sikap kerja dalam perusahaan

24
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gibson (2003), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Sikap lebih merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan pengertian sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek kognitif, konatif dan afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu. Sikap dapat berubah dan dapat dipengaruhi, dapat dibina dalam berbagai bidang kehidupan. Sikap negatif dapat dipengaruhi sehingga menjadi positif, yang tadinya tidak senang menjadi senang, yang semula antipati menjadi bersimpati, dan sebagainya. Penjelasan di atas relevan dengan pendapat Robbins (2007) yang menyatakan bahwa sikap terbentuk dari tiga komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan perasaan yang kuat 1

Upload: ikha-mardiyah

Post on 08-Jan-2017

126 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gibson (2003), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau

keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang

memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun

keadaan. Sikap lebih merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan

persepsi, kepribadian dan motivasi

Berdasarkan pendapat  yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan

pengertian sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek

kognitif, konatif dan afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk

mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu. Sikap dapat

berubah dan  dapat dipengaruhi, dapat dibina dalam berbagai bidang kehidupan. Sikap

negatif dapat dipengaruhi sehingga menjadi positif, yang tadinya tidak senang

menjadi senang, yang semula antipati menjadi bersimpati, dan sebagainya. Penjelasan

di atas relevan dengan pendapat Robbins (2007) yang menyatakan bahwa sikap

terbentuk dari tiga komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan

perasaan yang kuat (komponen afektif) yang akan membimbing pada suatu tingkah

laku (komponen kecenderungan untuk berbuat/konasi).

Keyakinan bahwa ”diskriminasi salah” merupakan sebuah pernyataan

evaluatif. Opini semacam ini adalah komponen kognitif (cognitive component), yang

menentukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap. Komponen

afektif-nya (affective component). Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan

dari sebuah segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap, perasaan ini

selanjutnya menimbulkan hasil akhir perilaku. Komponen perilaku (behavioral

component) dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam

cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu

1

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud sikap kerja?

2. Apa saja komponen sikap kerja?

3. Apa saja keadilan organisasi?

4. Apa yang dimaksud kepuasan kerja?

5. Apa yang dimaksud komitmen kerja?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui sikap kerja.

2. Untuk mengetahui komponen-komponen yang ada didalam sikap kerja

3. Untuk mengetahui apa saja keadilan yang ada didalam organisasi

4. Untuk mengetahui apa yang dmaksud kepuasan dalam sikap kerja

5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud komitmen kerja.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sikap

Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins (2007) sebagai pernyataan evaluatif, baik

yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa.

Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Sementara Kreitner

dan Kinicki (2005) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara

konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu.

Setyobroto (2004) merangkum batasan sikap dari berbagai ahli psikologi sosial

diantaranya pendapat G.W. Alport, Guilford, Adiseshiah dan John Farry, serta Kerlinger

yaitu :

1)  Sikap bukan pembawaan sejak lahir

2)  Dapat berubah melalui pengalaman

3)  Merupakan organisasi keyakinan-keyakinan

4)  Merupakan kesiapan untuk bereaksi

5)  Relatif bersifat tetap

6)  Hanya cocok untuk situasi tertentu

7)  Selalu berhubungan dengan subjek dan objek tertentu

8)  Merupakan penilaian dari penafsiran terhadap sesuatu

9)  Bervariasi dalam kualitas dan intensitas

10)  Meliputi sejumlah kecil atau banyak item

11)  Mengandung komponen kognitif, afektif dan komatif

3

Gibson (2003), menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau keadaan

mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan

pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Sikap lebih

merupakan determinan perilaku sebab, sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan

motivasi

Berdasarkan pendapat  yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan pengertian

sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek kognitif, konatif dan

afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk mereaksi dan bertindak secara

positif atau negatif terhadap objek tertentu. Sikap dapat berubah dan  dapat dipengaruhi,

dapat dibina dalam berbagai bidang kehidupan. Sikap negatif dapat dipengaruhi sehingga

menjadi positif, yang tadinya tidak senang menjadi senang, yang semula antipati menjadi

bersimpati, dan sebagainya.

B. Komponen Sikap

Berkaitan dengan komponen sikap, Walgito (2001)  mengemukakan bahwa: Sikap

mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen itu adalah

komponen kognitif, afektif dan konatif dengan uraian sebagai berikut:

1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan

pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan

bagaimana orang mempersepsi terhadap obyek sikap.

2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan

rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal yang

positif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif.

3. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen

yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap obyek

sikap

Penjelasan di atas relevan dengan pendapat Robbins (2007) yang menyatakan bahwa

sikap terbentuk dari tiga komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan

4

perasaan yang kuat (komponen afektif) yang akan membimbing pada suatu tingkah laku

(komponen kecenderungan untuk berbuat/konasi).

Keyakinan bahwa ”diskriminasi salah” merupakan sebuah pernyataan evaluatif. Opini

semacam ini adalah komponen kognitif (cognitive component), yang menentukan tingkatan

untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap. Komponen afektif-nya (affective

component). Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan dari sebuah segmen emosional

atau perasaan dari sebuah sikap, perasaan ini selanjutnya menimbulkan hasil akhir perilaku.

Komponen perilaku (behavioral component) dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud

untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.

Gambar yang ditampilkan berikut menunjukkan hubungan dari tiga komponen sikap.

Contoh yang diberikan oleh Robbins ini menggambarkan bagaimana sikap negatif seorang

karyawan terhadap pengawasnya.

5

Sumber : Komponen Sikap, Robbins dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba

Empat, hal. 94

C. Keadilan Organisasi

Menurut Folger dan Greenberg dalam Byrne et all (2003) pengertian keadilan

organisasi lebih merujuk pada bentuk evaluasi individu terhadap perlakuan organisasi

terhadap karyawannya dalam hal upaya yang fair untuk mendapatkan hasil, proses untuk

memperoleh hasil itu juga dilakukan secara fair atau tidak, serta bentuk-bentuk perlakuan

interpersonal terhadap masing-masing karyawannya (Yuwono, I dkk., 2005:126).

Seperti yang diungkapkan oleh Lind dan Tyler (1988) secara umum, keadilan

digambarkan sebagai situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi.

Keraf (1996) juga mengungkapkan bahwa nilai dasar keadilan adalah martabat manusia

sehingga prinsip dasar keadilan adalah penghargaan atas martabat dan hak-hak yang melekat

padanya (Yuwono, I dkk., 2005:126).

Greenberg (1990) sendiri berpendapat bahwa keadilan organisasi mengacu pada

persepsi karyawan terhadap keadilan dalam organisasi (Yuwono, I dkk., 2005:127).

Deustch dan Tornblom mendefinisikan keadilan organisasi menjadi tiga tipe yaitu,

keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Pertama, keadilan

distributif adalah keadilan yang diterima seseorang sebagai hasil dari keputusan managemen

dalam hal pembagian alokasi sumber-sumber daya. Laventhal dan Thibault,&Walker

mendefinisikan keadilan prosedural sebagai keadilan yang dipersepsikan terhadap suatu

proses (prosedur) untuk membagi sumber daya atau alokasi (Yuwono, I dkk., 2005:126).

Menurut Biacs dan Bies&Moag dalam Byrne et all (2003) dan Cropanzano et all,

(2000) menyatakan keadilan interaksional sebagai keadilan tentang perlakuan interaksional

pembuat keputusan (decision maker). Terhadap bawahan atau karyawan ketika

mengimplementasikan prosedur pembagian sumber daya (Yuwono, I dkk., 2005:126).

1. Keadilan Distributif

Pengertian keadilan distributif meliputi tiga hal, yaitu (Yuwono, I dkk., 2005:130):

6

Terletak pada nilai

Keadilan hanya berlaku sesuai dengan nilai yang dianut. Prinsip pemerataan dikatakan adil

berdasarkan pada nilai apa yang dianut oleh pengambil kebijakan.

Terletak pada perumusan nilai-nilai menjadi sebuah peraturan

Meskipun satu prinsip keadilan distributif telah disepakati sehingga ketidakadilan pada

tingkat nilai menjadi tidak muncul, belum tentu keadilan distributif telah ditegakkan. Yang

terpenting pada konsep ini adalah bagaimana menterjemahkan nilai menjadi sebuah aturan

yang implementatif sehingga pada gilirannya nanti mampu menjadikan acuan dalam bentuk

perlakuan atau tindakan.

Terletak pada implementasi peraturan

Untuk menilai distribusi adil atau tidak, dapat dilihat dari tegaknya peraturan yang

diterapkan. Bila peraturan yang disepakati tidak dijalankan sama sekali atau dijalankan

sebagian, keadilan distributif tidak tercapai (Van den Bos, 1999). Pada taraf ini, aturan yang

dibuat harus diimplementasikan sesuai dengan tata kerja yang telah diputuskan. Aspek ini

cukup menentukan, karena pada akhirnya orang akan melihat adil atau tidak adil justru dari

pelaksanaan yang implementatif atas aturan yang telah dibuat. Meskipun nilai yang dianut

cukup fair dan aturannya cukup tegas dan kuat, namun dalam implementatifnya banyak

pelanggaran yang dibuat maka orang akan tetap memandang tidak adil.

2. Keadilan Prosedural

Dalam menerapkan keadilan prosedural terdapat beberapa aturan pokok yang harus

diperhatikan, yaitu (Yuwono, I dkk., 2005:127-128):

Konsistensi

Prosedur yang adil seharusnya konsisten dalam bentuk pemberian perlakuan. Konsistensi

perlakuan itu terhadap satu orang dengan orang yang lain, juga konsistensi dari satu waktu ke

waktu yang lain. Dalam hal ini setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan secara sama

dalam satu prosedur yang sama.

7

Minimalisasi Bias

Untuk meminimalisasi bias perlu dikenali sumber biasnya, sering kali sumber bias yang

muncul yaitu demi kepentingan individu dan demi doktrin yang memihak. Oleh karenanya,

dalam upaya meminimalisasi bias baik kepentingan individu maupun keberpihakan haruslah

dihindari.

Informasi yang Akurat

Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian dan perlakuan mengarah pada

keadilan maka informasi itu harus akurat. Informasi yang akurat adalah informasi yang

mendasarkan pada fakta. Kalaupun terpaksa opini sebagai dasar informasi, maka hal itu harus

disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui permasalahan dan informasi yang

disampaikan harus lengkap.

Dapat diperbaiki

Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting yang perlu

ditegakkan untuk menuju pada keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang adil juga

mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun

kesalahan yang mungkin akan muncul.

Representatif

Prosedur dikatakan adil jika sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang terkait

dengan perlakuan. Meskipun kadar keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan

sub-sub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak

sehingga akses untuk melakukan control juga terbuka.

Etis

Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral. Artinya, meskipun

berbagai hal di atas telah dipenuhi untuk menuju pada keadilan, namun bila substansinya

tidak memenuhi standar etika dan moral, maka seluruh perlakuan organisasi tidak bisa

dikatakan adil

3. Keadilan Interaksional

8

Menurut Tyler (1989, 1994 dalam Yuwono, I dkk., 2005:133) menyebutkan ada tiga hal

penting yang patut diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, yaitu:

Penghargaan

Khususnya penghargaan kepada status seseorang, hal ini tercermin dalam bentuk perlakuan.

Lebih khusus lagi adalah bentuk perlakuan atau tindakan dari orang yang berkuasa

(pimpinan) terhadap anggota kelompoknya. Apabila makin baik kualitas perlakuan pimpinan

terhadap para anggota maka interaksinya dinilai makin adil oleh anggotanya (Donovan dkk,

1989).

Netralitas

Konsep ini berkembang karena butuh keterlibatan pihak ketiga manakala ada masalah

hubungan sosial antara satu pihak dengan pihak yang lain. Netralitas dalam keputusan atas

konflik kedua belah pihak dapat tercapai manakala dasar-dasar dalam pengambilan keputusan

lebih banyak menggunakan fakta dan bukan opini, apalagi fakta yang ditampilkan

mempunyai nilai objektivitas yang tinggi juga punya nilai validitas yang tinggi pula.

Kepercayaan

Hal ini yang banyak dikaji pada aspek keadilan interaksional. Kepercayaan (trust) sering

didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial, yang di

dalamnya mencakup resiko yang berkaitan dengan harapan tersebut. Sztompka (1999 dalam

Yuwono, I dkk., 2005:133) menyebutkan kepercayaan sebagai suatu pertaruhan terhadap

hasil masa depan dengan menyerahkan kepada orang lain.

D .Kepuasan Kerja

Istilah kepuasan kerja (job satisfaction) dapat diefinisikan sebagai suatu perasaan positif yang

merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins, 2007). Sedangkan Kreitner

dan Kinicki (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons

emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa

kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas

dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek

lainnya.

9

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

(Levi,2002) lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu

1. Pekerjaan itu sendiri (Work It self),Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan

tertentu sesuai dengan bidang nya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan

serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan

tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.

2. Atasan(Supervision), atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan

bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan

sekaligus atasannya.

3. Teman sekerja (Workers), Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan

antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun

yang berbeda jenis pekerjaannya.

4. Promosi(Promotion),Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya

kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja.

5. Gaji/Upah(Pay), Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang

dianggap layak atau tidak.

Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja :

1. Kerja yang secara mental menantang,Kebanyakan Karyawan menyukai pekerjaan-

pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan

kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai

betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental

menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi

terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi

tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan

kepuasan.

2. Ganjaran yang pantas, Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan

promosi yang mereka persepsikan sebagai adil,dan segaris dengan pengharapan

mereka. Pemberian upah yang baik didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat

keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan

dihasilkan kepuasan. tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia

menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih

10

diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan

yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci

yang manakutkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan;

yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula karyawan berusaha

mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang

ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa

keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar

akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.

3. Kondisi kerja yang mendukung,Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk

kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi

memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak

berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor

lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit).

4. Rekan kerja yang mendukung, Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekadar uang

atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga

mengisi kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu bila mempunyai rekan sekerja yang

ramah dan menyenagkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Tetapi

Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.

5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya orang yang tipe

kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih

seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang

tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih

besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini,

mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari

dalam kerja mereka.

E. Komitmen Kerja

Setiap orang yang bekerja di suatu perusahaan atau organisasi, harus mempunyai

komitmen dalam bekerja karena apabila suatu perusahaan karyawannya tidak mempunyai

suatu komitmen dalam bekerja, maka tujuan dari perusahaan atau organisasi tersebut tidak

akan tercapai. Namun terkadang suatu perusahaan atau organisasi kurang memperhatikan

komitmen yang ada terhadap karyawannya, sehingga berdampak pada penurunan kinerja

terhadap karyawan ataupun loyalitas karyawan menjadi berkurang.Komitmen pada setiap

11

karyawan sangat penting karena dengan suatu komitmen seorang karyawan dapat menjadi

lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dibanding dengan karyawan yang tidak

mempunyai komitmen. Biasanya karyawan yang memiliki suatu komitmen, akan bekerja

secara optimal sehingga dapat mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya untuk

pekerjaanya, sehingga apa yang sudah dikerjakannya sesuai dengan yang diharapkan oleh

perusahaan.

Beberapa ahli mendefinisikan komitmen organisasional karyawan sebagai berikut:

Mathis and Jackson dalam Sopiah (2008:155) memberikan definisi “Organizational

Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational

goals and desire to remain with the organization (komitmen organisasional adalah

derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan

tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi)”.

Mowday dalam Sopiah (2008:155) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari

komitmen organisasional. Menurut dia, “komitmen organisasional merupakan

dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan

pegawai. Komitmen organisasional adalah identifikasi dan keterlibatan seseorang

yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan

anggota anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam

organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi”.

Lincoln dalam Sopiah (2008:155), “komitmen organisasional mencakup kebanggaan

anggota, kesetiaan anggota dan kemauan anggota pada organisasi”.

Blau and Boal dalam Sopiah (2008:155) menyebutkan “komitmen organisasional

sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dan tujuan

organisasi”.

Robbins dalam Sopiah (2008:155-156) mendefinisikan komitmen organisasional

sebagai “suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan

terhadap organisasi.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen dalam organisasi

adalah sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dimana seseorang dapat

bertahan dengan kesetiaannya demi kepentingan organisasi sehingga terbentuk sebuah

loyalitas sehingga membuat seseorang dapat bertahan untuk memelihara keanggotaannya

dalam suatu organisasi.

12

Dalam sebuah perusahaan tentu karyawan dituntut untuk dapat memberikan kinerja

terbaik pada perusahaan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.Tetapi kompetensi saja

tidak cukup agar karyawan dapat memberikan kinerja terbaiknya dalam pekerjaannya.Selain

kompetensi, komitmen kerja bagi karyawan, dosen, guru, pegawai ataupun pekerja juga

diperlukan agar mereka memberikan hasil terbaik bagi organisasi atau perusahaan.

Kompetensi tanpa komitmen sama dengan sebuah pistol berpeluru tetapi tidak bisa

ditembakkan.Seseorang yang tidak memiliki komitmen, sebenarnya ia ahli dalam bidangnya

(competent) namun ia bekerja dengan setengah hati. Karyawan yang memiliki suatu

komitmen, akan bekerja secara total, mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya,

ia mengerjakan apa yang diharapkan oleh perusahaan.

Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa komitmen merupakan bagian yang terkait

dengan kinerja karyawan dalam hubungannya dengan pekerjaannya.Dalam sebuah komitmen

juga memiliki unsur atau komponen yang saling berhubungan.Ketika semua komponen

terpenuhi maka semakin besar komitmen karyawan dalam pekerjaannya. Menurut Meyer,

Allen & Smith dalam jurnal Proceeding PESAT Vol.2, komitmen organisasi terdiri dari 3

komponen yaitu:

1. Komitmen kerja afektif (affective occupational commitment)

Komitmen sebagai ketertarikan afektif/psikologis karyawan terhadap pekerjaannya.

Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka

menginginkannya.

2. Komitmen kerja kontinuans (continuance occupational commitment)

Mengarah pada perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan

keinginannya untuk tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaannya. Artinya,

komitmen kerja disini dianggap sebagai persepsi harga yang harus dibayar jika

karyawan meninggalkan pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan

bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka membutuhkannya.

3. Komitmen kerja normatif (normative occupational commitment)

Komitmen sebagai kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaannya. Komitmen ini

menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa wajib

untuk melakukannya serta didasari pada adanya keyakinan tentang apa yang benar

dan berkaitan dengan moral.

13

Tidak semua komponen di atas dimiliki oleh karyawan, tetapi lebih baik lagi jika ketiga

komponen tersebut dimiliki oleh karyawan.Sebagai contoh, ketika komponen affective

occupational commitment lebih dominan maka karyawan tersebut merasa lebih cocok dengan

bidang pekerjaannya, baik itu secara emosional maupun kesesuaian antara karakteristik

pekerjaan dengan dirinya.Ia merasa bahwa pekerjaannya sesuai dengan bidang

pendidikannya, hobinya, tujuannya, kebersamaan, kenyamanan dan lain-lain. Tetapi jika

karyawan tidak pernah diberikan pengembangan pengetahuan dan skill melalui seminar,

training dll.Maka dapat menimbulkan kurangnya komponen normative occupational

commitment dan dapat juga mempengaruhi kinerja dibandingkan dengan karyawan yang

memiliki tingkat komitmen yang setara.

14

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins (2007) sebagai pernyataan evaluatif, baik

yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa.

Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Sementara Kreitner

dan Kinicki (2005) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara

konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu.

Berkaitan dengan komponen sikap, Walgito (2001)  mengemukakan bahwa: Sikap

mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen itu adalah

komponen kognitif, afektif dan konatif

Deustch dan Tornblom mendefinisikan keadilan organisasi menjadi tiga tipe yaitu,

keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Pertama, keadilan

distributif adalah keadilan yang diterima seseorang sebagai hasil dari keputusan managemen

dalam hal pembagian alokasi sumber-sumber daya. Laventhal dan Thibault,&Walker

mendefinisikan keadilan prosedural sebagai keadilan yang dipersepsikan terhadap suatu

proses (prosedur) untuk membagi sumber daya atau alokasi (Yuwono, I dkk., 2005:126).

Menurut Tyler (1989, 1994 dalam Yuwono, I dkk., 2005:133) menyebutkan ada tiga

hal penting yang patut diperhatikan dalam membahas keadilan interaksional, yaitu:

penghargaan,Netralitas,Kepercayaan.

Istilah kepuasan kerja (job satisfaction) dapat diefinisikan sebagai suatu perasaan

positif yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins, 2007).

Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai

efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Definisi ini

mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya

seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan

salah satu atau beberapa aspek lainnya

15

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen dalam organisasi

adalah sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dimana seseorang dapat

bertahan dengan kesetiaannya demi kepentingan organisasi sehingga terbentuk sebuah

loyalitas sehingga membuat seseorang dapat bertahan untuk memelihara keanggotaannya

dalam suatu organisasi

16

DAFTAR PUSTAKA

https://teorionline.wordpress.com/2011/02/28/perbedaan-individu- sikap -bagian-1/

https://jungjera.wordpress.com/tag/keadilan-organisasi/

https://id.wikipedia.org/wiki/Kepuasan_Kerja

http://psychology.binus.ac.id/2015/09/21/hubungan-antara-kepuasan-dan-komitmen-kerja-

karyawan-dengan-intensi-turnover-pada-perusahaan/

17