sistim hukum perdata indonesia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Hukum Perdata
APAKAH hukum perdata itu ? Apabila kita membaca buku-buku tentang hukum,
maka kita akan menemukan berbagai pendapat dari sarjana yang masing-masing
berbeda atau ada berbagai macam definisi tentang apa itu hukum perdata, namun
perbedaan tersebut tidak berarti ada pertentangan yang tajam melainkan menunjukkan
adanya perbedaan penekanan, dan bukan menunjukkan perbedaan yang prinsipiil.
Menurut Subekti, “Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat
materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan.”
Pendapat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan, “Hukum perdata adalah
hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu
dengan warga negara perseorangan yang lain”.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan, “Hukum perdata adalah suatu
rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak
dan kewajiban. Lebih lanjut beliau mengatakan kebanyakan para sarjana menganggap
hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi)
yang berbeda dengan hukum publik sebagai hukum yang mengatur kepentingan
umum (masyarakat)”.
Menurut pendapat Asis Safioedin menyebutkan, “Hukum perdata adalah hukum yang
memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi hubungan hukum antara orang
yang satu dengan yang lain (antara subyek hukum satu dengan subyek hukum yang
lain) di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan”.
Hukum perdata disebut juga hukum sipil atau hukum privat.
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksudkan
dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain di dalam
masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi/badan
hukum). Hukum perdatalah yang mengatur dan menentukan, agar dalam pergaulan
masyarakat orang dapat saling mengetahui dan menghormati hak-hak dan kewajiban-
kewajiban antar sesamanya sehingga kepentingan tiap-tiap orang dapat terjamin dan
terpelihara dengan sebaik-baiknya.
1.2 Hukum Perdata Dalam Arti Luas Dan Hukum Perdata Dalam Arti Sempit
Hukum perdata dalam arti luas ialah bahan hukum sebagaimana tertera dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) atau disebut juga dengan Burgelijk
Wetboek (BW), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) disebut juga dengan
Wetboek van Koophandel (WvK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut
undang-undang tambahan lainnya. Undang-undang mengenai Koperasi, undang-
undang nama perniagaan.
Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat dalam
kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dengan kata lain, hukum perdata dalam
arti luas ialah meliputi semua peraturan-peraturan hukum perdata baik yang
tercantum dalam KUH Perdata / BW maupun dalam KUHD dan Undang-Undang
lainnya. Hukum Perdata (Sebagaimana tercantum dalam KUH Perdata / BW)
mempunyai hubungan yang erat dalam hukum dagang (KUHD). Hal ini tampak jelas
dari isi ketentuan pasal 1 KUHD. Mengenai hubungan kedua hukum tersebut dikenal
adanya adegium “Lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus : KUHP
mengesampikan hukum umum : KUH perdata).
1.3 Hukum Perdata Yang Berlaku Di Indonesia
Hukum perdata yang berlaku di indonesia berdasarkan pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling = Aturan Pemerintah Hindia Belanda) adalah berlainan untuk
golongan warga Indonesia yaitu :
a. Untuk golongan warga negara Indonesia Asli berlaku hukum adat, yaitu
hukum yang sejak dulu kala secara turun temurun.
b. Untuk golongan warga negara Indonesia keturunan cina berlaku seluruh BW
dengan pembahan mengenai pengangkatan anak dan kongsi (S. 1917 No. 129)
c. Untuk golongan warga negara Indonesia keturunan Arab, India, Pakistan dan
lain-lain berlaku sebagaimana BW yaitu mengenai hukum harta kekayaan dan
hukum waris dengan surat wasiat, sedang mengenai hukum keluarga dan
hukum waris tanpa wasiat berlaku hukum adatnya sendiri, yaitu hukum adat
mereka yang tumbuh di Indonesia (S. 1924 no. 556)
d. Untuk golongan warga negara Indonesia keturunan Eropa (Belanda, Jerman,
Perancis) dan Jepang seluruh BW.
Bagi orang Indonesia asli apabila mereka menghendaki, ketentuan-ketentuan dalam
BW dapat dinyatakan berlaku bagi mereka (baik untuk seluruhnya, sebagian atau
untuk suatu perbuatan hukum tertentu). Demikian pula apabila sesuatu perbuatan
hukum tidak dikenal dalam hukum adat, seperti pendirian PT, CV, Firma atau
penarikan wesel dan cek, maka bagi orang Indonesia asli yang melakukan perbuatan
hukum seperti itu diperlakukan ketentuan dalam BW (S. 1917 No. 556).
Pluralisasi hukum perdata artinya bermacam-macam berlakunya hukum perdata
karena belum adanya : univikasi --- hal ini karena adanya bermacam-macam
golongan.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia ada yang tertulis dan ada yang tidak
tertulis. Hukum perdata yang tertulis adalah hukum perdata sebagaimana yang diatur
dalam BW, sedangkan hukum perdata yang tidak tertulis adalah hukum adat, yaitu
hukum yang sejak dahulu kala dianut atau dipatuhi secara turun-temurun atau
kebiasaan yang senantiasa dipatuhi dan dipandang sebagai hukum oleh yang
berkepentingan.
1.4 Berlakunya BW di Indonesia
Berlakunya BW di Indonesia adalah sejak 1 Mei 1848 berdasarkan S.1847 No.23
sampai sekarang BW masih berlaku, berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 yang menyatakan :
“Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini”.
Menurut S.1847 No.23 BW hanya berlaku bagi orang-orang Eropa, orang-orang
Indonesia keturunan Eropa dam orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa,
yaitu mereka yang saat itu beragama Kristen.
BW yang berlaku di Indonesia adalah BW yang berasal dari BW Belanda yang
didasarkan pada azas Konkordasi (penyesuaian). Azas konkordansi ini termuat dalam
pasal 131 IS (Indische Staatsregeling = Aturan Pemerintah Hindia Belanda) yang
menyatakan : “Hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku di Indonesia harus
sama dengan hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku di Negeri Belanda.”
1.5 Sistem Hukum Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis). Di
mana masing-masing golongan, penduduk mempunyai hukum perdata sendiri-sendiri
kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi misalnya di bidang hukum
perkawinan, hukum agraria. Tetapi apabila ditinjau lebih mendalam tampaklah bahwa
unifikasi di bidang hukum tersebut belumlah tercapai 100 % (sepenuhnya). Dengan
kata lain, bahwa tujuan mewujudkan unifikasi di bidang hukum hukum perdata belum
tercapai sepenuhnya (100%). Kondisi keanekaragaman tersebut telah berlangsung
lama, bahkan sejak tahun 1900-an di mana pada waktu itu kaula Hindia Belanda di
bagi menjadi tiga golongan berdasarkan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) :
golongan Eropa, golongan Bumi Putra, dan golongan Timur Asing. Pembagian
golongan tersebut diikuti dengan pembagian kuasa hukum yang berlaku masing-
masing golongan tersebut berdasarkan pasal 131 IS. Dapat dijelaskan lebih lanjut isi
Pasal 163 dan 131 IS bahwa Kaula Hindia Belanda berdasarkan asalnya dan hukum
yang berlaku dibagi menjadi :
1. Golongan Eropa, yang termasuk golongan ini adalah :
a. Semua orang Belanda
b. Semua orang Eropa lainnya
c. Semua orang Jepang
d. Semua orang yang berasal dari tempat lain yang negaranya tunduk
kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama
seperti hukum Belanda
e. Anak yang sah atau diakui menurut undang-undang dan yang
dimaksud sub 1.c dan sub 1.f : kepada golongan Eropa berlakulah hukum
perdata (KUH Perdata). Jadi KUH Perdata yang muali berlaku sejak 1 Mei
1848 (juga KUH Dagang) berlaku bagi golongan Eropa.
2. Golongan Bumi Putra, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli,
yang tidak beralih masuk golongan lain, dan mereka yang semula termasuk
golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia asli.
Menurut isi pasal 131 IS maka bagi golongan Bumi Putra hukum yang berlaku
adalah hukum adatnya masing-masing. Tetapi lebih lanjut pasal 131 ayat 4 IS
memberi kemungkinan kepada golongan Bumi Putra secara perseorangan dapat
menghapuskan berlakunya hukum adat bagi mereka sendiri dengan jalan
menundukkan dirinya kepada hukum Perdata Eropa (KUH Perdata), yaitu melalui
lembaga penundukan diri (diatur dalam Stb.1917 No.12 Regeling Nopensde
Vrijvil lige Onderwerping aan het Europeesch Privatrecht). Di dalam hukum
perdata (KUH Perdata) terdapat pula peraturan-peraturan yang dinyatakan berlaku
bagi golongan Bumi Putra :
a. Buku II Bab VII, bagian 5 pasal 1601 s/d pasal 1603 lama tentang
perburuhan meskipun dengan Stb 1926 No. 335, Jis 458, 565 dan Stb. 192 No.
105 pasal-pasal tersebut telah diganti dengan pasal-pasal baru, sebagaimana
tercantum dalam bab VIIA buku III, namun bagi mereka tetap berlaku pasal
lama.
b. Buku III bab XV, bagian 3 pasal 1788 s/d pasal 1791 tentang utang
piutang karena perjudian (Stb.1907 No.306).
c. Beberapa pasal dari buku II KUH Dagang yaitu sebagian besar hukum
laut
Ada pula beberapa peraturan secara khusus dibuat untuk golongan Bumi Putra,
misalnya :
a. Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama kristen (Stb.1933
No.74).
b. Ordonansi tentang maskapai andil Indonesia (IMA / Stb. 1939 No.569 jo
717).
c. Ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb. 1939 No.570 jo
717).
Disamping itu terdapat pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua
golongan, misalnya : Undang-undang Hak Pengarang 1912; peraturan umum
tentang koperasi (Stb.1933 No. 108), ordonansi pengangkutan udara (Stb. 1938
No. 100).
3. Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan Eropa dan
pula golongan Bumi Putra. Golongan ini dibagi menjadi dua :
a. Golongan Timur Asing Tionghoa, berlakulah seluruh hukum Perdata
(KUH Perdata), dengan beberapa pengecualian dan tambahan.
b. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, berlakulah seluruh hukum
perdata (KUH Perdata) dan hukum adat yang berlaku di Negerinya. Termasuk
dalam golongan ini yaitu Arab, India dan Pakistan.
Dari uraian di atas tampak secara jelas bahwa hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia masih beranekaragam (Pluralistis), walaupun dalam bidang tertentu telah
terdapat unifikasi namun belum sepenuhnya.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas sambil kita mengusahakan terciptanya suatu
kodifikasi hukum nasional khusunya di bidang hukum Perdata, maka atas dasar isi
ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, hukum Perdata (KUH Perdata dan
KUH Dagang) masih tetap berlaku. Pada tahun 1963 Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No. 3/1963 (dikenal dengan SEMA 3/1963)
yang menjadi dasar hukum hakim dalam hal ia akan memberlakukan atau tidak suatu
pasal atau suatu ketentuan hukum perdata (KUH Perdata dan KUH Dagang)
manakalah hakim berpendapat bahwa pasal tersebut tidak sesuai lagi dengan
kemajuan jaman. Dikatakan bahwa KUH Perdata dan KUH Dagang itu tidak lagi
merupakan suatu Wetboek tetapi suatu Rectboek. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa secara yuridis formal kedudukan KUH Perdata / BW dan KUH
Dagang / WvK tetap sebagai undang-undang, sebab BW dan Wvk tidak pernah
dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang (Syahrani, 1985, hal.28).
Apabila dilihat dari kenyataan yang ada, maka kiranya tepatlah apa yang ditulis oleh
R. Abdoel Djamali berpendapat bahwa hukum perdata di Indonesia terdiri dari :
1. Hukum Perdata Adat, hukum ini umumnya tidak tertulis dan
berlaku dalam kehidupan masyarakat adat secara turun temurun serta ditaati.
Isinya mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat adat yang berkaitan
dengan kepentingan perseorangan. Masyarakat adat yang dimaksud di sini ialah
kelompok sosial bangsa Indonesia (Bumi Putra).
2. Hukum Perdata Eropa, berbentuk tertulis dan berlakunya (untuk
saat ini) didasarkan pada Aturan Peralihan (pasal II Aturan Peralihan) UUD 1945.
Isinya mengatur tentang hubungan hukum yang menyangkut mengenai
kepentingan orang-orang Eropa dan bukan Eropa yang tunduk / menundukkan
diri pada ketentuan tersebut.
3. Hukum Perdata bersifat Nasional ini merupakan produk Nasional,
yaitu merupakan ketentuan hukum yang mengatur tentang kepentingan
perseorangan yang dibuat berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia,
misalnya Undang-undang Nomor 5/1960 yang dikenal dengan sebutan Undang-
undang Pokok Agraria (UUPA); Undang-undang No.1/1974 tentang Perkawinan..
(Djamali, 1984, hal. 147).
Suatu hal yang perlu disadari bersama bahwa hingga saat ini masih belum ada hukum
perdata nasional secara menyeluruh sebagai satu sistem norma-norma hukum perdata,
namun hal tersebut masih dalam usaha mewujudkannya. Itu semua mengandung arti
pula bahwa hukum perdata yang berlaku di Indonesia masih menggunakan dasar
hukum pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang dalam proses
pengembangannya berdasarkan politik hukum sebagai tercantum dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN). / BW di Indonesia
1.6 Sejarah Terbentuknya KUH Perdata
Sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum perdata (KUH Perdata/BW)
tidak dapat dilepaskan dari sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata/BW Belanda dan Code Civil Prancis. Hal tersebut disebabkan karena
Indonesia waktu itu dijajah Belanda, sehingga tidak mustahil di bidang hukum pun
banyak produk-produk hukum dari pemerintah penjajah yang berlaku di Indonesia
termasuk pula disini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tetapi Belanda sendiri
pernah diduduki Prancis beberapa lama waktu lamanya, sehingga juga merasakan
adanya pengaruh dari Code Civil Prancis.
Di Prancis sendiri semenjak ± 50 tahun sebelum masehi berlakulah Hukum Romawi
Kuno berdampingan dengan Hukum Prancis Kuno. Keduanya saling mempengaruhi.
Disamping perkembangannya dapat diketahui bahwa di Prancis berlaku dua hukum,
yaitu Hukum kebiasaan Prancis Kuno (ini merupakan pays de droit
coustumier/hukum yang tidak tertulis) yang berlaku di daerah Prancis Utara,
sedangkan Prancis selatan berlaku hukum romawi yang tertuang dalam corpus luris
civilis merupakan hukum tertulis (pays de droit cerit). Corpus luris civilis terdiri atas :
1. Code Yustiani merupakan kumpulan undang-undang (leges lex) yang telah
dibukukan oleh para ahli hukum atas perintah kaisar Romawi yang dianggap
sebagai himpunan segala macam undang-undang.
2. Pandecta ialah kumpulan pendapat para ahli hukum Romawi yang termashur,
misalnya Gaius, Paulus, Ulpianus.
3. Novelles merupakan Undang-Undang yang dikeluarkan sesudah codex
selesai.
4. Institutiones berisi pengertian lembaga-lembaga hukum Romawi.
Keadaaan tersebut diatas berjalan cukup lama dan menimbulkan tidak ada kesatuan,
hal ini kurang menguntungkan. Menyadari akan keadaan tersebut maka pada abad ke
XVII muncul usaha untuk menciptakan kodifikasi hukum agar didapat kesatuan
dalam hukum Prancis. Hasilnya, pada awal abad ke XVIII dikeluarkan beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur beberapa hal. Tahun 1804 berulah
berhasil dibentuk kodifikasi hukum perdata Prancis yang disebut Code Civil des
Francais berlaku 21 Maret 1804. Kodifikasi tersebut kemudian di ubah, ditambah di
sana-sini dan akhirnya diundangkan kembali dengan sebutan Code Civil Napoleon,
tetapi penggunaan istilah tersebut hanya sebentar karena akhirnya kembali disebut
Code Civil des Francais. Tahun 1811-1838 diadakan perubahan-perubahan /
penambahan-penambahan atas isi code civil Prancis diseduaikan dengan keadaan di
Belanda dan akhirnya dinyatakan secara resmi sebagai kodifikasi resmi (di bidang
hukum perdata) di Belanda.
Hal itu dapat terjadi oleh karena Belanda pada waktu itu dijajah Prancis. Pada masa
pendudukan Prancis di Belanda telah ada usaha membuat kodifikasi menurut hukum-
hukum Belanda kuno tetapi tidak dapat terwujud. Setelah Prancis meninggalkan
Belanda maka usaha tersebut semakin digiatkan terbukti pada tahun 1814 dibentuk
panitia yang dipimpin Mr. J.M. Kemper yang diberi tugas mempersiapkan rencana
kodifikasi hukum Perdata. Tetapi ternyata usaha Kemper tidak berhasil karena
ditolak oleh Perwakilan Rakyat, namun hal itu tidak mengendurkan semangat untuk
tetap mewujudkan kodifikasi. Dengan diprakasai oleh Nicolai melalui perencanaan
yang matang, kerja keras, maka pada tahun 1829 berhasil dikodifikasikan berbagai
undang-undang yang tadinya terpisah-pisah. Ternyata kodifikasi tersebut banyak
dipengaruhi pemikiran sarjana Belgia, mengesampingkan pikiran-pikiran bidang
hukum Nederland Selatan (Belanda). Sudah barang tentu hal itu bukan yang
dikehendaki. Tahun 1830-1839 terjadi pemberontakan dan berakibat Belanda terpisah
dari Belgia. Kodifikasi yang telah dibentuk kemudian ditinjau kembali, diadakan
perubahan-perubahan disesuaikan dengan keadaan di Belanda. Terakhirnya dengan
Koninklijk Besluit 10 April 1838 (S. 1838-12) Kodifikasi hukum perdata (Kitab
undang-undang hukum perdata Belanda) dinyatakan berlaku sejak 1 Oktober 1838
(Syahrani, 1985, hal. 16).
Indonesia pada masa itu dijajah oleh Belanda, dan di sini banyak warga Belanda
berkarya dengan baik, di bidang Pemerintahan maupun bidang Perdagangan. Selain
menjajah dengan maksud mendapatkan keuntungan bagi pemerintah Belanda. Politik
penjajahan yang diterapkan juga mengandung maksud memberikan perlindungan
hukum bagi warganya bahkan orang-orang Eropa yang berada di Indonesia. (Hindia
Belanda) sebagai daerah jajahan Belanda. Untuk pemerintah Belanda telah
mempersiapkan langkah-langkah antara lain dibentuk panitia dipimpin Mr. Scholten,
untuk memikirkan bagaimana caranya agar kodifikasi di negara Belanda dapat
diberlakukan di daerah jajahannya (termasuk pula di Indonesia/Hindia Belanda).
Selanjutnya pemerintah mengusulkan Mr. H.L. Wicher, Presiden Hooggerrechtshof
(HGH Mahkamah Agung di Hindia Belanda) untuk membantu Gubernur Jenderal
Hindia Belanda untuk memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika
perlu untuk mengubah/manambah di sana-sini disesuaikan dengan keadaan di Hindia
Belanda.
Melalui pengumuman Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 3 Desember 1847,
dinyatakan bahwa sejak 1 Mei 1848 Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW
dinyatakan berlaku tersebut adalah meneladani Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang berlaku di Belanda (menggunakan asas konkordinansi/concordinansi Beginsel).
Mengenai asas tersebut dapat dipelajari pasal 131 Indische Staatsregejing (IS) yang
berisi aturan-aturan pemerintahan Hindia Belanda terdiri atas 187 Pasal dan mulai
berlaku sejak 1 januari 1926 berdasarkan S. 1925-557.
Dari pasal 131 IS tersebut dapat diketahui pedoman politik hukum pemerintah Hindia
Belanda di Indonesia. Berdasarkan S. 1847-23 dapat pula diketahui Kitab Undang-
undang hukum perdata/BW hanya berlaku bagi Orang-orang tertentu.
Atas dasar kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya KUH
perdata/BW hanya berlaku bagi golongan Eropa, golongan lain dapat menggunakan
KUH Perdata/BW asal mereka telah lebih dulu menundukkan diri S. 1917 No.12
mengenai lembaga penundukan diri, dan sebenarnya hanya ditujukan bagi Bumi
Putra, sedangkan golongan Timur Asing hal itu hampir tidak relevan lagi sebab S.
1855 No.79 menyatakan bahwa KUH Perdata/BW berlaku terhadap golongan Timur
Asing kecuali hukum keluarga dan hukum waris.
Tahun 1917 golongan Timur Asing dibedakan menjadi dua, yaitu Timur Asing
Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa,
berlakulah KUH Perdata/BW, tetapi diperluas dengan S.1917 Nomor 129, bagi Timur
Asing bukan Tionghoa, KUH Perdata/BW berlaku bagi mereka (S. 1855 Nomor 79)
Stb. tersebut kemudian diubah oleh S. 1924 No. 556, tanggal 9 Desember 1924,
isinya KUH Perdata/BW berlaku bagi mereka kecuali tentang hukum keluarga dan
hukum waris.
Bagaimana nasib pasal 131 dan pasal 163 IS serta keadaan yang berlaku sebelum 17
Agustus 1945, setelah Indonesia merdeka ? pasal 131 dan pasal 163 IS dengan segala
konsekuensinya atau IS sebagai kodifikasi hukum pokok ketatanegaraan sudah tidak
berlaku lagi. Isi IS satu per satu dinilai apakah masih sesuai atau tidak dengan
semangat dan suasana kemerdekaan ???
Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menjadi dasar hukum
berlakunya KUH Perdata/BW (sebagai warisan pemerintah Hindia Belanda) di
Indonesia hingga saat ini. Dengan demikian, dapat dicegah kekosongan hukum
(Rechts Vacuum) khususnya yang mengatur lapangan Keperdataan. Dengan
menyadari kondisi/kemampuan yang ada pada pemerintah sendiri, serta kelemahan
yang ada pada KUH Perdata/BW ternyata banyak yang tidak cocok lagi untuk
diterapkan, serta sambil menunggu kodifikasi baru sebagai pengganti KUH
Perdata/BW, maka kiranya tepatlah langkah-langkah yang ditempuh pemerintah yaitu
membenarkan penerapan KUH Perdata/BW di Indonesia. Secara Yuridis Formal
KUH Perdata/BW tetap berkedudukan sebagai Undang-undang, sebab ia tidak pernah
dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang. Tetapi untuk kondisi sekarang ia
tidak lagi sebagai KUH Perdata/BW yang bulat dan utuh seperti keadaan semula saat
dikodifikasikan. (Syahrani, 1985, hal.2-28).
1.7 Perubahan-perubahan Terhadap Berlakunya KUH Perdata/BW
Berlakunya KUH Perdata/BW di Indonesia sejak tahun 1960 mengalami perubahan-
perubahan yaitu :
a. Dengan berlakunya UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria atau UU No. 5/tahun 1960) yang menyatakan,
bahwa semua hak-hak kebendaan yang bertalian dengan tanah, kecuali hipotik,
dicabut berlakunya dari buku kedua KUH Perdata/BW.
b. Dengan keluarnya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung RI) No.3 tahun
1963 yang menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa pasal-pasal dari BW. yaitu
Pasal : 108, 110, 284 ayat 3 1238, 1460, 1579, 1602 ayat 1 dan 2 1682, karena
pasal tersebut dianggap bersikap kolonial, diskriminasi, tidak adil dan tidak sesuai
dengan zaman sekarang.
Keterangan :
- Pasal 108 dan 110 tentang ketidak wenangan bertindak dari seorang
isteri
- Pasal 284 ayat 3 tentang pengakuan anak luar kawin yang lahir dari
wanita Indonesia asli.
- Pasal 1238 yang menentukan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian
hanya dapat diajukan di muka hakim jika didahului dengan penagihan tertulis
(somasi).
- Pasal 1460 tentang resiko dalam perjanjian jual beli barang, yang
ditentukan ada di tangan pembeli.
- Pasal 1579 yang menentukan bahwa sewa menyewa barang, pemilik
tidak dapat menghentikan sewa dengan alasan akan memakainya sendiri
barangnya.
- Pasal 1602 ayat 1 dan 2, mengenai diskriminasi antara orang Eropa
dan orang yang bukan Eropa dalam perjanjian perburuhan.
- Pasal 1682, yang mengharuskan dilakukannya penghibahan dengan
akte Notaris.
c. Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan
(UU No. 1 tahun 1974) yang menyatakan, bahwa ketentua perkawinan dengan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dengan KUH
Perdata/BW, sejauh telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan dinyatakan
tidak berlaku (pasal 66 UU No. 1/1974). Menurut pasal tersebut, ketentuan-
ketentuan mengenai perkawinan yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan
Undang-undang Perkawinan masih tetap berlaku.
1.8 Sistematika KUH Perdata/BW di Indonesia
Apabila ditilik dari sistematikanya, ternyata hukum perdata di Indonesia mengenal
dua sistematika :
a. Sistematika hukum perdata menurut undang-undang yaitu hubungan perdata
sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW yang
terdiri :
Buku I : tentang orang (Van personen) yang mengatur hukum perseorangan
dan hukum keluarga --- diatur (pasal 1 s/d 498)
Buku II : tentang Benda (van Zaken) yang mengatur hukum benda dan hukum
waris --- diatur (pasal 499 s/d 1232)
Buku III : tentang Perikatan (Van Verbintenissen) yang mengatur hukum
perikatan dan hukum perjanjian --- diatur (pasal 1233 s/d 1864)
Buku IV : tentang pembuktian dan kadaluwarsa, yang mengatur alat-alat bukti
dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum --- diatur (pasal
1865 s/d 1993).
b. Menurut ilmu pengetahuan hukum, sistematika hukum perdata material terdiri
:
1. Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi (Personen
Recht).
2. Hukum tentang Keluarga/hukum keluarga (Familie Recht)
3. Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta benda (Vermogen Recht).
4. Hukum Waris (Erfrecht).
Keterangan :
1. Hukum perorangan mengatur tentang hal-hal diri seseorang
2. Hukum Keluarga mengatur tentang hubungan hukum yang timbul dari
perkawinan
3. Hukum benda mengatur tentang kekuasaan orang atas benda
4. Hukum perikatan mengatur tentang hak dan kewajiban yang timbul dari
perjanjian dan Undang-undang
5. Hukum waris mengatur tentang harta kekayaan seseorang yang telah
meninggal.