skripsi - lib.unnes.ac.idlib.unnes.ac.id/24755/1/2311411004.pdf · program studi sastra prancis,...
TRANSCRIPT
i
Authoritarianisme dan Kebebasan Positif Tokoh Utama
dalam Roman Sans Famille Karya Hector Malot
(Kajian Psikologi Humanistis Erich Fromm)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sastra Perancis
Oleh
Duma Lamlaba Berutu
2311411004
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
This is the story of your life
A movie starring you
What’s the next scene have for you to do?
Leave the dishes in the sink
Leave the story you would write for you
Say hey, wake your heart and break apart
The walls that keep you from being you and walk towards the light
And don’t stop till you live your life like someone died for you
This is the time to try
Step out your life is waiting
And as you fall you’ll find that you can fly
You can find a million words to build a wall of fear
Safe behind that wall imprisoned here
Take that somebody step today
To whom you’re meant to be and turn your dreams to plans
So you can breathe
Ask anyone whose time is up
What they’d give for what you’ve got and how they’d live your life
Live like your life worth dying for
You’ve just walked out that prison door
And you’ll know how to live your life __ Unknown
Infuse your life with action. Don't wait for it to happen. Make it happen.
Make your own future. Make your own hope. Make your own love. And whatever your
beliefs, honor your creator, not by passively waiting for grace to come down from upon
high, but by doing what you can to make grace happen... yourself, right now, right down
here on Earth __ Bradley Whitford
Alors tu auras un avenir, ton espérance ne sera pas déçue __ Proverbes 23 :18
Percayalah pada harapanmu, bukan pada rasa takutmu __ Penulis
Je dédie mon petit œuvre à
Mon père défunt, ma mère, mes
sœurs, et mon frère.
Je vous remercie de vous amours, vos
encouragements et vos prières sans
bornes
vi
PRAKATA
Puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan penyertaan-Nya yang tidak
pernah berkesudahan, juga untuk rencana-Nya yang indah sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Authoritarianisme dan Kebebasan Positif
Tokoh Utama dalam Roman Sans Famille karya Hector Malot (Kajian Psikologi
Humanistis Erich Fromm)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Sastra di Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa
dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Fathur Rohman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah
memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu.
2. Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah
memberikan kemudahan dalam perijinan skripsi ini.
3. Dr. Sri Rejeki Urip, M.Hum., Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, yang telah
membantu kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.
4. Dra. Anastasia Pudjitriherwanti, M.Hum, Ketua Program Studi Sastra Prancis yang
telah membantu kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Suluh Edhi Wibowo, S.S., M.Hum, selaku Penguji dan dosen wali yang selalu
membimbing dan memberikan masukan selama masa perkuliahan.
6. Bapak Ahmad Yulianto, S.S., M.Pd., selaku dosen pembimbing pertama, yang
dengan sabar mengarahkan, memberikan masukan, juga memotivasi penulis dalam
penyusunan skripsi ini
7. Bapak Sunahrowi, S.S., M.A., selaku dosen pembimbing kedua, yang dengan sabar
mengarahkan, memberikan masukan, juga memotivasi penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
8. Bapak Ibu Dosen serta Staf Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan
Seni, atas bekal ilmu, bimbingan dan bantuannya.
vii
9. Keluargaku tercinta (Alm. Bapak P. Berutu, Ibu R. Bancin, Kakakku Kristiana JF
Berutu, Adik-adikku Dameimo Berutu dan Advendo L Berutu) atas segala perhatian,
kasih sayang, dukungan dan doa yang tak terbatas hingga terselesaikannya skripsi ini.
10. Gereja-gereja Semarang, khususnya GKI Gereformeerd Semarang dan UKK UNNES
(Unit Kerohanian Kristen) yang menjadi tempat penulis beroleh pengharapan dan
kekuatan dalam menjalani hari.
11. Teman-teman Combattant angkatan 11, (Ana, Dyanti, Selvi, Chendy, Fima, Mutti,
Hajar, Wendy, Ronal, Arif, Yoga, Angga dan Rizky) atas segala kebersamaan,
semangat, dan keakraban yang telah diberikan selama masa perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi ini
12. Teman-teman Sastra Perancis 2009, 2010 dan 2012-2015 serta teman-teman dari
fakultas-fakultas lain angkatan 2011 untuk dukungan, senyum, dan semangat kalian.
13. Terakhir, semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat sederhana. Oleh karena itu,
apabila ada kritik dan saran yang sifatnya membangun, senantiasa dapat penulis terima.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Semarang, Juni 2016
Penulis
viii
SARI
Berutu, Duma Lamlaba. 2016. Authoritarianisme dan Kebebasan Positif Tokoh
Utama dalam Roman Sans Famille karya Hector Malot (Kajian Psikologi
Humanistis Erich Fromm). Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I : Ahmad Yulianto,
S.S, M.Pd., Pembimbing II: Sunahrowi, S.S., M.A.
Kata Kunci: Authoritarianisme, Kebebasan Positif, Psikologi Humanistis Erich Fromm,
Sans Famille.
Sans Famille merupakan roman yang ditulis oleh Hector Malot. Roman ini
menggambarkan keberanian, integritas dan kesetiaan seorang anak pungut yang bernama
Rémi. Dia bertambah besar dalam menghadapi petualangan dan kemalangan tanpa henti.
Dia mengikuti Signor Vitalis, pemusik jalanan yang mengembara bersama rombongan
pertunjukannya yang terdiri dari tiga ekor anjing dan seekor monyet. Di samping itu,
banyak hal yang terjadi. Dia kehilangan orang yang disayanginya, kemudian menemukan
sahabat sejatinya, dan terutama, dia berharap menemukan orangtua kandungnya.
Penelitian atas roman Sans Famille tersebut menggunakan teori Psikologi
Humanistis Erich Fromm, dengan analisis utama adalah authoritarianisme dan kebebasan
positif pada tokoh utama dalam roman tersebut. Faktor penyebab authoritarianisme
adalah masokisme dan sadisme, sedangkan faktor penyebab kebebasan positif adalah
pra-kebebasan dan kebebasan negatif. Adapun penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan authoritarianisme dan kebebasan positif yang dialami oleh tokoh utama
dalam roman Sans Famille.
Korpus data penelitian ini adalah roman Sans Famille karya Hector Malot.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif analitik, sedangkan
teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi.
Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah : 1) authoritarianisme pada tokoh
utama menunjukkan bahwa Rémi adalah orang yang merasa sendirian, cemas dan tidak
berdaya sehingga dia berusaha keluar dari penjara perasaan kesendirian, dan
ketidakberdayaannya dengan cara menggabungkan diri dengan orang lain. Di samping
itu, sebagai orang yang lemah, dia harus mematuhi perintah orang yang lebih kuat
darinya dan usaha dalam menyelesaikan kepatuhan tersebut, sering berkedok cinta atau
kesetiaan yang tersembunyi. 2) kebebasan positif pada tokoh utama menunjukkan Rémi
adalah orang yang bebas, kritis dan mandiri. Gambaran tersebut ditunjukkan dalam
keberhasilan Rémi menemukan jawaban atas keberadaan dirinya, dapat mengatasi
ketakutan akan kesendiriannya dan selalu berani dalam mengambil keputusan. Selain itu,
Rémi juga merupakan sosok yang tidak mau mengorbankan integritasnya dan tetap
mempertahankan individualitasnya dalam segala situasi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi mahasiswa
program studi Sastra Prancis, dapat menjadi kerangka acuan dan memahami
permasalahan-permasalahan psikologis dalam roman berdasarkan authoritarianisme dan
kebebasan positif Erich Fromm.
ix
L’AUTORITARISME ET LA LIBERTÉ POSITIVE DE PERSONNAGE
PRINCIPAL DANS LE ROMAN SANS FAMILLE D’HECTOR MALOT (UNE
ETUDE PSYCHOLOGIE HUMANISTE D’ERICH FROMM)
Duma Lamlaba Berutu., Ahmad Yulianto., Sunahrowi.
Département des langues et littératures étrangers
Faculté des langues et arts, Université d‟État de Semarang
EXTRAIT
Sans Famille est un roman d‟Hector Malot. Ce roman raconte une histoire de
courage, d‟intégrité et de fidélité d‟un enfant trouvé nommé Rémi. Il a grandi en
affrontant une suite d‟aventures et de mésaventures. Il suivait la troupe du Signor Vitalis
qui avait trois chiens et un singe. En outre, il y avait beaucoup d‟évènements survenus.
Rémi a dû perdre quelqu‟un qu‟il aimait bien. Ensuite, il a trouvé son véritable ami, et
surtout il espérait retrouver ses parents maternels.
Cette recherche a pour but de décrire l‟autoritarisme et la liberté positive de
personnage principal selon la théorie psychologie humaniste d‟Erich Fromm. Les facteurs
qui causent d‟autoritarisme chez le personnage principal sont le masochisme et le
sadisme, tandis que les facteurs qui causent de la liberté positive sont la pré-indépendance
et la liberté négative. Cette recherche vise à décrire l‟autoritarisme et la liberté positive de
personnage principal dans le roman Sans Famille.
Le corpus de cette recherche est Sans Famille, un roman d‟Hector Malot. La
méthode d‟analyse utilisée dans cette recherche est celle de l‟analyse descriptive, et pour
la technique d‟analyse dans cette recherche, je me sers de celle de l‟analyse de contenu.
Après avoir analysé le roman, je peux en conclure que : 1) basé sur l‟autoritarisme
de personnage principal, Rémi était un enfant solitaire, anxieuse, et faible, qui essayait de
s‟échapper de ses sentiments et de s‟intégrer aux autres. Par contre, il était obligé d‟obéir
aux ordres d‟un individu étant plus puissant que lui. Ses efforts se cachent dans l‟amour
ou la fidélité. 2) basé sur la liberté positive du personnage principal, Rémi avait des
esprits libre, critique, et indépendant. Cette illustration personnelle décrit la réussite de
Rémi à trouver la réponse sur l‟existence. En outre, il pouvait surmonter son affreuse
solitude, et osait toujours prendre les décisions. Mais au contraire, il ne voulait pas
sacrifier son intégrité et même insistait défendre son individualité dans toute la
circonstance.
Il est prévu que le résultat de cette recherche puisse donner une nouvelle idée aux
étudiants de la section de la Littérature française, surtout à comprendre les problèmes
psychologiques dans le roman, en se fondant sur l‟autoritarisme et la liberté positive
d‟Erich Fromm.
Les mots clés : Autoritarisme, Liberté Positive, Psychologie Humaniste, Sans Famille
x
RÉSUMÉ
Berutu, Duma Lamlaba. 2016. L’autoritarisme et La liberté Positive du Personnage
Principal dans le Roman Sans Famille d’Hector Malot (Une Etude
Psychologie Humaniste d’Erich Fromm). Mémoire. Département des Langues
et Littératures Etrangères. Faculté des Langues et Arts. Université d‟État de
Semarang.
Les mots clés: Autoritarisme, Liberté Positive, Psychologie Humaniste, Sans Famille.
1. L’Introduction
La littérature est une note importante de ce que les hommes ont vu dans la vie, de
ce qu‟ils ont vécu de celle-ci, de ce qu‟ils ont pensé et ont ressenti sur ces aspects qui ont
l‟intérêt les plus immédiat et durable sur nous tous. En principe, c‟est une expression de
la vie par le moyen de langue (Hudson, 1970 :10).
L‟œuvre littéraire est un moyen utilisé par un auteur d‟exprimer ses idées et ses
expériences. Elle a un rôle comme connecteur des pensées de l‟auteur à celles des
lecteurs. L‟œuvre littéraire peut refléter les opinions de l‟auteur sur de divers problèmes
observés dans son environ. La réalité sociale présentée à travers le texte est une
illustration de nombreux phénomènes sociaux qui se sont passés dans la société, qui ont
été représentés dans de certaines formes de connaissances, et qui ont pour but d‟enrichir
la perspective des lecteurs (Sugihastuti 2007: 81-82).
Il existe trois genres littéraires, ce sont la poésie, le roman, et le drame. L‟œuvre
littéraire, particulièrement le roman, est créé en vue d‟être appréciée, comprise et utilisée,
sans oublier qu‟elle parle en fait d‟une partie des problèmes de la vie, de la philosophie et
de la psychologie (Nurgiyantoro 2009 :15).
xi
Le roman lui-même est une œuvre d‟imagination en prose, qui cherche à retenir le
lecteur par l‟intérêt de l‟intrigue, des descriptions, et de l‟analyse des sentiments
(Larousse de Poche 1988: 370).
Comme objet de recherche, j‟ai choisi le roman Sans Famille d‟Hector Malot
parce qu‟il est le roman le plus connu de toutes les œuvres de l‟auteur et parce qu‟il a
reçu des accueils enthousiastes du publique littéraire. Sans Famille est en fait un roman
de courage, d‟intégrité et de fidélité qui raconte des expériences vécues par un enfant
abandonné qui s‟appelle Rémi. Il grandissait en affrontant une série d‟aventures et de
mésaventures dans laquelle il a vécu beaucoup d‟évènements survenus. Ce garçon a dû
perdre une personne qu‟il aimait tant, mais finalement il a trouvé son véritable ami et
surtout l‟espoir de retrouver ses parents.
2. La Théorie
Je me suis servie de la théorie d‟Erich Fromm dans ma recherche pour la raison
de son explication scientifique et as révélation logique sur l‟existence humaine,
notamment sur l‟autoritarisme et la liberté positive. Ce dont la théorie parle correspond
bien à mon analyse qui se concentre sur comment un enfant abandonné défiait les
problèmes de la vie sur laquelle la solitude, l‟anxiété, et la faiblesse dominaient.
À travers ces phénomènes, j‟ai examiné l‟autoritarisme et la liberté positive dans
l‟esprit de Rémi, le personnage principal dans ce roman.
2.1 L’Autoritarisme
L‟autoritarisme est une tendance à céder son autonomie individuelle et à
s‟intégrer avec quelqu‟un ou quelque chose en dehors de soi afin d‟obtenir la puissance
qu‟on ne possède pas.
xii
Il y a deux facteurs qui causent l‟autoritarisme. Ce sont le masochisme et le
sadisme. Le masochisme est la cause de l‟impuissance, de la faiblesse, et de l‟humilité
qui s‟intégre dans un individu puissant, et qui se cache souvent derrière l‟amour ou la
fidélité. Tandis que, le sadisme a pour but de diminuer l‟anxiété en s‟intégrant à une
personne ou à plusieurs personnes (Feist & Feist 2010: 236).
2.2 La Liberté Positive
La liberté positive est un état dans lequel on se sent libre et ne s‟attache pas aux
autres. En outre, elle est critique, n‟est pas hésitante, et indépendante, mais reste dans
l‟unité humanitaire (Feist & Feist 2010 :237). Les facteurs de la liberté positive sont la
pré-indépendance et la liberté négative.
La pré-indépendance est un état lorsqu‟on ne s‟aperçoit de soi-même qu‟une part de
la société; tandis que la liberté négative est un état lorsqu‟on se sent libre, mais par contre
en même-temps, on s‟attache aux autres. La liberté positive représente la réussite à trouver
la réponse sur l‟existence. Elle peut surmonter la solitude affreuse et mais ne veut pas
sacrifier son intégrité, et même défend à la fois son individualité dans toute la circonstance.
3. La Méthodologie de la Recherche
Je vise ce roman d‟Hector Malot avec l‟approche de la psychologie parce qu‟il
contient de nombreux faits psychologiques. Mon but principal est de trouver et de révéler
les éléments de l‟autoritarisme et de la liberté positive comme deux éléments dominants
du personnage principal en utilisant la théorie Psychologie Humaniste d‟Erich Fromm.
Les sources des données dans cette recherche sont divisées en deux; ce sont la
source des données primaires et celles des données secondaires. Les premières sources
sont le roman Sans Famille d‟Hector Malot publié en 1878 et la théorie de la Psychologie
xiii
Humaniste d‟Erich Fromm; les dernières sont issues de diverses sources liées à cette
recherche comme des livres, des articles scientifiques, des e-books, etc.
La méthode dans cette recherche est basée sur la méthode descriptive analytique.
Quant à la technique d‟analyse, j‟utilise celle de l‟analyse de contenu.
4. L’Analyse
4.1 L’Autoritarisme
Rémi est le personnage principal dans le roman Sans Famille d‟Hector Malot.
Quand il était encore bébé, il avait été enlevé, mais a été abandonné après. Et puis, un
pauvre tailleur de pierre l‟élevait comme son enfant. Au bout d‟un moment, cet home
avait l‟intention d‟envoyer Rémi à l‟hospice parce que ses parents ne le cherchait pas
jamais. Il avait peur que son père adoptif lui y ait envoyé. Regardez la citation suivante:
1) Il y avait au village deux enfants qu’on appelait « les enfants de l’hospice », ils
avaient une plaque de plomb au cou avec un numéro ; ils étaient mal habillés et
sales ; on se moquait d’eux ; on les battait. Les autres enfants avaient la
méchanceté de les poursuivre souvent comme on poursuit un chien perdu pour
s’amuser, et aussi parce qu’un chien perdu n’a personne pour le défendre. Ah ! je ne voulais pas être comme ces enfants ; je ne voulais pas avoir un numéro
au cou, je ne voulais pas qu’on courut après moi en criant : « à l’hospice ! à
l’hospice ! »
Cette pensée seule me donnait froid et me faisait claquer les dents.
Basé sur la citation du dessus, Rémi s‟inquièterait de sa vie si ses nourrices
l‟envoyaient à l‟hospice. Il savait que les enfants de l‟hospice étaient traités comme des
chiens. À cause de sa peur, il s‟est évadé, mais malheureusement ne savait pas où aller.
En fait, Rémi a considéré le refuge comme sa source de la sécurité, dans ce cas-là est de
se défendre.
xiv
4.1.1 Les Facteurs de l’Autoritarisme chez Le Personnage Principal.
J‟avais déjà cité le masochisme et le sadisme en tant que les deux facteurs de
l‟autoritarisme dans la théorie. J‟ai analysé premièrement les éléments masochistes du
personnage principal. Dans ce roman, il est évident que Rémi n‟était pas capable de
suivre Signor Vitalis après qu‟il avait décidé de se joindre à sa troupe; mais il devait
pourtant affronter une suite d‟aventure. Regardez la citation suivante:
2) Me sauver ! je n’y pensais plus. Où aller d’ailleurs ? chez qui ?
Après tout, ce grand et beau vieillard à barbe blanche n’était peut-être pas aussi
terrible que je l’avais cru d’abord ; et s’il était mon maître, peut-être ne serait-il
pas un maître impitoyable.
Longtemps nous cheminâmes au milieu de tristes solitudes, ne quittant les landes
que pour trouver des champs de brandes, et n’apercevant tout autour de nous,
aussi loin que le regard s’étendait, que quelques collines arrondies aux sommets
stériles.
Cette citation 2 sur la page précédente décrit que Rémi se sentait incapable de
marcher trop long. Il était triste et solitaire de faire le long voyage bien qu‟il ait été avec
Signor Vitalis et sa troupe. Il ne pouvait ni refuser son destin ni se sauver de la réalité.
Ensuite, j‟ai analysé les éléments sadiques du personnage principal. En fait, Rémi
n‟était pas capable de suivre le pas de son maître et il n‟osait pas lui demander de
s‟arrêter pour qu‟ils se soient reposés un instant comme dans la citation suivante:
3) Je traîne les jambes et j’avais la plus grande peine à suivre mon maître.
Cependant je n’osais pas demander à m’arrêter.
- Ce sont tes sabots qui fatiguent, me dit-il ; à Ussel je t’achèterai des souliers.…
Et je te promets aussi une culotte de velours, une veste et un chapeau. Cela va
sécher tes larmes, j’espère, et te donner des jambes pour faire les six lieues, qui
nous restent.
- Malgré des souliers et la culotte de velours qui étaient au bout de six lieues qui
nous restaient à faire, il me sembla que je ne pourrais pas marcher si loin
Heureusement le temps vint à mon aide.
La citation ci-dessus montre que Rémi ne pouvait pas marcher trop long. Comme
il était fatigue, il avait du retard loin derrière son patron. Il se ressemblait plutôt à un
xv
serviteur qui obéissait à son maître. Vu sa tristesse, Signor Vitalis essayait de le consoler
afin qu‟il se soit arrêté de pleurer. Grace à lui, Rémi arrivait enfin à diminuer son anxiété
et avait du courage à faire les six lieues suivantes.
4.1.2 L’Effet de l’Autoritarisme envers le Personnage Principal
D‟un côté, Rémi avait réussi à sortir de sa solitude et de sa faiblesse, et il s‟est
intégré ensuite aux autres. Mais de l‟autre côté, il faisait souvent l‟effort de se cacher
derrière l‟amour ou bien la fidélité. On peut le voir dans la citation suivante :
4) Un jour enfin, je me décidai à en faire part à Mme Milligan en lui demandant
combien elle croyait qu’il me faudrait de temps pour retourner à Toulouse, car je
voulais me trouver devant la porte de la prison juste au moment où mon maître la
franchirait.
En entendant parler de départ, Arthur poussa les hauts cris ; « je ne veux pas que
Rémi parte ! » s’écria-t-il.
Je répondis que je n’étais pas libre de ma personne, que j’appartenais à mon
maître, à qui mes parents m’avaient loué, et que je devais reprendre mon service
auprès de lui le jour où il aurait besoin de moi.
Basé sur la citation ci-dessus, on a apercu que Rémi était un serviteur fidèle à son
maître. Bien que Mme
. Milligan eût fourni ses besoins vitaux, il a préféré se retrouver à côté
de son maître. Cette citation-là décrit la gentillesse et la fidélité de Rémi comme le
serviteur de son maître.
4.2 La Liberté Positive
Dans sa vie, Rémi avait besoin de quelqu‟un et de quelque chose qui l‟assurait sa
sécurité. Cela faisait deux fois que le garcon était oblige de se séparer des gens qu‟il
aimait. Premiement de sa nourrice, mère Barberin, et deuxièmement de son maître,
Signor Vitalis. Malgré tout, Rémi était reconnaissant de se trouver parmi les gens qui
l‟aimaient sincèrement comme dans la citation suivante:
xvi
5) C’était là une vie douce et heureuse pour un enfant qui, comme moi, n’avait quitté
la chaumière de mère Barberin que pour suivre sur les grandes routes le Signor
Vitalis.
Deux fois j’avais vu se briser ou se dénouer les liens qui m’attachaient à ceux que
j’aimais : la première, lorsque j’avais été arraché d’auprès de mère Barberin ; la
seconde, lorsque j’avais été séparé de Vitalis ; et ainsi deux fois je m’étais trouvé
seul au monde, sans appui, sans soutien, n’ayant d’autres amis que mes bêtes.
Et voilà que, dans mon isolement et dans ma détresse, j’avais trouvé quelqu’un
qui m’avait témoigne de la tendresse, et que j’avais pu aimer ; une femme, une
belle dame, douce, affable et tendre, un enfant de mon âge qui me traitait comme
si j’avais été son frère.
Quelle joie, quel bonheur pour un cœur qui, comme le mien, avait tant besoin
d’aimer !
La citation ci-dessus explique que Rémi a trouvé une belle vie après qu‟il avait
quitté sa nourrice et il s‟était séparé de son maître. Il vivait seul au monde sans appui et
soutien de personne. Alors, il a trouvé finalement quelqu‟un qui l‟aimait et un enfant qui
le traitait comme son frère.
4.2.1 Les Facteurs de la Liberté Positive Chez le Personnage Principal
Il y a deux facteurs qui causent la liberté positive. Ce sont la pré-indépendance et
la liberté négative. Premièrement, j‟ai analysé une des données de la pré-indépendance.
Dans ce phénomène, quelqu‟un se considère comme une partie de la société. Regardez la
citation suivante :
6) Je suis un enfant trouvé. Mais, jusqu’à huit ans, j’ai cru que, comme tous les
autres enfants, j’avais une mère, car lorsque je pleurais, il y a avait une femme
qui me serrait si doucement dans ses bras en me berçant, que mes larmes
s’arrêtaient de couleur.
Jamais je ne me couchais dans mon lit sans qu’une femme vienne m’embrasser,
et, quand le vent de décembre collait la neige contre les vitres blanchies, elle me
prenait les pieds entre ses deux mains et elle restait à me les réchauffer en me
chantant une chanson, dont je retrouve encore dans ma mémoire l’air et quelques
paroles.
Cette citation nous a montré que d‟une part, Rémi se contentait d‟être avec sa
nourrice comme d‟autres enfants. Il ne connaîssait pas la vérité de l‟existence parce qu‟il
xvii
recevait toujours l‟attention de sa nourrice. D‟autre part, il n‟était qu‟un enfant trouvé qui
a été élevé par une mère comme son propre enfant.
Ensuite, j‟ai analysé une des données de liberté négative. Dans ce type de liberté,
il a perdu la sécurité quand il jouissait de sa vie. Regardez la citation suivante:
7) Quand j’avais une querelle avec un de mes camarades, elle me faisait conter mes
chagrins, et presque toujours elle trouvait de bonnes paroles pour me consoler ou
me donner raison.
Par tout cela et par bien d’autres choses encore, par la façon dont elle me
parlait, par la façon dont elle me regardait, par ses caresses, par la douceur
qu’elle mettait dans ses gronderies, je croyais qu’elle était ma mère.
Voici comment j’appris qu’elle n’était que ma nourrice.
Cette citation a décrit que d‟une part Rémi recevait l‟attention et l‟affection de la
femme dont on avait parlé auparavant. Elle l‟élevait comme son enfant, de sorte que
Rémi ait cru qu‟elle était sa mère. D‟autre part, quand il jouissait de sa bonté, il savait
qu‟elle n‟était que sa nourrice.
4.2.2. L’Effet de la Liberté Positive envers le Personnage Principal
Grâce à l‟effet de la liberté positive, Rémi avait réussi à avoir la réponse sur
l‟existence. Il avait trouvé la vérité par son propre effort; et notamment qu‟il a rencontré
sa mère après une longue attente et une recherche inlassable. On peut le voir dans la
citation suivante :
8) Sans troubler, Mme Milligan – maintenant je peux dire ma mère, -…
Je pus me jeter dans les bras que ma mère me tendait et l’embrasser pour la
première fois en même temps qu’elle m’embrassait elle-même.
Basé sur la citation ci-dessus, on aperçoit que Rémi a trouvé sa mère. Il était
heureux quand il pouvait finalement l‟appeler « ma mère ». Il pouvait sentir l‟embrassade
et la tendresse pour la première fois dans sa vie.
xviii
4.3 Le Lien entre l’Autoritarisme et la Liberté Positive
L‟autoritarisme et la liberté positive sont les moyens d‟un individu d‟obtenir un
sens et un ensemble dans la vie. L‟autoritarisme est une méthode pour gagner le sentiment
de sécurité, tandis que la liberté positive est un effort pour s‟intégrer aux autres sans
sacrifier son intégrité.
Rémi avait quitté sa nourrice, et il s‟est joint à la troupe du Signor Vitalis. Malgré
cela, il avait besoin encore de quelque chose comme le refuge. Regardez la citation
suivante :
9) Le ciel, qui avait été bleu depuis notre départ, s’emplit peu à peu de nuages gris,
et bientôt il se mit à tomber une pluie fine qui ne cessa plus. Avec sa peau de
mouton, Vitalis était assez bien protégé, et il pouvait abriter Joli-Cœur qui, à la
première goutte de pluie, était promptement rentré sa cachette.
Mais les chiens et moi, qui n’avions pas tardé à être mouilles jusqu’à la peau ;
encore les chiens pouvaient-ils de temps se secouer, tandis que, ce moyen naturel
n’étant pas fait pour moi, je devais marcher sous un poids qui m’écrasait et me
glaçait …
Mais il n’y avait pas d’auberge dans ce village, et personne ne voulut recevoir
une sorte de mendiant qui traînait avec lui un enfant et trois chiens aussi crottés
les uns que les autres. Enfin un paysan plus charitable que ses voisins voulut bien
nous ouvrier la porte d’une grange.
La citation ci-dessus montre que Rémi a vécu une mauvaise expérience dans
laquelle il devait marcher sous la pluie glaciale. Il avait besoin de s‟abriter contre le
mauvais temps, mais personne ne lui a offert un abri. Mais enfin il a rencontré un paysan
qui était prêt à ouvrir la porte d‟une grange pour lui.
5. La Conclusion
Basé sur l‟analyse des problèmes dans le roman Sans Famille d‟Hector Malot
selon une perspective du Psychologie Humaniste d‟Erich Fromm, je peux en conclure
que:
xix
Premièrement, basé sur l‟autoritarisme du personnage principal, Rémi est une
personne solitude, anxieuse, et faible. D‟un côté, il essaie de sortir de ses sentiments et de
s‟intégrer aux autres. D‟autre côté, il doit obéir aux ordres d‟une personne étant plus
puissante que lui, et ces efforts sont souvent cachés derrière l‟amour ou la fidélité.
Deuxièmement, basé sur la liberté positive du personnage principal, il est libre,
critique, et indépendant. Cette illustration décrit la réussite de Rémi à trouver la réponse
de son existence. Il a réussi à surmonter sa solitude affreuse, et a osé à chaque fois
prendre les décisions. U contraire, il ne voulait pas sacrifier son intégrité et même
défendait son individualité dans toute la situation.
6. Les Remerciements
Je tiens à remercier mon père défunt, ma mère, mes sœurs, et mon frère de
m‟avoir supportée et de m‟avoir comblée de leur amour sans bornes. Ensuite, je remercie
également mes professeurs de m‟avoir guidée. Et finalement, je remercie aussi mes amis
de leurs joies et de leurs gentillesses.
7. La Bibliographie
Arifin, Winarsih & Farida Soemargana. 2007. Kamus Perancis - Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Feist, Jess & Gregory J Feist. 2010. Teori Kepribadian: Theories of Personality. Jakarta:
Salemba Humanika.
Hudson, William Henry. 1970. An Introduction to the Study of Literature. London: D. C.
HEATH & CO., PUBLISHERS
Librairie Larousse Canada. 1988. Larousse De Poche: Dictionnaire Des Noms Communs,
De Noms Propres, Précis Grammaire. Canada: Distributeur exclusif au Canada;
les Editions Françaises Inc.
Malot, Hector. 1878. Sans Famille. La Bibliothèque Électronique du Québec. Volume 9:
version 1.2.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sugihastuti. 2007. Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
xx
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………………… ii
PENGESAHAN……………………………………………………………………………. iii
PERNYATAAN……………………………………………………………………………. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………………………. v
PRAKATA…………..……………………………………………………………………… vi
SARI………………………………………………………………………………………… vii
EXTRAIT……………………………………………………………………………………. ix
RESUMÉ…………………………………………………………………………………….. x
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….xx
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………….. xxii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………..11
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………………………...12
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………………………..12
1.5 Sitematika Penelitian ………………………………………………………………..13
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS
2.1 Kajian Pustaka……………………………………………………………………….15
2.2 Landasan Teoritis……………………………………………………………………16
2.2.1 Psikologi Sastra…………………………………………………………………….16
2.2.2 Psikologi Kepribadian……………………………………………………………...19
xxi
2.2.3 Psikologi Humanistis Erich Fromm………………………………………………..22
2.2.3.1 Authoritarianisme………………………………………………………………..26
2.2.3.2 Kebebasan Positif………………………………………………………………..27
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian………………………………………………………………..33
3.2 Data dan Sumber Data……………………………………………………………….34
3.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………………..35
3.4 Teknik Analisis Data………………………………………………………………..36
3.5 Teknik Pemaparan Hasil Analisis Data……………………………………………..37
3.5.1 Analisis Isi Laten………………………………………………………………….37
3.5.2 Analisis Isi Komunikasi…………………………………………………………..39
BAB 4 AUTHORITARIANISME DAN KEBEBASAN POSITIF TOKOH UTAMA
DALAM ROMAN SANS FAMILLE KARYA HECTOR MALOT
4.1 Authoritarianisme…………………………………………………………………..42
4.1.1 Faktor Penyebab Authoritarianisme pada Tokoh Utama…………………………47
4.1.2 Dampak Authoritarianisme pada Tokoh Utama………………………………….53
4.2 Kebebasan Positif…………………………………………………………………..58
4.2.1 Faktor Penyebab Kebebasan Positif pada Tokoh Utama…………………………64
4.2.2 Dampak Kebebasan Positif terhadap Tokoh Utama……………………………...68
4.3 Hubungan Antara Authoritarianisme dan Kebebasan Positif……………………...72
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan……………………………………………………………………………78
5.2 Saran………………………………………………………………………………..79
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………80
LAMPIRAN
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Biografi Hector Malot
2. Sinopsis Roman Sans Famille
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra tidak lain dari catatan penting tentang
apa yang telah dirasakan manusia di dunia. Sastra tersebut juga memiliki hubungan yang
jelas dalam kehidupan. Seperti yang dijelaskan Hudson (1970:10) bahwa:
“Literature is the vital records of what men have seen in life, what they have
experienced of it, what they have thought and felt about these aspects of it which
have the most immediate and enduring interest for all of us. It is thus
fundamentally an expression of life through the medium of language”.
“Sastra adalah catatan penting dari apa yang telah dilihat manusia dalam
kehidupan, apa yang telah mereka alami, apa yang telah mereka pikirkan dan
rasakan tentang aspek-aspek yang telah berlangsung dan abadi yang telah menarik
perhatian bagi kita semua. Dengan demikian, pada dasarnya sastra merupakan
ekspresi kehidupan melalui media bahasa”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) dijelaskan bahwa sastra
adalah “karya tulis yang bila dibandingkan dengan tulisan lain, dengan ciri-ciri
keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya
sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan
bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah
manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan cara yang khas. Pembaca sastra
dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
2
Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
manusia dan kehidupan sebagai mediumnya. Sastra adalah karya yang bersifat ambigu,
asosiatif, ekpresif, konotatif, dan menunjukkan sikap penulis atau pembacanya. Meskipun
bersifat imajinatif, karya sastra diciptakan berdasarkan kenyataan, tetapi kenyataan yang
ada dalam unsur karya sastra bukan kenyataan yang apa adanya (Semi 2012:169).
Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk
menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya. Peran karya sastra sebagai media
adalah untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang yang ingin disampaikan kepada
pembaca. Karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai
masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks
kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah
terjadi di masyarakat dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan
pengetahuan dan memperkaya wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu tanpa
berkesan mengguruinya (Sugihastuti, 2007:81-82).
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Ratna (2008:305) yang menyatakan bahwa
hakikat karya sastra adalah imajinasi yang dilukiskan melalui bahasa dan dilakukan oleh
pengarang, tetapi bila tanpa didasarkan atas dan diinvestasikan terhadap pemahaman
mengenai kenyataan dalam masyarakat, maka karya sastra tersebut akan berubah menjadi
dongeng, cerita khayal, bahkan sebagai ilmu pengetahuan. Pernyataan tersebut
menjelaskan bahwa karya sastra juga erat hubungannya dengan masyarakat karena dalam
hal penciptaan karya sastra, masyarakat dan seluruh pernik kehidupannya adalah sumber
inspirasi. Dan perhatian terhadap masyarakat justru meningkatkan pemahaman terhadap
karya sastra karena sebagai bagian integral masyarakat. Karya sastra pada dasarnya
3
secara keseluruhan disusun berdasarkan model-model masyarakat. Oleh karena karya
sastra disusun dengan menggunakan kata-kata, maka karya sastra disebut “dunia dalam
kata” yakni dunia yang dihuni oleh tokoh-tokoh fiksional. Masyarakat yang dilukiskan
adalah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana dialami oleh pengarang,
bedanya masyarakat tersebut sudah bercampur dengan emosi, obsesi, cita-cita dan citra
pengarang.
Yassin seperti dikutip dalam Nurgiyantoro (2009:15) menyatakan bahwa karya
sastra terbagi menjadi tiga jenis yaitu puisi, novel (atau yang sering disebut dengan
roman), dan drama. Karya sastra khususnya roman diciptakan oleh pengarang dengan
tujuan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra
sebenarnya merupakan bagian masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Roman adalah cerita
yang ditulis dalam bahasa roman yaitu rakyat Perancis pada abad pertengahan. Roman
juga dapat diartikan sebagai cerita prosa yang melukiskan pengalaman lahir dari beberapa
orang yang berhubungan satu sama lain dalam suatu keadaan.
Dalam Dictionnaire Larousse De Poche, (1988 :370) dijelaskan seperti kutipan
berikut ini :
“Roman est une oeuvre d’imagination en prose, qui cherche à retenir le lecteur
par l’intérêt de l’intrigue, des descriptions, et l’analyse des sentiments”.
“Roman adalah karya imajinasi dalam prosa, yang menarik perhatian pembaca
dari alur ceritanya yang menarik, dari penggambarannya, dan penguraian
keindahan-keindahannya”.
Untuk memperkuat beberapa pendapat tentang roman tersebut seperti dikutip dari
www.wikipedia.org/wiki/Prosa (diunduh 26/10/2015; pukul 20:15) dijelaskan bahwa
roman merupakan bentuk prosa baru (karangan prosa timbul setelah mendapat pengaruh
sastra atau budaya Barat) yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala
4
suka dukanya. Dalam roman, pelaku utamanya sering diceritakan mulai dari masa kanak-
kanak sampai dewasa atau bahkan sampai meninggal. Roman mengungkap adat atau
aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-
cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh
segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut .
Dalam penelitian ini, peneliti memilih roman yang berjudul “Sans Famille” yang
berarti “Sebatang Kara” karya Hector Malot sebagai objek penelitian karena roman ini
merupakan roman yang paling populer dari keseluruhan karyanya dan telah mendapat
apresiasi yang sangat luas. Di samping itu, kisah keberanian, integritas, dan kesetiaan
anak yang sebatang kara tersebut, layak menjadi contoh bagi anak-anak di jaman
sekarang karena sangat sulit menemukan seorang anak yang sekaligus memiliki
keberanian, integritas dan kesetiaan di dunia nyata sehingga peneliti tertarik mengungkap
kisah tersebut lebih dalam.
Roman Sans Famille pada awalnya bukanlah sebuah karya sastra anak-anak atau
remaja, tetapi dalam perkembangannya Sans Famille lebih populer sebagai roman anak-
anak dan remaja. Libraire de La Societe de Gens de Lettres mempublikasikan pertama
kali roman Sans Famille pada tahun 1878. Pada tahun 1934 di Prancis, roman Sans
Famille diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Senza Famiglia adalah judul
film layar lebar dari roman Sans Famille yang dibuat oleh industri perfilman Italian pada
tahun 1946. Kemudian pada tahun 1965 dibuat versi film televisi dengan judul Le
Théâtre de la Jeunesse : Sans Famille. Pada tahun 1961 dibuat juga dalam film
Hongkong yang berjudul Nobody’s Child. Kisah Sans Famille juga sudah pernah dibuat
animasinya dalam banyak versi pada tahun 1970 oleh perusahaan perfilman asal Jepang
5
yaitu Toei Animation yang berjudul Chibikko Rémi to Meiken Capi dan tahun 1977-1987
oleh Tokyo Movie Shinsha dengan judul Nobody’s Boy: Rémi Le Naki Ko dengan total 51
episode anime.
Kemudian pada tahun 1981 Sans Famille ditayangkan di Paris dengan 6 part TV
series oleh TF1 yang dibintangi oleh Petula Clark. Selanjutnya pada tahun 1984 di Uni
Soviet dalam bahasa Rusia dengan judul Bez Semyi. Bukan hanya animasi, Jepang juga
membuat drama dari kisah Sans Famille yang berjudul Nobody’s Girl (Le Naki Ko)
dalam 2 season dengan total 25 episode drama seri TV, yang dibintangi Yumi Adachi,
Takeshi Naito, Yoshiko Tanaka, et al. Awalnya diproduksi sebagai hari penghormatan 3
season modern untuk karya Masterpiece klasik oleh Hector Malot tapi dalam 2 season
dengan tema yang lebih realistis dan kontroversial menyebabkan penolakan dari beberapa
penonton lainnya. Kemudian Jepang membuat anime lagi dengan judul Rémi, Nobody
Girl (Le Naki Ko Rémi) sebanyak 26 episode anime serial TV, pembuatan terakhir di
Nippon Animation’s World Masterpiece Theatre Series. Versi ini membuat perubahan
besar untuk alur ceritanya, yang mengubah Remi (disuarakan oleh aktris pop star/ suara
legendaris Mitsuko Horie) menjadi seorang gadis dan menjadikannya seorang penyanyi
anak.
Kemudian seri ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh jaringan TV di
seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara (juga sempat ditayangkan rutin di salah satu TV
swasta Indonesia) dan Asia Selatan. Selain itu, roman Sans Famille juga diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa, yaitu bahasa Italia (Senza Famiglia), Spanyol (Sin Familia),
Jerman (Heimatlos), Romania (Singur Pe Lume), Belanda (Alleen Op De Wereld),
Vietnam (Không Gia Dinh) dan Inggris (Nobody’s Boy). Cerita Sans Famille selain
6
berbentuk roman juga banyak dibuat versi Fançais facile-nya atau versi yang mudah
dipahami, salah satunya dibuat oleh penerbit Hachette di Paris yang diadaptasi oleh
Christine Ferreire pada tahun 1962. Versi Français facile tersebut diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia oleh Tanti Lesmana yang berjudul “Sebatang Kara” yang diterbitkan
oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, di Jakarta pada tahun 2010. Dan terjemahan terbaru
Sans Famille dalam bahasa Inggris yang berjudul “Alone in the World” oleh Adrian de
Bruyn, pada tahun 2007 (http://www.wikipedia.org/wiki/Sans_Famille [diunduh
2015/04/20 pukul 20:05]).
Roman Sans Famille merupakan karya Masterpiece klasik tentang keberanian,
integritas, dan kesetiaan. Roman tersebut menceritakan sebuah kisah perjalanan panjang
seorang anak yang bernama Rémi dalam mengatasi kehidupan di jalanan. Ketika masih
bayi, Rémi diculik dan di tinggalkan disebuah jalanan di Paris. Seorang pemotong batu
yang miskin mengangkatnya sebagai anak, tetapi kemudian menjualnya kepada Signor
Vitalis, pemusik jalanan yang membawa Rémi berkelana bersama rombongan
pertunjukannya yang terdiri atas anjing-anjing (Capi, Dulce, Zerbino) dan seekor kera
(Joli-Coeur). Dari Signor Vitalis-lah Remi belajar bermain musik, dan orangtua ini
menjadi pengganti sosok ayah baginya. Berbagai peristiwa dialaminya : kehilangan orang
yang disayangi, menemukan sahabat sejati, dan terutama : harapan untuk menemukan
kembali orangtua kandungnya.
Pengaruh dari kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau menyatukan diri dari
keterasingan terhadap masyarakat selama Remi berkelana keliling Prancis mempengaruhi
kehidupan Remi itu sendiri. Remi dapat belajar bermusik, bernyanyi, berbahasa Inggris,
belajar arti sebuah kesetiaan, integritas dan keberanian dari kehidupannya yang sebatang
7
kara di Prancis. Hal tersebut yang secara tidak disadari bahwa pengaruh lingkungan
sangatlah berdampak besar terhadap perkembangan dan sifat anak.
Karya sastra, baik novel, drama dan puisi di jaman modern ini sarat dengan unsur-
unsur psikologis sebagai manifestasi : kejiwaan pengarang, para tokoh fiksional dalam
kisahan dan pembaca. Karya fiksi psikologis merupakan suatu istilah yang digunakan
untuk menjelaskan suatu novel yang bergumul dengan spiritual, emosional dan mental
para tokoh dengan cara lebih banyak mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau
peristiwa (Minderop 2013 :53).
Psikologi berasal dari kata Yunani psyche, yang berarti jiwa, dan logos yang
berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari
tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop 2013:3). Psikologi juga merupakan
ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik
selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah
laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan,
berbicara, duduk, berjalan dan lain sebagainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi
berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya (www.belajarpsikologi.com
/pengertian-psikologi/ diunduh 2015//11/06 pukul 14.00).
Pada hakekatnya tingkah laku manusia itu sangat luas, semua yang dialami dan
dan dilakukan manusia merupakan tingkah laku. Dengan demikian objek ilmu psikologi
sangat luas, maka dalam perkembangannya ilmu psikologi dikelompokkan dalam
beberapa bidang yaitu psikologi umum, psikologi faal, psikologi perkembangan,
psikologi kepribadian, psikologi klinis, psikologi konseling, psikologi abnormal,
8
psikologi pendidikan, psikologi diagnostik, psikologi sosial, psikologi industri, psikologi
humanistis, psikologi sastra dan lain-lain. Selain itu, psikologi juga terbagi dalam
beberapa metodologi di antaranya: metodologi eksperimental, observasi ilmiah, sejarah
kehidupan (metode biografi) dan wawancara. Metode wawancara tersebut terbagi dalam
beberapa teknik seperti angket, pemeriksaan psikologi, metode statistik dan metode
analisis karya. Metode analisis karya tersebut dilakukan dengan cara menganalisis hasil
karya seperti gambar-gambar, buku harian atau karangan yang telah dibuat. Hal ini
karena karya dapat dianggap sebagai pencetus dari keadaan jiwa seseorang
(www.wikipedia.com/wiki/psikologi/ [diunduh 2015/11/06 pukul 14.30]).
Tidak semua sikap manusia tampil secara dominan dan bersamaan dalam diri
seorang individu. Banyak orang percaya bahwa masing-masing individu memiliki
karakteristik kepribadian atau pembawaan yang menandainya. Pembawaan yang
mencakup dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku merupakan karakteristik seseorang
yang menampilkan cara ia beradaptasi dan berkompromi dalam kehidupan, itulah yang
disebut kepribadian (Santrock dalam Minderop, 2013:4).
Kepribadian dalam psikologi bisa mengacu pada pola karakteristik perilaku dan
pola pikir yang menentukan penilaian seseorang terhadap lingkungan. Kepribadian
dibentuk oleh potensi sejak lahir yang dimodifikasi oleh pengalaman budaya dan
pengalaman unik yang mempengaruhi seseorang sebagai individu. Pendekatan teoritis
untuk memahami kepribadian mencakup kualitas nalar, psikoanalisis, pendidikan sosial,
dan teori-teori humanistik:
9
“Personality refers to the characteristic patterns of behavior and ways of thinking
that determine a person’s adjustment to his environment. Personality is shaped by
inborn potential as modified by experiences common to the culture and
subcultural group (such as sex roles) and unique experiences that affect the
person as an individual. The major theoretical approach to an understanding of
personality include trait, psychoanalytic, social learning, and humanistic theories
(Hilgard, et al via Minderop, 2013:4)”
“Kepribadian mengacu pada pola karakteristik perilaku dan cara berpikir yang
menentukan penyesuaian seseorang terhadap lingkungannya. Kepribadian
kemungkinan dibentuk oleh pembawaan sejak lahir yang dimodifikasi oleh
pengalaman bersama budaya dan kelompok cabang kebudayaan (misalnya peran
gender) dan pengalaman unik yang mempengaruhi seseorang sebagai individu.
Pokok pendekatan teoritis untuk memahami kepribadian mencakup perilaku,
psikoanalisis, pembelajaran sosial, dan teori-teori humanistik”.
Untuk memperkuat pernyataan tersebut, peneliti akan menggunakan teori
psikologi sastra untuk memahami aspek-aspek psikologi yang terkandung di dalam
roman Sans Famille. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan
antara psikologi dengan sastra, yaitu : a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya
sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Dan pada dasarnya, psikologi
sastra memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2008 :343).
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra.
Mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari
sisi dalam. Mungkin aspek „dalam‟ ini yang acap kali bersifat subjektif, yang membuat
para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra amat
indah, karena kita dapat memahami sisi kedalaman jiwa manusia, jelas amat luas dan
amat dalam (Endraswara, 2008 :16).
10
Psikologi sastra juga merupakan telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan
proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang
perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan
pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.
Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan kreasi
dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah
sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk sadar (conscious)
(Endraswara, 2008 :96). Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah
cerminan psikologis dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh
pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang
kadang kala merasakan dirinya terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan
ditelaah melalui pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para
tokoh, walaupun imajinatif, dapat menampilkan berbagai problem psikologis.
John Keble berpendapat kedekatan antara karya sastra dan psikologi dapat
dicermati melalui, misalnya karya-karya sastra yang merupakan ungkapan pemuasan
motif konflik desakan keinginan dan nafsu yang ditampilkan para tokoh untuk mencari
kepuasan imajinatif yang dibarengi dengan upaya menyembunyikan dan menekan
perasaan dengan menggunakan „cadar‟ atau „penyamar‟ dari lubuk hati yang paling
dalam (sebagaimana dikutip Abrams dalam Minderop, 2013 :57). Gelora jiwa dan nafsu
yang tampil melalui para tokoh ini yang harus digali oleh peneliti yang tentunya
berdasarkan analisis secara instrinsik terlebih dahulu dan selanjutnya didekati melalui
pendekatan psikologi.
11
Peneliti memilih Psikologi Humanistis yang berpayung pada Psikologi Sastra
dalam penelitian ini dikarenakan :1) teori psikologi sastra dapat mengevaluasi karya
sastra, menggali lebih dalam problem-problem kejiwaan tokoh bisa berupa konflik,
kelainan perilaku, dan bahkan kondisi psikologis yang lebih parah sebagaimana dialami
manusia di dalam kehidupan nyata, dan; 2) teori psikologi humanistis Erich Fromm
berasumsi lebih melihat manusia dari sudut pandang sejarah yang didasari akan
keberadaan manusia seperti keterasingan dan kesendirian yang menakutkan, dan juga
menemukan jawaban atas keberadaan manusia untuk kabur dari kebebasan melalui
pelarian, sehingga teori tersebut sangat relevan untuk menganalisis roman Sans Famille
karya Hector Malot.
Dalam penelitian ini akan dikaji fenomena psikologis tokoh utama roman Sans
Famille dengan menggunakan teori Psikologi Humanistis Erich Fromm, yaitu
authoritarianisme dan kebebasan positif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang dibahas
dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah authoritarianisme tokoh utama dalam roman Sans Famille
karya Hector Malot?
b. Bagaimanakah kebebasan positif tokoh utama dalam roman Sans Famille
karya Hector Malot?
12
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
a. Mendeskripsikan authoritarianisme tokoh utama dalam roman Sans Famille karya
Hector Malot
b. Mendeskripsikan kebebasan positif dalam tokoh utama roman Sans Famille karya
Hector Malot.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian kajian authoritarianisme dan kebebasan positif tokoh utama
dalam roman Sans Famille karya Hector Malot ini diharapkan bermanfaat baik secara
teoritis maupun praktis.
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumber referensi baru
bagi ranah kepustakaan penelitian, khususnya di bidang sastra, dan menambah
pengetahuan tentang analisis karya sastra, terutama analisis roman yang
menggunakan teori authoritarianisme dan kebebasan positif.
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis, yaitu:
1. Secara umum, membantu para pembaca dalam memahami isi roman dan
memberikan pemahaman karya sastra, terutama tentang permasalahan-
13
permasalahan psikologi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
jiwa dan kepribadian seseorang.
2. Secara khusus, memberikan masukan bagi para mahasiswa dalam
memahami isi dan meneliti karya sastra Perancis terutama roman, sebagai
bahan rujukan penelitian yang menggunakan teori authoritarianisme dan
kebebasan positif bagi peneliti berikutnya.
1.5 Sistematika Penelitian
Secara garis besar penulisan skripsi ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian
awal skripsi, inti skripsi, dan akhir skripsi. Bagian awal berisi halaman judul, halaman
pernyataan, halaman pengesahan, motto dan persembahan, prakata, abstrak, résumé, dan
daftar isi.
Bab I berisi Pendahuluan. Bab ini memuat latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II berisi Landasan Teori. Dalam bab ini diuraikan landasan teori yang
digunakan sebagai pedoman dalam skripsi ini yaitu Authoritarianisme dan
Kebebasan Positif sebagai Kajian Psikologi Humanistis Erich Fromm.
Bab III berisi Metode Penelitian yang meliputi Pendekatan Penelitian, Data dan
Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Analisis Data, Teknik Pemaparan Hasil
Analisis Data.
Bab IV berisi Hasil dan Pembahasan. Dalam bab ini dijelaskan tentang hasil
penelitian dan pembahasan Authoritarianisme dan Kebebasan Positif sebagai
14
Kajian Psikologi Humanistis Erich Fromm dalam roman Sans Famille karya
Hector Malot
Bab V berisi Penutup yang berupa Kesimpulan dan Saran.
Bagian akhir skripsi ini dilengkapi dengan Daftar Pustaka dan Lampiran.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan peneliti, terdapat beberapa penelitian yang telah
dilakukan mengenai maupun yang menjadikan roman Sans Famille karya Hector Malot
sebagai objek penelitian.
Penelitian terhadap roman Sans Famille karya Hector Malot telah dilakukan
pertama, oleh Renat Galih Gunara dalam skripsinya yang berjudul “Nilai Moral Dalam
Roman Sans Famille karya Hector Malot Tinjauan Lima Kode Semiotika Roland
Barthes” pada tahun 2012 (UGM). Dalam skripsi tersebut peneliti menganalisis masalah
moral yang terkandung dalam cerita dan berusaha mengungkap apa saja nilai-nilai moral
yang terkandung dan dapat dipetik dari roman Sans Famille.
Kedua, oleh Ikhda Rizky Nurbayu, dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh
Lingkungan Sosial Terhadap Pembentukan Kepribadian Anak Dalam Novel Sans Famille
Karya Hector Malot (Tinjauan Psikologi Sosial)” pada tahun 2013 (UGM). Dalam
skripsi tersebut peneliti menganalisis pengaruh lingkungan sosial apa saja yang
membentuk kepribadian Remi dengan menggunakan teori belajar sosial Albert Bandura.
Penelitian tersebut menghasilkan pemaparan dan penjelasan dari apa saja yang menjadi
pengaruh lingkungan sosial yang membentuk kepribadian Remi dalam bertingkah laku.
Ketiga, oleh Elysa Tuken Liling Padang, dalam thesisnya yang berjudul
“Kemandirian Dalam Novel Sans Famille Karya Hector Malot” pada tahun 2013
16
(UNHAS). Dalam thesis tersebut peneliti menganalisis perkembangan tokoh utama,
Remi, dalam novel Sans Famille dengan menggunakan teori psikologi perkembangan
Erikson yang meliputi tahap dasar kepribadian manusia dan pendekatan struktural untuk
mencermati hubungan Remi dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita. Penerapan psikologi
Erikson menghasilkan kesimpulan bahwa kemandirian tokoh Remi dipengaruhi oleh
faktor pola asuh dan faktor lingkungan.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, khususnya kajian Psikologi
Humanistis Erich Fromm terhadap roman Sans Famille belum pernah dilakukan,
sehingga dapat dipastikan bahwa penelitan dengan judul “Authoritarianisme dan
Kebebasan Positif dalam Roman Sans Famille Karya Hector Malot (Kajian Psikologi
Humanistis Erich Fromm)” belum pernah dilakukan sebelumnya dan dapat
dipertanggung jawabkan keorisinalitasannya.
2.2 Landasan Teoritis
Penelitian ini menggunakan teori authoritarianisme dan kebebasan positif untuk
menganalisis fenomena psikologis tokoh utama dalam roman Sans Famille karya Hector
Malot sebagai sebuah kajian psikologi humanistis Erich Fromm. Dalam bab ini akan
diuraikan teori yang digunakan sebagai pedoman dalam skripsi tersebut yang
dikemukakan oleh beberapa para ahli dan berikut penjabarannya:
2.2.1 Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra.
Mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari
sisi dalam. Mungkin aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat para
pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar psikologi sastra amat
17
indah, karena kita dapat memahami sisi kedalaman jiwa manusia, jelas amat luas dan
amat dalam (Endraswara sebagaimana dikutip Minderop, 2013: 59). Daya tarik psikologi
sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri
yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang
kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman itu sering pula
dialami oleh orang lain.
Psikologi sastra juga merupakan telaah sastra yang diyakini mencerminkan proses
dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya sastra psikologis hal penting yang
perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan
pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.
Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, pertama, karya sastra merupakan kreasi
dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah
sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk sadar (conscious)
(Endraswara, 2008:96). Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah
cerminan psikologis dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh
pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang
kadang kala merasakan dirinya terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan
ditelaah melalui pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para
tokoh, walaupun imajinatif, dapat menampilkan berbagai problem psikologis.
John keble berpendapat kedekatan antara karya sastra dan psikologi dapat
dicermati melalui, misalnya karya-karya sastra yang merupakan ungkapan pemuasan
motif konflik desakan keinginan dan nafsu yang ditampilkan para tokoh untuk mencari
kepuasan imajinatif yang dibarengi dengan upaya menyembunyikan dan menekan
18
perasaan dengan menggunakan „cadar‟ atau „penyamar‟ dari lubuk hati yang paling
dalam (Abrams sebagaimana dikutip dalam Minderop, 2013:57). Gelora jiwa dan nafsu
yang tampil melalui para tokoh ini yang harus digali oleh peneliti yang tentunya
berdasarkan analisis secara instrinsik terlebih dahulu dan selanjutnya didekati melalui
pendekatan psikologi.
Psikologi sastra bertujuan untuk memahami aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung dalam suatu karya tetapi bukan berarti sama sekali terlepas dari kebutuhan
masyarakat. Karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakatnya secara tidak
langsung melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat
memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi
dalam masyarakat, khususnya kaitannya dengan psike (Ratna, 2008:342).
Ratna (2008:343) mengungkapkan bahwa terdapat tiga cara untuk memahami
hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan
pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional
dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Dan psikologi
sastra pada dasarnya memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksional
yang terkandung dalam karya sastra. Sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan
aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya pada manusia. Pada umumnya, aspek-aspek
kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-mata
dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan
diinvestasikan.
19
2.2.2 Psikologi Kepribadian
Karakteristik individu tidak selalu muncul secara dominan dan bersamaan dalam
diri seorang individu. Banyak orang percaya bahwa masing-masing individu memiliki
karakteristik kepribadian atau pembawaan yang menandainya. Pembawaan yang
mencakup dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku merupakan karakteristik seseorang
yang menampilkan cara ia beradaptasi dan berkompromi dalam kehidupan, inilah yang
disebut kepribadian (Santock sebagaimana dikutip dalam Minderop, 2013: 4).
Kepribadian dalam psikologi bisa mengacu pada pola karakteristik perilaku dan
pola pikir yang menentukan penilaian seseorang terhadap lingkungan. Kepribadian
dibentuk oleh potensi sejak lahir yang dimodifikasi oleh pengalaman budaya dan
pengalaman unik yang memengaruhi seseorang sebagai individu. Pendekatan teoritis
untuk memahami kepribadian yang mencakup kualitas nalar, psikoanalisis, pembelajaran
sosial, dan teori-teori humanistik:
Personality refers to the characteristic patterns of behavior and ways of thinking
that determine a person’s adjustment to his environment. Personality is shaped by
inborn potential as modified by experiences common to the culture and
subcultural group (such as sex roles) and the unique experiences that affect the
person as an individual. The major theoretical approach to an understanding of
personality include trait, psychoanalytic, social learning, and humanistic theories
(Hilgard, et al., sebagaimana dikutip dalam Minderop, 2013:4).
“Kepribadian mengacu pada pola karakteristik perilaku dan cara berpikir yang
menentukan penyesuaian seseorang terhadap lingkungannya. Kepribadian
kemungkinan dibentuk oleh pembawaan sejak lahir yang dimodifikasi oleh
pengalaman bersama budaya dan kelompok cabang kebudayaan (misalnya peran
gender) dan pengalaman unik yang mempengaruhi seseorang sebagai individu.
Pokok pendekatan teoritis untuk memahami kepribadian mencakup perilaku,
psikoanalisis, pembelajaran sosial, dan teori-teori humanistik”.
Krech et al sebagaimana dikutip dalam Minderop (2013:7) mengatakan bahwa:
20
“The study of personality is the study of how people come to be what they are. Of
course people differ widely in what they have learned; each person is indeed
unique. But all have learned in accordance with same general laws. The essential
point here is that there are no laws of personality functioning apart from the laws
of general psychology”.
“Kajian kepribadian adalah kajian mengenai bagaimana seseorang menjadi
dirinya sendiri, walaupun semua berdasarkan hukum yang berlaku umum. Hal
yang penting ialah tidak ada hukum kepribadian yang terpisah dari teori psikologi
pada umumnya”.
Dalam pandangan eksperimental, kajian kepribadian juga merupakan suatu proses
yang harus dipahami dengan mempelajari peristiwa yang mempengaruhi perilaku
seseorang melalui kontribusi peristiwa tersebut terhadap kepribadian si individu. Dalam
pandangan sosial, kajian kepribadian dalam kaitannya dengan konteks sosial dan
perkembangan kehidupan harus dipahami melalui kontribusi model dan peran
kebudayaan serta kebudayaan itu sendiri (Krech et al., sebagaimana dikutip dalam
Minderop, 2013:8). Dengan demikian, kepribadian adalah suatu integrasi dari semua
aspek kepribadian yang unik dari seseorang menjadi organisasi yang unik, yang
menentukan, dan dimodifikasi oleh upaya seseorang beradaptasi dengan lingkungannya
yang selalu berubah.
Psikologi kepribadian adalah psikologi yang mempelajari kepribadian manusia
dengan objek penelitian faktor-faktor yang memengaruhi tingkah laku manusia. Dalam
psikologi kepribadian dipelajari kaitan antara ingatan atau pengamatan dengan
penyesuaian diri pada individu. Sasaran pertama, psikologi kepribadian ialah
memperoleh informasi mengenai tingkah laku manusia. Karya-karya sastra, sejarah, dan
agama bisa memberikan informasi berharga mengenai tingkah laku manusia. Sasaran
kedua, psikologi kepribadian mendorong individu agar dapat hidup secara utuh dan
memuaskan, dan yang ketiga, sasarannya ialah agar individu mampu mengembangkan
21
segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui perubahan lingkungan
psikologis (Koswara sebagaimana dikutip dalam Minderop, 2013:8).
Fungsi psikologi kepribadian ialah pertama, fungsi deskriptif (menguraikan) dan
mengorganisasi tingkah laku manusia atau kejadian-kejadian yang dialami individu
secara sistematis. Fungsi kedua, ialah fungsi prediktif. Ilmu ini juga harus mampu
meramalkan tingkah laku, kejadian, atau akibat yang belum muncul pada diri individu.
Dalam psikologi terdapat tiga aliran pemikiran (revolusi yang memengaruhi pemikiran
personologis modern) seperti yang diungkapkan Koswara sebagaimana dikutip dalam
Minderop (2013:9) yaitu :
a. Psikoanalisis yang menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri
dan konflik-konflik struktur kepribadian. Konflik-konflik struktur kepribadian
ialah konflik yang timbul dari pergumulan antara id, ego, dan superego.
b. Behaviorisme mencirikan manusia sebagai korban yang fleksibel, pasif, dan
penurut terhadap stimulus lingkungan.
c. Psikologi humanistis, adalah sebuah “gerakan” yang muncul, yang
menampilkan manusia yang berbeda dari gambaran psikoanalisis dan
behaviorisme. Di sini, manusia digambarkan sebagai mahkluk yang bebas dan
bermartabat serta selalu bergerak kearah pengungkapan segenap potensi yang
dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan.
22
2.2.3 Psikologi Humanistis Erich Fromm
Psikologi humanistis adalah pendekatan yang menekan kehendak bebas,
pertumbuhan pribadi, kegembiraan, kemampuan untuk pulih kembali setelah mengalami
ketidakbahagiaan, serta keberhasilan dalam merealisasikan potensi manusia. Psikologi
humanistis yang berdasarkan pada keyakinan bahwa nilai-nilai etika merupakan daya
psikologi yang kuat dan ia merupakan penentu asas kelakuan manusia. Keyakinan ini
membawa kepada usaha meningkatkan kualitas manusia seperti pilihan, kreativitas,
interaksi fisik, mental dan jiwa, dan keperluan untuk menjadi lebih bebas. Psikologi
humanistis juga didefinisikan sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan nilai,
sifat, dan tindak tanduk yang dipercayai terbaik bagi manusia (Misiak & Sexton, 2005).
Psikologi humanistis dapat dimengerti dari tiga ciri utama berikut ini: pertama,
psikologi humanistis menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk
memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, psikologi humanistis menawarkan
pengetahuan yang luas akan kaidah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia.
Ketiga, psikologi humanistis menawarkan metode yang lebih luas akan kaidah-kaidah
yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi.
Teori psikologi humanistis Erich Fromm berasumsi bahwa kepribadian individu
dapat dimengerti hanya dengan memahami sejarah manusia yang mengenai keadaan atau
keberadaan manusia yang tidak memiliki insting yang kuat untuk beradaptasi dengan
dunia yang berubah, melainkan telah memperoleh kemampuan bernalar yang disebut
sebagai dilema manusia. Manusia mengalami dilema tersebut karena telah terpisah
dengan alam, namun memiliki kemampuan untuk menyadari bahwa diri mereka telah
menjadi mahkluk yang terasing (Feist & Feist, 2010:228).
23
Fromm menetapkan dalam bukunya yang berjudul The Sane Society bahwa
psikologi humanistis dapat dianggap sebagai landasan dari buku tersebut, pada pokok
pikiran yang pertama tentang definisi sifat manusia adalah dimulai dari “the human
situation” atau “situasi manusia” dan bukan hanya anugerah biologis manusia. Inilah
perbedaan yang paling penting dari Freud, yang dianggap sebagai picik pada abad ke-19,
namun Fromm mengakui keberadaan gerakan biologis, meskipun ia mendefinisikan
konten yang agak berbeda dari Freud, tapi melihat “kondisi manusia” yang dibangun oleh
ketegangan antara alam dan karakteristik kesadaran diri, akal dan imajinasi. Bagi Freud,
kontradiksi terletak pada kondisi hati manusia yaitu antara kebutuhan individu dan
tuntutan budaya, sebaliknya Fromm menggantikannya dengan “kesadaran diri, akal dan
imajinasi” yang tidak terlihat sebagai produk budaya, tetapi disajikan sebagai dasar teori
dari pada kenyataan yang sebenarnya. Rekonsiliasi dari konflik tersebut adalah inti dari
“the human situation” seperti yang dijelaskan Fromm (2008:24) pada kutipan berikut ini:
“The problem of man’s existence, then, is unique in the whole of nature; he has
fallen out of nature, as it were, and is still in it; he is partly divine, partly animal;
partly infinite, partly finite. The necessity to find ever-new solutions for the
contradictions in his existence, to find ever-higher forms of unity with nature, his
fellowmen and himself, is the source of all psychic forces which motivate man, of
all his passions, affects and anxieties”.
“Masalah keberadaan manusia, dengan demikian bersifat unik; ia telah jatuh dari
alam, namun masih ada di dalamnya, dia sebagian ilahi, sebagian hewan, sebagian
tak terbatas, sebagian terbatas. Inilah kebutuhan untuk menemukan solusi yang
selalu baru untuk kontradiksi keberadaan manusia, untuk menemukan bentuk
kesatuan dengan alam yang semakin tinggi, dengan sesama dan dirinya sendiri
adalah sumber dari semua kekuatan psikis yang memotivasi manusia, semua
gairah, perasaan dan kecemasannya”.
Dalam Hall & Lindzey (1993:256) dijelaskan bahwa tema dasar dari semua
tulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia dipisahkan
dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies
24
binatang, itu adalah situasi khas manusia. Anak, misalnya, bebas dari ikatan-ikatan
primer dengan orangtuanya, tetapi dengan akibat bahwa ia merasa terisolasi dan tak
berdaya, budak belian pada akhirnya memperoleh kebebasannya hanya untuk terkatung-
katung dalam suatu dunia yang sama sekali asing. Sebagai seorang budak belian, ia
adalah milik seseorang dan memiliki perasaan berhubungan dengan dunia dan orang-
orang lain, meskipun ia tidak bebas.
Fromm seperti dikutip dalam Feist & Feist (2010: 224) juga menyatakan bahwa
manusia pada masa modern ini telah terpisah dari kesatuan prasejarah mereka dengan
alam dan juga dengan satu sama lain, namun mereka memiliki kekuatan akal, antisipasi
dan imajinasi. Paduan akan kurangnya insting kebinatangan dan adanya pikiran rasional
menjadikan manusia sebagai suatu keganjilan dalam alam semesta. Kesadaran diri turut
ambil bagian dalam adanya perasaan kesendirian, isolasi, dan kehilangan tempat
berpulang. Untuk melarikan diri dari perasaan-perasaan ini, manusia berusaha untuk
kembali dengan alam dan sesama manusia lain. Psikologi humanistis berasumsi bahwa
terpisahnya manusia dengan dunia alam menghasilkan perasaan kesendirian dan isolasi,
kondisi yang disebut sebagai kecemasan dasar (basic anxiety).
Ketika manusia muncul sebagai spesies yang terpisah dari evolusi binatang,
mereka kehilangan sebagian besar insting kebinatangannya, namun mendapat
peningkatan dalam perkembangan otak yang membuat mereka memiliki realisasi diri,
imajinasi, perencanaan, dan keraguan. Paduan antara lemahnya insting kebinatangan dan
otak yang sangat berkembang inilah yang membedakan manusia dengan semua binatang
lain. Kejadian yang lebih baru dalam sejarah manusia adalah bangkitnya kapitalisme
yang telah berkontribusi dalam waktu luang dan kebebasan pribadi. Hal ini menghasilkan
25
perasaan cemas, isolasi dan ketidakberdayaan, dimana harga kebebasan telah melampaui
manfaatnya. Isolasi yang dihasilkan oleh kapitalisme sudah tidak dapat lagi diterima,
meninggalkan manusia dengan dua pilihan: (1) melarikan diri dari kebebasan menuju
ketergantungan interpersonal atau bergerak menuju realisasi diri melalui cinta dan kerja
yang produktif (Feist & Feist, 2010:225).
Manusia yang telah terpisah dari alam, namun tetap menjadi bagian dari alam
semesta, subjek bagi batasan-batasan fisik sebagai hewan lain. Sebagai salah satu hewan
yang memiliki kesadaran diri, imajinasi, dan akal pikiran adalah suatu keganjilan dalam
alam semesta. Akal pikiran bertanggung jawab atas timbulnya perasaan keterasingan dan
kesendirian, namun juga merupakan proses membiarkan manusia bersatu dengan dunia.
Mereka terkurung peran yang diberikan oleh masyarakat, peran yang menyediakan rasa
aman, tempat bergantung dan kepastian. Kemudian, setelah mereka mendapatkan
kebebasan untuk bergerak secara sosial dan geografis, mereka paham bahwa mereka
bebas dari rasa aman pada tempat tertentu didunia namun beban kebebasan tersebut
menciptakan kecemasan dasar (Feist & Feist, 2010:235).
Kecemasan dasar menghasilkan rasa keterasingan dan kesendirian yang
menakutkan, maka manusia berusaha untuk lari dari kebebasan melalui berbagai macam
mekanisme pelarian seperti: authoritarianisme, sifat merusak dan konformitas. Dalam
penelitian tersebut, peneliti hanya menggunakan satu mekanisme pelarian yaitu
authoritarianisme karena dapat mendorong atau memberi kekuatan bagi manusia dan
sangat relevan untuk menganalisis roman Sans Famille karya Hector Malot. Namun,
setelah manusia kabur dari kebebasan dan mendapatkan kekuatan yang tidak dimilikinya
26
melalui mekanisme pelarian, mereka masih butuh untuk menemukan jawaban atas
keberadaannya yaitu melalui kebebasan positif.
2.2.3.1. Authoritarianisme
Istilah authoritarianisme berasal dari bahasa Inggris yaitu authoritarian. Kata
authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya turunan dari
bahasa Latin yaitu auctoritas. Kata tersebut berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.
Dengan otoritas tersebut orang dapat mempengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan
perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok. Authoritarianisme merupakan
paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan, yang meliputi cara hidup
dan bertindak.
Istilah authoritarianisme digunakan untuk menggambarkan bentuk organisasi
sosial atau keadaan yang memaksa dengan kuat dan kadang-kadang dengan tindakan
yang berlawanan terhadap penduduk. Misalnya, dalam sebuah negara otoriter, para warga
dikenakan wewenang negara dalam segala aspek kehidupan mereka. Authoritarianisme
juga ditandai dengan tunduk pada otoritas kesenangan akan menyelesaikan kepatuhan
atau tunduk kepada otoritas yang bertentangan dengan kebebasan individu dan
demokrasi. Dalam www.PsychWiki.com/Authoritarianism, Stenner (2009) menjelaskan
seperti kutipan berikut ini:
“Authoritarianism is an enduring predisposition across all political and social
affairs, which favors conformity and obedience (sameness and oneness) over
freedom and difference”.
“Authoritarianisme adalah suatu kecenderungan kronis yang berlaku untuk semua
urusan politik maupun sosial, yang menyerupai kesesuaian dan ketaatan
(kesamaan dan kesatuan) yang lebih dari kebebasan dan perbedaan”.
27
Fromm (1941:141) dalam bukunya Escape from Freedom memperkuat
pernyataan tersebut bahwa:
“Authoritarianism is the tendency to give up the independence of one’s own
individual self and to fuse one’s self with somebody or something outside oneself
in order to acquire the strength which the individual self is lacking”.
“Authoritarianisme adalah kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian
seseorang secara individu dan meleburkannya dengan seseorang atau sesuatu
diluar dirinya demi mendapatkan kekuatan yang tidak dimilikinya” (Feist & Feist,
2010:235).
Dengan kata lain, authoritarianisme adalah mencari sesuatu yang baru, “pertalian
kedua” sebagai pengganti pertalian pertama yang telah hilang. Kebutuhan untuk bersatu
dengan mitra yang kuat tersebut dapat berupa dua hal yaitu masokisme dan sadisme.
Masokisme timbul dari rasa ketidakberdayaan, lemah serta rendah diri dan bertujuan
untuk menggabungkan diri dengan orang atau institusi yang lebih kuat. Usaha masokis
tersebut sering berkedok cinta atau kesetiaan tersembunyi. Sedangkan sadisme bertujuan
mengurangi kecemasan dasar dengan mencapai kesatuan dengan satu orang atau lebih
(Feist & Feist, 2010:236).
2.2.3.2. Kebebasan Positif
Dalam teori Fromm ada tiga tahap kebebasan yaitu “pre- freedom” atau “pra-
kebebasan”, “negative freedom” atau “kebebasan negatif” dan “positive freedom” atau
kebebasan positif. Pada tahap pra-kebebasan seseorang sadar bahwa dirinya hanyalah
sebagai anggota masyarakat, ras, kelompok, lembaga, dan lain sebagainya. Dalam hal ini,
seseorang bertindak bukan berdasarkan realisasi diri, identifikasi diri, dan sebagainya.
Dengan kata lain, seseorang itu masih terkait dengan dunia dalam ikatan primer. Dia
belum memahami dirinya sendiri sebagai individu kecuali melalui media atau peran
28
sosialnya. Sebagaimana dikutip dari My Intellectual Path yang diungkapkan oleh Berlin
(2002:10) berikut ini:
“I do this not because it is good or right, or because I like it, but because I am a
German and this is German way to live”
“Saya melakukan ini bukan karena baik atau benar, atau karena saya
menyukainya, tetapi karena saya adalah orang Jerman dan beginilah cara hidup
orang Jerman”
Kemudian pada tahap kebebasan negatif, Fromm (1984:89) menjelaskan seperti
kutipan tersebut:
“It showed that freedom from the traditional bonds of medieval society, though
giving the individual a new feeling of independence, at the same time made him
feel alone and isolated, filled him with doubt and anxiety, and drove him into new
submission and into a compulsive and irrational activity”
“Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan dari ikatan masyarakat abad pertengahan,
meskipun memberikan individu perasaan baru dari kemerdekaan, pada saat yang
sama membuatnya merasa sendirian dan terisolasi, dipenuhi dengan keraguan dan
kecemasan, dan membawanya ke dalam kepatuhan yang baru dan paksaan dan
aktivitas yang tidak logis”.
Fromm percaya bahwa manusia bebas dalam tahap tersebut, tapi kebebasan ini
tidak memuaskan karena orang menyerah pada keamanan pada tahap pra-kebebasan;
dengan kata lain, manusia akan kehilangan keamanan ketika dia menikmatinya, dari
perasaan tak diragukan memilikinya, dan dia terlepas dari dunia yang memuaskannya
mencari keamanan, baik secara material maupun spiritual.
Fokus utama dalam “kebebasan positif” untuk mempelajari realisasi kebebasan
dalam bentuk yang realistis dan ilmiah. Kebebasan positif mengacu pada tahap proses
tumbuhnya kebebasan, seperti yang diungkapkan Fromm dalam bukunya The Fear of
Freedom (1894: 222) bahwa:
“The process of growing freedom does not constitute a vicious cycle, and that
man can be free and yet not alone, critical and yet not filled with doubts,
29
independent and yet an integral part of mankind. This freedom man can attain by
the realization of his self, by being himself”.
“Proses bertumbuh dari kebebasan bukan merupakan sebuah siklus kejam, dan
manusia itu dapat bebas dan bukan sendirian, kritis dan tidak dipenuhi oleh
keragu-raguan, bebas dan masih perlu untuk melengkapi bagian umat manusia.
Kebebasan manusia ini dapat dicapai dengan realisasi dirinya, menjadi dirinya
sendiri”.
Berkaitan dengan kutipan tersebut, realisasi diri dan pengenalan diri adalah
prasyarat untuk kebebasan positif, tetapi tidak cukup dari diri mereka. Seperti yang
diungkapkan Fromm (1984:720) berikut ini:
“Positive freedom is identical with full realization of the individual’s
potentialities, together with his ability to live actively and spontaneously”.
“Kebebasan positif adalah kesesuaian antara kemauan seseorang atau diri yang
sebenarnya dan melakukan kemampuan mereka yang penuh kapasitas”.
Pernyataan-pernyataan kebebasan positif tersebut menunjuk pada kekuatan diri
individu dan bukan pada kekuatan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kebebasan positif
menyatakan secara tidak langsung bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari diri manusia.
Dalam Freedom: The Courage to be Yourself, (Insights for a New Way of Living), Osho
(2007:5) menyatakan seperti berikut ini:
“It has been said that the individual is only a part of the collective; that is not
true. The individual is not just a part of the collective; the collective is only a
symbolic word for individuals meeting together. They remain organically
independent; they don’t become parts of a collective”.
“Telah dikatakan bahwa individu hanyalah bagian dari kolektif, itu tidak benar.
Individu bukan hanya bagian dari kolektif, kolektif hanyalah sebuah kata simbolis
untuk orang-orang yang bertemu bersama. Mereka bukanlah bagian dari sesuatu,
mereka tetap bebas. Mereka secara organis tetap bebas; mereka bukan menjadi
bagian kolektif”.
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami dengan baik bahwa tidak seorang
pun dapat memberi kebebasan positif kepada orang dan tidak seorang pun dapat
mengambilnya dari mereka. Dan Osho (2007:5) menambahkan bahwa:
30
“A sword can cut your head but it cannot cut your freedom, your being. It is
another way of saying that you are centered, rooted in your natural, existential
self. It has nothing to do with outside”.
“Sebuah pedang dapat memotong kepalamu tetapi itu tidak dapat menghentikan
kebebasanmu, keberadaanmu. Dengan cara lain dikatakan bahwa kamu adalah
pusat, sumber dari kebiasaanmu, eksistensial diri. Tidak ada yang dilakukan
diluar itu”.
Fromm seperti yang dikutip dari Feist & Feist (2010:237) memperkuat pernyataan
tersebut bahwa kebebasan positif adalah bebas dan tidak sendiri, kritis namun tidak
dipenuhi keraguan, namun tetap menjadi bagian umat manusia. Manusia dapat mencapai
kebebasan tersebut dengan pengungkapan penuh dan spontan dari potensi rasional
maupun emosionalnya. Dengan kebebasan positif dan aktivitas spontan, manusia dapat
mengatasi ketakutan akan kesendirian, mencapai kesatuan dengan dunia, dan
mempertahankan individualitas. Dan Fromm menegaskan bahwa cinta dan kerja yang
aktif adalah dua komponen kembar dari kebebasan positif. Melalui cinta dan kerja yang
aktif, manusia bersatu dunia dengan yang lainnya tanpa mengorbankan integritas mereka.
Mereka menegaskan keunikan mereka sebagai individu dan mencapai kesadaran penuh
akan potensi mereka.
Secara positif, Erich Fromm melihat cinta sebagai persoalan kemampuan yang
selalu mensyaratkan adanya kedewasaan dan upaya pengembangan totalitas kepribadian.
Cinta dipandang sebagai seni yang harus dimengerti dan diperjuangkan. Fromm
mengungkapkan bahwa cinta adalah jawaban atas problem eksistensi manusia. Problem
dalam hal ini adalah problem keterpisahan manusia yang timbul karena manusia
diciptakan Tuhan sebagai mahkluk yang memiliki akal budi, sebagai mahkluk yang sadar
akan dirinya sebagai individu yang terpisah dan hidup dalam ketidakpastian di dunia ini.
Dalam buku The Art of Loving, Fromm (1956:7) dijelaskan bahwa:
31
“Any theory of love must begin with a theory of man, of human existence. While
we find love, or rather, the equivalent of love, in animals, their attachments are
mainly a part of their instinctual equipment; only remnants of this instinctual
equipment can be seen operating in man. What is in essential in the existence of
man is the fact that he has emerged from the animal kingdom, from instinctive
adaption, that he has transcended nature – although he never leaves it; he is a
part of it – and yet once torn away from nature, he cannot return to it; once
thrown out of paradise – a state original oneness with nature – cherubim with
flaming swords block his way, if he should try to return. Man can only go forward
by developing his reason, by finding a new harmony, a human one, instead of the
prehuman harmony which is irretrievably lost”.
“Teori cinta harus dimulai dengan teori manusia, dari keberadaan manusia. Saat
kita menemukan cinta, atau lebih tepatnya, setara dengan cinta, pada hewan-
hewan, kasih sayang mereka sebagian besar bagian dari perlengkapan naluri
mereka; hanya sisa-sisa dari peralatan dari mereka dapat dilihat beroperasi pada
manusia. Apa yang penting dalam keberadaan manusia adalah fakta bahwa ia
telah timbul dari kerajaan hewan, dari pengurangan insting, bahwa ia telah
melebihi sifat dasar – meskipun ia tidak pernah meninggalkan itu; ia bagian
darinya – dan belum pernah lepas jauh dari alam, ia tidak dapat kembali ke sana;
setelah terlepas dari sorga – keadaan semula bersatu dengan alam, ia tidak bisa
kembali ke sana – kerub dengan pedang yang menyala memblokir jalannya.
Manusia hanya bisa maju terus berkembang dengan pertimbangan akal sehat,
menemukan keselarasan baru, manusia yang sama, bukannya keselarasan pra-
manusia yang hilang tidak dapat diperoleh lagi”.
Manusia sadar bahwa dirinya dilahirkan di luar kemauannya dan akan mati di luar
keinginannya. Mereka sadar akan kelemahannya menghadapi kekuatan-kekuatan alam
dan masyarakat. Hal-hal tersebut menjadi sumber kecemasan yang luar biasa sehingga
kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan keluar dari penjara kesendirian, serta
menjalin hubungan dengan manusia lain atau dunia luar menjadi kebutuhan terdalam
manusia. Fromm mengungkapkan bahwa cinta merupakan jawaban problem keberadaan
manusia. Cinta tersebut haruslah merupakan hubungan kesatuan dengan sesuatu atau
seseorang dalam kondisi saling tetap mempertahankan integritas dan invidualitas masing-
masing. Untuk dapat mempertahankan integritas dan individualitas, seseorang mesti
memiliki kedewasaan dalam mencintai.
32
Di samping itu, kita harus memahami cinta yang dewasa, pertama-tama perlu
dipahami bahwa cinta merupakan sebentuk “aktivitas” yang mensyaratkan adanya
kebebasan. Dalam mencintai, manusia haruslah menyadari objek motivasinya yang
berupa nafsu seperti rasa iri, cemburu, hasrat, dan segala bentuk ketamakan akan
membuat manusia berada dalam kondisi “dikendalikan”. Manusia harus membebaskan
diri dari hal-hal tersebut sehingga menjadi seorang yang aktif, dan menjadi tuan dari
kemauan-kemauannya sendiri. Fromm (1956:26) menjelaskan dalam bukunya seperti
kutipan berikut:
“If a woman told us that she loved flowers, and we saw that she forgot to water
them, we would not believe in her “love” for flowers. Love is the active concern
for the lie and the growth of that which we love. Where this active concern is
lacking, there is no love”.
“Jika seorang wanita menceritakan pada kita bahwa dia menyukai bunga, dan kita
melihat bahwa dia lupa menyiraminya, kita tidak akan percaya cintanya pada
bunga-bunga. Cinta adalah perhatian yang aktif pada kebohongan dan bertumbuh
dari yang kita cintai. Jika perhatian aktif berkurang, tidak ada cinta”
Karakter dari cinta yang aktif adalah bahwa pertama-tama cinta adalah persoalan
memberi, bukan menerima. Kemampuan mencintai sebagai tindakan memberi berarti
seseorang telah mampu mengatasi ketergantungan dan kuasa narsistiknya, sebentuk
keinginan untuk mengeksploitasi atau menimbun, sehingga tidak takut untuk memberikan
dirinya dan tidak takut untuk mencintai. Bagi orang yang produktif, tindakan adalah
ekpresi tertinggi dari potensi yang ada di dalam diri mereka. Memberi telah menjadi
tindakan yang lebih memuaskan dan lebih menggembirakan dari pada menerima dan
mencintai juga sesuatu yang lebih penting dari pada dicintai (Fromm, 1956:22).
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai Pendekatan Penelitian, Data dan Sumber
Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, dan Teknik Pemaparan Hasil
Analisis Data.
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologis.
Wellek & Warren (dalam Ratna, 2008:61) menunjukkan bahwa ada empat model
pendekatan psikologis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan
pembaca. Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan
tiga gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan
bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya
sastra.
Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra
karena adanya beberapa kelebihan seperti: pertama, pentingnya psikologi sastra untuk
mengkaji lebih dalam aspek perwatakan; kedua, dengan pendekatan ini dapat memberi
umpan-balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang dikembangkan, dan
terakhir, penelitian semacam ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang
kental dengan masalah-masalah psikologis (sebagaimana dikutip Endraswara dalam
Minderop, 2013:2).
Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan
yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis
34
psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan
hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak
langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat
memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi
dalam masyarakat, khususnya kaitannya dengan psike (Ratna, 2008:342).
Dengan demikian, Psikologi Humanistis yang berpayungkan teori Psikologi
Sastra digunakan pada penelitian ini karena relevansinya yang tinggi terhadap
pengungkapan fenomena-fenomena psikologis pada tokoh utama dalam roman Sans
Famille karya Hector Malot.
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif
adalah sebuah data yang dinyatakan dalam bentuk dan bukan angka misalnya jenis
pekerjaan, gender, dan sebagainya. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan
dilibatkan pengarang, lingkungan sosial di mana pengarang berada, termasuk unsur-
unsur kebudayaan pada umumnya (Ratna, 2008:47). Data penelitian bukan gejala sosial
sebagai bentuk substantif, melainkan makna-makna yang terkandung di balik tindakan,
yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Data kualitatif tersebut dianggap
persis sama dengan data hasil dari pemahaman peneliti.
Siswantoro (2010:140) menyatakan bahwa dari cara memperoleh data dibagi
menjadi dua, yaitu data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sumber
35
data utama. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dalam penelitian.
Sumber data primer dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
a. Roman Sans Famille karya Hector Malot yang diterbitkan pertama kali pada
tahun 1878.
b. Teori Psikologi Humanistis Erich Fromm yang berpayungkan teori Psikologi
Sastra.
Sedangkan data sekunder adalah sumber data kedua. Siswantoro (2010:140)
menyatakan bahwa data sekunder adalah data yang diperlukan untuk mendukung hasil
penelitian tersebut yang berasal dari literatur, artikel, jurnal, dan berbagai sumber yang
berhubungan dengan penelitian tersebut.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pustaka. Teknik pustaka adalah melakukan peninjauan kembali pustaka-pustaka yang
terkait (review of related literature) atau tentang masalah yang berkaitan, tidak selalu
harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi tetapi termasuk pula yang
seiring dan berkaitan (collateral). Sebagaimana yang diungkapkan Leedy (1997) bahwa
semakin banyak seorang peneliti mengetahui, mengenal dan memahami tentang
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (yang berkaitan erat dengan
topik penelitiannya), semakin dapat dipertanggungjawabkan cara meneliti permasalahan
yang dihadapi (http://expresisastra.blogspot.in /2013/10/ Teknik-Tata-Cara-Penulisan-
Tinjauan-Pustaka-Kajian-Teori.html di unduh 20/01/2016 pukul 12:00).
36
Pada tahap pengumpulan data tersebut, peneliti mengumpulkan dan menelaah
sumber data yang mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian untuk memperoleh data.
Data yang diperoleh kemudian digunakan dalam menganalisis objek penelitian yang
berupa buku yaitu roman Sans Famille karya Hector Malot. Setelah mengumpulkan data
melalui teknik pustaka, langkah selanjutnya adalah memasukkan data tersebut dalam
sebuah kartu data (Ratna, 2008:48).
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
isi. Isi dalam teknik analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi.
Isi laten adalah isi yang terkandung dalam naskah, sedangkan isi komunikasi adalah
pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi
sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi
sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen (Ratna, 2008 :48).
Dengan kata lain, isi komunikasi pada dasarnya mengimplikasikan isi laten, tetapi belum
tentu sebaliknya.
Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi
komunikasi akan menghasilkan makna. Dasar pelaksanaan teknik analisis isi adalah
penafsiran yang memberikan perhatian pada isi pesan. Teknik analisis tersebut dilakukan
dalam dokumen-dokumen yang padat isi di mana peneliti menekankan bagaimana
memaknakan isi komunikasi atau isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa
komunikasi (Ratna, 2008:49).
Langkah awal yang dilakukan peneliti adalah mencari fakta yang relevan pada
objek penelitian, kemudian hasil yang diperoleh dideskripsikan. Pada langkah
37
selanjutnya, peneliti menganalisis data-data yang ditemukan dengan memberi penjelasan-
penjelasan lebih lanjut, sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan.
3.5 Teknik Pemaparan Hasil Analisis Data
3.5.1 Analisis Isi Laten
Berikut teknik hasil analisis isi laten pada kutipan roman Sans Famille berupa
analisis tokoh
(1) Nomor data:1
(2) Sumber data: SF/70
(3) Korpus Data
Data
Tu as le cœur gros, continua Vitalis, je
comprends cela et ne t’en veux pas. Tu
peux pleurer librement, si tu en as envie.
Seulement tâche de sentir que ce n’est pas
pour ton malheur que je t’emmène. Que
serais-tu devenu ? Tu aurais été très
probablement à l’hospice. Les gens qui
t’ont élevé ne sont pas tes père et mère. Ta
maman, comme tu dis, a été bonne pour toi
et tu l’aimes, tu es désolé de la quitter, tout
cela c’est bien ; mais fais réflexion qu’elle
n’aurait pas pu te garder malgré son mari.
Ce mari, de son côté, n’est peut-être pas
aussi dur que tu le crois. Il n’a pas de quoi
vivre, il est estropié, il ne peut plus
travailler, et il calcule qu’il ne peut pas se
laisser mourir de faim pour te nourrir.
Comprends aujourd’hui, mon garçon, que
la vie est trop souvent une bataille dans
laquelle on ne fait pas ce qu’on veut.
Terjemahan
Hatimu sedih, lanjut Signor Vitalis, aku
mengerti dan tidak memnginginkanmu
seperti itu. Kamu bisa menangis sepuasnya,
jika kau mau. Tapi cobalah memahami
bahwa itu bukan untuk mencelakakanmu
yang aku katakan padamu. Apa yang akan
terjadi padamu? Kamu sangat mungkin
dikirim ke Panti Asuhan. Orang-orang yang
membesarkanmu itu bukan ayah dan
ibumu. Wanita itu, seperti yang kamu
katakan, sangat baik padamu dan kamu
menyayanginya, kamu menyesal
meninggalkannya, semua itu baik; tapi
setelah dipikir-pikir bahwa dia tidak dapat
menjagamu karena suaminya tidak
menginginkanmu. Laki-laki itu di
pihaknya, mungkin juga tidak bersikap
keras seperti yang kamu pikirkan. Dia
tidak punya apa-apa untuk hidup, dia sudah
cacat, dia tidak bisa bekerja lagi, dan dia
memperkirakan tidak dapat mencegah
kematian karena kelaparan kalau menjadi
orangtua angkatmu. Mengertilah sekarang,
anakku, bahwa hidup itu sering kali
berjuang dalam keadaan yang tidak
38
diinginkan.
Analisis Korpus Data
Rémi merupakan tokoh utama dalam roman Sans Famille karya Hector Malot. Ia adalah
seorang anak yang sebatang kara hidup di jalanan Paris dan menelusuri jalan-jalan utama
sambil menghibur orang-orang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan berat hati,
dia meninggalkan orang yang menjaganya dan merawatnya dari sejak kecil dan terpaksa
bergabung rombongan pertunjukan jalanan. Dia menelusuri jalan-jalan sambil mencari
uang. Dengan kata lain, Rémi berperan sebagai orang terasing, sendirian, atau tidak
berdaya yang membutuhkan seseorang atau sesuatu di luar dirinya sebagai tempat
perlindungannya maupun tempat mendapatkan keamanan. Sebagaimana dikutip dari Feist
& Feist, (2010:333) mengungkapkan bahwa kebutuhan akan keamanan (safety needs)
termasuk keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan dan kebebasan dari
kekuatan-kekuatan yang mengancam, seperti perang, penyakit, rasa takut, kecemasan dan
lain sebagainya (Feist & Feist, 2010:333).
Keterangan:
Bagian 1 berisi :Nomor urut kartu data
Bagian 2 berisi :Judul roman yaitu, Sans Famille
Bagian 3 berisi : Korpus data
Bagian 4 berisi : Analisis korpus data
39
3.5.2 Analisis Isi Komunikasi
Berikut teknik hasil analisis isi komunikasi dengan menggunakan teori psikologi
humanistis Erich Fromm, berupa analisis tokoh yang mengalami authoritarianisme dan
kebebasan positif.
(1) Nomor data:1
(2) Sumber data: SF/70
(3) Korpus Data
Data
Tu as le cœur gros, continua Vitalis, je
comprends cela et ne t’en veux pas. Tu
peux pleurer librement, si tu en as envie.
Seulement tâche de sentir que ce n’est pas
pour ton malheur que je t’emmène. Que
serais-tu devenu ? Tu aurais été très
probablement à l’hospice. Les gens qui
t’ont élevé ne sont pas tes père et mère. Ta
maman, comme tu dis, a été bonne pour toi
et tu l’aimes, tu es désolé de la quitter, tout
cela c’est bien ; mais fais réflexion qu’elle
n’aurait pas pu te garder malgré son mari.
Ce mari, de son côté, n’est peut-être pas
aussi dur que tu le crois. Il n’a pas de quoi
vivre, il est estropié, il ne peut plus
travailler, et il calcule qu’il ne peut pas se
laisser mourir de faim pour te nourrir.
Comprends aujourd’hui, mon garçon, que
la vie est trop souvent une bataille dans
laquelle on ne fait pas ce qu’on veut.
Terjemahan
Hatimu sedih, lanjut Signor Vitalis, aku
mengerti dan tidak memnginginkanmu
seperti itu. Kamu bisa menangis
sepuasnya, jika kau mau. Tapi cobalah
memahami bahwa itu bukan untuk
mencelakakanmu yang aku katakan
padamu. Apa yang akan terjadi padamu?
Kamu sangat mungkin dikirim ke Panti
Asuhan. Orang-orang yang
membesarkanmu itu bukan ayah dan
ibumu. Wanita itu, seperti yang kamu
katakan, sangat baik padamu dan kamu
menyayanginya, kamu menyesal
meninggalkannya, semua itu baik; tapi
setelah dipikir-pikir bahwa dia tidak dapat
menjagamu karena suaminya tidak
menginginkanmu. Laki-laki itu di
pihaknya, mungkin juga tidak bersikap
keras seperti yang kamu pikirkan. Dia
tidak punya apa-apa untuk hidup, dia sudah
cacat, dia tidak bisa bekerja lagi, dan dia
memperkirakan tidak dapat mencegah
kematian karena kelaparan kalau menjadi
orangtua angkatmu. Mengertilah
sekarang, anakku, bahwa hidup itu
sering kali berjuang dalam keadaan
yang tidak diinginkan.
40
Analisis Korpus Data
Kutipan roman tersebut menunjukkan sisi masokisme sebagai bagian dari
authoritarianisme. Dalam hal ini yang dimaksud dengan authoritarianisme adalah
kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian seseorang secara individu dan
meleburkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya demi mendapatkan
kekuatan yang tidak dimilikinya. Kebutuhan untuk bersatu dengan mitra yang kuat
tersebut dapat berupa masokisme. Masokisme adalah bagian dari dan juga merupakan
faktor penyebab munculnya authoritarianisme. Masokisme tersebut timbul dari rasa
ketidakberdayaan, lemah serta rendah diri dan bertujuan untuk menggabungkan diri
dengan orang atau institusi yang lebih kuat dan usaha tersebut sering terlihat sebagai
maksud tersembunyi dari cinta dan kesetiaan. Rémi berusaha mencari sesuatu yang baru,
“pertalian kedua” sebagai pengganti pertalian pertama yang telah hilang. Monsieur
Barberin menjual Rémi kepada Signor Vitalis karena tidak mampu lagi menghidupi
Rémi. Kemudian Rémi bergabung dengan rombongan pertunjukan Signor Vitalis, namun
tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ibu angkatnya
yang sangat disayanginya dan dia merasa sedih. Orang-orang yang merawat dan
membesarkannya sejak kecil, harus ditinggalkan demi kebaikan Rémi. Dia harus
mengembara melanjutkan kehidupan barunya bersama majikannya Signor Vitalis
meskipun dia tidak ingin hal itu terjadi. Di dunia nyata, terkadang kita tidak bisa
mempertahankan orang-orang yang menyayangi kita dan selalu memberi kenyamanan
serta semangat di setiap hari-hari yang kita lewati. Meskipun hal itu bukanlah bagian dari
41
keinginan kita, tapi kita harus rela melepaskannya. Demikian juga tokoh Rémi, dia harus
berjuang untuk tetap bertahan bersama ibu angkatnya tapi ayah angkatnya tidak
menginginkannya. Akhirnya, dia harus pergi meninggalkan orang-orang yang
disayanginya dan tindakan tersebut merupakan keputusan yang tepat untuk bergabung
dan ikut dengan Signor Vitalis.
42
BAB. IV
AUTHORITARIANISME DAN KEBEBASAN POSITIF
TOKOH UTAMA DALAM ROMAN SANS FAMILLE
KARYA HECTOR MALOT
4.1. Authoritarianisme
Bagian pertama yang akan dibahas adalah authoritarianisme pada tokoh utama
dalam roman Sans Famille. Dalam hal ini yang dimaksud dengan authoritarianisme
adalah paham atau pendirian tokoh utama yang berpegang pada otoritas, kekuasaan
seseorang atau kelompok, yang meliputi cara hidup dan bertindak. Authoritarianisme
merupakan kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian seseorang secara individu
dan meleburkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya demi mendapatkan
kekuatan yang tidak dimilikinya.
Suatu hari, Monsieur Barberin mengalami kecelakaan di tambang sehingga dia
harus beristirahat dan kembali ke rumahnya. Kemudian, dia menemukan Rémi masih
berada di rumahnya padahal dia sudah berpesan pada istrinya agar mengirimkan Rémi ke
panti asuhan tapi istrinya tidak mengindahkannya. Lalu, Monsieur Barberin pun marah
karena tidak menginginkan Rémi lagi berada di rumahnya dan Rémi merasa takut kalau
dia akan dikirim ke panti asuhan. Perhatikan kutipan berikut:
(1)
SF/34-35
“Il y avait au village deux enfants qu’on appelait «les enfants de l’hospice », ils
avaient une plaque de plomb au cou avec un numéro; ils étaient mal habillés et
sales ; on se moquait d’eux ; on les battait. Les autres enfants avaient la
43
méchanceté de les poursuivre souvent comme on poursuit un chien perdu pour
s’amuser, et aussi parce qu’un chien perdu n’a personne pour le défendre.
Ah ! je ne voulais pas être comme ces enfants ; je ne voulais pas avoir un
numéro au cou, je ne voulais pas qu’on courut après moi en criant : « à
l’hospice ! à l’hospice !»
Cette pensée seule me donnait froid et me faisait claquer les dents.”
a. Isi Laten
Di desa itu ada dua anak yang disebut « anak-anak panti » ; mereka mempunyai
plat yang diikat di leher dengan nomor, mereka berpakaian buruk dan jorok, orang selalu
mengejek mereka, memukulinya. Anak-anak yang lain jahat sering mengejarnya seperti
anjing yang hilang untuk bersenang-senang, dan juga seekor anjing yang kesasar yang
tidak mempunyai majikan untuk mempertahankan dirinya. Ah ! aku tidak ingin seperti
anak-anak itu ; aku tidak ingin mempunyai nomor leher, aku tidak ingin orang
berlari mendekatiku sambil berteriak : «anak panti ! anak panti ! » Itulah yang
kupikirkan sendiri yang membuatku kedinginan dan membuatku menggertakkan
gigi.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas menunjukkan authoritarianisme pada tokoh utama yaitu tokoh
Rémi mengkhawatirkan hidupnya jika dia akan dikirim oleh orangtua angkatnya ke panti
asuhan. Dia sudah tahu bagaimana keadaan anak-anak panti di desa itu. Mereka sering
diejek, dipukuli, dan dikejar-kejar anak-anak yang lain seperti anjing hilang yang tidak
memiliki majikan. Rémi berpikir bahwa dia juga akan mengalami hal yang seperti itu
seandainya dia dikirim ke panti asuhan.
Rémi merasa bahwa dia akan menjadi seperti orang-orang yang tidak
diperhitungkan misalnya seperti orang gila atau pengemis yang sering diperlakukan orang
yang tidak punya hati sebagai bahan permainan untuk bersenang-senang. Di samping itu,
orang yang tidak diperhitungkan tersebut juga kebanyakan tidak memiliki keluarga,
44
rumah atau sesuatu maupun seseorang yang akan dijadikan sebagai tempat mendapatkan
perlindungan. Dia tidak tahu ke mana arah dan tujuan yang akan dicari agar menemukan
tempat perlindungan sebagai sumber rasa aman untuk mempertahankan dirinya.
Kemudian, Rémi berusaha mencari sesuatu yang baru, “pertalian kedua” sebagai
pengganti pertalian pertama yang telah hilang. Pertalian kedua sebagai pertalian pertama
yang telah hilang dalam hal ini adalah sesuatu atau seseorang yang dijadikan sebagai
tempat perlindungan atau tempat mendapatkan rasa aman atau dengan kata lain sebagai
wali atau majikan. Monsieur Barberin menjual Rémi kepada Signor Vitalis karena tidak
mampu lagi menghidupi Rémi. Kemudian Rémi bergabung dengan rombongan
pertunjukan Signor Vitalis, namun tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan
selamat tinggal kepada ibu angkatnya dan dia merasa sedih. Perhatikan kutipan berikut :
(2)
SF/70 “- Tu as le cœur gros, continua Vitalis, je comprends cela et ne t’en veux pas. Tu
peux pleurer librement, si tu en as envie. Seulement tâche de sentir que ce n’est
pas pour ton malheur que je t’emmène. Que serais-tu devenu ? Tu aurais été très
probablement à l’hospice. Les gens qui t’ont élevé ne sont pas tes père et mère.
Ta maman, comme tu dis, a été bonne pour toi et tu l’aimes, tu es désolé de la
quitter, tout cela c’est bien ; mais fais réflexion qu’elle n’aurait pas pu te garder
malgré son mari. Ce mari, de son côté, n’est peut-être pas aussi dur que tu le
crois. Il n’a pas de quoi vivre, il est estropié, il ne peut plus travailler, et il
calcule qu’il ne peut pas se laisser mourir de faim pour te nourrir. Comprends
aujourd’hui, mon garçon, que la vie est trop souvent une bataille dans laquelle
on ne fait pas ce qu’on veut.”
a. Isi Laten
Hatimu sedih, lanjut Signor Vitalis, aku mengerti dan tidak menginginkanmu
seperti itu. Kamu bisa menangis sepuasnya, jika kamu mau. Hanya berusahalah
merasakan bahwa itu bukan untuk mencelakakanmu ketika aku mengajakmu
pergi. Apa yang akan terjadi padamu? Kamu sangat mungkin dikirim ke Panti Asuhan.
Orang-orang yang membesarkanmu itu bukan ayah dan ibumu. Wanita itu, seperti yang
45
kamu katakan, sangat baik padamu dan kamu menyayanginya, kamu menyesal
meninggalkannya, semua itu baik; tapi setelah dipikir-pikir bahwa dia tidak dapat
menjagamu karena suaminya tidak menginginkanmu. Laki-laki itu di pihaknya, mungkin
juga tidak bersikap keras seperti yang kamu pikirkan. Dia tidak punya apa-apa untuk
hidup, dia sudah cacat dan, dia tidak bisa bekerja lagi, dan dia memperkirakan tidak dapat
mencegah kematian karena kelaparan kalau menjadi orangtua angkatmu. Mengertilah
sekarang, anakku, bahwa hidup itu sering kali berjuang dalam keadaan yang tidak
diinginkan.
b. Isi Komunikasi
Kutipan roman di atas adalah authoritarianisme tokoh utama yaitu Rémi yang
merasa sedih dan tak sanggup untuk meninggalkan Mére Barberin ibu angkatnya yang
sangat disayangi dan terpaksa bergabung dengan rombongan pertunjukan jalanan. Orang-
orang yang merawat dan membesarkan Rémi sejak kecil, harus ditinggalkan demi
kebaikan Rémi. Di dunia nyata, terkadang kita tidak bisa mempertahankan orang-orang
yang menyanyangi kita dan yang selalu memberi kenyamanan serta semangat di setiap
hari-hari yang kita lewati. Meskipun hal itu bukanlah bagian dari keinginan kita, tapi kita
harus rela melepaskannya. Demikian juga dengan tokoh Rémi, dia harus berjuang untuk
tetap bertahan bersama ibu angkatnya tapi ayah angkatnya tidak menginginkannya.
Akhirnya, dia harus pergi meninggalkan orang-orang yang sangat disayanginya dan
tindakan tersebut merupakan keputusan yang tepat untuk bergabung dan ikut dengan
Signor Vitalis.
Authoritarianisme tersebut juga ditandai dengan keadaan yang memaksa dengan
kuat dan tunduk pada otoritas kesenangan akan menyelesaikan kepatuhan atau tunduk
46
kepada otoritas yang bertentangan dengan kebebasan individu. Rémi sebagai seorang
pekerja bagi Signor Vitalis harus patuh padanya dan melakukan semua perintah
majikannya tersebut walaupun terkadang tidak suka untuk melakukannya. Perhatikan
kutipan berikut:
(3)
SF/201
“Il fallut de nouveau emboîter le pas derrière mon maître et, la bretelle de ma
harpe tendue sur mon épaule endolorie, cheminer le long des grandes routes,
par la pluie comme par le soleil, par la poussière comme par la boue.
Il fallut faire la bête sur les places publiques et rire ou pleurer pour amuser
l’honorable société.
La transition fut rude, car on s’habitue vite au bien-être et au bonheur”
a. Isi Laten
Harus kembali lagi berjalan mengikuti jejak majikanku, dan menyandang
harpaku yang membentang di atas bahuku yang terasa sakit, menempuh
perjalanan jauh dan berat di sepanjang jalan-jalan utama, dalam hujan seperti
dalam terik matahari, dalam debu seperti dalam lumpur. Harus berperan sebagai
orang bodoh di tempat umum dan tertawa atau menangis untuk menghibur
penonton yang terhormat. Perubahan itu sulit, karena aku sudah terbiasa dalam
kesejahteraan dan kebahagiaan.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Rémi harus kembali menempuh perjalanan
yang jauh melewati jalan-jalan besar dengan membawa harpanya yang berat dan
membuat bahunya sakit. Perjalanan hidup Rémi sangat memprihatinkan, di mana di
usianya yang masih muda harus mengembara bersama majikannya sambil menyandang
harpanya dalam hujan, terik matahari, debu dan lumpur. Sebenarnya, tidak layak di
lakukan seorang anak kecil seusianya menelusuri jalanan yang berat. Di samping itu,
Rémi terpaksa berperan sebagai orang bodoh, kadang tertawa, kadang menangis untuk
47
menghibur para penonton agar mereka mendapatkan uang. Rémi merasa kesulitan untuk
melakukannya karena Rémi pernah tinggal bersama orang lain yang hidup serba cukup
sebelum melanjutkan perjalanan lagi bersama majikannya tersebut.
4.1.1 Faktor Penyebab Authoritarianisme pada Tokoh Utama
Faktor munculnya authoritarianisme pada tokoh utama disebabkan oleh adanya
rasa ketidakberdayaan, lemah, rendah diri dan kecemasan dasar yang terdapat pada diri
tokoh utama tersebut sehingga ia berusaha keluar dari belenggu tersebut dengan
menggabungkan diri dengan seseorang atau kelompok maupun sesuatu diluar dirinya.
Faktor authoritarianisme terbagi menjadi dua bagian yaitu masokisme dan sadisme.
Masokisme timbul dari rasa ketidakberdayaan, lemah serta rendah diri dan bertujuan
menggabungkan diri dengan orang atau institusi yang lebih kuat dan usaha tersebut
merupakan maksud tersembunyi dari cinta dan kesetiaan. Sedangkan, sadisme bertujuan
untuk mengurangi kecemasan dasar dengan mencapai kesatuan dengan satu orang atau
lebih.
Berikut ini akan dibahas tentang masokisme yang terdapat pada tokoh utama.
Rémi merasa tidak mampu untuk mengikuti Signor Vitalis dan bergabung dengan
rombongan pertunjukan jalanan tapi harus tetap melakukan perjalanan yang jauh
walaupun sebelumnya Rémi tak pernah berjalan sejauh itu. Perthatikan kutipan berikut:
(4)
SF/72
“Me sauver! Je n’y pensais plus. Où aller d’ailleurs ? Chez qui?
Apres tout, ce grand et beau vieillard à barbe blanche n’était peut-être pas aussi
terrible que je l’avais cru d’abord ; et s’il était mon maître, peut-être ne serait-il
pas un maître impitoyable.
Longtemps nous cheminâmes au milieu de tristes solitudes, ne quittant les
landes que pour trouver des champs de brandes, et n’apercevant tout autour de
nous, aussi loin que le regard s’étendait, que quelques collines arrondies aux
sommets stériles.”
48
a. Isi Laten
Menyelamatkan diri ! Aku tidak memikirkannya sama sekali. Pergi ke
mana ? Ke tempat siapa? Kalau dipikir-pikir, orang besar tua yang tampan dan
berjenggot putih ini, mungkin juga tidak semenakutkan yang aku duga sebelumnya; dan
jika dia majikanku, mungkin dia bukan seorang majikan yang tak berperasaan.
Berlangsung lama kami menempuh perjalanan jauh ditengah sedih kesepian,
meninggalkan daratan itu untuk menemukan perladangan yang menarik perhatian,
dan semua tidak terlihat di sekeliling kami, juga jauh memandang bentangannya,
beberapa bukit yang membundar di puncak yang gersang.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Rémi merasa tak berdaya untuk
menempuh jalan yang sangat jauh karena fisiknya tidak kuat tapi dia tidak berpikir
bagaimana cara menyelamatkan dirinya. Rémi merasa sedih dan kesepian dalam
menempuh perjalanan yang jauh melalui bukit-bukit walaupun dia bersama dengan
Signor Vitalis dan rombongan pertunjukan jalanan. Dia belum pernah menempuh
perjalanan sejauh itu dan juga tidak dapat menolaknya atau menyelamatkan diri dari
kenyataan yang harus dihadapi ke depannya.
Setelah beberapa waktu berlalu, Signor Vitalis memutuskan untuk berpisah
dengan Rémi dan menitipkannya pada seorang padrone. Selama pengembaraan, Rémi
sudah sering bertemu para padrone yang suka memukuli anak-anak yang bekerja
padanya. Orang-orang itu sangat kejam, suka menyumpah-nyumpah dan biasanya
pemabuk. Hal itulah yang memenuhi pikiran Rémi, yang membuatnya khawatir
49
seandainya dia tinggal bersama salah satu dari para padrone tersebut. Perhatikan kutipan
berikut:
(5)
SF/256-257
“Dans nos courses à travers les villages et les villes, j’en avais rencontré
plusieurs, de ces padrones qui mènent les enfants qu’ils ont engagés de-ci de-là,
à coups de bâton.
Ils ne ressemblaient en rien à Vitalis, durs, injustes, exigeants, ivrognes, l’injure
et la grossièreté à la bouche, la main toujours levée.
Je pouvais tomber sur un de ces terribles patrons. Et puis, quand même le
hasard m’en donnerait un bon, c’était encore un changement.
Après ma nourrice, Vitalis.
Après Vitalis, un autre.
Est-ce que ce serait toujours ainsi ? Est-ce que je ne trouverais jamais personne
à aimer pour toujours ?
Peu à peu j’en étais venu à m’attacher à Vitalis comme à un père.
Je n’aurais donc jamais de père ;
Jamais de famille ;
Toujours seul au monde ;
Toujours perdu sur cette vaste terre, où je ne pouvais me fixer nulle part !”
a. Isi Laten
Dalam perjalanan kami menuju desa-desa atau kota-kota, aku sudah bertemu
beberapa dari para padrone yang menyuruh anak-anak bekerja ke sana-sini, dipukuli
dengan tongkat. Mereka tidak ada yang mirip pada Vitalis, keras, tidak adil, terlalu
menuntut, pemabuk, penghina dan kata-kata yang kasar di mulutnya, tangannya selalu
terangkat. Aku mungkin akan bertemu dengan salah satu dari para padrone yang
mengerikan itu. Dan, seandainya nasib memberikan padaku seorang tuan yang baik,
tetap saja ini suatu perubahan bagiku. Setelah ibu angkatku, Vitalis. Setelah Vitalis, orang
lain. Apakah akan begini selamanya? Apakah aku tidak akan pernah menemukan
seseorang yang kucintai selamanya? Sedikit demi sedikit aku sudah menyayangi
Vitalis seperti seorang ayah. Aku tidak pernah punya ayah lagi ; Tidak punya
50
keluarga ; Selamanya sendiri di dunia ; Selamanya tersesat di daratan yang luas, di
mana aku tidak mungkin bertempat tinggal tetap sama sekali.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas menggambarkan kecemasan Rémi seandainya dia harus berpisah
dengan majikannya. Dia hampir sudah dekat dengan Vitalis, menyayanginya seperti
seorang ayah bagi Rémi. Rémi khawatir jika harus bertemu dan tinggal bersama dengan
seorang padrone yang mengerikan tersebut. Seandainya, Rémi mendapatkan seorang tuan
yang baik tetap saja menjadi suatu perubahan baginya. Pertama-tama, Rémi tinggal
bersama ibu angkatnya yang sangat disayanginya namun dia harus pergi
meninggalkannya.
Kemudian, Rémi mengembara bersama Signor Vitalis, tapi dia juga akan berpisah
dengannya, dan kemungkinan akan tinggal bersama orang lain untuk sementara waktu
dan begitulah seterusnya. Hal tersebut yang membuat Rémi selalu bertanya-tanya dalam
hati. Dia mungkin menjadi orang yang terlantar seperti orang-orang yang tidak pernah
diperhitungkan di pinggiran jalan sebagaimana orang yang tidak mempunyai ayah lagi
untuk selamanya, keluarga pun tidak atau siapa pun yang dapat memberikan rasa aman
baginya. Dia akan hidup sendirian di dunia yang luas dan selamanya sebatang kara, hal
tersebutlah yang menjadi kecemasan terbesar dalam hidup Rémi.
Dalam pembahasan berikut ini juga akan dijelaskan tentang sadisme yang terdapat
pada tokoh utama dalam roman Sans Famille. Rémi tak mampu untuk mengikuti jejak
majikannya dan dia tidak berani meminta untuk berhenti atau beristirahat sementara.
Perhatikan kutipan berikut :
51
(6)
SF/73-74
“Je traînes les jambes et j’avais la plus grande peine à suivre mon maître.
Cependant je n’osais pas demander à m’arrêter.
- Ce sont tes sabots qui fatiguent, me dit-il ; à Ussel je t’achèterai des souliers.
- Ussel, c’est encore loin ?
- …. Et je te promets aussi une culotte de velours, une veste et un chapeau.
Cela va sécher tes larmes, j’espère, et te donner des jambes pour faire les six
lieues, qui nous restent. - Des souliers, des souliers à clous ! une culotte des velours ! une veste ! un
chapeau ! Ah ! si mère Barberin me voyait, comme elle serait contente,
comme elle serait fière de moi ! quel malheur qu’Ussel fût encore si loin !
Malgré des souliers et la culotte de velours qui étaient au bout de six lieues
qui nous restaient à faire, il me sembla que je ne pourrais pas marcher si
loin. Heureusement le temps vint à mon aide.”
a. Isi Laten
Aku menyeret-nyeret kakiku dan aku dengan susah payah sekali untuk
mengikuti majikanku. Tetapi aku tidak berani meminta izin untuk berhenti.
- Kelompen itu membuatmu lelah, katanya padaku; di Ussel aku akan membelikanmu
sepatu.
- Ussel, apakah masih jauh ?
- …. aku janji akan membelikanmu celana panjang beludru, rompi dan topi.
Mudah-mudahan itu bisa mengeringkan air matamu, aku berharap, dan
membuatmu semangat untuk menempuh enam mil berikutnya. Sepatu. Sepatu,
sepatu yang berpaku-paku ! celana panjang beludru ! rompi ! topi ! ah ! seandainya
ibu Barberin melihatku, dia pasti sangat bahagia, dia pasti sangat bangga padaku !
meskipun demikian dijanjikan sepatu dan celana panjang beludru di
penghujung jarak enam mil yang harus kami tempuh, kukira aku tidak dapat
berjalan begitu jauh. Untunglah hal itu bisa menolongku !
52
b. Isi Komunikasi
Dalam percakapan di atas ditunjukkan bahwa Rémi tidak berdaya untuk berjalan
jauh dan juga untuk mengikuti jejak majikannya. Di samping itu, Rémi tampak seperti
seorang pekerja yang patuh pada majikannya. Rémi melangkah dengan menyeret-nyeret
kakinya karena dia lelah berjalan jauh dan kelompen itu membuat Rémi semakin susah
untuk melangkah cepat mengikuti langkah majikannya. Kemudian, majikannya mencoba
menghiburnya agar Rémi berhenti menangis dan bersemangat kembali untuk menempuh
perjalanan jauh berikutnya. Kecemasan yang ada pada tokoh Rémi bisa berkurang berkat
majikannya yang peduli padanya dan Rémi pun bersemangat untuk menempuh perjalanan
jauh yang akan ditempuh sejauh enam mil berikutnya. Dengan mendengar perkataan
majikannya itu dapat mengurangi kesedihannya dan semua barang-barang yang
dijanjikan majikannya dapat membantu menenangkan Rémi saat itu dan membangkitkan
semangatnya untuk tetap melangkah melanjutkan perjalanan.
(7)
SF/77-78
“Pendant les derniers mois que j’avais vécu auprès de mère Barberin, je n’avais
certes pas été gâté ; cependant le changement me parut rude.
Ah ! Comme la soupe chaude, que mère Barberin nous faisait tous les soirs, m’eût
paru bonne, même sans beurre!
Comme le coin du feu m’eût été agréable ! comme je me serais glissé avec
bonheur dans mes draps, en remontant les couvertures jusqu’à mon nez !
Mais, hélas ! il ne pouvait être question ni de draps, ni de couvertures, et nous
devions nous trouver encore bien heureux d’avoir un lit de fougère.”
a. Isi Laten
Selama bulan-bulan terakhir aku tinggal dekat dengan mère Barberin, aku
tidak pernah manja; namun perubahan ini kelihatannya kasar bagiku. Ah ! Seperti
sup yang panas, mère Barberin membuatkan untuk kami setiap malam, menurutku
kelihatan bagus, bahkan tanpa mentega! Seperti di sudut perapian akan menyenangkan
bagiku ! Sebagaimana aku dengan senang hati akan menyelinap ke dalam sepraiku,
53
sambil menaikkan selimut hingga ke hidungku. Tapi, sayangnya ! dia tidak masalah
tidak ada seprai, selimut pun tidak, dan kami masih merasa senang memiliki tempat
tidur dari pakis.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas menggambarkan bahwa ketika Rémi masih tinggal bersama mère
Barberin, dia bukanlah anak yang manja. Tapi setelah meninggalkan mère Barberin dan
kemudian mengikuti Signor Vitalis, Rémi merasa perlakuan yang diterima dari
majikannya terlihat tidak pantas untuk anak kecil seperti Rémi saat itu. Perubahan yang
dialami sangat kasar baginya karena sudah terbiasa hidup dengan nyaman bersama ibu
angkatnya walau pun tidak dimanja. Meskipun demikian, dengan terpaksa dia harus
meninggalkan orang yang sangat disayanginya atau dengan kata lain dia harus keluar dari
zona nyamannya dan hidup merana. Di samping itu, Rémi harus menjalani hari-harinya
yang terkadang tidak mendapatkan apa-apa untuk dimakan. Ketika malam tiba, dia tidak
memiliki seprai atau selimut untuk menghangatkan tubuhnya saat tidur. Meskipun
demikian, Rémi masih bisa menikmati melewatkan malam harinya dengan tidur di atas
pakis dan dia merasa menemukan kesenangan tersendiri walaupun hanya dengan
memiliki tempat tidur pakis.
4.1.2 Dampak Authoritarianisme pada Tokoh Utama
Dampak authoritarianisme pada orang yang memiliki perasaan kesendirian,
keterasingan, maupun ketidakberdayaan akan berkontribusi secara positif pada diri
seseorang tersebut. Seseorang itu dapat keluar dari penjara perasaan kesendirian,
keterasingan dan ketidakberdayaannya dengan cara menggabungkan diri dengan
seseorang atau sesuatu di luar dirinya untuk mengurangi kecemasannya dan
54
mendapatkan kekuatan yang tidak dimilikinya. Selain itu, dampak authoritarianisme
tersebut juga bisa terlihat sebagai usaha tersembunyi dari bentuk cinta dan kesetiaan.
Dampak authoritarianisme tersebut terjadi pada tokoh Rémi, di mana dia dapat keluar
dari belenggu perasaan kesendirian, keterasingan dan ketidakberdayaannya. Perhatikan
kutipan roman berikut:
(8)
SF 81-82
“Mes souliers, les souliers promis par Vitalis, l’heure était venue de les
chausser. Où était la bienheureuse boutique qui allait me les fournir? Aussi le seul souvenir qui me reste d’Ussel est-il celui d’une boutique sombre et
enfumée située auprès des hal les. Il fallait descendre trois marches pour entrer,
et alors on se trouvait dans une grande salle, où la lumière du soleil n’avait
assurement jamais pénetre que le toit avait été posée sur la maison. Comment une
aussi belle chose que des souliers pouvait-elle se vendre dans un endroit aussi
affreux ! Cependant Vitalis savait ce qu’il faisait en venant dans cette boutique,
et bientôt j’eus le bonheur de chausser mes pieds dans des souliers ferrés qui
pesaient bien dix fois le poids de mes sabots. La générosité de mon maître ne
s’arrêta pas là ; après les souliers, il m’acheta une veste de velours bleu, un
pantalon de laine et un chapeau de feutre ; enfin tout ce qu’il m’avait promis.
Du velours pour moi, qui n’avais jamais porté que de la toile ; des souliers ; un
chapeau quand je n’avais eu que mes cheveux pour coiffure décidément c’était
le meilleur homme du monde, le plus généreux et le plus riche.”
a. Isi Laten
Sepatuku, sepatu yang dijanjikan oleh Vitalis, waktunya telah tiba untuk
mendapatkannya. Di mana toko yang bagus yang menyediakan sepatu itu untukku?
Sebagai satu-satunya kenangan yang tersisa di Ussel adalah sebuah toko gelap dan
berasap yang terletak di dekat pasar induk. Harus turun tiga anak tangga untuk masuk,
dan kemudian berada dalam sebuah ruangan yang besar, di mana sinar matahari tidak
pernah menembusnya dengan tentu sejak atap sudah di letakkan di atas rumah.
Bagaimana sebuah barang yang bagus jika sepatu itu dapat dijual dalam tempat
yang mengerikan! Meskipun Vitalis tahu apa yang dilakukan sambil datang ke dalam
55
toko itu, dan segera aku merasa senang menyepatui kakiku dengan sepatu besi yang
beratnya sepuluh kali berat dari kelompenku. Pemberian majikanku tidak berhenti
di sana, setelah sepatu, dia membelikanku jaket beludru warna biru, celana
panjang dari wol dan topi yang berbulu; akhirnya semua yang dijanjikan padaku.
Beludru untukku, yang belum pernah dipakai sebagai kain; sepatu; topi ketika aku
tidak punya rambut untuk tudung kepala; ini benar-benar pria terbaik di dunia
yang paling murah hati dan kaya.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas menggambarkan bahwa keadaan Rémi menjadi lebih baik setelah
mengikuti majikannya sampai di Ussel. Di sana, Rémi mendapatkan apa yang belum
pernah dimiliki sebelumnya, semua kebutuhan yang perlukan sudah terpenuhi untuk
kehidupan barunya bersama majikannya. Setelah tiba di Ussel, Rémi menunggu janji
majikannya untuk mendapatkan barang-barang yang telah dijanjikan oleh majikannya
karena dia sangat ingin untuk memilikinya. Rémi bertanya-tanya dalam hati karena
semua toko yang bagus sudah dilewati mereka. Dia berpikir kalau tokonya bagus pasti
akan menyediakan barang yang bagus juga.
Kemudian ada satu toko yang gelap dan berasap yang tersisa di Ussel, dan
ternyata toko tersebut menyediakan barang-barang yang dijanjikan oleh majikannya.
Rémi sangat senang walaupun semua barang-barang yang dijanjikan oleh majikannya
dibeli dari toko yang gelap tersebut. Terkadang sesuatu hal yang kelihatannya buruk di
luar belum tentu buruk juga di dalamnya. Demikian halnya dengan tokoh Rémi, dia
berpikir bahwa toko yang gelap akan menyediakan barang yang tidak bagus, tapi
sebaliknya dia mendapatkan barang yang bagus dari toko yang buruk. Dengan kata lain,
56
tempat yang mengerikan tidak selalu menyimpan hal-hal yang buruk tapi terkadang akan
mengeluarkan sesuatu yang luar biasa yang tak pernah terduga sebelumnya.
Suatu hari kemudian, Rémi harus mengembara sendiri karena majikannya dituduh
memukul polisi sehingga terpaksa masuk penjara. Dalam perjalanan, Rémi bertemu
dengan ibu Arthur yang sering dipanggil Mme Milligan. Lalu, Mme Milligan merasa
kasihan pada Rémi dan menawarkan untuk tinggal bersamanya agar ada yang menghibur
anaknya Arthur yang sakit-sakitan. Kemudian, setelah tiba waktunya bagi majikannya
untuk keluar dari penjara, Rémi ingin menemui majikannya dan dia pun pamit pada Mme
Milligan. Tapi, Mme Milligan dan putranya Arthur tidak mengijinkan Rémi pergi untuk
bertemu majikannya kembali. Meskipun demikian, Rémi tetap pergi dan menunjukkan
kesetiaannya pada majikannya. Perhatikan kutipan berikut:
(9)
SF/190-191
“Un jour enfin, je me décidai à en faire part à Mme Milligan en lui demandant
combien elle croyait qu’il me faudrait de temps pour retourner à Toulouse, car je
voulais me trouver devant la porte de la prison juste au moment où mon maître la
franchirait.
En entendant parler de départ, Arthur poussa les hauts cris:
« Je ne veux pas que Rémi parte ! » s’ecria-t-il.
Je répondis que je n’étais pas libre de ma personne, que j’appartenais à mon
maître, à qui mes parents m’avaient loué, et que je devais reprendre mon
service auprès de lui le jour où il aurait besoin de moi.”
a. Isi Laten
Suatu hari akhirnya, aku memutuskan untuk memberi tahu pada Mme Milligan
sambil bertanya berapa lama aku membutuhkan waktu untuk kembali ke Toulouse,
karena aku ingin berada di depan pintu penjara saat majikanku keluar. Mendengar kami
bicara tentang keberangkatan, Arthur menangis keras : « Aku tidak mau Rémi Pergi ! »
teriaknya.
57
Aku menjawab bahwa aku tidak diperbolehkan oleh seseorangku, aku milik
majikanku, orangtuaku menyewakanku, dan aku harus memulai pelayananku lagi
padanya kapanpun dia membutuhkanku.
b. Isi Komunikasi
Percakapan di atas menunjukkan bahwa tokoh Rémi merupakan sosok pelayan
yang setia pada majikannya. Meskipun hidupnya bersama Mme Miligan terbilang serba
berkecukupan tapi Rémi tidak peduli, dia tetap memilih pergi agar bisa bertemu kembali
dengan majikannya walaupun bersusah payah untuk mencari nafkah. Dalam percakapan
di atas sangat jelas diungkapkan bahwa Rémi tidak diperbolehkan tinggal bersama Mme
Milligan lagi dan dia harus kembali pada majikannya kapanpun majikannya
membutuhkannya. Kosakata tersebut menggambarkan kesediaan dan kesetiaan tokoh
Rémi sebagai seorang pelayan untuk majikannya.
Di samping itu, Rémi juga ingin menunjukkan bahwa dia sangat mencintai Mère
Barberin, ibu angkatnya yang selalu menjaganya dengan baik seperti anak kandungnya
sendiri. Rémi tetap setia walaupun dia sudah pergi jauh meninggalkan Mère Barberin.
Dia ingin memberikan kejutan untuk ibu angkatnya tersebut dengan membelikan seekor
sapi sebagai balasan kebaikan Mère Barberin yang telah dilakukan pada Rémi. Perhatikan
kutipan berikut:
(10)
SF/518-519
“ Va pour deux cent dix francs, dis-je, croyant tout fini.
Vous avez apporté un licou ? me dit le paysan ; je vends la vache, je ne vends pas
son licou. …
Il nous fallait un licou pour conduire notre vache ; j’abandonnai les trente sous,
calculant qu’il nous en resterait encore vingt.
Et lorsqu’ils furent payés, la vache nos fut enfin livrée avec son licou et sa
longe.
58
Nous avions une vache, mais nous n’avions plus un sou, pas un seul pour sa
nourriture et pour nous nourrir nous-mêmes.”
a. Isi Laten
Baiklah dua ratus franc, kataku, mengira urusannya sudah beres.
Apa kau membawa tali? tanya petani padaku, aku menjual sapiku tanpa ikat lehernya….
Kami membutuhkan tali untuk membawa sapi kami ; sisa uangku tinggal tiga belas
kuhitung-hitung dari dua puluh sou uang kami. Dan kemudian membayarnya,
akhirnya sapi kami diserahkan pada kami dengan tali dan ikat lehernya. Kami
sudah mempunyai sapi, tapi kami tidak memiliki sepeser pun untuk membeli
makanan untuk sapi dan untuk kami sendiri.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa telah berusaha dengan keras untuk membeli
seekor sapi walaupun akhirnya tidak memiliki uang lagi untuk membeli makanan mereka
demi sebuah kejutan ibu angkatnya. Rémi berpikir dengan membayar sapi tersebut
semuanya akan beres, tapi dia masih membutuhkan tali dan ikat leher yang harus dibayar
agar mereka bisa membawa sapi tersebut. Meski demikian, akhirnya mereka pun dapat
memiliki seekor sapi dari kerja kerasnya. Demi sebuah kejutan dan balasan kasih sayang
ibu angkatnya, Rémi rela membeli sapi tersebut walaupun dia akhirnya tidak memiliki
uang lagi untuk membeli makan.
4.2. Kebebasan Positif
Dalam pembahasan ini akan diperlihatkan tentang kebebasan positif yang terjadi
pada tokoh utama dalam roman Sans Famille. Kebebasan positif adalah suatu keadaan
ketika seseorang merasa bebas dan tidak terikat dengan orang lain. Selain itu, dia juga
kritis namun tidak dipenuhi keraguan, mandiri namun tetap menjadi bagian kesatuan
59
umat manusia. Manusia dapat mencapai kebebasan semacam itu dengan pengungkapan
spontan dari potensi rasional dan emosionalnya. Aktivitas spontan seringkali terjadi pada
anak-anak dan seniman yang memiliki kecenderungan atau sama sekali untuk
menyesuaikan diri dengan apapun yang orang lain ingin jadikan dari mereka.
Kebebasan positif merepresentasikan keberhasilan mencari solusi bagi dilema
manusia yang menjadi bagian dari dunia alam, namun juga terpisah darinya. Dengan
kebebasan positif dan aktivitas spontan, manusia dapat mengatasi ketakutan akan
kesendirian, mencapai kesatuan dengan dunia, dan mempertahankan individualitasnya.
Fromm menegaskan bahwa cinta dan kerja yang aktif adalah dua komponen kembar dari
kebebasan positif. Melalui cinta dan kerja yang aktif, manusia bersatu dunia dengan yang
lainnya tanpa mengorbankan integritas mereka. Mereka menegaskan keunikan mereka
sebagai individu dan mencapai kesadaran penuh akan potensi mereka.
Dalam kehidupan Rémi yang sebatang kara, dia pasti sangat membutuhkan
seseorang atau sesuatu yang memberikan rasa aman padanya. Namun, malah sebaliknya
dia harus meninggalkan ibu angkatnya mère Barberin, kemudian berpisah dengan
majikannya Signor Vitalis. Meskipun demikian, akhirnya Rémi bahagia karena bisa
menemukan seseorang yang mencintainya dengan penuh kasih sayang. Perhatikan
kutipan berikut:
(11)
SF/187
“C’était là une vie douce et heureuse pour un enfant qui, comme moi, n’avait
quitté la chaumière de mère Barberin que pour suivre sur les grandes routes le
Signor Vitalis.
Deux fois j’avais vu se briser ou se dénouer les liens qui m’attachaient à ceux
que j’aimais : la première, lorsque j’avais été arraché d’auprès de mère
Barberin ; la seconde, lorsque j’avais été séparé de Vitalis ; et ainsi deux fois je
m’étais trouvé seul au monde, sans appui, sans soutien, n’ayant d’autres amis
que mes bêtes.
60
Et voilà que, dans mon isolement et dans ma détresse, j’avais trouvé quelqu’un
qui m’avait témoigne de la tendresse, et que j’avais pu aimer : une femme, une
belle dame, douce, affable et tendre, un enfant de mon âge qui me traitait
comme si j’avais été son frère.
Quelle joie, quel bonheur pour un cœur qui, comme le mien, avait tant besoin
d’aimer ! ”
a. Isi Laten
Inilah kehidupan yang indah dan menyenangkan untuk seorang anak,
seperti aku, tidak tinggal di gubuk mère Barberin untuk mengikuti perjalanan
bersama Signor Vitalis. Dua kali aku sudah diputuskan atau dilepaskan dari
mereka yang menyayangiku seperti aku mencintainya : pertama, ketika aku direnggut
dari dekat mère Barberin ; kedua, ketika aku berpisah dari Vitalis ; dan dua kali begini
aku sudah menemukan diriku di dunia, tanpa bertopang, tanpa pertolongan, tidak
mempunyai teman-teman yang lain selain binatang-binatangku. Dan begitulah,
dalam kesendirianku dan dalam kesusahanku, aku sudah menemukan seseorang
yang memberikan kasih sayangnya padaku, dan aku mungkin mencintainya :
seorang wanita, wanita cantik, manis, ramah dan penuh kasih sayang, seorang anak
seumuranku menganggapku seperti aku sebagai saudaranya. Alangkah gembira,
alangkah bahagia hati, seperti hatiku, yang begitu butuh cinta !
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas menunjukkan kebebasan positif yang terjadi pada tokoh Rémi. Dia
menemukan kehidupan yang lebih indah dan menyenangkan setelah meninggalkan ibu
angkatnya dan juga berpisah dengan majikannya. Rémi dapat menemukan realisasi
dirinya di dunia. Dia bisa hidup tanpa bertopang dan tanpa mendapatkan pertolongan dari
61
siapa pun. Dia juga tidak mempunyai teman-teman yang lain kecuali hewan –hewan
peliharaannya yang sudah di anggap sebagai teman.
Rémi bisa hidup tanpa bertopang dan tanpa pertolongan dari siapa pun bukan
karena dia kuat, tapi karena dia mau melepaskan orang yang disayanginya dan mau
berpisah dengan majikannya. Seandainya, dia tidak melakukan hal itu, kemungkinan dia
tidak akan menemukan kehidupan yang lebih menyenangkan. Dan akhirnya pun, dia
bertemu dengan seorang wanita yang baik hati, penuh kasih sayang padanya dan juga
seorang anak dari wanita tersebut sudah menganggap Rémi sebagai saudaranya. Rémi
gembira dan hatinya bahagia karena dia yang hidup sebatangkara sangat butuh kasih
sayang.
(12)
SF/188-189
"Seul, je serais toujours seul!
Aussi cette pensée me faisait-elle goûter avec plus d’intensité la joie que
j’éprouvais à me sentir traiter tendrement par Mme Milligan et Arthur.
Je ne devais pas me montrer trop exigeant pour ma part de bonheur en ce
monde, et, puisque je n’aurais jamais ni mère, ni frère, ni famille, je devais me
trouver heureux d’avoir des amis.
Je devais être heureux et en réalité je létais pleinement.
Cependant, si douces que me parussent ces nouvelles habitudes, il me fallut
bientôt les interrompre pour revenir aux anciennes."
a. Isi Laten
Sendiri, aku akan sendiri selamanya! Pikiran ini juga yang membuatku
menikmati kesenangan dengan intensitas lebih bahagia bahwa aku merasakan pada
perasaanku diperlakukan dengan penuh kasih sayang oleh Mme Milligan dan
Arthur. Aku tidak harus menampakkan diri terlalu banyak meminta bagianku dari
keberuntungan di dunia ini, dan oleh karena aku tidak akan pernah mempunyai
ibu, saudara tidak, keluarga pun tidak, aku harus merasa bahagia memiliki
62
beberapa teman. Aku harus bahagia dan yang sebenarnya aku memang bahagia.
Meskipun demikian, jika yang indah memperlihatkanku kebiasaan-kebiasaan baru, aku
harus segera menghentikannya agar kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Rémi tahu akan keberadaan dirinya yang
hidup sendirian, dan selamanya akan sendiri. Kesendirian tersebut yang membuatnya bisa
menghibur diri dengan menikmati kesenangan yang sedang dirasakannya. Dia juga sudah
cukup tahu bahwa dia tidak boleh terlalu banyak berharap dari dunia karena dia tidak
punya ibu, saudara bahkan keluarga tapi setidaknya dia merasa harus bersyukur karena
masih diberi kesempatan mempunyai teman. Rémi berpikir bahwa dia harus bahagia tapi
dia tahu bahwa kehidupan yang menyenangkan itu hanya sementara. Dia segera
menghentikan kebiasaannya yang baru dan kembali pada kebiasaan yang lama, di mana
ketika kesenangan atau kebahagiaan yang di peroleh secara perlahan akan bertahan abadi
sedangkan yang didapatkan secara instan akan bertahan sementara.
Di samping itu, tokoh Rémi adalah sosok yang tidak mau mengorbankan
integritasnya dan tetap mempertahankan individualitasnya dalam segala situasi.
Perhatikan kutipan berikut ini :
(13)
SF /639
"- Je restais comme toi à me demander d’où venait cette paire de bas, quand j’ai
entendu un homme dire: où est-il, le voleur? Le voleur, c’était Capi, tu le
comprends ; sans brouillard nous étions arrêtes comme voleurs.
Je ne comprenais que trop ; je restai un moment suffoqué. Ils avaient fait un
voleur de Capi, du bon, de l’honnête Capi !
Rentrons à la maison, dis-je à Mattia, et tiens Capi en laisse. Mattia ne me dit pas
un mot, et nous rentrâmes cour du Lion-Rouge en marchant rapidement. Le père,
la mère et les enfants étaient autour de la table occupes à plies des étoffes; je jetai
la paire de bas sur la table, ce qui fit rire Allen et Ned.
63
Voici une paire de bas, dis-je, que Capi vient voler, car on fait de Capi un
voleur ; je pense que ç’a été pour jouer. Je tremblais en parlant ainsi, et
cependant je ne m’étais jamais senti aussi résolu."
a. Isi Laten
Aku tetap seperti kamu bertanya padaku dari mana diambil sepasang
stoking itu, ketika aku mendengar seorang laki-laki berkata : di mana dia,
pencuri ? Pencuri adalah Capi, kau mengerti itu ; tanpa kabut itu kita akan ditangkap
seperti pencuri-pencuri. Aku sangat tidak mengerti, sejenak aku nyaris tersedak.
Mereka telah menjadikannya pencuri, Capi yang baik, Capi yang jujur!
Kita pulang ke rumah, kataku pada Mattia, dan pegang Capi erat-erat. Mattia tidak
mengatakan sepatah katapun padaku, dan kami kembali ke halaman Lion-Rouge berjalan
cepat. Ayah, ibu dan anak-anaknya duduk mengelilingi meja sambil melipat bahan; aku
melemparkan sepasang stoking itu ke atas meja, yang membuat Allen dan Ned tertawa.
Inilah sepasang stoking, kataku, Capi sudah menjadi pencuri, kalian mengajari
Capi mencuri; kupikir kalian mengajaknya untuk menghibur orang-orang. Aku
gemetar sampai tidak bisa bicara, tapi aku sudah menguatkan tekad.
b. Isi Komunikasi
Percakapan di atas menunjukkan bahwa Rémi tetap mempertahankan
individualitasnya, dia tidak mau terpengaruh oleh lingkungannya. Dia tidak percaya hal
itu terjadi pada anjingnya, kerena dia tidak pernah mengajari anjing tersebut melakukan
hal-hal yang buruk. Rémi tidak membiarkan anjingnya menjadi pencuri, dia sangat marah
pada keluarga Driscoll (Keluarga Driscoll merupakan keluarga pencuri di mana hasil
curian mereka yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari) terutama anaknya
64
Allen dan Ned. Dia sangat terkejut melihat perbuatan anjingnya karena Capi telah
melakukan perbuatan yang jahat yang tak pernah di duga Rémi sebelumnya.
Rémi berusaha untuk membela anjing kesayangannya bahwa Capi adalah anjing
yang baik, anjing yang jujur dan tidak akan mungkin mencuri jika tidak ada yang
mengajarinya. Rémi tidak menginginkan hal itu terjadi pada anjingnya dan berusaha
mencegah agar tidak melakukan pencurian di kemudian hari. Rémi gemetar saat
berbicara untuk mengungkapkan kebenarannya bahwa anjing tersebut adalah anjing baik
yang selalu diajari Rémi untuk menghibur orang dan bukan untuk melakukan hal-hal
yang buruk.
4.2.1 Faktor Penyebab Kebebasan Positif pada Tokoh Utama
Munculnya kebebasan positif disebabkan oleh adanya pre-freedom (pra-
kebebasan) dan negative freedom (kebebasan negatif). Pada tahap pra-kebebasan,
seseorang sadar bahwa dirinya hanyalah bagian dari masyarakat/kelompok atau
seseorang yang masih terkait dengan dunia dalam ikatan primer. Dalam hal ini,
seseorang bertindak bukan berdasarkan realisasi diri, identifikasi diri, dan sebagainya.
Dia belum memahami dirinya sebagai individu kecuali melalui media atau peran
sosialnya. Kemudian, pada tahap kebebasan negatif, manusia diberikan perasaan baru
dari kebebasan, namun pada saat yang sama merasa sendirian dan terisolasi, dipenuhi
keraguan dan kecemasan, dan membawanya ke dalam kepatuhan yang baru dan paksaan
serta aktivitas yang tidak logis.
Pada kedua tahap tersebut, tidak dapat memuaskan manusia karena hanya
menyerah pada keamanan dan manusia juga kehilangan keamanan ketika dia
menikmatinya, maka setelah tahap tersebut muncullah tahap kebebasan positif, di mana
65
manusia dapat menemukan realisasi dirinya menjadi dirinya sendiri. Perhatikan kutipan
berikut:
(14)
SF/7
“Je suis un enfant trouvé. Mais, jusqu’à huit ans, j’ai cru que, comme tous les
autres enfants, j’avais une mère, car lorsque je pleurais, il y a avait une femme
qui me serrait si doucement dans ses bras en me berçant, que mes larmes
s’arrêtaient de couleur.
Jamais je ne me couchais dans mon lit sans qu’une femme vint m’embrasser,
et, quand le vent de décembre collait le neige contre les vitres blanchies, elle me
prenait les pieds entre ses deux mains et elle restait à me les réchauffer en me
chantant une chanson, dont je retrouve encore dans ma mémoire l’air et quelques
paroles."
a. Isi Laten
Aku seorang anak pungut. Tapi, hingga berusia delapan tahun, aku mengira,
seperti anak-anak yang lainnya, aku mempunyai seorang ibu, karena ketika aku
menangis, ada seorang wanita yang memelukku erat-erat dan membuaiku dengan
lembut hingga aku berhenti menangis. Aku tidak pernah pergi tidur tanpa seorang
ibu yang memberikan ciuman selamat malam, dan ketika angin bulan Desember
meniupkan salju yang menempel di kaca-kaca yang memutih, dia memegang kakiku
diantara kedua tangannya dan dia masih menghangatkan tubuhku sambil menyanyikan
sebuah lagu untukku, hingga sekarang aku masih ingat lagunya dan beberapa kata-
katanya.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas merupakan bagian dari pra-kebebasan, tapi kebebasan tersebut
tidak memuaskan kerena Rémi hanya menyerah pada keamanan. Rémi hanya merasa
nyaman bersama ibu angkatnya sebagaimana anak-anak yang lain merasa mendapat
kenyamanan bersama ibu kandungnya. Rémi tidak tahu keberadaannya yang sebenarnya
66
karena dia selalu mendapatkan perhatian dari ibu angkatnya. Di samping mendapat
kenyamanan, dia hanyalah seorang anak pungut yang diasuh dengan baik oleh seorang
ibu layaknya seperti anak kandungnya.
(15)
SF/24
“En tout autre moment, il est certain que j’aurais été profondement touché par
cette catastrophe ; mais je ne pensais plus aux crêpes, ni aux beignets, et l’idée
qui occupait mon esprit, c’était que cet homme qui paraissait si dur était mon
père.
Mon père, mon père ! C’était là mot que je me répétais machinalement.
Je ne m’étais jamais demandé d’une façon bien précise ce que c’était qu’un
pére, et vaguement, d’instinct, j’avais cru que c’était une mère à grosse voix,
mais en regardant celui qui me tombait du ciel, je me sentis pris d’un effroi
douloureux.”
a. Isi Laten
Pada waktu yang lain, dapat dipastikan bahwa aku akan sangat sedih karena
kecelakaan itu ; tapi aku tidak berpikir tidak ada pancake, pisang goreng pun tidak, dan
pikiran itu yang menyibukkan benakku, laki-laki itu yang kelihatannya begitu keras
adalah ayahku. Ayahku, ayahku ! Itulah kata-kata yang kuulang-ulangi di luar kepala.
Aku tidak pernah bertanya dengan baik seperti apa itu seorang ayah, dan samar-
samar secara naluriah, aku yakin itu suara ibu yang besar, tapi sambil melihatnya
membuatku khawatir, aku merasa ketakutan yang mengerikan.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut menggambarkan tokoh Rémi merasa aman bersama ibu
angkatnya sehingga dia tidak pernah bertanya di mana atau seperti apa sosok ayahnya.
Meskipun demikian, Rémi yakin bahwa dia akan sangat sedih karena kecelakaan yang
menimpa ayah angkatnya tapi dia tidak memikirkan kalau mereka tidak memiliki
makanan untuk makan malam seperti pancake dan pisang goreng yang membuat ayahnya
marah dan kelihatan tampangnya yang keras. Kemudian, Rémi merasa takut melihat
67
tampang ayahnya dan dia juga merasa kehilangan rasa aman yang dimiliki selama ini
bersama ibu angkatnya.
Di samping itu, ketika Rémi berada pada posisi kebebasan negatif, dia akan
kehilangan keamanan ketika dia menikmatinya dari perasaan yang tak diragukan
memilikinya, dan dia terlepas dari dunia yang memuaskannya mencari keamanan.
Perhatikan kutipan berikut :
(16)
SF/7-8
"Quand j’avais une querelle avec un de mes camarades, elle me faisait conter
mes chagrins, et presque toujours elle trouvait de bonnes paroles pour me
consoler ou me donner raison.
Par tout cela et par bien d’autres choses encore, par la façon dont elle me
parlait, par la façon dont elle me regardait, par ses caresses, par la douceur
qu’elle mettait dans ses gronderies, je croyais qu’elle était ma mère.
Voici comment j’appris qu’elle n’était que ma nourrice."
a. Isi Laten
Ketika aku bertengkar dengan salah satu temanku, dia menyuruhku
menceritakan masalah-masalahku, dan dia hampir menemukan kata-kata yang
bagus untuk menghiburku atau membenarkanku. Untuk semua itu dan banyak lagi
hal yang lain, dari caranya berbicara padaku, dari caranya melihatku, dari
belaiannya, sabar dari kemarahannya, maka aku yakin bahwa dialah ibuku. Itulah
bagaimana aku tahu bahwa dia hanyalah ibu angkatku.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Rémi selalu mendapatkan perhatian dan
kasih sayang dari wanita itu, dan dia merasa nyaman dengan tindakan wanita tersebut.
Wanita tersebut merawatnya dengan baik sebagaimana anak kandungnya sendiri
sehingga Rémi mengira bahwa wanita itu ibunya. Namun, seiring berjalannya waktu,
68
Rémi bertumbuh dan semakin besar, sehingga ia semakin merasakan betapa baiknya
wanita itu padanya. Di samping itu, ketika Rémi menikmati semua kebaikan yang
dilakukan oleh wanita tersebut, dia tahu bahwa wanita itu hanyalah ibu angkatnya dan
Rémi pun mulai merasa kehilangan keamanannya.
4.2.2. Dampak Kebebasan Positif terhadap Tokoh Utama
Kebebasan positif berdampak membawa perubahan besar dalam kehidupan
seseorang yang merasakan keterasingan dan ketidakberdayaan dalam hidupnya.
Kebebasan positif tersebut merepresentasikan keberhasilan mencari solusi bagi dilema
manusia yang menjadi bagian dari dunia alam, namun juga terpisah darinya. Ketika
manusia berada pada tahap kebebasan positif, dia akan menemukan realisasi dirinya,
identifikasi diri, dan lain sebagainya. Manusia sadar bahwa dirinya dilahirkan di luar
kemauannya dan akan mati di luar keinginannya. Mereka sadar akan kelemahannya
menghadapi kekuatan-kekuatan alam dan masyarakat. Hal-hal tersebut menjadi sumber
kecemasan yang luar biasa sehingga kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan keluar
dari penjara kesendirian, serta menjalin hubungan dengan manusia lain atau dunia luar
menjadi kebutuhan terdalam manusia.
Kebebasan positif tersebut berdampak pada tokoh utama dalam hal ini adalah
Rémi menemukan solusi atas keberadaannya, menemukan siapa dirinya yang sebenarnya
dan dia pun menemukan ibu kandungnya setelah pencarian dan penantian panjang sambil
menelusuri jalanan di Paris. Perhatikan kutipan berikut :
(17)
SF/730
"Sans troubler, Mme Milligan – maintenant je peux dire ma mère, -répondit:
Vous pouvez nous appeler devant les tribunaux ; moi je n’y conduirai pas celui
qui a été le frère de mon mari.
69
La porte se referma sur mon oncle ; alors je pus me jeter dans les bras que ma
mère me tendait et l’embrasser pour la première fois en même temps qu’elle
m’embrassait elle-même."
a. Isi Laten
Tanpa bingung, Mme Milligan- sekarang aku dapat menyebutnya ibuku -,
jawabnya : Anda bisa memanggil kami di depan pengadilan, tapi aku tidak akan
menyeretmu ke pengadilan karena kamu saudara suamiku.
Pintu ditutup kembali oleh pamanku ; kemudian aku dapat menghempaskan diri
dalam lengan ibuku yang dijulurkan padaku dan menciumnya untuk pertama
kalinya dalam hidupku dia balas menciumku.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Rémi sudah tahu kalau Mme. Miligan
adalah ibu kandungnya dan dia tidak perlu bingung lagi untuk memanggil Mme. Miligan
sebagai ibunya. Rémi dapat menikmati hangatnya dalam dekapan ibunya dan saat itulah
pertama kali dalam hidup Rémi mendapatkan sambutan dari ibu kandungnya. Rémi
menemukan jawaban atas keberadaannya yang selama ini sebatang kara dan segala
perjuangan yang dilakukan tidak sia-sia karena dia menemukan ibu kandungnya. Dia
dapat merasakan bahwa kesendirian, keterpisahan maupun ketidakberdayaan yang ada
dalam dirinya, kini berubah menjadi kenyamanan yang ditemukan setelah menemukan
orangtua kandungnya dan identitasnya pun jelas sebagai putra sulung Mme. Miligan.
Dulu, Rémi si kecil yang malang hidup di jalanan, sekarang menjadi seorang
pewaris kastil tua bersejarah dari para leluhurnya Miligan-Park, setelah impiannya
menjadi kenyataan yaitu menemukan ibu kandungnya, Mme Miligan. Perhatikan kutipan
beikut :
70
(18)
SF/731
"Les années se sont écoules-, nombreuses, mais courtes, car elles n’ont été
remplies que de belles et douces journées. J’habite en ce moment l’Angleterre,
Miligan-Park, le manoir de mes pères.
Le petit misérable, qui, enfant, a passé tant de nuits dans les granges, dans les
étables ou au coin d’un bois à la belle étoile, est maintenant l’hériter d’un vieux
château historique que visitent les curieux et que recommandent les guides.
C’est ce vieux manoir de Miligan-Park que nous habitons en famille, ma mère,
mon frère, ma femme et moi."
a. Isi Laten
Tahun-tahun berlalu-, banyak tapi sedikit, karena hanya dipenuhi sebagai
hari-hari yang indah dan hangat. Sekarang aku tinggal di Inggris, rumah para
leluhurku, Miligan-Park. Si kecil yang malang, anak yang menghabiskan malam-
malamnya di dalam lumbung, dalam kandang atau di sudut kayu di tempat
terbuka, sekarang pewaris kastil tua bersejarah, para pengunjungnya penasaran
dan meminta panduannya. Inilah rumah tua dari Miligan-Park tempat tinggal kami
bersama keluarga, Ibuku, adikku, istriku dan aku.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut melukiskan bahwa perubahan besar yang terjadi dalam
kehidupan Rémi setelah menemukan realisasi dirinya bahwa dia sebenarnya berasal dari
keluarga bangsawan dan akhirnya dia melewati hari-harinya yang indah dalam hidupnya.
Akhirnya, Rémi bisa menghabiskan hari-hari bahagia bersama keluarganya setelah
melewati masa-masa kesengsaraannya. Rémi kecil yang malang yang menghabiskan
malam harinya di dalam lumbung, dalam kandang, sekarang telah menjadi bagian dari
keluarga bangsawan dan menjadi pewaris kastil bersejarah dari leluhurnya.
(19)
SF/732-733
“Nous allons baptiser notre premier enfant, notre fils, le petit Mattia, et, à
l’occasion de ce baptême, qui va réunir tous ceux qui ont été mes amis des
mauvais jours, je veux offrir à chacun d’eux un récit des aventures auxquelles
71
ils ont été mêles, comme un témoignage de gratitude pour le secours qu’ils
m’ont donné ou l’affection qu’ils ont eue pour le pauvre enfant perdu. Quand
j’ai achevé un chapitre, je l’envoie à Dorchester, chez le lithographe ; et, ce jour
même, j’attends les copies authographiées de mon manuscript pour en donner une
à chacun des mes invités.
Cette réunion est une surprise que je leur fais, et que je fais aussi à ma femme,
qui va voir son père, sa sœur, ses frères, sa tante qu’elle n’attend pas ; seuls ma
mère et mon frère sont dans le secret. Si aucune complication n’entrave nos
combinaisons, tous logerent ce soir sous mon toit et j’aurai la joie de les voir
autour de ma table.”
a. Isi Laten
Kami akan membaptis anak pertama kami, putra kami, Mattia kecil, dan pada
kesempatan pembaptisan ini, akan berkumpul semua sahabat-sahabatku di hari-
hari kesengsaraanku, aku akan menawarkan pada setiap mereka sebuah kisah
petualangan di mana mereka ikut campur tangan, sebagai hadiah ucapan terima
kasih untuk pertolongan mereka yang telah diberikan padaku atau kasih sayang
mereka untuk anak malang kesasar. Ketika aku menyelesaikan satu bagian, aku
mengirimkan pada Dorchester, tempat percetakan, dan di hari yang sama, aku menunggu
salinan tulisan dari naskah tulisan tanganku untuk diberikan satu pada setiap undangan-
undanganku. Pertemuan ini adalah sebuah kejutan yang kulakukan untuk mereka,
dan aku juga membuat untuk istriku, akan melihat ayahnya, saudara perempuannya,
saudara-saudara laki-lakinya, tantenya yang tidak diduga ; hanya ibuku dan adikku yang
tahu rahasia ini. Jika tidak ada yang menghambat perkumpulan kami, semua akan
menginap malam ini di rumahku dan aku akan bahagia melihat mereka
bersamaku.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut melukiskan bahwa Rémi sudah bahagia setelah berhasil
melewati masa-masa sulit dalam hidupnya dan juga sebagai bukti cinta dan kesetiaannya
72
untuk sahabat-sahabatnya. Dia tidak melupakan orang-orang yang turut campur tangan
untuk memberikan solusi atau pertolongan untuk setiap kesulitan yang dialami dan juga
kasih sayang yang membuat Rémi bisa bertahan melewati badai kehidupan yang harus
dijalani. Rémi juga mengadakan pertemuan keluarga besarnya dan juga sahabat-
sahabatnya. Dia memberikan sebuah buku sebagai hadiah untuk setiap undangan.
Pertemuan tersebut juga sebagai kejutan bagi sahabat-sahabatnya dan istrinya. Akhirnya,
Rémi berhasil mengadakan pertemuan sekaligus mengenang masa-masa sulit yang telah
dilaluinya dan dia pun bahagia melihat kehadiran mereka setelah semua impian tercapai.
4.3 Hubungan Antara Authoritarianisme dan Kebebasan Positif
Authoritarianisme dan kebebasan positif memiliki hubungan yang erat satu sama
lain. Hubungan tersebut dibangun karena adanya kecemasan dasar dalam diri manusia
yang menghasilkan perasaan keterasingan dan kesendirian yang menakutkan, maka
manusia lari dari kebebasan melalui mekanisme pelarian yakni authoritarianisme. Setelah
kabur dari kebebasannya, manusia mendapat dorongan atau kekuatan yang tidak
dimilikinya dari pelarian tersebut, tetapi manusia masih butuh untuk menemukan
jawaban atas keberadaan dirinya yaitu melalui kebebasan positif. Dalam kebebasan
positif ada kesesuaian antara kemauan seseorang atau diri yang sebenarnya dan
melakukan kemampuan mereka yang penuh kapasitas.
Authoritarianisme dan kebebasan positif merupakan cara-cara manusia untuk
memperoleh makna dan kebersamaan dalam hidupnya. Authoritarianisme merupakan
cara untuk memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan
bulat-bulat individualitasnya dan integritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau lembaga)
yang dapat memberi rasa aman, sedangkan kebebasan positif adalah usaha untuk menyatu
73
dengan orang lain tanpa mengorbankan integritas pribadi, yang menghubungkan diri
dengan orang lain melalui kerja dan cinta, dengan ekspresi perasaan dan kemampuan
intelektual yang tulus dan terbuka.
Setelah Rémi dijual oleh M. Barberin kepada Signor Vitalis, Rémi pun dengan
merasa terpaksa harus mengikuti jejak Vitalis dan bergabung dengan rombongan
pertunjukkannya. Meskipun telah bersama Vitalis, Rémi masih membutuhkan sesuatu
yang tepat sebagai tempat menemukan jawaban atas keberadaannya dirinya, misalnya
rumah sebagai tempat berteduh. Perhatikan kutipan berikut:
(20)
SF/74-75
“Le ciel, qui avait été bleu depuis notre départ, s’emplit peu à peu de nuages
gris, et bientôt il se mit à tomber une pluie fine qui ne cessa plus.
Avec sa peau de mouton, Vitalis était assez bien protégé, et il pouvait abriter Joli-
Cœur qui, à la première goutte de pluie, était promptement rentré sa cachette.
Mais les chiens et moi, qui n’avions pas tardé à être mouilles jusqu’à la peau;
encore les chiens pouvaient-ils de temps se secouer, tandis que, ce moyen
naturel n’étant pas fait pour moi, je devais marcher sous un poids qui
m’écrasait et me glaçait.
…….
Mais il n’y avait pas d’auberge dans ce village, et personne ne voulut recevoir
une sorte de mendiant qui traînait avec lui un enfant et trois chiens aussi
crottés les uns que les autres. Enfin un paysan plus charitable que ses voisins
voulut bien nous ouvrier la porte d’une grange.”
a. Isi Laten
Langit yang biru sejak keberangkatan kami, sedikit demi sedikit dipenuhi
awan abu-abu, dan gerimis segera mulai turun tak berhenti lagi. Dengan kulit
dombanya, Vitalis dilindungi dengan cukup baik, dan dia dapat melindungi Joli-Cœur,
dari tetes hujan yang pertama, ia sudah kembali ke dalam persembunyiannya. Tapi
anjing dan aku, tidak punya apa-apa untuk menudungi kami, kami tidak lama
kemudian basah hingga di kulit ; anjing-anjing dari waktu ke waktu bisa mengibas-
74
ibaskan diri, sementara itu, cara itu bukanlah biasa aku lakukan, aku harus
berjalan di bawah beban yang menghancurkanku dan membekukanku. ……..
Tapi tidak ada penginapan di desa itu, dan orang tidak ingin menerima semacam
pengemis yang bergaul dengannya seorang anak dan tiga ekor anjing yang
berlumpur satu sama lain. Akhirnya seorang petani yang lebih murah hati dari
tetangganya yang bersedia membuka pintu gudang untuk kami.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut menggambarkan hubungan antara authoritarianisme dan
kebebasan positif pada tokoh utama dalam roman Sans Famille bahwa perjalanan
kehidupan Rémi bersama Vitalis beserta rombongan pertunjukannya tidak selalu
menyenangkan, terkadang cuaca kelihatan cerah namun tanpa diduga hujan turun deras
dan tak henti-hentinya. Saat hujan turun, Rémi harus tetap bertahan di bawah hujan deras
yang membasahi tubuhnya dan membuatnya semakin sulit untuk melangkah. Dia harus
tetap berjalan walaupun badannya sudah membeku karena Rémi tidak memiliki apa-apa
untuk digunakan sebagai tudung agar sedikit terlindung dari hujan.
Di tengah perjalanan mereka sudah merencanakan tidak akan melanjutkan
perjalanan jauh dan memutuskan menginap di sebuah desa berikutnya, tapi Rémi beserta
rombongannya tidak mendapat tempat penginapan dan tidak ada seorang pun di desa itu
yang bersedia untuk menawarkan tempat perlindungan untuk sementara waktu. Dalam
kehidupan nyata, terkadang mereka mengabaikan orang-orang yang benar-benar butuh
pertolongan atau tumpangan mereka, dan hanya orang yang baik hati yang akan
mempedulikan orang tersebut. Seperti kisah Rémi tersebut, hanya seorang petani yang
75
murah hati yang bersedia membukakan pintu gudangnya sebagai tempat perteduhan
untuk Rémi beserta rombongannya.
(21)
SF/78-79
“Est-ce qu’il en serait maintenant tous les jours ainsi ? marcher sans repos sous
la pluie, coucher dans un grange, trembler de froid, n’avoir pour souper qu’un
morceau de pain sec, personne pour me plaindre, personne à aimer, plus de
mère Barberin !
Comme je réfléchissais tristement, le cœur gros et les yeux pleins de larmes, je
sentis un souffle tiède me passer sur le visage.
Il s’était doucement approché de moi,… et délicatement il se mit à me lécher la
main.
Tout ému de cette caresse,… alors j’oubliai fatigue et chagrins ; ma gorge
contractee se desserra, je respirai, je n’étais plus seul j’avais un ami.”
a. Isi Laten
Apakah dia akan seperti ini setiap hari ? berjalan di tengah hujan tanpa
istirahat, tidur di gudang, gemetar kedinginan, tidak ada sepotong roti untuk
makan malam, tidak ada orang yang mengasihaniku, tidak ada yang
menyayangiku, lebih dari mère Barberin ! Aku berpikir dengan sedih, hati sedih
dan mata yang penuh air mata, aku merasa nafas panas suam-suam yang lewat di
wajahku. Dia dengan lembut mendekatiku,…. dan dengan lembut ia mulai menjilati
tanganku. Semua tersentuh oleh belaiannya,… kemudian aku melupakan kelelahan
dan kesedihan; tenggorokanku mengerut, aku bernafas, aku tidak sendirian lagi ;
aku sudah punya teman.
b. Isi Komunikasi
Kutipan tersebut menggambarkan kecemasan Rémi dan sekaligus menemukan
solusi mengurangi rasa sedihnya. Dalam kutipan di atas digambarkan bahwa Remi
khawatir kalau dia akan hidup menderita seperti yang sudah dilewati setiap hari bersama
majikannya. Mungkin dia akan berjalan di tengah hujan tanpa beristirahat, tidur di
76
gudang, selalu kedinginan karena dia hanya memiliki sepasang pakaian yang di
tubuhnya.
Di samping itu, tidak ada seorang pun yang mengasihani atau menyayanginya
melebihi mère Barberin ibu angkatnya yang sangat baik padanya dulu. Perasaan Rémi
sedih memikirkan jika hal itu yang akan terus terjadi dan dia pun menangis. Kemudian,
seekor anjing kesayangannya datang mendekatinya sambil menjilati tangannya. Lalu
Rémi merasa tersentuh dengan belaian anjing tersebut dan mulai membangkitkan diri,
melupakan kelelahan serta kesedihannya. Dia merasa tidak sendiri lagi karena dia sudah
memiliki teman.
(22)
SF/357-358
“Je détournai les yeux de cette maison où j’avais vécu deux ans, où j’avais cru
vivre toujours, et le portai devant moi.
Le soleil était haut à l’horizon, le ciel pur, le temps chaud ; cela ne ressemblait
guère à la nuit glaciale dans laquelle j’étais tombé de fatigue et d’épuisement au
pied de ce mur.
Ces deux années n’avaient donc été qu’une halte ; il me fallait reprendre ma
route.
Mais cette halte avait été bienfaisante.
Elle m’avait donné la force.
Et ce qui valait mieux encore que la force que je sentais dans mes membres,
cétait l’amitié que je me sentais dans le cœur.
Je n’étais plus seul au monde.
Dans la vie j’avais un but : être utile et faire plaisir à ceux que j’aimais et qui
m’aimaient.”
a. Isi Laten
Aku melihat jauh rumah tempat tinggalku selama dua tahun, di mana aku mengira
hidup selamanya di sana dan aku menyukainya. Matahari sudah tinggi di cakrawala,
langit cerah, cuaca panas, ini tidak kelihatan seperti pada malam yang dingin di mana aku
jatuh kelelahan dan kehabisan tenaga di kaki gunung. Dua tahun ini sudah beristirahat,
aku harus melanjutkan perjalananku lagi. Tapi perhentian ini mengguntungkan.
77
Dia telah memberiku kekuatan. Dan bahkan lebih baik daripada kekuatan yang
kurasakan di tubuhku dulu, persahabatan inilah yang aku rasakan dalam hati. Aku
tidak sendirian lagi di dunia. Dalam kehidupan aku sudah mempunyai tujuan:
menjadi berguna dan menyenangkan mereka yang kucintai dan mencintaiku.
b. Isi Komunikasi
Kutipan di atas menggambarkan bahwa setelah Rémi beristirahat selama dua
tahun, dia mendapatkan kekuatan yang tidak dimiliki sebelumnya. Dia merasa beruntung
dari hari-hari sebelumnya dan lebih semangat untuk melanjutkan perjalanannya kembali.
Dia merasa tidak sendirian lagi karena ada teman-temannya yang selalu hadir
memberikan pertolongan untuknya. Selain itu, Rémi mempunyai dorongan yang kuat
dalam dirinya untuk melakukan apa yang terbaik yang bermanfaat dalam kehidupan. Dia
juga ingin hidupnya berguna dan dapat menyenangkan orang-orang yang mencintainya
dan yang dicintai.
78
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis permasalahan yang terdapat dalam roman Sans Famille
karya Hector Malot melalui kajian Psikologi Humanistis Erich Fromm, penulis menarik
dua simpulan, yaitu simpulan terhadap authoritarianisme dan kebebasan positif pada
tokoh utama dalam roman tersebut.
Pertama, authoritarianisme pada tokoh utama menunjukkan bahwa Rémi adalah
orang yang merasa sendirian, lemah, cemas dan tidak berdaya. Oleh karena itu, dia
berusaha keluar dari penjara perasaan kesendirian, keterasingan dan ketidakberdayaannya
dengan cara menggabungkan diri dengan orang lain. Di samping itu, sebagai orang yang
lemah, dia harus mematuhi perintah orang yang lebih kuat darinya. Meskipun demikian,
usaha dalam menyelesaikan kepatuhan terhadap orang yang lebih kuat darinya atau
sebagai orang yang dapat memberi perlidungan maupun rasa aman, sering berkedok cinta
atau kesetiaan yang tersembunyi.
Kedua, kebebasan positif pada tokoh utama menggambarkan bahwa Rémi adalah
orang bebas, kritis dan mandiri. Gambaran tokoh tersebut ditunjukkan dalam
keberhasilan Rémi menemukan solusi atas keberadaan dirinya, di mana dia menemukan
orangtua kandungnya sehingga dia tidak sebatang kara lagi. Selain itu, Rémi dapat
mengatasi ketakutan akan kesendiriannya dan selalu berani dalam mengambil keputusan.
Di samping itu juga, Rémi merupakan sosok yang tidak mau mengorbankan integritasnya
dan tetap mempertahankan individualitasnya dalam segala situasi.
79
5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis roman Sans Famille, maka dapat disampaikan saran bahwa
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan menjadi sumber inspirasi
bagi mahasiswa program studi Sastra Prancis untuk melanjutkan penelitian ini yang lebih
komprehensif sehingga tuntas dalam mengungkap konflik psikologis semua tokoh dalam roman
Sans Famille. Di samping itu, perlu digunakan teori psikologi humanistis yang lain, sehingga
dapat diketahui kebutuhan manusia akan menemukan jawaban atas keberadaan diri tokoh-tokoh
roman Sans Famille secara intensif.
80
Daftar pustaka
Arifin, Winarsih & Farida Soemargono. 2007. Kamus Perancis –Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Berlin, Isaiah. 2002. My Intellectual Path. Princeton University Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Endrasawa, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Feist, Jess & Gregory J Feist. 2010. Teori Kepribadian: Theories of Personality. Jakarta:
Salemba Humanika.
Fromm, Erich. 1956. The Art of Loving. Printed in United States of America.
Fromm, Erich. 1894. The Fear of Freedom. London: ARK PAPERBAKS.
Fromm, Erich. 2008. The Sane Society. London: Routledge Classics.
Hall, Calvin. S dan Lindzey, Gardner. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis)
(edisi terjemahan oleh A. Supratiknya). Yogyakarta: Kanisius.
Hudson, William Henry.1970. An Introduction to the Study of Literature. London: D. C.
HEATH & CO., PUBLISHERS.
Librairie Larousse Canada. 1988. Larousse De Poche: Dictionnaire Des Noms Communs,
De Noms Propres, Précis Grammaire. Canada: Distributeur exclusif au Canada ; les
Editions Françaises Inc.
Malot, Hector. 1878. Sans Famille. La Bibliothèque électronique du Québec. Volume 9 :
version 1.2.
Minderop. Albertine. 2013. Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh
Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nyoman, Kutha Ratna. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Osho. 2007. Freeom: The Courage to Be Yourself, (Insights for a New of Living). New
York: St. Martin‟s Griffin.
81
Semi, dkk. 2012. BASASTRA Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan
Pengajarannya. Volume 1 Nomor 1, Desember 2012. ISSN 12302-6405.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti. 2007. Apresiasi Sastra. Yogyakarka: Pustaka Pelajar.
www.wikipedia.org/wiki/Prosa (diunduh 26/10/2015; pukul 20:15)
http://www.wikipedia.org/wiki/Sans_Famille (diunduh 2015/04/20 pukul 20:05)
www.belajarpsikologi.com /pengertian-psikologi/ diunduh 2015//11/06 pukul 14.00
www.wikipedia.com/wiki/psikologi/ (diunduh 2015/11/06 pukul 14.30)
http://expresisastra.blogspot.in /2013/10/ Teknik-Tata-Cara-Penulisan-Tinjauan-Pustaka-
Kajian-Teori.html di unduh 20/01/2016 pukul 12:00
82
LAMPIRAN
83
LAMPIRAN I
Biografi Hector Malot
Hector Henri Malot lahir di La Bouille, Seine-Inf, pada 20 Mei 1830. Dia
berasal dari Prancis. Dia meninggal di Fontenay-Sous-Bois, pada 19 Juli 1907.
Dia adalah seorang penulis lagu-lagu ringan. Lagu-lagu yang diciptakan juga
merupakan bentuk kritik dan roman. Dia adalah anak seorang notaris. Dia
sempat studi hukum di Rouen, Paris, tetapi dia lebih tertarik membicarakan hal-
hal tentang literatur. Selain sebagai penulis lagu, Hector Henri Malot juga
merupakan seorang novelis. Edisi lengkap dari pekerjaan Hector Henri Malot
diselesaikan antara tahun 1894-1897. Akhirnya ia meninggal di Vincenness
tanggal 19 Juli 1907.
Beberapa karyanya yang dipublikasikan antara lain serial novel yang
menceritakan kehidupan kontemporer seperti trilogi novel yang berjudul
“Victimes d'amour” (1859, 1865, 1866), “Un Beau frere” (1869), “Madame
Obernin” (1870), “Le Docteur Claude” (1879), “Justice” (1889), “Les Aventures
de Romain Kalbris “(1869), dan salah satu buku terkenalnya adalah buku “Sans
Famille” yang terbit pada tahun 1878 (artinya Sebatang Kara). Dan karyanya
yang lainnya seperti: Les Epoux (1865), Les Enfants (1869), Les Amours de
Jacques (1860), Une belle-mère (1870), Un Cure de Province (1872), Un
Mariage sons le Second Empire (1873), L’Auberge du Monde (1875-1876, 4
edisi), Les Batailles du Mariage (1877, 3 edisi), Cara (1877), Le Boheme
Tapageuse (1880,3 vols), Pompon, et Une Femme d’Argent (1881), La Petite
Sœur (1882), Les Millions Honteux (1882), Les Besogneux 4 (1885). Sang Bleu
(1885), Baccara (1886), Zyte (1886), Viceo Francis, Seduction, et Ghislaine
(1887), Mondaine (1888), La Mere (1890), Anie (1891), Complices (1892),
Conscience (1893), Amours de Jeunes et Amours de Vieux (1894), L’amour
Dominateur (1896), Le Roman de Mes Romans (1896), Pages Choisies (1898).
Dari keseluruhan karyanya, roman Sans Famille merupakan karyanya yang paling
populer.
84
LAMPIRAN II
Synopsis Roman Sans Famille
Roman ini menceritakan seorang anak yang bernama Remi. Pada awalnya
Monsieur Barberin menemukan seorang bayi laki-laki yang mengenakan pakaian bagus
layaknya seperti seorang anak yang baru lahir dari keluarga kaya. Kemudian anak itu
diberi nama Remi oleh keluarga Barberin. Monsieur Barberin bekerja sebagai penambang
batu di Paris dan Remi hidup bersama Mère Barberin di desa kecil bernama Chavanon.
Ketika Remi sudah berusia delapan tahun, Monsieur Barberin mengalami kecelakaan
kerja dan kemudian pulang ke rumah secara tiba-tiba. Monsieur Barberin kaget melihat
Remi berada di rumahnya, karena memang dia tidak setuju dengan kehadiran Remi di
rumahnya.
Akhirnya Monsieur Barberin menjual Remi kepada Signor Vitalis. Beliau adalah
seorang pemusik jalanan yang kemudian berkelana bersama Remi dan rombongan
pertunjukannya berkeliling Prancis. Selama perjalanan dari kota yang satu ke kota yang
lain, dari desa yang satu ke desa yang lain, Remi ditemani dengan setia oleh sahabat-
sahabat kecilnya yaitu tiga ekor anjing (Capi, Zerbino, Dulce) dan seekor kera, Joli-
Cœur. Kehidupan Remi menjadi baik bersama Signor Vitalis karena beliau mengajari
Remi bermain musik dan mengenal banyak hal baru. Walaupun memang saat berkelana
Remi sering merasakan kelaparan dan tidak mempunyai tempat tinggal yang layak,
namun Remi mendapatkan banyak pengalaman dan teman-teman baru.
Remi, Signor Vitalis dan rombongannya bekerja mencari uang dengan menggelar
pertunjukan musik dan atraksi sirkus ke berbagai desa dan kota di Prancis. Pada saat di
Toulouse, Signor Vitalis harus dipenjara karena dinyatakan bersalah dengan tuduhan
85
melakukan pemukulan terhadap polisi. Remi harus melanjutkan perjalanannya seorang
diri bersama empat hewan peliharaan milik Signor Vitalis. Remi kemudian bertemu
dengan Madame Miligan dan anaknya Arthur yang sedang sakit. Madame Miligan
sebenarnya mempunyai dua anak, namun anak pertamanya hilang diculik setelah
dilahirkan. Lalu setelah dua bulan berlalu, Signor Vitalis dibebaskan dari penjara.
Namun Madame Miligan menginginkan Remi tinggal bersamanya, tetapi Signor
Vitalis menolaknya dan Remi kembali berkelana keliling Prancis. Dalam perjalanan
menuju Paris, mereka semua harus menghadapi badai salju lebat. Kemudian, Signor
Vitalis kehilangan Dulce dan Zerbino karena dimangsa serigala. Selain itu Vitalis juga
kehilangan Joli-Cœur yang terkena demam dan akhirnya mati. Sesampainya di Paris,
Signor Vitalis memutuskan untuk menitipkan Remi kepada Signor Garafoli yang
merupakan teman lamanya. Signor Garafoli mempekerjakan anak-anak jalanan di Paris
untuk bekerja kepadanya.
Signor Vitalis meminta Remi menunggu Signor Garafoli dirumahnya dan
kemudian Remi bertemu dengan Mattia. Kemudian tidak lama setelah itu, Garafoli
datang bersama anak-anak lainnya. Remi melihat perbuatan kejam Signor Garafoli yang
memukuli anak-anak yang bekerja kepadanya karena kurang dalam memberi setoran.
Saat itulah Signor Vitalis kemudian masuk dan melihat tindakan kejam Garafoli.
Akhirnya Vitalis tidak tega menitipkan Remi kepada Signor Garafoli. Signor Vitalis,
Remi dan Capi harus kembali menerjang badai salju di tengah malam dan tidak dapat
menemukan tempat untuk berteduh. Malam badai salju tersebut akhirnya merenggut
nyawa Signor Vitalis.
86
Remi kemudian ditemukan di pekarangan rumah milik keluarga Acquin.
Kemudian, Remi dan Capi tinggal bersama keluarga Acquin yang terdiri dari seorang
ayah bernama Monsieur Acquin, dua anak laki-laki Benjamin dan Alexis, serta dua anak
perempuan Étiennette dan Lise. Namun setelah dua tahun berlalu, terjadi sebuah musibah
badai angin yang merusak semua ladang bunga milik keluarga Acquin. Hal tersebut
membuat Monsieur Acquin di penjara karena hutang-hutangnya yang tidak dapat
dilunasinya. Remi kembali melanjutkan perjalanan berkelana bersama Capi, dikarenakan
keempat anak Monsieur Acquin dititipkan ke saudaranya yang lain. Selama perjalanan
berkelana bersama Capi, Remi bertemu dengan Mattia di pinggiran jalan dan
memberitahukan kalau Signor Garafoli sudah dipenjara karena membunuh seorang anak
yang bekerja padanya.
Akhirnya, Remi dan Mattia pergi bersama, sampai pada akhirnya memutuskan
untuk mengunjungi Alexis yang tinggal bersama paman Gaspard di Varses. Paman
Gaspard seorang penambang dan Alexis ikut bekerja dengan pamannya. Suatu ketika,
Remi ikut bekerja menggantikan Alexis yang tangannya terluka akibat kecelakaan di
tambang. Saat Remi bekerja di tambang, kemudian terjadi sebuah bencana yaitu banjir
besar yang masuk ke dalam tambang. Remi dan penambang lainnya terjebak di dalam
tambang sampai setelah beberapa hari barulah datang pertolongan.
Remi kemudian melanjutkan perjalanannya bersama Mattia menuju Chavanon,
tempat Mère Barberin tinggal. Remi tidak ingin datang dengan tangan kosong ke rumah
Mère Barberin yang sudah menyayanginya. Akhirnya Remi, Mattia dan Capi
mengumpulkan uang dengan melakukan pementasan musik selama perjalanannya ke
Chavanon dan berhasil membeli seekor sapi. Di tengah perjalanannya, Remi dituduh
87
mencuri sapi dan sempat dipenjara selama satu malam. Di depan Pak Walikota, Remi
bisa menjelaskan mengapa dia membawa sapi itu dan akhirnya mereka dibebaskan.
Sesampainya di Chavanon, Remi akhirnya bertemu dengan Mère Barberin.
Kemudian, Mère Barberin mengatakan kepada Remi bahwa orangtua kandung Remi
sedang mencarinya sehingga Monsieur Barberin pergi ke Paris untuk mencari Remi. Hal
tersebut membuat Remi segera pergi ke Paris dengan Mattia untuk mencari Monsieur
Barberin. Namun sesampainya kembali di Paris, Remi mendapatkan kabar dari hotel
tempat Monsieur Barberin menginap kalau beliau sudah meninggal. Remi mengabarkan
kepada Mère Barberin dan dibalas dengan alamat dari pengacara di London yang
bertanggung jawab kepada Remi dalam mempertemukan dengan orang tua kandungnya.
Namun, ternyata keluarga itu bukanlah keluarga kandung dari Remi, melainkan keluarga
yang menculik Remi dari orangtua kandung yang sebenarnya.
Hal ini terbukti dari ucapan Monsieur James Miligan yang berbincang dengan
orangtua palsu Remi, yang menginginkan Arthur supaya cepat meninggal. Hal tersebut
dikarenakan Monsieur Miligan akan menjadi pewaris tunggal dari harta milik keluarga
Miligan. Kemudian, Remi dan Mattia kembali ke Prancis untuk mencari Madame
Miligan yang ternyata berada di Swiss. Sampai pada akhirnya Remi bertemu dengan
Madame Miligan dan menceritakan apa yang terjadi di London. Madame Miligan sudah
menyakini kalau Remi merupakan anak kandungnya yang hilang diculik saat bayi.
Setelah beberapa hari, Madame Miligan mengundang Mère Barberin untuk menunjukkan
baju yang dipakai Remi saat ditemukan dahulu. Akhirnya, diketahui bahwa Madame
Miligan ternyata adalah ibu kandung Remi dan Arthur merupakan adik kandung dari
88
Remi. Sampai pada akhirnya, Remi menikah dengan Lise, Arthur sembuh dari
penyakitnya dan Mattia menjadi seorang pemusik terkenal.