sifat kimia bambu belangke gigantochloa pruriens

39
SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE (Gigantochloa pruriens) SKRIPSI ELVARA WINDRA MADYARATRI 151201129 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE

(Gigantochloa pruriens)

SKRIPSI

ELVARA WINDRA MADYARATRI

151201129

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE (Gigantochloa pruriens)

SKRIPSI

Oleh :

ELVARA WINDRA MADYARATRI

151201129

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 4: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

ABSTRAK

ELVARA WINDRA MADYARATRI: Sifat Kimia Bambu Belangke

(Gigantochloa pruriens), dibimbing oleh APRI HERI ISWANTO.

Bambu belangke (Gigantochloa pruriens) merupakan jenis bambu yang berasal

dari Sumatera yang penyebarannya di wilayah Karo dan Gayo. Informasi

mengenai karasteristik kimia bambu belangke berdasarkan arah aksial batang

belum tersedia. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengeksplorasi sifat kimia bambu belangke bedasarkan arah aksial batang.

Sampel yang diuji dibagi menjadi tiga bagian batang yaitu pangkal, tengah dan

ujung. Komponen kimia yang diuji meliputi komposisi kimia struktural antara lain

holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid

Isoluble Lignin), serta komposisi kimia non-struktural seperti ekstraktif dengan

ethanol benzene 1:2 dan kadar abu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya

variasi nilai terhadap sifat kimia bambu belangke berdasarkan perbedaan posisi

batang. Komposisi kimia struktural tertinggi bambu belangke yaitu Acid Isoluble

Lignin (AIL) senilai 29,96% (pangkal), Acid Soluble Lignin (ASL) senilai 4,73%

(tengah), holoselulosa senilai 70,74% (ujung), α-selulosa senilai 46,04% (ujung)

dan hemiselulosa senilai 27,68% (tengah). Komposisi kimia non-struktural

tertinggi bambu belangke yaitu zat ekstraktif dalam ethanol benzene 1:2 senilai

4,26% (ujung) dan kadar abu senilai 3,03% (pangkal).

Kata kunci : aksial batang, Gigantochloa pruriens, sifat kimia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 6: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

ABSTRACT

ELVARA WINDRA MADYARATRI: Chemical Properties of Belangke

Bamboo (Gigantochloa pruriens), supervised by APRI HERI ISWANTO.

Belangke bamboo (Gigantochloa pruriens) is a type of bamboo originating from

Sumatera, which spreads in the Karo and Gayo. Information on chemical

characteristic belangke bamboo by the axial direction is not yet available.

Therefore, the aim of this study was to explore the chemical properties of the

belangke bamboo based on axial direction of the stem. The samples tested were

divided into three parts, namely the stem base, middle and end. The chemical

components were tested includes structural chemical composition among others

holoselulosa, α-cellulose, hemicellulose, ASL (Acid Soluble Lignin) and AIL

(Isoluble Acid Lignin), as well as the chemical composition of the non-structural

as with ethanol extractive benzene 1: 2 and ash. The results showed that the

variation of the value of the chemical properties of the belangke bamboo based on

different positions. The highest structural chemical composition of belangke

bamboo are 29.96% Acid Isoluble Lignin (base of stem),4.73% Acid Soluble

Lignin (middle of stem), 70.74% holocellulose (end of stem ), 46.04% α-cellulose

(end of stem) and 27.68% hemicellulose (middle of stem). The highest non-

structural chemical composition of belangke bmboo is 4.26% extractive

substances in benzene ethanol 1:2 (end of stem) and 3.03% ash content (base of

stem).

Keywords : axial stem, Gigantochloa pruriens, chemical properties

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 7: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 29 Agustus 1997. Penulis

merupakan anak pertama dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Drs. Hendra

Wijaya dan Ibu Dra. Tarsetyaning Hesti Winahyu.

Penulis memulai pendidikan di SD Swasta Pertiwi Medan pada tahun

2003-2009, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 7

Medan pada tahun 2009-2012, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di

SMA Negeri 3 Medan pada tahun 2012-2015. Pada tahun 2015, penulis lulus di

Fakultas Kehutanan USU melalui jalur ujian tulis (mandiri). Penulis memilih

minat Departemen Teknologi Hasil Hutan.

Semasa kuliah penulis merupakan anggota organisasi Rain Forest USU.

Penulis telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Kawasan Hutan

Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Buluh pada tahun 2017. Pada tahun

2018 penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman

Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Pada awal tahun 2018 penulis melaksanakan

penelitian dengan judul Sifat Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) di

bawah bimbingan Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 8: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

Rahmat dan Karunia- Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini

berjudul “Sifat Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)”. Penulisan

skripsi ini merupakan tugas akhir dalam pendidikan Strata-1 dan syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan

bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua, Bapak Drs. Hendra Wijaya dan Ibu Dra. T. Hesti Winahyu,

atas dukungan dari segi moril maupun materil serta kasih sayang dan doa yang

tulus. Setiap hal yang diberikan kedua orang tua kepada penulis merupakan

semangat dalam perjuangan menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr.Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa

meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan ilmu, serta

memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.

3. Dekan Fakultas Kehutanan Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Ketua

Departemen Teknologi Hasil Hutan Bapak Arif Nuryawan, S.Hut., M.Si., Ph.D

serta dosen-dosen lainnya yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.

4. Rekan tim penelitian terutama Anggara Ridho Putra, Nicko Septuari Hutabarat

dan Bernando Syaputra Lumban Raja yang telah membantu pelaksanaan dan

menyumbangkan semangat serta kerjasama yang baik saat penelitian, serta

teman-teman mahasiswa/i Fakultas Kehutanan USU khususnya di Teknologi

Hasil Hutan angkatan 2015.

Terakhir, penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis

cantumkan satu per satu, terimakasih atas doa dan dukungan yang senantiasa

mengalir tanpa sepengetahuan penulis. Terimakasih kepada orang-orang yang

turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu,

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para

pembaca demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.

Medan, Juli 2019

Elvara Windra Madyaratri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 9: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

DAFTAR ISI

Hal.

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i

PERNYATAAN ORIGINALITAS .................................................................... ii

ABSTRAK .......................................................................................................... iii

ABSTRACT ........................................................................................................ iv

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x

PENDAHULUAN

Latar Belakang ...................................................................................................... 1

Tujuan Penelitian .................................................................................................. 2

Kegunaan Penelitian.............................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Bambu Belangke .............................................................................. 3

A.1. Taksonomi Bambu Belangke ................................................................... 3

A.2. Morfologi Bambu Belangke ..................................................................... 3

A.3. Habitat dan Penyebaran Bambu Belangke ............................................... 3

B. Komponen Kimia ............................................................................................. 3

B.1. Komposisi Kimia Struktural ..................................................................... 4

B.1.1. Selulosa ........................................................................................... 4

B.1.2. Hemiselulosa .................................................................................. 4

B.1.3. Lignin .............................................................................................. 5

B.2. Komposisi Kimia Non-Struktural ............................................................. 5

B.2.1. Ekstraktif ........................................................................................ 5

B.2.2. Abu ................................................................................................. 6

C. Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Bambu ..................................... 7

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat ................................................................................................ 9

Bahan dan Alat ...................................................................................................... 9

Prosedur Penelitian................................................................................................ 9

Persiapan Sampel .......................................................................................... 9

Kadar Lignin Klason ..................................................................................... 10

Kadar Lignin Terlarut Asam ......................................................................... 10

Kadar Holoselulosa ....................................................................................... 10

Kadar α-Selulosa ........................................................................................... 11

Kadar Ekstraktif dalam Ethanol Benzena (1:2) ............................................ 12

Kadar Abu ..................................................................................................... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Kimia Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) ............ 14

Lignin AIL dan ASL ...................................................................................... 14

Holoselulosa ................................................................................................... 16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 10: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

α-Selulosa ....................................................................................................... 18

Hemiselulosa .................................................................................................. 19

Komponen Kimia Non-Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) .... 20

Kelarutan Ekstraktif dalam Ethanol Benzena (1:2) ...................................... 20

Kadar Abu ...................................................................................................... 21

KESIMPULAN

Kesimpulan ........................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 11: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

DAFTAR TABEL

No. Teks Hal.

1. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu ..................................................... 7

2. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari Jawa Timur .......................... 8

3. Komposisi Kimia Struktur Bambu Belangke Berdasarkan Posisi

Pada Batang ..................................................................................................14

4. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu Belangke Berdasarkan

Posisi Pada Batang ......................................................................................20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 12: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Hal.

1. Kadar Lignin ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble

Lignin) Berdasarkan Posisi Batang. ............................................................. 15

2. Kadar Holoselulosa Berdasarkan Posisi Batang .......................................... 17

3. Kadar α-Selulosa Berdasarkan Posisi Batang .............................................. 18

4. Kadar Hemiselulosa Berdasarkan Posisi Batang ......................................... 19

5. Kadar Ekstraktif Berdasarkan Posisi Batang ............................................... 20

6. Kadar Abu Berdasarkan Posisi Batang ........................................................ 22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 13: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan memiliki peranan penting bagi manusia mulai dari sisi ekologis,

sosial budaya dan ekonomis (Kamilia dan Nawiyanto, 2015). Eksploitasi hutan

secara berlebihan memperparah terjadinya kerusakan hutan. Hal ini akan

berdampak terhadap suplai kayu pada industri perkayuan. Kedepannya perlu

sumber alternatif bahan berlignoselulosa pengganti kayu yang memiliki

ketersediaan cukup. Dari sekian banyak bahan berlignoselulosa bukan kayu

adalah bambu. Menurut Widjaja (2006) bahwa di Indonesia terdapat 156 jenis

bambu dan 88 jenis (jadi 56% dari jumlah jenis yang ada di Indonesia) merupakan

jenis yang endemik artinya hanya tumbuh di kawasan Indonesia. Bambu tersebar

pada daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim sedang. Bambu dapat tumbuh

mulai dari iklim kering sampai tropika basah, tanah subur maupun tidak subur,

dataran rendah sampai dataran tinggi 4000 meter di atas permukaan laut dan pada

daerah tanah datar maupun lereng-lereng gunung atau tebing-tebing sungai

(Kencana et al., 2012).

Salah satu jenis bambu yang hanya di jumpai di Sumatera adalah bambu

belangke. Menurut Manalu (2008) dalam Alamsyah (2013) bambu belangke

merupakan bambu yang hanya dijumpai di Sumatera. Penyebaran bambu

belangke (Gigantochloa pruriens) hanya terdapat di wilayah Karo dan Gayo

(Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1997).

Pemanfaatan bambu belangke (Gigantochloa pruriens) sebagai bahan

baku suatu produk bagi sektor industri kehutanan tidak terlepas dari sifat dasarnya

yaitu fisis, mekanis, kimia, anatomi dan lainnya. Fokus penelitian ini mengkaji

sifat kimia bambu belangke. Sifat kimia lignoselulosa terdiri atas komponen

struktural dan non-struktural. Analisis kimia yang dapat dilakukan yaitu

penetapan kadar selulosa, lignin, abu, kelarutan dalam air dingin atau air panas

serta alkohol benzen (Gusmailina dan Sumadiwangsa, 1988).

Menurut Sutardi et al. (2015) bahwa analisis sifat kimia bambu

berpengaruh terhadap penggunaan bambu yang optimal. Bambu wulung, tutul,

mayan dan petung bagus untuk konstruksi ringan, furnitur/mebel dan kerajinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 14: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

anyaman. Bambu andong atau gomleh dan mayan baik untuk konstruksi berat,

jembatan dan bambu lamina. Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa

posisi batang bambu petung, sero dan tui yang berasal dari Seram, Maluku

berpengaruh nyata terhadap komposisi kimia bambu. Semua jenis bambu yang

diteliti sangat rentan terhadap organisme perusak, namun sangat mudah

diawetkan. Atas dasar uraian tersebut, data dari sifat kimia bambu belangke

(Gigantochloa pruriens) belum ada. Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi

terjadinya gap pada variabilitas sifat kimia bambu belangke.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sifat kimia Bambu

Belangke (Gigantochloa pruriens) berdasarkan arah aksial batang.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

mengenai sifat kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) terkait dengan

penggunaan bambu untuk kepentingan lebih lanjut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 15: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Bambu Belangke

A.1. Taksonomi Bambu Belangke

Menurut Anonim (2019) taksonomi bambu belangke

(Gigantochloa pruriens Widjaja) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Angiospermae

Klas : Monocots

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Gigantochloa

Spesies : Gigantochloa pruriens W

A.2. Morfologi Bambu Belangke

Bambu belangke memiliki batang berwarna hijau. Batang bambu yang

berkembang dari rebung dapat tumbuh cepat bahkan dapat mencapai tinggi

maksimum 12 m dalam waktu 9 – 10 minggu. Diameter batang bambu sekitar

4,67-5,10 cm. Panjang buku pada buluh muda sekitar 12 – 15 cm sedangkan pada

buluh tua sekitar 26 – 34 cm. Bambu memiliki cabang pada batang utama yang

dapat tumbuh ketika bambu berumur lebih dari 10 minggu

(Suprihatno et al., 2012).

A.3. Habitat dan Penyebaran Bambu Belangke

Bambu belangke termasuk bambu khas dari Sumatera karena hanya

ditemukan pada daerah Karo dan Gayo. Potensi ketersediaan bambu belangke

pada hutan rakyat di Sumatera Utara dengan luas hutan rakyat bambu sekitar 8,16

ha, dengan total rumpun bambu sebesar 676 rumpun. Dari total luasan tanaman

bambu tersebut terdapat 83 rumpun/ha, dengan banyak batang bambu dalam satu

hektar sebesar 4,047 batang/ha (Alamsyah et al., 2013).

B. Komponen Kimia

Kandungan kimia yang ada pada bambu dengan genus Gigantochloa perlu

dipelajari untuk mengetahui persentase kandungan ekstraksi, kandungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 16: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

α-selulosa, lignin dan abu. Pengetahuan tentang kandungan kimia pada bambu

akan memudahkan penggunaan bahan untuk industri dalam bidang kehutanan dan

pemanfaatan industri kimia (Wahab et al., 2013). Menurut Fazita et al. (2016)

bahwa komposisi kimiawi bambu diketahui mirip dengan kayu.

Komponen kimia digunakan sebagai pengenal ketahanan bahan baku

terhadap organisme perusak, serta untuk menentukan pengolahan dan pengerjaan

dengan hasil yang maksimal. Pada umumnya, komponen kimia terdiri dari unsur

karbohidrat yaitu selulosa dan hemiselulosa, unsur non-karbohidrat yaitu lignin

dan zat ekstraktif yaitu unsur yang diendapkan kayu ketika proses pertumbuhan

(Dumanauw, 2001).

B.1. Komposisi Kimia Struktural

Komposisi kimia struktural terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.

Menurut Li et al. (2014) bahwa selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah tiga

komposisi kimia utama dan mereka terkait erat dalam struktur yang kompleks.

Mereka berkontribusi sekitar 90% dari total total massa bambu

(Azeez dan Orege, 2018).

B.1.1. Selulosa

Selulosa merupakan senyawa organik polisakarida yang tersusun dari

beberapa ratus hinga lebih dari sepuluh ribu unit D-glukosa dalam bentuk rantai

linier. Selulosa berbentuk lebih kristalin dibandingkan dengan pati. Selulosa

memerlukan suhu 320oC dan tekanan 25 MPa untuk merubahnya menjadi amorf

dalam air. Selulosa yang dilarutkan dalam asam pekat dengan suhu tinggi dapat

terbagi secara kimia ke dalam unit-unit glukosa (Ismanto dan Baharudin, 2011).

Alpha Cellulose (α- Selulosa) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut

dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat

Polimerisasi) 600 – 15000. Alpha selulosa dipakai sebagai penduga dan atau

tingkat kemurnian selulosa. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin

baik mutu bahannya (Sumada et al., 2011).

B.1.2. Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah susunan molekul heksosa, pentosa, asam uronik dan

turunannya yang termasuk polisakarida non-selulosa. Hemiselulosa tidak

memiliki fungsi yang jelas seperti selulosa, nama keberadaannya sama dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 17: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

selulosa di dalam dinding sekunder sel kayu (Muladi, 2013). Hemiselulosa yang

tinggi menyebatkan serat lebih fleksibel, mudah mengembang dan plastis karena

daya serap air tinggi. Serat yang plastis menyebabkan luas permukaan yang tinggi

(Fatriasari dan Hermiati, 2008).

Kandungan hemiselulosa baik secara kuantitatif dan kualitatif berbeda

pada berbagai spesies, komponen utamanya adalah O-asetil-4-O-metil glukorono-

β-D-xilan, kadang-kadang disebut glukoroxilan. Tergantung pada spesies,

kandungan xilan bervariasi dalam batas 1-30% dari kondisi kering

(Sjostrom, 1995).

Kandungan hemiselulosa (pati) dapat menentukan kerentanan bambu

terhadap mikroorganisme perusak (rayap dan kumbang). Semakin tinggi pati

maka semakin rentan terhadap mikroorganisme perusak (Febrianto et al., 2014).

B.1.3. Lignin

Lignin merupakan komponen dinding sel ketiga yang terdiri dari

polimerisasi tiga dimensi yang terbentuk dari fenilpropan yang tersusun secara

rumit. Lignin berfungsi sebagai semen di atara serat kayu dan zat penguat.

Biasanya di dalam produksi pulp, lignin dilarutkan dengan berbagai proses kimia

(Wahab et al., 2013).

Lignin merupakan suatu bagian dari dinding sel berkayu. Lignin

merupakan suatu polimer amorphous yang dikenal sebagai protolignin.

Protolignin dapat bersifat termoplastik yang memegang peranan penting dalam

mengikat serabut satu sama lain. Protolignin sukar larut dan rendah sifat

higroskopisnya. Lignin ini bersifat sebagai bahan pengisi dan mengurangi

perubahan dalam dimensi dinding sel akibat dari perubahan kadar air

(Tellu, 2008).

B.2. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu

B.2.1. Ekstraktif

Zat ekstraktif merupakan salah satu komponen kimia yang berpengaruh

terhadap sifatnya seperti bau, warna, keawetan dan lainnya. Keawetan secara

alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun

terhadap organisme perusak. Keawetan alami bervariasi antar spesies tetapi juga

di dalam batang yang sama (Tsoumis, 1991).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 18: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Ekstraktif pada umumnya terdiri dari senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil

maupun hidrofil. Ekstraktif merupakan konstituen yang tidak terstruktur, hampir

seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul

rendah. Biasanya bagian yang berbeda dari pohon yang sama seperti batang,

cabang, kulit kayu mempunyai kandungan ekstraktif yang berbeda

(Sjostrom, 1995).

B.2.2. Abu

Abu menunjukkan kandungan bahan anorganik kayu yang merupakan

sisa setelah pembakaran bahan organik. Abu dapat ditelusuri karena adanya

senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium,

kalium, magnesium, mangan dan silikon (Haygreen dan Bowyer, 1989).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 19: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

C. Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Bambu

Menurut Sutardi et al. (2015) bahwa analisis sifat kimia bambu berpengaruh terhadap kemungkinan penggunaan bambu yang

optimal. Berikut adalah komponen kimia sepuluh jenis bambu.

Tabel 1. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu

Jenis

Komponen Kimia (%)

Selulosa Hemiselulosa Lignin Ekstraktif

NaOH Ethanol Benzen Air Panas Air Dingin

Wulung (Gigantochloa atroviolacea) 42,32 21,00 32,35 17,42 2,24 5,14 3,41

Tutul (Bambusa maculata) 46,36 27,00 36,35 19,52 3,68 6,54 1,05

Apus (Gigantochloa apus) 61,29 - 31,45 17,75 1,82 5,19 3,60

Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) 59,58 - 31,42 18,43 2,73 3,74 2,50

Mayan (Gigantochloa robusta) 57,55 5,77 31,66 23,95 3,24 9,63 6,68

Betung (Dendrocalamus asper) 55,10 8,22 32,35 19,12 2,24 3,91 2,15

Ampel (Bambusa vulgaris) 44,79 - 28,01 31,19 4,32 9,16 2,55

Ater (Gigantochloa atter) 44,29 - 36,08 26,6 3,95 11,39 8,17

Duri (Bambusa blumeana) 47,81 15,51 24,43 29,62 9,68 13,96 11,39

Temen (Gigantochloa verticillata) 47,81 15,51 24,43 29,62 9,68 13,96 11,39

Sumber : Sutardi et al. (2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 20: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Menurut Gusmailina (1988) bahwa komponen kimia bambu memiliki nilai yang relatif sama dengan kayu. Berikut adalah tabel

komponen kimia sepuluh jenis bambu dari Jawa Timur.

Tabel 2. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari Jawa Timur

Jenis

Komponen Kimia (%)

Selulosa Pentosan Lignin Ekstraktif

NaOH Ethanol Benzen Air Panas Air Dingin

Madake (Phyllostachys bambusoides) 48,3 21,2 22,2 24,5 4,3 9,4 5,3

Petung (Dendrocalamus asper) 52,9 18,8 24,8 22,2 0,9 6,1 4,5

Apus (Gigantochloa apus) 52,1 19,3 24,9 25,1 1,4 6,4 5,2

Batu (Gigantochloa nigrociliata) 52,2 19,2 26,6 23,1 2,5 5,3 4,6

Peting (Gigantochloa verticiliata) 49,5 17,8 23,9 28,0 6,9 10,7 9,9

Ampel (Bambusa vulgaris) 45,3 20,4 25,6 29,8 5,2 9,4 8,3

Bambos (Bambusa bambos) 50,8 20,5 23,5 24,8 2,0 6,3 4,6

Kyathaung (Bambusa polymorpha) 53,8 17,7 20,8 22,4 1,9 6,9 4,9

Tinwa (Chepalostachyum pergraciles) 48,7 17,5 19,8 29,3 6,7 11,8 9,8

Melocanna bambusoides 42,4 21,5 24,7 28,4 4,0 9,7 7,3

Sumber : Gusmailina et al. (1988)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 21: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Oktober 2018.

Rangkaian kegiatan mulai dari pengambilan bambu, persiapan bambu menjadi

serbuk dan penelitian serbuk bambu. Penelitian dilakukan di Laboratorium LIPI

(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk bambu

belangke, akuades, air panas, air dingin, ethanol benzene1:2, NaOH 17 dan 8,3%,

asam asetat 10%, H2SO4 72%, NaClO2 25% dan aseton.

Alat yang digunakan oven 105°C, timbangan, kertas saring, benang kasur,

kapas, wadah kaca, desikator, crussible porcelain, electric muffle furnace, labu

didih, kokon, rangkaian alat ekstraksi, botol vial, filter funnel 1G3, botol duran

100 ml, stirrer plate, magnetic stirrer, botol dan pompa vakum, tabung centrifuge,

vortex mixer, spektrofotometer UV-Vis, kuvet kuarsa, erlenmeyer, gelas ukur,

waterbath shaker, pipet ukur dan spatula.

Prosedur Penelitian

Persiapan Sampel

Persiapan sampel dilakukan berdasarkan standar Technical Association of

the Pulp and Paper Industry (TAPPI) T 257 cm-02 dan TAPPI T 264 cm-97.

Dalam persiapan sampel, sampel bambu/biomassa yang digunakan untuk

pengujian komposisi kimia bambu diusahakan dapat mewakili keseluruhan

sampel yang ada. Sampel dibagi menjadi 3 bagian yaitu Pangkal (P), Tengah (T)

dan Ujung (U). Kemudian dihaluskan menggunakan ring flaker/hammer mill/disk

mill hingga seluruhnya lolos pada ayakan No. 40 Mesh. Apabila sampel dalam

keadaan basah, sampel dapat dikeringkan diudara bebas atau dimasukkan kedalam

oven dengan temperatur maksimal 40°C. Sampel diaduk dan disimpan dalam

plastik/kontainer kedap udara untuk pengujian selanjutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 22: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Kadar Lignin Klason (Acid Insoluble Lignin)

Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar National Renewable Energy

Laboratory (NREL) Laboratory Analytical Procedure (LAP) 003. Dikeringkan

filter funnel 1G3 kosong dalam oven bersuhu 105°C minimal 4 jam sebelum

pengujian. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang

berat kering ovennya. Sampel bebas ekstraktif ditimbang sebanyak 0,3 gr (dicatat

beratnya) dan dimasukkan dalam botol vial kecil mulut lebar ±20 ml. Pada saat

yang bersamaan, sampel diukur kadar airnya seperti pada prosedur 2. Sampel

ditambahkan H2SO4 72% sebanyak 3 ml. Kemudian diaduk menggunakan

magnetic stirrer selama 2 jam pada suhu ruang (dikondisikan mengunakan cawan

petri yang berisi air). Sampel tersebut dipindahkan kedalam botol duran 100 ml

dan diencerkan menggunakan aquades sebanyak 84 ml hingga konsentrasi akhir

H2SO4 sebesar 4%. Botol duran yang berisi sampel ditutup rapat dan diautoklaf

dengan suhu 121°C selama 1 jam. Kemudian sampel disaring menggunakan gelas

filter 1G3 dengan bantuan vakum, filtrasi sebanyak ±10 ml dan disimpan untuk

pengukuran lignin terlarut asam. Sampel dalam filter funnel 1G3 dicuci dengan air

panas minimum 50 ml dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24

jam. Setelah itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator

selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.

Kadar Lignin Terlarut Asam (Acid Soluble Lignin)

Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar NREL LAP 003. Sampel

filtrat hasil hidrolisis dan H2SO4 diencerkan sebanyak yang diperlukan dalam

tabung centrifuge atau wadah lain. Blangko H2SO4 yang telah diencerkan

digunakan untuk men-auto zero-kan absorbansi spektrofotometer yang telah

disetting pada panjang gelombang 205 nm. Kemudian sampel diukur

absorbansinya dan harus berada dalam rentang 0,2-0,8, bila absorbansinya berada

diluar rentang ini maka dilakukan pengenceran dengan blangko H2SO4.

Kadar Holoselulosa

Pengujian ini dilakukan berdasarkan Paper Trade J oleh Wise et al., 1946.

Dikeringkan filter funnel 1G3 kosong dalam oven bersuhu 105°C minimal 4 jam

sebelum pengujian. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan

ditimbang berat kering ovennya. Sampel bebas ekstraktif ditimbang sebanyak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 23: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

1,0 gr (dicatat beratnya) dan dimasukkan ke dalam erlenmenyer ukuran 100 ml.

Pada saat yang bersamaan, sampel diukur kadar airnya seperti pada prosedur 2,

ditambahkan aquades sebanyak 40 ml pada sampel. Lalu tambahkan 1,5 ml

NaClO2 25% dan 0,125 ml asam asetat glasial 100%. Kemudian diaduk dan

ditutup rapat menggunakan plastik tahan panas dan diikat kuat menggunakan

karet gelang. Sampel tersebut dipanaskan dalam waterbath selama 1 jam pada

suhu 80°C diulang 3 kali. Kemudian sampel didinginkan dalam icebath, dan

sampel disaring menggunakan kertas saring 1G3 yang telah ditimbang. Sampel

kemudian dicuci dengan air dingin sebanyak 100 ml dan terakhir menggunakan

aseton sebanyak 25 ml. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven 105°C selama

24 jam. Setela itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator

selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.

Kadar α-Selulosa

Pengujian ini dilakukan berdasarkan Chemical Rubber Company (CRC)

Press oleh Rowell tahun 2005. Dikeringkan filter funnel 1G3 kosong dalam oven

bersuhu 105°C minimal 4 jam sebelum pengujian. Kemudian didinginkan dalam

desikator selama 30 menit dan ditimbang berat kering ovennya. Sampel

holoselulosa ditimbang sebanyak 0,5 gr (dicatat beratnya) dan dimasukkan ke

dalam botol vial mulut lebar ±20 ml. Pada saat yang bersamaan, sampel diukur

kadar airnya seperti pada prosedur 2. Sampel ditambahkan NaOH 17% sebanyak

6,25 ml, pastikan seluruh sampel telah terbasahi dengan reagennya, lalu sampel

diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 15 menit, dan dibiarkan tanpa

pengadukan selama 30 menit. Lalu tambahkan 8,25 ml ke dalam campuran dan

diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 5 menit dan dibiarkan tanpa

pengadukan selama 1 jam. Kemudian disaring menggunakan gelas saring 1G3 dan

dibilas menggunakan NaOH 8,3% sebanyak 25 ml, dan dicuci menggunakan

aquades sebanyak 100 ml. Cabut selang vakum yang menempel ke botol vakum.

Lalu sampel dalam 1G3 ditambahkan dalam asam aseton 10% sebanyak 10 ml

(biarkan terendam selama 3 menit), kemudian sambungkan kembali selang vakum

dan biarkan hingga seluruh larutannya terhisap. Bilas dengan aquades hingga

netral kemudian sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24 jam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 24: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Setelah itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama

30 menit, kemudian ditimbang beratnya.

Kadar Ekstraktif dalam Ethanol Benzene (1:2)

Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 204 cm-97. Labu

didih dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama minimal 4 jam, kemudian

didinginkan di desikator selama 30 menit. Labu didih kosong ditimbang berat

kering oven. Selanjutnya sampel ditimbang sebanyak 3 gr (catat berat yang

ditimbang), lalu dimasukkan dan dibungkus ke dalam kertas saring yang diberi

kapas pada kedua ujungnya dan diikat menggunakan benang kasur. Kadar air

sampel dihitung (Prosedur 2) bersamaan pada saat penimbangan sampel untuk

ekstraktif. Alat ekstraktif disusun dan dinyalakan dimasukkan ethanol-benzene

(1:2) sebanyak 150 ml ke dalam labu didih. Sampel diekstraktif tidak lebih dari 24

siklus selama 4-5 jam hingga seluruh zat ekstraktif terlarut dalam larutan

pengekstrak (ditandai dengan larutan pengekstrak dalam sokhlet tidak berwarna),

kemudian sampel dikeluarkan dari sokhlet. Larutan pengekstrak dalam labu didih

dalam oven suhu 40°C dan disimpan untuk pengujian selanjutnya (holoselulosa

dan lignin). Labu didih yang berisi pelarut yang mengandung zat ekstraktif

kemudian diuapkan pelarutnya hingg bersisa sekitar 5 ml, lalu dikeringkan dalam

oven bersuhu 105°C selama 24 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator

selama 30 menit. Labu didih yang berisi zat ekstraktif ditimbang berat akhirnya.

Blangko larutan pengekstrak diukur dengan metode yang sama, hanya tanpa

menggunakan sampel. Dihitung kadar ekstraktifnya dengan rumus

Kadar Ekstraktif (%) = (C − A) − (E − D)

B × 100%

Dimana

A : Berat kering oven labu didih kosong untuk sampel (gr)

B : Berat sampel tanpa kandungan air (gr)

C : Berat kering oven labu didih dan zat ekstraktif (gr)

D : Berat kering oven labu didih kosong untuk blangko (gr)

E : Berat kering oven labu didih dan pelarut ekstraktif /blangko (gr)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 25: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Kadar Abu

Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 211 cm-02.

Dikeringkan crucible porcelain dalam tanur selama 30-60 menit dengan suhu

525±25°C, kemudian didinginkan selama 30-60 menit dalam desikator dan dicatat

beratnya. Serbuk bambu kering sebanyak 1 gr ditimbang dalam crucible porcelain

yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan kedalam tanur bersuhu

525±25°C selama 6 jam. Setelah itu sampel dikeluarkan dari tanur dan

didinginkan dalam desikator selama 30-60 menit dan ditimbang beratnya.

Blangko selulosa diukur dengan metode yang sama, dengan menggunakan kertas

saring kering whatman bebas abu. Dihitung kadar abu dalam sampel dengan

rumus:

Kadar Abu (%) = (C − A) − (E − D)

B × 100%

Dimana

A : Berat kering oven crucible porcelain kosong untuk sampel (gr)

B : Berat sampel tanpa kandungan air (gr)

C : Berat kering oven crucible porcelain dan abu (gr)

D : Berat kering oven crucible porcelain kosong untuk blangko (gr)

E : Berat kering oven crucible porcelain dan blangko selulosa (gr)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 26: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat kimia bambu belangke (Gigantochloa pruriens) yang diperoleh

melalui batang bagian pangkal, tengah dan ujung diketahui melalui komposisi

komponen kimia baik komponen kimia struktural maupun komponen kimia non-

struktural. Menurut Dumanauw (2001) bahwa secara umum, komponen kimia

terbagi menjadi unsur karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) dan non-

karbohidrat (lignin) serta zat ekstraktif yang berasal dari pengendapan saat proses

pertumbuhan. Pengetahuan terhadap kadar komposisi kimia tersebut dapat

berpengaruh terhadap penggunaan bambu.

Komponen Kimia Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)

Hasil analisis komponen kimia struktural seperti yang tercantum di dalam

Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi kimia bambu yang terdapat di dalam

bagian-bagian bambu baik pada bagian pangkal, tengah dan ujung bervariasi. Data

selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Kimia Struktural Bambu Belangke Berdasarkan Posisi Batang Bambu

Be-

langke

Acid Insoluble

Lignin (%)

Acid

Soluble

Lignin (%)

Holoselulosa

(%)

α-Selulosa

(%)

Hemiselulosa

(%)

Posisi Rata

rata St.Dv

Rata

rata

St.

Dv

Rata

rata St. Dv

Rata

rata

St.

Dv

Rata

rata St. Dv

P 29,96 0,48 3,42 0,08 69,11 1,16 43,16 0,39 25,95 0,76

T 28,25 1,10 4,73 0,85 70,47 0,74 42,79 0,21 27,68 0,52

U 26,79 0,50 2,85 0,21 70,74 0,12 46,04 0,44 24,70 0,32

Rata-

rata 28,33 0,69

3,67 0,38 70,11 0,67 44,00 0,35 26,11 0,53

Keterangan: P = Pangkal

T = Tengah

U = Ujung

St.Dv = Standar Deviasi

Lignin AIL (Acid Insoluble Lignin) dan ASL (Acid Soluble Lignin)

Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa salah satu komponen

kimia utama dinding sel serat adalah lignin, yang memiliki fungsi sebagai perekat

antara sel sehingga lignin bersifat kaku. Bambu memiliki sifat termoplastik, yaitu

dapat lunak atau berubah bentuk jika dipanaskan dan mengeras kembali setelah

dingin. Jadi karena bambu memiliki lignin, untuk memudahkan bambu dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 27: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

penggunaannya biasanya bambu dipanaskan terlebih dahulu agar mudah dibentuk

tetapi setelah bambu mendingin maka perubahan bentuk bambu tersebut tidak

dapat kembali ke bentuknya yang semula.

Menurut Ismanto dan Baharudin (2010) bahwa tidak semua lignin dapat

larut dalam pelarut organik. Dalam penggunaan metode Klason untuk menentukan

kadar lignin menghasilkan lignin tidak terlarut asam (lignin Klason atau AIL) dan

lignin terlarut asam (ASL). Dari hasil penelitian, diperoleh persentase kandungan

lignin pada bambu belangke berdasarkan letak pada batang baik lignin ASL (Acid

Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble Lignin) dapat dilihat pada gambar

dibawah ini.

Gambar 1. Kadar Lignin ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble Lignin)

Berdasarkan Posisi Batang

Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa kandungan lignin pada bambu

belangke (Gigantochloa pruriens) berdasarkan arah aksial batang menunjukkan

adanya variasi dalam persentase nilainya. Kandungan lignin ASL (Acid Soluble

Lignin) pada bambu belangke tertinggi berada pada bagian tengah sebesar 4,73%

selanjutnya bagian pangkal sebesar 3,42% dan terkecil pada bagian ujung sebesar

2,85%. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Easty dan Thompson (1991)

dalam Iswanto et al. (2019) bahwa kadar ASL atau lignin terlarut asam dalam

kayu berkisar antara 3 hingga 5%.

Kandungan lignin AIL (Acid Insoluble Lignin) pada bambu belangke

tertinggi berada pada bagian pangkal sebesar 29,96% selanjutnya bagian tengah

sebesar 28,25% dan terkecil pada bagian ujung sebesar 26,79%. Hal ini didukung

oleh pernyataan Casey (1960) bahwa lignin merupakan salah satu unsur terbanyak

kedua di kayu dengan persentase mulai dari 17 hingga 32%. Hasil penelitian ini

29.96 28.25 26.79

3.42 4.732.85

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Pangkal Tengah Ujung

Lig

nin

(%

)

Posisi dalam batang

AIL

ASL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 28: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

sesuai dengan penelitian Fatimah et al. (2013) bahwa kadar lignin pada kayu

berkisar antara 22,12-36,61%.

Hasil pengamatan ini sebanding dengan penelitian Hermawan et al. (2014)

yang menyatakan bahwa adanya pengaruh jumlah kadar lignin berdasarkan

ketinggian suatu batang. Hal tersebut menyebabkan komposisi lignin tertinggi

berada pada bagian pangkal, tengah lalu mengalami penurunan pada bagian ujung.

Kadar lignin juga berpengaruh terhadap warna ikatan pembuluh, sehingga pada

bagian atas lebih terang dibandingkan ikatan pembuluh pada bagian bawah

batang.

Kandungan lignin yang rendah menunjukkan bahwa pada bagian tersebut

belum terjadi proses lignifikasi, yaitu penebalan dinding sel oleh senyawa lignin

yang disebabkan oleh adanya perubahan senyawa kimia. Menurut Tsoumis (1991)

bagian pangkal yang memiliki kandungan lignin tertinggi dapat terjadi karena sel-

sel telah mengalami lignifikasi sehingga lignin tidak saja terdapat pada lamella

tengah tetapi juga pada dinding sel primer dan sekunder. Dinding sel yang belum

berlignifikasi akan mengkerut lebih besar dibandingkan dinding sel yang telah

delignifikasi.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan lignin dan

holoselulosa pada bambu memiliki nilai yang berbanding terbalik. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Fengel dan Wegener (1984) bawah rendahnya kandungan

lignin pada bagian ujung jika dibandingkan dengan bagian pangkal diduga

disebabkan karena pada bagian ujung bambu memiliki kadar holoselulosa yang

lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya.

Peningkatan kadar lignin bambu juga memiliki hubungan erat dengan

tingkat keawetan bambu sehingga pada bagian pangkal keawetan bambunya lebih

tahan lama dibandingkan pada bagian lainnya. Seperti yang dikatakan

Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa lignin bersifat sulit dicerna oleh rayap

sehingga banyaknya lignin dalam batang memungkinkan bambu lebih tahan

terhadap kerusakan.

Holoselulosa

Tingginya kadar holoselulosa pada bagian ujung batang disebabkan oleh

rendahnya kadar α-selulosa pada bagian ujung batang. Seperti yang dikatakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 29: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Bahtiar et al. (2016) bahwa holoselulosa merupakan gabungan antara selulosa

(alpha selulosa) dan hemiselulosa.

Gambar 2. Kadar Holoselulosa Berdasarkan Posisi Batang

Dari Gambar 2. di atas dapat dilihat bahwa adanya peningkatan kadar

holoselulosa pada bambu belangke dari bagian pangkal hingga ke ujung. Kadar

holoselulosa tertinggi berada pada bagian ujung sebesar 70,74% selanjutnya pada

bagian tengah sebesar 70,47% dan terkecil pada bagian pangkal sebesar 69,11%.

Kandungan holoselulosa pada hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan

Rowell (2005) bahwa pada umumnya kadar holoselulosa berdasarkan berat kering

sebesar 65 hingga 70%. Adanya perbedaan kadar holoselulosa pada setiap bagian

batang pada penelitian ini juga didukung oleh pernyataan Li (2004) bahwa setiap

bagian pada batang berpengaruh terhadap jumlah kadar holoselulosa. Bagian atas

batang memiliki nilai kadar holoselulosa tertinggi, sedangkan bagian bawah

batang memiliki nilai kadar holoselulosa terendah.

Pada penelitian ini kadar holoselulosa pada bagian pangkal ke ujung

mengalami kenaikan. Hal ini tidak sesuai yang dikatakan Panshin dan de Zeuw

(1980) bahwa kadar holoselulosa pada bagian pangkal memiliki nilai tertinggi dan

menuju ke bagian ujung mengalami penurunan disebabkan karena adanya

pertumbuhan meninggi yang ditentukan oleh jaringan meristem.

Tinggi rendahnya kadar holoselulosa berpengaruh terhadap jumlah lignin

di dalam bambu. Kadar holoselulosa pada umumnya berbanding terbalik dengan

besarnya lignin. Pada penelitian ini kadar nilai holoselulosa terendah pada bagian

pangkal, maka nilai lignin tertingginya pada bagian pangkal. Hal tersebut sesuai

69.11 70.47 70.74

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Pangkal Tengah Ujung

Ho

lose

lulo

sa (

%)

Posisi dalam batang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 30: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

dengan pernyataan Junaidi dan Yunus (2009) bawa tingginya kadar holoselulosa

pada kayu menyebabkan rendahnya kadar lignin.

Alpha-Selulosa (α-selulosa)

Menurut Sumada et al. (2011) bahwa alpha cellulose (α-selulosa)

merupaka selulosa berantai panjang yang tidak larut dalam larutan basa kuat

seperti larutan NaOH 17,5% atau larutan dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600

hingga 1500. Jenis bahan dan metode yang digunakan dapat mempengaruhi

persentase jumlah alpha selulosa yang dihasilkan. Persentase kadar alpha selulosa

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kadar α-selulosa Berdasarkan Posisi Batang

Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa kandungan kimia utama

pada bamby adalah selulosa. Pada penelitian ini diperoleh kadar α-selulosa bambu

belangke berdasarkan posisi batang memiliki nilai tertinggi pada bagian ujung

sebesar 46,04% selanjutnya pada bagian pangkal sebesar 43,16% dan terkecil

pada bagian tengah sebesar 42,79%. Nilai α-selulosa pada penelitian ini sesuai

dengan pernyataan Li (2004) bahwa persentase kadar alpha-cellulose pada bambu

berkisar 40 hingga 55%.

Kadar selulosa pada bambu belangke mempunyai nilai yang bervariasi

pada setiap bagian. Pada bagian ujung memiliki nilai tertinggi dan pada bagian

tengah memiliki nilai terendah. Kandungan selulosa pada satu batang bambu

memiliki nilai yang berbeda pada arah aksial batang. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Haygreen and Bowyer (1996) bahwa adanya variasi jumlah selulosa

pada kayu, dimana dalam pembentukannya banyak faktor-faktor dari pohon

tersebut maupun lingkungan tempat tumbuhnya yang menyebabkan adanya

43.16 42.79 46.04

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Pangkal Tengah Ujung

α-s

elu

losa

(%

)

Posisi dalam batang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 31: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

variasi dalam tipe, jumlah, ukuran, bentuk, struktur fisik, dan susunan kimia

elemen-elemen kayu.

Hemiselulosa

Menurut Achmadi (1990) bahwa polimer amorf yang berasosiasi dengan

selulosa dan lignin disebut dengan hemiselulosa, yang bersifatnya mudah

mengalami depolimerisasi, hidrolisis oleh asam, basa, dan mudah larut air serta

memiliki ikatan dengan lignin lebih kuat dari pada ikatan dengan selulosa dan

mudah mengikat air. Persentase kadar hemiselulosa pada bambu belangke di

setiap bagian batang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kadar Hemiselulosa Berdasarkan Posisi Batang

Pada penelitian ini kandungan hemiselulosa bambu belangke memiliki

nilai tertinggi pada bagian tengah batang yaitu sebesar 27,68 % selanjutnya pada

bagian pangkal batang sebesar 25,95% dan terendah diperoleh pada bagian ujung

batang sebesar 24,7%. Nilai kadar hemiselulosa tersebut didukung oleh

pernyataan Panshin dan de Zeuw (1980) bahwa sekitar 40 hingga 80% dalam

kayu tergolong kadar hemiselulosa. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa

kandungan hemiselulosa pada bambu belangke sangat rendah.

Tingginya kadar hemiselulosa pada bagian tengah batang bambu

menyebabkan seratnya lebih fleksibel dari pada bagian pangkal dan ujung bambu.

Hal ini seperti yang dikatakan Fatriasari dan Hermiati (2008) bahwa tingginya

kadar hemiselulosa dapat menyebabkan pada bagian tersebut terdapat serat yang

lebih fleksibel, lebih mudah mengembang dan plastis karena daya serap airnya

lebih tinggi.

25.95 27.68 24.7

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Pangkal Tengah Ujung

Hem

isel

ulo

sa (

%)

Posisi dalam batang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 32: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Komponen Kimia Non-Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)

Dari hasil yang diperoleh dari analisis komponen kimia non-struktural

yang tertera pada tabel 4 menunjukkan bahwa komposisi komponen kimia non-

struktural kayu yang terdapat di dalam bagian-bagian kayu baik di pangkal,

tengah maupun ujungnya bervariasi.

Tabel 4. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu Belangke Berdasarkan Posisi

Batang

Sampel Posisi

Ekstraktif (%) Abu (%)

Rata-

rata

Standar

Deviasi

Rata-

rata

Standar

Deviasi

Bambu

Belangke

Pangkal 3,35 0,66 3,03 0,18

Tengah 2,36 0,25 2,63 0,27

Ujung 4,27 0,34 1,75 0,03

Rata-rata 3,32 0,41 2,47 0,16

Kelarutan Ekstraktif dalam Etanol Benzene (1:2)

Menurut Dumanaw (2001) bahwa zat ekstraktif terdapat dalam rongga sel.

Banyak arti penting yang disebabkan oleh keberadaan zat ekstrakif di dalam kayu

seperti dapat mempengaruhi warna, bau, dan rasa suatu jenis kayu, mempermudah

dalam mengenal suatu jenis kayu, sebagai bahan industri dan menghindari

kesulitan dalam pengerjaan dan kerusakan pada alat serta penentu dalam keawetan

kayu.

Gambar 5. Kadar Ekstraktif Berdasarkan Posisi Batang

Pada penelitian ini kandungan zat ekstraktif bambu belangke memiliki

nilai tertinggi pada bagian ujung batang yaitu sebesar 4,26 % selanjutnya pada

bagian pangkal batang sebesar 3,35% dan terendah diperoleh pada bagian tengah

batang sebesar 2,36%. Nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Dumanauw (2001)

bahwa secara umum persentase kadar zat ekstraktif dalam kondisi kering tanur

3.35

2.36

4.26

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Pangkal Tengah Ujung

Ek

stra

kti

f (%

)

Posisi dalam batang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 33: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

berkisar 3 hingga 8%. Didukung oleh pernyataan Tolessa et al. (2017) bahwa

bambu memiliki kadar zat ekstraktif sebesar 3 hingga 5%. Dapat disimpulkan

kadar ekstraktif bambu belangke pada penelitian ini termasuk relatif sedikit

menurut FAO (1980) dalam Setiadi et al. (2015) bahwa kadar ekstraktif dapat

dikatakan rendah jika memiliki kandungan zat ekstraktif <5%.

Kadar ekstraktif pada bambu belangke memiliki nilai yang bervariasi di

setiap bagian batangnya. Hal ini seperti yang dikatakan Tsoumis (1991) bahwa

variasi kandungan zat ekstraktif tidak hanya terdapat pada spesies yang berbeda,

melainkan juga terdapat pada satu pohon yang sama. Pada Gambar 5.

menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada bagian ujung. Hal ini sesuai

yang dikatakan Li (2004) bahwa ketinggian batang mempengaruhi jumlah

kandungan ekstraktif pada bambu sehingga bagian ujung bambu memiliki nilai

tertinggi daripada bagian tengah dan bawah. Sedangkan kadar ekstraktif terendah

pada bagian tengah. Rendahnya kadar ekstraktif diduga karena susunan pori

tempat menyimpan zat ekstraktifnya lebih kecil, sebaliknya tingginya kadar

ekstraktif disebabkan pembentukan zat ekstraktif yang berasal dari glukosa (hasil

fotosintesa) masih diendapkan (Aryati, 2009).

Tingginya jumlah ekstraktif pada suatu bagian batang tidak menjamin

bagian tersebut lebih awet daripada bagian lainnya, tetapi ada atau tidaknya

kandungan racun dalam ekstraktif tersebut. Keawetan bambu tergantung pada

adanya sifat racun didalam ekstraktif. Ekstraktif yang dikandung bambu pada

umumnya tidak beracun sehingga pada umumnya semua jenis bambu harus

diawetkan karena mudah diserang kumbang bubuk, cendawan dan rayap

dibandingkan kayu (Loiwatu dan Manuhuwa, 2008).

Kadar Abu

Abu adalah residu anorganik yang tersisa setelah pengapian pada suhu

tinggi (Pettersen, 1984). Kadar abu adalah persentase dari zat-zat yang tersisa dari

proses pembakaran dan tidak memiliki unsur karbon (Karim et al., 2014).

Komponen dalam kadar abu adalah K2O, MgO, CaO dan Na2O

(Sokanandi et al., 2014). Persentase kadar abu berdasarkan posisi batang dapat

dilihat pada Gambar 6.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 34: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Gambar 6. Kadar Abu Berdasarkan Posisi Batang

Pada Gambar 6. menunjukkan persentase nilai kadar abu pada bambu

belangke. Pada penelitian ini kandungan kadar abu bambu belangke memiliki nilai

tertinggi pada bagian pangkal batang yaitu sebesar 3,03% dilanjutkan pada bagian

tengah batang sebesar 2,63% dan terendah diperoleh pada bagian ujung batang

sebesar 1,75%. Dapat dilihat bahwa adanya variasi kadar abu pada bambu

belangke yang disebabkan oleh kondisi lingkungan dan bagian pada batang

(Fengel dan Wegener, 1995 dalam Lukmandaru et al., 2016).

Kadar abu pada bambu belangke mengalami penurunan dari bagian

pangkal ke ujung batang. Hal ini tidak sesuai pernyataan Yunanta (2014) dalam

Gusmailina dan Hartoyo (1991) bahwa kadar abu cenderung meningkat dari

pangkal ke ujung. Kemungkinan ini karena posisi teratas memiliki porsi awal

kayu dan gubal yang tinggi. Gubal adalah bagian hidup dari kayu yang masih

melakukan aktivitas fisiologis sehingga ada bahan anorganik dari tanah yang

disimpan di dinding sel gubal.

Kadar abu tertinggi pada bagian pangkal, sehingga pada bagian tersebut

menunjukkan tingginya bahan anorganik pada bambu. Bowyer et al. (2003)

mengatakan bahwa bahan abu menunjukkan kandungan bahan anorganik dari

kayu, yang tersisa setelah proses pembakaran bahan organik. Abu dapat dilacak

karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti

kalsium, kalium, magnesium, mangan, dan silikon.

3.032.63

1.75

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Pangkal Tengah Ujung

Ka

da

r A

bu

(%

)

Posisi dalam batang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 35: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

KESIMPULAN

Komposisi kimia struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)

yaitu Acid Isoluble Lignin (AIL) tertinggi bagian pangkal batang (29,96%), Acid

Soluble Lignin (ASL) tertinggi bagian tengah batang (4,73%), holoselulosa

tertinggi bagian ujung batang (70,74%), α-selulosa tertinggi bagian ujung batang

(46,04%) dan hemiselulosa tertinggi bagian tengah batang (27,68%). Komposisi

kimia kayu non struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) yaitu zat

ekstraktif dalam ethanol benzene 1:2 tertinggi bagian ujung batang (4,26%) dan

kadar abu tertinggi bagian pangkal batang (3,03%).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 36: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu

Hayat. Institut Pertanian Bogor.

Alamsyah R, Afandi O, Batubara R. 2013. Analisis Potensi Ketersediaan dan

Pemasaran Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja) di Hutan

Rakyat Bambu Desa Timbang Lawan Kecamatan Bahorok Kabupaten

Langkat Dalam Industri Dupa Bambu. Peronema Forestry Science

Journal, 2(2):137-142.

Anonim. 2019. Plantamor.

http://plantamor.com/species/info/gigantochloa/pruriens. Diakses pada

6 Agustus 2019.

Aryati H. 2009. Analisis Kimia Kayu Batang, Cabang dan Kulit Kayu Jenis

Kayu Leda (Eucalyptus deglupta Blume). Hutan Tropis Borneo, 10:258-

261.

Azeez MA, Orege JI. 2018. Bamboo, Its Chemical Modification and Products.

http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.76359. Diakses pada 2 Februari

2019.

Bahtiar ET, Nugroho N, Surjokusumo S, Karlinasari L, Nawawi DS, Lestari DP.

2016. Pengaruh Komponen Kimia dan Ikatan Pembuluh Terhadap

Kekuatan Tarik Bambu. Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa

Sipil, 23(1):31-40.

Batubara R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. USU digital library.

Sumatera Utara.

Casey JP. 1960. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Volume I

Pulping and Bleaching. Interscience, New York, USA.

Direktoral Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1997. Petunjuk Teknik

Pembibitan Bambu. www:digilib.unila.ac.id [31 Januari 2019].

Dumanauw JF. 2001. Mengenal Kayu. Kanisius. Yogyakarta.

Fatriasari W, Hermiati E. 2008. Analisis Morfologi Serat dan Sifat Fisis-Kimia

pada Enam Jenis Bambu Sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas. Jurnal

Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan, 1(2):67-72.

Fazita MR, Jayaraman K, Bhattacharyya D, Haafiz MK, Saurabh CK, Hussin

MH, Khalil A. 2016. Green Composites Made ff Bamboo Fabric and

Poly(Lactic) Acid for Packaging Applications—A Review. Materials,

9(6):435.

Febrianto F, Gumilang A, Maulana S, Busyra I, Purwaningsih A. Keawetan

Alami Lima Jenis Bambu Terhadap Serangan Rayap dan Bubuk Kayu

Kering. Jurnal Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 12(2):146-156.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 37: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Fengel D, Wegener G. 1984. Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions.

Waster and Grugter, New York.

Gusmailina, Hartoyo. 1991. Analisis Kimia Batang Aren (Arenga pinnata merr)

yang Berasal dari Cianjur dan Analisis Pendahuluan Kayu Aren yang

Berasal dari Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 9(5):177-

182.

Gusmailina, Sumadiwangsa S. 1988. Analisis Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari

Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(5):290-293.

Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan Dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar.

Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Hermawan A, Diba F, Mariani Y, Setyawati D, Nurhaida. 2014. Sifat Kimia

Batang Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jacq) Berdasarkan Letak

Ketinggian dan Kedalaman Batang. Fakultas Kehutanan Universitas

Tanjungpura Pontianak.

Ismanto A, Baharudin RH. 2011. Analisis Kadar Pati, Lignin, dan Selulosa pada

Bambu Ampel (Bambusa Vulgaris Schrad.) yang Direndam dalam

Lumpur. Prosiding Seminar Nasional Kimia Dan Pendidikan Kimia III.

Iswanto A, Siregar YS, Susilowati A, Darwis A, Hartono R, Wirjosentono B,

Rachmat HH, Hidayat A, Fatriasari W. 2019. Short Communication:

Variation in Chemical Constituent of Styrax sumatrana Wood Growing

at Different Cultivation Site in North Sumatra, Indonesia. Biodiversitas,

20(2):448-452.

Junaidi AB, Yunus R. 2009. Kajian Potensi Tumbuhan Gelam

(Melaleuca cajuputi Powell) Untuk Bahan Baku Industri Pulp: Aspek

Kandungan Kimia Kayu. Jurnal Hutan Tropis, 10(28):248-291.

Kamilia I, Nawiyanto. 2015. Kerusakan Hutan dan Munculnya Gerakan

Konservasi di Lereng Gunung Lamongan, Klakah 1999-2013. Publika

Budaya, 1(3):72-85.

Karim MA, Ariyanto E, Firmansyah A. 2014. Biobriket Enceng Gondok

(Eichhornia crassipes) Sebagai Bahan Bakar Energy Terbarukan.

Reaktor, 15(1):59-63

Kencana P, Widia W, Antara NS. 2012. Praktek Baik Budidaya Bambu Rebung

Tabah (Gigantochloa nigrociliata BUSE-KURZ). Team UNUD-USAID-

TPC Project. Denpasar.

Li Q, Song J, Peng S, Wang JP, Qu G-Z, Sederoff RR, Chiang VL. 2014. Plant

Biotechnology for Lignocellulosic Biofuel Production. Plant

Biotechnology Journal, 12(9):1174-1192.

Li X. 2004. Physical, Chemical, and Mechanical Properties of Bamboo and Its

Utilization Potential for Fiberboard Manufacturing. LSU Digital

Commons. Louisiana State University.

Loiwatu M, Manuhuwa E. 2008. Kompnen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis

Bambu dari Seram, Maluku. Agritech, 28(2):76-83.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 38: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Lukmandaru G, Mohammad AR, Wargono P, Prasetyo VE. 2016. Studi Mutu

Kayu Jati di Hutan Rakyat Gunung Kidul. Jurnal Ilmu Kehutanan,

10(2):108-118.

Muladi S. 2013. Kimia Kayu dan Teknologi Pembuatan Pulp. Diktat Kuliah

Teknologi Kimia Lanjutan. Samarinda.

Panshin AJ, Carl De Zeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. Mc. Graw-Hill

Book Company, New York.

Pettersen R. 1984. The Chemical Composition of Wood. American Chemical

Society. U.S. Department of Agriculture, Madison.

Rowel RM. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composite. CRC

Press, Boca Raton, USA.

Setiadi D, Susanto MA, Fauzi M. 2015. Analisa Kimia Kayu pada Tanaman

Araucaria cunninghamii Aiton ex D.Don untuk Bahan Baku Pulp. Jurnal

Pemuliaan Tanaman Hutan, 9(1):53-60.

Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan Edisi Kedua.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sokanandi A, Pari G, Setiawan D, Saepuloh. 2014. Komponen Kimia Sepuluh

Jenis Kayu Kurang Dikenal: Kemungkinan Penggunaan Sebagai Bahan

Baku Pembuatan Bioetanol. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(3):209-

220.

Sumada K, Tamara PE, Alqani F. 2011. Kajian Proses Isolasi α-Selulosa Dari

Limbah Batang Tanaman Manihot Esculenta Crantz yang Efisien. Jurnal

Teknik Kimia, 5(2):434-438.

Suprihatno B, Hamidy R, Amin B. 2012. Analisis Biomassa dan Cadangan

Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens). Journal of

Environmental Science, 6(1):82-92.

Sutardi RS, Nadjib N, Muslichm M, Jasni, Sulastiningsih IM, Komaryati S,

Suprapti S, Abdurrahman, Efrida B. 2015. Informasi Sifat Dasar dan

Kemungkinan Penggunaan 10 Jenis Bambu. IPB Press, Bogor.

Tellu AT. 2008. Sifat Kimia Jenis-Jenis Rotan yang Diperdagangkan di Provinsi

Sulawesi Tengah. Biodiversitas, 9(2):108-111.

Tolessa A, Woldeyes B, Feleke S. 2017. Chemical Composition of Lowland

Bamboo (Oxytenanthera abyssinica) Grown Around Asossa Town,

Ethiopia. World Scientific News, 74:141-151.

Tsoumis G. 1991. Science and Technoloy of Wood: Structure, Properties,

Utilization. New York: Van Vostrand Reinhold.

Wahab R, Mustafa MT, Salam MA, Sudin M, Samsi HW, Mat Rasat MS. 2013.

Chemical Composition Four Cultivated Tropical Bamboo in Genus

Gigantochloa. Journal of Agricultural Science, 5(8):66-75.

Wonlele T, Dewi SM, Nurlina S. 2013. Penerapan Bambu Sebagai Tulangan

dalam Struktur Rangka Batang Beton Bertulang. Jurnal Rekayasa Sipil,

7(1):1-12.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 39: SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE Gigantochloa pruriens

Widjaja EA. 2006. Pelajaran Terpetik dari Mendalami Bambu Indonesia Untuk

Pengembangannya di Masa Depan. Berita Biologi, 8(3):153-162.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA