skripsi manajemen hutan

102
PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI AMRIZAL YUSRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Upload: fengki-ilham-alfadli

Post on 25-Jul-2015

832 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi Manajemen Hutan

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

AMRIZAL YUSRI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Page 2: Skripsi Manajemen Hutan

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

AMRIZAL YUSRI

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Page 3: Skripsi Manajemen Hutan

RINGKASAN AMRIZAL YUSRI. E34062415. Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan LILIK BUDI PRASETYO.

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu kawasan konservasi yang mengalami perubahan penutupan lahan hutan yang disebabkan aktivitas tak terkendali oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Masyarakat menggarap lahan disektor pertanian berupa lahan sayur dan kebun yang dikhawatirkan akan menyebabkan konversi hutan dan perubahan penutupan lahan khususnya ladang di kawasan TNGC. Data dan informasi mengenai kondisi kawasan TNGC dapat dianalisis melalui teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besar, laju perubahan dan distribusi spasial penutupan lahan TNGC selama periode 2006-2009 serta mengetahui faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perambahan di TNGC.

Pengambilan data penelitian berupa data sosial masyarakat dan ground control point dilakukan di TNGC selama satu bulan pada bulan Juli 2010. Data yang dikumpulkan adalah data spasial berupa peta, citra Landsat ETM+ dan TM tahun 2006 dan 2009 serta data atribut yang meliputi karakter sosial ekonomi masyarakat, pengetahuan serta sikap masyarakat. Pengolahan data spasial dilakukan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh. Hasil pengolahan citra dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan data atribut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan.

Tipe penutupan lahan di TNGC terdiri atas hutan alam, hutan tanaman pinus, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Pada periode 2006-2009 terjadi peningkatan dan penurunan luas penutupan lahan. Penutupan lahan yang mengalami penurunan luas adalah lahan terbuka sebesar 979.2 ha (-2.26%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan, hutan alam sebesar 51.21 ha (-0.01%) yang terluas di Kecamatan Cigugur dan badan air sebesar 1.62 ha (0.08%). Peningkatan luas terjadi pada tipe penutupan lahan ladang sebesar 178.29 ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Argapura, semak sebesar 746.73 ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan dan hutan tanaman sebesar 92.88 ha (0.06%) yang terluas di Kecamatan Cilimus. Faktor sosial ekonomi masyarakat yang mempengaruhi perambahan adalah tingkat pendapatan di luar kawasan, pengetahuan khususnya terhadap fungsi lindung serta sikap masyarakat terhadap keberadaan hutan. Untuk mengantisipasi perluasan perambahan kawasan hutan perlu dilakukan upaya pengelola dalam peningkatan pendapatan masyarakat, rehabilitasi kawasan taman nasional serta sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat mengenai kawasan taman nasional.

Kata kunci: penutupan lahan, sosial ekonomi, taman nasional, SIG.

Page 4: Skripsi Manajemen Hutan

SUMMARY AMRIZAL YUSRI. E34062415. Land Cover Changes and Analysis of Factors Causing Expansion In Gunung Ciremai National Park Area. Under supervision of SAMBAS BASUNI and LILIK BUDI PRASETYO.

Gunung Ciremai National Park (GCNP) is one of the conservation areas that has been facing forest land cover changes due to uncontrolled activities of people around the area. They have been practicing shifting cultivation system for horticulture that can lead to forest conversion and land cover changes especially fields in GCNP area. Data and information of the conditions in GCNP area can be analyzed through technology Geographic Information System (GIS). The aim of this research was to know rate of land cover and spatial distribution on land cover in GCNP for year periods of 2006-2009 and investigate socio-economic factors that influence expansion in GCNP.

Data on sosial and ground control point were taken in GCNP for one month in July 2010. Collected data included spatial data in the form of maps, Landsat image ETM+ year 2006 and TM year 2009 and attributed data including socio-economic conditions, knowledge and attitude of people. Spatial data were analyzed using Geographic Information System (GIS) technology. The results of image processing were analyzed qualitatively and quantitatively using the attribute data to determine its impact on land cover changes.

Land cover types in GCNP consisted of virgin forest, pine plant forest, shrubs, fields, water bodies, open land and no data. In the period 2006-2009, there were either increases or decreases in land cover areas. Land cover of open land was decreased by 979.2 ha (-2.26%) with the largest in Pasawahan Subdistrict, virgin forest by 51.21 ha (-0.01%) with the largest in Cigugur Subdistrict and water bodies by 1.62 ha (0.08%). On the other hand, land cover of fields was increased by 178.29 ha (0.18%) with the largest in Argapura Subdistrict, shrubs by 746.73 ha (0.18%) with the largest in Pasawahan Subdistrict and pine plant forest by 92.88 ha (0.06%) with the largest in Cilimus Subdistrict. Socio-economic factors that influenced expansion of land cultivation into the park areas were rate of income in outside area, knowledge especially on cover function and attitude of people to the existing forest. To anticipate expansion of land cultivation into the forest area, the national park should create alternative beneficial projects in order to improve people income outside national park zone, rehabilitation of zone of natonal park and supervise the activities to people about national park.

Keywords: land cover, socio-economic, national park, GIS

Page 5: Skripsi Manajemen Hutan

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perubahan

Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan

bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah

pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Amrizal Yusri

NRP E34062415

Page 6: Skripsi Manajemen Hutan

Judul : Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab

Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai

Nama : Amrizal Yusri

NRP : E34062415

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni,MS Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP. 19580915 198403 1 003 NIP. 19620316 198803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003

Tanggal Lulus:

Page 7: Skripsi Manajemen Hutan

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas

rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih pada berbagai pihak yang telah

membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih

dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc

selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran

dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc, Ir. Sudaryanto dan Ir. Oemijati

Rachmatsjah, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan

saran dalam menyempurnakan penyusunan skripsi ini.

3. Bapak, Ibu, Mbah Putri dan Kakak atas doa, kasih sayang dan segala

dukungan baik moril maupun materi yang diberikan kepada penulis hingga

skripsi ini selesai.

4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis

selama kuliah

5. Teman-teman di Laboratorium Manajemen Kawasan dan Laboratorium

Analisis Spasial Lingkungan atas pertukaran ilmu, kerjasama dan bantuan

yang diberikan.

6. Seluruh keluarga besar Departemen KSHE terutama KSHE 43

“Cendrawasih” atas bantuan, kebersamaan dan kekeluargaan yang telah

terjalin selama ini.

7. Keluarga besar HIMAKOVA periode 2008-2009 dan 2009-2010 atas

pertukaran ilmu, pengalaman serta dukungannya selama ini.

8. Pengurus Kelompok Pemerhati Goa “HIRA” HIMAKOVA Kelompok

Pemerhati ekowisata” TAPAK” atas pengalaman dan dukungan yang telah

diberikan.

9. Heri, Dian dan Erlin sebagai teman seperjuangan yang sudah membantu

penelitian di Ciremai.

Page 8: Skripsi Manajemen Hutan

10. Teh Nisa, Pak Robi, Pak Engkos, dan semua staf kerja TNGC yang sudah

membantu pengambilan data di Ciremai.

11. Reni, Haray, Arga, Chachaw, Nano atas segala bantuan doa, tenaga,

akomodasi dan fasilitasnya.

12. Anak-anak “AUTIS” dengan tingkahnya yang memberikan kelucuan canda

dan tawa yang luar biasa tak terhingga.

13. My sweetheart “Listya Citraningtyas” yang selalu memberikan support,

motivasi, semangat, cinta dan kasih sayang yang besar. Luv u..

14. My ride bluesky yang selalu menemani hari-hariku yang indah dan menemani

selama penelitian ini.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Page 9: Skripsi Manajemen Hutan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Juni 1988

sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan

Bapak Kuswandi dan Ibu Pawartining Yuliati. Penulis

menyelesaikan pendidikan formal di SDN Pengadilan 2

Bogor (2000), SLTPN 2 Bogor (2003) dan SMAN 1

Bogor (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Penulis mulai aktif belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2007.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi

kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Biro Kekeluargaan pada tahun 2008

dan anggota Biro Sosial Lingkungan pada tahun 2009. Penulis juga tergabung

dalam Kelompok Pemerhati Gua (KPG) “Hira” HIMAKOVA dan Kelompok

Pemerhati Ekowisata (KPE) “Tapak” HIMAKOVA. Penulis pernah melaksanakan

praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata

Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa

Barat, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional

Bukit Baka Bukit Raya dan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di

Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2008,

Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW)

dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional

Manupeu Tanadaru pada tahun 2009, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP)

di Taman Nasional Gunung Merapi pada tahun 2010.

Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul

“Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan

Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir.

Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Page 10: Skripsi Manajemen Hutan

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah

yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan

Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” merupakan salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian

Bogor.

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi

berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna,

oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya

ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2011

Penulis

i

Page 11: Skripsi Manajemen Hutan

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 2

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 2

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional ................................................................................ 4

2.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan ..................... 7

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) ..................................................... 8

2.4 Penginderaan Jauh ............................................................................. 9

2.5 Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat ............ 10

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu .............................................................................. 16

3.2 Alat dan Bahan ................................................................................. 17

3.3 Jenis Data .......................................................................................... 17

3.4 Metode Pengambilan Data ................................................................ 17

3.4.1 Data spasial ............................................................................. 17

3.4.2 Data atribut .............................................................................. 17

3.5 Analisis Data ..................................................................................... 19

3.5.1 Data spasial ............................................................................. 19

3.5.2 Data atribut .............................................................................. 23

BAB IV KONDISI UMUM

4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai ..................................................... 27

4.1.1 Sejarah kawasan ...................................................................... 27

ii

Page 12: Skripsi Manajemen Hutan

4.1.2 Letak dan luas wilayah ............................................................ 29

4.1.3 Topografi dan iklim ................................................................ 29

4.1.4 Hidrologi ................................................................................. 29

4.1.5 Vulkanologi ............................................................................. 29

4.1.6 Kondisi biologis ...................................................................... 30

4.1.7 Potensi wisata .......................................................................... 31

4.2 Daerah Penyangga TNGC ................................................................. 31

4.2.1 Letak dan luas ......................................................................... 31

4.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ...................................... 32

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan di Kawasan TNGC ................................................ 34

5.1.1 Klasifikasi penutupan lahan .................................................... 35

5.1.2 Penutupan lahan di TNGC tahun 2006 ................................... 37

5.1.3 Penutupan lahan di TNGC tahun 2009 ................................... 39

5.2 Perubahan Penutupan Lahan .............................................................. 42

5.3 Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Perambahan Lahan ..... 54

5.3.1 Karakterisitik sosial ekonomi masyarakat ............................... 54

5.3.2 Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan

garapan dalam kawasan ......................................................... 59

5.3.3 Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kawasan

TNGC .................................................................................... 65

5.4 Pengendalian Penggunaan Lahan ...................................................... 69

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 72

6.2 Saran .................................................................................................. 72

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 74

LAMPIRAN ..................................................................................................... 76

iii

Page 13: Skripsi Manajemen Hutan

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Saluran citra Landsat TM ....................................................................... 10

2. Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data

penginderaan jauh ................................................................................... 10

3. Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ........................................ 12

4. Objek wisata alam di TNGC .................................................................. 31

5. Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat ................... 36

6. Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan 2009 ................. 42

7. Penutupan lahan tiap kecamatan............................................................. 43

8. Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan ........................................... 44

9. Data luasan kebakaran di TNGC ............................................................ 51

10. Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan luas lahan garapan

dalam kawasan ........................................................................................ 60

11. Hubungan tingkat umur dengan luas lahan garapan dalam kawasan ..... 61

12. Hubungan tingkat pendidikan dengan luas lahan garapan dalam

kawasan .................................................................................................. 62

13. Hubungan tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam

kawasan .................................................................................................. 63

14. Hubungan luas lahan garapan diluar kawasan dengan luas lahan

garapan dalam kawasan .......................................................................... 64

15. Hubungan lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam

kawasan .................................................................................................. 65

16. Pengetahuan responden mengenai TNGC .............................................. 66

17. Alasan responden menggarap lahan TNGC ........................................... 67

18. Sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC ....................... 68

iv

Page 14: Skripsi Manajemen Hutan

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi pengambilan data penelitian ................................................. 16

2. Tahapan pengolahan citra ....................................................................... 19

3. Proses konversi peta analog ke peta digital............................................. 20

4. Tahapan analisis perubahan penutupan lahan ........................................ 22

5. Penutupan dan penggunaan lahan ........................................................... 34

6. Peta penutupan lahan TNGC tahun 2006 ............................................... 39

7. Peta penutupan lahan TNGC tahun 2009. ............................................... 41

8. Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun 2006-2009. ............ 46

9. Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun

2006-2009. .............................................................................................. 48

10. Peta distribusi ladang dalan kawasan TNGC. ......................................... 49

11. Peta distribusi semak belukar TNGC. ..................................................... 51

12. Peta distribusi lahan terbuka TNGC. ...................................................... 53

13. Persentase responden menurut mata pencaharian sampingan ................. 54

14. Persentase responden menurut usia kerja ................................................ 55

15. Persentase responden menurut luas garapan diluar kawasan .................. 55

16. Persentase responden menurut luas garapan dalam kawasan ................. 56

17. Persentase responden menurut jenis penggunaan lahan.......................... 57

18. Persentase responden menurut tanggungan keluarga .............................. 57

19. Persentase responden menurut pendapatan ............................................. 58

20. Persentase responden menurut pendidikan ............................................. 58

21. Persentase responden menurut lama menggarap .................................... 59

v

Page 15: Skripsi Manajemen Hutan

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Uji akurasi ................................................................................................ 77

2. Daftar identitas responden ........................................................................ 81

3. Kuisioner responden ................................................................................. 82

4. Uji normalitas data ................................................................................... 84

5. Uji chi-square ........................................................................................... 85

vi

Page 16: Skripsi Manajemen Hutan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditunjuk berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004

mengenai perubahan fungsi hutan lindung dan hutan produksi pada kelompok

Hutan Gunung Ciremai seluas + 15500 ha terletak di Kabupaten Kuningan dan

Majalengka Provinsi Jawa Barat menjadi taman nasional. Taman Nasional

Gunung Ciremai merupakan kawasan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan

pelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, daerah resapan air bagi

kawasan dibawahnya dan beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan,

Majalengka dan Cirebon serta sumber beberapa mata air yang dimanfaatkan untuk

kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai Perusahaan Daerah Air

Minum (PDAM) dan industri. Pada saat status kawasan masih hutan produksi

yang dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat diperbolehkan menggarap

kawasan dengan adanya sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

dengan pola tumpang sari. Kegiatan tumpang sari oleh masyarakat cenderung

mengkonversi lahan hutan yang tidak terkendali sehingga dapat menyebabkan

perluasan lahan kritis, berkurangnya tutupan lahan serta menghilangnya fungsi

lindung dan konservasi kawasan.

Menurut BTNGC (2006), sekitar 2000 ha lahan hutan kini sudah menjadi

ladang kentang dan kebun kopi. Kerusakan yang terjadi seluas 4829.9 ha di lereng

bagian selatan Gunung Ciremai akibat aktivitas masyarakat berupa penggarapan

lahan sayur tanpa memperdulikan fungsi kawasan tersebut (BTNGC 2006).

Gangguan-gangguan yang terjadi selain penggarapan lahan secara intensif antara

lain adanya perubahan tegakan hutan alam menjadi tegakan hutan tanaman pinus

dengan menanam kebun campuran, perusakan hutan, pencurian kayu dan

kebakaran hutan yang mengakibatkan kondisi kawasan TNGC semakin

memprihatinkan dari tahun ke tahun. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi

maka akan menimbulkan dampak negatif diantaranya bahaya banjir, longsor,

sedimentasi sungai dan waduk, hilangnya stok air tanah akibat aliran permukaan

Page 17: Skripsi Manajemen Hutan

2

(run off), serta menurunnya kuantitas dan kualitas pangan daerah dan nasional

akibat kurangnya air untuk irigasi persawahan.

Perkembangan perubahan tutupan lahan yang terjadi di kawasan TNGC

sebagai salah satu dasar pengelolaan kawasan, dapat dilihat dengan menggunakan

teknologi sebagai alat monitor terhadap perubahan tutupan lahan. Teknologi yang

dapat digunakan adalah aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG). Sistem

Informasi Geografi merupakan suatu perangkat yang dapat membantu

memperoleh data-data spasial dalam waktu singkat. Penggunaan Sistem Informasi

Geografi dapat mempermudah mengetahui perubahan penutupan lahan.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan

tutupan lahan sehingga dapat menganalisis dinamika perubahan penutupan lahan

yang terjadi dan membantu Balai TNGC untuk mengambil langkah lanjutan

dalam penyelesaian permasalahan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Perubahan penutupan lahan di kawasan TNGC akibat aktivitas masyarakat

berupa penggarapan lahan yang semakin tidak terkendali akan menurunkan fungsi

kawasan sebagai fungsi lindung dan konservasi. Berdasarkan permasalahan

tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan :

1 Seberapa besar perubahan penutupan lahan yang terjadi di TNGC?

2 Bagaimana distribusi penutupan lahan di TNGC?

3 Faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di

TNGC?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1 Mengetahui besar dan laju perubahan penutupan lahan TNGC periode 2006-

2009.

2 Mengetahui distribusi spasial perubahan penutupan lahan TNGC periode 2006-

2009.

3 Menganalisis faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya

perambahan lahan di TNGC.

Page 18: Skripsi Manajemen Hutan

3

1.4 Manfaat

Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai informasi

mengenai perubahan penutupan lahan TNGC dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya serta kaitannya dengan kondisi masyarakat. Selain itu juga

sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola TNGC dalam manajemen kawasan.

Page 19: Skripsi Manajemen Hutan

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional

Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan

rekreasi (Dephut 1990). Taman nasional merupakan kawasan alami baik darat dan

atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis satu atau lebih

ekosistem untuk generasi saat ini dan yang akan datang, (b) meniadakan

eksploitasi atau penggunaan yang berlawanan dengan maksud penunjukan

kawasan dan (c) menyediakan dasar bagi kepentingan spiritual, ilmu pengetahuan,

pendidikan dan rekreasi yang sesuai dengan lingkungan dan budaya (IUCN 1994).

IUCN memberikan karakteristik mengenai taman nasional sebagai berikut:

1 Taman nasional merupakan suatu kawasan alami yang cukup luas terdiri dari

satu atau beberapa ekosistem yang tidak banyak dijamah oleh manusia. Dalam

kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan eksploitasi, berkembang berbagai

jenis flora dan fauna, serta memiliki nilai ilmiah, pendidikan serta rekreasi.

2 Kegiatan pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pemerintah yang

ditujukan untuk melestarikan potensi sumberdaya alam dan ekosistem taman

nasional.

3 Kawasan yang dapat dikunjungi oleh masyarakat dan dikelola untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merubah ciri-ciri ekosistem

yang ada karena memiliki unsur-unsur pendidikan, penelitian, ilmiah dan

rekreasi ilmiah.

Berdasarkan IUCN (1994), terdapat enam tujuan pengelolaan taman

nasional, yaitu :

1 Melindungi kawasan alami dan indah untuk pemanfaatan spiritual, ilmiah,

pendidikan dan rekreasi.

2 Mengelola penggunaan pengunjung untuk tujuan rekreasi, budaya dan

pencarian inspirasi pada tingkat yang akan menjaga kealamiahan kawasan.

Page 20: Skripsi Manajemen Hutan

5

3 Memelihara keanekaragaman dan kestabilan ekologis sumberdaya genetik dan

spesies dalam kondisi alami.

4 Menjaga atribut ekologis, geomorfologis dan estetis yang menjamin penetapan

kawasan.

5 Mencegah eksploitasi atau penggunaan yang bertentangan dengan tujuan

penetapan kawasan.

6 Menghitung kebutuhan masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya.

Secara ekologis, taman nasional memiliki manfaat bagi masyarakat

sekitar, misalnya dalam hal pengendalian banjir, menyediakan air minum saat

musim kemarau, selain itu adanya spesies liar dapat membantu dalam pertanian

misalnya burung-burung pemakan hama dan serangga dalam penyerbukan

(MacKinnon et al. 1990). Secara ekonomi dan sosial dapat meningkatkan kualitas

dan kuantitas lingkungan, produktivitas usaha tani, produktivitas usaha kerja dan

jasa-jasa lingkungan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan

perekonomian.

Soewardi (1978) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pokok, taman

nasional memerlukan adanya alokasi ruang yang berfungsi untuk perlindungan

dan pemanfaatan itu sendiri yang disebut sistem zonasi. Menurut Soewardi (1978)

taman nasional setidaknya harus mempunyai:

1 Zona inti, pada zona ini kegiatan manusia sangat terbatas hanya untuk

penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan dan ilmu

pengetahuan dan tidak boleh ada bangunan permanen.

2 Zona rimba, merupakan kawasan zona yang tidak boleh ada bangunan

permanen, kegiatan hanya sebatas penelitian, pendidikan dan wisata alam

terbatas.

3 Zona pemanfaatan, merupakan wilayah yang dikhususkan untuk pemanfaatan

baik untuk sarana pengelolaan taman nasional berupa penelitian, penunjang

budidaya maupun kegiatan wisata antara lain dengan penyediaan bumi

perkemahan, shelter dan lain-lain.

Selain itu, zona-zona lain yang mungkin diperlukan dalam taman nasional

sesuai dengan situasi dan kondisi setempat adalah zona rehabilitasi, zona

pemanfaatan tradisional, zona kultural/budaya dan zona penyangga (MacKinnon

Page 21: Skripsi Manajemen Hutan

6

et al. 1990). Menurut pasal 16 ayat 2 Undang-undang No 5 Tahun 1990, daerah

penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka

alam/pelestarian alam, baik kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah

yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan.

Daerah penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang

dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan

perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat

bagi masyarakat pedesaan di sekitarnya (MacKinnon et al. 1990).

Menurut MacKinnon et al. (1990) daerah penyangga memiliki dua fungsi

utama, yaitu :

1 Penyangga perluasan, memperluas kawasan habitat yang terdapat di kawasan

yang dilindungi ke dalam kawasan penyangga. Contohnya hutan produksi,

kawasan buru, hutan alami yang digunakan penduduk untuk mencari kayu

bakar, kawasan terlantar dan padang penggembalaan.

2 Penyangga sosial, dimana pemanfaatan sumberdaya alam dari kawasan

penyangga merupakan hal sekunder dan tujuan pengelolaannya adalah

menyediakan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat

setempat. Tetapi penggunaan tanah untuk tujuan tersebut tidak boleh

bertentangan dengan tujuan utama dari kawasan yang dilindungi.

MacKinnon et al.(1990) membagi beberapa tipe utama daerah penyangga

taman nasional, yaitu :

1 Zona pemanfaatan tradisional di dalam kawasan yang dilindungi. Ada situasi

ketika tidak ada tanah yang cocok di luar kawasan konservasi untuk ditetapkan

sebagai zona penyangga serta lebih disukai untuk mengizinkan pengumpulan

produk alam tertentu dari beberapa bagian kawasan konservasi atau pada

waktu-waktu tertentu daripada menjadikan lahan yang bernilai penting sebagai

kawasan penyangga.

2 Penyangga hutan. Termasuk hutan kayu bakar atau bahan bangunan yang

terletak di luar batas kawasan yang dilindungi tetapi di atas tanah negara.

Hutan ini dapat berupa hutan alami, hutan sekunder yang diperkaya, atau

bahkan perkebunan dimana penekanannya adalah memaksimalkan hasil yang

berkelanjutan untuk digunakan penduduk desa setempat, selain berfungsi

Page 22: Skripsi Manajemen Hutan

7

melindungi air dan tanah. Penggalakan hutan tanaman di zona penyangga

mungkin merupakan satu-satunya strategi pengelolaan sumberdaya yang

efektif untuk menjamin keutuhan kawasan yang dilindungi dalam jangka

waktu yang panjang.

3 Penyangga ekonomi. Daerah penyangga diperlukan untuk mengurangi

keperluan masyarakat desa dari mengambil sumberdaya dari dalam kawasan

konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial

atau komunikasi, atau lahan produktif, perburuan terkendali di daerah

penyangga dekat kawasan konservasi, bahkan uang tunai dari penghasilan

kawasan konservasi.

4 Rintangan fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah

penyangga, maka batas kawasan itu sendiri harus berfungsi sebagai

penyangga. Kadang-kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan,

kanal, pagar tembok atau kawat berduri. Pada beberapa kasus, yang diperlukan

hanyalah batas yang jelas terlihat seperti sebaris atau jalur tipis pohon-pohon

yang mencolok sebagai batas hidup.

3.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan lahan adalah jenis

kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan tersebut

dapat berupa gangguan hutan, penyerobotan lahan dan perladangan berpindah

(Khalil 2009). Gangguan terhadap hutan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu

faktor alam dan manusia. Gangguan yang disebabkan oleh alam meliputi

kebakaran hutan akibat petir dan kemarau, letusan gunung berapi, gempa bumi,

tanah longsor, banjir dan erosi. Sementara itu gangguan yang disebabkan oleh

manusia dapat berupa penebangan dan pencurian kayu, perambahan lahan dan

kebakaran dengan sistem ladang berpindah. Lillesand dan Kiefer (1993)

menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan

pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan terjadi akibat responnya

terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi

lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya (Meffe & Carrol 1994 dalam Basuni

2003).

Page 23: Skripsi Manajemen Hutan

8

Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan

penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian,

aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah.

Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah telah mendorong

penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman

ataupun lahan-lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah

berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut.

Perubahan penduduk yang bekerja dibidang pertanian memungkinkan terjadinya

perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja dibidang

pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong

penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan.

Menurut Darmawan (2002), salah satu faktor yang menyebabkan

terjadinya perubahan penutupan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat

yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar

kawasan. Peubah sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan

penutupan dan penggunaan lahan adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan

penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman dan perluasan areal

pertanian (Yatap 2008).

2.3 Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari

perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang

dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate,

memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang

bereferensi geografi (ESRI 1990). Sistem informasi geografis adalah sistem

komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini

diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang

berfungsi untuk (a) akuisisi dan verifikasi data, (b) kompilasi data, (c) penyimpan

data, (d) perubahan dan updating data, (e) manajemen dan pertukaran data, (f)

manipulasi data, (g) pemanggilan dan presentasi data dan (h) analisis data (Bern

1992 dalam Prahasta 2005).

Page 24: Skripsi Manajemen Hutan

9

Menurut Prahasta (2005), sistem informasi geografi merupakan sistem

yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai

cara dan bentuk. Masalah informasi tersebut mencakup tiga hal, yaitu:

1 Pengorganisasian data dan informasi.

2 Penempatan informasi pada lokasi tertentu.

3 Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu

dengan lainnya serta analisa spasial lainnya.

2.4 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena

yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Informasi tentang objek disampaikan pada

pengamat melalui energi elektromagnet yang merupakan pembawa informasi

sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa

data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang

gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi itu dapat dipahami

secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan

jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat

elektromagnetik (Lo 1995).

Citra Landsat merupakan citra satelit untuk penginderaan sumberdaya

bumi. Thematic Mapper (TM) adalah suatu sensor optik penyiaman yang

beroperasi pada cahaya tampak dan inframerah bahkan spektral (Lo 1995).

Thematic Mapper dipasang pada Landsat dengan tujuan untuk perbaikan resolusi

spasial, pemisahan spektral, kecermatan dan radiometrik dan ketelitian geometrik.

Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk

mendeteksi objek-objek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit range

panjang gelombang yang digunakan, maka semakin tinggi kemampuan sensor itu

dalam membedakan objek. Pengetahuan menyeluruh mengenai karakteristik

spektral dari data penginderaan jauh sangat dibutuhkan pada penggunaan teknik

analisis dengan bantuan komputer. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 25: Skripsi Manajemen Hutan

10

Tabel 1 Saluran citra Landsat TM

Saluran Kisaran

gelombang Kegunaan

1 0,45-0,52 Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas pengunaan lahan, tanah dan vegetasi.

2 0,52-0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan.

3 0,63-0,69 Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan non-vegetasi

4 0,76-0,90 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air.

5 1,55-1,75 Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah.

6 2,08-2,35 Pemisahan formasi batuan 7 10,40-12,50 Saluran inframerah termal, bermanfaat untuk klasifikasi

vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

Sumber : Lillesand & Kiefer (1990)

2.5 Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat

Skema klasifikasi merupakan rancangan skema penutupan lahan suatu

wilayah yang disusun berdasarkan informasi tambahan dari wilayah yang akan

diinterpretasikan. Salah satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan

klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan terlihat pada skema klasifikasi (Lo

1995) pada Tabel 2.

Tabel 2 Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data

penginderaan jauh

No Tingkat I

(menggunakan citra Landsat) Tingkat II

(menggunakan foto udara skala kecil) 1 Perkotaan atau lahan perkotaan a Pemukiman

b Perdagangan dan jasa

c Industri

d Transportasi

e Kompleks industri dan perdagangan

f Kekotaan campuran dan lahan bangunan

g Kekotaan dan lahan bangunan lainnya

Page 26: Skripsi Manajemen Hutan

11

Tabel 2 (Lanjutan)

No Tingkat I

(menggunakan citra Landsat) Tingkat II

(menggunakan foto udara skala kecil) 2 Lahan pertanian a Tanaman semusim dan padang rumput

b Daerah buah-buahan, jeruk, anggur dan tanaman hias

c Lahan tanaman obat

d Lahan pertanian lainnya

3 Lahan peternakan a Lahan penggembalaan terkurung

b Lahan peternakan semak dan belukar

c Lahan peternakan campuran

4 Lahan hutan a Lahan hutan gugur daun semusim

b Lahan hutan yang selalu hijau

c Lahan hutan campuran

5 Air a Sungai dan kanal

b Danau

c Waduk

d Teluk dan muara

6 Lahan basah a Lahan hutan basah

b Lahan basah bukan hutan

7 Lahan gundul a Dataran garam kering

b Gisik

c Daerah berpasir selain gisik

d Tambang terbuka, pertambangan

8 Padang lumut a Padang lumut semak belukar

b Padang lumut tanaman obat

c Padang lumut lahan gundul

d Padang lumut daerah basah

e Padang lumut daerah campuran

9 Es dan salju abadi a Lapangan salju abadi

b Gletser Sumber : Lo (1995)

Sistem klasifikasi pada Tabel 2 disusun berdasarkan kriteria berikut: (1)

tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh

harus tidak kurang dari 85%, (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori

harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari

penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain,

(4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5)

kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari penutupan

lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan

jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke

Page 27: Skripsi Manajemen Hutan

12

dalam sub-kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar

atau survei lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9)

harus memungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan

dan penutupan lahan pada masa yang akan datang dan (10) lahan multiguna harus

dapat dikenali bila mungkin. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di

dalam menjelaskan setiap kategori penggunaan dan penutupan lahan. Anderson

(1971) dalam Lo (1995) menganggap bahwa pendekatan fungsional atau

pendekatan berorientasi kegiatan akan lebih sesuai digunakan untuk citra satelit

ruang angkasa, sebagai skema klasifikasi tujuan utama. Pendekatan ini merupakan

sistem klasifikasi lahan yang umum digunakan di Amerika Serikat yang

diperkenalkan oleh United States Geological Survey (USGS).

Pada klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ada beberapa informasi

yang tidak dapat diperoleh dari data pengideraan jauh. Informasi mengenai

penutupan lahan dapat secara langsung dikenali dari penutupan lahannya dan

untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk

melengkapi data penutupan lahan. Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan

dapat juga ditentukan dengan menggunakan klasifikasi yang ditetapkan oleh

Badan Planalogi Kehutanan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan

Kelas Keterangan Hutan lahan kering primer dataran rendah

Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering primer pegunungan rendah

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering primer sub-alpine

Seluruh kenampakan hutan di zona sub-alpine (>3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif.

Hutan lahan kering sekunder dataran rendah

Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan dalam lahan terbuka.

Page 28: Skripsi Manajemen Hutan

13

Tabel 3 (Lanjutan)

Kelas Keterangan Hutan lahan kering sekunder pegunungan rendah

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

Hutan lahan kering sekunder pegunungan tinggi

Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

Hutan lahan kering sekunder sub-alpine

Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (> 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

Hutan rawa primer Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa-rawa,termasuk rawa gambut yang belum menampakan tanda penebangan.

Hutan rawa sekunder

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa yang telah menampakkan bekas penebangan. Bekas penebangan yang parah jika tidak memperlihatkan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan liputan air digolongkan menjadi tubuh air (rawa).

Hutan mangrove primer

Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum ditebang.

Hutan mangrove sekunder

Hutan bakau, nipah dan nibung yang telah ditebang) yang ditampakan dengan pole alur di dalamnya. Khusus untuk areal bekas tebangan yang telah dijadikan tambak/sawah (tampak pola persegi pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah (tampak pole persegi/pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah.

Semak/belukar Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali, didominasi vegetasi rendah dan tidak menampakkan lagi bekas alur/bercak penebangan.

Semak/belukar rawa Semak/belukar dari bekas hutan di daerah rawa. Savana Kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput dengan sedikit

pohon. (Kenampakan alami daerah Nusa Tenggara Timur dan pantai selatan Irian laya).

HTI Seluruh kawasan HTI baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa kahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran HTI.

Perkebunan Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran Perkebunan (Perkebunan Besar). Lokasi perkebunan rakyat mungkin tidak termasuk dalam peta sehingga memerlukan informasi pendukung lain.

Pertanian lahan kering

Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang

Pertanian lahan kering bercampur dengan semak

Semua ativitas pertanian di lahan kering, berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan.

Transrnigrasi Seluruh kawasan baik yang sudah diusahakan maupun yang belum, termasuk areal pertanian, perladangan dan permukiman yang berada didalamnya.

Sawah Semua aktivitas pertanian di lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang.

Tambak Aktivitas perikanan yang tampak sejajar pantai.

Page 29: Skripsi Manajemen Hutan

14

Tabel 3 (Lanjutan)

Kelas Keterangan Tanah terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan

puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) tanah terbuka bekas kebakaran dan tanah terbuka yang ditumbuhi rumput/alang-alang. Kenamapakan tanah terbuka untuk pertambangan dimasukan ke kelas pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas land clearing dimasukkan ke kelas pertanian, perkebunan atau HTI.

Pertambangan Tanah terbuka yang digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka, openpit (batubara, timah, tembaga dll.). Tambang tertutup seperti minyak, gas dll. Tidak dikelaskan tersendiri, kecuali mempunyai areal yang luas sehingga dapat dibedakan dengan jelas pada citra.

Salju Areal yang tertutup oleh salju abadi. Permukiman permukiman baik perkotaan, pedesaan, pelabuhan, bandara, industri dll.

yang memperlihatkan pola alur yang rapat. Tubuh air Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk,

terumbu karang dan lamun (lumpur pantai). Khusus kenampakan tambak di tepi pantai dimasukkan ke pertanian lahan basah.

Rawa Kenampakan rawa yang sudah tidak berhutan. Awan Semua kenampakan awan yang menutupi suatu kawasan. Jika terdapat

awan tipis yang masih mempelihatkan kenampakan di bawahnya dan masih memungkinkan untuk ditafsir, penafsiran tetap dilakukan. Poligon terkecil yang di delineasi untuk awan adalah 2 x 2 cm2.

Sumber : Dephut (2001)

Citra satelit Landsat sebagai satelit sumberdaya bumi telah banyak

digunakan dalam penelitian-penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Contoh penggunaan citra Landsat dalam bidang kehutanan dan lingkungan antara

lain, identifikasi penyebaran habitat, sebaran spasial dan karakteristik ruang

terbuka hijau (RTH), klasifikasi kelas tegakan hutan, pemantauan perubahan

penggunaan lahan/tutupan lahan, dan aplikasi-aplikasi yang lainnya. Salah satu

contoh aplikasi SIG mengenai perubahan penutupan lahan di kawasan konservasi

adalah penelitian yang dilakukan oleh Khalil (2009). Penelitiannya dilakukan di

Hutan Adat Citorek Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan

aplikasi SIG dengan membandingkan penutupan lahan tahun 1990 sampai 2006.

Tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah Kasepuhan Citorek dikelompokkan

menjadi 9 kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, kebun campuran, semak

belukar dan rumput, ladang, sawah, lahan terbuka, lahan terbangun, badan air dan

awan. Lebih lanjut Khalil (2009) menganalisis perubahan penutupan lahan di

Hutan Adat Cotorek dengan hasil adanya penurunan luas hutan pada kurun waktu

1990-2006 sebesar 1.31%. Ladang mengalami penurunan sebesar 25.48% pada

kurun waktu 1990-2006. Sawah mengalami peningkatan luas menjadi 89.92%

pada kurun waktu 1990-2006. Kebun campuran dan semak mengalami fluktuasi

Page 30: Skripsi Manajemen Hutan

15

luas pada kurun waktu 1990-2006. Fluktuasi ini disebabkan oleh pembukaan

hutan menjadi areal pertanian seperti kebun campuran, ladang dan sawah yang

diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan masyarakat seiring dengan peningkatan

jumlah penduduk.

Penelitan perubahan penutupan lahan dilakukan juga oleh Darmawan

(2002) di Cagar Alam Rawa Danau tahun 1994 sampai tahun 2000. Tipe

penutupan lahan yang terdapat di Rawa Danau dikelompokkan menjadi 7

kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, vegetasi campuran, rumput, sawah,

tanah kosong, pemukiman dan badan air. Pada kurun waktu 1994-2000 terdapat

peningkatan luas pemukiman sebesar 1%. Hutan mengalami peningkatan luas

sebesar 1.3%, badan air mengalami peningkatan luas sebesar 2.4%, sawah

mengalami peningkatan luas sebesar 12.2%, rumput mengalami penurunan

sebesar 10.2%, vegetasi campuran dengan penurunan sebesar 9.2% dan tanah

kosong dengan peningkatan luas sebesar 2.7%. Peningkatan akitvitas masyarakat

dalam kawasan cagar alam hanya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu tingkat

pendapatan dan jenis penggunaan lahan yang didominasi sawah.

Page 31: Skripsi Manajemen Hutan

16

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan selama lima bulan, yaitu pada bulan Juli-November

2010. Pengambilan data lapangan berupa penandaan lokasi (ground check)

dilakukan selama satu bulan di Resort Argalingga dan Sangiang di Kabupaten

Majalengka dan Resort Cigugur, Pasawahan dan Mandirancan di Kabupaten

Kuningan. Selain itu untuk pengambilan data sosial masyarakat dilakukan pada

dua desa yaitu Desa Seda di Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan dan

Desa Sangiang di Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka. Pengolahan data

dilakukan selama empat bulan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan

IPB. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi pengambilan data penelitian.

Page 32: Skripsi Manajemen Hutan

17

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang dibutuhkan selama penelitian adalah Global Positioning Sistem

(GPS), kamera digital, alat tulis, kuisioner dan seperangkat komputer yang

dilengkapi dengan software ArcGis 9.3, ERDAS 9.1 dan SPSS 15.

Bahan yang digunakan adalah peta rupa bumi, peta batas kawasan TNGC,

peta administrasi kecamatan, peta citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra

Landsat TM tahun 2009.

3.3 Jenis Data

Data yang diambil dikelompokkan menjadi dua yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer adalah seluruh data utama yang diperoleh dari cek

lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder adalah seluruh informasi

pendukung yang berhubungan dengan penelitian seperti peta, data monografi desa

dan kondisi umum kawasan.

3.4 Metode Pengambilan Data

3.4.1 Data spasial

Data spasial adalah data yang bersifat keruangan meliputi peta rupa bumi,

citra Landsat, peta batas administrasi, dan peta batas kawasan TNGC sebagai data

sekunder. Peta dan citra Landsat tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian

Lingkungan Hidup (PPLH) IPB, BIOTROP dan BTNGC. Data lain yang

digunakan adalah data Ground Control Point (GCP) untuk menandakan lokasi-

lokasi jenis penutupan lahan yang ada di lapangan. Data GCP merupakan data

yang menyatakan posisi keberadaan suatu benda di atas permukaan bumi.

Pengambilan data ini dilakukan dengan cara menandakan lokasi (ground check)

dan dicatat koordinat lokasi melalui Global Positioning System (GPS). Data ini

kemudian digunakan untuk mengolah citra Landsat agar sesuai dengan keadaan di

lapangan dan mengurangi bias.

3.4.2 Data atribut

Data atribut adalah data yang menunjukkan tulisan atau angka-angka yang

membantu dalam menginterpretasikan citra Landsat. Data ini meliputi data

monografi desa, kondisi umum kawasan dan data kondisi sosial ekonomi

Page 33: Skripsi Manajemen Hutan

18

masyarakat seperti jumlah tanggungan keluarga, usia, mata pencaharian,

pendidikan, pendapatan, luas penggunaan lahan, pengetahuan dan sikap penduduk

terhadap kawasan. Data ini dibutuhkan dalam menganalisis faktor sosial ekonomi

apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di Taman Nasional Gunung

Ciremai serta pola penggunaan lahan oleh masyarakat khususnya sikap dan

pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan hutan.

Pengumpulan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut

dilakukan melalui wawancara dengan teknik purposive sampling, yaitu

pengambilan sampel berdasarkan penilaian subyektif peneliti berdasarkan

karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan karakteristik

populasi yang sudah diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu

(Iskandar 2008). Sampel yang diambil dalam peneltian ini adalah para petani

penggarap dalam kawasan TNGC, sedangkan pengambilan jumlah sampel

responden berdasarkan rumus Slovin (Santoso 2005) yaitu :

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang diinginkan

N = Jumlah populasi sampel

E = Tingkat kesalahan yaitu 10%

Berdasarkan perhitungan rumus Slovin diperoleh besar sampel sejumlah 94

kepala keluarga, yaitu 50 kepala keluarga dari Desa Sangiang dan 44 kepala

keluarga dari Desa Seda. Total populasi warga Desa Seda dan Desa Sangiang

sebesar 1588 kepala keluarga. Pertimbangan pengambilan sampel berdasarkan

kepala keluarga dikarenakan seorang kepala keluarga adalah pencari nafkah untuk

keluarga sehingga lebih dapat menggali informasi yang dibutuhkan. Selain itu

berdasarkan mata pencaharian dominan yaitu petani penggarap di kawasan

TNGC.

N n = 1+Ne2

Page 34: Skripsi Manajemen Hutan

19

3.5 Analisis Data

3.5.1 Data spasial

Penelitian mengenai analisis perubahan penutupan lahan merupakan

penelitian yang menganalisis mengenai penggunaan lahan oleh masyarakat dalam

beberapa periode. Perkembangan penggunaan lahan ini akan menyebabkan

terjadinya perubahan lahan, sehingga dibutuhkan data berupa gambaran/peta

perubahan penutupan lahan. Peta penutupan lahan diperoleh melalui pengolahan

data spasial meliputi peta rupa bumi, peta batas kawasan taman nasional, peta

batas administrasi kecamatan dan citra Landsat tahun 2006 dan 2009. Proses

pengolahan peta penutupan lahan dilakukan dalam beberapa tahap seperti yang

disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahapan pengolahan citra.

Citra

Tidak

Terima?

Citra

Peta Rupa Bumi

Koreksi Geometris

Peta Batas Kawasan TNGC

Overlay Subset Image

Cek Lapangan

Klasifikasi Citra

Citra Hasil Klasifikasi

Uji Akurasi

Ya Peta Tutupan Lahan

Page 35: Skripsi Manajemen Hutan

20

1 Pembuatan peta digital

Pembuatan peta digital dilakukan menggunakan seperangkat komputer

dengan software ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1. Input dalam proses pembuatan peta

digital adalah peta rupa bumi, yang diolah melalui empat tahap. Tahapan ini

adalah digitasi peta, editing peta, pembuatan atribut dan transformasi koordinat.

Hasil pengolahan data ini adalah peta rupa bumi digital. Peta digital digunakan

untuk menentukan lokasi penelitian dan menjadi acuan dalam koreksi geometrik

saat pengolahan citra. Proses pembuatan peta digital dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses konversi peta analog ke peta digital.

2 Koreksi data citra

Data citra yang diperoleh, harus dilakukan koreksi terlebih dahulu sebelum

diolah lebih lanjut. Koreksi data citra yang dilakukan adalah koreksi geometris.

Koreksi geometris dilakukan karena adanya pergeseran koordinat, sehingga perlu

dilakukan pembetulan data citra. Koreksi geometris bertujuan agar posisi titik-titik

(pixel) pada citra sesuai dengan posisi titik-titik geografi di permukaan bumi.

Posisi ini adalah kedudukan geografis daerah yang terekam pada citra.

Kegiatan yang pertama dilakukan saat melakukan koreksi geometris

adalah penentuan tipe proyeksi dan koordinat yang digunakan. Tipe proyeksi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan

sistem koordinat geografis. Tahap selanjutnya adalah koreksi distorsi yang

dilakukan melalui penentuan titik ikat medan yang ditempatkan sesuai dengan

koordinat citra dan koordinat peta. Setelah itu, dilakukan resampling citra

mengunakan pendekatan metode tetangga terdekat (nearest neighbour).

Peta Analog

Scanning

Screen digitizing

Atributing Transform UTM

Peta digital

Page 36: Skripsi Manajemen Hutan

21

Resampling citra merupakan proses transformasi citra dengan memberikan nilai

pixel citra terkoreksi.

3 Pemotongan data citra (subset image)

Pemotongan data citra bertujuan untuk menetukan batas wilayah yang

akan diteliti. Pemotongan dilakukan dengan memotong data citra yang sudah

terkoreksi untuk mendapatkan wilayah lokasi penelitian.

4 Klasifikasi data citra

Klasifikasi data citra merupakan kegiatan untuk menentukan kelas-kelas

yang terdapat pada data citra. Kelas-kelas tersebut menunjukkan kategori-kategori

lahan dan didasarkan pada warna yang tampak dalam data citra. Klasifikassi

dilakukan dengan cara mengelompokkan warna yang sama pada citra ke dalam

kelas-kelas tertentu. Kegiatan klasifikasi terbagi atas dua tahap yaitu klasifikasi

citra tidak terbimbing (unsupervised) dan klasifikasi citra terbimbing (supervised).

Klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan sebelum

pengambilan data di lapangan (ground check). Penentuan kelas-kelas tidak

didefinisikan sendiri dan peta hasil klasifikasi ini dapat dijadikan acuan saat

pengambilan data di lapangan. Klasifikasi citra terbimbing (supervised

clasification), merupakan kegiatan klasifikasi kelas-kelas citra yang didefinisikan

sendiri. Pendefinisian ini didasarkan pada data lapangan yang telah diperoleh

berupa titik-titik koordinat yang ditandai dengan GPS. Kelas-kelas yang

didefinisikan menunjukkan jenis penutupan lahan yang ada di lapangan dan hasil

dari klasifikasi citra ini adalah peta penutupan lahan.

5 Uji akurasi

Saat klasifikasi citra, terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam

menentukan kelas tutupan lahan, sehingga perlu dilakukan uji akurasi. Tahapan

uji akurasi bertujuan untuk mengetahui tingkat keakuratan klasifikasi citra

terbimbing. Akurasi citra dilakukan dengan cara menyesuaikan kelas tutupan

lahan yang telah diklasifikasi dengan data Ground Control Point (GCP) yang

diambil melalui GPS. Nilai akurasi minimal yang diterima adalah 85%. Apabila

tingkat akurasinya kurang dari 85%, maka perlu dilakukan klasifikasi ulang.

Page 37: Skripsi Manajemen Hutan

22

6 Analisis perubahan lahan

Analisis perubahan lahan dilakukan dengan membandingkan peta perubahan

lahan tahun 2006 dan 2009. Kedua peta tersebut dioverlay sehingga diketahui

perubahan penutupan lahan yang terjadi pada tahun 2006-2009. Tahapan analisis

perubahan penutupan lahan seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan analisis perubahan penutupan lahan.

Perubahan penutupan lahan dilakukan dengan menghitung selisih luas

masing-masing tipe penutupan lahan setiap tahun dan dianalisis secara deksriptif,

sedangkan untuk menghitung laju perubahan penutupan lahan menggunakan

rumus berikut:

Keterangan:

V : Laju perubahan (%)

N1 : Luas penutupan lahan tahun pertama (ha)

N2 : Luas penutupan lahan tahun kedua (ha)

N2 - N1 V = x 100% N1

Peta Penutupan Lahan 2006

Peta Penutupan Lahan 2009

Overlay

Perubahan Penutupan Lahan

2009

Page 38: Skripsi Manajemen Hutan

23

3.5.2 Data atribut

Ada beberapa pendekatan analisis data atribut sosial ekonomi yang

digunakan yaitu metode tabulasi deskriptif dan uji statistik. Penjelasan mengenai

metode analisis adalah sebagai berikut:

1 Metode tabulasi deskriptif

Data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta

pengetahuan dan sikap responden terhadap kawasan TNGC ditunjukan oleh

jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Setelah wawancara

dilakukan dan data-data sudah terkumpul, maka selanjutnya dilakukan proses

tabulasi data-data hasil wawancara dan dianalisis secara deskriptif untuk

mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan sehingga dapat diketahui

perluasan lahan yang mungkin terjadi, dan analisis terhadap pengelolaan yang

berlaku secara kualitatif untuk mengetahui pengaruh sejarah pengelolaan kawasan

terhadap perubahan penutupan lahan yang terjadi.

2 Metode uji statistik

a Analisis regresi linear sederhana

Metode ini bertujuan untuk mengetahui hubungan/korelasi karakteristik

sosial ekonomi masarakat penggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan.

Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai variabel tak bebas (y) adalah luas

lahan garapan dalam kawasan, dan yang bertindak sebagai variabel bebas (x)

adalah karakteristik sosial ekonomi penggarap. Model hubungan tesebut dapat

dibuat dengan persamaan sebagai berikut :

Model hubungan dari persamaan tersebut selanjutnya dilakukan pengujian

hipotesis dengan menggunakan uji korelasi (R2). Korelasi diproyeksikan dalam

koefisien korelasi yang menunjukan kemampuan model yang dihasilkan dalam

menerangkan keragaman populasi (responden) yang ingin dikaji atau dengan kata

lain R2 menunjukan persentase variasi data yang terjadi pada variabel tak bebas

(y) yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (x) dengan adanya regresi. Dengan

demikian semakin besar R2 yang dihasilkan, semakin baik regresi yang diperoleh.

y = a + bx

Page 39: Skripsi Manajemen Hutan

24

Dalam regresi sebelum dianalisis terdapat syarat yang harus dipenuhi,

salah satunya adalah data harus terdistribusi secara normal. Oleh karena itu,

diperlukan uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-

Wilk. Distribusi data normal jika kedua-duanya diuji tidak signifikan >0.05

(Iskandar 2008). Apabila data-data tersebut terdistribusi normal maka analisis

dapat dilanjutkan, sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal maka tidak

bisa dilakukan analisis regresi.

b Analisis uji chi-square

Uji chi square menganalisis secara deskriptif hubungan antara variabel

terpengaruh dan variabel pengaruh. Variabel terpengaruh dalam penelitian ini

yaitu (y) yang merupakan luas lahan garapan dalam kawasan dan yang bertindak

sebagai variabel pengaruh adalah (x) yang merupakan karakteristik sosial

ekonomi penggarap yaitu jumlah tanggungan keluarga (x1), tingkat umur (x2),

tingkat pendidikan (x3), pendapatan (x4), luas garapan di luar kawasan (x5), dan

lama masyarakat menggarap (x6). Model hubungan tesebut dapat dihipotesiskan

sebagai berikut :

y = f (x1, x2, x3, x4, x5, x6)

Untuk melihat hubungan antara variabel-variabel di atas, maka dibuat

kategori terhadap variabel tersebut sehingga dapat diperlukan untuk analisis

selanjutnya. Kategorinya adalah sebagai berikut:

1 Luas lahan garapan dalam kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan luas

lahan garapan responden dalam kawasan yang dinyatakan:

a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai

rata-rata keseluruhan responden.

b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai

rata-rata keseluruhan responden.

2 Jumlah tanggungan keluarga, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan jumlah

tanggungan keluarga responden yang dinyatakan:

a Kecil, bila jumlah tanggungan keluarga responden kurang dari nilai rata-rata

keseluruhan responden.

b Besar, bila jumlah tanggungan keluarga responden lebih dari nilai rata-rata

keseluruhan responden.

Page 40: Skripsi Manajemen Hutan

25

3 Tingkat umur, dikategorikan berdasarkan produktivitas manusia yang

dinyatakan:

a Produktif, bila usia responden berkisar antara 15-64 tahun.

b Non produktif, bila usia responden lebih dari 64 tahun.

4 Tingkat pendidikan, yang dikategorikan dalam:

a Tidak sekolah.

b Sekolah Dasar (SD).

c Sekolah Menengah Pertama (SMP).

d Sekolah Menengah Atas (SMA).

5 Tingkat pendapatan, dilihat dari besarnya pendapatan rata-rata keseluruhan

responden yang dinyatakan:

a Rendah, bila pendapatan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan.

b Tinggi, bila pendapatan responden lebih dari nilai rata-rata.

6 Luas lahan garapan diluar kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan

lahan garapan responden yang dinyatakan:

a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai

rata-rata keseluruhan responden.

b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai

rata-rata keseluruhan responden.

7 Lama menggarap, yang dinyatakan:

a < 5tahun (setelah penetapan TNGC).

b > 5tahun (sebelum penetapan TNGC).

Jumlah responden yang terdapat dalam suatu faktor sosial ekonomi

disusun dalam tabel frekuensi dan tabel silang. Tabel frekuensi digunakan untuk

melihat dominansi setiap faktor sosial ekonomi yang telah dikategorikan.

Sedangkan tabel silang digunakan untuk menentukan hubungan variabel pengaruh

dan variabel terpengaruh melalui uji chi-square dengan rumus sebagai berikut:

∑ (f₀-ft)2

χ2 =

ft

Page 41: Skripsi Manajemen Hutan

26

Keterangan : f₀ = frekuensi observasi yang diperoleh dari penelitian.

ft = frekuensi teortis yang nilainya ditentukan dari penggandaan

perbandingan jumlah total kolom dengan jumlah total baris

data pada tabel silang.

Hipotesis keputusan untuk pengujian ini adalah sebagai berikut :

H0 : Karakter sosial ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan

dalam kawasan.

H1 : Karakter sosial ekonomi berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan

dalam kawasan.

≤ χ2 tabel(n-1;k-1) ; terima H0

χ2 hitung

≥ χ2 tabel(n-1;k-1) ; terima H1

Apabila terima H0, maka variabel pengaruh (x) tidak berpengaruh terhadap

variabel terpengaruh (y), dan sebaliknya apabila terima H1 maka variabel

pengaruh (x) berpengaruh terhadap variabel terpengaruh (y). Selang kepercayaan

yang digunakan adalah 95%.

Page 42: Skripsi Manajemen Hutan

27

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai

4.1.1 Sejarah kawasan

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi

3078 m dpl. Gunung Ciremai awalnya merupakan kawasan hutan yang ditunjuk

oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disahkan pada tanggal 28 Mei 1941.

Kawasan hutan ini kemudian berubah status menjadi hutan produksi pada tahun

1978 yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terbagi dalan dua unit wilayah

yaitu KPH Kuningan dan KPH Majalengka berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Pertanian No.143/Kpts/Um/3/1978. Sebagian kawasan hutan produksi di Gunung

Ciremai kemudian diubah statusnya sebagai kawasan hutan lindung di Kawasan

Hutan Produksi Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten

Majalengka berdasarkan Kepmenhut nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003

tentang penunjukan areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816603 ha.

Pada saat kawasan dikelola Perum Perhutani, telah ada sistem yang

berjalan salah satunya adalah sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat) yang dimulai sekitar tahun 1999 (Suryadarma 2009). PHBM adalah

sebuah sistem yang sama sekali berbeda dengan sistem pengelolaan taman

nasional pada umumnya. Kebijakan PHBM ini tertuang dalam pasal 51 Peraturan

Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang penggunaan dan pemanfaatan hutan

berbasis sosial forestry. Program PHBM antara masyarakat dan Perum Perhutani

dengan memanfaatkan pola tumpangsari (agroforestry). Menurut Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1990, dijelaskan bahwa taman nasional merupakan kawasan

konservasi dengan tujuan perlindungan ekosistem penyangga kehidupan,

pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata untuk

kelestarian kawasan sehingga tidak diperbolehkan adanya aktivitas masyarakat

khususnya pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan hutan di kawasan ini telah

dilakukan sejak lama, yaitu sejak kawasan hutan Gunung Ciremai masih berstatus

hutan produksi. Seperti dibeberapa wilayah yang dimanfaatkan untuk pertanian,

lahan tumpangsari justru banyak dikonversi lahannya menjadi ladang sayur mayur

Page 43: Skripsi Manajemen Hutan

28

tanpa memelihara hutan pinus sebagai tegakan utama. Pemanfaatan ini semakin

tidak terkendali dan sangat berpotensi mengakibatkan lahan kritis. Berdasarkan

permasalahan tersebut, maka Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka

mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mengajukan perubahan fungsi

kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi TNGC.

Kawasan hutan lindung Gunung Ciremai kemudian mengalami perubahan fungsi

menjadi taman nasional dengan dikeluarkannya surat keputusan menteri

kehutanan nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang

perubahan fungsi kawasan hutan lindung Gunung Ciremai menjadi taman

nasional. Selanjutnya pada 30 Desember 2004, dilakukan penunjukan BKSDA

Jawa Barat II sebagai pengelola TNGC hingga terbentuknya organisasi TNGC

berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No.SK. 140/IV/Set-

3/2004.

Penyelesaian proses perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai

menjadi taman nasional banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak mulai

dari masyarakat desa sekitar sampai organisasi non pemerintah yang berpendapat

bahwa penunjukan kawasan menjadi taman nasional agak terburu-buru, tanpa

sosialisasi ke masyarakat dan tidak sesuai prosedur. Mereka menganggap

keberadaan taman nasional sangat merugikan masyarakat karena telah dirubah

peruntukannya, tidak dapat lagi dikelola dengan tujuan produksi dan masyarakat

tidak diperbolehkan lagi menggarap dalam kawasan. Hal ini seperti pernyataan

Hermawan (2005) bahwa penolakan penunjukan kawasan menjadi taman nasional

disebabkan: (1) proses penetapan TNGC dianggap tidak mengindahkan proses

pembicaraan yang sedang berlangsung, (2) proses penetapan yang penuh

ketergesaan dikhawatirkan akan merugikan masyarakat, (3) tidak adanya

sosialisasi penetapan TNGC kepada masyarakat dan (4) kekhawatiran tertutupnya

akses masyarakat pada kawasan Gunung Ciremai setelah ditetapkan menjadi

taman nasional.

Perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang berada

di kawasan TNGC menjadi kawasan konservasi telah menyebabkan perubahan

sistem pengelolaan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung tidak hanya berperan

untuk melindungi terhadap tanah dan air sebagai daerah resapan, tetapi juga

Page 44: Skripsi Manajemen Hutan

29

ditingkatkan sebagai kawasan pelestarian alam. Begitupun dengan kawasan hutan

produksi yang semula dikelola oleh Perum Perhutani, dengan adanya peralihan

kawasan menjadi taman nasional, masyarakat sudah tidak bisa lagi menggarap

lahan dalam kawasan.

4.1.2 Letak dan luas wilayah

Secara geografis, TNGC terletak pada koordinat 1080 28’ 0” BT – 1080 21’

35” BT dan 60 50’ 25” LS – 60 58’ 26” LS. Berdasarkan wilayah administrasi

pemerintahan, kawasan TNGC termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten

Kuningan dan Kabupaten Majalengka dengan luas ± 15518.23 ha.

4.1.3 Topografi dan iklim

Kawasan TNGC memiliki toporafi yang bergelombang, berbukit dan

bergunung membentuk kerucut dengan ketinggian mencapai 3078 m dpl.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TNGC termasuk ke

dalam tipe iklim B dan C dengan curah hujan 2000-4000 mm/tahun dan

temperatur udara 180C–220C.

4.1.4 Hidrologi

Kawasan Gunung Ciremai kaya dengan sumber daya air berupa sungai dan

mata air. Sungai-sungai yang bersumber dari Gunung Ciremai berjumlah ± 43

buah dan 156 titik mata air, 147 titik mata air terus menerus mengalirkan air

sepanjang tahun dengan debit rata-rata 50–2000 liter/detik serta kualitas airnya

memenuhi standar kriteria kualitas air minum.

4.1.5 Vulkanologi

Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif, tipe A yakni, gunung

api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600 dan berbentuk kerucut.

Gunung ini merupakan gunung api soliter yang dipisahkan oleh zona sesar

Cilacap–Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur yakni

deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung

Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu yang terletak pada zona Bandung.

Gunung Ciremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah

suatu gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai

lanjutan vulkanisme Plio-Plistosen di atas batuan tersier. Vulkanisme generasi

kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk kaldera

Page 45: Skripsi Manajemen Hutan

30

Gegerhalang. Vulkanisme generasi ketiga yaitu pada kala Holosen berupa Gunung

Ciremai yang tumbuh di sisi utara kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi

sekitar 7000 tahun yang lalu.

4.1.6 Kondisi biologis

Tipe ekosistem hutan yang berada di kawasan TNGC secara umum

merupakan tipe hutan dataran rendah (2-1000 m dpl), hutan hujan pegunungan

(1000–2400 m dpl), dan hutan pegunungan atas (> 2400 m dpl). Pada stipe

ekosistem tersebut terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi berupa

keanekaragaman flora, fauna dan potensi wisata. Flora yang ditemukan di

kawasan tersebut berdasarkan hasil eksplorasi sebanyak 57 jenis, diantaranya

adalah edelweis, pasang, jamuju, harendong, kiteja, kipare, kicalungcung,

hamirung, kijagong, kiceuhay, pelending, cereme, kiucing, kileho, kinugrah,

cerem, kibeusi, kisieur, walen, nangsi, kiampet, kemuning, ipis kulit, kigawulan,

huru, kalimarot, kisalam, totongoan, talingkup, kendung, pendung, kiamis, kitaji,

kipait, ramo giling, kihuut, kisareni, tangogo, hamperu badak, hamerang,

beunying, kawoyang, kareumbi, masawa, kikacapi, kikacang, baros, songgom,

kijeruk, gintung, kisireum dan kijengkol.

Jenis fauna yang ditemukan di kawasan TNGC cukup beragam terdiri dari

jenis burung, mamalia dan reptil. Macan tutul (Panthera pardus), kijang

(Muntiacus munjak), kera ekor panjang (Macaca Fascicularis), elang hitam

(Ictinaetus malayensis), ekek kiling (Cissa thalassina), sepah madu (Perictorus

miniatus), lutung (Presbytis cristata), surili (Presbytis comata), ular sanca

(Phyton molurus), meong congkok (Felis bengalensis), walik (Ptilinopuscinctus)

dan anis (Zoothera citrina). Taman Nasional Gunung Ciremai juga memiliki

sejumlah potensi wisata alam, yaitu Objek Wisata Talaga Remis, Objek Wisata

Situ Nilam, Objek Wisata Situ Ayu Salintang, Situ Cicerem, Bumi Perkemahan

Cikole dan Mata Air, Bumi Perkemahan dan Wisata Air Paniis, Bumi Perkemahan

Cibeureum, Bumi Perkemahan Cibunar dan Parigi, Bumi Perkemahan Palutungan

dan Kawasan Wisata Lembah Cilengkrang.

Page 46: Skripsi Manajemen Hutan

31

4.1.7 Potensi wisata

Kawasan TNGC memiliki objek wisata alam yang telah dikelola sebelum

penetapan statusnya sebagai taman nasional. Potensi wisata terdapat di kawasan

TNGC cukup unik, variatif dan memiliki nilai jual yang tinggi. Potensi tersebut

mencakup potensi fisik maupun hayati antara lain panorama alam, keindahan air

terjun, pemandian air panas, bentang alam, kawasan persawahan, aliran sungai

yang mengalir dapat dijadikan alternatif wisata bagi para wisatawan. Beberapa

objek wisata alam yang selama ini telah diusahakan di kawasan TNGC dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Objek wisata alam di TNGC

No Kabupaten Nama lokasi Jenis daya tarik

1 Kuningan Telaga Remis Danau Situ Cicerem Danau Bumi Perkemahan Cikole Aktivitas berkemah Pemandian Paniis dan Bumi Perkemahan Singkup

Aktivitas berkemah

Sumur Cikajayaan Wisata air Bumi Perkemahan Cibeureum Aktivitas berkemah Jalur Pendakian Linggarjati Aktivitas pendakian Jalur Pendakian Palutungan Aktivitas pendakian Bumi Perkemahan Hulu Ciawi Aktivitas berkemah Bumi Perkemahan Cibunar Aktivitas berkemah Bumi Perkemahan Balong Dalam Aktivitas berkemah Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh Wisata air Lembah Cilengkrang Air terjun Pemandian Alam Cigugur Wisata air Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Putri Aktivitas berkemah

2 Majalengka Jalur Pendakian Apuy Aktivitas pendakian Bumi Perkemahan Cipanten Aktivitas berkemah Curug Sawer Air terjun Situ Sangiang Wisata air

Sumber : BTNGC (2006)

4.2 Daerah Penyangga TNGC

4.2.1 Letak dan luas

Daerah penyangga TNGC terletak melingkari kawasan TNGC yang

meliputi 46 desa di 14 kecamatan dan 2 kabupaten. Ada 25 desa di 7 kecamatan di

Kabupaten Kuningan di sekitar kawasan TNGC sebelah timur dengan luas

keseluruhan desa tersebut sebesar 105.5 km2. Sementara itu, ada 20 desa di 7

Kecamatan di Kabupaten Majalengka di sekitar kawasan TNGC sebelah barat

dengan luas keseluruhan desa tersebut sebesar ± 107.31 km2.

Page 47: Skripsi Manajemen Hutan

32

4.2.2 Kondisi sosial ekonomi masyarakat

1 Kepadatan penduduk

Luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk Kabupaten

Kuningan adalah 105.5 km2. Jumlah penduduk dari desa-desa tersebut sebesar

64666 jiwa dengan kepadatan penduduk 612.96/km2 (BPS Kabupaten Kuningan

2003). Sedangkan luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk

Kabupaten Majalengka adalah ± 107.31 km2, dengan jumlah penduduk mencapai

287439 jiwa, laki-laki berjumlah 144096 jiwa dan perempuan sebanyak 143341

jiwa (BPS Kabupaten Majalengka 2003).

2 Mata pencaharian

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan yang berada di sekitar

kawasan TNGC terdiri dari petani sebanyak 65476 orang (68.79%), industri

sebanyak 2323 orang (2.46%) dan sektor jasa sebanyak 27097 orang (28.55%).

Besarnya jumlah petani menunjukkan besarnya jumlah masyarakat yang

bergantung pada lahan pertanian dengan luas kepemilikan lahan pertanian oleh

petani hanya mencapai 0.2 ha. Adapun komoditas pertanian yang dihasilkan

diantaranya padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Sedangkan mata

pencaharian penduduk Kabupaten Majalengka yang berada di sekitar kawasan

TNGC sebagian besar di sektor pertanian (34%), baik di lahan milik, penggarap

atau buruh tani dengan komoditi yang ditanam di atas lahan ladang/kebun/tegalan

adalah sayuran-sayuran dan buah-buahan. Mata pencaharian lain yaitu 33% di

sektor industri pengolahan, 17% di sektor perdagangan dan sisanya tersebar di

sektor jasa, angkutan, perkebunan, perikanan dan perdagangan.

3 Penggunaan lahan

Secara umum pola penggunaan lahan masyarakat di sekitar TNGC terdiri

dari tanah sawah dan bukan sawah (kebun, hutan rakyat, perkebunan, perumahan

dan tanah pekarangan). Luas penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan adalah

seluas 5644.48 ha yang terbagi menjadi lahan sawah 15026 ha (berdasarkan

sistem pengairan irigasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa

maupun tadah hujan) dan bukan sawah 4141.88 ha yang terdiri dari kebun, hutan

rakyat, hutan negara, perkebunan dan lain-lain (BPS Kabupaten Kuningan 2003).

Adapun penggunaan lahan di sekitar kawasan TNGC yang berada di wilayah

Page 48: Skripsi Manajemen Hutan

33

Kabupaten Majalengka secara umum diklasifikasikan menjadi lahan sawah dan

lahan kering. Pada tahun 2003 tercatat bahwa luas lahan sawah di Kabupaten

Majalengka sedikit mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2002 yaitu

dari 51045 ha menjadi 50937 ha. Hal ini disebabkan adanya peralihan fungsi

lahan dari sawah menjadi tanah tegalan atau perumahan. Penggunaan lahan di

kawasan barat (Majalengka) sampai dengan tahun 2005 didominasi untuk tanah

ladang/tegalan yaitu seluas 3047.55 ha.

4 Sosial budaya

Berdasarkan data BPS Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka

tahun 2003, sebagian besar penduduk yang ada di 14 kecamatan sekitar kawasan

TNGC umumnya memeluk agama Islam (98%), sedangkan sebagian kecil

beragama Kristen Protestan dan Katolik (2%). Interaksi masyarakat desa dengan

kelompok hutan Gunung Ciremai telah lama berlangsung sejak kawasan tersebut

belum ditunjuk sebagai taman nasional. Berbagai aktivitas dilakukan masyarakat,

baik secara ekologi, ekonomi dan sosial berhubungan dengan kawasan tersebut,

termasuk beberapa situs yang terdapat di dalam kawasan Gunung Ciremai yang

merupakan bagian dari kegiatan ritual kepercayaan dan budaya bagi sebagian

masyarakat di sekitar dan di luar kawasan Gunung Ciremai.

Page 49: Skripsi Manajemen Hutan

34

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan di Kawasan TNGC

Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan

permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi

manusia, gangguan alam dan suksesi tumbuhan secara alami. Penggunaan lahan

merupakan perubahan keadaan lahan yang disebabkan oleh adanya kegiatan

pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kepentingan dalam

pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penutupan lahan dan penggunaan lahan yang

ada di TNGC berdasarkan hasil survei dikelompokkan menjadi tujuh kategori.

Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut adalah hutan alam, hutan tanaman,

semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Penutupan dan

penggunaan lahan di TNGC disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Penutupan dan penggunaan lahan. (a) Hutan alam; (b) Hutan tanaman pinus; (c) Semak belukar; (d) Ladang; (e) Lahan terbuka; (f) Badan air.

Page 50: Skripsi Manajemen Hutan

35

5.1.1 Klasifikasi penutupan lahan

Proses klasifikasi dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik interpretasi

penginderaan jauh menggunakan citra Landsat. Citra yang digunakan untuk

klasifikasi adalah citra dengan tahun penyiaman 2006 dan 2009. Berdasarkan hasil

interpretasi citra, klasifikasi penutupan lahan terbagi dalam 7 tipe yaitu hutan

alam, hutan tanaman, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data.

Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat band 5,4,3 disajikan

pada Tabel 5. Adapun klasifikasi tipe penutupan lahan dijelaskan sebagai berikut :

1 Hutan alam merupakan kelompok hutan yang masih alami baik itu hutan

primer maupun hutan sekunder.

2 Hutan tanaman merupakan kelompok hutan produksi eks Perum Perhutani.

Dalam kawasan TNGC dan sekitarnya didominasi oleh hutan tanaman pinus

dengan sistem agroforestry.

3 Semak adalah lahan yang didominasi oleh tumbuhan bawah, rumput dan

belukar. Areal ini dapat juga berupa bekas pembukaan hutan lahan kering

yang telah tumbuh kembali.

4 Ladang merupakan lahan pertanian kering yang ditanami bukan tanaman

keras. Umumnya ladang ditanami dengan sayuran atau tanaman pangan

semusim.

5 Lahan terbuka adalah seluruh kenampakan lahan yang tidak bervegetasi,

lahan bekas kebakaran dan tanah bebebatuan.

6 Badan air merupakan penampakan permukaan air yang berupa danau,sungai,

dan kolam.

7 Tidak ada data adalah penampakan awan dan bayangan pada citra. Adanya

awan dan bayangan mengakibatkan citra tidak dapat diklasifikasi.

Page 51: Skripsi Manajemen Hutan

36

Tabel 5 Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat

No. Tipe penutupan lahan

Deskripsi tampilan citra Gambar citra Landsat

1 Hutan alam Hutan alam berwarna hijau tua gelap dan berada pada kelas kelerengan yang curam

2 Hutan tanaman

pinus Hutan tanaman pinus berwarna hijau agak gelap dan memiliki tekstur yang halus

3 Semak Semak berwarna kuning sangat

terang hingga merah muda terang. Memiliki tekstur yang agak halus.

4 Ladang Ladang berwarna kebiruan,

berbercak kemerahan dan kecoklatan.

5 Lahan terbuka Lahan terbuka berwarna ungu,

merah muda gelap dan keabuan

Page 52: Skripsi Manajemen Hutan

37

Tabel 5 (Lanjutan)

No. Tipe penutupan lahan

Deskripsi tampilan citra Gambar citra Landsat

6 Badan air Badan air berwarna biru tua

7 Awan dan bayangan awan

Awan berwarna putih dan bayangan berwarna hitam

5.1.2 Penutupan lahan di TNGC tahun 2006

Hasil pengolahan citra Landsat dengan waktu penyiaman citra 24 September

2006 adalah peta penutupan lahan TNGC (Gambar 6). Nilai overall classification

accuracy peta tutupan lahan tahun 2006 adalah 86.49%. Berdasarkan Tabel 6 dan

Tabel 7, luas tipe penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dijelaskan sebagai

berikut:

1 Tipe petutupan lahan yang terluas di TNGC adalah hutan alam dengan luas

6345.99 ha. Hutan alam yang ada di TNGC sebagian besar merupakan hutan

sekunder. Persebaran hutan alam paling luas yaitu di Kecamatan Argapura

dengan luas 1932.48 ha dan terkecil pada Kecamatan Sukahaji dengan luas

14.67 ha.

2 Tipe penutupan lahan terluas kedua adalah semak dengan luas 3295.26 ha.

Semak merupakan lahan berupa rumput, tumbuhan bawah atau ilalang yang

tumbuh karena adanya pembukaan lahan atau lahan bekas garapan yang

ditinggalkan. Semak mendominasi luasan TNGC di beberapa wilayah karena

lahannya sebagian berbatu dan adanya faktor kebakaran hutan yang

menyebabkan suksesi secara alami. Semak belukar terluas berada di

Kecamatan Pasawahan dengan luas 671.76 ha diikuti Kecamatan Argapura

Page 53: Skripsi Manajemen Hutan

38

dengan luas 622.53 ha, dan yang terkecil berada di Kecamatan Cikijing dengan

luas 21.24 ha.

3 Tidak ada data merupakan penutupan lahan terluas ketiga dengan luas 1864.35

ha. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra

berupa awan, bayangan awan, serta punggungan bukit-bukit.

4 Hutan tanaman pinus merupakan tipe penutupan lahan terluas keempat dengan

luas 1458.27 ha. Hutan tanaman pinus di TNGC dahulu dikelola Perum

Perhutani. Distribusi hutan tanaman pinus terluas berada di Kecamatan

Argapura dengan 477.99 ha, kemudian Kecamatan Mandirancan dengan luas

200.43 ha dan yang terkecil di Kecamatan Sukahaji dengan luas 1.17 ha.

5 Lahan terbuka merupakan penutupan lahan terluas kelima dengan luas 1413.36

ha. Lahan terbuka diakibatkan oleh kebakaran lahan-lahan semak belukar yang

menyebabkan semak-semak menjadi tanah-tanah hitam. Selain itu karena

adanya pembukaan lahan oleh masyarakat sebelum digarap menjadi lahan

pertanian. Lahan terbuka di TNGC yang terluas berada di Kecamatan

Pasawahan dengan luas 1025.55 ha, kemudian Kecamatan Argapura dengan

luas 152.91 ha dan yang terkecil berada di Kecamatan Cikijing dengan luas 0.9

ha.

6 Ladang merupakan tipe penutupan lahan terluas keenam dengan luas 789.3 ha.

Ladang adalah lahan pertanian kering yang ditanami sayur-sayuran seperti

kubis, cabai, kentang, petcay dan lainnya. Ladang merupakan lahan garapan

yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat dan sudah ada sebelum adanya

kawasan TNGC atau semenjak masih dikuasai oleh Perum Perhutani, sehingga

ladang masih banyak terdapat di dalam kawasan taman nasional. Luasan ladang

yang terluas berada di wilayah Kecamatan Argapura dengan 440.19 ha,

kemudian di Kecamatan Talaga dengan luas 220.59 ha dan terluas ketiga di

Kecamatan Cigugur dengan luas 36.27 ha.

7 Badan air merupakan tipe penutupan lahan yang terkecil yang sangat jelas

terdeteksi di wilayah danau/Situ Sangiang dengan luas 19.17 ha dan Talaga

Remis dengan luas 2.34 ha.

Page 54: Skripsi Manajemen Hutan

39

Gambar 6 Peta penutupan lahan TNGC tahun 2006.

5.1.3 Penutupan lahan di TNGC tahun 2009

Hasil pengolahan citra Landsat dengan waktu penyiaman citra 16 Maret

2009 adalah peta penutupan lahan TNGC (Gambar 7). Nilai overall classification

accuracy peta tutupan lahan tahun 2009 adalah 89.19%. Berdasarkan Tabel 6 dan

Page 55: Skripsi Manajemen Hutan

40

Tabel 7, luas tipe penutupan lahan di TNGC tahun 2009 dijelaskan sebagai

berikut:

1 Penutupan lahan terluas di TNGC adalah hutan alam dengan luas 6294.78 ha.

Hutan alam di TNGC sebagian besar merupakan hutan sekunder dan sebagian

hutan yang masih primer/alami. Hutan alam terluas berada di wilayah

administrasi Kecamatan Argapura dengan luas 1985.49 ha, kemudian

Kecamatan Cigugur dengan luas 720.72 ha dan yang terkecil pada Kecamatan

Sukahaji dengan luas 15.03 ha.

2 Tipe penutupan lahan terluas kedua adalah semak dengan luas 404.99 ha.

Semak merupakan lahan berupa rumput, tumbuhan bawah atau ilalang yang

tumbuh karena adanya pembukaan lahan atau lahan bekas garapan yang

ditinggalkan. Distribusi semak terluas pada Kecamatan Pasawahan dengan

luas 1532.07 ha dan Kecamatan Mandirancan dengan luas 487.89 ha.

3 Tidak ada data merupakan penutupan lahan terluas ketiga dengan luas 1864.35

ha. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra yang

berupa awan, bayangan awan serta punggungan bukit-bukit.

4 Hutan tanaman merupakan tipe penutupan lahan terluas keempat dengan luas

1551.15 ha. Penggunaan lahan hutan tanaman pinus ini terlihat dari aktivitas

penggarapan lahan masyarakat dengan sistem tumpangsari. Distribusi terluas

yaitu pada Kecamatan Argapura dengan 379.44 ha diikuti dengan Kecamatan

Mandirancan dengan luas 247.86 ha.

5 Ladang merupakan tipe penutupan lahan terluas kelima dengan luas 967.59

ha. Ladang adalah lahan pertanian kering yang ditanami tanaman sayuran

semusim. Ladang merupakan lahan garapan yang sudah lama diterapkan oleh

masyarakat dan sudah ada sebelum adanya kawasan TNGC. Distribusi ladang

terluas berada di Kecamatan Argapura dengan luas 617.04 ha, kemudian di

Kecamatan Cigugur dengan luas 87.84 ha.

6 Lahan terbuka merupakan penutupan lahan terluas keenam dengan luas 434.16

ha. Lahan terbuka merupakan lahan yang tidak bervegetasi, tanah dan berbatu

seperti di puncak Gunung Ciremai, serta lahan semak yang mengalami

kebakaran lahan dan hutan. Distribusi terluas berada pada wilayah Kecamatan

Pasawahan dengan luas 170.91 ha

Page 56: Skripsi Manajemen Hutan

41

7 Luas penutupan lahan paling kecil adalah badan air. Badan air terdeteksi jelas

di Situ Sangiang (Kecamatan Talaga) dengan luas 17.64 ha dan Telaga Warna

(Kecamatan Pasawahan) dengan luas 2.25 ha.

Gambar 7 Peta penutupan lahan TNGC tahun 2009.

Legenda

Page 57: Skripsi Manajemen Hutan

42

5.2 Perubahan Penutupan Lahan

Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena

manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda. Berdasarkan

hasil interpretasi citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra Landsat TM tahun

2009, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan penutupan lahan di kawasan

TNGC. Perubahan penutupan lahan secara umum dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan 2009

No Tipe

penutupan lahan

Luas penutupan lahan (ha) Perubahan penutupan

lahan Total Total

2006 % 2009 % 2006-2009

(ha) Laju/3tahun

(%) 1 Hutan alam 6345.99 41.78 6294.78 41.48 -51.21 -0.01

2 Hutan tanaman

1458.27 9.60 1551.15 10.22 92.88 0.06

3 Ladang 789.3 5.20 967.59 6.38 178.29 0.18

4 Semak 3295.26 21.70 4041.99 26.64 746.73 0.18

5 Lahan terbuka 1413.36 9.31 434.16 2.86 -979.2 -2.26

6 Badan air 21.51 0.14 19.89 0.13 -1.62 -0.08

7 Tidak ada data

1864.35 12.28 1864.35 12.29 0 0

Penutupan lahan di TNGC terbagi dalam 12 kecamatan yang berbatasan

langsung dengan kawasan TNGC. Sebagian wilayah TNGC termasuk ke dalam

batas wilayah-wilayah administrasi kecamatan yang berada di Kabupaten

Majalengka dan Kabupaten Kuningan. Luasan penutupan lahan pada masing-

masing kecamatan dan perubahan penutupan lahannya selama periode 2006-2009

dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Page 58: Skripsi Manajemen Hutan

43

Tabel 7 Penutupan lahan tiap kecamatan

No Kabupaten Kecamatan

2006 2009

Hutan alam (ha)

Hutan tanaman

pinus (ha)

Semak belukar

(ha)

Lahan terbuka

(ha)

Ladang (ha)

Badan air (ha)

Tidak ada data (ha)

Hutan alam (ha)

Hutan tanaman

pinus (ha)

Semak belukar

(ha)

Lahan terbuka

(ha)

Ladang (ha)

Badan air (ha)

Tidak ada data (ha)

1 Majalengka Cikijing 17.64 2.61 21.24 0.90 2.07 0 49.23 28.08 4.95 6.75 0.18 3.60 0 49.23

2

Talaga 264.24 126.81 124.65 48.60 220.59 19.17 169.38 352.08 130.77 120.51 45.36 137.70 17.64 169.38

3

Argapura 1932.48 477.99 622.53 152.91 440.19 0 142.38 1985.49 379.44 524.70 116.73 617.04 0 142.29

4

Sukahaji 14.67 1.17 92.25 0.09 12.24 0 1.17 15.03 5.76 68.94 9.45 18.27 0 1.17

5

Rajagaluh 525.06 107.19 261.81 31.77 28.26 0 367.02 528.12 123.66 230.13 35.91 23.76 0 367.02

6

Sindangwangi 27.27 101.97 76.05 3.51 3.33 0 11.88 44.91 84.6 66.69 6.48 6.39 0 11.88

7 Kuningan Darma 507.06 43.92 141.03 25.02 30.06 0 586.8 471.42 60.57 181.44 1.8 39.33 0 586.8

8

Cigugur 802.17 59.31 301.05 37.26 36.27 0 62.64 720.72 85.77 308.7 34.29 87.84 0 62.64

9

Jalaksana 662.67 91.17 194.49 5.76 6.84 0 122.58 586.35 130.32 226.89 6.66 15.21 0 122.58

10

Cilimus 718.83 65.79 385.74 26.82 1.71 0 7.38 695.34 166.86 332.19 1.98 6.66 0 7.38

11

Mandirancan 391.68 200.43 441.81 65.43 1.71 0 21.87 348.66 247.86 487.89 9.70 6.03 0 21.87 12

Pasawahan 564.3 187.65 671.76 1025.55 11.25 2.34 339.84 598.14 141.57 1532.07 170.91 8.91 2.25 339.93

43

Page 59: Skripsi Manajemen Hutan

44

Tabel 8 Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan

No Kabupaten Kecamatan

Hutan alam (ha) Hutan tanaman pinus

(ha) Semak (ha) Lahan terbuka (ha) Ladang (ha) Badan air (ha)

Luas total

(2006)

Luas total

(2009) Luas (ha)

Laju perubahan

(%)

Luas (ha)

Laju perubahan

(%)

Luas (ha)

Laju perubahan

(%)

Luas (ha)

Laju perubahan

(%)

Luas (ha)

Laju perubahan

(%)

Luas (ha)

Laju perubahan

(%)

1 Majalengka Cikijing 10.44 0.59 2.34 0.90 -14.49 -0.68 -0.72 -0.8 1.53 0.74 0 0 93.69 92.79

2 Talaga 87.84 0.33 3.96 0.03 -4.14 -0.03 -3.24 -0.07 -82.89 -0.38 -1.53 -0.08 973.44 973.44

3 Argapura 53.01 0.03 -98.55 -0.21 -97.83 -0.16 -36.18 -0.24 176.85 0.40 0 0 3768.48 3765.69

4 Sukahaji 0.36 0.02 4.59 3.92 -23.31 -0.25 9.36 104 6.03 0.49 0 0 121.59 118.62

5 Rajagaluh 3.06 0.01 16.47 0.15 -31.68 -0.12 4.14 0.13 -4.5 -0.16 0 0 1321.11 1308.60

6 Sindangwangi 17.64 0.65 -17.37 -0.17 -9.36 -0.12 2.97 0.85 3.06 0.92 0 0 224.01 220.95

7 Kuningan Darma -35.64 -0.07 16.65 0.38 40.41 0.29 -23.22 -0.93 9.27 0.31 0 0 1333.89 1341.36

8 Cigugur -81.45 -0.10 26.46 0.45 7.65 0.03 -2.97 -0.08 51.57 1.42 0 0 1298.7 1299.96

9 Jalaksana -76.32 -0.12 39.15 0.43 32.4 0.17 0.90 0.16 8.37 1.22 0 0 1083.51 1088.01

10 Cilimus -23.49 -0.03 101.07 1.54 -53.55 -0.14 -24.84 -0.93 4.95 2.89 0 0 1206.27 1210.41

11 Mandirancan -43.02 -0.11 47.43 0.24 46.08 0.10 -55.73 -0.85 4.32 2.53 0 0 1122.93 1122.01

12 Pasawahan 33.84 0.06 -46.08 -0.25 860.31 1.28 -854.64 -0.83 -2.34 -0.21 -0.09 -0.04 2802.69 2793.78

44

Page 60: Skripsi Manajemen Hutan

45

Penutupan lahan hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder di

TNGC selama periode 2006-2009 mengalami penurunan luas hutan sebesar 51.21

ha dengan laju perubahan luas sebesar 0.01%. Penurunan luas hutan alam terbesar

yaitu di Kecamatan Cigugur dengan 81.45 ha dan peningkatan hutan alam terbesar

yaitu di Kecamatan Talaga 87.84 ha. Hutan alam mengalami penurunan luas dan

perubahan menjadi semak belukar sebesar 7.80%, menjadi hutan tanaman sebesar

4.19%, dan menjadi ladang sebesar 0.80% dari luas tahun 2006 pada tahun 2009.

Penurunan luas hutan ini mengindikasikan adanya gangguan kawasan hutan

berupa pencurian dan penebangan kayu, penggarapan lahan serta beberapa

kejadian kebakaran hutan yang merusak pohon dan menyebabkan lahan tersebut

menjadi kurang tertutup vegetasi. Selain itu juga karena adanya lahan hutan yang

dimanfaatkan untuk kebun campuran karena merupakan kawasan enclave.

Wilayah enclave ini memang sudah ada lama sejak masih dikelola Perum

Perhutani. Kawasan TNGC terdapat dua lokasi yang menjadi kawasan enclave

dan keduanya berada di wilayah resort pasawahan dengan luas masing-masing

12.5 ha dan 67.5 ha. Lokasi enclave ini cenderung merupakan hutan campuran

sekunder dan tidak ada pemukiman di dalamnya. Hutan sekunder mendominasi

kawasan hutan di TNGC karena ekosistem ini banyak dijumpai baik di daerah-

daerah hutan tropika basah maupun hutan musim, di dataran rendah dan bukit-

bukit. Selain itu adanya ekosistem hutan sekunder di TNGC disebabkan karena

faktor alam yaitu letusan gunung berapi yang sudah terjadi sebanyak 7 kali

diantaranya tahun 1698, 1772, 1775, 1805, 1917, 1924 dan 1938 (BTNGC 2006)

sehingga vegetasi hutan alam pada masa lalu mengalami suksesi dan menjadi

hutan sekunder. Secara umum persebaran deforestasi dan reforestasi hutan di

TNGC selama periode 2006-2009 dapat dilihat pada Gambar 8.

Page 61: Skripsi Manajemen Hutan

46

Gambar 8 Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun 2006-2009.

Hutan tanaman pinus dalam wilayah TNGC mengalami peningkatan luas

pada periode 2006-2009 yaitu sebesar 92.88 ha dengan laju perubahannya sebesar

0.06%. Penurunan luas hutan tanaman pinus terbesar yaitu di wilayah Kecamatan

Argapura dengan luas 98.55 ha dan peningkatan luas hutan tanaman pinus terluas

di Kecamatan Cilimus dengan 101.07 ha. Selama periode 2006-2009, hutan

tanaman pinus yang mengalami perubahan menjadi vegetasi semak sebesar 8%.

Hal ini memungkinkan karena selama periode 2006-2009 telah terjadi kebakaran

lahan hutan sebesar 2245.9 ha (Tabel 9). Hutan tanaman pinus merupakan

vegetasi yang mudah terbakar dan interpretasi pada citra Landsat akan terlihat

Page 62: Skripsi Manajemen Hutan

47

vegetasi bawahnya yang berupa semak. Hutan tanaman pinus juga mengalami

perubahan menjadi hutan alam sebesar 16%. Perubahan penutupan ini diduga

karena adanya pemanfaatan intensif lahan garapan berupa kebun campuran di

bawah tegakan pinus sehingga klasifikasi diinterpretasikan menjadi hutan alam.

Penggunaan lahan untuk kebun campuran tidak bisa dideteksi berdasarkan

klasifikasi citra Landsat karena agak tertutup oleh kelompok hutan tanaman pinus.

Selain itu, hutan tanaman pinus juga mengalami perubahan menjadi ladang

sebesar 10% dari luas tahun 2006 pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan

bahwa masyarakat tidak merawat hutan tanaman pinus. Hutan tanaman pinus

sengaja dicuri dan ditebang agar tidak menghalangi ladang sayuran yang tidak

membutuhkan naungan. Selain itu, lokasi hutan pinus ini pun dekat dengan daerah

rawan kebakaran, seperti di Pesawahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

tunggak batang sisa kebakaran yang masih hitam tegak berdiri. Hutan tanaman

pinus yang dahulu dikelola dengan sistem tumpangsari dalam program PHBM

menyebabkan banyaknya masyarakat yang menggarap lahan TNGC sehingga

memungkinkan adanya perubahan penutupan lahan menjadi ladang sayuran tanpa

memelihara tegakan utamanya yaitu pinus. Kondisi ini terlihat di wilayah TNGC

sebelah barat seperti di Kecamatan Bantaragung, Argalingga, Argamukti, Talaga

sampai wilayah timur TNGC seperti Cigugur, dan sebagian Cilimus.

Masyarakat yang berkebun dan berladang dengan sistem tumpangsari

seharusnya menggarap lahan sampai tegakan pinus menjadi besar dan terpelihara

dan kemudian masyarakat menggarap di lahan yang lain terutama di lahan bekas

tebangan pinus. Namun kenyataannya di lapangan masyarakat justru tidak

memelihara tegakan pinus dan pohon hutan lainnya. Mereka justru menebang

pohon tersebut agar masyarakat bisa terus menggarap lahan lebih lama. Hal ini

kemungkinan diduga karena sudah tidak ada wewenang Perum Perhutani terkait

adanya peralihan status menjadi taman nasional sehingga masyarakat beranggapan

bahwa pemeliharaan pinus akan menjadi sia-sia. Secara umum penurunan

(deforestasi) dan peningkatan (reforestasi) areal hutan tanaman pinus pada

beberapa wilayah kecamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

Page 63: Skripsi Manajemen Hutan

48

Gambar 9 Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun 2006-2009.

Ladang di kasawan TNGC mengalami peningkatan luas pada periode

2006-2009 sebesar 178.29 ha dengan laju perubahan luasnya sebesar 0.18%.

Peningkatan luas ladang di dalam kawasan taman nasional sangat tidak terkendali.

Pemanfaatan lahan untuk ladang ini dapat dikatakan sebagai perambahan yang

disebabkan konversi lahan menjadi ladang sayuran. Hal ini dikarenakan aktivitas

masyarakat dalam bertani lebih banyak memanfaatkan lahan di dalam kawasan

dibandingkan di luar kawasan terkait dengan keberadaan lahan garapan yang

Page 64: Skripsi Manajemen Hutan

49

sudah ada sebelum kawasan TNGC ditunjuk. Pada periode tahun 2006-2009 telah

terjadi perubahan lahan dari ladang menjadi semak sebesar 17%. Hal ini

memungkinkan karena pada sebagian wilayah di Kecamatan Talaga masyarakat

menanam jagung dimana komoditi jagung memiliki pencitraan yang agak serupa

dengan semak yang berwarna kekuning-kuningan. Selain itu diduga adanya

masyarakat yang meninggalkan sebagian lahan garapannya dalam kawasan untuk

tidak menggarap lagi dikarenakan adanya sosialisasi dari petugas taman nasional

dalam rangka penutupan kawasan untuk lahan garapan sehingga lahan yang

ditinggalkan tersebut berubah menjadi semak. Distribusi ladang dalam kawasan

TNGC dapat dilihat pada Gambar 10.

Berdasarkan peta distribusi ladang dalam kawasan TNGC, dapat dilihat

penyebaran lokasi penggarapan lahan khususnya ladang sayur tanpa naungan

sebagian besar berada di wilayah administrasi Kabupaten Majalengka seperti

wilayah Kecamatan Argapura dengan luas peningkatan sebesar 176.85 ha.

Sedangkan sebagian kecil berada di wilayah Kabupaten Kuningan yaitu wilayah

Kecamatan Cigugur dan sebagian Cilimus. Hal ini dapat dipahami karena

Gambar 10 Peta distribusi ladang dalam kawasan (a) tahun 2006; (b) tahun 2009.

Page 65: Skripsi Manajemen Hutan

50

wilayah-wilayah tersebut berada pada ketinggian antara 800-1200 m dpl yang

cocok ditanami sayuran. Namun pemanfaatannya menjadi tidak terkendali dan

sampai masuk ke dalam kawasan taman nasional diantaranya ada yang mencapai

ketinggian sekitar 1980 m dpl yaitu pada lokasi Blok Ciinjuk, Desa Cipulus,

Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka. Perambahan ini diduga karena

masyarakat lebih senang menanam sayuran seperti kol, kentang, bawang daun,

petcay dan cabai yang memiliki musim panen yang cepat sekitar 3-4 bulan sekali

panen sehingga lebih produktif dibandingkan harus menanam dan memelihara

tanaman keras/buah-buahan seperti kopi, cengkeh dan alpukat yang memiliki

masa panen relatif lama yaitu sekitar 1-3 tahun sekali panen. Hal ini akan

berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan akan memperluas

lahan garapannya apabila tidak dilakukan sosialisasi intensif dan langkah konkrit

dalam rangka penutupan kawasan untuk penggarapan.

Semak belukar mengalami peningkatan luas lahan yang cukup tinggi pada

periode 2006-2009 yaitu sebesar 746.73 ha dengan laju perubahan luasan sekitar

0.18%. Peningkatan penutupan semak terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan

dengan luas 860.30 ha. Semak belukar yang mengalami perubahan vegetasi

diantaranya menjadi ladang sebesar 7.36% dan hanya 3.70% yang berubah

menjadi lahan terbuka. Pada periode 2006-2009 di wilayah TNGC terjadi

kebakaran hutan dan lahan yang sangat besar yang menghabiskan semak belukar

dan membakar hutan-hutan di sekitarnya, terutama hutan tanaman pinus.

Kebakaran hutan yang sering terjadi terutama pada saat musim kemarau, yaitu

antara bulan Juni sampai dengan Oktober. Daerah yang rawan terjadi kebakaran

hutan adalah daerah puncak Gunung Ciremai dan bagian kaki Gunung Ciremai

sebelah utara di wilayah Kabupaten Kuningan serta sebelah timur wilayah

Kabupaten Majalengka (BTNGC 2010). Distribusi semak belukar dapat dilihat

pada Gambar 11.

Page 66: Skripsi Manajemen Hutan

51

Lokasi-lokasi pada tiap resort di wilayah TNGC yang mengalami

kebakaran lahan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Data luasan kebakaran di TNGC

No Resort 2006 (ha) 2007 (ha) 2008 (ha) 2009 (ha) Total (ha)

1 Pasawahan 208.6 64 219.8 488 980.4

2 Mandirancan 202 0 30 217 449

3 Cilimus 347 0 159 5 511

4 Jalaksana 5 35 30 0 70

5 Cigugur 5 0 0 0 5

6 Sangiang 0 14 5 40 59

7 Argalingga 0 32 4 0 36

8 Gunung Wangi 0 13 0 0 13

9 Bantaragung 0 65 26.5 31 122.5

Total 767.6 223 474.3 781 2245.9 Sumber: Data dan informasi kebakaran hutan TNGC (2010)

. Berdasarkan Tabel 9, daerah yang paling rawan kebakaran lahan adalah

di Resort Pasawahan, Mandirancan dan Cilimus. Data menunjukan tahun 2006

Gambar 11 Peta distribusi semak belukar (a) tahun 2006; (b) tahun 2009

Page 67: Skripsi Manajemen Hutan

52

merupakan kebakaran terbesar yang pernah terjadi di kawasan Gunung Ciremai

dengan luas lahan yang terbakar sebesar 767.60 ha. Hal ini dapat terdeteksi dari

citra Landsat yang diambil pada 24 September 2006 yang merupakan lahan semak

namun terdeteksi sebagai lahan terbuka karena cukup besar semak yang terbakar.

Pada wilayah-wilayah ini tutupan lahan didominasi oleh semak belukar dan

kondisi lahan yang berbatu dengan total luas kebakaran selama 2006-2009

mencapai 2245.9 ha.

Selain itu, pola penggunaan lahan sebagian masyarakat dengan

menggunakan sistem land clearing. Masyarakat membuka lahan dengan

melakukan pembakaran lahan terlebih dahulu, yang bertujuan agar lahan yang

digarapnya lebih subur karena areal bekas pembakaran dipercaya mengandung

humus, sehingga sewaktu-waktu pembukaan lahan yang disebabkan oleh land

clearing dapat mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan. Hal ini didukung oleh

Hadiprasetyo (2009) yang mengatakan bahwa selain penggarap mengolah lahan

dengan cara mencangkul dan memupuk, sebagian masyarakat lain masih

membersihkan lahan dengan cara membakar karena membutuhkan waktu yang

relatif cepat dan biaya yang lebih murah daripada memupuk.

Lahan terbuka di kawasan TNGC berupa tanah bebatuan di daerah puncak

gunung/kawah dan sebagian wilayah Kecamatan Pasawahan. Pada lahan terbuka

terjadi penurunan yang tinggi yaitu sebesar 979.2 ha dengan laju perubahan luasan

sebesar 2.26%. Penurunan lahan terbuka terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan

dengan luas 854.64 ha, kemudian Kecamatan Mandirancan dengan luas 55.73 ha.

Kemudian di sekitar penutupan hutan tanaman pinus terdeteksi lahan terbuka yang

merupakan areal bekas kebakaran dan tebangan Perum Perhutani yang lahannya

kurang tertutup vegetasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk digarap dengan

perubahan vegetasi lahan terbuka menjadi ladang pada tahun 2009 sebesar 5.8%

dari total luasan lahan terbuka tahun 2006. Lahan terbuka mengalami perubahan

penutupan vegetasi yang tinggi menjadi semak sebesar 69%. Hal ini karena

adanya sistem suksesi alam pada hutan sekunder atau semak bekas lahan

kebakaran. Sebaran lahan terbuka di kawasan TNGC dapat dilihat pada Gambar

12.

Page 68: Skripsi Manajemen Hutan

53

Penutupan lahan berupa badan air mengalami penurunan luas pada tahun

2006-2009 yaitu sebesar 1.62 ha dengan laju perubahan luasan sebesar 0.08%.

penurunan luas badan air ini disebabkan karena fluktuasi debit air sehingga dapat

mempengaruhi dalam interpretasi citra. Pada saat musim kemarau atau saat curah

hujan kecil, jumlah air cenderung berkurang. Pada saat musim hujan jumlah air

meningkat dan air akan melimpah kepinggiran daratan disekitarnya. Badan air ini

terdeteksi baik di wilayah Situ Sangiang dan Talaga Remis.

Tidak ada data merupakan penutupan lahan berupa awan, bayangan awan

serta punggungan bukit yang tidak bisa terdeteksi dalam citra dan tidak

mengalami perubahan luas pada periode tahun 2006-2009. Pada saat proses

klasifikasi citra, luas tidak ada data disamakan setiap tahun. Hal ini bertujuan

untuk mendapatkan luas tipe penutupan lahan yang sama pada citra yang

terklasifikasi.

Gambar 12 Peta distribusi lahan terbuka (a) tahun 2006; (b) tahun 2009.

Page 69: Skripsi Manajemen Hutan

54

5.3 Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat yang Mempengaruhi Perambahan

Lahan

5.3.1 Karakteristik sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan

Karakterisitk sosial masyarakat yang dilihat dalam penelitian ini terutama

yang berkaitan dengan kegiatan mayarakat dalam penggunaan lahan. Data yang

diambil adalah sampel desa dan sampel responden yang dikumpulkan melalui

daftar pertanyaan di rumah responden dan di lahan garapan. Adapun karakter

sosial masyarakat sekitar kawasan meliputi mata pencaharian, usia kerja, luas

garapan di luar kawasan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendapatan dan

pendidikan. Penjelasan mengenai karakter sosial masyarakat diterangkan sebagai

berikut :

1 Mata pencaharian

Mata pencaharian responden pada umumnya adalah petani, baik sebagai

petani penggarap maupun sebagai petani upahan/buruh tani. Berdasarkan

wawancara dengan 94 responden, sebanyak 60 responden tidak memiliki

pekerjaan selain hanya mengandalkan sumber penghasilan sebagai petani saja.

Sedangkan sebanyak 34 responden memiliki pekerjaan sampingan sebagai

penambah pendapatan mereka. Persentase jumlah responden menurut mata

pencaharian sampingan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Persentase jumlah responden menurut mata pencaharian sampingan.

Dari Gambar 13 dapat disimpulkan bahwa jenis pekerjaan sampingan yang

paling banyak adalah sebagai buruh tani. Hal ini dapat dilihat dari 34 responden

yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani, terdapat 20 responden (59%)

mempunyai pekerjaan sampingan sebagai buruh tani/upahan di lahan milik orang

Page 70: Skripsi Manajemen Hutan

55

lain. Pekerjaan sampingan lain yang banyak dilakukan yaitu sebagai buruh

bangunan dan dagang sebanyak 4 responden.

2 Usia kerja

Tingkat usia kerja responden dikategorikan menjadi dua yaitu usia

produktif (15-64 tahun) dan usia non produktif (> 64 tahun). Persentase jumlah

responden menurut usia kerja disajikan pada Gambar 14.

Jumlah responden terbanyak merupakan responden usia produktif (15-64

tahun) dengan jumlah 77 responden atau 82%. Sedangkan usia tidak produktif

sebanyak 17 responden atau 18%. Hal ini mengindikasikan penggunaan lahan

didominasi oleh usia produktif, namun tidak menutup kemungkinan usia tidak

produktif memanfaatkan lahan milik untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari.

3 Luas lahan garapan

Pertanian merupakan sektor kehidupan utama bagi masyarakat sekitar

Taman Nasional Gunung Ciremai. Hal ini terkait dengan faktor luas lahan garapan

yang dimilikinya terutama lahan di luar kawasan taman nasional. Kepemilikan

lahan responden terbagi dalam empat kategori yaitu tidak mempunyai lahan,

kurang dari 0.5 ha, 0.5-1 ha, dan lebih dari 1 ha. Persentase jumlah responden

menurut kepemilikan lahan disajikan pada Gambar 15.

Gambar 14 Persentase jumlah responden menurut tingkat umur.

Gambar 15 Persentase jumlah responden menurut luas garapan di luar kawasan.

Page 71: Skripsi Manajemen Hutan

56

Sebanyak 56 orang (60%) masyarakat dominan memiliki lahan < 0.5 ha

dan hanya 2 orang (2%) saja yang memiliki lahan milik lebih dari 1 ha dan

merupakan petani milik/tuan tanah. Sedangkan yang tidak memiliki lahan ada 20

orang responden (21%). Ketersediaan lahan yang terbatas di luar kawasan bisa

jadi pemicu masyarakat untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional

sehingga petani di sekitar TNGC dapat dikategorikan sebagai petani milik, petani

penggarap dan petani perambah.

Petani milik adalah petani yang menggarap lahan dengan status tanah

milik pribadi atau tuan tanah yang memiliki lahannya saja namun digarap oleh

orang lain. Luas penguasaan lahan petani milik ini biasanya berada diatas rata-rata

luas lahan minimal agar petani dapat hidup layak. Petani milik ini umumnya

adalah orang yang cukup berada dan disegani oleh masyarakat setempat.

Petani penggarap adalah orang yang mengerjakan lahan milik orang lain

dengan kompensasi tertentu yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sedangkan

petani perambah adalah petani yang menggunakan lahan taman nasional sebagai

lahan garapannya. Petani perambah biasanya petani yang tidak memliki lahan

garapan di luar kawasan atau memiliki lahan tapi kurang mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sebanyak 64 orang (68%) responden memiliki lahan garapan di dalam

kawasan seluas <0.5 ha, 29 orang responden (31%) memliki lahan seluas 0.5-1 ha,

dan hanya 1 orang (1%) saja yang menggarap dalam kawasan mencapai lebih dari

1 ha. Hal ini menunjukan bahwa tekanan terhadap lahan TNGC cukup besar

dengan luasan yang bervariasi.

Gambar 16 Persentase jumlah responden menurut luas garapan dalam TN.

Page 72: Skripsi Manajemen Hutan

57

Lahan garapan masyarakat berupa ladang sayur mayur seperti kol, cabe,

petcay, kentang dan daun bawang yang dominan berada di dataran tinggi seperti

Desa Sangiang. Sedangkan kebun campuran seperti pisang, alpukat, duren, salam,

jengkol dan lainnya yang berada di dataran rendah seperti Desa Seda.

4 Jumlah tanggungan keluarga

Jumlah tanggungan keluarga masyarakat desa sekitar juga mempengaruhi

perubahan penutupan dan penggunaan lahan di TNGC. Indikasinya dengan

melihat rasio ketergantungan penduduk/beban penduduk. Rasio ketergantungan

penduduk/beban penduduk menggambarkan beban yang harus dipikul oleh

seorang kepala keluarga terhadap anggota keluarganya. Rasio ketergantungan

penduduk atau tanggungan keluarga dianggap besar apabila nilai lebih besar atau

sama dengan 3 dan dianggap kecil apabila kurang dari 3 jiwa. Nilai 3 diperoleh

dari nilai rata-rata jumlah tanggungan seluruh responden. Gambar 18

menunjukkaan persentase jumlah responden menurut tanggungan keluarga.

5 Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan merupakan jumlah pendapatan kepala keluarga yang

dihitung pada suatu periode waktu tertentu. Jumlah pendapatan tersebut dihitung

berdasarkan seluruh penghasilan kepala keluarga yang berasal dari mata

pencaharian pokok dan mata pencaharian sampingan. Tingkat pendapatan

merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan

Gambar 18 Persentase jumlah responden menurut tanggungan keluarga.

Gambar 17 Persentase jumlah responden menurut jenis penggunaan lahan.

Page 73: Skripsi Manajemen Hutan

58

kesejahteraan penduduk. Persentase jumlah respoden menurut pendapatan dapat

dilihat pada Gambar 19.

Pendapatan pokok penduduk rata-rata diperoleh dari hasil bertani sebagai

mata pencaharian utama khususnya yang menggarap di dalam kawasan yaitu

sebanyak 72 responden (77%) responden berpenghasilan <500000 dan hanya 22

responden (23%) berpenghasilan >500000. Untuk pendapatan tambahan

responden sewaktu-waktu menjadi buruh bangunan, buruh tani, berdagang dan

beternak.

6 Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan responden terdiri dari tidak sekolah, SD, SMP dan

SMA. Persentase jumlah responden menurut tingkat pendidikan disajikan pada

Gambar 20.

Jumlah responden terbanyak yaitu pada tingkat SD sebanyak 75 orang atau

81%, sedangkan yang paling sedikit yaitu tidak sekolah sebanyak 3 orang atau

3%. Hal ini memberikan penjelasan bahwa pendidikan masyarakat di sekitar

kawasan tergolong rendah karena untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi

sangat sulit bagi masyarakat sekitar. Adapun untuk lulusan SMA merupakan

pendatang dari daerah lain.

Gambar 20 Persentase jumlah responden menurut tingkat pendidikan.

Gambar 19 Persentase jumlah responden menurut pendapatan.

Page 74: Skripsi Manajemen Hutan

59

7 Lama menggarap

Intensitas atau lamanya masyarakat menggarap dalam kawasan

dikategorikan dalam dua kelas yaitu sebelum adanya TNGC (<5 tahun) dan

setelah adanya TNGC (>5 tahun). Persentase jumlah responden menurut lama

menggarap disajikan dalam Gambar 21.

Sebanyak 90 orang responden (96%) mengaku sudah lama menggarap

dalam kawasan taman nasional dan hanya 4 orang responden saja (4%) yang baru

menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Mayoritas responden telah lama

menggarap sejak status kawasan masih dipegang oleh Perum Perhutani yang

kebijakannya mengarah pada pengelolaan hutan produksi dengan pemeliharaan

diserahkan sepenuhnya oleh masyarakat sekitar dengan sistem tumpangsari.

8 Aksesibilitas

Kawasan taman nasional memiliki areal cukup luas dengan akses jalan

yang baik, jarak ke pusat pemerintahan cukup jauh dan dikelilingi oleh desa-desa

dengan tingkat pertumbuhan ekonomi pedesaan berbasis pertanian yang cukup

tinggi sehingga memperbesar kesempatan terjadinya gangguan terhadap kawasan.

Hampir seluruh desa di sekitar kawasan berbatasan langsung dengan kawasan,

baik itu berbatasan dengan pemukiman, sawah, ladang dan perkebunan

masyarakat.

5.3.2 Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan garapan dalam

kawasan

Faktor sosial ekonomi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi perambahan lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Beberapa

faktor sosial masyarakat yang diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam

Gambar 21 Persentase jumlah responden menurut lama garapan.

Page 75: Skripsi Manajemen Hutan

60

kawasan dapat dibuat hubungannya berdasarkan karakter responden. Luas lahan

garapan dalam kawasan dilihat berdasakan nilai rata-rata luas lahan garapan yang

dimiliki oleh masyarakat. Luas lahan garapan dalam kawasan dikategorikan tinggi

apabila luas lahan garapan dalam kawasan lebih besar sama dengan 0.39 ha dan

dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari 0.39 ha. Nilai 0.39 ha diperolah dari

nilai rata-rata luas lahan garapan dalam kawasan seluruh masyarakat kedua desa

yang diajadikan sampel.

1 Jumlah tanggungan keluarga

Jumlah tanggungan keluarga dikategorikan besar apabila jumlah

tanggungan keluarga lebih besar sama dengan tiga dan dikategorikan kecil apabila

lebih kecil dari tiga. Nilai tiga diperolah dari nilai rata-rata jumlah tanggungan

keluarga seluruh masyarakat kedua desa yang dijadikan sampel. Jumlah

tanggungan keluarga diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan

dengan asumsi bahwa semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka

kebutuhan hidup keluarga tersebut akan semakin besar sehingga membutuhkan

lahan yang lebih besar pula. Hubungan antara jumlah tanggungan keluarga dan

luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan luas lahan garapan

dalam kawasan

Luas lahan garapan dalam

kawasan

Jumlah tanggungan keluarga Total responden

Besar Kecil

n % n % N %

Rendah 27 64 33 63 60 64

Tinggi 15 36 19 37 34 36

Jumlah 42 100 52 100 94 100

Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 0.0072 < χ2 (α0.05;1) = 3.84

Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel yang

berarti terima H0 bahwa jumlah tanggungan keluarga ternyata tidak berpengaruh

terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini dipengaruhi oleh status

penguasaan lahan terutama petani milik, sedangkan jumlah anggota keluarga tidak

dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat

responden yang memiliki tanggungan keluarga sedikit sangat mungkin

menggunakan lahan garapan yang tinggi yaitu 19 responden dan sebaliknya yang

Page 76: Skripsi Manajemen Hutan

61

memiliki tanggungan keluarga yang besar sangat mungkin menggunakan lahan

garapan yang rendah terkait oleh penguasaan lahan yaitu sebesar 27 responden.

2 Tingkat umur

Tingkat umur diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan

dengan asumsi bahwa semakin produktif usia seseorang maka semakin banyak

pengalaman dalam teknik berladang sehingga akan semakin tinggi tingkat

penggunaan lahannya. Hubungan antara tingkat umur dan luas lahan garapan

dalam kawasan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Hubungan tingkat umur dengan luas lahan garapan dalam kawasan

Luas lahan garapan dalam

kawasan

Tingkat umur Total responden

Produktif Non produktif

n % n % N %

Rendah 49 64 11 65 60 64

Tinggi 28 36 6 35 34 36

Jumlah 77 100 17 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 0.0065 < χ2 (α0.05;1) = 3.84

Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai

tersebut menunjukan bahwa hipotesis H0 diterima yang berarti tingkat usia tidak

berpengaruh terhadap tingkat luas garapan dalam kawasan. Hal ini

menggambarkan bahwa usia para penggarap lahan bervariasi mulai dari usia

produktif (15-64 tahun) sampai non produktif (>64 tahun). Dengan kata lain,

tujuan utama mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa

memperdulikan faktor usia. Terlihat bahwa terdapat enam responden dengan

kategori usia non produktif yang masih sanggup menggarap lahan dalam kawasan

dengan penggarapan yang tinggi.

3 Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan diduga berpengaruh terhadap penggunaan lahan dalam

kawasan dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan

semakin tinggi tingkat kemampuan individu seseorang dan memperbanyak pilihan

seseorang terhadap mata pencaharian lain. Hubungan antara tingkat pendidikan

dan luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 12.

Page 77: Skripsi Manajemen Hutan

62

Tabel 12 Hubungan tingkat pendidikan dengan luas lahan garapan dalam kawasan

Luas lahan garapan dalam

kawasan

Tingkat pendidikan Total responden

Tidak Sekolah SD SMP SMA

n % n % n % n % N %

Rendah 2 67 50 66 7 64 1 25 60 64

Tinggi 1 33 26 34 4 36 3 75 34 36

Jumlah 3 100 76 100 11 100 4 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 2.768 < χ2 (α0.05;3) = 7.815

Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai

tersebut menunjukan bahwa hipotesis H0 diterima yang berarti tingkat pendidikan

tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini disebabkan

karena masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak sekolah sampai SMA

memiliki luas garapan dalam kawasan yang bervariasi. Berdasarkan Tabel 12,

penggunaan lahan didominasi kategori tingkat SD dan terdapat tiga responden

dari kategori lulusan SMA yang memiliki lahan garapan dalam kawasan diatas

rata - rata. Masyarakat memiliki ketergantungan yang sama pada lahan walaupun

memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan masyarakat

berada di pelosok desa sehingga pilihan mata pencaharian selain bertani sangat

sedikit. Akibatnya masyarakat tetap membutuhkan lahan untuk bertani walaupun

memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

4 Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam

kawasan karena mempunyai implikasi ekonomis dalam mengelola lahan garapan

dalam kawasan TNGC, dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan

masyarakat di luar kawasan, maka semakin rendah tingkat perambahan lahan

dalam kawasan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendapatan masyarakat di

luar kawasan dengan berbagai mata pencaharian, maka semakin tinggi tingkat

perambahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Tingkat pendapatan

dikategorikan tinggi apabila jumlah tanggungan keluarga lebih besar sama dengan

Rp 383000,00 dan dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari Rp 383000,00.

Nilai Rp 383000,00 diperolah dari nilai rata-rata tingkat pendapatan seluruh

Page 78: Skripsi Manajemen Hutan

63

masyarakat kedua desa yang diajadikan sampel. Hubungan antara tingkat

pendapatan dengan luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Hubungan tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam

kawasan

Luas lahan garapan dalam

kawasan

Tingkat pendapatan Total responden

Rendah Tinggi

n % n % N %

Rendah 26 53 34 77 60 64

Tinggi 23 47 10 23 34 36

Jumlah 49 100 44 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 6.3888 > χ2 (α0.05;1) = 3.84

Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung sebesar 6.388 > χ2

tabel sebesar 3.84. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis H1 diterima yang

berarti terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendapatan dengan luas lahan

garapan dalam kawasan TNGC. Hubungan antara tingkat pendapatan berkorelasi

negatif dengan luas garapan dalam kawasan di TNGC. Semakin tinggi tingkat

pendapatan di luar kawasan maka kecenderungan untuk membuka dan

memanfaatkan lahan dalam kawasan pun semakin kecil. Sebaliknya semakin

rendah tingkat pendapatan di luar kawasan maka kecenderungan untuk membuka

dan memanfaatkan lahan dalam kawasan pun semakin besar. Hal ini dapat

dipahami karena sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai petani

yang lahan dan luasannya menjadi faktor kunci yang dapat berpengaruh terhadap

perilaku masyarakat. Motif masyarakat menggarap dalam kawasan diduga karena

masyarakat tidak dibebani biaya sewa lahan pada lahan eks Perum Perhutani

dibandingkan menggarap di lahan milik orang lain sehingga tidak mengurangi

pendapatan. Selain itu penguasaan lahan garapan yang sempit di luar kawasan

berimplikasi pada pendapatan yang rendah dan menyebabkan masyarakat

menggarap di dalam kawasan untuk menambah penghasilan.

5 Luas garapan di luar kawasan

Luas lahan garapan di luar kawasan dikategorikan tinggi apabila lebih

besar sama dengan 0.27 ha dan dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari 0.27

ha. Nilai 0.27 ha diperolah dari nilai rata-rata luas lahan garapan di luar kawasan

Page 79: Skripsi Manajemen Hutan

64

seluruh masyarakat kedua desa yang diajadikan sampel.Luas garapan di luar

kawasan diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan, dengan

asumsi bahwa semakin tinggi luas lahan yang digarap di luar kawasan maka akan

semakin rendah luas garapan di dalam kawasan. Berdasarkan uji χ2 pada taraf

nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis

H0 diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang nyata antara luas lahan

garapan dalam kawasan terhadap luas lahan garapan di luar kawasan. Hubungan

antara luas lahan garapan luar kawasan dengan luas lahan garapan dalam kawasan

disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Hubungan luas garapan diluar kawasan dengan luas lahan garapan

dalam kawasan

Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden χ2 = 1.0952 < χ2 (α0.05;1) = 3.84

Hal ini disebabkan karena masyarakat yang menggarap lahan di luar

kawasan cenderung untuk menambah pendapatannya dengan tetap menggarap

lahan di dalam kawasan TNGC walaupun kecil luasannya. Namun ada masyarakat

yang tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan tidak selalu menggarap lahan

TNGC secara luas. Hal ini mungkin dikarenakan sistem penguasaan lahan oleh

para petani milik. Selain itu, jenis penggunaan lahan diduga berpengaruh karena

komoditi ladang lebih menguntungkan dibandingkan perkebunan. Ada

kemungkinan masyarakat menggarap kebun secara luas tapi produksinya bisa

lebih kecil dibandingkan menggarap ladang yang tidak terlalu luas namun

produksinya cepat dan menguntungkan. Adanya peraturan taman nasional yang

sangat ketat dengan sudah dilarangnya menggarap dalam kawasan menjadi alasan

masyarakat tidak memperluas garapannya dan cenderung meninggalkannya.

6 Lama menggarap

Lamanya masyarakat menggarap diduga berpengaruh terhadap luas

garapan dalam kawasan dengan asumsi bahwa semakin lama masyarakat

Luas lahan garapan dalam

kawasan

Luas lahan garapan luar kawasan Total responden Rendah Tinggi

n % n % N %

Rendah 47 67 13 54 60 64

Tinggi 23 33 11 46 34 36

Jumlah 70 100 24 100 94 100

Page 80: Skripsi Manajemen Hutan

65

menggarap maka akan semakin tinggi juga tingkat penggunaan lahan dalam

kawasan. Lama masyarakat menggarap hanya dibedakan menjadi dua yaitu

sebelum penetapan taman nasional dan setelah penetapan menjadi taman nasional.

Hubungan antara lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan

disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Hubungan lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan

Luas lahan garapan dalam

kawasan

Lama menggarap Total responden >5 tahun <5 tahun

n % n % N %

Rendah 58 64 3 75 60 64

Tinggi 32 36 1 25 34 36

Jumlah 90 100 4 100 94 100 Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden

χ2 = 0.2664 < χ2 (α0.05;1) = 3.84

Berdasarkan uji χ2 pada taraf nyata 0.05, nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Nilai

tersebut menunjukan bahwa hipotesis H0 diterima yang berarti lama masyarakat

menggarap tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini

disebabkan karena lahan yang mereka garap adalah lahan milik negara yang

sekarang dikuasai oleh TNGC yang diatur oleh undang-undang dan pemanfaatan

dan penggunaannya semakin dibatasi terkait pergantian status kawasan sehingga

masyarakat tidak bisa leluasa dalam memperluas lahan garapannya. Sebagian

besar masyarakat sudah lama menggarap karena sistem PHBM dari Perum

Perhutani yang berbasis pemanfaatan lahan intensif bersama masyarakat dan

sudah berjalan sebelum taman nasional ditunjuk.

5.3.3 Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC

1 Pengetahuan masyarakat terhadap kawasan TNGC

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Taman

Nasional Gunung Ciremai memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap

keberadaan kawasan tersebut karena memang sudah lama mereka telah

berinteraksi dengan hutan di kawasan Gunung Ciremai. Tabel 16 mendeskripsikan

beberapa aspek pengetahuan responden terhadap kawasan TNGC.

Page 81: Skripsi Manajemen Hutan

66

Tabel 16 Pengetahuan responden mengenai TNGC

No Aspek pengetahuan Jumlah

responden Persentase

(%) 1 Mengetahui kawasan sebagai taman nasional 94 100

2 Mengetahui batas-batas kawasan TNGC 92 98

3 Mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi oleh Undang-undang/Peraturan

94 100

4 Mengetahui manfaat Gunung Ciremai sebagai penyedia air, perlindungan satwa, dan mencegah erosi

74 79

5 Pernah menerima penyuluhan 63 67

Berdasarkan hasil wawancara responden, diketahui seluruh masyarakat

(100%) mengetahui keberadaan taman nasional sebagai pemangku wilayah

Gunung Ciremai setelah peralihan status kawasan dari Perum Perhutani ke TNGC.

Sekitar 98% responden juga mengetahui batas-batas kawasan taman nasional. Hal

ini dikarenakan batas yang digunakan wilayahnya masih sama dengan batas

Perum Perhutani meskipun sudah ada sebagian pal batas yang dibuat oleh pihak

TNGC. Selain itu responden pun mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi

oleh Undang-undang, dan sebanyak 100% responden sudah mengetahuinya. Dari

aspek fungsi dan manfaat, sebesar 79% responden mengetahui fungsi Gunung

Ciremai sebagai kawasan penyangga kehidupan. Mereka memahami dan

menyadari bahwa kawasan lindung tersebut memiliki beragam manfaat yang

bersifat tangible dan intangible yang menyangga sistem kehidupannya, seperti

penyedia air bagi kebutuhan masyarakat, pencegah dari bahaya erosi,

perlindungan satwaliar, penyedia sumberdaya alam dan lainnya. Namun untuk

sebagian lainnya, mereka hanya mengetahui manfaat kawasan sebatas tidak boleh

diganggu, namun tetap saja masyarakat menggarap dalam kawasan dengan alasan

untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tentu dapat mengakibakan pemahaman

yang salah terhadap fungsi kawasan. Sedangkan untuk penyuluhan mengenai

TNGC nampaknya sering dilakukan kepada masyarakat penggarap khususnya

dengan 67% responden menyatakan pernah menerima penyuluhan seperti

sosialisasi masyarakat mengenai status dan fungsi kawasan, pencegahan

kebakaran hutan serta penyelesaian masalah lahan garapan dalam kawasan

konservasi.

Page 82: Skripsi Manajemen Hutan

67

2 Sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC

Sikap responden dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kawasan

TNGC. Persepsi menggambarkan pengertian dan pandangan seseorang mengenai

suatu objek serta menghubungkan informasi itu dengan dirinya. Adanya

pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa apabila masyarakat tinggal di

pesisir laut, maka sebagian besar masyarakat pasti menjadikan nelayan sebagai

mata pencaharian utama dengan sumberdaya lautnya yang melimpah. Begitu pula

dengan masyarakat yang tinggal di kaki gunung, maka sebagian besar masyarakat

menjadikan petani sebagai mata pencaharian utama dengan memanfaatkan

sumberdaya hutan dan lahannya. ”leuweungna hejo,rahayatna hejo” merupakan

sebuah visi program PHBM yang selalu dipegang masyarakat sekitar kawasan

TNGC. Masyarakat sekitar hutan merasa mereka yang paling berpengaruh

terhadap kelestarian hutan dengan penanaman pohon sehingga Gunung Ciremai

terlihat hijau. Kecenderungan masyarakat yang awalnya tetap ingin menggarap

dalam kawasan disebabkan oleh beberapa motif yang dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Alasan responden menggarap lahan TNGC

No Motif Penggarapan Jumlah

Responden Persentase

(%)

1 Sudah terbiasa dengan pola pengelolaan Perum Perhutani

90 96

2 Keterdesakan ekonomi 68 72

3 Tidak mempunyai lahan diluar kawasan 20 21

4 Tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain petani

77 82

Berdasarkan motif masyarakat yang menggarap dalam kawasan, sebanyak

90 responden (96%) mengaku sudah lama menggarap di lahan eks Perum

Perhutani. Hal ini disebabkan karena faktor sejarah kawasan Gunung Ciremai itu

sendiri. Sistem pengelolaan hutan Perhutani yang membolehkan masyarakat

menggarap lahan untuk pertanian dengan tetap memelihara pohon pinus

menyebabkan masyarakat semakin terbiasa dan senang karena akan meningkatkan

pendapatan mereka, dan pada akhirnya mengakibatkan ketergantungan yang

tinggi terhadap kawasan yang saat ini telah menjadi kawasan taman nasional.

Sebanyak 68 responden (72%) mengaku faktor ekonomi sebagai pendorong

masyarakat membuka lahan dalam kawasan. Umumnya responden ini menggarap

Page 83: Skripsi Manajemen Hutan

68

di luar kawasan namun luasannya kurang mencukupi. Pengetahuan masyarakat

yang tinggi terhadap fungsi kawasan tidak diimbangi dengan sikap masyarakat

dalam melestarikan hutan terkait faktor ekonomi. Pemilikan lahan garapan di luar

kawasan yang sempit tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehingga adanya

kesempatan menguasai lahan yang mudah dalam kawasan dan menjamin

pendapatan masyarakat yang lebih baik. Sebanyak 20 responden (21%) mengaku

bahwa mereka sama sekali tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan sehingga

seluruh penghasilan pertaniannya diperoleh dari dalam kawasan TNGC. Sebanyak

77 responden (82%) mengaku bahwa mereka tidak punya profesi lain selain

sebagai petani. Belum adanya alternatif usaha untuk masyarakat sekitar

menjadikan penggarap masih ada yang menggarap. Alasan masyarakat merambah

kawasan tersebut dapat mempengaruhi sikap responden terhadap kawasan TNGC.

Beberapa sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC tersaji pada

Tabel 18.

Tabel 18 Sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC

No Sikap responden Jumlah

responden Persentase

(%) 1 Setuju bahwa kita harus menjaga Gunung Ciremai

tetap lestari 94 100

2 Tidak setuju apabila kawasan Gunung Ciremai ditutup untuk aktivitas penggarapan

78 83

3 Setuju dan ikut serta bersama pihak petugas dalam mencegah kerusakan di Gunung Ciremai

85 90

4 Bersedia mengikuti program pemberdayaan kesejahteraan masyarakat

94 100

Pada umumnya masyarakat mengetahui kawasan Gunung Ciremai sebagai

kawasan yang perlu dilestarikan. Hal ini terlihat dari sikap responden yang

semuanya setuju (100%) bahwa masyarakat harus menjaga Gunung Ciremai agar

tetap lestari dan sumberdaya yang ada di dalamnya tidak rusak. Mereka mayoritas

setuju (90%) dan bekerjasama dengan pihak petugas dalam mencegah kerusakan

seperti kebakaran lahan di TNGC. Namun permasalahannya masyarakat akan ikut

melestarikan kawasan taman nasional apabila mereka masih diizinkan untuk

menggarap dalam kawasan. Hal ini terlihat bahwa sebanyak 78 responden (83%)

tidak setuju apabila kawasan ini ditutup untuk aktivitas penggarapan. Interaksi

yang kuat dengan ketergantungan yang tinggi antara masyarakat sekitar dengan

Page 84: Skripsi Manajemen Hutan

69

hutan khususnya semenjak diberlakukan PHBM dapat dipahami terkait untuk

penghidupan masyarakat.

Adanya peraturan TNGC saat ini yang tidak memperbolehkan adanya

aktivitas pertanian dalam kawasan menyebabkan masyarakat mengalami

ketidakpastian khususnya nasib lahan yang mereka garap dalam kawasan.

Masyarakat sebenarnya mengerti jika suatu saat dilakukan penutupan lahan

garapan oleh pihak TNGC mereka bersedia meninggalkan lahan garapan tersebut.

Namun masyarakat khawatir apabila mereka sudah tidak diperbolehkan

menggarap dalam kawasan belum ada tindak lanjut dari Pemda Kabupaten

Majalengka dan Kuningan serta TNGC terkait alternatif usaha sebagai

kompensasi untuk masyarakat penggarap.

5.4 Pengendalian Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan garapan oleh masyarakat di luar kawasan saat ini

sebenarnya belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Berdasarkan hasil wawancara, hampir seluruh masyarakat menyatakan bahwa

hasil pengolahan lahan garapan di luar kawasan kurang untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Hal ini dikarenakan penguasaan lahan yang sempit di luar

kawasan. Masyarakat yang tidak mempunyai lahan hanya bisa menjadi buruh tani

dan beberapa masyarakat menggarap dengan sistem sewa sehingga penghasilan

dari bertani sebagian untuk membayar sewa lahan. Selain itu dapat dilihat dari

meluasnya perambahan lahan yang dilakukan masyarakat akibat kepemilikan

lahan yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pusat Studi Lingkungan

Unila (1984) dalam Pasha (2006) yang mengatakan bahwa masyarakat sekitar

kawasan konservasi pada umumnya bekerja sebagai petani dan untuk hidup layak

diperlukan luas lahan minimal 1-2 ha. Apabila luas lahan rata-rata lebih dari luas

lahan minimal agar petani dapat hidup layak, maka dorongan untuk membuka

lahan baru adalah kecil. Sebaliknya bila luas lahan rata-rata kurang dari luas lahan

minimal agar petani dapat hidup layak maka dorongan untuk membuka lahan baru

menjadi besar.

Pemanfaatan lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif dengan

komoditi sayuran dan tingkat perambahan yang tinggi tidak lagi dapat diakomodir

Page 85: Skripsi Manajemen Hutan

70

dalam pengelolaan taman nasional karena dapat mengakibatkan terhambatnya

proses rehabilitasi kawasan. Akan tetapi, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang

menjadikan kawasan hutan menjadi tumpuan penghidupan utama mengharuskan

pengelola melakukan inovasi. Inovasi ini ditujukan untuk menjawab tantangan

bahwa pengelolaan TNGC harus dapat memberikan kontribusi secara ekonomis

kepada masyarakat tanpa menimbulkan gejolak dan dapat menjamin keberhasilan

rehabilitasi kawasan.

Untuk mengantisipasi pemanfaatan lahan dan ketergantungan masyarakat

yang tinggi terhadap kawasan, perlu dilakukan upaya-upaya preventif dan

persuasif kepada masyarakat. Berbagai upaya yang bisa dilakukan antara lain

kegiatan sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat. Pengelola taman

nasional saat ini bersama pihak terkait lainnya sedang melaksanakan program

Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Program ini diharapkan dapat

menjaga kelestarian hutan dimana penanaman dilakukan pada daerah kritis. Selain

itu, pembinaan masyarakat dalam menjaga kawasan penyangga berbasis lahan

dapat dilakukan melalui sistem agroforestry yaitu sistem pengolahan kawasan

hutan yang memanfaatkan lahan secara optimal dengan cara mengkombinasikan

tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian semusim dalam areal yang sama di

kawasan penyangga taman nasional dengan komoditi seperti duren, alpukat, kopi,

salam, pisang, jengkol, melinjo dan cengkeh.

Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan juga menginginkan alternatif

bantuan ternak domba dan sapi yang menurut mereka potensial untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat. Hal ini berdasarkan pada potensi rumput yang memadai di

luar kawasan taman nasional. Masyarakat juga ingin diberi bantuan bibit pohon

buah-buahan untuk dibudidayakan di luar kawasan seperti hutan rakyat,

perkebunan dan pekarangan rumah mereka karena pertimbangannya semakin

banyak komoditi yang ditanam semakin banyak pula hasil yang didapat yang bisa

dijual untuk menambah penghasilan mereka. Hal ini dapat merehabilitasi lahan

dan juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Alternatif yang lebih baik dikembangkan adalah usaha-usaha yang tidak

berbasis lahan. Potensi wisata dan jasa lingkungan yang dimiliki kawasan taman

nasional bisa menjadi sumber pendapatan baru masyarakat, sehingga masyarakat

Page 86: Skripsi Manajemen Hutan

71

dapat terakomodasi kebutuhannya dan akan merasa ikut serta dalam kelestarian

kawasan taman nasional. Selain itu pihak TNGC beserta Pemerintah Kabupaten

Kuningan dan Majalengka akan mengusahakan program pelatihan lain yang

bermanfaat seperti budidaya jamur, madu lebah, kerajinan bambu dan lainnya

yang diharapkan dapat menjadi salah satu komoditi yang menguntungkan bagi

masyarakat. Kegiatan-kegiatan pembinaan masyarakat ini diharapkan dapat

meningkatkan persepsi masyarakat yang kurang terhadap keberadaan hutan serta

dapat mengubah perilaku beberapa masyarakat yang masih memiliki

ketergantungan yang tinggi terhadap lahan garapan dalam kawasan sehingga

tekanan penduduk sekitar kawasan konservasi dapat diatasi tanpa mengurangi

tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar.

Page 87: Skripsi Manajemen Hutan

72

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1 Tipe penutupan lahan yang ada di Taman Nasional Gunung Ciremai

dikelompokan menjadi 7 (tujuh) yaitu hutan alam, hutan tanaman, semak

belukar, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Pada tahun

2006-2009 terjadi penurunan luas hutan alam sebesar 51.21 ha (0.01%)

Peningkatan luas hutan tanaman sebesar 92.88 ha (0.06%) Kemudian

diikuti oleh penurunan lahan terbuka sebesar 979.2 ha (2.26%) dan

peningkatan semak belukar sebesar 746.73 ha (0.18%) Selain itu

peningkatan luas ladang 178.29 ha (0.18%), serta badan air mengalami

penurunan luas sebesar 1.62 ha.

2 Penurunan luas hutan alam terbesar yaitu di Kecamatan Cigugur dengan

81.45 ha dan peningkatan hutan alam terbesar yaitu di Kecamatan Talaga

87.84 ha. Peningkatan luas hutan tanaman terluas di Kecamatan Cilimus

dengan 101.07 ha dan penurunan luas hutan tanaman pinus terbesar yaitu

di Kecamatan Argapura dengan luas 98.55 ha. Kemudian penurunan lahan

terbuka terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan dengan luas 854.64 ha,

diikuti peningkatan penutupan semak terluas yaitu di Kecamatan

Pasawahan dengan luas 860.3 ha serta peningkatan luas ladang terbesar di

Kecamatan Argapura sebesar 176.85 ha

3 Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perambahan lahan di Taman

Nasional Gunung Ciremai adalah tingkat pendapatan masyarakat diluar

kawasan, pengetahuan masyarakat khususnya pada fungsi kawasan

lindung serta sikap masyarakat terhadap keberadaan kawasan TNGC.

6.2 Saran

1 Pengelola kawasan perlu berkontribusi pada upaya peningkatan

pendapatan masyarakat yang tidak berbasis lahan melalui pelibatan

masyarakat dalam pengelolaan wisata alam di TNGC dan pengembangan

Page 88: Skripsi Manajemen Hutan

73

usaha alternatif lain seperti pelatihan budidaya jamur, madu lebah dan

pengusahaan ternak bagi masyarakat sekitar.

2 Sosialisasi pihak pengelola terhadap kawasan taman nasional perlu

ditingkatkan agar masyarakat semakin memahami pentingnya kawasan

konservasi TNGC.

3 Pengelola kawasan perlu meningkatkan program rehabilitasi pada kawasan

TNGC yang mengalami kerusakan khususnya wilayah Kecamatan

Argapura agar fungsi kawasan dapat kembali pulih sebagai kawasan

konservasi.

Page 89: Skripsi Manajemen Hutan

74

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Kuningan Dalam Angka 2003. Kuningan: BPS Kabupaten Kuningan.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Majalengka Dalam Angka 2003.

Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka. [BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 2006. Rencana Pengelolaan

Taman Nasional Gunung Ciremai Periode 2009-2026. Kuningan: Departemen Kehutanan.

[BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 2010. Data dan Informasi

Kebakaran Hutan Taman Nasional Gunung Ciremai. Kuningan: Departemen Kehutanan.

Basuni S. 2003. Inovasi institusi untuk meningkatkan kinerja daerah penyangga

kawasan konservasi. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Darmawan A. 2002. Perubahan penutupan lahan di Cagar Alam Rawa Danau

[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Klasifikasi citra landsat.

http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/stat2002/Baplan/Baplan.htm. [14 Februari 2011].

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun

2002 Tentang Penggunaan dan Pemanfaatan Hutan Berbasis Sosial Forestry. Jakarta.

Hadiprasetyo Y. 2009. Identifikasi faktor penyebab kebakaran hutan dan upaya

penanggulangannya di Taman Nasional Gunung Ciremai. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Hermawan TT. 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung

Ciremai. Bogor: Pustaka LATIN. Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Sosial Kuantitatif dan

Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press.

Page 90: Skripsi Manajemen Hutan

75

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 1994. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland. www.unepwcmc.org/protected_areas/categories.pdf. [3 Juni 2010].

Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Dulbahri, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation.

Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Purbowaseso B, penerjemah. Jakarta:

UI-Press. Terjemahan dari: Applied Remote Sensing. Mackinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1990. Pengelolaan Kawasan

yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Managing Proteceted Areas in the Tropics.

Pasha R. 2005. Hubungan kondisi sosial ekonomi perambah hutan dengan pola

penggunaan lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar: Sistem Informasi Geografi. Bandung:

Informatika Bandung. Santoso GR. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustaka. Soewardi H. 1978. Menyongsong Kehadiran Taman Nasional di Indonesia :

Makna, Manfaat, dan Pengelolaan. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor.

Suryadarma W. 2009. Dampak kebijakan PHBM oleh Perum Perhutani pada

kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai. [skripsi]. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Padjadjaran.

Walpole R. 1989. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama. Wijaya CI. 2005. Analisis perubahan penutupan lahan di Kabupaten Cianjur

menggunakan sistem informasi geografis [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Yatap H. 2008. Pengaruh peubah sosial ekonomi terhadap perubahan penggunaan

dan penutupan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 91: Skripsi Manajemen Hutan

76

LAMPIRAN

Page 92: Skripsi Manajemen Hutan

77

Lampiran 1 Uji akurasi

CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT

Image File : e:/penelitian riq/2006/copy of focallast.img

User Name : Ri_Q

Date : Sat Dec 11 14:15:21 2010

ERROR MATRIX Reference Data

Classified Data Hutan alam Hutan

tanaman

Hutan alam 0 8 0

Hutan tanaman 0 0 6 0 Semak 0 0 0 5

Lahan terbuka 0 0 0 1

Ladang 0 0 0 3

Air 0 0 0 0

Tidak ada data 0 0 0 0

Column Total 0 8 6 9

Reference Data

Classified Data Lahan terbuka

Ladang Air Tidak ada

data Hutan alam 0 0 0 0

Hutan tanaman 0 1 0 0

Semak 0 0 0 0

Lahan terbuka 2 0 0 0

Ladang 0 8 0 0

Air 0 0 3 0

Tidak ada data 0 0 0 0

Column total 2 9 3 0

----- End of Error Matrix -----

ACCURACY TOTALS

Class Reference Classified Number Producers Users

Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy

Hutan alam 8 8 8 100.00% 100.00%

Hutan tanaman 6 7 6 100.00% 85.71%

Semak 9 5 5 55.56% 100.00%

Lahan terbuka 2 3 2 100.00% 66.67%

Ladang 9 11 8 88.89% 72.73%

Air 3 3 3 100.00% 100.00%

Tidak ada data 0 0 0 --- ---

Totals 37 37 32

Overall Classification Accuracy = 86.49%

----- End of Accuracy Totals -----

Page 93: Skripsi Manajemen Hutan

78

KAPPA (K^) STATISTICS

Overall Kappa Statistics = 0.8324

Conditional Kappa for each Category. Class Name Kappa

Hutan alam 1

Hutan tanaman 0.8295

Semak 1

Lahan terbuka 0.6476

Ladang 0.6396

Air 1

Tidak ada dat 0

----- End of Kappa Statistics -----

Page 94: Skripsi Manajemen Hutan

79

CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT

Image File : e:/penelitian riq/2009/yg terkahir/focal1tes.img

User Name : Ri_Q

Date : Sat Dec 11 14:18:35 2010

ERROR MATRIX

Reference data

Classified data Hutan alam Hutan

tanaman semak

Hutan alam 0 6 1 0

Hutan tanaman 0 0 7 0

Semak 0 0 0 7

Lahan terbuka 0 0 0 1

Ladang 0 0 0 1

Air 0 0 0 0

TIdak ada data 0 0 0 0

Column Total 0 6 8 9

Reference data

Classified Data Lahan terbuka

Ladang Air Tidak ada data

Hutan alam 0 0 0 0

Hutan tanaman 0 0 0 0

Semak 0 1 0 0

Lahan terbuka 2 0 0 0

Ladang 0 8 0 0

Air 0 0 3 0

Tidak ada data 0 0 0 0

Column total 2 9 3 0

----- End of Error Matrix -----

ACCURACY TOTALS

Class Reference Classified Number Producers Users Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy

0 0 0 --- ---

Hutan alam 6 7 6 100.00% 85.71%

Hutan tanaman 8 7 7 87.50% 100.00%

Semak 9 8 7 77.78% 87.50%

Lahan terbuka 2 3 2 100.00% 66.67%

Ladang 9 9 8 88.89% 88.89%

Air 3 3 3 100.00% 100.00%

Tidak ada data 0 0 0 --- ---

Totals 37 37 33

Overall Classification Accuracy = 89.19%

----- End of Accuracy Totals -----

Page 95: Skripsi Manajemen Hutan

80

KAPPA (K^) STATISTICS

Overall Kappa Statistics = 0.8658

Conditional Kappa for each Category.

Class Name Kappa

0

Hutan alam 0.8295

Hutan tanaman 1

Semak 0.8348

Lahan terbuka 0.6476

Ladang 0.8532

Air 1

Tidak ada data 0

----- End of Kappa Statistics -----

Page 96: Skripsi Manajemen Hutan

81

Lampiran 2 Daftar identitas responden

KARAKTERISITIK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

No Nama Umur Jenis

kelamin Pendidikan

∑Tanggungan keluarga

Mata pencaharian Pendapatan luar

kawasan (.000)

Luas lahan garapan luar TN

(ha)

Luas lahan

garapan dalam

TN (ha) Utama Sampingan

81

Page 97: Skripsi Manajemen Hutan

82

Lampiran 3 Kuisioner

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Kuisioner Penelitian

Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai

Amrizal Yusri (E34062415)

Identitas Responden Nama : Umur : Jenis Kelamin : L/P

1 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang Taman Nasional Gunung

Ciremai

1. Apakah anda tahu Gunung Ciremai menjadi kawasan taman nasional?

a) Ya

b) Tidak

2. Apakah anda tahu batas-batas kawasan taman nasional?

a) Ya

b) Tidak

3. Apakah anda mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi oleh Undang-

undang/Peraturan?

a) Ya

b) Tidak

4. Apakah anda mengetahui manfaat Gunung Ciremai sebagai penyedia air,

perlindungan satwa, dan mencegah erosi?

a) Ya

b) Tidak

- Kami berharap Bapak/ibu/Saudara/I bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menjawab semua pertanyaan apa adanya

- Apabila ada pertanyaan yang kurang jelas, dimohon untuk bertanya kepada kami

Page 98: Skripsi Manajemen Hutan

83

5. Apakah anda pernah mendapat penyuluhan/sosialisasi dari pihak taman

nasional?

a) Ya

b) Tidak

6. Apakah yang menjadi dorongan anda menggarap lahan Gunung Ciremai?

a) Sudah terbiasa dengan pola pengelolaan Perum Perhutani (tumpangsari)

b) Keterdesakan ekonomi

c) Tidak mempunyai lahan garapan diluar kawasan

d) Tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain sebagai petani

e) Lainnya, sebutkan………….

2. Sikap

1. Apakah anda setuju bahwa kita harus menjaga Gunung Ciremai tetap lestari?

a) Ya

b) Tidak

2. Apakah anda setuju apabila kawasan Gunung Ciremai ditutup untuk aktivitas

penggarapan?

a) Ya

b) Tidak, karena……………

3. Apakah anda setuju dan mau ikut serta bersama pihak petugas dalam

mencegah kerusakan di Gunung Ciremai?

a) Ya

b) Tidak, karena……………..

4.Apakah anda bersedia mengikuti program pemberdayaan untuk kesejahteraan

masyarakat?

a) Ya

b)Tidak,karena……………..

Page 99: Skripsi Manajemen Hutan

84

Lampiran 4 Uji normalitas data

a Log x

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Luas garapan dalam kawasan .153 94 .000 .922 94 .000

Tanggungan keluarga .187 94 .000 .906 94 .000 Luas garapan di luar kawasan .220 94 .000 .808 94 .000

Pendidikan .464 94 .000 .568 94 .000 Lama menggarap .540 94 .000 .203 94 .000 Umur .060 94 .200(*) .979 94 .140 Pendapatan luar .123 94 .001 .851 94 .000

* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction b Arc sin x Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Luas garapan dalam kawasan .149 93 .000 .923 93 .000

Tanggungan keluarga .225 93 .000 .884 93 .000 Luas garapan di luar kawasan .218 93 .000 .808 93 .000

Pendidikan .463 93 .000 .571 93 .000 Lama menggarap .540 93 .000 .204 93 .000 Umur .062 93 .200(*) .979 93 .130 Pendapatan luar .215 93 .000 .875 93 .000

* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction Kesimpulan : hanya faktor ‘umur’ saja yang memiliki data sebaran normal,

sehingga analisis regresi tidak bisa dilanjutkan.

Page 100: Skripsi Manajemen Hutan

85

Lampiran 5 Tabel uji chi-square

Tabel 1 Luas lahan garapan dalam kawasan dan jumlah tanggungan keluarga

Penggunaan lahan dalam

kawasan

Tanggungan keluarga Total

responden Besar Kecil

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft f₀ ft

(f₀-ft)2

ft

Rendah 27 26.8 0.00149 33 33.2 0.0012 60

Tinggi 15 15.19 0.00237 19 18.8 0.0021 34

Jumlah 42 52 94 f t : (60x42)/94 = 26.8 ; (60x52)/94 = 33.2 ; (34x42)/94 = 15.19 ; (34x52)/94 = 18.8

(f₀-f t)2 : (27-26.8) 2 = 0.00149 ; (33-33.2)2 = 0.0012 ;

f t 26.8 33.2

(15-15.19)2 = 0.00237 ; (19-18.8)2=0.0021 15.19 18.8 χ

2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.00149 + 0.0012 + 0.00237 + 0.0021 = 0.0072

f t

χ2 = 0.0072 < χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan

dalam kawasan

Tabel 2 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat umur

Penggunaan lahan dalam

kawasan

Tingkat Umur Total

responden Produktif Non produktif

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

Rendah 49 49.15 0.00045 11 10.85 0.0020 60

Tinggi 28 27.85 0.00080 6 6.14 0.0031 34

Jumlah 77 17 94 χ

2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.00045 + 0.002 + 0.0008 + 0.0031 = 0.0065

f t

χ2 = 0.0065< χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Tingkat umur tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam

kawasan

Page 101: Skripsi Manajemen Hutan

86

Tabel 3 Luas lahan garapan dalam kawasan dan Luas lahan garapan diluar kawasan

Penggunaan lahan dalam

kawasan

lahan garapan diluar kawasan

Total responden

Rendah Tinggi

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

Rendah 47 44.68 0.12046 13 15.31 0.3485 60

Tinggi 23 25.31 0.21082 11 9.06 0.4154 34

Jumlah 70 24 94 χ

2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.12046 + 0.3485 + 0.21082 + 0.4154 = 1.0952

f t

χ2 = 1.0952< χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Luas lahan garapan diluar kawasan tidak berpengaruh terhadap luas lahan

garapan dalam kawasan

Tabel 4 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat pendapatan

Penggunaan lahan dalam

kawasan

Tingkat Pendapatan Total

responden Rendah Tinggi

f₀ ft (f₀-f t)

2 f t

f₀ ft (f₀-f t)

2 f t

Rendah 26 32.66 1.35810 34 28.05 1.2621 60 Tinggi 23 17.72 1.57327 10 15.91 2.1953 34 Jumlah 49 44 94 χ

2 = ∑ (f₀-f t)2 = 1.35810 + 1.2621 + 1.57327 + 2.1953 = 6.3888

f t

χ2 = 6.3888> χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan dalam

kawasan

Tabel 5 Luas lahan garapan dalam kawasan dan lama masyarakat menggarap

χ2 = ∑ (f₀-f t)

2 = 0.00545 + 0.0794 + 0.00929 + 0.1722 = 0.2664 f t

χ2 = 0.2664< χ2 (α0.05;1) = 3.84

Kesimpulan : Lama masyarakat menggarap tidak berpengaruh terhadap luas lahan

garapan dalam kawasan

Penggunaan lahan dalam

kawasan

Lama Menggarap Total

responden >5 tahun <5 tahun

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

Rendah 58 57.44 0.00545 3 2.55 0.0794 60

Tinggi 32 32.55 0.00929 1 1.51 0.1722 34

Jumlah 90 4 94

Page 102: Skripsi Manajemen Hutan

87

Tabel 6 Luas lahan garapan dalam kawasan dan tingkat pendidikan

Penggunaan lahan dalam

kawasan

Tingkat pendidikan

Total responden

Tidak sekolah SD SMP SMA

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

f₀ ft (f₀-ft)

2 ft

Rendah 2 1.91 0.00424 50 48.51 0.0457 7 7.02 5.7E-05 1 2.55 0.94215 60

Tinggi 1 1.08 0.00592 26 27.48 0.0797 4 3.97 0.0002 3 1.44 1.69 34

Jumlah 3 76 11 4 94

χ

2 = ∑ (f₀-f t)2 = 0.00424 + 0.0457 + 5.7E-05 + 0.94215 + 0.00592 + 0.0797 + 0.0002 + 1.69 = 2.768

f t

χ2 = 2.768< χ2 (α0.05;3) = 7.815

Kesimpulan : Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan

87