sidat

Upload: cimo49

Post on 06-Jul-2015

1.433 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

HP Kepala Balai Tambak Pandu Krawang bapak I Made Suitha 085924045477, Dan Ini No tlp Tambak Pandu Krawang, 0267 7011258. Mohon dapat digunakan untuk kepentingan para sidaters di forum ini.Kami Java Aquatic, menjual sidat marmorata asal sumatera, harga per kilo gram Rp 400.000,- bagi peminat yang serius harap hubungi Bapak Fauzi. Nasution di : +6281311132667

Tommy Email: [email protected] Phone: 087836283124

Tersedia Bibit Sidat dan Sidat KonsumsiBagi rekan2 yang membutuhkan bibit/benih sidat maupun sidat konsumsi, berikut daftar dan jenis sidat yang tersedia. Untuk melakukan pemesanan, silahkan hubungi Ibu Yusmelia (021 7199660, 0813-9832-9632) atau SMS ke 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9. (1) Benih Sidat Marmorata (Ukuran Elver Fingerling) Ukuran: Elver/Fingerling (Ukuran 15 - 40 cm), 1 Kg sekitar 20 40 ekor Jenis: Marmorata Asal Sidat: Poso (Sulawesi Tengah) Tempat Terima: Kantor Agromania Jakarta HARGA: Rp 550.000 /Kg Minimal Pemesanan 30 kg (bisa kolektif) Pengemasan: Plastik diisi oksigen dimasukkan di dalam kotak stereoam Garuda. (2) Benih Sidat Marmorata (Ukuran Glass Eel) Ukuran: Glass eel (ukuran kurang 5 cm), 1 Kg sekitar 5.000 6.000 ekor Jenis: Marmorata Asal Sidat: Poso (Sulawesi Tengah) Tempat Terima: Kantor Agromania Jakarta. HARGA: Rp 900.000 /Kg Minimal Pemesanan 10 kg (bisa kolektif) Pengemasan: Plastik diisi oksigen dimasukkan di dalam kotak stereoam Garuda. (3) Ikan Sidat Ukuran Konsumsi Ukuran: Konsumsi (ukuran sesuai pesanan) Jenis: Marmorata dan Bicolor (sesuai pesanan) Asal Sidat: Poso dan Jawa Barat Tempat Terima: Kantor Agromania Jakarta. Minimal Pemesanan 50 kg HARGA: Silahkan hubungi Sekretariat

Pengemasan: Plastik diisi oksigen dimasukkan di dalam kotak stereoam Garuda. *DP 50 % *Pesanan ke luar jakarta dapat dilayani dengan tambahan ongkos kirim *Harga dapat berubah sewaktu-waktu AGROMANIA Jl.Jambu No.53, Pejaten Barat 2, Jaksel 12510 Telp/Fax: ( 0 2 1 ) 7 1 9 9 6 6 0 Email: [email protected] Info: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9 (SMS Only)

Penelitian Ikan: Calon Spesies Baru SidatJakarta, Kompas - Sedikitnya lima karakter genetik baru ikan sidat ditemukan dalam studi keragaman, distribusi, dan kelimpahan di perairan Indonesia periode 2004-2006. Temuan itu berpeluang menjadi spesies baru atau variasi intra-spesies. Untuk sementara, temuan itu diberi nama Anguilla sp. Yang sudah bias dipastikan, tujuh dari 18 jenis sidat di dunia ada di perairan Indonesia. "Dari tujuh jenis itu, ada kemungkinan yang endemik, tetapi masih harus dikaji lagi," kata Hagi Yulia Sugeha, peneliti sidat pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pekan lalu di Jakarta. Ikan sidat tergolong jenis ikan yang kurang populer di Indonesia. Secara fisik, sidat mirip belut. Bedanya, sidat bertubuh seperti pipa. Di dekat kepala ada sejenis telinga, dan ada sirip pada bagian atas tubuhnya. Keunikan lain, sidat dapat menentukan jenis kelamin sesuai kondisi lingkungan. Sebelum berwarna keperakan di saat dewasa, sidat melalui fase transparan (ketika memasuki perairan tawar) dan berubah menjadi kuning. Umumnya, ketika sidat dalam fase kuning itulah banyak terjerat pancing. Sidat sering tertangkap di saluran-saluran air, anak sungai, sungai, dan danau. Siklus hidup sidat berbalik dengan ikan salmon. Sidat dewasa (bias berusia belasan tahun) memijah di laut berkedalaman 200-1.000 meter, sebelum kemudian bertumbuh dewasa mencari perairan tawar. Adapun salmon memijah di hulu sungai kemudian dewasa di laut. Keduanya akan mati setelah bertelur. "Hasil penelitian menunjukkan, perairan laut Sulawesi menjadi pusat pemijahan sidat tropis," kata peneliti yang pernah menangkap jenis

sidat (Anguilla marmorata) sepanjang 1,72 meter seberat 11 kilogram (2002) di Danau Poso. Temuan itu diperkuat dua kali penelitian menggunakan kapal riset Baruna Jaya VII. "Perairan laut di wilayah tengah Indonesia memang melimpah," kata Sam Wouthuyzen, rekan satu tim dengan Yulia. Populasi terancam Menurut Yulia, seiring dengan tingginya permintaan konsumsi sidat di negara-negara maju, seperti Amerika, negara-negara Eropa, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan China, populasi sidat tropis pun terancam. Menyusul penangkapan berlebihan di alam negara nontropis, permintaan impor sidat tropis meningkat. Padahal, hingga saat ini sidat belum dapat dibudidayakan dari telur. Yang terjadi, sidat-sidat anakan ditangkap dari laut atau sungai lalu dibesarkan di kolam budidaya. Sidat-sidat itu kemudian diolah di restoran-restoran mewah bertarif mahal. Meskipun mahal, seperti hidangan kabayaki di restoran jepang yang satu porsinya dijual sekitar Rp 400.000, permintaan sidat tidak pernah menurun. "Di Jepang ada hari khusus mengonsumsi sidat," kata Yulia, doktor lulusan Universitas Tokyo. Hingga kini para ahli dan peneliti sidat belum mampu membesarkan sidat dari ukuran larva di laboratorium. Untuk mencegah kepunahan sidat, disepakati agar ada kuota penangkapan dan harus selektif.

MARI IKUT BERGABUNG BERSAMA KAMI UNTUK BUDIDAYA SIDAT (ANGUILLA BICOLOR, ANGUILLA MARMORATA) Kami berhasil mengembangkan teknik budidaya Sidat yang merupakan makanan Ekslusif di Jepang dan Eropa. Kami Mengundang Investor. Biaya Investasi Rp 135,5 juta, Operasional 110,5 juta Total Investasi Rp 250 juta. Hasil Panen 10 bulan 40.000 ekor sidat = 10.000kg @Rp 25.000 Total Hasil 250 juta, return 117,64% Berikutnya tinggal meraup untung. A. Pengantar Pertambahan penduduk dunia meningkatan kebutuhan akan sumber protein makanan daging dan ikan . Penangkapan ikan yang hampir tidak terkendali dan dampak pencemaran laut oleh limbah rumah tangga, industri atau tumpahan minyak yang semakin meluas, mengurangi dan memutus siklus kehidupan ikan diperairan diseluruh dunia sehingga menjadikan perbandingan antara kebutuhan

dan ketersediaan semakin besar dan tajam. Pada sisi lain manfaat ikan semakin disadari sebagai pemacu pertumbuhan tubuh manusia, peningkatan kemampuan otak manusia, mencegah penyakit kolestrol /penyakit jantung, serta manfaat lain bagi kesehatan manusia, sehingga kebutuhan ikan semakin bertambah tambah. Salah satu jenis ikan yang dianggap sangat bermanfaat bagi manusia (Jepang dan Korea) adalah ikan belut atau sidat atau eel (anguilla bicolor) karena dengan mengkonsumsi ikan secara teratur bangsa Jepang dan Korea disamping memacu pertumbuhan tinggi badan juga menstimulasi intelektual bangsa dan menjadi mereka sebagai negara industri dan modern. Jepang mengimport ikan sidat dari China dan Vietnam hampir 500.000 ton pertahun dan permintaan tetap bertambah, namun sukar dipenuhi karena pencemaran lingkungan di kedua negara ini pun telah semakin parah akibat pertumbuhan industri. Negara negara Eropah juga merupakan pasaraan yang berpotensi tinggi karena mereka juga banyak mengkonsumsi ikan. Makan ikan sidat atau dikenal dengan Unagi, bukanlah makanan biasa, tetapi termasuk termahal di resetoran Jepang sehingga bila kita dijamu dengan hidangan makanan tersebut, menunjukkan kita sebagai tamu terhormat. Unagi merupakan suguhan makanan bagi pertemuan pembisnis besar dan terkenal atau tokoh tokoh penting . Karenanya yang terlibat dalam bisnis sidat disana adalah perusahaan besar multi nasional seperti Mitsui, Marubeni, Ssasakawa dan lainnya dan perusahaan ini baru mau bekerjasama bila kita mampu memasok kontrak diatas 5.000 ton pertahun . Indonesia hingga saat ini belum mampu berbuat, walau ada 3 wilayah khusus di perairan kita sebagai tempat pengembangan telur ikan sidat yaitu Teluk Toli Toli, Sorong Barat dan Pelabuhan Ratu. Ciri khas ikan sidat adalah bertelur dilaut dalam, menetas di muara muara sungai dan membesar di air tawar. Penangkapan yang ada saat ini sangat terbatas dalam jumlah kecil, sehingga harus dikembangkan melalui pengembangan budi daya bilamana hendak dijadikan komoditi ekspor yang potensil. Karena tingginya permintaan ekspor ikan sidat serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi ikan, khususnya ikan sidat, kami mengundang para pensiunan maupun yang di pension dini atau yang di PHK, para artis serta investor lainnya ikut dalam program kami "Membudidayakan ikan ditengah perkotaan/pemukiman guna memenuhi kebutuhan komoditi ekspor serta mencerdaskan bangsa dengan keuntungan pasti". B. Methode Pengembangan. Keberhasilan pengembangan budidaya ikan sangat ditentukan oleh 3 (tiga) faktor

yaitu : Benih ikan , Air serta Pakan atau Makanan ikan. 1. Benih ikan sidat ukuran 8-15 cm (fingerling) akan dipasok oleh perusahaan pembibitan/hatchery (lokasi di Pelabuhan Ratu, Jabar). Pada skala ukuran bibit seperti ini, tingkat kematian/mortalitas di pembesaran maksimal 2%, sedang di pembibitan mencapai 30%. 2. Air sebagai media pembesaran sidat ditempatkan dalam fibreglaas bulat, lebar 300 cm tinggi 75 cm per unit dengan sistem MSWPS (Multi Stage Water Purification Sysstem) berdasarkan konsep "menciptakan lingkungan yang sehat untuk ikan" sehingga ikan bebas dari predator pemangsa, virus, bakteri dan cemaran (polutan), temperatur dan pH yang stabil, sekaligus secara otomatis menyaring kotoran ikan dan sisa makanan dan mengalirkan kembali air kedalam kontainer. 3. Pakan dengan formula khusus akan dipasok perusahaan dan konsentratnya disesuaikan dengan umur dan tingkat pertumbuhan sidat atau jenis ikan lainnya yang dibudi dayakan.(tidak ada dipasar) Jangka waktu pembesaran ikan sidat antara 10 12 bulan dengan populasi bibit 4.000 ekor per kontainer atau rata rata 1.000 kg setiap di panen. C. Pemasaran. Seluruh hasil pembesaran para investor akan dibeli dan ditampung oleh Perusahaan untuk diproses sebagai bahan makanan jadi bersertifikat sesuai standar dan keinginan pembeli di luar negeri maupun kebutuhan lokal D. Paket Investasi Proyek Pembesaran Sidat 1. Investasi Peralatan dan Perlengkapan. (dalam 000 rupiah) a. 10 bak type 1.000 fibreglaas (3mx75cm) a. Rp. 5.000. = Rp. 50.000. b. 2 unit M. S Waste Water Recycling System a. Rp. 7.000. = Rp. 14.000. c. 3 unit Tangki air Plastik size 1.500 l a. Rp. 1.000. = Rp. 3.000. d. 1 unit Tangki air stainless steel size 1.200 l a. Rp. 2.500. = Rp. 2.500. e. 1 unit instalasi air dan listrik a. Rp. 5.000. = Rp. 5.000. f. 160 m2 rangka besi dan atap seng a. Rp. 350. = Rp. 56.000. g. Biaya penyambungan baru PLN 6.600 watt - = Rp. 5.000. ---------------------------------

Total

= Rp.135.500.

2. Biaya Operasional (10 bulan) a. Pasta/Pakan 10.000 kg a. Rp. 0.75 = Rp. 75.000.

b. 2 unit Perawatan MSWWRS a. Rp. 9.000. = Rp. 18.000. c. Biaya listrik PLN a. Rp. 1.750. = Rp. 17.500. ---------------------------------Total = Rp.110.500. ---------------------------------Grand Total = Rp.250.000. (Dua ratus lima puluh juta rupiah) E. Hasil Panen (10 bulan/10 bak). 4 (empat) ekor per kg atau 40.000 ekor/10 bak tahun, panen pertama menghasilkan 10.000kg sidat a Rp. 25.000. = Rp. 250.000. Panen pertama hasilnya telah dapat mengembalikan investasi (0) sedang untuk panen kedua dan berikutnya dengan jangka waktu penghapusan instalasi 15 tahun (Rp. 135.000.000. Rp, 5.000.000 (penyambungan PLN) = Rp. 130.000.000.) menghasilkan Rp.130.000.000./panen. atau 117.64%. F. Penutup. Indonesia memiliki pantai 81.000 km, luas perairan lebih 6.000.000 km2 dan potensi ikan cukup besar namun terkendala dengan masalah pencurian ikan, kurangnya peralatan kapal, tiadanya industry pengolahan, ancaman pencemaran dilaut Jawa dan permasalahan lainnya. Budidaya ikan dalam kontainer, terkendali dan terprogram dan dapat dilakukan di rumah/pekarangan maupun lahan lainnya dengan modal yang relatif kecil .Kami memberikan bimbingan dan pengawasan sepenuhnya sehingga risiko ditekan seminimal mungkin, bahkan kami bersedia memberi ganti rugi bila investasi anda gagal. Harga akan semakin baik dari waktu kewaktu sehingga tingkat keuntungan akan bertambah , disamping meningkatnya mutu intelegensia anak anak dengan membiasakan mengkonsumsi ikan (sidat) yang dihasilkan sendiri. Pembudidayaan ikan dengan sistim ini dapat dilakukan secara bersama di komplek perumahan dengan memiliki 1 (satu) unit produksi (10 kontainer) secara patungan . Investasi ini sangat menenangkan karena perkembangan setiap hari, minggu dan bulan dapat dimonitor sekaligus menghilangkan stress dan ancaman sakit jantung yang semakin meluas diderita masyarakat.

Peluang Ekspor Sidat ke Cina

Cina membutuhkan ikan sidat sekitar 70.000 ton per tahun, sementara yang bisa dipenuhi hanya 20.000 ton. Ini merupakan peluang Indonesia yang memiliki potensi ikan sidat untuk diekspor ke Cina. In-formasi itu disampaikan tim dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang mengujungi Cina, beberapa waktu lalu. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Informasi dan Pelayanan Masyarakat DKP, Aji Sularso, di Jakarta, Senin (27/6). Dikatakan, peluang itu menjadi perhatian DKP yang langsung merintis upaya pengembangan budidaya ikan sidat di sejumlah Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) yang menjadi unit pelaksana teknis (UPT) di berbagai daerah. Dia mengemukakan, DKP antara lain telah merintis dempond budidaya sidat oleh Balai Riset Budidaya Air Tawar Sukabumi, Jawa Barat, melalui pencarian lokasi yang tepat dan mengimpor pakan serta melakukan riset pakan agar bisa mengadakanna secara mandiri.

Kawasan Budidaya DKP, tambahnya, membangun kawasan budidaya ikan sidat sampai taraf layak untuk dibangun pabrik pakan yang menjadi awal investasi perusahaan mitra kerja. Salah satu pertimbangan, pembangunan kawasan ini akan dikaji lokasinya di Waduk Jatigede Sumedang, Jawa Barat. DKP juga telah mengintegrasikan program pembangunan kawasan budidaya dengan pembangunan Waduk Jatigede, dan bekerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum agar terjamin suplai air ke kawasan tersebut. ''Tim dari Cina juga akan datang ke Indoneia untuk mencari komoditas lain yang bisa dipasarkan di negara itu, dan mencari peluang kerja sama dalam pengembangan perikanan budidaya,'' ujarnya.

Lima spesies sidat ( Anguilla )Jakarta --- Lima spesies sidat ( Anguilla ) atau belut laut berhasil ditemukan pakar sidat dari Jepang, bersama ilmuwan Indonesia, di perairan Indonesia timur, dalam serangkaian penelitian ilmiah September lalu. Kelima spesies sidat yang ditemukan itu adalah Anguilla Borneonsis , Anguilla Selebensis , Angullia Marmorata , Anguilla Bicolor dan Anguilla Interioris . "Hasil temuan itu cukup menggembirakan," kata pakar kelautan Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sam Wouthuyzen, pimpinan tim penelitian itu, kemarin di Jakarta. Menurut dia, kegiatan penelitian yang berlangsung 23 hari di perairan Indonesia timur itu menggunakan kapal Baruna Jaya VII. Melalui hasil penelitian itu, diharapkan dapat diperoleh data dan informasi yang lebih rinci kearah pengembangan budidaya Sidat di masa mendatang. Menurut Sam, pasaran Sidat di Jepang cukup mahal. Ia mencontohkan, di restoran di Jepang, satu porsi sidat panggang yang dikenal dengan Kabeyaki dapat mencapai nilai 6.000 Yen. Kegemaran masyarakat Jepang mengkonsumsi sidat karena jenis ikan ini diduga mengandung hormon yang merangsang sifat kejantanan lelaki. Diduga, nenek moyang sidat yang dikenal dengan belut laut ini berasal dari perairan Sulawesi dan Maluku. Kemudian, kata Sam, menyebar ke seluruh dunia, terutama Jepang. Antara

Mintak Sidat Pengetahuan dasar teori gizi

Ikan sidat disebut juga ikan moa, dan nama ilmiahnya adalah Anguilla japonica. Ikan sidat adalah sejenis ikan yang mempunyai nilai gizi sangat tinggi, kaya akan protein serta vitamin D dan E, serta mempunyai mucoprotein yang kaya, disebut sebagai asam amino lemak ganggang dan asam ribonukleat. Ikan sidat sangat berharga, sejak zaman kuno telah mendapat nama harum seperti "ginseng air", "emas lunak" dan lain lain, terdapat catatan rincinya pada "Kitab Obat-Obatan Herbal China", "Kumpulan Obat Ajaib China" dan catatan-catatan kuno lainnya. Ikan sidat dapat meninggalkan hidup di air, daya adaptasinya sangat kuat, dapat hidup di laut, juga dapat hidup di sungai, maupun air tawar. Sampai sekarang, ikan sidat tak dapat dibudidaya oleh manusia, oleh karena itu nilainya sangat tinggi. Penelitian kedokteran moderen menemukan bahwa kandungan vitamin dan mikronutrien dalam ikan sidat sangat tinggi, di antaranya kandungan vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin A masing-masing adalah 25 kali lipat, 5 kali lipat dan 45 kali lipat susu sapi, kandungan zinc (emas otak) merupakan 9 kali lipat susu sapi. Terutama beberapa tahun belakangan ini ditemukan bahwa ikan sidat mengandung berbagai asam lemak tak jenuh yang tinggi yang tak ada pada hewan lainnya, sehingga dapat merupakan makanan utama yang memenuhi napsu makan manusia, tanpa perlu

kuatir badan akan menjadi gemuk. Rasa ikan sidat harum dan enak, disebut sebagai "ginseng air", fungsinya dalam memperpanjang umur dan melawan kelemahan dan penuaan tak ternilai. Sumber ikan sidat tersebar di berbagai daerah di dunia, pembiakan dengan penangkapan tunas ikan sidat alami dan menjadi ikan sidat air tawar sangat jarang, sedangkan keistimewaan ikan sidat air tawar mempunyai masa pertumbuhan yang pendek dan tak terpolusi zat logam. Teknologi menemukan bahwa daya hidup ikan sidat yang ajaib bersumber dari tulang sum-sumnya yang besar dan kuat. Penelitian modern menunjukkan bahwa tulang sum-sum ikan sidat mengadung beratus-ratus jenis zat bergizi, gizi dan nilai farmakologinya yang istimewa telah mendapat perhatian yang luas dari para pakar. II. Komposisi utama dan khasiat produk: (I) Komposisi minyak ikan sidat Minyak Ikan sidat dibuat dari ekstrak sum-sum ikan sidat segar, mengandung tiga jenis pusaka yaitu: DHA, EPA dan AKG. DHA dan EPA secara nyata dapat menurunkan lemak darah dalam tubuh manusia, sedangkan AKG merupakan antioksidan ajaib. (II) Keistimewaan (I) Keistimewaan DHA dan EPA Pertama, tubuh manusia tidak hanya terdiri dari asam lemak tak jenuh, dengan menggunakan pasokan makanan, oleh karena asam lemak tak jenuh disebut sebagai asam lemak yang penting. DHA dan EPA merupakan asam lemak tak jenuh, struktur molekulnya hampir sama, oleh karenanya EPA sangat mudah diubah menjadi HDL di dalam tubuh dan mengembangkan fungsi fisiologinya. DHA merupakan komposisi pembentukan membran penglihatan yang penting, menduduki kira-kira 40 50%. DHA dapat memberikan gizi yang diperlukan oleh syaraf penglihatan, untuk menghindar terjadinya gangguan penglihatan. Kedua, apabila kekentalan lemak dalam darah (kolesterol, trigliserida, dll) terlalu tinggi, merupakan dasar terjadinya penyakit aterosklerosis, sedangkan kolesterol yang mengangkut lemak di dalam darah mempunyai fungsi yang menentukan. Kolesterol dibagi menjadi HDLC dan LDLC, semakin rendah kepekatan lipid, semakin besar butirannya. Sedangkan LDLC mudah menyatu dengan komposisi lain dalam pembuluh darah ditambah dengan pengendapan di dinding pembuluh darah, oleh karenanya disebut "lipid buruk". Sedangkan HDLC dapat membantu menurunkan kolesterol dalam darah, sehingga disebut "lipid baik". EPA dalam minyak ikan dapat menghambat fungsi lipid buruk, mengurangi endapan di dinding pembuluh darah, dan dapat membantu HDL menjernihkan

kelebihan lemak di dinding pembuluh darah, oleh karenanya minyak ikan disebut sebagai "pembersih" dalam pembuluh darah. Jadi, mengkonsumsi minyak ikan tak hanya dapat menurunkan lemak darah, tetapi juga dapat mencegah timbulnya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak. Ketiga, sel imunitas dengan mekanisme normal mempunyai fungsi untuk mengawasi dan membunuh sel tumor. Tetapi pada kondisi abnormal, tubuh menghasilkan hormon prostat E2 dalam jumlah besar, ini merupakan salah satu inhibitor sel imunitas, mempunyai fungsi nyata untuk menghambat berbagai jenis sel imunitas di dalam system imunitas, oleh karenanya membuat fungsi pengawasan dan kemampuan membasmi sel tumor pada sistem imunitas terhambat, dan menyebabkan timbulnya tumor. Sedangkan DHA dan EPA dapat mengurangi produksi hormone prostat E2, menghilangkan fungsi penghambatan hormon prostat E2 terhadap berbagai sel imunitas, memperkuat kemampuan pengawasan dan pembasmian sel tumor pada sistem imunitas. Selain itu, DHA dan EPA dapat meningkatkan pelunakan membran sel, sehingga aktivitas sel imunitas bertambah, bermanfaat untuk penyampaian pesan sel imunitas dan membasmi sel tumor. Keempat, ilmu kedokteran moderen beranggapan bahwa radang sendi, rematik, bronchitis dan diabetes berkaitan dengan gangguan fungsi imunitas tubuh, sedangkan EPA dan DHA dapat mengurangi perpindahan sel darah putih dan sel berinti-tunggal, sehingga merubah proses penyakit radang, dengan demikian mencapai fungsi pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut di atas. Kelima, DHA dan EPA adalah zat gizi yang tak boleh diabaikan manula. DHA dan EPA dapat memperlambat penyusutan otak besar, mencegah kemunduran fungsi otak besar dan timbulnya dimensia. Diperkirakan persentase timbulnya dimensia pada manula di abad ke-21 ini bertambah 3 kali lipat dari sekarang, pada waktunya DHA dan EPA akan menjadi salah satu cara yang berkhasiat untuk mencegah timbulnya dimensia pada manula. Keenam, DHA merupakan zat yang diperlukan untuk perkembangan otak bayi, terutama mempunyai fungsi sangat penting untuk pertumbuhan syaraf otak. Perpecahan dan perkembangan sel otak manusia adalah 70 80% yang selesai dalam 3 bulan sebelum kelahiran, sisanya diselesaikan beberapa hari setelah kelahiran, oleh karena itu pada tahap ini wanita hamil perlu mengkonsumsi cukup DHA untuk menjamin pertumbuhan sistem syaraf yang baik. (2) Keunggulan AKGs AKGs merupakan anti-oksidan yang ajaib. Keunggulannya adalah dapat merangsang terbentuknya sel imunitas, meningkatkan jumlah sel darah putih, sel limpa dan keeping darah, serta meningkatkan aktivitas sel imunitas, memperkuat fungsi imunitas tubuh, dan mempunyai khasiat istimewa untuk membersihkan radikal bebas di dalam sel. Anti-oksidan tradisional kebanyakan membersihkan radikal

bebas dari luar sel, dan sedikit sekali yang dapat menembus membrane sel dan mengembangkan khasiatnya di dalam sel, sedangkan AKGs benar- benar merupakan salah satu dari sedikit anti-oksidan dalam sel, yang dapat menghapus sama sekali radikal bebas di dalam sel. AKGs disebut sebagai "sumber imunitas" dalam ilmu sains, AKGs dapat meningkatkan aktivitas sel imunitas, mendorong terbentuknya sel imunitas di dalam tubuh, merupakan pusaka kesehatan abad ke21. Khasiat produk: 1. Menurunkan kandungan lemak tak baik di dalam darah, menghindari penyakit aterosklerosis. 2. Memperbaiki sirkulasi kapiler, mempertahankan tekanan darah normal, mengobati penyakit pembuluh darah otak. 3. Mengurangi keletihan. 4. Sebagai anti-oksidan, menghilangkan racun, memperlambat penuaan. 5. Mengatur imunitas. 6. Berfungsi nyata untuk penyakit rabun jauh, rabun dekat, glukoma, dan penyakit mata kering yang disebabkan karena mata terlalu lelah. 7. Mendorong terbentuknya lemak fosfat dan perkembangan otak besar, bermanfaat untuk meningkatkan daya ingat, memperlambat penyusutan sel syaraf otak besar, dan menghindari penyakit dimensia. 8. Membantu pengobatan rematik dan radang sendi rematik. 9. Mempunyai fungsi nyata untuk mengobati liver berlemak, sembelit, rambut rontok dan radang pembuluh darah. 10. Meningkatkan imunitas tubuh, mendorong pemulihan asma.

Teknik Produksi:Sumber utama Minyak Ikan sidat adalah ikan sidat air tawar dari Propinsi Fujian, China, diekstrak dengan teknologi biologis moderen menjadi menjadi sejenis suplemen tingkat atas alami (produk ini tidak mengandung aditif apapun). IV. Konsumen target dan cara penggunaan: 1. Bagi kelompok berusia 40 tahun ke atas. 2. Bagi mereka yang mempunyai lemak darah terlalu tinggi. 3. Mereka yang sering mengkonsumi makanan berlemak dan berprotein tinggi. 4. Mereka yang mempunyai tekanan darah terlalu tinggi. 5. Pasien penyakit jantung koroner, dan mereka yang pasokan darah ke otot jantungnya tak mencukupi. 6. Mereka yang terlalu banyak menggunakan otak dan sering lelah. 7. Mereka yang penglihatannya letih karena terlalu lama mendapat radiasi komputer, telpon genggam, dan televisi. 8. Mereka yang stres dalam pekerjaan, dan tak tidak memperhatika pemeliharaan

kesehatan. Cara Pengunaan: 2 x sehari, 3 butir per kali, diminum dengan air hangat. V. Perbandingan dengan Produk Bersaing Sejenis: VI. Titik jual produk: 1. Bahan alami dan tak tercemar; 2. Teknologi maju; 3. Mengandung anti-oksidan AKGs yang kuat. VII. Cerita produk: Pada tahun 1945 bom atom Amerika pertama kali meledak di Pulau Hiroshima Jepang, pulau ini dihancurkan sampai rata tanah, manusia dan hewan mati semua, satu-satunya yang hidup adalah ikan sidat yang mempunyai kehidupan yang gaib. Melalui penelitian mendalam dari para ilmuwan, didapatkan bahwa ikan sidat tak hanya mempunyai keistimewaan hidup di siang hari dan di malam air, juga mempunyai cara pernapasan yang istimewa dan daya tahan terhadap kekurangan oksigen, serta mempunyai cirri khas fisiologis berupa indera pencium yang sensitif, dengan demikian membentuk keistimewaannya untuk tahan hidup. Selain itu, ikan sidat juga sensitif terhadap zat berbahaya, persyaratan kualitas air tempat hidupnya sangat tinggi, di perairan sering secara gaib terbentuk selapis cadar ajaib yang menutupinya.

Ikan UnggulanIkan sidat, dengan nama latin Anguilla Marmorata, merupakan ikan yang hidup di danau dan air bersih. Ikan yang sekilas mirip belut ini, banyak terdapat di wilayah perairan Poso dan Manado, Sulawesi, serta di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Ikan ini banyak dicari karena merupakan bahan makanan yang sangat diminati masyarakat di Asia Timur, khususnya Jepang, China, Korea dan Taiwan. Ikan sidat memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harganya mahal. Untuk ikan dengan ukuran 15 centimeter, dijual seharga 300 hingga 400 ratus ribu rupiah per kilogram. Inilah salah satu tempat budidaya ikan sidat di tambak Pandu Karawang, Jawa Barat. Tambak seluas 330 hektar ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Ikan sidat yang dibudidayakan disini diekspor ke berbagai negara, seperti Jepang, Korea, Cina, dan Taiwan. Selain ikan sidat jenis Anguilla Marmorata, ditambak ini juga dibudidayakan jenis Anguilla Reinhard yang khusus didatangkan dari Australia. Ikan ini diimpor saat berukuran 20 centimeter. Upaya pembesarannya membutuhkan waktu 4 bulan. Pertumbuhan ikan sidat tergolong lamban. Untuk membesarkan ikan ini hingga

mencapai berat 50 gram, membutuhkan waktu 6 sampai 7 bulan. Namun setelah itu, ikan sidat akan tumbuh cepat. Dalam waktu 6 bulan kemudian, beratnya bisa mencapai 1 hingga 2 kilogram. Untuk membudidayakan ikan sidat ini dibutuhkan bak air dengan ukuran 3 kali 10 meter. Setelah bibit ikan ditebar, bak harus dibersihkan setiap 2 hari sekali. Sirkulasi air harus dijaga agar tetap bersih. Menurut Made Suita, kepala tambak Pandu Karawang, ikan sidat merupakan spesies baru yang sedang dikembangkan menjadi komoditi unggulan sektor perikanan. Ikan sidat biasanya diberi makan palet pasta, yang diolah sendiri oleh petani ikan. Biaya pembuatan pakan ini, sekitar 20 ribu rupiah, yang bisa dikonsumsi untuk 25 ribu ekor benih ikan. Di pasaran Internasional, ikan sidat tergolong ikan kualitas satu. Karena itu ikan ini dikembangkan menjadi komoditi perikanan unggulan. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup petani.

EELS MarketabilityMore than 130,000 tonne/yr of eels is produced worldwide; the main producers being China, Japan and Taiwan. Over 70% of this product is produced for the Japanese 'Kabayaki' market. Kabayaki is a style of serving eels, where eels of around 150-200g are butterflied, placed on skewers, basted in a thick soy based sauce, and steamed or grilled. More than 90% of eels consumed in Japan are served this way, with eel being the most widely consumed freshwater fish in Japan. However, the quality of eel for this market is highly prescriptive and investigation should be undertaken to determine the potential of this market. The Australian shortfin eel is very similar in appearance to the species of eel favoured by the Japanese market (Anguilla japonica). As such the shortfin eel is well accepted in Japan and attracts similar prices to A. There is potential for Australian producers to export shortfin eels to Japan for this market. The longfin eel is different in appearance to the species A japonica and as such is not as well accepted in Japan, leading to lower prices. However, the longfin eel is similar to the species favoured in China (Anguilla mamorata), and as such there is some potential to export this species. For eels, it is hard to evaluate the size of any potential markets for Australian producers. Certainly the export markets are present and active, however the very nature of eel farming (i.e. reliance on glass eels for seedstock, seasonal nature of glass eel collection, limited technical know-how etc) has restricted development. Declining eels stocks overseas may work to the advantage of Australian producers. Australia and in particular NSW are fortunate to have avoided most of the problems experienced by other countries, such as waterway pollution, subsidence of land

from excess bore water extraction, disease and particularly excessive overharvesting of glass eels. There is excellent potential to promote the 'clean green' image of Australian aquaculture produce, while we ensure that the activity is conducted in a sustainable manner. It is anticipated that there will be great potential for Australian producers to step in and replace some of the shortfall in supply that may arise overseas. Furthermore, as Australia's multicultural population increases, there may be opportunity for a small domestic market for eels to develop.

SIDATKU MAHAL, SIDAQTKU TERANCAM"Kami sudah membuat banyak publikasinya dalam jurnal ilmiah internasional. Sayang, di Indonesia tidak banyak yang tertarik." Banyak yang spontan terkekeh ketika Yulia mengungkapkan belum ada yang pernah bisa menyaksikan bagaimana sidat kawin dan memijahkan telurnya di laut. Seorang teman wartawan berceletuk, "Apa pentingnya menonton ikan kawin?" Tapi Yulia bergeming. Wanita bernama lengkap Hagi Yulia Sugeha, yang juga peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melanjutkan, "Sensei saya penasaran sekali ingin bisa melihatnya." Yulia menerangkan, sidat (Anguilla spp.) tidak sebatas lezat disantap. "Siklus hidupnya juga sangat unik," katanya. Yulia menjelaskan, sidat hidup di dua alam: ia berpijah di laut, lalu bayi- bayi sidat akan mencari air tawar untuk melanjutkan hidupnya sebelum belasan tahun kemudian--ketika sudah dewasa--kembali lagi ke laut. Siklus hidup itu mirip salmon, yang berpijah di perairan tawar dan tumbuh dewasa di laut. Bedanya, kata Yulia, "Kita sudah mengenal dan mengeksploitasi salmon, sedangkan sidat? No body knows." Nah, rupanya, di sinilah yang terpenting yang membuat Yulia ikut penasaran sama seperti sensei-nya--Katsumi Tsukamoto, profesor di Institut Penelitian Laut Universitas Tokyo. Apalagi belakangan Yulia mengetahui bahwa tujuh dari 18 spesies ikan itu yang pernah dilaporkan endemik perairan tropis. Yulia jadi sangat tertarik untuk memetakan lokasi-lokasi pemijahan itu khusus untuk perairan tropis di Indonesia. Dia pun sempat berlayar tiga tahun, tapi tidak tuntas karena faktor biaya. Yulia memutuskan sedikit banting setir. Dia memilih pertanyaan yang lebih spesifik dengan kebutuhan dana yang lebih kecil: apakah proses masuknya bayi-bayi sidat itu ke perairan tawar (recruitment) yang terjadi di setiap perairan di Indonesia sama. Hasil penelitiannya yang sudah berjalan tiga tahun dan masih setengah matangkarena dijadwalkan baru selesai tahun depan-itulah yang dipaparkannya kepada wartawan dari berbagai media di kantor LIPI, Kamis pecan lalu. Tepat sepuluh tahun lalu, Yulia, yang saat ini berusia 33 tahun, berkenalan dengan sidat. Saat itu Yulia masih asisten dosen di kampusnya, Universitas Sam Ratulangi,

Manado. Tsukamoto datang untuk meneliti sidat di Sulawesi Utara. "Kebetulan lokasinya itu adalah daerah kelahiran saya di Kabupaten Bolaang Mongondow, yakni di muara Sungai Koidar. Saya ditugasi menemani beliau dan timnya," dia mengenang. Berawal dari ditanya-tanyai, Yulia akhirnya ditawari terlibat langsung dalam penelitian jenis ikan yang sering disangka ular atau belut itu. Pucuk di cinta, belakangan Yulia malah bisa mengambil master dan doktor lewat proyek itu. Sejak perkenalannya itu, Yulia rajin mengikuti sidat. Dia menangkap di alam dan mengikuti siklus hidupnya. "Kalau larvanya ada di laut, ya nangkap di laut. Juvenilenya di muara, saya pergi dan nangkap di sana. Yellow eel-nya (sidat muda) ada di sungai, danau, dan rawa, saya pergi ke sana," urainya panjang lebar. Sekali sesar, metode transeknya mampu menjala hingga ribuan ekor. Dari jumlah itu, dia mengoleksi seratusan saja. Sisanya dilepas kembali. Langkah selanjutnya adalah identifikasi dan konfirmasi spesies. Pendekatan penghitungan tulang dengan teknik pewarnaan diperbantukan untuk upaya itu. Lepas dari pengamatan morfologi, Yulia juga melangkah lebih jauh kepada uji genetik lewat pemotongan fragmen-fragmen DNA. Dari situ saja, sebenarnya dia sudah bisa menelusuri perbedaan spesies. Tapi, ternyata, banyak didapatkannya potongan-potongan baru berisi kode yang belum pernah dilaporkan. "Ini berpeluang spesies baru," katanya. Kode-kode itu sebenarnya bisa dipastikannya lewat uji lanjutan, sequencing. Setengah bersedih, Yulia harus menerima kenyataan bahwa uji itu belum bisa dilakukannya karena lebih mahal ketimbang sebatas pemotongan fragmen DNA. Meski begitu, Yulia mengatakan sudah banyak hasil penelitiannya yang bisa disimpulkan tentang sidat Indonesia. Banyak pula publikasi yang sudah dibuat dan dimuat dalam jurnal ilmiah internasional. "Sayang, di Indonesia tidak banyak yang tertarik," katanya. Bukan tanpa alasan Yulia mengeluh. Harga makanan olahannya yang mahal (seporsi kabayaki--makanan olahan dari sidat di Jepanghampir Rp 400 ribu) mendorong terus berlangsungnya eksploitasi besar- besaran sidat di luar perairan tropis. Padahal, katanya lagi, negara sekaliber Jepang belum berhasil mengembangkan teknik pembiakannya. Di laboratorium, larva sidat hanya bertahan tiga hari, lalu mati. "Otomatis stok benih sidat di alam akan terancam, dan mereka mereka mulai mencarinya ke perairan tropis," kata Yulia. Dan kita di sini (tropis) bisa tidak menyadarinya sama sekali. wuragil Sumber : Koran Tempo (13 September 2006)

Pembesaran Sidat AustraliSelama 2000-2001, NIWA membesarkan Sidat Australia yang mendekati ukuran komersial sebagai pilot project. Fokus utama adalah meminimumkan biaya untuk membesarkan sidat dengan menggunakan system kolam yang ada, dan menentukan makanan yang mudah didapat dan tidak mahal. Penelitian memilih

sidat betina dan makanan suplemennya untuk meningkatkan produksi dari tangkapan alam. Hasil dari pembesaran percobaan dalam kolam budidaya dari limbah ternak juga dicoba. Didapatkan sidat betina yang tumbuh lebih besar dari jantan dapat diseleksi. Ukuran sidat minimum untuk pembesaran dan stok alam dalam kondisi jelek tidak mempengaruhi pertumbuhan sidat menjadi besar. Proporsi sidat ini dapat dengan cepat dibesarkan baik itu dalam kolam pembesaran ataupun sidat yang dialiri air limbah dari ternak, pertumbuhan 50 kali lebih cepat dari yang ada di sungai Waikato. Dalam jangka pendek pemberian suplemen level rendah dari stok budidaya, pertumbuhan sidat dapat mencapai 14 kali dari pertumbuhan di sumber air asal dan stok awal. Bahkan budi daya jangka pendek dari sidat dalam kolam budi daya yang berkualitas bagus dengan kerapatan lebih rendah dari kondisi alamiah dan tanpa tambahan pakan ekstra juga dicapai pada kolam dengan air dari limbah ternak (dairy farm) dan dapat mencapai ukuran dan kondisi siap pasar. Pertumbuhan jangka pendek cepat (220g ke 550 g dalam 2 bulan), dan peningkatan kondisi juga dalam kolam yang dialiri limbah peternakan tanpa pakan suplement. pertumbuhan sidat individu berubah ubah baik itu dalam kolam pembesaran atau kolam dengan air limbah, dan akibatnya formulasi pakan yang merangsang pertumbuhan sidat secara cepat akan menjadi faktor krusial untuk sukses usaha pembesaran sidat. Perusahaan komersial dengan sistem filtrasi sirkuler dengan teknologi tinggi, mendapatkan eel dari 300 g tumbuh menjadi 800 gr hanya dalam 50 hari. NIWA telah menyelidiki tipe dari pakan yang memicu pertumbuhan pemberian pakan tingkat tinggi untuk kedua spesies sidat sehingga dapat diadopsi oleh usaha intensif dan ekstensif budidaya sidat. (Sumber NIWA)

Sidat Lau Segara AnakanORANG Jepang menyebut binatang yang menyerupai belut sawah ini unagi. Orang Cina menamainya moa atau linang yai. Warga Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), menyebutnya sidat laut (Anguilla sp) atau lubang kata orang Sunda. Dalam daftar potensi perikanan laut perairan Cilacap, jenis sidat laut masih kalah populer dibanding udang, kakap merah, lobster, belanak atau bawal yang sudah terbukti menghasilkan banyak uang untuk nelayan, KUD Mino Saroyo, maupun Pemerintah Kabupaten Cilacap dan Puskud Mina Baruna Jateng yang menghimpun sebagian retribusi dan uang asuransi dari hasil lelang ikan di tempat pelelangan ikan seluruh Jateng. "Tak banyak, malah tidak ada nelayan yang tertarik membudidayakan sidat laut.

Untuk menjual atau mengonsumsi pun orang belum biasa. Padahal, sidat laut mempunyai potensi yang amat menjanjikan," ujar Kepala Dinas Perikanan Cilacap Ir Gunawan. Hanyalah Eman Sukiman (52) warga Kawunganten yang mencoba berbisnis sidat laut. Tapi laki-laki asal Banjar, Ciamis, itu hanya menampung hasil tangkapan nelayan dan menjualnya ke pengusaha restoran Jepang, Korea, dan para eksportir. "Saya tak bisa langsung menjual kepada mereka, tetapi masih melalui perantara. Ini memang kelemahan orang seperti saya,"ujar Eman di rumahnya. Di belakang rumah tembok sederhana itu, terdapat tiga bak penampungan sidat. Ribuan sidat laut berbagai ukuran berdesak- desakan dalam bak berukuran satu meter kubik yang sudah diisi air. "Asal air diganti pagi sore, sidat tahan hidup selama satu tahun di dalam bak. Makanannya udang, kepiting, daging keong cincang, atau usus ayam dirajang (diiris-iris)," tutur Eman. HARI begitu panas di Kawunganten. Eman sedang menunggu nelayan yang melaut memancing sidat. "Biasanya mereka baru pulang lewat tengah malam. Tapi ada juga yang sore hari," ujarnya. Nelayan yang ditunggu adalah teman bisnis Eman. Ia tengah menangkap sidat laut di perairan Laguna Segara Anakan dan kawasan hutan mangrove. Eman membeli sidat dari nelayan Rp 18.000 per kilogram dan menjualnya dalam keadaan hidup kepada pengusaha restoran Korea, Jepang, Singapura, Cina, dan beberapa Eropa di Jakarta dengan harga Rp 30.000 sampai Rp 35.000 per kilogram, tergantung ukuran. Padahal, sepotong unagi di restoran Jepang yang biasa-biasa saja, harganya Rp 45.000. Setiap minggu ia bisa mengirim satu sampai dua ton sidat hidup ke Jakarta. Eman yang sudah menekuni bisnis sidat laut sejak masih bujangan, sekitar tahun 1968, mengaku tak berminat membudidayakan hasil laut yang harganya menjanjikan itu. "Wah susah mas kalau disuruh membudidayakan. Begini saja sudah repot," ujarnya. Eman-paling tidak saat ini-memang belum merasa perlu membudidayakan sidat laut. Selama Laguna Segara Anakan dan hutan mangrove masih ada, belut laut ini masih melimpah. Apalagi tidak banyak yang berminat terjun ke bisnis sidat. Saat ini merupakan musim sidat laut bermigrasi dari samudra ke perairan Segara Anakan dan kemudian ke muara sungai untuk berkembang biak. Migrasi besarbesaran biasanya berlangsung selama musim hujan Oktober-April. Menangkap sidat laut ternyata cukup unik. Bukan jaring atau pancing alatnya, tetapi dengan cacing yang dironce. Cacing yang sudah dironce melingkar diletakkan di permukaan air yang dekat bibir perahu. Sidat laut berama-ramai berusaha mencaplok roncean cacing tersebut.

Eman yang pernah membantu pengusaha restoran Cina di Jakarta mengatakan, daging sidat laut dipercaya berkhasiat bagi kebugaran, kosmetik, obat darah tinggi, dan juga kencing manis. Orang Sunda menikmatinya dalam bentuk pepes. Tapi di restoran Jepang, Korea, atau Cina, daging sidat laut disajikan dalam bentuk daging asap setelah kepala dan ekornya dibuang. Mungkin karena lemaknya tebal, jika digoreng daging sidat laut sulit mengering. Eman, yang menggantungkan mata pencahariannya pada bisnis sidat laut, tak tahu sampai kapan dapat bertahan menggeluti bisnis ini. "Sekarang Segara Anakan semakin dangkal dan menyempit. Jika aguna berubah jadi daratan, saya tak bisa lagi berbinis sidat L aut,"ujar Eman. (Sumber Kompas)

DKP Techno Aqua ParkKARAWANG (Antara): Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengembangkan "Aqua TechnoPark" atau Taman Budidaya untuk menghadapi kecurigaan oleh negara-negara importir seperti AS dan Uni Eropa (UE) terhadap hasil perikanan Indonesia. Kepala Tambak Pandu Karawang, I Made Suitha di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mengatakan, selama ini AS dan UE sering meluncurkan isu negatif terhadap produk perikanan Indonesia yang diekspor ke Negara tersebut. "Untuk memproteksi isu-isu negatif terhadap kebijakan penerapan teknologi perikanan itu kita mengembangkan aqua techno park ini" katanya usai menyaksikan panen udang di kawasan Tambak Pandu Karawang di Desa Pusaka Jaya, Kecamatan Cilebar. Menurut dia, sejumlah isu negatif yang sering dihembuskan Negara importir terhadap ekspor hasil perikanan Indonesia diantaranya pengrusakan lingkungan dalam pengembangan tambak udang. Oleh karena itu, tambahnya, melalui Taman Budidaya yang terintegrasi dengan Tambak Pandu Karawang tersebut ditampilkan teknologi pemeliharaan udang yang ramah lingkungan dan bisa diserap masyarakat. Selain itu, juga diterapkan konsep "traceability" yang mengacu pada sertifikasi dan standarisasi terhadap produk perikanan hasil budidaya rakyat. "Dengan demikian jangan sampai muncul tuduhan bahwa pemerintah memberikan rekomendasi terhadap pengembangan tambak yang tidak sesuai standar yang dilakukan sebagaian masyarakat," katanya. Made menyatakan, Taman Budidaya yang menyatu dengan Tambak Pandu Karawang tersebut berada pada lahan seluas 338 hektar yang mana 150 ha untuk tambak inti dan 151 ha sebagai tambak plasma. Sedangkan sisanya, tambahnya, dimanfaatkan untuk pengembangan sarana pendukung seperti perkantoran, perumahan maupun fasilitas umum lainnya. Pada kesempatan itu dia mengatakan, di kawasan tersebut saat ini dikembangkan empat jenis tambak udang yakni vaname secara intensif, vaname semi intesif, vaname tradisional plus serta budidaya organik. Selain itu juga dikembangkan beberapa jenis komoditas perikanan lainnya sebagai pendukung seperti ikan nila, ikan sidat, ikan mas dan ikan bandeng pengumpan.

Ikan Sidat Tembus Pasar Asia TimurLaporan Wartawan Kompas Haryo Damardono KARAWANG, KOMPAS- Direktorat Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, untuk pertama kalinya mengekspor 30 ton ikan sidat atau anguilla sp, menuju negara-negara di Asia Timur, yakni Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Ekspor perdana tersebut dilepas dari Tambak Pandu di Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dan Wakil Gubernur Jawa Barat Wagub Jabar Nu'man A.Hakim, Senin (27/8). "Kami membutuhkan waktu dua tahun, untuk menemukan formula tepat bagi pembesaran ikan sidat. Ternyata, ikan ini tumbuh baik pada suhu 29-31 derajat Celsius, dengan tingkat salinitas lima per mil," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya DKP, Made L Nurjana. Made mengatakan karena teknologi pembesaran ikan sidat telah dikuasai, maka secepatnya DKP akan mengembangkan ikan sidat di beberapa daerah. "Telah ada dia kawasan yang dibidik investor Jepang, untuk membudidayakan ikan sidat, yakni di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan Likupang, Sulawesi Selatan," ujar Made. Ditemui di Karawang, Presiden Presiden Asama Industry, Yoshinori Ito, optimistis membudidayakan ikan sidat di Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan Jepang atas ikan sidat sebagai bahan baku makanan seharga per kilogram antara 4.000-6.000 yen, setara Rp 350.000 Rp 450.000. Dalam setahun, Jepang membutuhkan ikan sidat sebanyak 100.000 ton, dengan hanya sekitar 20.000 ton yang diproduksi dari dalam negeri Jepang. "Tiap tahunnya, kami mengimpor 80.000 ton ikan sidat, dengan 60.000 ton diantaranya diimpor dari China," kata Ito. Ito berhadap Indonesia dapat menyubtitusi China sebagai eksportir ikan sidat, karena ikan sidat produksi China seringkali ada bercak-bercak akibat jamur. Padahal, konsumen Jepang menginginkan produk yang sempurna. Di Indonesia, penyebaran ikan sidat banyak terdapat di perairan barat Sumatera, selatan Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, pantai timur Kalimantan, Maluku, dan Papua. Ikan sidat, vertebrata dengan genus Anguilla ini, makan dan tumbuh di perairan tawar, namun untuk memijah atau bertelur, mereka kembali ke laut. Bahkan proses pemijahan berlangsung di laut berkedalaman 400-500 meter.

Penelitian Ikan Calon Spesies Baru SidatJakarta, Kompas - Sedikitnya lima karakter genetik baru ikan sidat ditemukan dalam studi keragaman, distribusi, dan kelimpahan di perairan Indonesia periode 2004-2006. Temuan itu berpeluang menjadi

spesies baru atau variasi intra-spesies. Untuk sementara, temuan itu diberi nama Anguilla sp. Yang sudah bisa dipastikan, tujuh dari 18 jenis sidat di dunia ada di perairan Indonesia. "Dari tujuh jenis itu, ada kemungkinan yang endemik, tetapi masih harus dikaji lagi," kata Hagi Yulia Sugeha, peneliti sidat pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pekan lalu di Jakarta. Ikan sidat tergolong jenis ikan yang kurang populer di Indonesia. Secara fisik, sidat mirip belut. Bedanya, sidat bertubuh seperti pipa. Di dekat kepala ada sejenis telinga, dan ada sirip pada bagian atas tubuhnya. Keunikan lain, sidat dapat menentukan jenis kelamin sesuai kondisi lingkungan. Sebelum berwarna keperakan di saat dewasa, sidat melalui fase transparan (ketika memasuki perairan tawar) dan berubah menjadi kuning. Umumnya, ketika sidat dalam fase kuning itulah banyak terjerat pancing. Sidat sering tertangkap di saluran-saluran air, anak sungai, sungai, dan danau. Siklus hidup sidat berbalik dengan ikan salmon. Sidat dewasa (bisa berusia belasan tahun) memijah di laut berkedalaman 200-1.000 meter, sebelum kemudian bertumbuh dewasa mencari perairan tawar. Adapun salmon memijah di hulu sungai kemudian dewasa di laut. Keduanya akan mati setelah bertelur. "Hasil penelitian menunjukkan, perairan laut Sulawesi menjadi pusat pemijahan sidat tropis," kata peneliti yang pernah menangkap jenis sidat (Anguilla marmorata) sepanjang 1,72 meter seberat 11 kilogram (2002) di Danau Poso. Temuan itu diperkuat dua kali penelitian menggunakan kapal riset Baruna Jaya VII. "Perairan laut di wilayah tengah Indonesia memang melimpah," kata Sam Wouthuyzen, rekan satu tim dengan Yulia. Populasi terancam Menurut Yulia, seiring dengan tingginya permintaan konsumsi sidat di negaranegara maju, seperti Amerika, negara-negara Eropa, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan China, populasi sidat tropis pun terancam. Menyusul penangkapan berlebihan di alam negara nontropis, permintaan impor sidat tropis meningkat. Padahal, hingga saat ini sidat belum dapat dibudidayakan dari telur. Yang terjadi, sidat-sidat anakan ditangkap dari laut atau sungai lalu dibesarkan di kolam budidaya. Sidatsidat itu kemudian diolah di restoran-restoran mewah bertarif mahal. Meskipun mahal, seperti hidangan kabayaki di restoran jepang yang satu porsinya dijual sekitar Rp 400.000, permintaan sidat tidak pernah menurun. "Di Jepang ada hari khusus mengonsumsi sidat," kata Yulia, doktor lulusan Universitas Tokyo. Hingga kini para ahli dan peneliti sidat belum mampu membesarkan sidat dari ukuran larva di laboratorium. Untuk mencegah kepunahan sidat, disepakati agar ada kuota penangkapan dan harus selektif. (GSA)

Sidat PosoPerairan Sulawesi merupakan daerah potensial distribusi sidat tropis, dan di Muara Sungai Poso minimal ditemukan lima spesies ikan sidat, yaitu A. marmorata, A. bicolor pasific, A. celebensis, A. borneensis, dan A. interioris (Sugeha, 2005). Perairan Teluk Tomini, yang berada di muka Muara Poso, berdasarkan tingkat kelimpahan larvanya (Leptocephale), memiliki kelimpahan tertinggi dibanding perairan lainnya (Wouthuyzen, et al., 2003). Tingginya potensi larva sidat

yang bermigrasi ditunjukkan dengan tingkat rekrutmen yang mencapai 260-1069 ekor/lima detik di muara Sungai Poso (Haryuni et al., 2002) Berdasarkan data tersebut estimasi rekruitmen elver yang memasuki Sungai Poso dapat mencapai 187.200 - 769.920 ekor per malam. Perairan Danau dan Sungai Poso telah lama diketahui merupakan daerah penangkapan sidat. Estimasi produksi sidat pada tahun 1970-an minimal mencapai 22 ton per tahun, yang didasarkan pada jumlah alat tangkap terpasang di Sungai Poso yang mencapai 20 - 25 unit dan hasil tangkapan per alat per malam (Sarnita, 1973). Sidat-sidat yang tertangkap adalah sidat yang beruaya ke laut, hal ini karena alat tangkap yang digunakan yaitu berupa perangkap `Waya Masappi" yang diarahkan ke hulu sungai (Sutardjo & Machfudz, 1974). Sedangkan berdasarkan data tahun 1990- 1995, produksi rata-rata sidat di perairan ini, pada puncak musim penangkapan yaitu antara Januari- Juni (musim hujan) berkisar antara 1,75 -9,83 ton/bulan, atau rata-rata 5,50 ton/bulan. Produksi sidat pada tahun 1990 mencapai 41,5 ton sementara pada tahun 1998 sekitar 30,5 ton Produksi sidat saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan, perlu dipikirkan teknologi yang sesuai untuk membesarkan sidat muda (elver) karena potensi rekrut yang besar. Estimasi perhitungan produksi sidat dapat mencapai 1000 ton/tahun bila berhasil dibesarkan sebanyak 20% dari sidat muda yang masuk keperairan Poso, degan rata-rata berat per ekor 3 kg dengan masa pemeliharaan 3tahun. (Lukman dan Triyanto)

Laut Bengkulu Banyak SidatBengkulu, (ANTARA) - Laut Bengkulu, terutama di sekitar kawasan perairan Pulau Enggano, kaya akan ikan sidat (sejenis belut), bahkan menjadi habitat ikan berbadan panjang itu. "Informasi yang saya dapat, nelayan Enggano bisa mendapatkan 6 ton sidat dalam setiap minggu, jika sedang musim," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu, Maman Hermawan di Bengkulu. Selama ini, sidat hasil tangkapan nelayan hanya dioleh menjadi ikan asin dan dijual di sekitar Provinsi Bengkulu. Padahal itu, merupakan salah satu komiditi ekspor nasional dan banyak diminati terutama pasar di Jepang. "Saya sedang menginventarisir berapa banyak sidat hasil tangkapan nelayan, rencananya kita akan mengupayakan agar bisa diekspor terutama ke Jepang," katanya. Menurut dia, sidat merupakan jenis ikan berkualitas ekspor namun tidak terlalu laku dipasarkan di dalam negeri. Selain di perairan Enggano, sidat juga banyak terdapat di perairan pantai Kabupaten Kaur. Ikan itu hanya terdapat di beberapa perairan di Indonesia, dan Bengkulu merupakan salah satunya. Ikan itu, kata dia, sebenarnya merupakan ikan air tawar tapi bertelur di dasar laut yang dalam."Di Bengkulu banyak sungai besar yang bermuara ke laut, sehingga ikan sidat pada saat musim bertelur turun ke laut," katanya. Mengenai bididaya sidat, menurut dia, hingga kini di Indonesia belum ada yang membudidayakan ikan itu. Yang ada hanya pembesaran yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat. "Belum ada budidaya, yang ada hanya pembesaran, yakni mengambil bibit sidat dari laut kemudian dibesarkan di penangkaran," katanya.

Maman juga memprogramkan untuk membangun tempat pembesaran ikan sidat di Bengkulu. Terkait dengan rencanan itu pihaknya telah melakukan studi banding ke Karawang. Sidat di selatan jawa dan selatan sumatra biasanya anguilla bicolor, marmorata umumnya di sulawesi. Sidat biasanya masuk sungai atau teluk yg berbentuk estuaria, masuk sungai banyumas, cimandiri, cilacap dari samudera Indonesia, dan masuk ke danau poso dari samudera Facific.

Toleransi Sidat atas LingkunganPosted Wed, 11/12/2008 - 20:20 Studi tentang toleransi ikan sidat tleh banyak dilakukan dan dapat ditemui dalam beberapa literatur atau jurnal. kami mencoba meringkasnya agar lebih mudah dipahami dan semoga bermanfaat bagi praktisi, peneliti dan mahasiswa yang berkeingginan mengetahui lebih jauh tentang ikan sidat yang potensial untuk di ekspor tetapi masih menjadi misteri. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dapat menyebabkan terjadinya stress pada ikan sidat, baik yang hidup di alam maupun di kolam budidaya. Perubahan lingkungan yang berada diluar batas toleransi ikan sidat dapat menimbulkan terjadinya gangguan pertumbuhan, reproduksi dan bahkan mengakibatkan kematian yang bersifat massal. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh besar terhadap ikan sidat adalah kelarutan gas (oksigen dan karbondioksida), temperatur, salinitas dan parasit. A. Gas-gas terlarut Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya (misal: ikan mas, ikan tawes, ikan nilem). Pada kondisi "apnoea", yaitu keadaan dimana otot-otot pernapasan dan alat pernapasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat ) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekerangan oksigen). Selain itu, sidat juga mampu bernapas melalui kulitnya, meskipun tidak menyumbang oksigen yang tinggi. Sidat berukuran 100g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi (hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100g diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100-300g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Konsentrasi C02 yang tinggi pada air tawar kemungkinan disebabkan oleh aktivitas metabolisme mikroba dan pertukaran gas di permukaan air. Oksigen terlarut (DO) pada malam hari akan menurun secara tajam di perairan

eutrofik. Hal ini disebabkan terhentinya proses fotosintesis oleh fitoplankton atau kematian massal alga pasca terjadinya "blooming". Kombinasi antara temperatur air yang tinggi pada siang hari dengan oksigen terlarut yang rendah di malam hari dapat menyebabkan terjadinya kematian massal ikan sidat. B. Kejenuhan gas Kejenuhan gas yang terlalu tinggi (gas supersaturation) di perairan dapat mengakibatkan terjadinya penyakit gelembung gas (gas bubble disease). Perairan dengan kandungan gas super jenuh menyebabkan cairan dalam tubuh ikan mengalami hal yang sama, sehingga timbul gas (terutama N dan O2) dalam pembuluh darah dan jaringan tubuh dan menyebabkan "emboli". Emboli akan mengganggu transportasi oksigen, ikan akan mengalami hypoxia dan kerusakan jaringan, akibat lebih jauh akan menyebabkan kematian massal. Kondisi gas super jenuh di perairan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: - pemanasan air pada kolam budidaya atau danau - fotosintesis berlebihan - tekanan udara rendah (biasa terjadi jika akan ada badai atau angin putting beliung) - produksi gas O2, N dan metana akibat adanya aktivitas bakteri - pemanasan oleh matahari dalam waktu yang lama dan angin dalam kondisi tenang (misalnya pada - musim kemarau di daerah pengunungan/lembah) C. De-stratifikasi Suhu Stratifikasi suhu biasa terjadi pada perairan eutrofik dimana proses fotosintesis menghasilkan osigen terlarut yang tinggi di zona epilimnion, tetapi menyebabkan kondisi anaerob pada zona hypolimnion. Pada perairan dangkal, stratifikasi suhu terjadi pada siang hari. Pada malam hari akan terjadi de-stratifikasi suhu yang diakibatkan kehilangan panas di permukaan air. Dalam kondisi de-stratifikasi, air pada zona hypolimnion yang miskin O2 akan bercampur dengan air di zona epilimnion yang kaya oksigen. Proses percampuran ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi O2 yang tajam dan dapat menyebabkan kematian massal ikan. D. Temperatur/Suhu Ikan sidat mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu, daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran tubuh ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla australis mampu hidup pada suhu 28C, elver 30,538,1C dan sidat dewasa 39,7C. Ikan sidat tropis (A. bicolor, A. marmorata) kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. australis. Mucus atau lendir yang terdapat pada kulit ikan sidat memiliki zat anti bakteri yang sangat kuat, salah satunya adalah antibacteri kelompok protease seperti cathepsins L dan B. Suhu yang tinggi (30C) dan rendah (10C) dapat meningkatkan sensitifitas ikan sidat terhadap bakteri cathepsin yang ditularkan melalui kulit. Kemampuan bertahan terhadap serangan bakteri dapat ditingkatkan melalui perlakuan suhu (thermal stress).

E. Salinitas (kadar garam dalam air) Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar. Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respon ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang bermetamorfose ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme. F. Ammonia Ammonia merupakan polutan yang masuk ke perairan melalui saluran limbah. Ammonia dalam keadaan tak ter-ionisasi NH3 lebih beracun bagi ikan. Daya toksik akan meningkat sebanding dengan peningkatan pH air. Konsentrasi NH3 pada pH yang sama akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu. Selanjutanya, toksisitas NH3 akan meningkat jika kelarutan oksigen (DO) menurun. A. australis dan A. dieffenbachii mampu bertahan hidup pada perairan dengan kadar ammonia lebih dari 2mb/l. Pakan Sidat Pakan ikan sidat itu yg alami dikasih cacahan keong emas, kalau masih fingerling dikasih cacing sutera. Ada juga yg ngasih indomie (tapi si Ikan dibikin lapar dulu) ada yg kasih makan telor rebus, tapi biasanya yang di makan kuning telornya. Untuk pakan komersial (pasta) bapak bisa kontak bapak Dany Tarigan di flexi 021-70921207.

Berharap Swasta Terpikat SidatMeski menguntungkan, bisnis sidat belum berkembang di tanah air. TPK berupaya menginisiasi pengembangan budidayanya. Suitha susah payah menangkap indukan sidat dalam kotak styrofoam. Berkali-kali tangannya berhasil memegangi tubuh sidat, tapi berkali-kali pula hewan yang berbentuk seperti ular dan berlendir itu berhasil meloloskan diri. Selang beberapa waktu, dia akhirnya berhasil memegang indukan sidat cukup lama. Momen yang hanya sekejap ini pun langsung disambar oleh juru foto dan para wartawan yang siang itu tengah mengunjungi Tambak Pandu Karawang (TPK). Bukan sedang unjuk kebolehan menangkap sidat, tapi lelaki bernama lengkap Made

Suitha ini tengah menunjukkan hasil proyek percontohan budidaya sidat yang dimulai sejak 5 tahun terakhir di TPK yang dipimpinnya. Dalam hal ini, TPK adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang bertugas menginisiasi pengembangan bisnis perikanan budidaya. Sidat hanya satu dari beberapa komoditas unggulan lain yang dikembangkan di TPK. Budidaya Belum Berkembang Untuk pengembangan sidat, Indonesia memang masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lain meski sumber daya perairannya lebih melimpah. Bahkan untuk hasil maksimal, mereka tak segan menggunakan teknologi canggih. Jepang umpamanya. Dengan memanfaatkan teknologi, budidaya sidat di sana bisa mencapai angka produksi 80 ton per hektar. Beberapa negara lain yang menyusul Jepang dalam hal produksi sidat adalah Taiwan dan China. "Padahal, sidat yang dikembangkan besar-besaran di luar negeri, benihnya justru berasal dari Indonesia," ungkap Suitha. Benih tersebut secara sembunyi-sembunyi diselundupkan ke luar negeri dan dikembangkan di sana. Dari sini timbul keprihatinan, mengapa sidat tidak dikembangkan sendiri? Namun untuk mengembangkan sidat bukan hal yang mudah. Pasalnya, teknik budidayanya sampai saat ini belum mapan dan membutuhkan biaya produksi yang tinggi. Sementara untuk pemasarannya di dalam negeri masih terbatas karena masyarakat belum familiar mengonsumsi sidat. Sedangkan untuk permintaan luar negeri justru sulit dipenuhi karena terbatasnya produksi. "Tingkat konsumsi sidat di Indonesia masih rendah karena masyarakat belum terbiasa, padahal nilai gizi ikan ini cukup tinggi," jelas Suitha. Beberapa daerah yang sudah terbiasa mengonsumsi sidat antara lain di Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Bali dan Manado. Menurut Suitha, kendala dalam pengembangan sidat adalah kesediaan pakan alami. Hal inilah yang menyebabkan pengembangan sidat di UPT-UPT lain nyaris tak membuahkan hasil. "Kalau di TPK, sumber makanan alami sidat cukup banyak," kata Suitha berpromosi. Makanannya antara lain ikan, gastropoda (bekicot), insect (serangga), cacing oligochaeta dan crutasea (udang-udangan). Tak cuma itu, suhu di sana juga cocok bagi tumbuh kembang sidat dan survival rate-nya (SR) bisa di atas 90%. Ajak Swasta Kendati demikian, Suitha mengaku pihaknya baru bisa memproduksi 1 ton sidat per hektar. Jenis yang dikembangkan antara lain Anguilla marmorata, A. bicolor dan A. renhardti. Untuk A. bicolor merupakan jenis yang paling banyak dikembangkan di tanah air. Dia menambahkan, pengembangan masih berorientasi pada aspek teknologi. "Kami tidak menguasai peta bisnis sidat. Untuk itulah kami mengajak swasta untuk masuk ke pengembangan bisnis sidat." Hal ini menurut Suitha karena pihak swasta mempunyai insting bisnis yang lebih kuat. "Tugas kami hanya pendampingan dan kami akan berusaha menginisiasinya," ujarnya. Dia menyayangkan, masih sedikitnya pihak swasta yang mau menggeluti bisnis sidat karena terkendala teknologinya."Hanya ada beberapa gelintir pelaku

usaha, itu pun belum serius." Suitha meyakinkan bahwa bisnis sidat sesungguhnya menguntungkan. Sebagai gambaran, untuk jenis A. marmorata yang berukuran konsumsi (15 cm) harganya bisa mencapai Rp 350.000/kg. Pasar utamanya adalah Jepang, Korea. Sedangkan kalau di tingkat lokal, sidat bisa dikonsumsi pada ukuran berapapun. "Di Sulawesi, sidat yang kecil juga dimakan," katanya. Tapi, katanya lagi, kalau untuk ekspor ukuran minimalnya di atas 100 gr atau 4 ekor/kg. (Sumber majalah Trobos)

Waroeng UnagiSenin, 13 April 2009 | 05:56 WIB (Bondan Winarno) Ada satu kesukaan saya yang sangat dibenci istri saya, yaitu belut asap (smoked eels). Makanan ini cukup populer di Negeri Belanda dengan sebutan gerookte paling. Belut yang masih panjang utuh dalam kulitnya dipanggang dengan asap, dan banyak dijual di beberapa tempat tertentu di Negeri Belanda. Bila sedang berkunjung ke negeri itu, saya sering membeli sebungkus dan memakannya sambil mengemudi. Istri saya selalu kesal karena aroma belut panggang yang memenuhi mobil sungguh memuakkan baginya. Padahal, bagi saya, justru aroma itulah yang menambah kenikmatan menyantap belut asap. Dalam keisengan saya, pada suatu ketika di sebuah rumah makan Jepang, saya memesankan unadon atau unagi kabayaki yang disajikan di atas semangkuk nasi. Apa ini? tanyanya. Saya jawab: Ikan. Enak. Coba saja. Dia menyantapnya dan menyukainya. Lama kemudian, setelah saya yakin bahwa dia sungguh-sungguh menyukai unagi kabayaki, saya beritahu dia bahwa ikan itu sesungguhnya adalah belut panggang yang diasap. Tentu saja, sekalipun dia sudah terlanjur sayang dengan unagi, tetap saja saya kena semprot. Yah, itulah paling tidak gunanya suami: untuk diomeli! He he he Saya pahami kejengkelannya, karena secara teknis unagi memang tidak beda dengan gerookte paling yang sangat dibencinya sekalipun belum pernah dicicipinya. Bedanya, unagi kabayaki dipanggang lagi dengan madu atau gula, sehingga rasanya manis, dan aromanya pun tidak setajam gerookte paling. Sungguh, saya tidak membohonginya. Sama dengan bila saya mengatakan kepadanya bahwa burung dara adalah sejenis ayam kecil. Belut memang adalah ikan. Dalam bahasa Inggris, penjelasan teknis untuk belut adalah: elongated fish. Nggak boong, kan? Ada dua jenis belut yang umum dimakan manusia, yaitu belut air tawar dan belut laut. Di Jepang, belut air tawar disebut unagi, sedang belut laut disebut anago. Belut laut berukuran lebih besar, taringnya masuk ke dalam seperti ular, dan sangat berlemak. Di Jepang, biasanya belut laut dimasak dengan cara mengukusnya, agar lemaknya tidak hancur. Dibanding unagi, hidangan anago lebih jarang dijumpai. Belut sangat tinggi protein, vitamin A, kalsium, kolesterol, dan lemak jenuh. Di Jepang, belut adalah masakan kesukaan semua kalangan masyarakat. Umumnya disajikan dalam bentuk donburi, yaitu seiris besar belut panggang di atas nasi.

Sajian donburi dengan unagi di atasnya disebut unadon. Bila porsi unagi-nya lebih banyak, sajiannya disebut unajuu. Harganya sangat mahal, sesuai dengan citarasanya yang memang mak nyuss! Karena itu, bila Anda di Jepang, berhatihatilah ketika memesan. Unajuu tidak sama porsi maupun harganya dengan unadon. Orang Korea juga sangat menyukai belut. Kaum pria Korea sangat percaya bahwa belut adalah makanan yang memberi stamina seksual bagi mereka. Tetapi, justru di negeri ini saya tidak berani menyantap belut. Ini sebetulnya hanya merupakan hambatan psikologis secara teritorial. Soalnya, di pasar-pasar tradisional di Seoul kita selalu melihat banyak penjual belut hidup di dalam ember. Bila ada pembeli, penjual mengambil seekor belut dan menancapkan kepala belut pada paku yang memang sudah disiapkan pada sebuah tiang. Belutnya masih menggeliat ketika penjualnya memakai sebuah catut untuk mengulitinya. Sungguh, pemandangan yang sadis untuk dipertontonkan secara terbuka. Maaf bila penggambaran hal ini secara tulisan pun sudah sangat mengerikan bagi Anda. Orang-orang Tionghoa khususnya di kawasan Shanghai, Kanton, dan Hong Kong juga sangat menyukai belut. Di Indonesia, masakan belut di rumah makan Tionghoa yang populer adalah lindung cah fumak, yaitu belut goreng garing yang ditumis dengan sayur pahit fumak. Favorit saya untuk sajian ini adalah RM Sinar Abadi (dulu Cahaya Abadi) di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Di RM Gunung Mas di Sentul City tidak jauh dari rumah saya juga ada belut goreng bawang putih yang sungguh renyah dan gurih. Hampir semua restoran Jepang di Indonesia menyajikan unagi yang diimpor dari Jepang. Beberapa chef yang saya tanya selalu mengatakan bahwa belut lokal tidak memenuhi syarat untuk diolah menjadi unagi. Tetapi, beberapa tahun yang lalu saya pernah diajari Oom Kwik dari sebuah restoran seafood di Pantai Mutiara untuk memasak unagi dari belut lokal dengan memanggangnya di atas griddle (pemanggang dari besi datar) yang dialasi daun pisang. Hasilnya cukup bagus. Bagi saya, belut lokal punya charm-nya sendiri. Di Yogyakarta, belum lama ini, saya menemukan sebuah warung sederhana, Pak Sabar, yang hidangan utamanya adalah belut. Warungnya memang sangat sederhana. Belut gorengnya tampak besar-besar dan gendut-gendut. Tidak tampak sisa-sisa lebihan minyak yang menempel pada warna coklat garing si kulit belut. Rasa dan teksturnya pun menakjubkan. Mantap! Tetapi, yang lebih dicari orang di warung ini justru sambal belutnya. Dua tahun yang lalu, ketika di Yogyakarta sedang bermunculan cabang-cabang warung SS (Spesial Sambal) di mana-mana, saya terpesona dengan sambal belut SS, yaitu belut kecil-kecil goreng kering yang dilumat dengan cabe keriting, bawang putih, dan minyak jelantah. Top markotop! Di warung Pak Sabar, sambal belutnya tampil beda. Belut berukuran besar goreng, diambil dagingnya saja. Daging belut bertekstur lembut ini kemudian dilumat dengan sambal kencur yang membuat aroma maupun citarasanya sungguh membuat saya termimpi-mimpi dibuatnya. Huaduh, sungguh mak nyuss!! Sisa-sisa bagian tulang/durinya digoreng lagi dengan tepung sampai garing disebut

rempeyek belut. Hwarakadah, rempeyek belut inipun tampil penuh pesona. Yogyakarta memang selalu menampilkan kejutan-kejutan menyenangkan di ranah kulinernya. Di Bandung saya juga baru saja menemukan Waroong Unagi di Dago dengan hidangan dari belut panggang yang mak nyuss! Warungnya cukup memenuhi syarat untuk disebut kafe. Tetapi, karena lokasinya di dekat kampus Stikom dan tempat kos mahasiswa, pemiliknya memilih agar harga maupun penamaannya lebih akrab dengan komunitas di lingkungannya. Salah satu hidangan andalan di warung ini adalah unagi burger. Burger bun (roti) dibuat dari nasi yang dibentuk memiripi roti, dipanggang sebentar di atas griddle hingga sedikit gosong, lalu ditaburi rajangan nori (rumput laut panggang). Di antara dua lapisan roti-nasi itulah disisipkan seiris unagi kabayaki. Hmm, terbayang, kan? Sajian seperti ini sangat mirip dengan yang disajikan Moss Burger sebuah chain restaurant yang populer di Jepang tetapi dengan harga mahasiswa. Patut dicoba! Menurut Seafood Watch, sebuah lembaga yang selalu menerbitkan daftar hasil laut yang terancam kepunahan, menyarankan agar umat dunia sebaiknya mengurangi konsumsi unagi atau belut. Soalnya, ketersediaan belut dunia saat ini mengalami laju penyusutan yang sangat serius. Sekalipun belut sudah dibudidayakan dengan jumlah produksi yang cukup besar, volume konsumsinya pun terus membengkak. Selain itu, belut adalah jenis karnivora yang dalam pembudidayaannya diberi umpan ikan hidup yang lain. Dengan kata lain, budidaya belut bukan jawaban untuk kesinambungan (sustainability) spesies ini. Jadi, selain ajaran agama yang melarang kita semua agar tidak makan berlebihan, sekarang juga ditambah imbauan Go Green agar kita membatasi konsumsi spesies alam yang terancam kepunahan. __________ Merespon pertanyaan pembaca tentang alamat warung unagi dan sambel welut, berikut jawaban dari Bondan Winarno yang dikirim ke redaksi kompas.com: Waroeng Unagi Jl. Terusan Bukit Dago Selatan 4 dekat Kampus Fikom Unpad (maaf, bukan Stikom) 022 82520134 Di Balik Ekspor Sidat Budidaya Sepuluh hari usai peringatan HUT RI ke-62, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi melepas ekspor perdana sidat hasil budidaya ke Taiwan. Benarkah sidat bisa dibudidayakan dan bagaimana pasarnya? Meskipun budidaya sidat di Indonesia relatif belum berkembang, belut berkuping ini cukup berhasil dikembangkan di Tiang Zhen, 100 km dari Guangzhou, China. Pembesaran sidat di wilayah tersebut dikerjakan oleh petani dan hasilnya di ekspor ke Jepang. Teknik perkembangbiakan sidat memang belum diketahui sehingga pasokan benihnya masih mengandalkan tangkapan dari alam. Begitu juga China, para pembudidayanya mengimpor benih sidat jenis Anguilla japonicus dan Anguilla

anguilla dari Kanada dan Eropa. Di Indonesia sumberdaya benih cukup berlimpah. Setidaknya, terdapat empat jenis sidat, yaitu Anguilla bicolor, Anguilla marmorata, Anguilla nebulosa, dan Anguilla celebesensis. Ekspor sidat dari Indonesia sebelumnya berasal dari tangkapan alam, misalnya dari perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi (Jabar) dan Cilacap (Jateng). Menurut J. Soetanto, Corporate Development Manager Aquaculture Division PT Suri Tani Pemuka (STP), konsumen sidat terbesar adalah Jepang, Eropa, dan China. "Pasar Jepang umumnya menghendaki sidat berbentuk fillet yang berasal dari jenis A. bicolor atau A. japonicus ukuran 300-400 gram," ungkapnya. Lain halnya dengan konsumen Eropa, mereka menyukai sidat dalam bentuk asap (smoked) dari spesies A. anguilla atau A. japonicus. Sedangkan konsumen sidat di Asia Timur, yaitu China, Korea, Hongkong, dan Taiwan menghendaki sidat segar ukuran 800-3.000 gram per ekor dari spesies Anguilla reinhardtii yang benihnya banyak terdapat di perairan Australia. Sidat asal Australia inilah yang diresmikan ekspor perdananya oleh Freddy Numberi (29/8) sebanyak 300 kg ke Taiwan dari Tambak Pandu Karawang. Masih menurut Soetanto, "Harga jual belut segar ke China berkisar AUD$10-20 per kg, bergantung size-nya. Makin besar ukuran sidat, makin mahal harganya. Jadi, harganya berjenjang." Di China sidat dikonsumsi sebagai makanan kesehatan sehingga nilainya cukup tinggi dan tergolong hidangan spesial. Dengan populasi penduduk yang besar dan kebiasaan makan sidat warga setempat, wilayah Asia Timur, terutama China, bias dibilang menjadi pasar baru sidat yang potensial selain Jepang dan Eropa. Betina Lebih Besar Untuk mengembangkan sidat, sejak Desember 2006 STP menggandeng Tambak Pandu Karawang dan importir sidat asal Australia. Benih sidat yang belum berpigmen (glass eel) dari perairan Australia dideder selama setahun sampai berukuran 60-150 gram. Anakan sidat tersebut kemudian dikirim dan dibesarkan di Indonesia. Soetanto mengakui bahwa pembesaran sidatnya masih bersifat ujicoba. "Iklim di sini `kan panas sepanjang tahun, harapannya sidat tumbuh lebih cepat," ujarnya. Sebelum dimasukkan dalam bak pemeliharaan, benih sidat yang baru tiba diaklimatisasi selama 12-24 jam. Sidat selanjutnya dimasukkan ke dalam bak beton dan dipelihara selama 7 bulan. Sidat jantan mampu mencapai ukuran 700 gram dalam waktu 7 bulan. Sayangnya, pertumbuhan individu jantan berhenti sampai di situ. Sedangkan sidat betina bisa mencapai bobot 3 kg per ekor dalam waktu 15 bulan. Selama pemeliharaan, sidat diberi pakan pellet pada pagi dan sore hari. Sortasi alias grading merupakan salah satu kunci budidaya sidat karena sifatnya yang kanibal. "Grading sangat bergantung pada umur dan ukuran. Kalau masih kecil ya tidak usah terlalu sering, tapi semakin besar ukuran sidat harus semakin

rutin," ujar Soetanto. Pemilihan lokasi juga menjadi sangat penting lantaran berkaitan dengan standar kualitas air yang diinginkan oleh sidat. Perlu Sosialisasi Menurut Ridwan Affandy, peneliti dan dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, parameter air kunci yang penting dalam budidaya ikan, khususnya sidat adalah suhu, pH, oksigen terlarut, alkalinitas, dan salinitas yang berfungsi untuk memacu metabolisme. "Jika faktor basic-nya sudah terpenuhi, berikutnya baru teknis budidaya, seperti pakan, kepadatan tebar, kedalaman, dan sebagainya," ujar Ridwan. Senada dengan Soetanto, Ridwan juga menyarankan pembudidaya untuk menyortasi sidat yang dipelihara, minimal sebulan sekali. "Dalam satu populasi, pasti ada sidat yang slow, middle, dan fast growth. Harus ada perlakuan khusus bagi sidat yang slow growth," katanya lebih lanjut. Jika yang tumbuh lambat ini diteruskan, akan membuang waktu, tempat, dan biaya. Menanggapi belum populernya sidat di kalangan petani, Ridwan menyarankan agar budidaya sidat disegmentasi seperti halnya ikan mas. Dengan begitu, waktu yang diperlukan tidak terlalu lama dan biaya produksinya pun terjangkau. Untuk menyiasati pasar, ia menegaskan perlunya sosialisasi sidat di kalangan masyarakat seperti pada lele yang awalnya kurang disukai masyarakat Jawa Barat. Kalau kebutuhan sidat masyarakat sudah sebanyak lele, pembudidayanya tentu akan meningkat. "Jika harga sidat di dalam negeri lebih rendah dari harga ekspor, pelaku usaha pasti akan mengarahkan orientasi pasarnya ke luar negeri," tambah Ridwan.

Sebaran Anguilla BicolorAnguilla bicolor adalah spesies ikan sidat yang dominan di pulau jawa. Habitat dari ikan sidat di Indonesia ditemukan di pantai, estuaria, sungai-sungai yang mengarah ke samudera, pematang sawah, dan danau. Distribusi ikan sidat di Indonesia, dilihat dari tempat ditemukannya pada sungaisungai, bahkan pematang sawah, dan danau, yang terhubung dengan Samudera (atau laut dalam), maka sebarannya ada di selatan dan barat pulau Sumatera, selatan pulau Jawa, Bali dan selatan tataran Sunda yang berhadapan dengan Samudera Indonesia. Juga di wilayah pantai timur kalimantan, utara dan timur laut Sulawesi yang berhadapan dengan samudera Fasifik. Di pulau jawa Sidat ditemukan di daerah kabupaten, dan kotamadya: - Pelabuhan Ratu: Cimaja, Citepus, Cihaur. - Serang : Cibanten. - Tasikmalaya : Citanduy, Ciwulan. - Ciamis : Citanduy. - Pagelaran : Cijampang.

- Garut : Cikaengan, Cisanggiri, Cibeluk, Cilaki, Cilaju, Cirancong, Cikandung. - Bandjarnegara : Sungai Serayu dan anak sungainya. - Joyakarta : Kali Progo, Kali Opak dan Oja. - Kaloran : Kali Progo, dan Kali Tinggal. - Pacitan : Kali Grindu dan anak sungainya. Kali Lorok dan Sukoredjo. (disebut LUMBON dan GATENG) - Temanggung : Kali Progo.

Peluang Usaha Budidaya Ikan Sidat Untuk EksporIkan sidat atau unagi banyak dikonsumsi sebagai makanan mewah di Jepang, Hongkong, dan Korea karena kandungan tinggi protein dan omega-3 yang berkhasiat untuk kesehatan tubuh. Namun, benih ikan sidat yang banyak di perairan Indonesia belum banyak dimanfaatkan di negeri sendiri. Di Indonesia, paling sedikit ada enam jenis ikan sidat (Anguilla sp), yaitu Anguilla marmorata, Anguilla celebensis, Anguilla ancentralis, Anguilla borneensis, Anguilla bicolor bicolor, dan Anguilla bicolor pacifica. Melihat peluang pasar yang besar, Syaiful Hanif (32) dan sepuluh rekannya yang tergabung dalam Paguyuban Patra Gesit di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mulai menjajaki usaha budidaya ikan sidat pada akhir tahun 2008. Teknik pembesaran ikan sidat awalnya dipelajari Syaiful di Balai Layanan Umum Pandu Karawang, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Segmentasi ikan sidat bicolor dipilih dengan benih yang didapat dari hasil tangkapan alam. Bermodal sedikit pengalaman, paguyuban yang dipimpin Syaiful itu lantas mengajukan kredit lunak pada Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT Pertamina Tbk Rp 1,2 miliar untuk jangka waktu 3 tahun. Kemudian, dana sebesar itu digunakan untuk membeli lahan seluas 2 hektar di Desa Lamaran Tarum, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu. Selain itu, dana itu untuk membangun 10 petak kolam ikan berukuran masing-masing 20 x 30 meter persegi, pembelian benih ikan sidat, serta persiapan sarana dan prasarana produksi. Di antaranya peralatan diesel mengingat di wilayah itu belum ada jaringan listrik yang memadai. Setelah lahan disiapkan, Syaiful dan rekan-rekannya mencoba mempraktikkan pembesaran ikan sidat bicolor di lahan mereka. Namun, usaha pembesaran ikan sidat bicolor ternyata tidak mudah. Bicolor yang biasa hidup di arus pertemuan air sungai dan air laut sulit beradaptasi di kolam air tawar. Negara tujuan ekspor Ikan sidat adalah jenis karnivora (pemakan ikan) yang memiliki sifat katadromos, yaitu awalnya berkembang biak di laut dan selanjutnya mencari perairan umum (air tawar) untuk membesarkan diri. Sifat itu membuat ikan sidat sulit beradaptasi dan mengubah pola makan di habitat baru kolam air tawar. Tingkat pertumbuhan ikan bicolor juga tidak merata karena ukuran benih yang ditebar tidak seragam. Usaha mereka pun berada di ambang kehancuran.

Namun, Syaiful tidak menyerah. Ia lantas menekuni riset pembesaran ikan sidat selama hampir setahun. Proses aklimatisasi diterapkan berupa penyesuaian lingkungan, temperatur, serta sortir benih ikan sebelum disimpan di kolam. Dengan perlakuan khusus, ikan sidat bicolor yang biasanya makan ikan lain itu berubah kebiasaan menjadi rakus makan pelet. Berpijak dari hasil riset tersebut, Syaiful dan temantemannya melanjutkan usaha. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung beralih dengan membidik segmentasi ikan sidat marmorata yang permintaan dan harganya di pasar internasional jauh lebih tinggi. Ikan sidat marmorata terbukti tumbuh subur dengan tingkat hidup (SR) 80 persen. Jika dalam kurun 6 bulan pertumbuhan benih sidat hanya dari ukuran 0,2 gram menjadi 40 gram per ekor, dalam bulan ke-7 sampai ke-10 benih tumbuh pesat dari ukuran 40 gram ke 1 kilogram (kg) per ekor. Pada panen perdana bulan Januari 2010, paguyuban itu menghasilkan panen sidat sebanyak 500 kg dan seluruhnya diekspor. Ekspor ikan hidup dengan bobot lebih dari 500 gram per ekor, harga jualnya berkisar Rp 120.000-Rp 160.000 per kg. Harganya akan semakin mahal jika bobot ikan lebih dari 1 kg per ekor, yakni Rp 120.000-Rp 180.000 per kg. Pasar utama ekspor ikan sidat adalah Hongkong, China, dan Taiwan. Minat pasar ekspor yang tinggi terhadap ikan sidat membuat hasil produksi selalu terserap pasar, berapa pun jumlahnya, ungkap Syaiful. Ia mengakui tidak sulit mencari benih ikan. Beberapa kawasan perairan yang banyak terdapat benih ikan sidat di antaranya di pesisir Sumatera bagian barat, Sulawesi, dan pantai selatan Jawa yang berbatasan dengan laut dalam. Harga benih sidat marmorata Rp 120.000 per kg dengan ukuran benih 25 gram per ekor. Sayangnya, seiring maraknya permintaan di pasar internasional, penyelundupan benih ikan sidat ke negara lain terus terjadi, di antaranya ke Jepang. Penyelundupan di beberapa tempat itu mendongkrak harga benih marmorata hingga mencapai Rp 2,5 juta per kg. Syaiful mengaku khawatir, dengan teknologi budidaya sidat di Tanah Air yang belum berkembang luas, bukan tidak mungkin masyarakat Jepang kelak akan mencuri start dalam pembudidayaan ikan sidat secara luas. Indonesia adalah negeri produsen benih ikan yang besar dan kaya. Tetapi, jika potensi itu tidak dimanfaatkan optimal, bisa dipastikan rakyat Indonesia sulit memperoleh nilai tambah dari perikanan, ujar pria yang sebelumnya menekuni bisnis penjualan pulsa itu. Salah satu ambisinya dalam waktu dekat adalah memperluas pemasaran ikan sidat ke pasar-pasar dalam negeri. Kalau pasar ekspor dengan mudah bisa ditembus, kenapa pasar dalam negeri justru tidak melihat potensi ini, papar Syaiful. Ia menargetkan produksi ikan sidat pada panen kedua bulan Juli 2010 bisa mencapai 1 ton. Ia pun berencana memberdayakan masyarakat sekitar dengan menularkan teknik pembesaran ikan sidat ke warga Indramayu. Caranya, melepas benih ikan sidat berukuran 100 gram kepada warga untuk dibesarkan sampai ukuran 500 gram, kemudian ditampung kembali untuk dipasarkan. Pria lulusan politeknik Jurusan Mesin ITB angkatan 1996 ini berharap pemerintah memiliki regulasi yang tegas untuk mengembangkan benih ikan sidat, memperluas teknologi budidaya

lewat pemberdayaan masyarakat, serta menekan penyelundupan benih yang merugikan perikanan budidaya. DELAPANBELAS. ITULAH JUMLAH SPESIES SIDAT AIR TAWAR YANG SUDAH TERIDENTIFIKASI DI DUNIA. DARI JUMLAH ITU, 7 JENIS DI ANTARANYA HIDUP DI PERAIRAN DI INDONESIA DAN POTENSIAL DIBUDIDAYAKAN. Meski memiliki hampir separuh jenis sidat dunia, tetapi yang paling banyak diekspor dari Indonesia adalah Anguilla bicolor bicolor. Maklum, penangkapan- penangkapan sidat untuk tujuan ekspor masih terkonsentrasi di Pulau Jawa yang notabene habitat bicolor. Sejauh ini, sumber utama glass eel-fase awal sidat-bicolor yang biasa ditangkap ada di Pelabuhanratu, Jawa Barat, dan perairan di Cilacap, Jawa Tengah, untuk fingerling-bibit sidat seukuran jari. Sejatinya di luar Pulau Jawa terdapat jenis-jenis yang potensial dikembangkan. Pulau Sulawesi, misalnya, memiliki jenis A. celebesensis, A. bicolor pacifica, A. ancentralis, dan A. marmorata. Pantai barat Sumatera memiliki A. bicolor bicolor dan A. mauritinia, sedangkan di pantai timur Kalimantan ditemukan A. borneoensis. Sayang, minimnya penelitian tentang pemanfaatan sidat di daerah-daerah itu membuat kemajuan budidaya sidat terhambat.

Incar IndonesiaKondisi itu berbanding terbalik dengan di negara-negara lain yang justru minim sumberdaya. Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia sudah mapan dengan produksi sidat eropa A. anguilla. Negara-negara Asia seperti Jepang, China, Taiwan, Korea, dan Malaysia berhasil membudidayakan intensif sidat jepang A. japonica. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), pada 2005 diproduksi sekitar 8.000 ton sidat eropa dan 230.000 ton sidat jepang hasil budidaya. Budidaya sidat australia A. australis dan A. reinhardtii pun berkembang pesat di Victoria, Tasmania, New South Wales, dan Queensland-seluruhn ya negara bagian di Australia. Tingginya angka produksi sidat mencerminkan tangkapan glass eel berlebihan sehingga mengancam populasi sidat di alam. Akibatnya diberlakukan pembatasan pasokan bibit sidat. Data peneliti asal Belanda, Van Ginneken dan Maes, menunjukkan populasi sidat eropa dan sidat jepang di alam anjlok hingga 99% sejak 1980-an. Hal serupa terjadi pada sidat amerika. Sebab itu sidat eropa kini masuk dalam daftar CITES Appendix II, sehingga perdagangannya harus melalui sertifikasi dan perizinan ketat. Di sisi lain konsumsi sidat dunia cukup tinggi. Masyarakat Jepang, misalnya mengkonsumsi sekitar 100.000 ton sidat per tahun. Dari volume itu hanya 20% yang diproduksi sendiri. Sisanya? Mereka berebut bersama importir dari Eropa dan China mencari sumber sidat lain. Indonesia yang kaya jenis sidat menjadi lokasi favorit 'perburuan' mereka. Indonesia sebetulnya melarang ekspor glass eel atau elver. Meski demikian iming-iming harga tinggi dapat merangsang para pengusaha oportunis alias dadakan untuk melakukan ekspor secara tidak wajar. Bila kondisi ini dibiarkan terjadi, populasi sidat Indonesia akan turun tanpa nilai tambah yang bisa diraih. Lain halnya jika yang diekspor dalam bentuk dewasa yaitu sidat hasil budidaya.

Teknologi lokal

Agar dapat memberi manfaat bagi masyarakat, pengembangan budidaya sidat lokal perlu didorong. Dari segi teknologi, penerapan hasil penelitian dalam negeri yang menggunakan sidat lokal lebih realistis dibanding mengadopsi teknologi budidaya dari luar negeri yang belum tentu cocok dengan sifat sidat lokal. Untuk membudidayakan sidat, peternak harus selektif memilih jenis. Di Jawa dan Sumatera jenis sidat yang didapat 90-95% A. bicolor bicolor. Sementara di daerah Samudera Pasifik, misalnya Sulawesi, ditemukan setidaknya 3 jenis sidat sehingga perlu dipilih salah satu jenis yang layak dibudidayakan. Sebab bila sidat yang dibudidayakan beragam jenis, pertumbuhannya pun beragam. Skala budidaya bisa besar atau kecil tergantung ketersediaan lahan. Di lahan luas, sidat dapat dibudidayakan dengan memanfaatkan bekas tambak udang atau di karamba jaring apung (KJA). Pada skala lebih kecil, sidat dapat dipelihara di bak tembok atau hapa di kolam. Meski jumlah yang dihasilkan terbatas, pemeliharaan di bak tembok lebih terkontrol karena dipelihara dengan sistem air bersih. Untuk budidaya di KJA, sidat dapat dipelihara dengan kepadatan 3 kg/m3 dengan pemberian pakan apung komersial mengandung 47% protein. Rasio konversi pakan (FCR) sidat di KJA 2-3 dengan laju pertumbuhan harian sekitar 1 - 1,1%. Dari ukuran fingerling (30 g/ekor), sidat mencapai ukuran 3-5 ekor/kg setelah 5-6 bulan. Dibandingkan di kolam tanah, pemeliharaan di hapa memberi keuntungan karena kemungkinan lolosnya sidat dari wadah pemeliharaan dapat dicegah. Dengan berbagai potensi yang ada, sudah saatnya usaha budidaya sidat dikembangkan lebih serius. Pada tahap awal, perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut mengenai jenis dan ketersediaan glass eel di berbagai pantai Indonesia. Tujuannya untuk menentukan tingkat eksploitasi sehingga sumberdaya di alam tetap lestari. Selanjutnya, dikembangkan segmentasi budidaya yang terintegrasi di lokasi yang sesuai. Pemetaan kapasitas produksi juga diperlukan karena pasar ekspor biasanya butuh dalam jumlah besar. Untuk meningkatkan nilai tambah, dapat dikembangkan teknologi pengolahan produk sidat sehingga suatu saat ekspor bukan lagi berupa produk segar tetapi olahannya. (Ade Sunarma MSi, Perekayasa di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi)

Gertak? Penuhi Permintaan SidatPasar dunia mulai kewalahan memenuhi permintaan sidat. Peluang budidaya dan ekspor Indonesia kian menganga. Hasil riset membuktikan, dari 18 jenis yang teridentifikasi, 6 diantaranya ada di Indonesia

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Made L Nurdjana menyatakan tekadnya untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen dan pengengkspor sidat terbesar. Demi mempercepat realisasinya, dia pun menginstruksikan kepada UPT (Unit Pelaksana Teknis) air tawar (BBPBAT Sukabumi, BBAT Jambi, BBAT Mandiangin dan BBAT Tatelu) untuk mengembangkan budidaya sidat. ?Dengan ?gertak? atau gerakan serentak ini, diharapkan hasil teknologi yang diperoleh lebih signifikan dan cepat,? ujarnya mantap. Selain itu, juga akan dibentuk Satgas Sidat dengan melibatkan para ahli di luar DKP, seperti Perguruan Tinggi dan LIPI.

Negeri Tirai Bambu, China, setiap tahunnya membutuhkan pasokan ikan sidat tak kurang dari 70.000 ton. Padahal, saat ini mereka baru bisa memenuhi sekitar 20.000 ton saja. Sementara kebutuhan konsumen Jepang akan sidat mencapai 300.000 ton/tahun, Korea 15.000 ton/tahun dan Taiwan 5000 ton/tahun. Tak ayal, pengembangan budidaya ikan sidat mutlak diperlukan. Sebab, selama ini pasokan sidat hanya mengandalkan hasil tangkapan dari laut. Selain itu, baru beberapa negara saja yang telah berhasil membudidayakannya. Peluang ekspor pun masih terbuka lebar. Bagaimana tidak, di negara-negara penikmat ikan seperti Jepang, Taiwan dan China, harga sidat segar bisa mencapai Rp 60.000,-/Kg. Sementara yang bentuk olahan harganya lebih melambung lagi yaitu Rp 100.000,-/Kg hingga Rp 125.000,-/Kg. Untuk jenis Anguila marmorata, harga jualnya di Taiwan dan China bahkan bisa mengalahkan harga primadona ekspor Indonesia, udang yaitu US$ 20/kg. Untuk elver (Gloss eel), di China harganya mencapai US$ 7US$ 8/Kg. Sedangkan harga panen ukuran 5 Kg/ekor setelah 7 bulan pemeliharaan sekitar US$ 9- US$ 11/Kg. Selain itu, pasar Hongkong dan Singapura juga mencari pemasok sidat untuk kebutuhan mereka. Tak hanya merajai pasar Asia, ikan yang bentuknya menyerupai ular ini ternyata juga digandrungi pasar UE dan AS. China bahkan sangat menantikan pasokan sid