skripsi nilai pendidikan dalam cerita rakyat dan relevansinya
DESCRIPTION
semoga bermanfaatTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Apabila mengkaji kebudayaan
kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis (tidak berubah), tetapi
merupakan sesuatu yang dinamis senantiasa berubah. Hubungan antara
kebudayaan dan masyarakat itu sangat erat karena kebudayaan itu sendiri
memuat pandangan antropologi yang merupakan suatu kumpulan manusia dan
masyarakat mengadakan sistem nilai yaitu berupa aturan yang menentukan
suatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki dari yang
lain. (Semi, 1988: 54).
Karya sastra juga memberikan hiburan dan kenikmatan di samping
adanya tujuan estetik. Demikian juga dengan fiksi atau cerita rekaan
menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan
kehidupan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurgiantoro dalam khairuddin
(2010: 1) mengemukakan realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan
dan kesan yang meyakinkan, tetapi tidak selalu merupakan kenyataan sehari-
hari.
Keberadaan sastra dalam masyarakat penting sekali. Rokhman (2003: 5)
menjelaskan efek sastra bagi masyarakat yaitu manusia yang tersentuh sastra
akan melihat persoalan yang lebih urut dalam hidup karena apa yang
dipahaminya dari teks-teks sastra merupakan potret kehidupan. Perbedaan-
perbedaan akan dipahami karena berangkat dari persepsi berbeda terhadap
1
suatu masalah. Akibatnya, toleransi akan lahir. Dengan kata lain, sastra
membantu terciptanya cara berpikir yang demokrat.
Sejalan dengan pandangan di atas, Bulton seperti dikutip Aminuddin
(1995: 37) mengemukakan bahwa karya sastra tidak hanya menyajikan nilai-
nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan
batin pembacanya, juga bisa memberikan pandangan yang berhubungan
dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai macam
problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.
Banyak peristiwa dan permasalahan serta penyelesaian yang terdapat
dalam karya sastra. Karya sastra juga dapat dimanfaatkan oleh pembaca dalam
kehidupannya, baik dari segi moral, sosial, agama, ataupun masalah
pendidikan. Hal ini merupakan tanggung jawab pengarang kepada pembaca,
seperti yang diungkapkan Horatius dalam Khairuddin (2010: 3) bahwa tujuan
pengarang menciptakan karyanya adalah memberikan manfaat dan
kenikmatan sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaidah dalam
kehidupan.
Cerita rakyat suku Sasak ini mserupakan jenis sastra lama. Sastra lama
merupakan bagian dari masyarakat dan umumnya diwariskan secara lisan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, sebagai milik bersama. Sastra lama, baik
yang berbentuk prosa maupun berbentuk puisi, adalah milik rakyat yang sejati
sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Pengembangan, pewarisan, dan
penyebaranya dilakukan dari mulut ke mulut secara tradisionl, sehingga sastra
lama umumnya berbentuk lisan. (Khairuddin, 2010 : 4).
2
Ragam sastra lama umumnya berbentuk lisan. Ia tidak hanya berfungsi
sebagai sarana hiburan, penyalur pikiran, dan perasaan bagi penutur dan
pendengarnya, tetapi juga berfungsi sebagai alat pencerminan sikap,
pandangan dan tingkah laku kelompok. Dalam konteks sekarang, kepedulian
masyarakat terhadap bentuk-bentuk kebudayaan lama sangat tipis. Tidak
tertutup kemungkinan bentuk-bentuk kebudayaan lama ini suatu ketika akan
terabaikan dan akan hilang tanpa bekas, termasuk sastra lisan yang tersebar di
berbagai daerah.
Kita tidak dapat menyangkal bahwa sastra lisan mempunyai peran yang
penting dalam kehidupan masyarakat dan merupakan warisan budaya daerah
yang berharga. Oleh karena itu, penelitian tentang sastra lama yang tersebar di
berbagai daerah, terutama yang ada di daerah Lombok, sangat perlu dilakukan.
Penelitian-penelitian tentang sastra lama memberikan pemaparan tentang
tingkat kehidupan dan peradaban masyarakat pada masa lampau. Cerita prosa
rakyat termasuk dalam kajian folklor, yang paling banyak diteliti oleh para
ahli folklor. Menurut Wiliam R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi
dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend), dan
(3) dongeng (folktale) (Danandjaya, 1997 : 50).
Cerita rakyat suku Sasak Balang Kesimbar merupakan salah satu
khazanah sastra lisan suku Sasak di pulau Lombok yang berbentuk prosa.
Cerita rakyat Balang Kesimbar merupakan salah satu cerita rakyat suku Sasak
yang populer di kalangan masyarakat Sasak. Cerita ini mengandung nilai-nilai
3
yang perlu diketahui oleh generasi sekarang, terutama aspek-aspek
pendidikannya.
Selain itu, jika kita memperhatikan dan mencermati peran keluarga
sebagai salah satu lembaga pendidikan nonformal sekarang ini sudah
mengalami pergeseran. Salah satu penyebab pergeseran ini adalah adanya
pergeseran peran pengasuh dan pendidikan oleh orang tua yang digantikan
oleh media televisi. Anak-anak yang masih belum bisa membedakan dan
memilih mana tontonan atau acara televisi yang cocok dengan usia dan
perkembangan mental mereka seringkali menonton tayangan-tayangan yang
kurang pas. Ini semua kemudian tidak jarang berdampak pada perilaku anak
yang tidak sesuai dengan tuntunan agama dan budaya mereka.
Sebenarnya banyak cerita rakyat yang bisa dijadikan alat atau sarana oleh
para orang tua dalam pendekatannya dengan anak. Dengan bercerita secara
lisan, secara tidak langsung orang tua bisa mengarahkan atau memberi
gambaran kepada anak bagaimana seharusnya seorang anak dalam bertingkah
laku di dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam realita yang kita hadapi saat ini, segala sesuatu biasanya
dipandang dari segi materi saja. Anak-anak terutama di desa keruak tidak
terlalu memperdulikan masalah pendidikan. Kebanyakan anak mengandalkan
orang tuanya. Mereka tidak sadar jika pendidikan itu sangat penting dalam
menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang.
Dalam konteks inilah sangat diperlukan pendidikan dalam keluarga yang
berbasis pada kearifan lokal, sehingga generasi-generasi muda tidak
4
kehilangan jati dirinya. Dan salah satu bentuk kearifan lokal tersebut adalah
cerita rakyat (sastra lisan).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian adalah.
1. Melalui tokoh siapakah nilai-nilai pendidikan dapat tercermin dalam cerita
rakyat suku sasak baling kesimbar ?
2. Nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam cerita rakyat suku Sasak
Balang Kesimbar ?
3. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan dalam cerita rakyat suku
Sasak Balang Kesimbar dengan nilai pendidikan dalam realitas keluarga
kehidupan masyarakat Sasak dewasa ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. untuk mendeskripksikan tokoh-tokoh yang kaitannya dengan nilai-nilai
pendidikan yang terdapat dalam cerita rakyat balang kesimbar.
2. Untuk mendeskripsikan nilai pendidikan yang terkandung di dalam cerita
rakyat suku Sasak Balang Kesimbar.
3. Untuk menemukan relevansi nilai pendidikan yang terdapat di dalam cerita
rakyat suku Sasak Balang Kesimbar dengan keluarga sasak.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat utama, yakni manfaat teoritis dan
praktis.
1. Manfaat teoretis
Mengaplikasikan konsep-konsep teori strukturalisme yang berbasis pada
prinsip antarhubungan unsur-unsur yang membangun struktur cerita Balang
Kesimbar.
2. Manfaat praktis
a. Guru
Diharapkan hasil penelitian ini sebagai acuan dan referensi dalam
mengajar terutama dalam pembelajaran sastra dan sebagai suatu acuan
dalam mendidik anak terutama dalam pergaualan anak dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Siswa
Diharapkan hasil penelitian ini sebagai tambahan pengetahuan dalam
ilmu sastra dan sebagai acuan dalam bergaulan dengan masyarakat dan
dilingkungan sekolah.
c. Instansi
Diharapkan hasil penelitian ini sebagai bahan informasi dan studi
banding bagi peneliti selanjutnya. Diharapkan dapat sebagai tambahan
referensi khususnya dalam bidang .
6
BAB I1
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Nilai Pendidikan
Mitcheel dalam Harton dan Hunt (1991: 71) menjelaskan nilai
berhubungan erat dengan harga. Yang dimaksudkan dengan harga adalah
harga yang dinyatakan dengan uang atau barang atau jasa disebanding
dengan nilai yang lain. Nilai adalah suatu bagian yang penting dari
kebudayaan. Suatu tindakan yang dianggap salah. Artinya, secara moral
dapat diterima. Senada dengan itu, Anton Muliono dkk. (1989 : 615)
mengartikan nilai sebagai pengertian yang abstrak. Secara umum nilai berarti
“keberhargan” atau suatu ciri atau sifat yang dimiliki oleh suatu hal.
Anton Mulyono, dkk (1989 : 204), pendidikan adalah proses perubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses
perbuatan, cara mendidik.
Dari uraian di atas, maka pengertian pendidikan itu sendiri adalah upaya
yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan perubahan sikap dan prilaku
seseorang melalui pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuain dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan
(Fu’ad Ihsan, 1995: 2 ). Sejalan dengan pengertian tersebut, diperlukan usaha
7
untuk menanamkan nilai-nilai serta mewariskannya kepada generasi
berikutnya untuk dikembangkan dalam kehidupan yang terjadi dalam suatu
proses pendidikan. Karena bagaimanapun suatu masyarakat, didalamnya
berlangsung dan terjadi suatu proses pendidikan sebagai usaha untuk
mencapai tujuan hidupnya. Atau dengan kata lain, pendidikan sebagai suatu
hasil peradaban yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup ( nilai dan
norma masyarakat ) yang berfungsi sebagai pernyataan tujuan pendidikannya
sekaligus juga menunjukkan bagaimana masyarakat berfikir dan berprilaku
secara turun temurun kepada generasi berikutnya dalam pengembangannya
akan sampai pada tingkat peradaban yang maju atau meningkatkan nilai-nilai
kehidupan dan pembinaan kehidupan yang lebih sempurna.
Sementara ( Purwanto, dalam Hadiatun, 2003 : 10 ) menyatakan bahwa
pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-
anak untuk memimpin jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Jadi,
pendidikan atau orang tua harus mendidik anak-anaknya supaya berguna bagi
masyarakat tempat dia hidup. Mereka tidak begitu saja membiarkanb anak-
anaknya tumbuh sendiri supaya anak tidak terpengaruh pemuasan dorongan
nafsu, yang sudah tentu banyak bertentangan dengan apa yang berlaku dan
dikehendaki oleh masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan yang disesuaikan dengan
lingkungan masyarakat dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan
anak menuju kedewasaan.
8
Pengertian nilai pendidikan yang dikemukakan di atas ternyata
mencakup hal yang cukup luas dan tentunya akan berkaitan dengan nilai-nilai
lain dalam kehidupan manusia seperti nilai agama, nilai sosial, nilai moral
dan budaya, serta nilai ekonomi. Pemahaman terhadap nilai tersebut
merupakan pemahaman masyarakat tentang nilai pandidikan dalam arti luas,
sehingga dapat dikatakan bahwa nilai tersebut akan menjadi pedoman dalam
bertingkah laku bagi seluruh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai seperti
inilah yang merupakan asas abstrak yang mengikat anggota masyarakat yang
dapat diamati dalam cerita rakyat suku Sasak “ Balang Kesimbar”.
2.2 Macam-macam Nilai
Pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung pada setiap pasal itu tepat
digolongkan dalam tiga nilai pokok yaitu nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai
budaya dan nilai-nilai sosial (Ahmad Yunus, 1990 : 105-115)
1. Nilai Keagamaan
Sastra dengan agama mempunyai hubungan yang sangat erat. Banyak
diantara karya sastra yang merupakan sarana penyampaian nilai-nilai
keagamaan. Dalam fungsinya sebagai sarana penyampaian nilai-nilai dan
unsur-unsur keagamaan, Mursal Esten (Ahmad Yunus, dkk 1990 : 106)
berpendapat ada tiga cara pengungkapan yang dapat kita lihat. Pertama
mempersoalkan praktek ajaran agama; kedua menciptakan dan
mengungkapkan masalah berdasarkan ajaran-ajaran agama; ketiga
kehidupan agama sebagai latar belakang.
9
Secara etimologi istilah agama berasal dari dua kata : A=tidak ;
Gama= kacau. Jadi agama berarti tidak kacau.(Abdul Wahab :1993.8)
Menurut H. Bahrun Rangkuti mengatakan, bahwa “a” adalah tidak
dalam bahasa sangsakerta seperti halnya pada aneka ( a= tidak ; eka=satu).
Jadilah aneka sama dengan lebih dari satu atau tidak satu. Tetapi “a”
panjang ( agama ) artinya cara, jalan, “gama” mulanya” gam” yang berarti
jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridahaan Tuhan. Jadi
arti agama adalah segala perwujudan dan bentuk hubungan-hubungan
manusia dengan tuhannya.
Nilai-nilai agama dapat nampak dan kelihatan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu sikap dan perilaku hubungan antara manusia dalam
masyarakat. Sikap dan perilaku itu selalu diwarnai oleh nilai-nilai ajaran
agama, akan diperaktekkan dalam kehidupan sehari-hari dan akhirnya
akan melembaga. Nilai-nilai inilah yang lama-kelamaan menjadi nilaiyang
tetap dipertahankan kelestariannya. Hubungan antara sesama dalam
masyarakat baik antar intern umat beragama maupun antar umat beragama
dapat dikelompokkan atas tiga bentuk antara lain :
1. Hubungan antar individu dengan individu.
2. Hubungan antar individu dengan kelompok.
3. Hubungan antar kelompok dengan kelompok.
Ketiga bentuk hubungan diatas lazimnya dapat terjadi antar umat
beragama dan pemeluk agama lain. Dalam pergaulan hidup sehari-sehari
baik formal maupun non formal selalu diwarnai oleh sifat- sifat religius.
10
Religius ini lebih banyak nampak dalam bentuk ucapan terutama dalam
pidato seperti “ saya mendoakan .............................”, kalimat sopan santun
( Abdul Wahab, 1993 :31 ).
2. Nilai Budaya
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sangsakerta yang berarti
Budayah yang merupakan bentuk jamak dari kata “Budi” yang berarti
akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal ( Soekanto, 1981 : 55 ).
“ Keseluruhan sistim gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar”. ( Kontjaraningrat, 1990 :
180 )
disamping itu E.B. Tylor memberikan definisi tentang kebudayaan:
“ Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain-
lain. Kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang
didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat “. (Soekanto,
1981 : 55).
Berpijak dari definisi diatas sudah jelas bahwa dengan belajarlah
manusia bisa menciptakan karya-karya dalam masyarakat yang cukup
sederhana apapun bentuk karya manusia itu. Hal ini disebabkan karena
kebudayaan berarti segala hasil cipta, rasa, dan karsa. ( Hans Daeng,
1976 : 19 ).
11
Sastra mencerminkan nilai-nilai yang secara sadar diformulasikan
dan diusahakan oleh warganya dalam masyarakat.
Nilai budaya adalah aspek ideal yang terwujud sebagai konsepsi
konsepsi abstrak yang hidup dalam pikiran sebagian besar dari warga
suatu masyarakat mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga
dalam hidup.
Dalam wujud yang lebih konkrit, aspek nilai budaya ini berupa
norma-norma, aturan-aturan dan hukum yang menjadi pedoman bagi
manusia dalam bertindak dan berpelilaku.
3. Nilai sosial
Dalam tingkat abstraknya nilai-nilai sosial ini tanpak lebih nyata.
Kalau nilai budaya merupakan gagasan-gagasan dan pola ideal masyarakat
tentang segala sesuatu yang dipandang baik dan berguna, maka pada nilai-
nilai sosial gagasan-gagasan itu telah dituangkan dalam bentuk normr-
norma, aturan-aturan dan hukum. Nilai-nilai sosial inilah yang menjadi
pedoman langsung bagi setiap tingkah laku manusia sebagaisebagai
anggota suatu komuiti atau masyarakat. Yang didalamnya memuat sanksi-
sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya.
Sosial adalah kemasyarakatan yang berhubungan dengan kepentingan
umum ( KUBBI, 354 ). Sosial adalah gejala-gejala yang tidak sewajarnya
yang dalam kehidupan masyarakat memerlukan perhatian dari sesama
pihak. Masalah-masalah ini menyangkut nilai-nilai sosial yang merupakan
persoalan bersama. Jadi sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-
12
unsur dalah kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan
kelompok sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan
pokok dari warga sosial. Masalah-masalah sosial yang menimbulakan
adanya interaksi sosial yang berkisar pada ukuran nilai-nilai adat istiadat,
tradisi, ideologi ( Abdul Wahab, 1993 : 247 ).
Sistem sosial terdiri dari aktifitas-aktifitas atau tindakan berinteraksi
antara individu yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai
tindakan berpola yang saling berkaitan. Sistem sosial lebih konkrit sifatnya
daripada sistem budaya, sehingga semuanya dapat dilihat dan diobservasi
(Kontjaraningrat, 1996 : 95 ).
4. Nilai Moral
Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan
sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994).
Moral dalam karya sastra biasanya menceminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkuta, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran,
dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam
cerita, menurut Kenny (Nurgiatoro, 2005: 321), biasanya dimaksud
sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang
bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang
bersangkutan oleh pembaca.
13
Menurut Lillix dalam Saftini (2010: 9) kata moral dari kata mores
(bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan adat istiadat.
“Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah yang boleh dikatakan bersifat tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia secara garis besar dalam kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam manusia dengan sendiri, hubungan manusia dengan manusia, lain dalam lingkup sosial temasuk dengan hubungan lingkungan alam dan hubungan manusia dengan Tuhannya” (Nurgiantoro dalam Saftini, 2010: 10).
“Dalam pengertian lain disebutkan bahwa, sesuatu yang estetus adalah sesuatu yang dimiliki moral tidak ada kehidupan tanpa moral, ia bukan hanya semacam sopan santun ataupun etika belaka tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal. Demikian juga tentang nilai-nilai yang bersifat konsepsional, dasarnya adalah juga tentang nilai keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang moral” (Estten dalam Saftini, 2010: 10).
Sastra juga mengungkapkan nilai moral yang berguna bagi
masyarakat sastra, karena di dalam karya sastra tersebut mendidik
pembaca untuk bersikap sopan santun, bermoral dan bersusila dalam
kehidupan sehari-hari.
Selain itu juga, dituliskan juga oleh Halim dalam Saftini, (2010: 10)
akhlak terpuji bahwa moral disinonimkan dengan akhlak yang merupakan
sebuah kata yang digunakan untuk mengistilahkan perbuatan manusia
yang kemudian diukur dengan baik atau buruk dalam agama islam, ukuran
yang baik digunakan untuk menilai baik atau buruk itu tidak lain adalah
ajaran islam itu sendiri (Al-Qur’an dan Al-Hadis).
14
Dengan demikian moral merupakan hal-hal yang berkenaan dengan
tutur kata, perilaku dalam hubungan dalam masyarakat, diharapkan akan
memperoleh nilai-nilai yang menuju perilaku positif dalam kehidupan
sehari-hari.
2.3 Pendidikan Keluarga
Menurut Langeverld yang dikutip oleh Suwarno ( 1988 : 39 ) dalam
bukunya ” Pengantar Ilmu Pendidikan “ mengatakan bahwa manusia adalah
animal educable dan animal homo educandus, artinya makhluk yang dapat
dididik dan makhluk yang dapat mendidik.
Dari kedua istilah di atas dapat dipahami bahwa pendidikan itu
merupakan gejala yang selayaknya dan sepatutnya pada manusia. Manusia
dengan eksistensinya sebagai makhluk dididik dan mendidik pada dasarnya
dapat ditinjau dari :
a. Keberadaan anak didik
Sebagai anak yang memiliki potensi untuk berkembang pada saat baru
lahir dalam keadaan lemah belum dapat berdiri sendiri. Maksudnya adalah
dalam fase perkembangan sikap dan mental yang masih lemah, disinilah
peranan orangtua dituntut untuk membimnbing anak kearah sikap mental
yang ada pada diri anak dengan kekhasan yang ada pada diri anak. Dan
seorang anak yang baru lahir juga menuntut untuk dibina agar memiliki
potensi untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan bantuan dari
15
orangtua dan itupun merupakan tugas dan tanggung jawab dari orang tua
yang melahirkan untuk dibina kearah yang lebih baik.
b. Ditinjau dari orangtua
Anak yang lahir adalah akibat hubungan orangtua yang telah
mengikat janji untuk hidup bersama dalam hubungan nikah yang sah.
Karena itu menjadi tanggung jawab berdua dan lebih-lebih tanggung
jawab moril dari orang tua untuk mendidik anak-anak. Maka dari itu
orang tua mempunyai peranan yang penting dan memiliki tanggung
jawab yang besar terhadap semua anggota keluarga yang berada dibawah
tanggung jawabnya. Namun orang tua juga haruslah ikut mematuhi
ketentuan dan peraturan yang berlakun dalam rumah tangga itu, karena
dengan pernana orang tua dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam rumah tangga, maka seseorang anak akan memberiukan
penilaian yang baik kepada orangtuanya,
c. Manusia dengan sifat kemanusiaan, artinya mendidik adalah khas
manusiawi dalam hal ini Immanuel Kant mengatakan, “manusia hanya
dapat menjadi manusia karena pendidikan”. Berdasarkan betapa
pentingnya dan kuatnya peranan pendidikaan dalam pembinaan dan
pembentukan kepribadian yang lebih baik menuju kearah kedewasaan.
Melalui pendidikan dapat membantu sikap mental dengan ja;lan melatih
pengembangan kearah nilai sikap yang diinginkan. Dengan kata lain
pendidikan adalah suatu kegiatan pembinaan sikap mental yang akan
menentukan tingkah lakunya kearah yang lebih baik.
16
d. Manusia sebagai makhluk budaya
Manusia dengan budinya membentuk kebudayaan dan hidup dalam
dunia kebudayaan. Untuk mampu hidup layak tersebut haruslah dibekali
dengan nilai-nilai, dan nilai-nilai itu disampaikan melalui pendidikan.
Dengan demikian kebudayaan ini adalah usaha untuk menyampaikan
nilai-nilai pendidikan kepada generasi muda .
Dari keempat cara pandang tersebut, kiranya memberikan pemahaman
bahwa setiap manusia berpotensi untuk mendidik dan dididik. Orang tua
sebagai orang yang bertanggung jawab dalam keluarga, tentunya harus
memperhatikan kelangsungan hidup anak-anak dengan memberikan bekal
ilmu pengetahuan.
Pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menyampaikan
kepada orang atau pihak lain segala hal untuk menjadikannya mampu
berkembang menjadi manusia yang lebih baik, lebih bermutu, dan dapat
berperan lebih baik pula dalam kehidupan lingkungannya dan
masyarakatnya. Hal yang disampaikan itu meliputi sistem nilai,
pengetahuan, pandangan, kecakapan dan pengalaman. Makin baik
penyampaian itu, makin besar kemungkinan manusia menjadi bermartabat.
Dan makin baik perannya dalam kehidupan lingkungan dan masyarakatnya.
Itu juga menjadi persiapan yang baik untuk menghadapi pekerjaan dan
kehidupan, menjadikan manusia makin mampu melakukan pekerjaannya.
17
Pendidikan dalam keluarga adalah tanggung jawab orang tua,
dengan peran Ibu lebih banyak. Karena ayah biasanya pergi bekerja dan
kurang ada di rumah, maka hubungan ibu dan anak lebih menonjol.
Meskipun begitu peran ayah juga amat penting, terutama sebagai tauladan
dan pemberi pedoman, terutama soal cinta tanah air dan patriotisme. Kalau
anak sudah mendekat dewasa peran ayah sebagai penasehat juga amat
penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan Ibu.
Oleh karena hubungan ayah dan anak relatif terbatas waktunya, terutama di
hari kerja, maka ayah harus mengusahakan agar pada hari libur memberikan
waktu lebih banyak untuk berhubungan dengan anak.
Pada dasarnya pendidikan dilakukan di lingkungan keluarga, dalam
masyarakat dan melalui sistem sekolah. Karena setiap manusia bermula
kehidupannya dengan dilahirkan ibunya dalam lingkungan keluarganya,
maka dapat dikatakan bahwa Pendidikan di Lingkungan Keluarga menjadi
landasan segenap usaha pendidikan sepanjang hidup manusia. Celakalah
satu bangsa yang tidak dapat menjaga kehidupan keluarga yang teratur.
2.4 Cerita Rakyat
Cerita rakayat adalah cerita yang dituturkan secara lisan ( folklor ).
Brunvand seperti dikutip Muhajji (2008 : 17) menggolongkan folklor ke
dalam tiga golongan, yaitu : (1) folklor lisan, yaitu folklor yang berbentuk
nya memang murni lisan. Yang termasuk folklor lisan antara lain adalah;
18
bahasa rakyat ( folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan
title kebangsawanan.
Ungkapan tradisional seperti pribahasa, pemeo, /pepatah.
Pertanyaan tradisional, seperti teka teki.
Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair.
Cerita rakyat seperti mite ,legenda, dan dongeng.
Nyanyian rakyat.
Folklor sebagian lisan adalah folklor campuran lisan dan unsur
bukan lisan, yang termasuk folklor sebagian lisan antara lain; kepercayaan
rakyat, tarian rakyat, teater rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat dan
sebagainya.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan
walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Folklor bukan lisan dibagi menjadi 2 yaitu: material dan bukan
material.
Folklor yangf te3rgolong material seperti arsitektur rakyat (bentuk
rumah, bentuk lumbung rakyat, dll), keinginan tangan rakyat, pakaian
reakyat, penulisan rakyat, makanan rakyat, obat-obatan rakyat. Sedangkan
yang termasuk bukan material antara lain gerakan isyarat tradisional,
bunyi komunikasi rakyat dan musik rakyat.
19
Fungsi mempelajari folklor menurut William.R.Bascom. seperti dikuti
muhajji ( 2008:17) seorang guru besar amerika dalam ilmu folklor dari
universitar california adalah sbb:
1. Sebagai sistem proyeksi (proyective system) yakni sebagai alat
pencerminan angan-angan kolektif
2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dalam lembaga-lembaga
kebudayaan
3. Sebagai alat pendidikan anak (paedagogical device)
4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat
akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya
2.5 Konsep Tentang Sastra Daerah
Definisi sastra telah banyak dikemukakan oleh para pakar dengan
beraneka ragam. Paparan dengan tujuan yang sama untuk menaruh suatu
kesimpulan yang akurat dan valid tentang apa itu sastra tentu belum ada.
Walaupun demikian dapat membentuk ulasan tentang definisi sastra
sebagai berikut:
Dalam bahasa sangsekerta, sastra berasal dari kata sas dan tra. sas berarti
menggerakkan, memberi petunjuk atau instruksi sedangkan tra berarti alat
dan sarana. Untuk meyampaikan gagasan dalam bahasa melayu sastra
diartikan tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang
berarti baik dan indah. Jadi susastra berarti karangan yang indah dan bagus
isinya. ( Muhaji.dkk,2008:4)
20
Definisi ini belum memuaskan dan masih banyak hal-hal yang
terlupakan untuk menyatukan arti sastra yang sebenarnya. Untuk itu, masih
banyak definisi lain tentang sastra seperti dikemukakan sebagaiberikut :
Sastra adalah karya fikir yang memuat tentang perilaku kehidupan
Dikatakan demikian bahwa sebuah karya sastra sesungguhnya merupakan
hasil kontemplasi kekuatan imajinasi penulisnya untuk menggambarkan
sikap dan perilaku kehidupan kita dalam bentuk yang sedemikian indah
agar pembaca tersentuh perasaannya untuk menghayati peristiwa yang
telah ditulis oleh penyairnya.
Sastra juga didefinisikan sebagai karya cipta manusia berupa seni dan
bahasa sebagai medianya.
Mencermati definisi di atas tentu terlintas pemikiran kita bahwa
sastra merupakan daya cipta manusia yang sangat unik karna ada bahasa
dan seni sebagai pembedanya dengan karya cipta manusia yang lain.
Paparan definisi ini menurut kajian bahwa sastra adalah cipta manusia
yang diramu dengan nilai-nilai estetika yang dapat menggubah perasaan
kita, senang, simpati, benci, dendam atau perasaan emosional lainnya
sesuai dengan tema yang digubah oleh poetnya (penyairnya). Kata kunci
kedua dari definisi sastra diatas adalah bahasa, artinya bahwa daya cipta
manusia yang indah, poetic, dan seni diekspresikan melalui bahasa.
Banyak karya seni yang tidak dikemukakan lewat bahasa akan tetapi lewat
suara , gerak, warna, dll.
21
Sehingga yang membedakan antara karya seni dengan karya seni
lainnya adalah bahasa sebagai media sastra itu sendiri.
Sejalan dengan goresan diatas Zainuddin Fenanie dalam Muhaji,dkk.
(2008:5) mengatakan “sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil
kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu
mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan
maupun maupun aspek makna” pernyataan Fananie di atas mengisyaratkan
bahwa di dalam sastra itu memuat atau melukiskan luapan emosional
manusia yang dikemukakan lewat bahasa yang indah sehingga mampu
membawa penikmatnya ke alam atau suasana peristiwa yang telah di bahas
oleh poetnya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia ( Alwi dkk, 2005: wz)
dituliskan definisi sastra adalah sebagai berikut:
1. Bahasa (kata-kata gaya bahasa) yang dipakai di dalam kitab-kitab
(bukan bahasa sehari-hari)
2. Karya tulis yang jika dibandingkan tulisan lain memiliki berbagai
cirri keunggulan seperti keaslian,keartistikan, keindahan, dalam isi
dan ungkapannya.
3. Kitab suci hindu : kitab ilmu pengetahwan.
4. Pustaka : kitab primbon (berisi ramalan,hitugan dsb)
5. Tulisan : huruf
22
Apa yang dikemukakan dalam kamus besar bahasa Indonesia di atas,
dapat ditarik suatu pesepsi bahwa sastra itu adalah kumpulan pengetahuan,
petunjuk, ajaran yang dikemukakan dalam bentuk yang indah.
2.6 Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra berasal dari kata. Sosiologi dan sastra.
Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-
sama,bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan,
perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan
makna,soio/socius berarti masyarakat, logi/ logos berarti ilmu. Jadi,
sosiologi berarti ilmu mengenai asal- usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan
hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan
empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana.
Jadi,sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku
pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah
terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil
karya yang baik. (Ratna, 2002: 2)
Sesungguhnya kedua ilmu memiliki objek yang sama yaitu manusia
dalam masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat
berbeda, bahkan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu
objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini
23
(das sein), bukan apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya,
karya sastra jelas bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Perbedaan
antara sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai
perbedaan ciri-ciri, sebagaimana itunjukan melalui perbedaan antara
rekaan dan kenyataan , fiksi dan fakta. (Ratna, 2002: 2)
Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu
dipertimbangkan, dalam rangka menemukan objektifitas hubungan antara
karya sastra dengan masyarakat, antara lain yaitu pemahaman terhadap
karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
Pemahaman terhadap totalitas karya yang dasertai dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya dan sosiologi sastra adalah
kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat (Ratna, 2002: 3).
Secara instutisional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam
masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala
alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan
kehidupan manusia dan massyarkat melalui analisis ilmiah dan objektif,
sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan
evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intlektualits, tapi tetap
didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, menurut Damono dalam Ratna
(2002: 4), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian
terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya
cenderung sama. Sebaliknya, apabila kedua orang seniman menulis
24
mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyannya pasti
berbeda. Hakikat sosiologi adalah subjektivitas, sedangkan hakikat karya
sastra adalah subjektivitas dan kreativitas, sesuai dengan pandangan
masing-masing pengarang.
2.7 Penelitian Relevan
Ada beberapa penelitian yang relevan terkait dengan penelitian ini.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Tim Kanwil Depdikbud NTB yaitu
cerita rakyat NTB (1981). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan
inventarisasi cerita rakyat.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Edi Muliadi (2008) dengan judul
“Nilai-nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat Bima “La Kasipahu”, karya
Muhammad Tahir Alwi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
nilai-nilai pendidikan dalam cerita rakyat Bima La Kasipahu. Dalam
penelitian ini diuraikan tentang budi pekerti yang baik dan yang buruk.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Hulwaturrokyi (1994) melalui
penelitian yang berjudul Nilai-nilai Kependidikan dalam Cerita Rakyat Suku
Sasak Doyan Mangan dan Hubungannya dengan Pengajaran Sastra di SLTA.
Penelitian ini dipaparkan nilai-nilai dalam cerita rakyat Doyan Mangan dan
bagaimana hubungannya dengan pengajaran sastra di SLTA.
Ketiga penelitian di atas, dipandang relevan dengan penelitian yang
berjudul Nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat Sasak Balang Kesimbar dan
Relevansinya dengan Hubungan Kekeluargaan Suku Sasak di Desa Keruak.
25
Dalam penelitian ini, selain mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang
terdapat didalam cerita rakyat tersebut baik yang bernilai negatif maupun
yang berniali positif dalam kehipan bermasyarakat, peneliti juga
menghubungkannya dengan kondisi pendidikan keluarga masyarakat Sasak,,
sehingga akan terlihat bagaimana pergeseran nilai-nilai kependidikan dalam
cerita tersebut pada masyarakat penuturnya
2.8 Kerangka Berpikir
Dalam hal ini penulis menggunakan kerangka yang mempedomani
suatu pendekatan yaitu pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi
sastra yang perlu dipertimbangkan, dalam rangka menemukan objektifitas
hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain yaitu
pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemasyarakatannya. Pemahaman terhadap totalitas karya yang dasertai
dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya dan
sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan
masyarakat (Ratna, 2002: 3).
Mitcheel dalam Harton dan Hunt (1991: 71) menjelaskan nilai
berhubungan erat dengan harga. Yang dimaksudkan dengan harga adalah
harga yang dinyatakan dengan uang atau barang atau jasa disebanding
dengan nilai yang lain. Nilai adalah suatu bagian yang penting dari
kebudayaan. Suatu tindakan yang dianggap salah. Artinya, secara moral
dapat diterima.
26
Cerita rakayat adalah cerita yang dituturkan secara lisan ( folklor ).
Brunvand seperti dikutip Muhajji (2008 : 17) menggolongkan folklor ke
dalam tiga golongan, yaitu : (1) folklor lisan, yaitu folklor yang banyak
diteliti orang. Bentuk folklor dari yang sederhana, yaitu ujaran rakyat,
yang biasa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan, dan kalimat
tradisional, pernyataan rakyat, mite, legenda, nyanyian rakyat, dan
sebagainya; (2) folklor adat kebiasaan, yang mencakup jenis folklore lisan
dan nonlisan. Misalnya kepercayaan rakyat, adat istiadat, pesta, dan
permainan rakyat; (3) folklor material, seni kriya, arsitektur, busana,
makanan, dan lain-lain.
Dalam bahasa sangsekerta, sastra berasal dari kata sas dan tra. sas
berarti menggerakkan, member petunjuk atau instruksi sedangkan tra
berarti alat dan sarana. untuk meyampaikan gagasan dalam bahasa melayu
sastra diartikan tulisan. pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su
yang berarti baik dan indah. jadi susastra berarti karangan yang indah dan
bagus isinya. ( Muhaji.dkk,2008:4)
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode
penelitiaan kualitaif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagi lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi(gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi
(Sugiyono, 2010 : 9).
Bodgan dan Taylor (Ratna, 2004 : 47) mendefinisikan metode penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau orang yang biasa diamati, seperti peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam cerita suku Sasak “Balang Kesimbar”, karena
hasilnya berupa gambaran-gambaran tentang sasaran penelitian berdasarkan
data-data yang dihasilkan dapat mencerminkan kesimpulan yang sebenarnya.
Penelitian ini pun bertujuan untuk memecahkan masalah secara sistematis
dan faktual mengenai fakta-fakta yang terdapat dalam cerita rakyat suku
Sasak Balang Kesimbar.
28
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian menyangkut alat dan tekhnik untuk melaksanakan
penelitian. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan metode yang tepat untuk
meneliti suatu masalah atau objek penelitian atau mengkaji suatu objek itu
secara wajar. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
penelitian Kualitatif.
3.3 Sumber Data
Sumber data adalah subjek penelitian dari mana data diperoleh.
Sumber data adalah subjek penelitian dari mana data diperoleh. (Suharsimi,
1992 :102). Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan yaitu, cerita
rakyat suku sasak “Balang Kesimbar” yang diperoleh melalui tatap muka
(wawancara). Peneliti diceritakan oleh informan mengunakan bahasa Sasak,
kemudian direkam dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data ini digunakan metode dekumentasi dan
metode wawancara, adapun metode dokumentasi yaitu menemukan data-data
yang ada dalam cerita Balang Kesimbar yang ada di dalam buku cerita
Balang Kesimbar. Sedangkan metode wawancara dilakukan dengan studi
lapangan (field research), yaitu upaya mengumpulkan data melalui observasi
langsung ke lapangan (sumber objek penelitian). Teknik lapangan yang
29
dilakukan berkaitan dengan penelitian ini adalah teknik menyimak dan
mencatat dengan langkah sebagai berikut :
1. Menyimak cerita rakyat suku sasak Balang Kesimbar yang dituturkan
secara lisan sambil dicatat atau direkam dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia
2. Menganalisis unsur stuktural objektif yang bertumpu pada cerita rakyat yang
diteliti.
3. Mengidentifikasi data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
4. Mencatat dan mengutip hal-hal penting yang berkaitan dengan jenis-jenis
nilai pendidikan.
3.5 Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Hamimi (1994: 73) mengemukakan, bahwa metode deskriptif dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat
sekarang, berdasarkan fakta yang tampak. Metode deskriptif memusatkan
perhatiannya pada penemuan fakta (fac ending) sebagaimana keadaannya.
Dalam penelitian ini juga, peneliti menggabungkan dua metode yang
tidak bertentangan yaitu, metode deskriptif dan metode analitik. Metode
deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang
kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis
berarti menguraikan.
30
Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai
subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diproleh dari kelompok
subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.
Sekalipun penelitian yang dilakukan bersifat interferesial, sajian keadaan,
subjek dan data penelitian secara deskriptif tetap perlu diketengahkan lebih
dahulu sebelum pengujian hipotesis dilakukan (Anwar, 1998: 65).
Dengan demikian, metode deskriptif bertugas untuk melakukan
representasi objek mengenai gejala yang terdapat di dalam masalah
penelitian. Representasi itu dilakukan dengan mendeskripsikan gejala
sebagai data atau fakta itu harus bersumber dari gejala yang terdapat dalam
masalah yang terjadi sekarang (pada saat penelitian dilakukan). Representasi
data itu harus diiringi dengan pengolahan agar dapat diberikan penafsiran
yang kuat dan objektif.(Khairuddin, 2010: 29)
Adapun langkah-langkah dalam analisis data adalah.
1. Melakukan fragmen-fragmen terhadap cerita untuk mencari dan menggali
nilai-nilai pendidikan yang termuat dalam setiap fragmen cerita rakyat
suku Sasak Balang Kesimbar.
2. Dari hasil analisis atau pencarian nilai-nilai pendidikan dalam setiap
fragmen cerita kemudian dipadukan ke dalam satu-kesatuan cerita yang
utuh guna menemukan apa saja nilai-nilai pendidikan yang termuat dalam
cerita rakyat suku Sasak “Balang Kesimbar” secara utuh.
31
3. Untuk menemukan signifikansi karya sastra tersebut dianalisislah terlebih
dahulu kondisi pendidikan non-formal (keluarga) dalam beberapa kasus
keluarga suku Sasak.
32