sistem imun kulit - referat leora

8
PENDAHULUAN Kulit merupakan suatu organ pada tubuh manusia yang membatasi dengan lingkungan luar. Salah satu fungsi dari kulit adalah sebagai sistem imun yang memproteksi tubuh dari serangan benda asing. Sistem imun tubuh secara garis besar terbagi atas sistem imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik bertugas sebagai lini pertama dalam pertama melawan benda asing. Sistem imun non spesifik terbagi menjadi tiga jenis yaitu yang bersifat fisik, larut, dan selular. Sedangkan sistem imun non spesifik terbagi latas humoral dan selular. Kulit itu sendiri termasuk dalam bagian sistem imun nonspesifik yang bersifat fisik. Nah, bagaimana kulit ini dapat berfungsi sebagai suatu sistem pertahanan tubuh akan dijelaskan pada referat ini. SISTEM IMUN System imun adalah suatu system yang bekerja untuk pertahanan diri terhadap patogen dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh manusia. Proses imunitas ini diperantarai oleh komponen-komponen system imun baik di sel, jaringan, ataupun organ. Komponen-komponen yang bertugas akan menghancurkan benda 1

Upload: leoraannastitihardiono

Post on 28-Sep-2015

79 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

REFERAT TENTANG SISTEM IMUN. FAKULTAS KEDOKTERAN. MAKALAH KULIT.

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Kulit merupakan suatu organ pada tubuh manusia yang membatasi dengan lingkungan luar. Salah satu fungsi dari kulit adalah sebagai sistem imun yang memproteksi tubuh dari serangan benda asing.

Sistem imun tubuh secara garis besar terbagi atas sistem imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik bertugas sebagai lini pertama dalam pertama melawan benda asing. Sistem imun non spesifik terbagi menjadi tiga jenis yaitu yang bersifat fisik, larut, dan selular. Sedangkan sistem imun non spesifik terbagi latas humoral dan selular.

Kulit itu sendiri termasuk dalam bagian sistem imun nonspesifik yang bersifat fisik.Nah, bagaimana kulit ini dapat berfungsi sebagai suatu sistem pertahanan tubuh akan dijelaskan pada referat ini.

SISTEM IMUN

System imun adalah suatu system yang bekerja untuk pertahanan diri terhadap patogen dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh manusia. Proses imunitas ini diperantarai oleh komponen-komponen system imun baik di sel, jaringan, ataupun organ. Komponen-komponen yang bertugas akan menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh agar tidak menimbulkan penyakit. Kesalahan kerja dari komponen komponen tersebut dapat menyebabkan timbulnya penyakit, misalnya jika komponen sel imun kurang dalam bekerja, maka benda asing dapat menyebabkan penyakit di tubuh namun jika komponen ini bekerja secara berlebihan maka akan terjadi penghancuran sel tubuh yang normal yang disebut autoimun (James, bacher, & Swain, 2008).

ANATOMI KULIT

Gambar 1. Struktur anatomi kulit4

IMUNOLOGI KULIT

Kulit didesain dengan spesifikasi klinis sedemikian rupa sehingga mampu melindungi manusia dari luka atau infeksi, serta beberapa faktor imunologik, diantaranya sitokin TNF-, sebuah sinyal bahaya yang dikeluarkan oleh jaringan-jaringan yang sedang mengalami luka kepada sistem imunologi. Pelepasan TNF- dari sel-sel yang terdestruksi pada luka nantinya akan memanggil sitokin-sitokin dan kemokin lainnya sehingga memodifikasi permukaan endotel pada venula-venula pascakapiler. Proses ini merupakan mekanisme alamiah yang memfasilitasi ekstravasasi leukosit ke jaringan yang sedang luka (Farid, 2006).

Kulit dapat melakukan fungsinya sebagai sistem pertahanan tubuh dengan beberapa proses. Dalam kulit itu sendiri, sudah terdapat suatu sel menjaga kulit dari serangan benda asing. Sel itu dikenal dengan nama sel langerhans yang terdapat di lapisan epidermis. Kemudian, ada pula suatu proses pada kulit yang senantiasa berjalan terus-menerus dengan siklus yang tetap (kecuali pada psoriasis) setiap 28 hari sekali. Proses ini disebut sebagai deskuamasi. Deskuamasi adalah proses terlepasnya stratum korneum yang telah mati dan akan digantikan dengan kulit yang baru. Proses ini dimaksudkan untuk membuang mikroorganisme patogen yang biasa menempel pada kulit (stratum korneum), dikenal pula dengan nama keratinisasi. Selain itu, terdapat juga suatu substansi antijamur, yaitu unsatturated transferin dan alfa2 makroglobulin keratinase inhibitor yang mencegah invasi jamur dermatofita dan mencegah pertumbuhan organisme pada lapisan yang lebih dalam. Jika sel langerhans dan keratinisasi ini gagal dalam menghadapi mikroorganisme patogen, maka selanjutnya akan datang bantuan dari mediator inflamasi seperti netrofil, limfosit, komplemen, PMN, dan aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory factor) yang disebut proliferasi epidermis. Proliferasi epidermis inilah yang termasuk sistem imun non spesifik dari kelompok selular.

Jika, sampai pada sistem imun nonspesifik jenis selular ini belum berhasil mengatasi serangang patogen, maka akan dilanjutkan oleh sistem imun spesifik, pada kulit aktivitasnya dilakukan oleh sel limfosit T dan B.

Sistem imun spesifik terbagi atas humoral dan selular. Pada kelompok humoral, terdapat sel limfosit b dan sitokin yang berperan. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi imunoglobulin (IgA, IgE, IgM, IgG). Sedangkan pada kelompok selular, akan dilakukan oleh sel limfosit T yang akan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (sel Tc/TCD8+) dan sel T helper (sel Th/TCD4+). Sel Th ini selanjutnya akan berdiferensiasi lagi menjadi Th1 dan Th2.

Leukosit yang keluar dari pembuluh darah nantinya akan merembes memasuki dermis melalui beberapa proses yang melibatkan beberapa molekul, diantaranya LFA-1. Leukosit yang memasuki dermis melalui gradien kemotaktik akan mulai memediasi fungsi efektor, misalnya untuk membunuh bakteri atau jamur. Selama perjalanannya leukosit yang menuju jaringan luka ini juga akan mengeluarkan TNF- ke sirkulasi. Dengan demikian semakin lama akan semakin banyak leukosit yang terpanggil ke tempat luka. Inilah proses imunosurveilans yang melibatkan jaringan luka dan sel-sel imunitas (Farid, 2006).

Dalam kenyataannya, proses imunitas merupakan rangkaian adaptasi fisiologis yang senantiasa berubah demi mempertahankan hidup. Adaptasi imunitas ini dilakukan oleh sel-sel T yang populer dengan sebutan imunitas spesifik dan nonspesifik, meskipun dalam kerjanya dibantu oleh sel-sel dan molekul-molekul lainnya. Setiap sel T memiliki keunikan yang spesifik untuk antigen tertentu. Inilah target utama penyembuhan yang dilakukan oleh sistem imun alami. Yang penting ialah bagaimana menempatkan sel-sel T tersebut pada tempat dan waktu yang tepat (Farid, 2006).

Penempatan sel T diatur oleh pajanan jutaan antigen yang masuk ke tubuh manusia. Awalnya semua sel T merupakan sel T naif (null) yang berkelana di dalam pembuluh darah serta sebagian tersimpan di kelenjar getah bening (KGB). Proses ini sangat tergantung dengan LFA-1. Ketika berada di KGB, sel-sel T akan 'dijemput' oleh sel-sel dendritik di jaringan terdekat KGB tersebut untuk diundang ke jaringan tadi. Ketika terdapat luka di jaringan, sel dendritik akan menjadi matur serta bermigrasi ke KGB karena dirangsang oleh sinyal berbahaya (misalnya TNF-) kemudian 'memberi tahu' (dengan mekanisme MHC kelas III) antigen apa yang sedang menyerang jaringan tersebut (Farid, 2006).

Sebagaimana dipahami, MHC (major histocompatibility complex) merupakan cara pengenalan antigen dari sel-sel yang terpajan antigen melalui ligan reseptor kepada sel T yang naif. Sel T naif ini terdiri dari sel-sel dengan reseptor yang khas. Sel T dengan reseptor CD28 akan berikatan dengan MHC dengan reseptor CD80 dan CD86 (kostimulasi), sedangkan sel T dengan reseptor LFA-1 akan berikatan dengan ICAM-1 (intercellular adhesion molecules 1) pada sel dendritik (Farid, 2006).

Kulit penderita dermatitis atopi mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto, 2009).

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut (Judarwanto, 2009).

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat (Judarwanto, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

1. James, J., bacher, C., & Swain, H. (2008). PRINSIP PRINSIP SAINS UNTUK KEPERAWATAN. Jakarta: Erlangga.2. Judarwanto, Widodo. 2009. Dermatitis Atopik. http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/17/dermatitis-atopik/3. Farid. 2006. Perjalanan Imunologis Terapi Psoriasis. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=64. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/8912.htm

6