skenario refleksi kasus manajemen nyeri.docx

8
Nama: Dimas Muhammad Akbar NIM: 2008.031.0003 REFLEKSI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI I. Rangkuman Kasus Tuan S, laki-laki, 49 tahun, pekerjaan wiraswasta, pendidikan SMA, sudah menikah, datang ke IGD untuk kontrol dengan keluhan luka pada kaki kiri yang tidak mengering selama 4 hari post opname karena operasi amputasi jari kaki kiri dan debridemen. Pasien memiliki riwayat DM selama kurang lebih 7 tahun dan tidak rutin minum obat. Luka di kaki kiri tertutup balut. Balut dibuka, tampak gangrene berwarna kehitaman pada jempol dan telapak kaki hingga mendekati mata kaki kiri, bau busuk, dan terdapat cairan kecoklatan. Lebih kurang 7 tahun ini pasien merasa sering kesemutan pada anggota gerak, nyeri kaki saat istirahat, kulit anggota gerak kering dan dingin, tebal, dan sensasi rasa berkurang. Pasien mengaku di awal sakit DM, pasien sering merasa cepat lapar, haus, dan BAK serta semakin lama berat badan dirasa menurun. Keluhan lain yang dirasakan: mata kanan terdapat bintik putih di kornea dan pandangan mata kanan dirasa mengabur. RPD: DM selama 7 tahun; HT, penyakit jantung, asma, dan alergi disangkal. RPK: Saudara kandung pasien meninggal karena DM. Riwayat sosial: pasien tidak merokok, tidak pernah minum alcohol, dan pekerjaan sehari-hari sebagai ternak sapi. Pasien direncanakan operasi amputasi cruris kiri (below knee) namun Hb 8,3 sehingga ditransfusi PRC 3 kolf terlebih dahulu. Riwayat operasi: satu minggu sebelum kontrol, pasien telah menjalani operasi amputasi jari kaki II, III, IV, dan V kiri et causa ulkus diabetika grade IV. Pemeriksaan fisik pra OP: KU baik, sadar penuh. Vital Sign TD: 130/90, T: 36,4 C, N: 84x/m, RR: 20x/m. Pemeriksaan Kepala: CA (-/-), SI (-/-), bola mata kanan terdapat bintik putih kecil di kornea, sianosis (-). Pemeriksaan leher: dalam batas normal. Pemeriksaan thorax: dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen: dalam batas normal. Pemeriksaan extrimitas: CRT < 3 s, udem (-), akral 1

Upload: djizhiee

Post on 01-Jan-2016

108 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Manajemen Nyeri Pasca OP

TRANSCRIPT

Page 1: skenario refleksi kasus manajemen nyeri.docx

Nama: Dimas Muhammad Akbar

NIM: 2008.031.0003

REFLEKSI KASUS ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI

I. Rangkuman Kasus

Tuan S, laki-laki, 49 tahun, pekerjaan wiraswasta, pendidikan SMA, sudah menikah, datang ke IGD untuk kontrol dengan keluhan luka pada kaki kiri yang tidak mengering selama 4 hari post opname karena operasi amputasi jari kaki kiri dan debridemen. Pasien memiliki riwayat DM selama kurang lebih 7 tahun dan tidak rutin minum obat. Luka di kaki kiri tertutup balut. Balut dibuka, tampak gangrene berwarna kehitaman pada jempol dan telapak kaki hingga mendekati mata kaki kiri, bau busuk, dan terdapat cairan kecoklatan. Lebih kurang 7 tahun ini pasien merasa sering kesemutan pada anggota gerak, nyeri kaki saat istirahat, kulit anggota gerak kering dan dingin, tebal, dan sensasi rasa berkurang. Pasien mengaku di awal sakit DM, pasien sering merasa cepat lapar, haus, dan BAK serta semakin lama berat badan dirasa menurun. Keluhan lain yang dirasakan: mata kanan terdapat bintik putih di kornea dan pandangan mata kanan dirasa mengabur. RPD: DM selama 7 tahun; HT, penyakit jantung, asma, dan alergi disangkal. RPK: Saudara kandung pasien meninggal karena DM. Riwayat sosial: pasien tidak merokok, tidak pernah minum alcohol, dan pekerjaan sehari-hari sebagai ternak sapi. Pasien direncanakan operasi amputasi cruris kiri (below knee) namun Hb 8,3 sehingga ditransfusi PRC 3 kolf terlebih dahulu. Riwayat operasi: satu minggu sebelum kontrol, pasien telah menjalani operasi amputasi jari kaki II, III, IV, dan V kiri et causa ulkus diabetika grade IV.

Pemeriksaan fisik pra OP: KU baik, sadar penuh. Vital Sign TD: 130/90, T: 36,4 C, N: 84x/m, RR: 20x/m. Pemeriksaan Kepala: CA (-/-), SI (-/-), bola mata kanan terdapat bintik putih kecil di kornea, sianosis (-). Pemeriksaan leher: dalam batas normal. Pemeriksaan thorax: dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen: dalam batas normal. Pemeriksaan extrimitas: CRT < 3 s, udem (-), akral hangat. Status lokalis: kaki kiri gangrene kehitaman hingga mendekati mata kaki dengan jari 2 – 5 telah diamputasi sebelumnya.

Pemeriksaan Penunjang:

Hematologi: Golongan darah B; lekosit 12,4 rb/uL (↑) 8,2 rb/uL; limfosit 16 % (↓); monosit 22 % (↑); AE 3,21 juta/uL (↓); Hb 8,3 g/dL (↓) 9,5 g/dL 17,8 g/dL (pra op) 9 g/dL (↓) (post op); HMT 25% (↓); AT 696 rb/uL (↑); PPT 14,6 s (N); APTT 23,1 s (↓); HBsAg (-); GDS: 299 mg/dl (↑) 160 mg/dl (↑) 156 mg/dl (↑) 180 mg/dl (↑) 153 mg/dl (↑) 73 mg/dl

Pemeriksaan thorax: besar cor dan pulmo normal

Diagnosis: ulkus diabetika grade V (gangrene – klasifikasi Wagner) et causa DM tipe II tidak terkontrol dengan pro amputasi cruris sinistra (below knee).

1

Page 2: skenario refleksi kasus manajemen nyeri.docx

Anestesi saat intra OP: Regional Anestesi (spinal anestesi) induksi bupivacaine 1 amp. Medikasi: ketorolac 1 amp, ondansentron 1 amp, tramadol 1 amp. Infus: RL 500 cc, FIMA HES 500 cc, NaCl 500 cc.

Terapi post OP: ceftriaxone 2 x 1, metronidazole 3 x 500 cc, ketorolac 3 x 1, asam traneksamat 3 x 1, novorapid 3 x 10 IU, RL 20 tpm.

Kondisi pasien pasca OP: pasien merasa nyeri pada luka operasi, raut muka menahan nyeri, skala nyeri 5 – 6/10, luka belum kering, imobilisasi.

II. Perasaan Terhadap Pengalaman

Saya merasa tertarik terhadap manajemen pasca operasi, tertutama pada manajemen nyeri pasca operasi kasus ini. Saya ingin menyoroti kondisi pasien pasca operasi yang masih merasa nyeri walau sudah diberi obat-obatan anti nyeri.

III. Evaluasi

Bagaimanakah manajemen nyeri pasca operasi dan apakah manajemen nyeri pada kasus ini sudah sesuai dengan referensi/teori yang ada?

IV. Analisis

Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tak terkontrol selama kurang lebih 7 tahun. Diabetes mellitus (DM) adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut, apabila diperkirakan tidak terkendali dapat terjadinya komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang yaitu mikroangiopati dan makroangiopati. Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2007 antara lain diabetes tipe I, diabetes tipe II, diabetes tipe lain, dan diabetes tipe gestasional. Pasien adalah seorang penderita DM tipe II yaitu diabetes akibat resistensi insulin dan atau defisiensi sekresi insulin relatif.

Keluhan pasien terhadap penyakitnya selama 7 tahun ini mengarah pada tanda dan gejala DM. Tanda dan gejala di awal sakit DM yaitu banyak makan (polifagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing (poliuri), berat badan menurun drastis, mudah lelah, dll sedangkan gejala kronis DM meliputi kesemutan, rasa tebal di kulit, kram, capai, mudah mengantuk, pandangan mata mengabur, dll. Ditambah lagi pasien memiliki faktor risiko berupa riwayat keluarga DM yaitu saudara kandung pasien ada yang meninggal akibat komplikasi penyakit DM.

Pasien telah terkena komplikasi metabolik kronik yang terjadi pada pembuluh darah di bagian tubuh (angiopati diabetik). Angiopati diabetik dibagi menjadi dua yaitu makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler), yang tidak berarti satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi sekaligus bersamaan.

2

Page 3: skenario refleksi kasus manajemen nyeri.docx

Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob. Klasifikasi ulkus diabetika pada penderita DM menurut Wagner terdiri atas 6 tingkatan:

0. Tidak ada luka terbuka, kulit utuh1. Ulkus superfisialis, terbatas pada kulit2. Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan3. Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi, dan formasi abses4. Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki, bagian depan kaki atau

tumit5. Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki (gangrene)

Pasien menderita ulkus diabetika yang semakin parah, karena sebelumnya gangrene/kematian jaringan hanya terlokalisir (grade IV) namun kemudian berkembang menjadi grade V (kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki) sehingga perlu dilakukan tindakan invasif yaitu amputasi dengan harapan kematian jaringan tidak menyebar ke jaringan di atasnya.

Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstrimitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstrimitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh pasien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Level amputasi yang dilakukan pada pasien ini yaitu transtibial/below knee (4 – 6 inchi dari tibial plateau, bentuk ideal silinder.

Manajemen pasca operasi meliputi penyembuhan luka dengan melakukan perawatan luka postoperasi (mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka), mengontrol nyeri, membantu pasien untuk beradaptasi dengan perubahan citra diri (memberi dukungan psikologis dan memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini), mencegah kontraktur (menganjurkan pasien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi segera setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi, dan menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya kontraktur), serta aktivitas perawatan diri (diskusikan ketersediaan protese, mengajari pasien cara menggunakan dan melepas protese, memberitahukan kepada pasien untuk mencari bantuan/supervise dari tim rehabilitasi kesehatan selama penggunaan protese, mendemontrasikan alat-alat bantu khusus, dan mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan protese).

Tujuan dari manajemen nyeri pasca operasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Dengan adanya manajemen nyeri pasca operasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan menjadi baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan pasca operasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.

3

Page 4: skenario refleksi kasus manajemen nyeri.docx

The World Health Organization Analgesic Ladder dipakai tidak hanya untuk penanganan nyeri pada pasien kanker namun juga dapat dipakai untuk menangani nyeri akut. Anak tangga yang pertama kali diberikan adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, atau parasetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini nyeri tidak teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti kodein dan dextropropoxyphene dan anestesi lokal. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakan obat-obatan golongan opioid kuat, misalnya morfin.

Beda dengan sistem yang dianut World Federation of Societies of Anesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder yang sama-sama dirancang untuk mengobati nyeri akut. Pada anak tangga pertama, nyeri dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat (injeksi opioid kuat, analgesik/anestesi lokal). Biasanya nyeri pasca operasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan dengan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesik. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan kombinasi dari obat-obatan yang bekerja di perifer dan opioid lemah. Anak tangga terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer (aspirin dan OAINS).

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif terhadap respirasi dan kardiovaskuler terkait dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Teknik apapun yang dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan nyeri pasca operasi apabile efeknya diperpanjang hingga melebihi durasi pembedahan. Saat intra operasi, pasien pada kasus ini mendapatkan anestesi regional berupa bupivacaine. Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor. Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensori dan motoric, mual, dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.

Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan di seluruh dunia adalah aspirin, parasetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang. Aspirin dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik, dalam dosis terapetik obat ini memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberikan bersama-sama dengan antasida. Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek anti platelet yang ireversibel, komplikasi Reye’s Syndrome pada anak-anak usia di bawah 12 tahun. Dosis aspirin berkisar minimal 500 mg, setiap 4 jam hingga maksimum 4 gr per oral per hari.

OAINS memiliki 2 efek yaitu analgesik dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu.

4

Page 5: skenario refleksi kasus manajemen nyeri.docx

Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan, menghambat sinstesis prostaglandin dalam mukosa lambung sehngga menghasilkan perdarahan lambung sebagai efek samping. Kontraindikasi relatif OAINS: riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal, operasi yang berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat, dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif terhadap OAINS dan aspirin. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif, murah, dan memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan OAINS lainnya. Alternatif lainnya dalah diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasindan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi, atau topical.

Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti morfin). Codein kurang aktif daripada morfin, efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codein dapat dikombinasikan dengan parasetamol dengan mengingat dosis maksimum yang dianjurkan. Dosis berkisar Antara 15 mg – 60 mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg per hari. Dosis kombinasi parasetamol 500 mg/codeine 8 mg tablet, 2 tablet tiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet per hari. BIla tidak mencukupi: parasetamol 1 gram per oral dengan codeine 30 – 60 mg tiap 4 – 6 jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan. Dextropropoxyphene secara structural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Dosis berkisar dari 32,5 mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60 mg tiap 4 jam dengan maksimum 300 mg per hari.

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur visceral membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya (morfin, petidin, metadon, fentanyl). Morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi per oral, dapat diberikan melalui suntikan (intravena) ataupun rute lainnya (sublingual, supositoria, administasi intramuscular). Dosis morfin: 1mg/ml; ukuran bolus 0,25 – 2,5 mg; lockout interval 5 – 10 menit.

V. Kesimpulan

Pada kasus ini, pasien diberi anestesi regioanal berupa bupivacaine dan ketorolac IV saat pembedahan. Medikasi analgesik post operasi adalah ketorolac 3 x 1. Saya beranggapan bahwa dalam manajemen nyeri pasca operasi pada kasus ini dapat menggunakan sistem WFSA Analgesic Ladder yaitu dengan memberi analgesik dosis kuat di awal kemudian dosis diturunkan berturut-turut hingga nyerinya mereda dan ambang nyeri pasien meningkat (opioid kuat/anestesi lokal opioid lemah + analgesik perifer analgesik perifer ex: aspirin atau OAINS).

VI. Daftar Pustaka Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of

Anesthesiologists Gwirtz K. Single-dose Intrathecal Opioids in The Management of Acute Postoperative Pain. In:

Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992: 253 – 268

5

Page 6: skenario refleksi kasus manajemen nyeri.docx

Hastuti, Rini Tri. Tesis Magister Epidemiologi: Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Mellitus (Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta). Program Pasca Sarjana Magister Epidemiologi, Universitas Diponegoro Semarang. 2008

Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London: Elsevier Churhill Livingstone. 2006

6