sk abies

Upload: evi-maisyari

Post on 10-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skabies

TRANSCRIPT

EVI MAISYARI (702011034)

(Sarcoptic Itch, Acariasis)1. IdentifikasiInfeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh kutu, penetrasi pada kulit terlihat jelasberbentuk papula, vesikula atau berupa saluran kecil berjejer, berisi kutu dan telurnya.Lesi kebanyakan terjadi disekitar jari, sekitar pergelangan tangan dan siku ketiak,pinggang, paha dan bagian luar genital pada pria; puting susu, daerah perut, dan bagianbawah pantat adalah daerah yang paling sering terkena pada wanita. Pada bayi mungkinmenyerang daerah leher, telapak tangan, telapak kaki, daerah-daerah tersebut biasanyatidak terkena pada orang yang lebih tua. Gatal hebat terjadi terutama pada malam hari,tetapi komplikasi terbatas hanya terjadi pada luka akibat garukan.Pada orang yang mengalami penurunan kekebalan dan pada pasien lanjutsia gejala seringmuncul sebagai dermatitis yang lebih luas dan saluran/terowongan yang terbentuk,bersisik dan kadang-kadang terjadi vesikulasi dan pembentukan krusta (Norwegianscabies); rasa gatal mungkin berkurang atau hilang.Jika dapat terjadi komplikasi dengan kuman hemolytic streptococcus, bisa terjadiglomerulonefritis akut.Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kutu melalui pemeriksaan denganmikroskop yang diambil dari saluran atau terowongan pada lesi kulit. Hati-hati sewaktumemilih lesi kulit untuk diambil spesimennya, pilihlah lesi yang belum pernah digaruk.Pemberian minyak mineral akan memudahkan pengambilan spesimen untuk pemerikasaanmikroskopis. Spesimen diperiksa dibawah mikroskop setelah ditutup denngan dek glass.Lesi pada kulit yang diberi tinta kemudian dicuci akan menyingkap saluran-saluran yangada.2. Penyebab Penyakit : Sarcoptes scabiei, sejenis kutu3. Distribusi Penyakit :Tersebar di seluruh dunia. Kejadian wabah disebabkan oleh buruknya sanitasi lingkungankarena peperangan, pengungsian dan krisis ekonomi. Penyebaran scabies di AS dan Eropayang terjadi belakangan ini ternyata terjadi pada situasi normal, tidak ada peperangan,tidak ada krisis, menyerang masyarakat disemua tingkat sosial tanpa melihat faktor usia,ras, jenis kelamin atau status kesehatan seseorang. Scabies endemis disebagian besarnegara berkembang.4. ReservoirReservoir adalah manusia; species sarcoptes dan kutu lainnya dari hewan dapat hiduppada manusia tetapi tidak dapat berkembang biak pada manusia.5. Cara-cara penularanPerpindahan parasit dapat terjadi secara kontak langsung melalui gesekan kulit dan dapatjuga terjadi pada waktu melakukan hubungan seksual. Perpindahan dari pakaian dalamdan sprei terjadi jika barang-barang tadi terkontaminasi oleh penderita yang belumdiobati. Kutu dapat membuat saluran dibawah permukaan kulit dalam 2,5 menit.464Orang dengan Norwegian scabies sangat mudah menular karena kulit yang terkelupasmengandung banyak kutu.6. Masa inkubasiMasa inkubasi berlangsung 2 sampai 6 minggu sebelum serangan gatal muncul padaorang yang sebelumnya belum pernah terpajan. Orang yang sebelumnya pernah menderitascabies maka gejala akan muncul 1 4 hari setelah infeksi ulang.7. Masa penularanAkan tetap menular kecuali kutu dan telur sudah dihancurkan dengan pengobatan,biasanya setelah dilakukan 1 atau 2 kali pengobatan dalam seminggu.8. Kerentanan dan kekebalanDiperkirakan terjadi sedikit kekebalan setelah infeksi. Orang yang mempunyai masalahdengan sistem kekebalan tubuh akan menderita scabies lebih berat. Orang yang pernahterkena infeksi lebih tahan terhadap infeksi ulang walaupun tetap masih bisa terkenainfeksi dibandingkan dengan mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi.9. Cara-cara pemberantasanA. Cara-cara pencegahanLakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang carapenularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita scabies dan orang-orang yangkontakB. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya1) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat: Laporan resmi tidak dilakukan, kelas 5 (lihat tentanglaporan penyakit menular).2) Isolasi: Siswa sekolah atau pekerja yang terinfeksi dilarang masuk ke sekolah danpekerja sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakitdiisolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif.3) Disinfeksi serentak: Pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita dalam48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan menggunakan sistempemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini membunuh kutu dantelur. Tindakan ini tidak dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprei,sarung bantal dan pakaian pada penderita Norwegian scabies sangat pentingkarena potensi untuk menularkan sangat tinggi4) Karantina: Tidak diperlukan5) Immunisasi kontak: tidak ada6) Penyelidikan terhadap penderita kontak dan sumber penularan: Temukan penderitayang tidak dilaporkan dan tidak terdeteksi diantara teman dan anggota keluarga;penderita tunggal dalam satu keluarga jarang ditemukan. Berikan pengobatanprofilaktik kepada mereka yang kontak kulit ke kulit dengan penderita (anggotakeluarga dan kontak seksual)7) Pengobatan spesifik: Pengobatan pada anak-anak adalah dengan permetrin 5%.Alternatif pengobatan menggunakan gamma benzena hexachloride 1% (lindanedan Kwell obat ini kontra indikasi untuk bayi yang lahir premature danpemberiannya harus hati-hati kepada bayi yang berumur < 1 tahun serta ibu yang465sedang hamil); Crotamiton (Eurax ); Tetraethylthiuram monosulfide (Tetmosol,tidak tersedia di AS) dalam 5% larutan diberikan 2 kali sehari; atau menggunakanemulsi benzyl benzoate untuk seluruh badan kecuali kepala dan leher. (Rincianpengobatan bervariasi tergantung dari jenis obat yang digunakan). Pada hariberikutnya setelah pengobatan mandi berendam untuk membersihkan badan, bajudan sprei diganti dengan yang bersih. Rasa gatal mungkin akan tetap ada selama 1sampai 2 minggu; hal ini jangan dianggap bahwa pengobatan tersebut gagal atautelah terjadi reinfeksi. Pengobatan berlebihan sering terjadi, untuk itu harusdihindari karena dapat menyebabkan keracunan terhadap obat tersebut terutamagamma benzena hexachloride. Sekitar 5% kasus, perlu pengobatan ulang denganinterval 7 10 hari jika telur bertahan dengan pengobatan pertama. Lakukkansupervisi ketat terhadap pengobatan, begitu juga mandi yang bersih adalahpenting.C. Penanggulangan wabah1) Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko.Kadangkala diperlukan kerjasama masyarakat dengan otoritas militer.2) Pengobatan dilakukan secara massal.3) Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik didalam keluarga, didalam unitatau institusi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan.4) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum. Sabun Tetmosol jikaada sangat membantu dalam pencegahan infeksi.D. Implikasi bencana : Kemungkinan besar menimbulkan KLB pada situasi menusiapenuh sesakE. Tindakan Internasional : Tidak adahttp://penyakitdalam.wordpress.com/category/manual-pemberantasan-penyakit-menular/scabies/Dr. Suparyanto, M.Kes

SKABIES / KUDIS / GUDIK

a). Definisi Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch, Norwegian itch, gudikan, gatal agogo, budukan atau penyakit ampera (Harahap, 2008).b). Etiologi Skabies disebabkan oleh tungau kecil berkaki delapan, dan didapatkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang menderita penyakit ini. Tungau skabies (Sarcoptes scabiei) ini berbentuk oval, dengan ukuran 0,4 x 0,3 mm pada jantan dan 0,2 x 0,15 pada betina (Brown dkk, 2002).c). Faktor Risiko Semua kelompok umur bisa terkena skabies. Penularan dapat terjadi melalui kontak fisik yang erat seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual, serta dapat juga melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur (Brown dkk, 2002). Beberapa fakor yang dapat membantu penyebaranya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual (Harahap, 2008).d). Patogenesis Infestasi dimulai saat tungau betina yang telah dibuahi tiba di permukaan kulit. Dalam waktu satu jam, tungau tersebut akan mulai menggali terowongan. Setelah tiga puluh hari, terowongan yang awalnya hanya beberapa millimeter bertambah panjang menjadi beberapa centimeter. Meskipun begitu, terowongan ini hanya terdapat di stratum korneum dan tidak akan menembus lapisan kulit di bawah epidermis. Terowongan ini dibuat untuk menyimpan telur- telur tungau, kadang- kadang juga ditemukan skibala di dalamnya. Tungau dan produk- produknya inilah yang berperan sebagai iritan yang akan merangsang sistem imun tubuh untuk mengerahkan komponen- komponennya (Habif, 2003). Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sel sistem imun spesifik lainnya belum memberikan respon. Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh sistem imun non spesifik yang disebut inflamasi. Tanda dari terjadinya inflamasi ini antara lain timbulnya kemerahan pada kulit, panas, nyeri dan bengkak. Hal ini disebabkan karena peningkatan persediaan darah ke tempat inflamasi yang terjadi atas pengaruh amin vasoaktif seperti histamine, triptamin dan mediator lainnya yang berasal dari sel mastosit. Mediator- mediator inflamasi itu juga menyebabkan rasa gatal di kulit. Molekul- molekul seperti prostaglandin dan kinin juga ikut meningkatkan permeabilitas dan mengalirkan plasma dan protein plasma melintasi endotel yang menimbulkan kemerahan dan panas (Baratawidjaja, 2007). Faktor kemotaktik yang diproduksi seperti C5a, histamine, leukotrien akan menarik fagosit. Peningkatan permeabilitas vaskuler memudahkan neutrofil dan monosit memasuki jaringan tersebut. Neutrofil datang terlebih dahulu untuk menghancurkan/ menyingkirkan antigen. Meskipun biasanya berhasil, tetapi beberapa sel akan mati dan mengeluarkan isinya yang juga akan merusak jaringan sehingga menimbulkan proses inflamasi. Sel mononuklear datang untuk menyingkirkan debris dan merangsang penyembuhan (Baratawidjaja, 2007). Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi infestasi tungau dan produknya tersebut, maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen (Kresno, 2007). Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th, kemudian akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3b yang merupakan hasil aktivasi komplemen. Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen (Kresno, 2007). Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi akan mencapai kadar protektif yang berlangsung dalam waktu cukup lama. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari (Kresno, 2007).

e). Gambaran Klinik Gejala utama skabies adalah gatal, yang secara khas terjadi di malam hari. Terdapat dua tipe utama lesi kulit pada skabies, yaitu terowongan dan ruam. Terowongan terutama ditemukan pada tangan dan kaki, khususnya bagian samping jari tangan dan kaki, sela- sela jari, pergelangan tangan dan punggung kaki. Masing- masing terowongan panjangnya beberapa millimeter hingga beberapa centimeter, biasanya berliku- liku dan ada vesikel pada salah satu ujung yang berdekatan dengan tungau yang sedang menggali terowongan, seringkali disertai eritema ringan (Brown dkk, 2002). Terowongan bisa juga ditemukan pada genetalia pria, biasanya tertutupi oleh papula yang meradang, dan papula tersebut jika ditemukan pada penis dan skrotum adalah patognomonis untuk skabies. Sehingga bila pada seorang pria diduga menderita skabies, hendaknya genetalianya selalu diperiksa (Brown dkk, 2002). Ruam skabies berupa erupsi papula kecil yang meradang, yang terutama terdapat di sekitar aksila, umbilikus dan paha. Ruam ini merupakan suatu reaksi alergi tubuh terhadap tungau (Brown dkk, 2002). Selain itu juga dapat terjadi lesi sekunder akibat garukan maupun infeksi sekunder seperti eksema, pustula, eritema, nodul dan eksoriasi (Habif, 2003).f). Diagnosis Menurut Handoko, 2007, diagnosis ditegakkan jika terdapat setidaknya dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu:1. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok.3. Adanya terowongan pada tempat- tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu- abuan, berbentuk lurus atau berkelok, rata- rata panjang 1cm, dan pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Tempat predileksinya adalah tempat- tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti jari- jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, umbilikus, genetalia pria dan perut bagian bawah. 4. Menemukan tungau. Untuk menemukan tungau atau terowongan, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:a. Kerokan kulit Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi minyak mineral/ KOH, kemudian dikerok dengan scalpel steril untuk mengangkat atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan ditutup dengan lensa mantap, lalu diperiksa di bawah mikroskop.b. Mengambil tungau dengan jarum Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.c. Epidermal shave biopsy Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris dengan scalpel no. 15 sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak perlu anestesi.

d. Burrow ink test Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama dua menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig- zag.e. Swab kulit Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat. Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop.f. Uji tetrasiklin Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian dibersihkan dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin dalam terowongan akan menunjukkan fluoresesnsi (Sungkar, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdillah A., Mansyur M., Maria A., Munandar A., Wibowo A.A. 2007. Pendekatan kedoktran keluarga pada penatalaksanaan scabies. Majalah Kedokteran Indonesia. 57: 63-67. 2. Admin. 2009. Asrama Santri. http://assalaam.or.id/fasilitas/asrama-santri/302-asrama-santri.html. [21 April 2010]3. Boediardja S. 2003. Skabies pada Bayi dan Anak. Editor: Boediardja S, Sugito T, Kurniati D, Elandari. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.4. Bratawidjaja, K.G. 2007. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 260-262.5. Brown R.G., Burns T. 2002. Lecture Notes Dermatology. Edisi ke- 8. Jakarta: Penerbit Erlangga. pp: 42-476. Bruckner D.A., Garcia L.S. 2007. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Dalam: Padmasutra L. (ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 3357. Budiarto E. 2008. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 38-49.8. Chosidow O. 2006. Scabies. The New England Journal of Medicine. 354: 1718- 27.9. Darwanto., Prianto J., Tjahaya P.U. 2000. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. p: 154.10. Dorland .2006. Kamus Kedokteran Dorland. . 29th ed.. Philadelphia : W. B. Saunders Company Inc Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.11. Fernawan, N.S. 2008. Perbedaan Angka Kejadian Skabies di Kamar Padat dan Kamar tidak Padat di Pondok Pesantren As Salaam Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.12. Flinders D., Schweinitz P.D. 2004. Pediculosis and scabies. American Family Physcian. 69: 349- 50. 13. Gandahusada S., Ilahude H.D., Pribadi W. (ED). 2000. Parasitologi Kedokteran. Jaakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 264-266.14. Granholm J.M. 2005. Scabies prevention and control manual. Michigan Department of Community Health. pp: 29-33.15. Habif T.H. 2003. Clinical Dermatology. China: Mosby. pp: 497-505. 16. Handoko R.P. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 122- 125.17. Harahap M. 2008. Penyakit Kulit. Jakarta: Gramedia. p: 100.18. Irianto K. 2009. Panduan Praktikum Parasitologi Dasar. Bandung: Yrama Widia. pp: 130-132.19. Johnston, Graham. 2005. Scabies: diagnosis and treatment. British Medical Journal. 331:619- 662.20. Kresno, S.B. 2007. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. p: 182.21. Marufi I., Keman S., Notobroto H.B. 2005. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit scabies studi pada santri di pondok pesantren kabbupaten lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2: 11-18.22. Mansjoer A., Savitri R., Setiowulan W., Triyanti K., Wardhani W.I. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. p: 110 23. McCroskey A.L. 2009. Scabies. Emedicine. 24: 5-6.24. Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.25. Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip- Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. p: 14626. Price S.A., Stawiski M.A. 2003. Penyakit Lyme dan Infestasi. Dalam: Hartanto H., Maharani D.A., Susi N., Wulansari P. (ed). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 1466.27. Sastroasmoro S., Sofyan I. 2004. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. pp: 66-70.28. Shimizu H. 2007. Shimizus Textbook of Dermatology. Hokkaido: Hokkaido Press University. pp: 500-502.29. Siregar R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 164-65.30. Sudirman T. 2006. Skabies: masalah diagnosis dan pengobatannya. Majalah Kedokteran Damianus. 5: 177.31. Sugiyono. 2003. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. pp: 56- 69.32. Sungkar S. 2000. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.33. Tabri F. 2003. Skabies pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Kurniati DD, editor. Infeksi kulit pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 62-7934. Taufiqurohman, M A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. The Community Of Self Help Group Forum.35. Wolff K. 2003. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. United States: The McGraw-Hill Companies. pp: 869-876.