sinagog surabaya

15
1 Antisemitisme Modern dalam Pembongkaran Sinagog Surabaya: Psikologi Politik Multikulturalisme 1 Febby Risti Widjayanto Universitas Airlangga [email protected] Abstract Antisemitism movement by joined member of muslim interest group reflected in the seal of the only Synagogue in Surabaya. This seal affects the way of the government of Surabaya on stipulating this building as cultural heritage. The trigger of the protest is the stereotype toward Jews which is in political psychology study known as groupthink. The scare of the Synagogue’s resident who is Jewish community remained themselves concealed, thus they evaded to have contact with outsider parties including the government of Surabaya. The government of Surabaya who doesn’t approach the Jewish community through multiculturalism psychology eventually ignoring the Synagogue-related research to postpone the legalization of cultural heritage status of synagogue. While the worried resident asked for larger amount of budgetary for synagogue’s maintenance and for the sake of their safety. However the 4-year abandonment caused the building was demolished by the owner’s intent and sold it to real estate businessman due to the high business value of the area. Keywords: Antisemitism, muslim organization, political psychology, multicultural psychology. Abstrak Gerakan antisemitisme oleh gabungan organisasi kemasyarakatan (ormas) islam yang tercermin dalam aksi penyegelan bangunan sinagog di Surabaya mempengaruhi pemerintah kota Surabaya dalam menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya. Pemicu penyegelan sinagog adalah stereotipe terhadap Yahudi dalam psikologi politik yang disebut dengan groupthink. Ketakutan penghuni yang merupakan anggota komunitas Yahudi Surabaya (Israelitische Gemeente Surabaya) membuat mereka menutup diri dengan pihak luar dan menghindari interaksi dengan pemerintah kota Surabaya. Pemerintah kota Surabaya yang tidak melakukan pendekatan secara psikologi multikulturualisme dengan komunitas Yahudi akhirnya melakukan pembiaran, mengabaikan kajian dan penelitian tentang bangunan sinagog. Ketakutan penghuni menyebabkan penghuni meminta alokasi dana yang lebih tinggi dan jaminan keselamatan jika sinagog ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun pembiaran selama empat tahun (2009-2013) akhirnya membuat penghuni merobohkan bangunan sinagog dan menjualnya kepada pengusaha karena alasan keamanan dan nilai jual yang lebih tinggi. Kata kunci: Antisemitisme, ormas islam, psikologi politik, psikologi multikulturalisme. 1 Jurnal ini merupakan hasil dari penulisan skripsi penulis

Upload: sam-ardi

Post on 12-Jul-2016

233 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Jurnal sinagog Surabaya

TRANSCRIPT

Page 1: Sinagog Surabaya

1

AntisemitismeModern dalam Pembongkaran SinagogSurabaya: Psikologi Politik Multikulturalisme1

Febby Risti Widjayanto Universitas Airlangga [email protected]

AbstractAntisemitism movement by joined member of muslim interest group reflected in the sealof the only Synagogue in Surabaya. This seal affects the way of the government ofSurabaya on stipulating this building as cultural heritage. The trigger of the protest is thestereotype toward Jews which is in political psychology study known as groupthink. Thescare of the Synagogue’s resident who is Jewish community remained themselvesconcealed, thus they evaded to have contact with outsider parties including the governmentof Surabaya. The government of Surabaya who doesn’t approach the Jewish communitythrough multiculturalism psychology eventually ignoring the Synagogue-related researchto postpone the legalization of cultural heritage status of synagogue. While the worriedresident asked for larger amount of budgetary for synagogue’s maintenance and for thesake of their safety. However the 4-year abandonment caused the building was demolishedby the owner’s intent and sold it to real estate businessman due to the high businessvalue of the area.

Keywords: Antisemitism, muslim organization, political psychology, multiculturalpsychology.

AbstrakGerakan antisemitisme oleh gabungan organisasi kemasyarakatan (ormas) islam yangtercermin dalam aksi penyegelan bangunan sinagog di Surabaya mempengaruhi pemerintahkota Surabaya dalam menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya. Pemicu penyegelansinagog adalah stereotipe terhadap Yahudi dalam psikologi politik yang disebut dengangroupthink. Ketakutan penghuni yang merupakan anggota komunitas Yahudi Surabaya(Israelitische Gemeente Surabaya) membuat mereka menutup diri dengan pihak luar danmenghindari interaksi dengan pemerintah kota Surabaya. Pemerintah kota Surabaya yangtidak melakukan pendekatan secara psikologi multikulturualisme dengan komunitasYahudi akhirnya melakukan pembiaran, mengabaikan kajian dan penelitian tentangbangunan sinagog. Ketakutan penghuni menyebabkan penghuni meminta alokasi danayang lebih tinggi dan jaminan keselamatan jika sinagog ditetapkan sebagai cagar budaya.Namun pembiaran selama empat tahun (2009-2013) akhirnya membuat penghunimerobohkan bangunan sinagog dan menjualnya kepada pengusaha karena alasan keamanandan nilai jual yang lebih tinggi.

Kata kunci: Antisemitisme, ormas islam, psikologi politik, psikologi multikulturalisme.1 Jurnal ini merupakan hasil dari penulisan skripsi penulis

Page 2: Sinagog Surabaya

2

Pendahuluan

Gerakan anti-Yahudi yang memprotes penyerangan Israel ke Palestina di tahun2009 melancarkan aksi pemboikotan tempat peribadatan umat Yahudi yang disebut dengansinagog (synagogue) di jalan Kayun Surabaya. Aksi protes massa ini dilakukan olehgabungan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam Jawa Timur di bawah koordinasiMajelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.

Rumah sinagog tercatat sebagai salah satu bangunan cagar budaya dengan statussebagai “Diduga Bangunan Cagar Budaya" sesuai dengan Surat Keputusan DinasKebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya No. 646/1654/436.6.14/2009 tertanggal 16April 2009. Semenjak tahun 2005, rumah ibadah ini sudah tidak aktif digunakan sebagaitempat peribadatan dan pertemuan komunitas Yahudi Surabaya. Sebagai cagar budayawarisan pemerintah kolonial Belanda, maka peruntukannya sebagai aset berhargapariwisata kota Surabaya (Istanto, 2013).

Sebagai bangunan cagar budaya, sinagog mendapat perlindungan hukum untukdijaga dan dipertahankan. Meskipun fungsionalitasnya hanya sebagai bangunan cagarbudaya, namun di tahun yang sama pula, sinagog ini ditutup dan disegel oleh kelompokormas islam yang menolak Israel dengan memboikot atribut-atribut Israel sepertimembakar bendera Israel, memboikot produk Israel, dan menyegel rumah ibadah sinagog.

Gerakan anti-Yahudi ini dalam bahasa akademik dan politik dikenal sebagai gerakanantisemitisme. Penutupan sinagog di Surabaya adalah bentuk gerakan antisemitisme ditingkat kota. Desakan kelompok kepentingan seperti gabungan ormas islam terhadappenyegelan sinagog menjadi permasalahan yang tidak terjamah semenjak empat tahunsilam. Sehingga tidak banyak literatur dan informasi yang dapat diketahui dari kasus iniyang pada akhirnya berakhir dengan pembongkaran seluruh bangunan sinagog.

Permasalahan ini menjadi relevan jika diulas menggunakan teori psikologi politikdan multikulturalisme. Penekanan peneliti untuk mengurainya dengan teori psikologipolitik karena aksi kelompok tidak dapat dilepaskan dari persepsi dan stereotipe terhadapIsrael dan Yahudi dalam pandangan kelompok organisasi kemasyarakatan islam. Psikologipolitik juga mampu membaca skenario di balik pembuatan keputusan atas penetapansinagog sebagai bangunan cagar budaya dan pengaruh kelompok anti-Yahudi terhadapkeruntuhan bangunan ini.

Sedangkan dinamika psikologi multikulturalisme mengandung dimensi politik yangsangat kental. Kelompok mayoritas selalu memiliki dorongan untuk menguasai danmengendalikan kelompok minoritas (Wong dan Wong, 2006). Kekhasan- kekhasan yangada pada setiap kelompok justru tidak dijadikan sebagai keunggulan politik yang justrumenjadikan proses-proses politik kaya akan pandangan, melainkan ancaman dan usahauntuk mengakhiri kelompok minoritas.

Dalam situasi seperti ini, otoritas netral yang seharusnya bekerja sebagai fasilitator

Page 3: Sinagog Surabaya

3

konflik interkultural, terdesak untuk memecahkan persoalan interkultural yang mengancamkewibawaan otoritas tersebut. Otoritas yang disebut dengan pemerintah memilikitanggung jawab untuk membekali institusi dengan wawasan kultur yang memadai,holistik, dan arif dalam mendekati kelompok-kelompok mayoritas dan minoritas untukmengkomunikasikan jalan perdamaian. Ketika aktivitas penegakan otoritas terganggu,maka pemerintah tidak bisa tinggal diam dan menunggu, membiarkan proses berjalandengan sendirinya. Dengan kata lain, pemerintah juga sedang mendapat tekanan untukmempertahankan kewibawaannya— atau pemerintah gagal dalam menegakkan otoritasnyasebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundangan.

PembahasanAntisemitisme dalam pembongkaran sinagog dapat ditelusuri dengan membagi

peristiwa pembongkaran sinagog menjadi beberapa tahapan proses. Tahapan tersebutterdiri dari tahapan pra-penyegelan, tahapan penyegelan sinagog oleh ormas islam, tahapanpengusulan sinagog sebagai bangunan cagar budaya, tahapan pembongkaran sinagog, dantahapan pasca pembongkaran sinagog. Tahapan pra-penyegelan adalah pandangan yangberkembang luas di komunitas masyarakat dengan jumlah penduduk muslim yang cukupsignifikan bahwa kebencian terhadap Yahudi dan Israel adalah sebuah kepercayaan untukmenentang kekejaman Israel terhadap Palestina. Keterlibatan emosi yang dalam danbersentuhan dengan sendi solidaritas agama membuat komunitas anti-Yahudi dan Israelmemboikot seluruh atribut yang berhubungan dengan Israel dan Yahudi, termasukbangunan sinagog.

Tahapan pertama: penyegelan sinagogMassa yang bergejolak karena pandangan buruk terhadap Yahudi dan Israel

menggelar aksi arakan massal untuk memboikot dan mencopot atribut-atribut Yahudi danIsrael. Akibat pengaruh sentimensi pada tahap pra-penyegelan, massa dari ormas Islamyang dibakar oleh kebencian terhadap Yahudi dan Israel menyasar rumah bangunansinagog yang dipandang sebagai simbol keberadaan Yahudi dan kejahatan Israel yangharus ditindak. Kebencian yang menjadi bahan bakar dalam memboikot sinagog berasaldari stereotipe dan prasangka terhadap Yahudi yang berkembang di tengah komunitasmasyarakat muslim menyamakan Yahudi dalam satu terma umum – Yahudi adalah zionisIsrael. Kesulitan dalam membedakan Yahudi dalam terma etnis, religi, dan politis berakibatpada penyamarataan Yahudi dengan zionis Israel yang kejam dan bengis. Sedangkankomunitas Yahudi yang mendiami bangunan sinagog adalah Yahudi dalam pengertianetnis dan agama yang tidak memiliki afiliasi politik dengan Israel. Pengaruh stereotipe danprasangka dari kelompok terhadap kelompok lain membuat tindakan penyegelanmenjadi lebih mudah diterima dan disebarluaskan. Gejala ini dapat dijelaskan dalamteori psikologi politik tentang kelompok dan stereotipe.

Tahapan kedua: pengusulan sinagog sebagai bangunan cagar budaya

Usulan untuk menjadikan bangunan sinagog sebagai cagar budaya datang darikeprihatinan komunitas pengamat dan pecinta bangunan tua di Surabaya. Sejarahkeberagamana yang ada di Surabaya adalah sebuah nilai sosial yang sangat tinggi

Page 4: Sinagog Surabaya

4

karena bangunan sinagog menyimpan sejarah tentang bagaimana masyarakatSurabaya yang juga berpenduduk muslim pernah hidup berdampingan dengan komunitasYahudi. Pengusulan sinagog sebagai cagar budaya memiliki alasan untuk melindungiwarisan budaya kolonial termasuk nilai histori, seni bangunan, dan kehidupan sosial yangplural yang pernah membingkai wajah Surabaya. Pengusulan sebagai bangunan cagarbudaya adalah upaya untuk menjaga dan melindungi bangunan tua. Namun karenapemerintah kota Surabaya tidak menjadikan sinagog sebagai daftar bangunan prioritasyang harus segera disahkan statusnya dari “SK Diduga” menjadi “SK Walikota”disebabkan karena kurangnya data dan penelitian terhadap bangunan ini yang menjadikanproses penetapannya ditangguhkan dalam jangka waktu empat tahun (2009 hingga tahun2013). Proses yang tertunda hingga akhirnya membuat bangunan sinagog terbengkalai danberakhir dengan pembongkaran. Kurangnya pengetahuan dalam mendekati pemilik sinagogmembuat pemerintah menjadi salah langkah dan membuat pemerintah terjebak dalamposisi pembiaran atas bangunan cagar budaya.

Tahapan ketiga: pembongkaran sinagog

Peristiwa puncak dari serangkaian gerakan anstisemitisme adalah momentumpembongkaran sinagog di tahun 2013. Kelambanan pemerintah dalam menetapkanbangunan ini menyebabkan penghuni sinagog menghindari kontak dengan pihak luartermasuk dengan pemeirntah kota Surabaya karena ketakutan jika keselamatan dankeamanannya terancam. Pembongkaran sinagog dilatarbelakangi karenapertimbangan keamanan dari penghuni sinagog dan alasan kalkulasi ekonomi dari nilaijual bangunan dan tanah yang lebih tinggi ketimbang jika hanya difungsikan sebagaibangunan cagar budaya. Permintaan penghuni akan pendanaan yang lebih besar kepadapemerintah kota Surabaya dari segi keamanan tidak terpenuhi sehingga membuat pemiliklebih memilih untuk merobohkan bangunan dan menjualnya ke orang lain.

Lambannya pemerintah dalam mengumpulkan data tentang bangunan sinagogsemakin memperlambat penetapan sinagog sebagai cagar budaya. Kurangnya penelitiantentang bangunan sinagog juga dilatarbelakangi oleh cara pendekatan pemerintah kotaSurabaya kepada penghuni sinagog. Pemerintah yang akhirnya memilih untuk membiarkanbangunan ini selama empat tahun tidak melakukan upaya pendekatan yang lebih intensdan mendalam untuk merengkuh penghuni sinagog yang serba ketakutan untukberinteraksi dengan pihak luar. Pendekatan yang luput dilakukan oleh pemerintah adalahpendekatan yang kurang menyentuh segi kultur yang disebut dengan psikologimultikulturalisme. Pendekatan pemerintah yang tidak sensitif kultur membuat penghunisinagog semakin menghindari kontak dengan pihak luar.

Tahapan keempat: pasca pembongkaran sinagog

Tahapan yang terakhir adalah pasca perobohan sinagog yang melibatkan peranotoritas pemerintah kota Surabaya yang bertanggung jawab sebagai penjaga dan pelindungbangunan cagar budaya di Surabaya. Pascaperistiwa perobohan sinagog, pemerintah kotaSurabaya kembali meninjau peraturan tentang cagar budaya dan praktik implementasi dari

Page 5: Sinagog Surabaya

5

perundangan tentang cagar budaya. Setelah pemerintah kota Surabaya merasakecolongan karena terdapat satu bangunan cagar budaya yang roboh maka pemerintahdengan cepat bergerak untuk memperbaiki celah dalam mempertahankan bangunan cagarbudaya. Kelambanan pemerintah – termasuk absennya upaya untuk mendekati penghunisinagog dan memperjuangkan status bangunan cagar budaya sinagog tidak ditempuhdengan pendekatan yang massif sehingga pembiaran pun terjadi. Akibat pembongkaransinagog, berita ini menjadi salah satu fakta yang mencengangkan sekaligusmengkhawatirkan atas penjagaan bangunan cagar budaya. Diiringi dengan desakankelompok-kelompok pecinta cagar budaya, pemerintah kota Surabaya akhirnya mengambiltindakan untuk mengusut kasus bangunan sinagog secara hukum agar kejadian serupa tidakterulang di kemudian hari mengingat tanggung jawab Pemerintah Kota Surabaya sangatbesar dalam menjaga dan melindungi bangunan cagar budaya seperti yangdiamanatkan oleh Undang-undang cagar budaya dan Peraturan Daerah Kota Surabaya.

Psikologi Politik Ormas Islam dan Komunitas Yahudi

Dalam psikologi politik tentang kelompok menurut Durkheim (1938)gabungan ormas Islam terdiri dari individu-individu yang seringkali bertingkah lakuberbeda ketika mereka bergabung bersama dibandingkan dengan ketika individi- individuini bertindak sendirian. Karakteristik struktural gabungan ormas islam dalam psikologisosial adalah sekumpulan orang-orang yang saling memiliki dan saling tergantung satusama lain. Dijelaskan dalam Moreland (1987) ormas Islam sebagai sebuah sarana integrasisosial – di mana menjadi ajang pertunjukkan atas kualitas tertentu dari seorang individupada tingkat tertentu. Tingkatan kualitas ini ditunjukkan dengan kesadaran individu dalamgabungan ormas islam untuk terintegrasi dalam aksi penyegelan sinagog. Individu-indiviuyang tergabung dalam gabungan ormas Islam berpikir dan bertindak sebagai sebuahkelompok, yaitu kelompok ormas islam yang menentang Yahudi dan Israel.

Menurut studi Johnson et al., (2005) gabungan kelompok ormas islammemiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan akan identitas, yaitumengembangkan gabungan ormas islam untuk diikuti oleh lebih banyak ormas-ormasIslam yang mempertegas identitas mereka sebagai kelompok yang anti Yahudi danIsrael. Gabungan kelompok ini dipengaruhi oleh koherensi kelompok. Dasgupta danBanji (1999) menyebutkan koherensi kelompok ditentukan oleh persepsi yangdibangun bersama untuk mempertahankan keutuhan kelompok tersebut. Individu-individu yang turut ikut dalam aksi penyegelan sinagog tidak memahami tentang historikaum Yahudi di Surabaya. Kesepakatan atas kedangkalan pandangan terhadap Yahudimenjadi perekat di antara ormas-ormas Islam bahwa mereka adalah kelompok solidaritasyang anti-Yahudi dan Israel.

Page 6: Sinagog Surabaya

6

Penjabaran Jost et al., (2004) tentang struktur dan dimensionalitas sikap negatifantarkelompok memberikan pandangan yang menarik ketika prasangka terhadapYahudi mengalami evolusi yang sangat rapi dalam struktur kelompok gabungan ormasIslam dan menjadi nilai tersendiri yang cukup ampuh dalam menyatukankelompok dan membulatkan suara. Artinya ialah bagi kelompok yang inginterintegrasi dengan label solidaritas keagamaan, maka penerimaan struktur adalahsyarat utama agar dapat menjadi bagian dalam kelompok. Struktur yang secaraterus-menerus direproduksi, dipertahankan, dan disosialisasikan menjadi tertanam danmengakar sangat kuat. Struktur yang menaungi kehidupan kelompok gabungan ormasislam bekerja dengan maksimal ketika mendapat daya dukungan dari dimensi yangmenyebabkan rentang struktur semakin luas. Dimensi pembelaan terhadap Palestinaadalah dimensi politik yang mendapat respon dari struktur dengan sangat baik.

Janis (1972) menyoroti keputusan politik besar berasal dari konsensus atasgaya pemikiran irasional yang digulirkan atas nama konformitas kelompok.Keputusan ormas islam untuk menutup bangunan sinagog dan disertai dengan aksipembakaran bendera Israel adalah keputusan yang buruk karena tidak berdasarkanpada kajian terhadap sinagog tersebut. Artinya ialah perbekalan yang tidakmemadai menekan rasionalitas dalam melihat Yahudi secara proporsional danmenggunakan gaya pemikiran tersebut untuk melancarkan aksi. Irasionalitas dalampembuatan keputusan kelompok disebut dengan groupthink. Beberapa karakteristikgroupthink gabungan kelompok ormas Islam yang dengan mudah terbaca adalah: (1)pertama, adanya tekanan kuat yang menyebabkan anggota gabungan kelompok ormasislam merasa harus menyesuaikan diri dengan sebuah keputusan untuk turut serta dalamaksi penyegelan bangunan sinagog – agar tidak mendapat sangsi, pengucilan, dan terusdapat mempertahankan komitmen mereka untuk konform dengan kelompok atas namasolidaritas keagamaan – jika sesama muslim adalah saudara, (2) kedua penyensoran diri(self-censorship) terjadi ketika terdapat anggota kelompok gabungan ormas islammengkritik keputusan bersama, mereka yang tidak menyetujui akan diitekan secara tidaklangusng untuk tidak mengutarakan ekspresi ketidaksetujuan atas keputusan untukmenyerbu sinagog, (3) ketiga ialah penjaga pikiran (mindguards) – tim kecil yangmempersiapkan aksi juga bertindak sebagai penjaga dan pengendali pikiran gabungankelompok ormas islam untuk tetap mempertahankan keadaan – dimana para anggotagabungan ormas islam tetap tidak melakukan kajian terhadap bangunan sinagog Surabayakarena dapat mengganggu arus keberlangsungan keputusan penyerbuan sinagog tersebut,(4) keempat adalah kebulatan suara yang semu (apparent-unamity) mengenai pendapat,semua anggota kelompok tampak menyetujui satu sama lain ketika kebulatan suarasebenarnya berasal dari suara tunggal yaitu koordinator aksi yang mengartikulasikansolidaritas keagamaan yang membuat semua anggota kelompok ormas islam tampakmenyetujui satu sama lain, (5) gejala kelima ialah ilusi tentang kekebalan (illusions ofinvulnerability) – gabungan ormas islam membayangkan ilusi tentang kekebalan bahwatidak akan ada kelompok yang dapat menghentikan aksi mereka, penilaian mereka tentangYahudi adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, (6) keenam yaitu ilusi tentangmoralitas (illusions of morality) membuat gabungan kelompok ormas islam meyakinibahwa jalan penyerbuan, kerusuhan, protes adalah moralitas kelompok yang tidak

Page 7: Sinagog Surabaya

7

perlu dipertanyakan lagi. Kandungan moral dari keputusan untuk menyerbu bangunansinagog adalah moralitas kelompok yang baik, tidak konfliktual karena disusun olehelit – pemegang jabatan tinggi atau MUI sebagai koordinator yang telahmempertimbangkan kebenaran moral, (7) ketujuh adalah persepsi yang bias tentangkelompok lain (biased perception of other group), persepsi yang bias terhadap Yahudiadalah persepsi yang menyebabkan keputusan kelompok berujung pada kedelapan (8) yaitukegagalan konyol (fiasco) karena ketidaktahuan tentang Yahudi dan perkembangansinagog di Surabaya sehingga aksi protes terhadap Yahudi menjadi tidak tepat sasarankarena kelompok yang mereka protes adalah kelompok etnik-religik yang tidakberafiliasi dengan Israel, kecerobohan (blunders) dapat terjadi ketika aksi gabungankelompok ormas islam mendapat sorotan dari media-media internasional yang memotretdan merekam aksi penyerbuan tersebut ketika sasarnnya tidak tepat serta menimbulkanbencana (debacle) yaitu kegoncangan relasi sosial penghuni komplek bangunan sinagogyang memiliki ketakutan tersendiri terhadap ormas islam.

Pembuatan keputusan semacam ini diarahkan pada Yahudi dan diaktifkankarena stereotipe terhadap yahudi yang berkembang bahwa Yahudi adalah golonganpendusta, licik, haus kekuasaan, protokapitalis dan penipu ulung (Mitten, 1994; Wodak,1997). Stereotipe yang direkognisi oleh gabungan ormas Islam dalam pandangan Wodak etal., (2001) tersebut membawa penegasan bagi gabungan ormas Islam untuk menyerangsinagog yang merupakan atribut Yahudi dan Israel.

Psikologi Politik Multikulturalisme

Tipe pendekatan yang dapat merengkuh pemilik dan penghuni sinagog sayangnyatidak digunakan oleh pemerintah kota Surabaya dalam upaya mendukung otoritasnyasebagai penjaga bangunan cagar budaya. Rumusan Leong dan Wong (2003)dalam Wongdan Wong (2006) menunjukkan jikapendekatan multikulturalisme adalah gerakan sosialyang menghargai hak asasi manusia secara global. Hak asasi manusia dijunjung pula olehpemerintah kota sebagai bagian dari komunitas global yang mendukung nilai-nilaikeamanan, kesetaraan, dan perdamaian. Multikulturalisme dalam pandangan kebijakansosial-politik bertujuan untuk mempromosikan keberagaman, inklusivitas, dan kesetaraanmelalui nilai-nilai perbedaan etnis dan warisan budaya. Kebijakan pemerintah kotaSurabaya yang menangguhkan pemrosesan kenaikan status cagar budaya bangunan sinagogadalah cerminan kebijakan sosial-politik yang memperhatikan prinsip perbedaan etnis danwarisan budaya yang juga harus dihargai dan dihormati. Dengan kebijakan seperti ini,pemerintah kota bermaksud untuk mengabsahkan diversitas dan inklusifitas dengan tujuanuntuk menerima sebuah kebudayaan sebagai entitas yang setara.

Konseling yang berdampak lebih luas juga dapat dipraktikkan seperti yangdiintrodusir oleh Ibrahin (1991: 17) dalam Wong dan Wong (2006: 30) bagaimanapentingnya konseling yang juga melibatkan masyarakat luas diluar subjek kultur yangharus ditangani oleh pemerintah kota agar masyarakat semakin menyadari tentangpandangan lain tentang komunitas etnik-religik Yahudi yang berkembang di tengah- tengahmereka. Pemerintah kota perlu untuk mengeksekusi pendekatan multikultural sebagai alat

Page 8: Sinagog Surabaya

8

untuk menghadapi ketergantungan etnisitas, budaya, ssejarah sosial- politik dari pihak-pihak yang terlibat. Pandangan mutlikultural bagi pemerintah kota akan memberikanperspektif untuk menggali lebih dalam tentang perbedaan pandangan individualsebagai hasil dari interaksi kelompok. Individu dalam komunitas Yahudimendapatkan tempat yang penting karena melalui individu ini termuat titik berangkatyang esensial karena latar belakang etnis.

Empat prakondisi yang harus dipenuhi oleh pemerintah kota Surabaya dalammerangkul komunitas yang hendak dimaksudkan agar terintegrasi dengan dan patuh padaotoritas pemerintah kota Surabaya. Tujuan dari keterlibatan komunitas Yahudi adalahuntuk membentuk iklim konsultasi yang lebih ramah budaya dan menerima keberagamansebagai penyelesaian masalah yang diinisiasi oleh pemerintah kota (Wong dan Wong,2006). (1) Kondisi pertama yang harus dipenuhi adalah kebutuhan akan pengetahuan tentaglatar belakang budaya – pemerintah kota Surabaya dituntut untuk lebih pro-aktif dalammembekali otoritasnya dengan pengetahuan budaya yang mumpuni sebagai mekanismepertahanan otoritas tunggal untuk mengenal lebih baik karakteristik wilayah yang menjadicakupan pemerintahan, dan menjadi otoritas yang serba mengetahui hampir seluruh halyang terjadi di dalam suatu wilayah otoritas – untuk memperteguh kedudukan pemerintahkota bahwa hanya otoritas ini lah yang sah untuk memaksa dan mnejamin terlaksananyaregulasi diantara semua warga masyarakat.

Kerangka pemikiran dalam kebijakan multikulturalisme menganjurkanpemerintah kota untuk mengetahui lebih banyak tentang kultur klien. Merujuk pada Brown(1997), Ingraham (2000), Jackson dan Hayes (1993), Ramirez et al., (1998), Westermeyerdan Hausman (1974). Pengayaan kultur oleh pemerintah kota Surabaya denganmengakrabkan diri dengan sejarah komunitas Yahudi di Surabaya akan banyakmembantu pemerintah dalam menghadapi klien (komunitas Yahudi yang takut akan orangasing) – jika pemerintah memahami kultur yang berkembang dalam komunitas Yahudimaka pemerintah kota akan memiliki keleluasaan lebih, empati, dan kedekatanemosional yang perlahan dibangun sebagai usaha untuk mnejlain hubungan antara the rulerdan the ruled. Eksposur oleh pemerintah kota mengenai Yahudi membuat komunitasYahudi lebih merasa tenang, tidak merasa cemas dan was-was karena pemerintah kotatelah mencoba merengkuh komunitas Yahudi sehingga mereka merasa tidak ada yang perludikhawatirkan karena otoritas pemerintah kota adalah institusi yang terbuka dan sekaliguspelindung hukum yang bertanggung jawab.

Kultur yang perlu dipahami oleh pemerintah kota ialah bagaimana sistemkekerabatan Yahudi berkembang, karena ini mencakup asal mula menetapnya mereka diSurabaya, migrasi keluarga, ikatan kekeluargaan yang terjalin untuk memastikan bahwamereka memiliki rasa aman untuk bergerak dan berpindah, mereka memiliki hak yangsama untuk hidup, untuk mendapatkan rasa aman dan damai ketika pemerintah kotamencoba mempertahankan otoritasnya, maka pemerintah mengimbanginnya denganmenawarkan opsi-opsi perlindungan sebagai hasil dari pematangan pengetahuan akankultur komunitas Yahudi. Persepsi tentang pendidikan juga penting untuk diketahui tentangsistem berpikir komunitas dan bagaimana cara komunitas ini bertahan hidup diwilayah

Page 9: Sinagog Surabaya

9

otoritas pemerintah kota Surabaya, bagaimana komunitas ini juga menikmatikebijakan-kebijakan pemerintah kota dibidang pendidikan – apakah perlakuannya sama,ataukah mendapatkan diskriminasi. Sementara itu dalam Lynch (2004) menyebutkan kulturyang harus dipahami dan menjadi pekerjaan pemerintah adalah intervensi dan pola-pola komunikasi. Pola intervensi sebagaimana yang dipahami oleh komunitas adalahkultur yang memainkan peran penting dalam pendekatan pemerintah kota dengankomunitas Yahudi di Surabaya. Bagaimana komunitas memaknai intervensi sebagai upayauntuk meningkatkan rasa aman, terbuka untuk merekah, dan bukan sebagai upayayang justru membahayakan keselamatan komunitas. Karena semakin komunitas menutupdiri dengan otoritas yang ada, maka potensi keamanan komunitas juga riskan terhadapgangguan karena pemerintah kota merasa tidak ada yang perlu dibenahi melalui intervensiotoritas pemerintah kota. Sedangkan pola-pola komunikasi juga utama mengingatkomunitas Yahudi di Surabaya tinggal di tengah-tengah tetangga yang lebih banyakmenganut agama islam, sehingga pola interaksi yang terjadi dpaat diketahui denganbagaimana komunitas Yahudi menjalin hubungan dengan tetangga untuk memberikanketenangan pada mereka bahwa komunitas tidak mendapat resistensi dari masyarakatsekitar, melainkan mendapatkan penerimaan yang baik dari masyarakat, tokoh masyarakat,bahwa sebenarnya komunitas ini juga tidak pasif dan menghindar, namun pernahmembentuk hubungan yang baik dengan tetangga yang artinya terdapat usaha lebih puladari komunitas untuk berbaur dengan masyarakat dan menganggap bahwa semakinbanyak masyarakat yang mengetahui tentang keberadaan mereka, maka akan lebih banyakinformasi yang tersebar, dengan begitu mereka sebenarnya telah menerapkan komunikasiaktif kepada pihak-pihak yang tinggal di sekitar komunitas.

Selanjutnya tanggung jawab konsultan adalah berkomunikasi lintas kultur. Konsultanmemiliki pengaruh dan wibawa untuk cukup cakap dalam menyesuaikan gayaberkomunikasi yang sensitif terhadap perbedaan inter-kultural (Harris, 1991; Miranda,1993; Ramirez et al., 1998; Tarver, Behring, dan Gelinas, 1996; Jackson dan Hayes, 1993;Westermeyer dan Hausman, 1974). Otoritas pemerintah kota berperan dalam mendesaingaya berkomunikasi dalam ruang-ruang publik seperti pidato dan orasi, komunikasi non-verbal, kontak mata dari personal konsultan yang tergabung dalam tim cagar budayamaupun pihak yang berasal dari dinas kebudayaan dan pariwisata, ekspresi wajah yangtidak sarat prasangka, bahasa tubuh menjadi perhatian penting tentang hal-hal mikroyang mempengaruhi respon komunitas Yahudi yang ketakutan ini. Menurut Lateer danCurtis (1991) karena bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan otoritas dannorma politik adalah pilihan yang jika tidak diaplikasikan dengan tepat maka akan berbalikmenjadi hambatan dalam berkomunikasi. Sedangkan hambatan dalam berkomunikasiadalah elemen yang harus dihindari untuk memperlancar proses pendekatan pemerintahkota dengan komunitas Yahudi yang skeptis dengan pihak-pihak luar.

Prakondisi selanjutnya adalah tingkat kedekatan yang dibangun dari hubunganinterpersonal antara konsultan dengan klien. Sedangkan menurut Brown (1997), Ingraham(2000), Lateer dan Curtis (1991), perbedaan budaya memiliki pengaruh yang signifikanterhadap kualitas hubungan antara konsultan dengan klien, pendekatan multikulturalismemempersyaratkan konsultan mengadakan suatu hubungan dalam nuansa konsultasi yang

Page 10: Sinagog Surabaya

10

menitikberatkan pada sensitivitas kultur (Brown, 1997; Ingraham, 2000; Lateer dan Curtis,1991). Derajat sensitivtas kultur yang dimiliki oleh pemerintah kota Surabaya menentukankualitas kedekatan pemerintah kota Surabaya dengan komunitas Yahudi untuk membangunsebuah kedekatan hubungan yang berkesinambungan. Sehingga pengadaan hubungandalam konsultasi menekankan pada kepekaan pemerintah kota Surabaya terhadap “menjadiYahudi” di Surabaya agar dapat meningkatkan kedekatan diantara dua pihak, karenakepekaan mnejadi kunci untuk menyerahkan – ketika pemerintah kota peduli terhadapkultur komunitas Yahudi yang mereka kembangkan, nuansa konsultasi akan dapatmembentuk hubungan yang memiliki intimasi yang lebih tinggi, karena komunitas Yahudimenganggap bahwa pemerintah kota adalah institusi yang memperhatikan keberadaanmereka, menimbulkan perasaan untuk turut terintegrasi dan patuh di bawah otoritaspemerintah kota Surabaya. Dengan kata lain, sebenarnya pemerintah kota Surabaya hendakmemaksakan otoritasnya namun dengan jalan yang lebih personal, menyentuh,meninggalkan kesan kekuasaan yang halus dan perhatian untuk sebuah tujuan yaituketegasan otoritas. Kombinasi seperti ini yang akan tercipta dalam mewarnai hubunganpemerintah kota Surabaya dengan komunitas Yahudi di Surabaya (Westermeyer danHausman, 1974).

Prakondisi terakhir bagi Duncan (1995) dan Gibbs (1985) dalam menciptakanpendekatan multikulturalisme adalah perguliran isu-isu multikulturalisme yang ditunjukkanpada setiap proses tahapan konsultasi. Isu-isu tentang Yahudi yang banyak mendapatstereotipe negatif disikapi oleh pemerintah kota Surabaya dengan arif dan memperhatikanproporsionalitas pemberitaan untuk menjaga setiap tahapan konsultasi bahwa pemerintahberkomitmen penuh untuk berbaur dengan komunitas Yahudi di Surabaya. Pengendalianatas stereotipe harus diimbangi dengan pemahaman bahwa Yahudi sama halnya denganelemen masyarakat lain, memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai konsekuensisetiapkultur. Konsistensi pemerintah dalam menjaga standar-standar multikultur yang digunakansebagai pendekatan akan memastikan bahwa pendekatan multikulturalisme akan berjalansesuai dengan agenda otoritas pemerintah kota Surabaya, untuk mencapai sebuah tujuanyaitu mempertahankan bangunan cagar budaya. Penekanan pada prinsip ini adalah tuntutanats kemampuan personal dari konsultan yang peka dengan gaya-gaya komunikasi tertentuyang sebenarnya mengandung tujuan tertentu dari otoritas pemerintah kota Surabaya.Sedangkan gaya-gaya komunikasi yang spesifik akan menumbuhkan kesadaran komunitasYahudi di Surabaya yang berorientasi pada hubungan kerja yang kolaboratif (Duncan,1995; Gibbs, 1985). Sehingga capaian yang diagendakan untuk melibatkan komunitasYahudi di Surabaya adalah wujud kerja kolaborasi dalam menjaga bangunan cagar budayasinagog.

Model pembuatan keputusan untuk tidak mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan(IMB) berdasarkan rekomendasi dari tim ahli cagar budaya sebagai tanggapan atasperobohan sinagog ini merupakan model pembuatan keputusan yang diperkenalkan olehGraham Allison (1967). Model keputusan untuk menahan pengeluaran Izin MendirikanBangunan (IMB) adalah model keputusan Graham Allison yang ketiga yakni keputusanialah sebuah hasil dari politik birokrasional dari permainan tawar-menawar. Penahanan IzinMendirikan Bangunan (IMB) adalah sebuah keputusuan yang dipilih oleh pemerintah kota

Page 11: Sinagog Surabaya

11

Surabaya akibat adanya tekanan dari berbagai pihak yang menaruh perhatian padapermasalahan bangunan cagar budaya. Tekanan dan desakan itu berasal dari komunitaspemerhati cagar budaya seperti Serikat Poesaka Soerabaja (Surabaya Heritage Society) danTim 11 Von Faber Surabaya.

PenutupKesimpulan

Ketakutan secara psikologis mantan penghuni bangunan sinagog oleh aksiantisemitisme yang disebabkan oleh pemikiran kelompok (groupthink) organisasikemasyarakatan islam terhadap kelompok Yahudi yaitu stereotipe dan prasangkamenyebabkan ruang gerak kelompok Yahudi penghuni sinagog terbatas. Sehingga demialasan keamanan, kelompok Yahudi memilih untuk menghindari kontak dengan pihak luartermasuk pemerintah Kota Surabaya dan merobohkan bangunan sinagog untukmenghindari protes massa anti-Yahudi.

Sentimensi terhadap kelompok Yahudi yang datang dari organisasikemasyarakatan islam mempengaruhi kinerja Pemerintah Kota Surabaya dalammenetapkan sinagog sebagai bangunan cagar budaya. Kelambanan kerja selama empattahun yang tidak membuahkan hasil disebabkan karena tidak adanya kajian dan penelitiantentang sinagog dan Yahudi di Surabaya. Minimnya penelitian membuat Pemerintah masihterpengaruh dengan prasangka sosial dan stereotipe terhadap kelompok Yahudi. Akibatnyapendekatan yang dilakukan terhadap penghuni sinagog tidak berdasarkan sensitivitasmultikulturalisme – karena pengetahuan kultur yang juga terbatas.

Daftar Pustaka

Buku

Avner, F. (2008) Antisemitism: A History And Psychoanalysis of ContemporaryHatred. Connecticut: Praeger Publishers.

Blaine, B. ( 2007) Understanding the Psychology of Diversity. London: SagePublications.

Bungin, B. Ed. ( 2008) Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers

Chanes, J. (2004) Antisemitism. Oxford: ABC Clio

Cottam, M., Uhler, B., Mastors, E. and Preston, T. (2004) Introduction to PoliticalPsychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Elster, J. (1993) Political Psychology. Cambridge: The Press Syndicate University ofCambridge.

Page 12: Sinagog Surabaya

12

Garaudy, R. (1995) Zionis Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik, terj. Moelia RadjaSiregar. Jakarta: Gema Insani Press

Harrison, L. (2001) Political Research. London: Routledge.

Holsti, K.J. (1988) Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Edisi KeempatJilid 2, terj. M. Tahir Azhary. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Jackson, R. and Sorensen, G. ( 2005) Pengantar Studi Hubungan Internasional, terj.Deden Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jost, J. T. and Sidanius, J. (2004) Political Psychology. New York: Psychology Press.

Kuklinski, J. (2002) Thinking about Political Psychology. New York: CambridgeUniversity Press.

Lott, B. (2010) Multiculturalism and Diversity. Sussex: Blackwell Publishing.

Maccoby, H. (2006) Antisemitism and Modernity. New York: Routledge.

Ma'oz, M. ed. (2011) Muslim Attitudes to Jews and Israel. Sussex: Sussex AcademicExpress.

McDermott, R. (2009) Political Psychology in International Relations. Michigan:University of Michigan Press.

Muluk, H. (2012) Pengantar Psikologi Politik Edisi Kedua. Rajawali Pers: Jakarta.

Prastowo, A. ed. (2011) Memahami Metode-metode Penelitian. Yogyakarta: Ar-RuzzMedia.

Reisigl, M. and Wodak, R. (2001) Discourse and Discrimination: Rhetorics of Racismand Antisemitism. New York: Routledge.

Sears, D., Huddy, L. and Jervis, R. (2003) Oxford Handbook of Political Psychology.New York: Oxford University Press.

Surbakti, R. (1992) Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Wong, P. and Wong, L. eds. (2006) Handbook of Multicultural Perspectives on Stress andCoping. 2nd ed. New York: Springer Science Business Media.

Haddler, J. Translations of Antisemitism: Jews, The Chinese, and Violence inColonial And Post-Colonial Indonesia. Indonesia and the Malay World, 32 (94). pp.0.

Page 13: Sinagog Surabaya

13

Reid, A. 2010. Jewish-Conspiracy Theories in Southeast Asia. Indonesia and The MalayWorld, [Online] 38 (112). pp.373-385. Available at:http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639811.2010.513848?journalCode=cimw20#.UryrstIW00k [Accessed on 26 October 2013].

Samsuri, S., Teologi Humanis Yahudi Abangan: Pengalaman Herbert Feith. JurnalEsensia, 3 (2). pp.99-121

Siegel, J. 2010. Kiblat and The Mediatic Jew. Indonesia, [Online] 69 (110). pp.9-40.Available at:http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1106943308 [Accessed on 19 September 2013].

Armandhanu, D. “Kemlu: Indonesia Tidak Akui Israel”. Jumat, 13 Mei 2011.http://dunia.news.viva.co.id/news/read/220251-kemlu--indonesia-tidak-akui-israel Assegaf, F.2013. Jejak Yahudi di Indonesia. Merdeka Online, [Internet] 29 may2013. p0. Available at: http://m.merdeka.com/khas/jejak-yahudi-di-indonesia-lobi- zionis-di-indonesia-1.html. [Accessed 8 September 2013].

Harsaputra, I. 2013. Surabaya's only Synagogue Torn Down. The Jakarta Post, [Internet] 16September 2013. p16. Available at: http://www.thejakartaglobe.com/news/javas-last-synagogue-torn-down/. [Accessed 10October 2013].

Kershner, I. and Khodary, T. 2009. Israeli troops Launch Attack on Gaza. The New YorkTimes, [Internet] 3 January 2009. p4. Available at:http://www.nytimes.com/2009/01/04/world/middleeast/04mideast.html?pagewanted=all&_r=0. [Accessed 3 May 2013].

Lenakoly, S. 2009. Serbu Peribadatan Yahudi, Ormas Islam Bakar Bendera Israel. DetikNews, [Internet] 7 January 2009. p466. Available at:http://news.detik.com/surabaya/read/2009/01/07/111017/1064336/466/serbu- peribadatan-yahudi-ormas-islam-bakar-bendera-israel. [Accessed 3 July 2013].

Onishi, N. 2010. In Silver of Indonesia, Public Embrace of Judaism. The New York Times,[Internet] 22 November 2010. p23. Available at:http://www.nytimes.com/2010/11/23/world/asia/23indo.html?nl=todaysheadlines&emc=a22&_r=0. [Accessed 30 September 2013].

Pasandaran, C. 2013. Java's Last Synagogue Torn Down. The Jakarta Globe, [Internet] 15June 2013. p0. Available at:http://www.thejakartaglobe.com/news/javas-last-synagogue-torn-down/. [Accessed 3July 2013].

Page 14: Sinagog Surabaya

14

Congressional Research Service 2009, Israel and Hamas: Conflict in Gaza (2008-2009), CRS Report for Congress, US Foreign Aid to the Palestinians

Harris, S. 1993. Yahudi sebagai Simbol dalam Wacana Islam Indonesia Masa kini.Yogyakarta. 17 October 1993, DIAN Institute: Yogyakarta.

Adams, W. J. et al, 2005. France. Microsoft Encarta Reference Library. [CDROM]. USA: Microsoft Co.Microsoft Encarta Premium (2006) [Computer Software][15 September 2013]

Anonymous. The Virtual Jewish World. [Online] (Updated 22 November 2013) Available at:http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/vjw/indonesia.html [Accessed 3 December 2013].

Anonymous. World Jewish Congress. [Online] (Updated 6 December 2013) Available at:http://www.worldjewishcongress.org/es/communities/show?id=9 [Accessed 6December 2013].

Anoymous. Wikimapia. [Online] (Updated 6 December 2013) Available at:http://wikimapia.org/5066764/Synagogue [Accessed 6 December 2013]. Champagne, J. andAziz, T. Latitudes Magazine Bali. [Online] (Updated 10 January2003) Available at:http://eamusic.dartmouth.edu/~larry/misc_writings/jew_indonesia/latitudes.html [Accessed 3December 2013].

Herdiawan, J. Catatan dan Renungan Junanto Herdiawan. [Online] (Updated 14December 2013) Available at: http://junantoherdiawan.com/2013/06/09/robohnya- sinagog-yahudi-di-surabaya/ [Accessed 26 December 2013].

Kamah, I. BALTYRA. [Online] (Updated 25 December 2013) Available at:http://baltyra.com/2012/05/03/rivka/ [Accessed 13 December 2013].

Polansky, L. The Surabaya, Indonesia Jewish Community. [Online] [Updated 10November 2013] Available at:http://eamusic.dartmouth.edu/~larry/misc_writings/jew_indonesia/surabaya.html [Accessed 3December 2013]

Shimoni, G. Kosher Food. [Online] (Updated 6 December 2013) Available at:http://kosherfood.about.com/od/s/g/sephardim.htm [Accessed 6 December 2013].

Peraturan Daerah Kota Surabaya Tahun 2005. (Nomor 5), Surabaya: DewanPerwakilan Rakyat Daerah Surabaya

Undang-undang Cagar Budaya Tahun 2010. (Nomor 10), Jakarta: Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia.

Page 15: Sinagog Surabaya

15

Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan Tahun 2013. (Nomor 17), Jakarta:Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (Video Recording) 2009, Aksi MUI Palestine,Bagian Hubungan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur

Kharismawati, A. 2008. Perkembangan Antisemitisme: dalam perspektif HubunganInternasional. Skripsi. Universitas Airlangga

Suciu, M. 2008. Sign of Anti-Semitism in Indonesia. Master Thesis. University ofSydney.