sifat kimia bambu belangke gigantochloa pruriens
TRANSCRIPT
SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE
(Gigantochloa pruriens)
SKRIPSI
ELVARA WINDRA MADYARATRI
151201129
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SIFAT KIMIA BAMBU BELANGKE (Gigantochloa pruriens)
SKRIPSI
Oleh :
ELVARA WINDRA MADYARATRI
151201129
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
ELVARA WINDRA MADYARATRI: Sifat Kimia Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens), dibimbing oleh APRI HERI ISWANTO.
Bambu belangke (Gigantochloa pruriens) merupakan jenis bambu yang berasal
dari Sumatera yang penyebarannya di wilayah Karo dan Gayo. Informasi
mengenai karasteristik kimia bambu belangke berdasarkan arah aksial batang
belum tersedia. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengeksplorasi sifat kimia bambu belangke bedasarkan arah aksial batang.
Sampel yang diuji dibagi menjadi tiga bagian batang yaitu pangkal, tengah dan
ujung. Komponen kimia yang diuji meliputi komposisi kimia struktural antara lain
holoselulosa, α-selulosa, hemiselulosa, ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid
Isoluble Lignin), serta komposisi kimia non-struktural seperti ekstraktif dengan
ethanol benzene 1:2 dan kadar abu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya
variasi nilai terhadap sifat kimia bambu belangke berdasarkan perbedaan posisi
batang. Komposisi kimia struktural tertinggi bambu belangke yaitu Acid Isoluble
Lignin (AIL) senilai 29,96% (pangkal), Acid Soluble Lignin (ASL) senilai 4,73%
(tengah), holoselulosa senilai 70,74% (ujung), α-selulosa senilai 46,04% (ujung)
dan hemiselulosa senilai 27,68% (tengah). Komposisi kimia non-struktural
tertinggi bambu belangke yaitu zat ekstraktif dalam ethanol benzene 1:2 senilai
4,26% (ujung) dan kadar abu senilai 3,03% (pangkal).
Kata kunci : aksial batang, Gigantochloa pruriens, sifat kimia
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
ELVARA WINDRA MADYARATRI: Chemical Properties of Belangke
Bamboo (Gigantochloa pruriens), supervised by APRI HERI ISWANTO.
Belangke bamboo (Gigantochloa pruriens) is a type of bamboo originating from
Sumatera, which spreads in the Karo and Gayo. Information on chemical
characteristic belangke bamboo by the axial direction is not yet available.
Therefore, the aim of this study was to explore the chemical properties of the
belangke bamboo based on axial direction of the stem. The samples tested were
divided into three parts, namely the stem base, middle and end. The chemical
components were tested includes structural chemical composition among others
holoselulosa, α-cellulose, hemicellulose, ASL (Acid Soluble Lignin) and AIL
(Isoluble Acid Lignin), as well as the chemical composition of the non-structural
as with ethanol extractive benzene 1: 2 and ash. The results showed that the
variation of the value of the chemical properties of the belangke bamboo based on
different positions. The highest structural chemical composition of belangke
bamboo are 29.96% Acid Isoluble Lignin (base of stem),4.73% Acid Soluble
Lignin (middle of stem), 70.74% holocellulose (end of stem ), 46.04% α-cellulose
(end of stem) and 27.68% hemicellulose (middle of stem). The highest non-
structural chemical composition of belangke bmboo is 4.26% extractive
substances in benzene ethanol 1:2 (end of stem) and 3.03% ash content (base of
stem).
Keywords : axial stem, Gigantochloa pruriens, chemical properties
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 29 Agustus 1997. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Drs. Hendra
Wijaya dan Ibu Dra. Tarsetyaning Hesti Winahyu.
Penulis memulai pendidikan di SD Swasta Pertiwi Medan pada tahun
2003-2009, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 7
Medan pada tahun 2009-2012, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di
SMA Negeri 3 Medan pada tahun 2012-2015. Pada tahun 2015, penulis lulus di
Fakultas Kehutanan USU melalui jalur ujian tulis (mandiri). Penulis memilih
minat Departemen Teknologi Hasil Hutan.
Semasa kuliah penulis merupakan anggota organisasi Rain Forest USU.
Penulis telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Buluh pada tahun 2017. Pada tahun
2018 penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Taman
Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Pada awal tahun 2018 penulis melaksanakan
penelitian dengan judul Sifat Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) di
bawah bimbingan Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
Rahmat dan Karunia- Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini
berjudul “Sifat Kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)”. Penulisan
skripsi ini merupakan tugas akhir dalam pendidikan Strata-1 dan syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan
bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua, Bapak Drs. Hendra Wijaya dan Ibu Dra. T. Hesti Winahyu,
atas dukungan dari segi moril maupun materil serta kasih sayang dan doa yang
tulus. Setiap hal yang diberikan kedua orang tua kepada penulis merupakan
semangat dalam perjuangan menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr.Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan ilmu, serta
memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.
3. Dekan Fakultas Kehutanan Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Ketua
Departemen Teknologi Hasil Hutan Bapak Arif Nuryawan, S.Hut., M.Si., Ph.D
serta dosen-dosen lainnya yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.
4. Rekan tim penelitian terutama Anggara Ridho Putra, Nicko Septuari Hutabarat
dan Bernando Syaputra Lumban Raja yang telah membantu pelaksanaan dan
menyumbangkan semangat serta kerjasama yang baik saat penelitian, serta
teman-teman mahasiswa/i Fakultas Kehutanan USU khususnya di Teknologi
Hasil Hutan angkatan 2015.
Terakhir, penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis
cantumkan satu per satu, terimakasih atas doa dan dukungan yang senantiasa
mengalir tanpa sepengetahuan penulis. Terimakasih kepada orang-orang yang
turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.
Medan, Juli 2019
Elvara Windra Madyaratri
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Hal.
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i
PERNYATAAN ORIGINALITAS .................................................................... ii
ABSTRAK .......................................................................................................... iii
ABSTRACT ........................................................................................................ iv
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian .................................................................................................. 2
Kegunaan Penelitian.............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Bambu Belangke .............................................................................. 3
A.1. Taksonomi Bambu Belangke ................................................................... 3
A.2. Morfologi Bambu Belangke ..................................................................... 3
A.3. Habitat dan Penyebaran Bambu Belangke ............................................... 3
B. Komponen Kimia ............................................................................................. 3
B.1. Komposisi Kimia Struktural ..................................................................... 4
B.1.1. Selulosa ........................................................................................... 4
B.1.2. Hemiselulosa .................................................................................. 4
B.1.3. Lignin .............................................................................................. 5
B.2. Komposisi Kimia Non-Struktural ............................................................. 5
B.2.1. Ekstraktif ........................................................................................ 5
B.2.2. Abu ................................................................................................. 6
C. Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Bambu ..................................... 7
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat ................................................................................................ 9
Bahan dan Alat ...................................................................................................... 9
Prosedur Penelitian................................................................................................ 9
Persiapan Sampel .......................................................................................... 9
Kadar Lignin Klason ..................................................................................... 10
Kadar Lignin Terlarut Asam ......................................................................... 10
Kadar Holoselulosa ....................................................................................... 10
Kadar α-Selulosa ........................................................................................... 11
Kadar Ekstraktif dalam Ethanol Benzena (1:2) ............................................ 12
Kadar Abu ..................................................................................................... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen Kimia Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) ............ 14
Lignin AIL dan ASL ...................................................................................... 14
Holoselulosa ................................................................................................... 16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
α-Selulosa ....................................................................................................... 18
Hemiselulosa .................................................................................................. 19
Komponen Kimia Non-Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) .... 20
Kelarutan Ekstraktif dalam Ethanol Benzena (1:2) ...................................... 20
Kadar Abu ...................................................................................................... 21
KESIMPULAN
Kesimpulan ........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
No. Teks Hal.
1. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu ..................................................... 7
2. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari Jawa Timur .......................... 8
3. Komposisi Kimia Struktur Bambu Belangke Berdasarkan Posisi
Pada Batang ..................................................................................................14
4. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu Belangke Berdasarkan
Posisi Pada Batang ......................................................................................20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Hal.
1. Kadar Lignin ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble
Lignin) Berdasarkan Posisi Batang. ............................................................. 15
2. Kadar Holoselulosa Berdasarkan Posisi Batang .......................................... 17
3. Kadar α-Selulosa Berdasarkan Posisi Batang .............................................. 18
4. Kadar Hemiselulosa Berdasarkan Posisi Batang ......................................... 19
5. Kadar Ekstraktif Berdasarkan Posisi Batang ............................................... 20
6. Kadar Abu Berdasarkan Posisi Batang ........................................................ 22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan memiliki peranan penting bagi manusia mulai dari sisi ekologis,
sosial budaya dan ekonomis (Kamilia dan Nawiyanto, 2015). Eksploitasi hutan
secara berlebihan memperparah terjadinya kerusakan hutan. Hal ini akan
berdampak terhadap suplai kayu pada industri perkayuan. Kedepannya perlu
sumber alternatif bahan berlignoselulosa pengganti kayu yang memiliki
ketersediaan cukup. Dari sekian banyak bahan berlignoselulosa bukan kayu
adalah bambu. Menurut Widjaja (2006) bahwa di Indonesia terdapat 156 jenis
bambu dan 88 jenis (jadi 56% dari jumlah jenis yang ada di Indonesia) merupakan
jenis yang endemik artinya hanya tumbuh di kawasan Indonesia. Bambu tersebar
pada daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim sedang. Bambu dapat tumbuh
mulai dari iklim kering sampai tropika basah, tanah subur maupun tidak subur,
dataran rendah sampai dataran tinggi 4000 meter di atas permukaan laut dan pada
daerah tanah datar maupun lereng-lereng gunung atau tebing-tebing sungai
(Kencana et al., 2012).
Salah satu jenis bambu yang hanya di jumpai di Sumatera adalah bambu
belangke. Menurut Manalu (2008) dalam Alamsyah (2013) bambu belangke
merupakan bambu yang hanya dijumpai di Sumatera. Penyebaran bambu
belangke (Gigantochloa pruriens) hanya terdapat di wilayah Karo dan Gayo
(Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1997).
Pemanfaatan bambu belangke (Gigantochloa pruriens) sebagai bahan
baku suatu produk bagi sektor industri kehutanan tidak terlepas dari sifat dasarnya
yaitu fisis, mekanis, kimia, anatomi dan lainnya. Fokus penelitian ini mengkaji
sifat kimia bambu belangke. Sifat kimia lignoselulosa terdiri atas komponen
struktural dan non-struktural. Analisis kimia yang dapat dilakukan yaitu
penetapan kadar selulosa, lignin, abu, kelarutan dalam air dingin atau air panas
serta alkohol benzen (Gusmailina dan Sumadiwangsa, 1988).
Menurut Sutardi et al. (2015) bahwa analisis sifat kimia bambu
berpengaruh terhadap penggunaan bambu yang optimal. Bambu wulung, tutul,
mayan dan petung bagus untuk konstruksi ringan, furnitur/mebel dan kerajinan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
anyaman. Bambu andong atau gomleh dan mayan baik untuk konstruksi berat,
jembatan dan bambu lamina. Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa
posisi batang bambu petung, sero dan tui yang berasal dari Seram, Maluku
berpengaruh nyata terhadap komposisi kimia bambu. Semua jenis bambu yang
diteliti sangat rentan terhadap organisme perusak, namun sangat mudah
diawetkan. Atas dasar uraian tersebut, data dari sifat kimia bambu belangke
(Gigantochloa pruriens) belum ada. Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi
terjadinya gap pada variabilitas sifat kimia bambu belangke.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sifat kimia Bambu
Belangke (Gigantochloa pruriens) berdasarkan arah aksial batang.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar
mengenai sifat kimia Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) terkait dengan
penggunaan bambu untuk kepentingan lebih lanjut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Bambu Belangke
A.1. Taksonomi Bambu Belangke
Menurut Anonim (2019) taksonomi bambu belangke
(Gigantochloa pruriens Widjaja) sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae
Klas : Monocots
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Gigantochloa
Spesies : Gigantochloa pruriens W
A.2. Morfologi Bambu Belangke
Bambu belangke memiliki batang berwarna hijau. Batang bambu yang
berkembang dari rebung dapat tumbuh cepat bahkan dapat mencapai tinggi
maksimum 12 m dalam waktu 9 – 10 minggu. Diameter batang bambu sekitar
4,67-5,10 cm. Panjang buku pada buluh muda sekitar 12 – 15 cm sedangkan pada
buluh tua sekitar 26 – 34 cm. Bambu memiliki cabang pada batang utama yang
dapat tumbuh ketika bambu berumur lebih dari 10 minggu
(Suprihatno et al., 2012).
A.3. Habitat dan Penyebaran Bambu Belangke
Bambu belangke termasuk bambu khas dari Sumatera karena hanya
ditemukan pada daerah Karo dan Gayo. Potensi ketersediaan bambu belangke
pada hutan rakyat di Sumatera Utara dengan luas hutan rakyat bambu sekitar 8,16
ha, dengan total rumpun bambu sebesar 676 rumpun. Dari total luasan tanaman
bambu tersebut terdapat 83 rumpun/ha, dengan banyak batang bambu dalam satu
hektar sebesar 4,047 batang/ha (Alamsyah et al., 2013).
B. Komponen Kimia
Kandungan kimia yang ada pada bambu dengan genus Gigantochloa perlu
dipelajari untuk mengetahui persentase kandungan ekstraksi, kandungan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
α-selulosa, lignin dan abu. Pengetahuan tentang kandungan kimia pada bambu
akan memudahkan penggunaan bahan untuk industri dalam bidang kehutanan dan
pemanfaatan industri kimia (Wahab et al., 2013). Menurut Fazita et al. (2016)
bahwa komposisi kimiawi bambu diketahui mirip dengan kayu.
Komponen kimia digunakan sebagai pengenal ketahanan bahan baku
terhadap organisme perusak, serta untuk menentukan pengolahan dan pengerjaan
dengan hasil yang maksimal. Pada umumnya, komponen kimia terdiri dari unsur
karbohidrat yaitu selulosa dan hemiselulosa, unsur non-karbohidrat yaitu lignin
dan zat ekstraktif yaitu unsur yang diendapkan kayu ketika proses pertumbuhan
(Dumanauw, 2001).
B.1. Komposisi Kimia Struktural
Komposisi kimia struktural terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Menurut Li et al. (2014) bahwa selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah tiga
komposisi kimia utama dan mereka terkait erat dalam struktur yang kompleks.
Mereka berkontribusi sekitar 90% dari total total massa bambu
(Azeez dan Orege, 2018).
B.1.1. Selulosa
Selulosa merupakan senyawa organik polisakarida yang tersusun dari
beberapa ratus hinga lebih dari sepuluh ribu unit D-glukosa dalam bentuk rantai
linier. Selulosa berbentuk lebih kristalin dibandingkan dengan pati. Selulosa
memerlukan suhu 320oC dan tekanan 25 MPa untuk merubahnya menjadi amorf
dalam air. Selulosa yang dilarutkan dalam asam pekat dengan suhu tinggi dapat
terbagi secara kimia ke dalam unit-unit glukosa (Ismanto dan Baharudin, 2011).
Alpha Cellulose (α- Selulosa) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat
Polimerisasi) 600 – 15000. Alpha selulosa dipakai sebagai penduga dan atau
tingkat kemurnian selulosa. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin
baik mutu bahannya (Sumada et al., 2011).
B.1.2. Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah susunan molekul heksosa, pentosa, asam uronik dan
turunannya yang termasuk polisakarida non-selulosa. Hemiselulosa tidak
memiliki fungsi yang jelas seperti selulosa, nama keberadaannya sama dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
selulosa di dalam dinding sekunder sel kayu (Muladi, 2013). Hemiselulosa yang
tinggi menyebatkan serat lebih fleksibel, mudah mengembang dan plastis karena
daya serap air tinggi. Serat yang plastis menyebabkan luas permukaan yang tinggi
(Fatriasari dan Hermiati, 2008).
Kandungan hemiselulosa baik secara kuantitatif dan kualitatif berbeda
pada berbagai spesies, komponen utamanya adalah O-asetil-4-O-metil glukorono-
β-D-xilan, kadang-kadang disebut glukoroxilan. Tergantung pada spesies,
kandungan xilan bervariasi dalam batas 1-30% dari kondisi kering
(Sjostrom, 1995).
Kandungan hemiselulosa (pati) dapat menentukan kerentanan bambu
terhadap mikroorganisme perusak (rayap dan kumbang). Semakin tinggi pati
maka semakin rentan terhadap mikroorganisme perusak (Febrianto et al., 2014).
B.1.3. Lignin
Lignin merupakan komponen dinding sel ketiga yang terdiri dari
polimerisasi tiga dimensi yang terbentuk dari fenilpropan yang tersusun secara
rumit. Lignin berfungsi sebagai semen di atara serat kayu dan zat penguat.
Biasanya di dalam produksi pulp, lignin dilarutkan dengan berbagai proses kimia
(Wahab et al., 2013).
Lignin merupakan suatu bagian dari dinding sel berkayu. Lignin
merupakan suatu polimer amorphous yang dikenal sebagai protolignin.
Protolignin dapat bersifat termoplastik yang memegang peranan penting dalam
mengikat serabut satu sama lain. Protolignin sukar larut dan rendah sifat
higroskopisnya. Lignin ini bersifat sebagai bahan pengisi dan mengurangi
perubahan dalam dimensi dinding sel akibat dari perubahan kadar air
(Tellu, 2008).
B.2. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu
B.2.1. Ekstraktif
Zat ekstraktif merupakan salah satu komponen kimia yang berpengaruh
terhadap sifatnya seperti bau, warna, keawetan dan lainnya. Keawetan secara
alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun
terhadap organisme perusak. Keawetan alami bervariasi antar spesies tetapi juga
di dalam batang yang sama (Tsoumis, 1991).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ekstraktif pada umumnya terdiri dari senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil
maupun hidrofil. Ekstraktif merupakan konstituen yang tidak terstruktur, hampir
seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul
rendah. Biasanya bagian yang berbeda dari pohon yang sama seperti batang,
cabang, kulit kayu mempunyai kandungan ekstraktif yang berbeda
(Sjostrom, 1995).
B.2.2. Abu
Abu menunjukkan kandungan bahan anorganik kayu yang merupakan
sisa setelah pembakaran bahan organik. Abu dapat ditelusuri karena adanya
senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium,
kalium, magnesium, mangan dan silikon (Haygreen dan Bowyer, 1989).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
C. Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Bambu
Menurut Sutardi et al. (2015) bahwa analisis sifat kimia bambu berpengaruh terhadap kemungkinan penggunaan bambu yang
optimal. Berikut adalah komponen kimia sepuluh jenis bambu.
Tabel 1. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu
Jenis
Komponen Kimia (%)
Selulosa Hemiselulosa Lignin Ekstraktif
NaOH Ethanol Benzen Air Panas Air Dingin
Wulung (Gigantochloa atroviolacea) 42,32 21,00 32,35 17,42 2,24 5,14 3,41
Tutul (Bambusa maculata) 46,36 27,00 36,35 19,52 3,68 6,54 1,05
Apus (Gigantochloa apus) 61,29 - 31,45 17,75 1,82 5,19 3,60
Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) 59,58 - 31,42 18,43 2,73 3,74 2,50
Mayan (Gigantochloa robusta) 57,55 5,77 31,66 23,95 3,24 9,63 6,68
Betung (Dendrocalamus asper) 55,10 8,22 32,35 19,12 2,24 3,91 2,15
Ampel (Bambusa vulgaris) 44,79 - 28,01 31,19 4,32 9,16 2,55
Ater (Gigantochloa atter) 44,29 - 36,08 26,6 3,95 11,39 8,17
Duri (Bambusa blumeana) 47,81 15,51 24,43 29,62 9,68 13,96 11,39
Temen (Gigantochloa verticillata) 47,81 15,51 24,43 29,62 9,68 13,96 11,39
Sumber : Sutardi et al. (2015)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut Gusmailina (1988) bahwa komponen kimia bambu memiliki nilai yang relatif sama dengan kayu. Berikut adalah tabel
komponen kimia sepuluh jenis bambu dari Jawa Timur.
Tabel 2. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari Jawa Timur
Jenis
Komponen Kimia (%)
Selulosa Pentosan Lignin Ekstraktif
NaOH Ethanol Benzen Air Panas Air Dingin
Madake (Phyllostachys bambusoides) 48,3 21,2 22,2 24,5 4,3 9,4 5,3
Petung (Dendrocalamus asper) 52,9 18,8 24,8 22,2 0,9 6,1 4,5
Apus (Gigantochloa apus) 52,1 19,3 24,9 25,1 1,4 6,4 5,2
Batu (Gigantochloa nigrociliata) 52,2 19,2 26,6 23,1 2,5 5,3 4,6
Peting (Gigantochloa verticiliata) 49,5 17,8 23,9 28,0 6,9 10,7 9,9
Ampel (Bambusa vulgaris) 45,3 20,4 25,6 29,8 5,2 9,4 8,3
Bambos (Bambusa bambos) 50,8 20,5 23,5 24,8 2,0 6,3 4,6
Kyathaung (Bambusa polymorpha) 53,8 17,7 20,8 22,4 1,9 6,9 4,9
Tinwa (Chepalostachyum pergraciles) 48,7 17,5 19,8 29,3 6,7 11,8 9,8
Melocanna bambusoides 42,4 21,5 24,7 28,4 4,0 9,7 7,3
Sumber : Gusmailina et al. (1988)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Oktober 2018.
Rangkaian kegiatan mulai dari pengambilan bambu, persiapan bambu menjadi
serbuk dan penelitian serbuk bambu. Penelitian dilakukan di Laboratorium LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk bambu
belangke, akuades, air panas, air dingin, ethanol benzene1:2, NaOH 17 dan 8,3%,
asam asetat 10%, H2SO4 72%, NaClO2 25% dan aseton.
Alat yang digunakan oven 105°C, timbangan, kertas saring, benang kasur,
kapas, wadah kaca, desikator, crussible porcelain, electric muffle furnace, labu
didih, kokon, rangkaian alat ekstraksi, botol vial, filter funnel 1G3, botol duran
100 ml, stirrer plate, magnetic stirrer, botol dan pompa vakum, tabung centrifuge,
vortex mixer, spektrofotometer UV-Vis, kuvet kuarsa, erlenmeyer, gelas ukur,
waterbath shaker, pipet ukur dan spatula.
Prosedur Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel dilakukan berdasarkan standar Technical Association of
the Pulp and Paper Industry (TAPPI) T 257 cm-02 dan TAPPI T 264 cm-97.
Dalam persiapan sampel, sampel bambu/biomassa yang digunakan untuk
pengujian komposisi kimia bambu diusahakan dapat mewakili keseluruhan
sampel yang ada. Sampel dibagi menjadi 3 bagian yaitu Pangkal (P), Tengah (T)
dan Ujung (U). Kemudian dihaluskan menggunakan ring flaker/hammer mill/disk
mill hingga seluruhnya lolos pada ayakan No. 40 Mesh. Apabila sampel dalam
keadaan basah, sampel dapat dikeringkan diudara bebas atau dimasukkan kedalam
oven dengan temperatur maksimal 40°C. Sampel diaduk dan disimpan dalam
plastik/kontainer kedap udara untuk pengujian selanjutnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kadar Lignin Klason (Acid Insoluble Lignin)
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar National Renewable Energy
Laboratory (NREL) Laboratory Analytical Procedure (LAP) 003. Dikeringkan
filter funnel 1G3 kosong dalam oven bersuhu 105°C minimal 4 jam sebelum
pengujian. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang
berat kering ovennya. Sampel bebas ekstraktif ditimbang sebanyak 0,3 gr (dicatat
beratnya) dan dimasukkan dalam botol vial kecil mulut lebar ±20 ml. Pada saat
yang bersamaan, sampel diukur kadar airnya seperti pada prosedur 2. Sampel
ditambahkan H2SO4 72% sebanyak 3 ml. Kemudian diaduk menggunakan
magnetic stirrer selama 2 jam pada suhu ruang (dikondisikan mengunakan cawan
petri yang berisi air). Sampel tersebut dipindahkan kedalam botol duran 100 ml
dan diencerkan menggunakan aquades sebanyak 84 ml hingga konsentrasi akhir
H2SO4 sebesar 4%. Botol duran yang berisi sampel ditutup rapat dan diautoklaf
dengan suhu 121°C selama 1 jam. Kemudian sampel disaring menggunakan gelas
filter 1G3 dengan bantuan vakum, filtrasi sebanyak ±10 ml dan disimpan untuk
pengukuran lignin terlarut asam. Sampel dalam filter funnel 1G3 dicuci dengan air
panas minimum 50 ml dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24
jam. Setelah itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator
selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.
Kadar Lignin Terlarut Asam (Acid Soluble Lignin)
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar NREL LAP 003. Sampel
filtrat hasil hidrolisis dan H2SO4 diencerkan sebanyak yang diperlukan dalam
tabung centrifuge atau wadah lain. Blangko H2SO4 yang telah diencerkan
digunakan untuk men-auto zero-kan absorbansi spektrofotometer yang telah
disetting pada panjang gelombang 205 nm. Kemudian sampel diukur
absorbansinya dan harus berada dalam rentang 0,2-0,8, bila absorbansinya berada
diluar rentang ini maka dilakukan pengenceran dengan blangko H2SO4.
Kadar Holoselulosa
Pengujian ini dilakukan berdasarkan Paper Trade J oleh Wise et al., 1946.
Dikeringkan filter funnel 1G3 kosong dalam oven bersuhu 105°C minimal 4 jam
sebelum pengujian. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan
ditimbang berat kering ovennya. Sampel bebas ekstraktif ditimbang sebanyak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1,0 gr (dicatat beratnya) dan dimasukkan ke dalam erlenmenyer ukuran 100 ml.
Pada saat yang bersamaan, sampel diukur kadar airnya seperti pada prosedur 2,
ditambahkan aquades sebanyak 40 ml pada sampel. Lalu tambahkan 1,5 ml
NaClO2 25% dan 0,125 ml asam asetat glasial 100%. Kemudian diaduk dan
ditutup rapat menggunakan plastik tahan panas dan diikat kuat menggunakan
karet gelang. Sampel tersebut dipanaskan dalam waterbath selama 1 jam pada
suhu 80°C diulang 3 kali. Kemudian sampel didinginkan dalam icebath, dan
sampel disaring menggunakan kertas saring 1G3 yang telah ditimbang. Sampel
kemudian dicuci dengan air dingin sebanyak 100 ml dan terakhir menggunakan
aseton sebanyak 25 ml. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven 105°C selama
24 jam. Setela itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator
selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.
Kadar α-Selulosa
Pengujian ini dilakukan berdasarkan Chemical Rubber Company (CRC)
Press oleh Rowell tahun 2005. Dikeringkan filter funnel 1G3 kosong dalam oven
bersuhu 105°C minimal 4 jam sebelum pengujian. Kemudian didinginkan dalam
desikator selama 30 menit dan ditimbang berat kering ovennya. Sampel
holoselulosa ditimbang sebanyak 0,5 gr (dicatat beratnya) dan dimasukkan ke
dalam botol vial mulut lebar ±20 ml. Pada saat yang bersamaan, sampel diukur
kadar airnya seperti pada prosedur 2. Sampel ditambahkan NaOH 17% sebanyak
6,25 ml, pastikan seluruh sampel telah terbasahi dengan reagennya, lalu sampel
diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 15 menit, dan dibiarkan tanpa
pengadukan selama 30 menit. Lalu tambahkan 8,25 ml ke dalam campuran dan
diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 5 menit dan dibiarkan tanpa
pengadukan selama 1 jam. Kemudian disaring menggunakan gelas saring 1G3 dan
dibilas menggunakan NaOH 8,3% sebanyak 25 ml, dan dicuci menggunakan
aquades sebanyak 100 ml. Cabut selang vakum yang menempel ke botol vakum.
Lalu sampel dalam 1G3 ditambahkan dalam asam aseton 10% sebanyak 10 ml
(biarkan terendam selama 3 menit), kemudian sambungkan kembali selang vakum
dan biarkan hingga seluruh larutannya terhisap. Bilas dengan aquades hingga
netral kemudian sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24 jam.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Setelah itu sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama
30 menit, kemudian ditimbang beratnya.
Kadar Ekstraktif dalam Ethanol Benzene (1:2)
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 204 cm-97. Labu
didih dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama minimal 4 jam, kemudian
didinginkan di desikator selama 30 menit. Labu didih kosong ditimbang berat
kering oven. Selanjutnya sampel ditimbang sebanyak 3 gr (catat berat yang
ditimbang), lalu dimasukkan dan dibungkus ke dalam kertas saring yang diberi
kapas pada kedua ujungnya dan diikat menggunakan benang kasur. Kadar air
sampel dihitung (Prosedur 2) bersamaan pada saat penimbangan sampel untuk
ekstraktif. Alat ekstraktif disusun dan dinyalakan dimasukkan ethanol-benzene
(1:2) sebanyak 150 ml ke dalam labu didih. Sampel diekstraktif tidak lebih dari 24
siklus selama 4-5 jam hingga seluruh zat ekstraktif terlarut dalam larutan
pengekstrak (ditandai dengan larutan pengekstrak dalam sokhlet tidak berwarna),
kemudian sampel dikeluarkan dari sokhlet. Larutan pengekstrak dalam labu didih
dalam oven suhu 40°C dan disimpan untuk pengujian selanjutnya (holoselulosa
dan lignin). Labu didih yang berisi pelarut yang mengandung zat ekstraktif
kemudian diuapkan pelarutnya hingg bersisa sekitar 5 ml, lalu dikeringkan dalam
oven bersuhu 105°C selama 24 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator
selama 30 menit. Labu didih yang berisi zat ekstraktif ditimbang berat akhirnya.
Blangko larutan pengekstrak diukur dengan metode yang sama, hanya tanpa
menggunakan sampel. Dihitung kadar ekstraktifnya dengan rumus
Kadar Ekstraktif (%) = (C − A) − (E − D)
B × 100%
Dimana
A : Berat kering oven labu didih kosong untuk sampel (gr)
B : Berat sampel tanpa kandungan air (gr)
C : Berat kering oven labu didih dan zat ekstraktif (gr)
D : Berat kering oven labu didih kosong untuk blangko (gr)
E : Berat kering oven labu didih dan pelarut ekstraktif /blangko (gr)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kadar Abu
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 211 cm-02.
Dikeringkan crucible porcelain dalam tanur selama 30-60 menit dengan suhu
525±25°C, kemudian didinginkan selama 30-60 menit dalam desikator dan dicatat
beratnya. Serbuk bambu kering sebanyak 1 gr ditimbang dalam crucible porcelain
yang sudah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan kedalam tanur bersuhu
525±25°C selama 6 jam. Setelah itu sampel dikeluarkan dari tanur dan
didinginkan dalam desikator selama 30-60 menit dan ditimbang beratnya.
Blangko selulosa diukur dengan metode yang sama, dengan menggunakan kertas
saring kering whatman bebas abu. Dihitung kadar abu dalam sampel dengan
rumus:
Kadar Abu (%) = (C − A) − (E − D)
B × 100%
Dimana
A : Berat kering oven crucible porcelain kosong untuk sampel (gr)
B : Berat sampel tanpa kandungan air (gr)
C : Berat kering oven crucible porcelain dan abu (gr)
D : Berat kering oven crucible porcelain kosong untuk blangko (gr)
E : Berat kering oven crucible porcelain dan blangko selulosa (gr)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat kimia bambu belangke (Gigantochloa pruriens) yang diperoleh
melalui batang bagian pangkal, tengah dan ujung diketahui melalui komposisi
komponen kimia baik komponen kimia struktural maupun komponen kimia non-
struktural. Menurut Dumanauw (2001) bahwa secara umum, komponen kimia
terbagi menjadi unsur karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) dan non-
karbohidrat (lignin) serta zat ekstraktif yang berasal dari pengendapan saat proses
pertumbuhan. Pengetahuan terhadap kadar komposisi kimia tersebut dapat
berpengaruh terhadap penggunaan bambu.
Komponen Kimia Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)
Hasil analisis komponen kimia struktural seperti yang tercantum di dalam
Tabel 3 menunjukkan bahwa komposisi kimia bambu yang terdapat di dalam
bagian-bagian bambu baik pada bagian pangkal, tengah dan ujung bervariasi. Data
selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Struktural Bambu Belangke Berdasarkan Posisi Batang Bambu
Be-
langke
Acid Insoluble
Lignin (%)
Acid
Soluble
Lignin (%)
Holoselulosa
(%)
α-Selulosa
(%)
Hemiselulosa
(%)
Posisi Rata
rata St.Dv
Rata
rata
St.
Dv
Rata
rata St. Dv
Rata
rata
St.
Dv
Rata
rata St. Dv
P 29,96 0,48 3,42 0,08 69,11 1,16 43,16 0,39 25,95 0,76
T 28,25 1,10 4,73 0,85 70,47 0,74 42,79 0,21 27,68 0,52
U 26,79 0,50 2,85 0,21 70,74 0,12 46,04 0,44 24,70 0,32
Rata-
rata 28,33 0,69
3,67 0,38 70,11 0,67 44,00 0,35 26,11 0,53
Keterangan: P = Pangkal
T = Tengah
U = Ujung
St.Dv = Standar Deviasi
Lignin AIL (Acid Insoluble Lignin) dan ASL (Acid Soluble Lignin)
Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa salah satu komponen
kimia utama dinding sel serat adalah lignin, yang memiliki fungsi sebagai perekat
antara sel sehingga lignin bersifat kaku. Bambu memiliki sifat termoplastik, yaitu
dapat lunak atau berubah bentuk jika dipanaskan dan mengeras kembali setelah
dingin. Jadi karena bambu memiliki lignin, untuk memudahkan bambu dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penggunaannya biasanya bambu dipanaskan terlebih dahulu agar mudah dibentuk
tetapi setelah bambu mendingin maka perubahan bentuk bambu tersebut tidak
dapat kembali ke bentuknya yang semula.
Menurut Ismanto dan Baharudin (2010) bahwa tidak semua lignin dapat
larut dalam pelarut organik. Dalam penggunaan metode Klason untuk menentukan
kadar lignin menghasilkan lignin tidak terlarut asam (lignin Klason atau AIL) dan
lignin terlarut asam (ASL). Dari hasil penelitian, diperoleh persentase kandungan
lignin pada bambu belangke berdasarkan letak pada batang baik lignin ASL (Acid
Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble Lignin) dapat dilihat pada gambar
dibawah ini.
Gambar 1. Kadar Lignin ASL (Acid Soluble Lignin) dan AIL (Acid Insoluble Lignin)
Berdasarkan Posisi Batang
Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa kandungan lignin pada bambu
belangke (Gigantochloa pruriens) berdasarkan arah aksial batang menunjukkan
adanya variasi dalam persentase nilainya. Kandungan lignin ASL (Acid Soluble
Lignin) pada bambu belangke tertinggi berada pada bagian tengah sebesar 4,73%
selanjutnya bagian pangkal sebesar 3,42% dan terkecil pada bagian ujung sebesar
2,85%. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Easty dan Thompson (1991)
dalam Iswanto et al. (2019) bahwa kadar ASL atau lignin terlarut asam dalam
kayu berkisar antara 3 hingga 5%.
Kandungan lignin AIL (Acid Insoluble Lignin) pada bambu belangke
tertinggi berada pada bagian pangkal sebesar 29,96% selanjutnya bagian tengah
sebesar 28,25% dan terkecil pada bagian ujung sebesar 26,79%. Hal ini didukung
oleh pernyataan Casey (1960) bahwa lignin merupakan salah satu unsur terbanyak
kedua di kayu dengan persentase mulai dari 17 hingga 32%. Hasil penelitian ini
29.96 28.25 26.79
3.42 4.732.85
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Pangkal Tengah Ujung
Lig
nin
(%
)
Posisi dalam batang
AIL
ASL
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sesuai dengan penelitian Fatimah et al. (2013) bahwa kadar lignin pada kayu
berkisar antara 22,12-36,61%.
Hasil pengamatan ini sebanding dengan penelitian Hermawan et al. (2014)
yang menyatakan bahwa adanya pengaruh jumlah kadar lignin berdasarkan
ketinggian suatu batang. Hal tersebut menyebabkan komposisi lignin tertinggi
berada pada bagian pangkal, tengah lalu mengalami penurunan pada bagian ujung.
Kadar lignin juga berpengaruh terhadap warna ikatan pembuluh, sehingga pada
bagian atas lebih terang dibandingkan ikatan pembuluh pada bagian bawah
batang.
Kandungan lignin yang rendah menunjukkan bahwa pada bagian tersebut
belum terjadi proses lignifikasi, yaitu penebalan dinding sel oleh senyawa lignin
yang disebabkan oleh adanya perubahan senyawa kimia. Menurut Tsoumis (1991)
bagian pangkal yang memiliki kandungan lignin tertinggi dapat terjadi karena sel-
sel telah mengalami lignifikasi sehingga lignin tidak saja terdapat pada lamella
tengah tetapi juga pada dinding sel primer dan sekunder. Dinding sel yang belum
berlignifikasi akan mengkerut lebih besar dibandingkan dinding sel yang telah
delignifikasi.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan lignin dan
holoselulosa pada bambu memiliki nilai yang berbanding terbalik. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Fengel dan Wegener (1984) bawah rendahnya kandungan
lignin pada bagian ujung jika dibandingkan dengan bagian pangkal diduga
disebabkan karena pada bagian ujung bambu memiliki kadar holoselulosa yang
lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya.
Peningkatan kadar lignin bambu juga memiliki hubungan erat dengan
tingkat keawetan bambu sehingga pada bagian pangkal keawetan bambunya lebih
tahan lama dibandingkan pada bagian lainnya. Seperti yang dikatakan
Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa lignin bersifat sulit dicerna oleh rayap
sehingga banyaknya lignin dalam batang memungkinkan bambu lebih tahan
terhadap kerusakan.
Holoselulosa
Tingginya kadar holoselulosa pada bagian ujung batang disebabkan oleh
rendahnya kadar α-selulosa pada bagian ujung batang. Seperti yang dikatakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Bahtiar et al. (2016) bahwa holoselulosa merupakan gabungan antara selulosa
(alpha selulosa) dan hemiselulosa.
Gambar 2. Kadar Holoselulosa Berdasarkan Posisi Batang
Dari Gambar 2. di atas dapat dilihat bahwa adanya peningkatan kadar
holoselulosa pada bambu belangke dari bagian pangkal hingga ke ujung. Kadar
holoselulosa tertinggi berada pada bagian ujung sebesar 70,74% selanjutnya pada
bagian tengah sebesar 70,47% dan terkecil pada bagian pangkal sebesar 69,11%.
Kandungan holoselulosa pada hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan
Rowell (2005) bahwa pada umumnya kadar holoselulosa berdasarkan berat kering
sebesar 65 hingga 70%. Adanya perbedaan kadar holoselulosa pada setiap bagian
batang pada penelitian ini juga didukung oleh pernyataan Li (2004) bahwa setiap
bagian pada batang berpengaruh terhadap jumlah kadar holoselulosa. Bagian atas
batang memiliki nilai kadar holoselulosa tertinggi, sedangkan bagian bawah
batang memiliki nilai kadar holoselulosa terendah.
Pada penelitian ini kadar holoselulosa pada bagian pangkal ke ujung
mengalami kenaikan. Hal ini tidak sesuai yang dikatakan Panshin dan de Zeuw
(1980) bahwa kadar holoselulosa pada bagian pangkal memiliki nilai tertinggi dan
menuju ke bagian ujung mengalami penurunan disebabkan karena adanya
pertumbuhan meninggi yang ditentukan oleh jaringan meristem.
Tinggi rendahnya kadar holoselulosa berpengaruh terhadap jumlah lignin
di dalam bambu. Kadar holoselulosa pada umumnya berbanding terbalik dengan
besarnya lignin. Pada penelitian ini kadar nilai holoselulosa terendah pada bagian
pangkal, maka nilai lignin tertingginya pada bagian pangkal. Hal tersebut sesuai
69.11 70.47 70.74
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Pangkal Tengah Ujung
Ho
lose
lulo
sa (
%)
Posisi dalam batang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan pernyataan Junaidi dan Yunus (2009) bawa tingginya kadar holoselulosa
pada kayu menyebabkan rendahnya kadar lignin.
Alpha-Selulosa (α-selulosa)
Menurut Sumada et al. (2011) bahwa alpha cellulose (α-selulosa)
merupaka selulosa berantai panjang yang tidak larut dalam larutan basa kuat
seperti larutan NaOH 17,5% atau larutan dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600
hingga 1500. Jenis bahan dan metode yang digunakan dapat mempengaruhi
persentase jumlah alpha selulosa yang dihasilkan. Persentase kadar alpha selulosa
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kadar α-selulosa Berdasarkan Posisi Batang
Menurut Loiwatu dan Manuhuwa (2008) bahwa kandungan kimia utama
pada bamby adalah selulosa. Pada penelitian ini diperoleh kadar α-selulosa bambu
belangke berdasarkan posisi batang memiliki nilai tertinggi pada bagian ujung
sebesar 46,04% selanjutnya pada bagian pangkal sebesar 43,16% dan terkecil
pada bagian tengah sebesar 42,79%. Nilai α-selulosa pada penelitian ini sesuai
dengan pernyataan Li (2004) bahwa persentase kadar alpha-cellulose pada bambu
berkisar 40 hingga 55%.
Kadar selulosa pada bambu belangke mempunyai nilai yang bervariasi
pada setiap bagian. Pada bagian ujung memiliki nilai tertinggi dan pada bagian
tengah memiliki nilai terendah. Kandungan selulosa pada satu batang bambu
memiliki nilai yang berbeda pada arah aksial batang. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Haygreen and Bowyer (1996) bahwa adanya variasi jumlah selulosa
pada kayu, dimana dalam pembentukannya banyak faktor-faktor dari pohon
tersebut maupun lingkungan tempat tumbuhnya yang menyebabkan adanya
43.16 42.79 46.04
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Pangkal Tengah Ujung
α-s
elu
losa
(%
)
Posisi dalam batang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
variasi dalam tipe, jumlah, ukuran, bentuk, struktur fisik, dan susunan kimia
elemen-elemen kayu.
Hemiselulosa
Menurut Achmadi (1990) bahwa polimer amorf yang berasosiasi dengan
selulosa dan lignin disebut dengan hemiselulosa, yang bersifatnya mudah
mengalami depolimerisasi, hidrolisis oleh asam, basa, dan mudah larut air serta
memiliki ikatan dengan lignin lebih kuat dari pada ikatan dengan selulosa dan
mudah mengikat air. Persentase kadar hemiselulosa pada bambu belangke di
setiap bagian batang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kadar Hemiselulosa Berdasarkan Posisi Batang
Pada penelitian ini kandungan hemiselulosa bambu belangke memiliki
nilai tertinggi pada bagian tengah batang yaitu sebesar 27,68 % selanjutnya pada
bagian pangkal batang sebesar 25,95% dan terendah diperoleh pada bagian ujung
batang sebesar 24,7%. Nilai kadar hemiselulosa tersebut didukung oleh
pernyataan Panshin dan de Zeuw (1980) bahwa sekitar 40 hingga 80% dalam
kayu tergolong kadar hemiselulosa. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
kandungan hemiselulosa pada bambu belangke sangat rendah.
Tingginya kadar hemiselulosa pada bagian tengah batang bambu
menyebabkan seratnya lebih fleksibel dari pada bagian pangkal dan ujung bambu.
Hal ini seperti yang dikatakan Fatriasari dan Hermiati (2008) bahwa tingginya
kadar hemiselulosa dapat menyebabkan pada bagian tersebut terdapat serat yang
lebih fleksibel, lebih mudah mengembang dan plastis karena daya serap airnya
lebih tinggi.
25.95 27.68 24.7
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Pangkal Tengah Ujung
Hem
isel
ulo
sa (
%)
Posisi dalam batang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Komponen Kimia Non-Struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)
Dari hasil yang diperoleh dari analisis komponen kimia non-struktural
yang tertera pada tabel 4 menunjukkan bahwa komposisi komponen kimia non-
struktural kayu yang terdapat di dalam bagian-bagian kayu baik di pangkal,
tengah maupun ujungnya bervariasi.
Tabel 4. Komposisi Kimia Non-Struktural Bambu Belangke Berdasarkan Posisi
Batang
Sampel Posisi
Ekstraktif (%) Abu (%)
Rata-
rata
Standar
Deviasi
Rata-
rata
Standar
Deviasi
Bambu
Belangke
Pangkal 3,35 0,66 3,03 0,18
Tengah 2,36 0,25 2,63 0,27
Ujung 4,27 0,34 1,75 0,03
Rata-rata 3,32 0,41 2,47 0,16
Kelarutan Ekstraktif dalam Etanol Benzene (1:2)
Menurut Dumanaw (2001) bahwa zat ekstraktif terdapat dalam rongga sel.
Banyak arti penting yang disebabkan oleh keberadaan zat ekstrakif di dalam kayu
seperti dapat mempengaruhi warna, bau, dan rasa suatu jenis kayu, mempermudah
dalam mengenal suatu jenis kayu, sebagai bahan industri dan menghindari
kesulitan dalam pengerjaan dan kerusakan pada alat serta penentu dalam keawetan
kayu.
Gambar 5. Kadar Ekstraktif Berdasarkan Posisi Batang
Pada penelitian ini kandungan zat ekstraktif bambu belangke memiliki
nilai tertinggi pada bagian ujung batang yaitu sebesar 4,26 % selanjutnya pada
bagian pangkal batang sebesar 3,35% dan terendah diperoleh pada bagian tengah
batang sebesar 2,36%. Nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Dumanauw (2001)
bahwa secara umum persentase kadar zat ekstraktif dalam kondisi kering tanur
3.35
2.36
4.26
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pangkal Tengah Ujung
Ek
stra
kti
f (%
)
Posisi dalam batang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berkisar 3 hingga 8%. Didukung oleh pernyataan Tolessa et al. (2017) bahwa
bambu memiliki kadar zat ekstraktif sebesar 3 hingga 5%. Dapat disimpulkan
kadar ekstraktif bambu belangke pada penelitian ini termasuk relatif sedikit
menurut FAO (1980) dalam Setiadi et al. (2015) bahwa kadar ekstraktif dapat
dikatakan rendah jika memiliki kandungan zat ekstraktif <5%.
Kadar ekstraktif pada bambu belangke memiliki nilai yang bervariasi di
setiap bagian batangnya. Hal ini seperti yang dikatakan Tsoumis (1991) bahwa
variasi kandungan zat ekstraktif tidak hanya terdapat pada spesies yang berbeda,
melainkan juga terdapat pada satu pohon yang sama. Pada Gambar 5.
menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada bagian ujung. Hal ini sesuai
yang dikatakan Li (2004) bahwa ketinggian batang mempengaruhi jumlah
kandungan ekstraktif pada bambu sehingga bagian ujung bambu memiliki nilai
tertinggi daripada bagian tengah dan bawah. Sedangkan kadar ekstraktif terendah
pada bagian tengah. Rendahnya kadar ekstraktif diduga karena susunan pori
tempat menyimpan zat ekstraktifnya lebih kecil, sebaliknya tingginya kadar
ekstraktif disebabkan pembentukan zat ekstraktif yang berasal dari glukosa (hasil
fotosintesa) masih diendapkan (Aryati, 2009).
Tingginya jumlah ekstraktif pada suatu bagian batang tidak menjamin
bagian tersebut lebih awet daripada bagian lainnya, tetapi ada atau tidaknya
kandungan racun dalam ekstraktif tersebut. Keawetan bambu tergantung pada
adanya sifat racun didalam ekstraktif. Ekstraktif yang dikandung bambu pada
umumnya tidak beracun sehingga pada umumnya semua jenis bambu harus
diawetkan karena mudah diserang kumbang bubuk, cendawan dan rayap
dibandingkan kayu (Loiwatu dan Manuhuwa, 2008).
Kadar Abu
Abu adalah residu anorganik yang tersisa setelah pengapian pada suhu
tinggi (Pettersen, 1984). Kadar abu adalah persentase dari zat-zat yang tersisa dari
proses pembakaran dan tidak memiliki unsur karbon (Karim et al., 2014).
Komponen dalam kadar abu adalah K2O, MgO, CaO dan Na2O
(Sokanandi et al., 2014). Persentase kadar abu berdasarkan posisi batang dapat
dilihat pada Gambar 6.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 6. Kadar Abu Berdasarkan Posisi Batang
Pada Gambar 6. menunjukkan persentase nilai kadar abu pada bambu
belangke. Pada penelitian ini kandungan kadar abu bambu belangke memiliki nilai
tertinggi pada bagian pangkal batang yaitu sebesar 3,03% dilanjutkan pada bagian
tengah batang sebesar 2,63% dan terendah diperoleh pada bagian ujung batang
sebesar 1,75%. Dapat dilihat bahwa adanya variasi kadar abu pada bambu
belangke yang disebabkan oleh kondisi lingkungan dan bagian pada batang
(Fengel dan Wegener, 1995 dalam Lukmandaru et al., 2016).
Kadar abu pada bambu belangke mengalami penurunan dari bagian
pangkal ke ujung batang. Hal ini tidak sesuai pernyataan Yunanta (2014) dalam
Gusmailina dan Hartoyo (1991) bahwa kadar abu cenderung meningkat dari
pangkal ke ujung. Kemungkinan ini karena posisi teratas memiliki porsi awal
kayu dan gubal yang tinggi. Gubal adalah bagian hidup dari kayu yang masih
melakukan aktivitas fisiologis sehingga ada bahan anorganik dari tanah yang
disimpan di dinding sel gubal.
Kadar abu tertinggi pada bagian pangkal, sehingga pada bagian tersebut
menunjukkan tingginya bahan anorganik pada bambu. Bowyer et al. (2003)
mengatakan bahwa bahan abu menunjukkan kandungan bahan anorganik dari
kayu, yang tersisa setelah proses pembakaran bahan organik. Abu dapat dilacak
karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti
kalsium, kalium, magnesium, mangan, dan silikon.
3.032.63
1.75
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pangkal Tengah Ujung
Ka
da
r A
bu
(%
)
Posisi dalam batang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KESIMPULAN
Komposisi kimia struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens)
yaitu Acid Isoluble Lignin (AIL) tertinggi bagian pangkal batang (29,96%), Acid
Soluble Lignin (ASL) tertinggi bagian tengah batang (4,73%), holoselulosa
tertinggi bagian ujung batang (70,74%), α-selulosa tertinggi bagian ujung batang
(46,04%) dan hemiselulosa tertinggi bagian tengah batang (27,68%). Komposisi
kimia kayu non struktural Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens) yaitu zat
ekstraktif dalam ethanol benzene 1:2 tertinggi bagian ujung batang (4,26%) dan
kadar abu tertinggi bagian pangkal batang (3,03%).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu
Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Alamsyah R, Afandi O, Batubara R. 2013. Analisis Potensi Ketersediaan dan
Pemasaran Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja) di Hutan
Rakyat Bambu Desa Timbang Lawan Kecamatan Bahorok Kabupaten
Langkat Dalam Industri Dupa Bambu. Peronema Forestry Science
Journal, 2(2):137-142.
Anonim. 2019. Plantamor.
http://plantamor.com/species/info/gigantochloa/pruriens. Diakses pada
6 Agustus 2019.
Aryati H. 2009. Analisis Kimia Kayu Batang, Cabang dan Kulit Kayu Jenis
Kayu Leda (Eucalyptus deglupta Blume). Hutan Tropis Borneo, 10:258-
261.
Azeez MA, Orege JI. 2018. Bamboo, Its Chemical Modification and Products.
http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.76359. Diakses pada 2 Februari
2019.
Bahtiar ET, Nugroho N, Surjokusumo S, Karlinasari L, Nawawi DS, Lestari DP.
2016. Pengaruh Komponen Kimia dan Ikatan Pembuluh Terhadap
Kekuatan Tarik Bambu. Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa
Sipil, 23(1):31-40.
Batubara R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. USU digital library.
Sumatera Utara.
Casey JP. 1960. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Volume I
Pulping and Bleaching. Interscience, New York, USA.
Direktoral Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1997. Petunjuk Teknik
Pembibitan Bambu. www:digilib.unila.ac.id [31 Januari 2019].
Dumanauw JF. 2001. Mengenal Kayu. Kanisius. Yogyakarta.
Fatriasari W, Hermiati E. 2008. Analisis Morfologi Serat dan Sifat Fisis-Kimia
pada Enam Jenis Bambu Sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas. Jurnal
Ilmu Dan Teknologi Hasil Hutan, 1(2):67-72.
Fazita MR, Jayaraman K, Bhattacharyya D, Haafiz MK, Saurabh CK, Hussin
MH, Khalil A. 2016. Green Composites Made ff Bamboo Fabric and
Poly(Lactic) Acid for Packaging Applications—A Review. Materials,
9(6):435.
Febrianto F, Gumilang A, Maulana S, Busyra I, Purwaningsih A. Keawetan
Alami Lima Jenis Bambu Terhadap Serangan Rayap dan Bubuk Kayu
Kering. Jurnal Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 12(2):146-156.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions.
Waster and Grugter, New York.
Gusmailina, Hartoyo. 1991. Analisis Kimia Batang Aren (Arenga pinnata merr)
yang Berasal dari Cianjur dan Analisis Pendahuluan Kayu Aren yang
Berasal dari Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 9(5):177-
182.
Gusmailina, Sumadiwangsa S. 1988. Analisis Kimia Sepuluh Jenis Bambu dari
Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(5):290-293.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan Dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar.
Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Hermawan A, Diba F, Mariani Y, Setyawati D, Nurhaida. 2014. Sifat Kimia
Batang Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jacq) Berdasarkan Letak
Ketinggian dan Kedalaman Batang. Fakultas Kehutanan Universitas
Tanjungpura Pontianak.
Ismanto A, Baharudin RH. 2011. Analisis Kadar Pati, Lignin, dan Selulosa pada
Bambu Ampel (Bambusa Vulgaris Schrad.) yang Direndam dalam
Lumpur. Prosiding Seminar Nasional Kimia Dan Pendidikan Kimia III.
Iswanto A, Siregar YS, Susilowati A, Darwis A, Hartono R, Wirjosentono B,
Rachmat HH, Hidayat A, Fatriasari W. 2019. Short Communication:
Variation in Chemical Constituent of Styrax sumatrana Wood Growing
at Different Cultivation Site in North Sumatra, Indonesia. Biodiversitas,
20(2):448-452.
Junaidi AB, Yunus R. 2009. Kajian Potensi Tumbuhan Gelam
(Melaleuca cajuputi Powell) Untuk Bahan Baku Industri Pulp: Aspek
Kandungan Kimia Kayu. Jurnal Hutan Tropis, 10(28):248-291.
Kamilia I, Nawiyanto. 2015. Kerusakan Hutan dan Munculnya Gerakan
Konservasi di Lereng Gunung Lamongan, Klakah 1999-2013. Publika
Budaya, 1(3):72-85.
Karim MA, Ariyanto E, Firmansyah A. 2014. Biobriket Enceng Gondok
(Eichhornia crassipes) Sebagai Bahan Bakar Energy Terbarukan.
Reaktor, 15(1):59-63
Kencana P, Widia W, Antara NS. 2012. Praktek Baik Budidaya Bambu Rebung
Tabah (Gigantochloa nigrociliata BUSE-KURZ). Team UNUD-USAID-
TPC Project. Denpasar.
Li Q, Song J, Peng S, Wang JP, Qu G-Z, Sederoff RR, Chiang VL. 2014. Plant
Biotechnology for Lignocellulosic Biofuel Production. Plant
Biotechnology Journal, 12(9):1174-1192.
Li X. 2004. Physical, Chemical, and Mechanical Properties of Bamboo and Its
Utilization Potential for Fiberboard Manufacturing. LSU Digital
Commons. Louisiana State University.
Loiwatu M, Manuhuwa E. 2008. Kompnen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis
Bambu dari Seram, Maluku. Agritech, 28(2):76-83.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lukmandaru G, Mohammad AR, Wargono P, Prasetyo VE. 2016. Studi Mutu
Kayu Jati di Hutan Rakyat Gunung Kidul. Jurnal Ilmu Kehutanan,
10(2):108-118.
Muladi S. 2013. Kimia Kayu dan Teknologi Pembuatan Pulp. Diktat Kuliah
Teknologi Kimia Lanjutan. Samarinda.
Panshin AJ, Carl De Zeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. Mc. Graw-Hill
Book Company, New York.
Pettersen R. 1984. The Chemical Composition of Wood. American Chemical
Society. U.S. Department of Agriculture, Madison.
Rowel RM. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composite. CRC
Press, Boca Raton, USA.
Setiadi D, Susanto MA, Fauzi M. 2015. Analisa Kimia Kayu pada Tanaman
Araucaria cunninghamii Aiton ex D.Don untuk Bahan Baku Pulp. Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan, 9(1):53-60.
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan Edisi Kedua.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sokanandi A, Pari G, Setiawan D, Saepuloh. 2014. Komponen Kimia Sepuluh
Jenis Kayu Kurang Dikenal: Kemungkinan Penggunaan Sebagai Bahan
Baku Pembuatan Bioetanol. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(3):209-
220.
Sumada K, Tamara PE, Alqani F. 2011. Kajian Proses Isolasi α-Selulosa Dari
Limbah Batang Tanaman Manihot Esculenta Crantz yang Efisien. Jurnal
Teknik Kimia, 5(2):434-438.
Suprihatno B, Hamidy R, Amin B. 2012. Analisis Biomassa dan Cadangan
Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens). Journal of
Environmental Science, 6(1):82-92.
Sutardi RS, Nadjib N, Muslichm M, Jasni, Sulastiningsih IM, Komaryati S,
Suprapti S, Abdurrahman, Efrida B. 2015. Informasi Sifat Dasar dan
Kemungkinan Penggunaan 10 Jenis Bambu. IPB Press, Bogor.
Tellu AT. 2008. Sifat Kimia Jenis-Jenis Rotan yang Diperdagangkan di Provinsi
Sulawesi Tengah. Biodiversitas, 9(2):108-111.
Tolessa A, Woldeyes B, Feleke S. 2017. Chemical Composition of Lowland
Bamboo (Oxytenanthera abyssinica) Grown Around Asossa Town,
Ethiopia. World Scientific News, 74:141-151.
Tsoumis G. 1991. Science and Technoloy of Wood: Structure, Properties,
Utilization. New York: Van Vostrand Reinhold.
Wahab R, Mustafa MT, Salam MA, Sudin M, Samsi HW, Mat Rasat MS. 2013.
Chemical Composition Four Cultivated Tropical Bamboo in Genus
Gigantochloa. Journal of Agricultural Science, 5(8):66-75.
Wonlele T, Dewi SM, Nurlina S. 2013. Penerapan Bambu Sebagai Tulangan
dalam Struktur Rangka Batang Beton Bertulang. Jurnal Rekayasa Sipil,
7(1):1-12.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Widjaja EA. 2006. Pelajaran Terpetik dari Mendalami Bambu Indonesia Untuk
Pengembangannya di Masa Depan. Berita Biologi, 8(3):153-162.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA