pada H-

60 nilai pH 6,73. Dilihat dari segi nilai pH, perlakuan P4 merupakan yang terbaik,

namun kenaikan pH dari H-30 ke H-60 berkisar 0,2, sedangkan perlakuan P6 pada

H-30 nilai pH merupakan yang terendah diantara perlakuan lainnya. Pada H-60

perlakuan ini menunjukkan kenaikan nilai pH pula dan kenaikannya berkisar 0,28,

Page 42: Skripsi Pram

42

lebih tinggi dari perlakuan P4. Akan tetapi nilai pH H-60 lebih rendah dari

perlakuan P4.

Pada H-30 perubahan pH tertinggi ditunjukkan perlakuan P7, Urea dosis

1,78 kg/tanaman, yaitu 7,08. Madjid (2010) menyatakan pupuk yang

menggunakan ammonium (NH4+) sebagai sumber nitrogen menyebabkan

kemasaman tanah karena proses oksidasi ammonium menjadi nitrat terjadi

pelepasan ion H+ ke tanah sehingga tanah menjadi masam. Namun berbeda

dengan data pH H-30 untuk perlakuan P7 nilai pH menjadi netral. Hal ini dapat

disebabkan karena faktor penggenangan lahan oleh air hujan yang sering terjadi

saat penelitian berjalan. Pada saat penggenangan terjadi pembebasan ion OH-

dalam proses reduksi senyawa Al dan Fe sehingga menghasilkan nilai pH netral.

Pada H-60 penurunan pH sangat drastis untuk perlakuan P7 dari 7,08

menjadi 6,68 disebabkan karena proses oksidasi NH4+ sehingga jumlahnya dalam

tanah meningkat mengakibatkan pH tanah turun.

Berikut penjelasan secara kimia :

NH4+ + 2O2 = NO3

- + 2H+ + H2O

Pada kondisi lahan dengan jenis tanah pasiran dengan ruang pori yang banyak

memiliki kelebihan dimana sirkulasi udara dalam tanah lebih baik. Namun hal

tersebut malah menyebabkan pupuk urea lebih mudah teroksidasi. NH4+ yang

terkandung dalam pupuk teroksidasi menjadi NO3- dan melepaskan ion H+ ke

tanah. Semakin banyak ion H+ yang dilepas maka pH tanah akan semakin turun

(masam).

4.4.2 Kandungan C-Organik Tanah pada Lahan Jambu Biji Desa

Sukokerto

Kandungan bahan organik dalam setiap tanah berbeda-beda sesuai dengan

jenis tanah dan bahan induk pembentuk tanah tersebut. Tanah tersusun atas

mineral 45 %, air 25 %, udara 25 %, dan bahan organik 5%. Ternyata kondisi

tanah di lapangan tidak seperti itu, kandungan bahan organik dalam tanah kurang

dari 5%. Berkurangnya bahan organik dapat terjadi akibat terkikis oleh erosi,

pengolahan tanah dan pemupukan kimia secara berlebihan.

Page 43: Skripsi Pram

43

Manfaat dari bahan organik yang diperoleh lebih besar. Bahan organik

memiliki peranan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah :

b. Sifat Fisik

Pada tanah pasiran bahan organik mampu meningkatkan pengikatan antar

partikel dan meningkatkan kapasitas mengikat air karena bahan tersebut

memenuhi pori-pori tanah. Bahan organik diketahui dapat menjerap air lebih

banyak melebihi bahan organik itu sendiri (Abdul-Rauf, 1999).

c. Sifat Kimia

Menurut Tan (1995), bahan organik dikenal mengandung sejumlah gugus

fungsional, seperti gugus karboksilat, gugus hidroksil, fenilat dan alkoholik

Akibat penggunaan pupuk nitrogen buatan secara terus menerus dalam

jumlah besar menyebabkan penurunan pH tanah menjadi lebih masam (Brady,

1990). Pemberian bahan organik dapat menyeimbangkan pH tanah di segala jenis

tanah. Pada tanah masam, bahan organik dapat meningkatkan pH karena senyawa

yang dominan (Al dan Fe) diikat oleh bahan organik menjadi senyawa kompleks

(oksida hidroksida Al dan Fe) sehingga tidak terhidrolisis lagi.

Hara pada tanah masam jumlahnya kurang tersedia bagi tanaman

dikarenakan adanya pengikatan unsur P dan K oleh Al, Fe, Mg dan Ca sehingga

unsur tersebut menjadi tidak tersedia dalam tanah. Bahan organik yang diberikan

pada tanah akan memperbesar ketersediaan P dan K dalam tanah melalui

pengikatan unsur Al, Fe, Mg dan Ca. Hal tersebut disebabkan karena adanya

peningkatan kation yang mudah dpertukarkan dan pelarutan sejumlah unsur hara

dari mineral oleh asam humus. Dengan kata lain penambahan bahan organik

mampu meningkatkan Kapasitas Tukar Kation dalam tanah sehingga ketersediaan

hara dalam tanah akan meningkat.

d. Sifat Biologi

Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi

mikroorganisme yang hidup dalam tanah. Bahan organik menyediakan karbon

yang bermanfaat sebagai sumber energi untuk tumbuh, dari proses inilah bahan

organik tersebut dikonversi dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana

sehingga unsur hara dalam bahan organik dapat terserap oleh tanaman.

Page 44: Skripsi Pram

44

Pada kondisi awal, lahan tersebut tergolong dalam jenis tanah yang

kandungan bahan organik rendah. Hal tersebut dibenarkan dengan data hasil uji

laboratorium dimana nilai C-organik sebesar 0,74% tergolong sangat rendah.

Dengan penambahan pupuk kotoran dan urine sapi segar memberikan hasil baik

terhadap peningkatan kandungan C-organik dalam tanah.

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00

0.25

0.50

0.75

1.00

1.25

1.50

1.75

2.00

0.74

1.14 1.211.32

1.071.32

1.41

0.931.05

1.33

1.69

1.201.36

1.45

0.81

C-Organik(%)

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60

Gambar 4.6 Kandungan C-Organik Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Sebagian besar terjadi peningkatan kandungan C-organik yang sangat baik

untuk perlakuan kotoran sapi dan urine sapi. Perlakuan Urea menunjukkan

peningkatan kandungan C-organik pada hari ke-30 sebesar 0,93% namun pada

hari ke-60 turun sebesar 0,81%. Pada perlakuan P3 untuk perlakuan kotoran sapi

peningkatannya sangat signifikan. Hari ke-30 dan ke-60, perlakuan P3

menunjukkan nilai C-organik sebesar 1,32% dan 1,69%. Pada perlakuan P6 untuk

perlakuan urine sapi menunjukkan nilai tertinggi pada hari ke-30 dan ke-60

sebesar 1,41% dan 1,45%, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan.

Perlakuan P4 dianggap perlakuan yang terbaik meskipun nilai peningkatannya

jauh di bawah perlakuan P6, yaitu sebesar 1,07% hari ke-30 dan 1,20% hari ke-

Page 45: Skripsi Pram

45

60. Hal ini disebabkan karena selisih peningkatan dari hari ke-30 ke hari ke-60

lebih besar daripada perlakuan P6.

4.4.3 KTK Tanah pada Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Salah satu sifat kimia tanah yang terkait erat dengan ketersediaan hara bagi

tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah adalah Kapasitas Tukar Kation

(KTK) atau Cation Exchangable Cappacity (CEC). KTK merupakan jumlah total

kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid

yang bermuatan negatif. Satuan hasil pengukuran KTK adalah milliequivalen

kation dalam 100 gram tanah atau me kation per 100 g tanah.

Tanah di lahan jambu biji ini termasuk jenis tanah memiliki KTK rendah

dan hal tersebut terbukti dengan adanya hasil uji laboratorium terhadap tanah

sebelum perlakuan, menunjukkan nilai KTK sebesar 11,20 me/100 g tanah

tergolong rendah. Rendahnya nilai KTK ini menjadi indikator ketersediaan hara

dalam tanah, semakin rendah KTK maka hara yang tersedia untuk tanaman juga

sedikit. Pernyataan tersebut juga dibuktikan dengan data hasil uji laboratorium

dimana hara, seperti C-organik (0,74%); N (0,19%); P (2,3 ppm) dan K (0,20

me/100 g tanah) tersedia dalam jumlah yang sedikit.

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00

2.50

5.00

7.50

10.00

12.50

15.00

17.50

20.00

22.50

25.00

11.20

18.87

15.9317.33

19.60

16.60

23.53 23.13

KTK(me/100 g tanah)

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60

Page 46: Skripsi Pram

46

Gambar 4.7 KTK Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

4.4.4 Kandungan N Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

0.19

0.64 0.620.66

0.71 0.710.78

0.85

0.57 0.580.61

0.540.59 0.60 0.58

Kadar N(%)

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60

Gambar 4.8 Kandungan N Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

4.4.5 Kandungan P Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Ketersediaan unsur P dalam tanah sebenarnya sangat banyak akibat

kebiasaan perilaku petani kita selama puluhan tahun yang memberikan pupuk

NPK secara terus menerus tanpa melihat jumlahnya yang ada dalam tanah dan

yang dibutuhkan tanaman sehingga menyebabkan penimbunan unsur P.

Penimbunan ini dapat merusak kondisi lingkungan tanah dan air tanah karena

unsur P tidak bergerak bebas seperti unsur N yang dapat menguap. Apabila terjadi

Page 47: Skripsi Pram

47

pencucian hara dalam tanah, unsur ini akan ikut tercuci dan mengendap di dasar

tanah atau di dalam air tanah.

Pada tanah masam unsur P bisa terjerap oleh unsur Al dan Fe sehingga

menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Pada tanah dengan pH normal unsur P

sangat tersedia bagi tanaman namun pemupukan P dalam jumlah banyak dan tidak

sesuai dengan kebutuhan tanaman akan menghasilkan residu pupuk P di tanah

dalam jumlah yang sangat besar. Hal tersebut dapat menimbulkan pencemaran

tanah dan air tanah. Untuk mengatasi dampak buruk yang diakibatkan

penimbunan pupuk serta memanfaatkan pupuk yang tertimbun dalam tanah maka

dilakukan pemupukan tanah dengan pupuk organik.

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00

2.50

5.00

7.50

10.00

12.50

15.00

17.50

20.00

22.50

25.00

2.30

5.47

10.10

20.02

11.02

13.33 12.80

0.48

9.75

16.15

23.20

9.95 9.87

22.23

2.12

Kadar P(ppm)

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60

Gambar 4.9 Kandungan P Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Berdasarkan uji laboratorium, peningkatan unsur P dalam tanah sangat

signifikan saat

4.4.6 Kandungan K Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

Kandungan K dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah, semakin

asam pH tanah maka semakin sedikit jumlah K yang tersedia untuk tanaman. Hal

Page 48: Skripsi Pram

48

tersebut disebabkan karena unsur K dijerap oleh unsur Al dan Fe sehingga

menjadi tidak tersedia untuk tanaman.

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.000.050.100.150.200.250.300.350.400.450.500.550.60

0.20

0.42 0.40

0.57

0.47 0.47

0.55

0.280.23

0.28

0.42

0.33

0.42 0.42

0.20

Kadar K(me/100 g tanah)

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60

Gambar 4.10 Kandungan K Tanah Lahan Jambu Biji Desa Sukokerto

4.5 Kandungan Hara dalam Jaringan Tanaman

Tabel 4.12 Kandungan Hara dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto

PerlakuanN P K

(%) ppm me/ 100 g tanah30 60 30 60 30 60

Kontrol 1.44 39.90 3.02Kotoran Sapi

P1 0.95 1.03 23.23 23.13 1.75 2.95

P2 1.37 1.16 19.12 23.97 1.86 3.17

P3 1.36 1.27 20.53 24.23 2.08 3.24

Urine Sapi

P4 1.03 1.26 21.65 22.78 2.66 3.10

P5 1.07 1.16 20.33 22.47 2.15 3.10

P6 0.90 1.26 20.83 21.58 2.51 2.63

Urea

P7 1.12 1.13 22.35 20.85 2.08 2.52

Page 49: Skripsi Pram

49

4.5.1 Kandungan N dalam Jaringan Tanaman

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.601.44

0.95

1.37 1.36

1.03 1.07

0.90

1.121.03

1.161.27 1.26

1.161.26 1.13

Kadar N(%)

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60

Gambar 4.11 Kandungan N dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto

4.5.2 Kandungan P dalam Jaringan Tanaman

Page 50: Skripsi Pram

50

Kontrol P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.0039.90

23.23

19.12 20.53 21.65 20.33 20.8322.3523.13

23.97 24.23 22.78 22.47 21.5820.85

Kadar P(ppm)

Perlakuan

Ket :Cerah H-30GelapH-60z

Gambar 4.12 Kandungan P dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto

4.5.3 Kandungan P dalam Jaringan Tanaman

Awal P1 P2 P3 P4 P5 P6 P70.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.503.02

1.75 1.862.08

2.66

2.15

2.51

2.08

2.953.17 3.24

3.10 3.10

2.632.52

Kadar K(me/100 g tanah)

Perlakuan

Gambar 4.13 Kandungan K dalam Jaringan Tanaman Jambu Biji Desa Sukokerto

Page 51: Skripsi Pram

51

4.6 Hubungan Antar Karakteristik Tanah

No ParameterNilai F Hitung

Hari ke-30 Hari ke-60

FISIKA TANAH

1 Porositas 0.82 tn

KIMIA TANAH

1 pH 8.20 ** 3.26 *

2 C-Organik (%) 1.23 tn 2.70 *

3 N (%) 2.99 * 0.24 tn

4 P (ppm) 4.60 ** 5.84 **

5 K (me/100 g tanah) 5.34 ** 11.38 **

6 KTK (me/100 g tanah) 2.09 tn

JARINGAN TANAMAN

1 N (%) 1.43 tn 0.61 tn

2 P (ppm) 0.16 tn 0.56 tn

3 K (me/100 g tanah) 1.68 tn 0.90 tn

BIOLOGI TANAH

1 Total Mikroorganisme

Page 52: Skripsi Pram

52

DAFTAR PUSTAKA

Abdul-Rauf. 1999. Pengaruh Mulsa Vertikal terhadap Sifat Fisik Tanah, Produksi Jagung, Erosi dan Pemanenan Air di Lahan Kering Berlereng Curam. Makalah pada Kongres VII dan Seminar Nasional HITI, Bandung, 27 – 28 November 1999.

Anas, I. 1989. Petunjuk Laboratorium. Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 1993. Urine-A Wasted, Renewable Natural Resource. Norwegia : Noragric.

Anonim. 2011. Jenis dan Fungsi Pupuk. Serial Online. http://www.wordpress.com [diakses tanggal 25 Mei 2012].

Anonim. 2012. Kemasaman Tanah (pH Tanah). Serial Online. http://www.silvikultur.com [diakses tanggal 24 Mei 2012].

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press.

Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Bogor : Balai Penelitian Tanah.

Butler, T.A., L.J. Sikora, P. M. Steinhilber and L. W. Douglass. 2001. Compost Age and Sample Storage Effects on Maturity Indicators of Biosolids Compost. J. Environ. Qual. 30 : 2141-2148.

Brady, N.C dan H.O. Buckman. 1982. Ilmu Tanah. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Brady, N.C dan H.O. Buckman. 1990. Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : Bhatara Karya.

Page 53: Skripsi Pram

53

Diaz, L.F., G.M. Savage, L.L. Eggerth and C.C. Golueke. 1993. Composting and Recycling Municipal Solid Waste. Boca Raton : Lewis Publishers.

Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagyo, Anny Mulyani dan N. Suharta. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah. Jakarta : AgroMedia Pustaka.

FAO. 2003. On-farm Composting Methods. Rome : Food and Agriculture Organization.

Foth, HD. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Endang Dewi Purbayati, dkk. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

Foth, HD. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

Google Maps. 2012. Desa Sukokerto, Kecamatan Sukowono, Jawa Timur. Peta Digital. http://maps.google.co.id [diakses tanggal 02 Mei 2012].

Hakim, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung : Universitas Lampung.

Hanafiah, KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Presindo.

Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. Jakarta : Rajawali.

Indranada, H.K. 1985. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bina Aksara. Jakarta.

Jo, I.S. 1990. The Use of Organic Fertilizer on Soil Physical Properties and Plant Growth. Paper Presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers

Page 54: Skripsi Pram

54

in Crop Production, at Suweon, South Korea, 18-24 June 1990 (Unpublished).

Khadijah, S. dan Chaerun A. 2008. Dampak Lingkungan Penggunaan Pupuk Urea pada Pembebanan N dan Hilangnya Kandungan N di Sawah. Jurnal Pendidikan IPA Volume VI No. 7. Bandung : Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB.

Kumar V., Wagenet R.J. 1984. Urease Activity and Kinetics of Urea Transformation in Soils. Soil Science, 137, 263 – 269.

Lingga, P. 1991. Jenis dan Kandungan Hara pada Beberapa Kotoran Ternak. Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) ANTANAN. Bogor (Tidak dipublikasikan).

Mardalena. 2007. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis sativa L.) Terhadap Urine Sapi Yang Telah Mengalami Perbedaan Lama Fermentasi. Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Naswir. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi yang Difermentasi Sebagai Nutrisi Tanaman. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Notohadiprawiro, T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Popenoe, W. 1974. Manual of Tropical and Subtropical Fruits. Hafner Press. Facsimile of the 1920. pp. 272-279.

Prihatman, K. 2000. Budidaya Pertanian : Jambu Biji / Jambu Batu. Jakarta : Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Rynk, R., M. van de Kamp, G.B. Wilson, T.L. Richard, J.J. Kolega, F.R. Gouin, L. Laliberty, Jr., D. Kay, D.W. Murphy, H.A.J. Hoitink, and W.F. Brinton. 1992. On-farm Composting Handbook. Editor R. Rynk.

Page 55: Skripsi Pram

55

Northeast Regional Agricultural Engineering Service, U.S. Department of Agriculture. Ithaca, N.Y., Pp. 1-13.

Samekto, R. 2006. Pupuk Kandang. Yogyakarta : Citra Aji Prama.

Saragih, DM. 2009. Serangan Uret dan Cara Pengendaliannya pada Tanaman Eucalyptus hybrid di Hutan Tanaman PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Na Uli Sumatera Utara. Skripsi Kehutanan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Subowo G. 2010. Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik untuk Kesuburan dan Produktivitas Tanah melalui Pemberdayaan Sumberdaya Hayati Tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1. Bogor : Balai Penelitian Tanah.

Suteja, M.M. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, dan RD. S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Cetakan pertama. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm. 1-105.

Tan, K.H. 1993. Environmental Soil Science. New York : Marcel Dekker, Inc.

Zibliske, L.M. 1997. Composting of Organic Wastes. P 482-497. In D.M. Silvia, J.J. Fuhrmann, P.G. Hartel & D.A. Zuberer (Eds.) Principles and Apllications of Soil Microbiology. New Jersey : Prentice Hall.

Page 56: Skripsi Pram

56