pertumbuhan ikan sidat (anguilla bicolor) pada fase …repository.ub.ac.id/4448/1/rahardjo,...
TRANSCRIPT
i
PERTUMBUHAN IKAN SIDAT (Anguilla bicolor) PADA FASE ELVER DENGAN PERENDAMAN LARUTAN TRIIODOTIRONIN PADA DOSIS YANG
BERBEDA
SKRIPSI
Oleh :
NURSYAHFIRA PUTRI RAHARDJO NIM. 135080500111048
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
ii
PERTUMBUHAN IKAN SIDAT (Anguilla bicolor) PADA FASE ELVER DENGAN PERENDAMAN LARUTAN TRIIODOTIRONIN PADA DOSIS YANG
BERBEDA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh :
NURSYAHFIRA PUTRI RAHARDJO NIM. 135080500111048
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG September, 2017
iii
iv
Judul : PERTUMBUHAN IKAN SIDAT (Anguilla bicolor) PADA FASE
ELVER DENGAN PERENDAMAN LARUTAN TRIIODOTIRONIN
PADA DOSIS YANG BERBEDA
Nama Mahasiswa : NURSYAHFIRA PUTRI RAHARDJO
NIM : 135080500111048
Program Studi : Budidaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING
Pembimbing I : Dr. Ir. Mohamad Fadjar, M.Sc
Pembimbing II : Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
Dosen Penguji I : Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS
Dosen Penguji II : Fani Fariedah, S.Pi, MP
Tanggal Ujian : 19 September 2017
v
PERNYATAAN ORISINILITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini adalah
hasil penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukuman yang berlaku di Indonesia.
Malang, September 2017
Mahasiswa,
Nursyahfira Putri
NIM. 135080500111048
vi
RIWAYAT HIDUP
Nursyahfira Putri Rahardjo. Penulis lahir di Kota
Depok, Jawa Barat pada tanggal, 03 September 1995.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara,
yang lahir dari pasangan Iman Rahardjo dan Nurzurni
Mukti. Penulis menempuh pendidikan pertama pada
tahun 2001 di SD Negeri Mekarjaya 29 (lulus tahun
2007), kemudian pada tahun 2007 melanjutkan di SMP
Negeri 3 Depok (lulus tahun 2010), lalu meneruskan pada tahun 2010 di SMA
Negeri 2 Depok (lulus tahun 2013), dan pada tahun 2013 berhasil meneruskan
pendidikan di Universitas Brawijaya, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Program Studi Budidaya Perairan untuk Strata Satu.
Dengan segenap kerja keras, ketekunan, doa dan motivasi untuk terus maju,
penulis telah berhasil meyelesaikan pengerjaan skripsi ini. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan yang
bermanfaat dan memberikan kontribusi positif pada dunia pendidikan.
Akhir kata penulis mengucapkan rasa syukur dan terimakasih sebesar-besarnya
kepada Allah SWT dan semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya
skripsi ini yang berjudul “Pertumbuhan Ikan Sidat (Anguilla bicolor) pada
Fase Elver dengan Perendaman Larutan Triiodotironin pada Dosis yang
Berbeda’’.
vii
UCAPAN TERIMAKASIH
Skripsi yang telah disusun oleh penulis, terselesaikan dengan bantuan
dari beberapa pihak. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
Allah SWT yang memberikan segala kelancaran, kemudahan, perlindungan
dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
Bunda (Nurzurni Mukti), Ayah (Iman Rahardjo), Adik (Virliza Imaniar) serta
keluarga besar yang tak terhingga memberikan dukungan baik moril maupun
materil. Memberikan segala semangat terbesar, doa, motivasi, nasehat.
Ibu Dr. Ir. Arning Wilujeng Ekawati, MS selaku ketua jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan yang telah banyak membimbing saya, memberikan ilmu
dan pengarahan yang baik saat kelas Metodologi Ilmiah.
Bapak Dr. Ir. Mohammad Fadjar, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan
Bapak Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS selaku dosen pembimbing II serta Bapak
Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS selaku dosen penguji I dan Ibu Fani Fariedah, S.Pi,
MP selaku dosen penguji II yang telah banyak memberikan saran, bimbingan,
arahan dan nasehat bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan baik.
Bapak Udin yang telah banyak membantu mekanisme pelaksaan dan
memberi saran selama jalannya penelitian pada Laboratorium Reproduksi.
Bapak Krisna dari PT. Banyu Laju Semesta sebagai supplier elver yang
sudah banyak membantu. Bapak Brian sebagai supplier Hormon Triiodotironin
yang sudah banyak membantu.
Tim penelitian sidat, Stefanie Maria Ayu dan Afrizal Fikri yang telah banyak
membantu, bekerjasama, dan memotivasi dari awal sampai akhir perjalanan
skripsi.
viii
Mohammed Imhed Abolgasm Alhiani yang selalu mendukung, mendoakan,
dan mensupport saya dari awal penelitian. Sahabat tercinta, Sera, Nogie, Faizal,
Puput, Hanifah, Bimo, Yuni, Etsa, Nevy, Erwin dan Teman-teman penelitian
Laboratorium Reproduksi yang telah banyak membantu selama penelitian.
Teman-teman Budidaya Perairan 2013 “AquaGT” yang telah memberikan
semangat, motivasi dan do`a selama ini.
Pihak-pihak lainnya yang telah berrkontribusi membantu penelitian.
Semoga bantuan dan kebaikan yang diberikan kepada penulis dibalas
oleh Allah SWT. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Malang, September 2017
ix
RINGKASAN
NURSYAHFIRA PUTRI. Pertumbuhan Ikan Sidat (Anguilla bicolor) pada Fase Elver dengan Perendaman Larutan Triiodotironin pada Dosis yang Berbeda (Di bawah bimbingan Dr. Ir. Mohammad Fadjar, M.Sc dan Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS).
Ikan Sidat (Anguilla bicolor) merupakan salah satu famili anguilidae. Bentuk tubuhnya silindris memanjang dengan dilapisi oleh lendir yang membantu pergerakannya. Biasanya ditemukan pada muara sungai yang menghadap ke lautan atau samudera. Pada perairan Indonesia sidat tersebar disepanjang pantai barat Pulau Sumatera, pantai selatan timur Pulau Jawa, pantai timur Pulau Kalimantan, disekeliling pantai Pulau Sulawesi, dan Pantai utara Papua. Daging sidat enak dan gurih karena 25% bobot tubuhnya adalah lemak. Untuk 100 gram daging sidat mengandung 5.000 IU vitamin E. Sidat memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditi unggulan ekspor yang bernilai ekonomis dan mampu bersaing dengan komoditi lain di pasar internasional. Harga jual sidat ukuran konsumsi mencapai Rp. 50.000—80.000/kg, bahkan untuk ukuran Glass eel mencapai harga Rp. 400.000—500.000/kg. Permintaan berbagai Negara terhadap sidat segar dan olahannya mencapai 300.000 ton per tahun. Sebagian besar kuota impor dikirim untuk memenuhi permintaan dari Jepang dan sisanya seperti Negara Cina, Korea, Taiwan, Hongkong, Amerika dan beberapa Negara di Eropa. Indonesia mengambil peranan 7% nilai ekspor sidat, Namun nilai ini mengalami penurunan karna pengiriman sidat dibatasi hanya diatas ukuran 150 gram, sedangkan untuk benih sidat dilarang. Pemanfaantan sumberdaya sidat dalam usaha penangkapan sidat dewasa maupun elver dan untuk usaha budidaya masih terbilang kecil. Pada kegiatan budidaya sidat, benih yang digunakan masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Kendala utama dalam budidaya sidat adalah tingginya tingkat mortalitas pada saat glass eel sampai elver yang mencapai 70—80%. Pemeliharaan benih sidat pada tahap awal merupakan masa paling sulit dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 30—50%. Selain masalah mortalitas yang tinggi, masalah lain dalam budidaya sidat adalah laju pertumbuhannya yang lambat yaitu kurang dari 3,1%.
Salah satu kendala dalam proses pembesaran sidat adalah laju pertumbuhan sidat yang lambat. Untuk mencapai ukuran konsumsi biasanya dibutuhkan waktu hingga 2 tahun. Selama ini penyebab rendahnya laju pertumbuhan disebabkan karena nafsu makan benih yang kurang, padat penebaran terlalu tinggi, kualitas pakan tambahan rendah dan jumlah pakan kurang. Namun hal lain yang dapat kita kaji adalah bagaimana meningkatkan laju pertumbuhan ikan sidat dari fase benih (elver) dengan cara meningkatkan laju metabolisme nya. Laju metabolisme yang baik akan berdampak pada penambahan bobot tubuh yang sesuai. Salah satu metode yang akan diteliti adalah mempercepat pertumbuhan elver sidat dengan cara direndam di dalam larutan hormon triiodotironin (T3). Hormon triiodotironin mengandung tiga atom yodium. Hormon ini berperan dalam pertumbuhan, perkembangan dan laju metabolisme.Perendaman dalam hormon ini belum diketahui dosis optimal yang dapat berpengaruh dan meningkatkan laju pertumbuhan elver sidat.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret – Juni 2017 di Ruang Laboratorium Budidaya Ikan (Divisi Reproduksi Ikan) Gedung D lantai 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang. Tujuan penelitian
x
ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) yang berbeda terhadap pertumbuhan elver ikan sidat (Anguilla bicolor), sehingga nantinya dapat mempercepat laju pertumbuhan elver sidat dan meningkatkan produksi pada kegiatan pembesarannya.
Metode yang dilakukan adalah dengan mempersiapkan elver sidat sebanyak 180 ekor ukuran 5—6 gram yang diaklimatisasi terlebih dahulu pada akuarium penampungan untuk menyesuaikan suhu dan salintas air pada Laboratorium reproduksi. Kemudian dilakukan sampling pada sidat yang sehat dan memenuhi kriteria. Setelah itu dilakukan perendaman elver sidat pada kantung plastik dengan dosis hormon triiodotironin (T3) yang telah ditentukan (0,5; 1; dan 1,5) ppm dalam 1 liter air selama 8 jam. Setelah proses perendaman hormon triiodotironin (T3) selesai, maka sidat akan dipelihara selama 42 hari dalam akuarium pemeliharaan dengan pemberian pakan 2 kali sehari dengan FR 3,5% pada pukul 08.00 dan 16.00, pengecekan kualitas air meliputi suhu, DO, dan pH yang dilakukan dua kali sehari pada pukul 04.00 dan 14.00, pengecekan kualitas air mingguan berupa nitrit dan amonia yang diukur setiap sepuluh hari sekali dengan menggunakan teskit, sampling yang dilakukan dua minggu sekali meliputi bobot harian, bobot mingguan, bobot mutlak, pajang harian, panjang mingguan, panjang mutlak dan laju pertumbuhannya, serta uji ELISA yang dilakukan 4 hari setelah perendaman dengan tahapan isolasi protein dan pengujian konsentrasi hormon T3 untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi hormon T3 berpengaruh terhadap pertumbuhan dan waktu urai hormon di dalam tubuh yang berkaitan dengan food safety.
Hasil dari penelitian ini memberikan pertumbuhan bobot rata-rata harian tertinggi sebesar 0,22 gram/hari, panjang rata-rata harian tertinggi 0,09 cm/hari, laju pertumbuhan bobot spesifik 0,02 %/hari, laju pertumbuhan panjang spesifik 0,005 %/hari, bobot mutlak 9,5 gram, panjang mutlak 3,8 cm, bobot mingguan 1,18 gram/minggu, dan panjang mingguan 0,47 cm/minggu. Pertumbuhan yang lebih tinggi ditemukan pada dosis yang lebih rendah hal ini diakibatkan semakin tinggi dosis yang diberikan akan menyebabkan tubuh kurus dan memberikan feedback negatif terhadap proses metabolisme yang berlangsung. Memberikan rata-rata kelangsungan hidup sebesar 86,67%. Dari hasil pengujian ELISA didapatkan hasil konsentrasi pada dosis 0,5 ppm sebesar 3,19 ng/ml, dosis 1 ppm sebesar 3,41 ng/ml dan dosis 1,5 ppm sebesar 4,53 ng/ml. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan yang terjadi adalah korelasi dari pemberian perendaman hormon Triiodotironin (T3). Rata-rata kualitas air selama peneliatian berlangsung adalah suhu berkisar 24—27°C, oksigen terlarut 4—7 ppm, derajat keasaman 6—7,5, nitrit nitrit berkisar antara 0,5—1 mg/l, amonium berkisar antara 0,5—2 mg/l.
xi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
anugerah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Skripsi dengan
judul “Pertumbuhan Ikan Sidat (Anguilla bicolor) pada Fase Elver dengan
Perendaman Laruton Hormon Triiodotironin pada Dosis yang Berbeda”. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Mohammad Fadjar, M.Sc selaku
dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS selaku dosen
pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan ilmu-ilmu yang sangat
bermanfaat serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan
dalam penyusunan laporan ini serta mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Malang, September 2017
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
IDENTITAS TIM PENGUJI ........................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................... ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ iv
RINGKASAN ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 3 1.3 Tujuan penelitian ............................................................................... 4 1.4 Hipotesis ........................................................................................... 5 1.5 Kegunaan .......................................................................................... 5 1.6 Tempat dan Waktu ............................................................................ 5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Sidat (Anguilla bicolor) ............................................................... 6 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Sidat ...................................... 6 2.1.2 Jenis dan Peyebaran ............................................................. 7 2.1.3 Habitat dan Siklus Hidup ....................................................... 10 2.1.4 Kandungan Gizi ..................................................................... 11 2.1.5 Pakan dan kebiasaan Makan ................................................. 12
2.2 Pertumbuhan .................................................................................... 13 2.3 Padat Penebaran .............................................................................. 14 2.4 Kualitas Air Pemeliharaan ................................................................. 15 2.5 Hormon Triiodotironin (T3) ................................................................ 16 2.6 Pengaruh Hormon Triiodotironin terhadap Pertumbuhan .................. 21
3. METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian ................................................................................ 22 3.1.1 Alat Penelitian........................................................................ 22 3.1.2 Bahan Penelitian ................................................................... 23
3.2 Metode Penelitian .............................................................................. 24 3.3 Rancangan penelitian ........................................................................ 25
xiii
3.4 Prosedur Penelitian ........................................................................... 26 3.4.1 Persiapan Wadah dan Peralatan ........................................... 26 3.4.2 Pemeliharaan Awal Elver Sidat .............................................. 27 3.4.3 Perendaman Elver dalam Larutan Hormon Triiodotironin ...... 28
3.5 Pelaksaan Penelitian ......................................................................... 30 3.6 Parameter Uji .................................................................................... 30
3.6.1 Parameter Utama .................................................................. 30 A. Bobot Tubuh ................................................................... 30 B. Panjang Tubuh ............................................................... 33 C. Kelangsungan Hidup ...................................................... 35 D. ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay) ............ 35 3.6.2 Parameter Penunjang ............................................................ 38 A. Suhu ............................................................................... 39 B. Oksigen Terlarut (DO) .................................................... 39 C. Derajat Keasaman (pH) .................................................. 40 D. Nitrit ............................................................................... 40 E. Amonium ........................................................................ 41
3.7 Analisa Data ...................................................................................... 41 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pertumbuhan Rata-rata Harian .......................................................... 43 4.2 Laju Pertumbuhan Spesifik ............................................................... 50 4.3 Pertumbuhan Mutlak ......................................................................... 57 4.4 Pertumbuhan Mingguan .................................................................... 64 4.5 Kelangsungan Hidup ......................................................................... 71 4.6 Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay) .......................... 74 4.7 Kualitas Air ........................................................................................ 77
4.7.1 Suhu ...................................................................................... 77 4.7.2 Oksigen Terlarut (DO) ........................................................... 78 4.7.3 Derajat Keasaman (pH) ......................................................... 79 4.7.4 Nitrit ....................................................................................... 80 4.7.5 Amonium ............................................................................... 81
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 82 5.2 Saran ............................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 83
LAMPIRAN ................................................................................................... 88
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Ikan Sidat (Anguilla bicolor) .................................................................... 6
2. Elver Sidat dengan Panjang 12 cm .......................................................... 10
3. Perubahan Bentuk Larva Sidat Menjadi Elver .......................................... 11
4. Rumus Bangun Hormon Triiodotironin ..................................................... 17
5. Down-regulation Reseptor Permukaan Sel ............................................... 18
6. Alur Hormonal Sederhana ........................................................................ 18
7. Alur T3 dalam Sel ..................................................................................... 19
8. Reseptor Nuclear Hormon Tiroid .............................................................. 20
9. Denah Penelitian ...................................................................................... 26
10. Susunan akuarium sesuai denah penelitian ............................................ 26
11. Skema Perendaman Elver selama 8 Jam ............................................... 29
12. Proses Perendaman Elver pada Larutan Hormon T3 .............................. 29
13. Proses Pengukuran Bobot Tubuh ........................................................... 32
14. Proses Pengukuran Panjang Tunuh dan Girth ........................................ 34
15. Proses Isolasi Protein untuk Uji ELISA .................................................... 36
16. Proses Pengukuran Suhu ....................................................................... 39
17. Proses Pengukuran DO .......................................................................... 39
18. Proses Pengukuran pH ........................................................................... 40
19. Proses Pengukuran Nitrit ........................................................................ 40
20. Proses Pengukuran Amonium ................................................................ 41
21. Grafik Pertumbuhan Rata-rata Bobot Harian .......................................... 44
22. Grafik Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian ....................................... 48
23. Grafik Laju Pertumbuhan Rata-rata Bobot Harian ................................... 52
xv
24. Grafik Laju Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian ............................... 55
25. Grafik Pertumbuhan Bobot Mutlak .......................................................... 59
26. Grafik Pertumbuhan Panjang Mutlak ...................................................... 62
27. Panjang Tubuh Sidat Perlakuan A, B dan C ........................................... 63
28. Grafik Pertumbuhan Bobot Mingguan ..................................................... 66
29. Grafik Pertumbuhan Panjang Mingguan ................................................. 69
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jenis Sidat yang Hidup di Indonesia dan Ciri Fisiknya ............................ 8
2. Jenis Sidat dan Daerah Penyebarannya ................................................. 9
3. Kandungan Gizi Sidat ............................................................................. 12
4. Komposisi Daging Sidat .......................................................................... 12
5. Tabel Rancangan Penelitian ................................................................... 26
6. Pertumbuhan Bobot Rata-Rata Harian .................................................... 43
7. Analisa Keragaman Pertumbuhan Bobot Rata-rata Harian ..................... 43
8. Uji BNT Pertumbuhan Bobot Rata-rata Harian ........................................ 44
9. Pertumbuhan Panjang Rata-Rata Harian ................................................ 47
10. Analisa Keragaman Pertumbuhan Panjang Rata-rata Harian.................. 47
11. Uji BNT Pertumbuhan Panjang Rata-rata Harian .................................... 48
12. Laju Pertumbuhan Rata-rata Bobot Harian ............................................. 51
13. Analisa Keragaman Laju Pertumbuhan Rata-rata Bobobt Harian ............ 51
14. Uji BNT Laju Pertumbuhan Rata-Rata Bobot Harian ............................... 52
15. Laju Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian .......................................... 54
16. Analisa Keragaman Laju Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian .......... 54
17. Uji BNT Laju Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian............................. 55
18. Pertumbuhan Bobot Mutlak ..................................................................... 57
19. Analisa Keragamaan Pertumbuhan Bobot Mutlak ................................... 58
20. Uji BNT Pertumbuhan Bobot Mutlak ........................................................ 58
21. Pertumbuhan Panjang Mutlak ................................................................. 61
22. Analisa Keragaman Pertumbuhan Panjang Mutlak ................................. 61
23. Uji BNT Pertumbuhan panjang Mutlak .................................................... 62
xvii
24. Pertumbuhan Bobot Mingguan ................................................................ 65
25. Analisa Keragaman Pertumbuhan Bobot Mingguan ................................ 65
26. Uji BNT Pertumbuhan Bobot Mingguan .................................................. 66
27. Pertumbuhan Panjang Mingguan ............................................................ 68
28. Analisa Keragaman Pertumbuhan Panjang Mingguan ............................ 68
29. Uji BNT Pertumbuhan Panjang Mingguan ............................................... 69
30. Kelulushidupan ....................................................................................... 71
31. Analisa Keragaman Kelulushidupan ........................................................ 72
32. Uji ELISA Hormon Triiodotironin (T3) ...................................................... 75
33. Hasil Pengukuran Kualitas Air ................................................................. 77
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Glosarium .............................................................................................. 86
2. Diagram Alir Metode Penelitian .............................................................. 90
3. Diagram Alir Hormon Triiodotironin (T3) ................................................. 91
4. Perhitungan Larutan Triiodotironin ......................................................... 92
5. Data Sampling dan Hasil Perumbuhan Bobot ........................................ 95
6. Data Sampling dan Hasil Pertumbuhan Panjang ................................... 97
7. Perhitungan Statistika Pertumbuhan Rata-rata Bobot Harian ................. 100
8. Perhitungan Statistika Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian ............. 104
9. Perhitungan Statistika Laju Pertumbuhan Rata-rata Bobot Harian ......... 108
10. Perhitungan Statistika Laju Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian ..... 112
11. Perhitungan Statistika Pertumbuhan Bobot Mutlak ................................ 116
12. Perhitungan Statistika Pertumbuhan Panjang Mutlak ............................. 120
13. Perhitungan Statistika Pertumbuhan Bobot Mingguan ........................... 124
14. Perhitungan Statistika Pertumbuhan Panjang Mingguan........................ 128
15. Data Sampling dan Hasil Perhitungan Kelangsungan Hidup .................. 132
16. Perhitungan Statistika Kelulushidupan ................................................... 134
17. Hasil Uji ELISA Keberadaan dan Waktu Urai Hormon Triidotironin ........ 135
18. Metode Pengerjaan Uji ELISA di Rumas Sakit Saiful Anwar .................. 147
19. Pengukuran Suhu selama 42 Hari Penelitian ......................................... 151
20. Pengukuran DO selama 42 Hari Penelitian ............................................ 155
21. Pengukuran pH selama 42 Hari Penelitian ............................................. 159
22. Pengukuran Nitrit selama 42 Hari Penelitian .......................................... 163
23. Pengukuran Amonium selama 42 Hari Penelitian .................................. 164
xix
24. Hasil Uji Proksimat Pakan Pasta ............................................................ 165
25. Dokumentasi Alat dan Bahan ................................................................. 166
26. Dokumentasi Kegiatan Penelitian .......................................................... 174
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan Sidat (Anguilla bicolor) merupakan salah satu famili anguilidae.
Bentuk tubuhnya silindris memanjang dengan dilapisi sisik halus berbentuk
memanjang. Sirip punggungnya panjang dan menyatu dengan sirip ekor dan
seterusnya bersambungan dengan sirip dubur. Sirip dada berbentuk cuping
dengan masing-masing jari-jari sirip berjumlah 14—18 buah. Tubuh sidat dilapisi
oleh lendir yang membantu pergerakannya. Punggung sidat berwarna coklat
kehitaman dan bagian perut berwarna kuning hingga perak (Cholik et al., 2005).
Daging sidat enak dan gurih. Kegurihannya ini disebabkan 25% bobot badannya
terdiri atas lemak. Dagingnya banyak mengandung vitamin E. Tidak ada ikan lain
yang mengandung lemak dan vitamin E seperti sidat. Untuk 100 gram daging
sidat mengandung 5.000 IU vitamin E (Sarwono, 2002).
Pada perairan Indonesia sidat tersebar disepanjang pantai barat Pulau
Sumatera, pantai selatan timur Pulau Jawa, pantai timur Pulau Kalimantan,
disekeliling pantai Pulau Sulawesi, dan Pantai utara Papua (Affandi et al., 2013).
Melimpahnya ketersediaan baik larva, benih, maupun indukan sidat di perairan
Indonesia didukung oleh ketersediaan lahan (garis pantai) yang luas dan
memenuhi syarat, bahan baku pakan alami tersedia cukup banyak serta kondisi
iklim yang sangat mendukung (Suryono dan Badjoeri, 2013).
Pengembangan budidaya sidat di Indonesia merupakan salah satu
peluang dan prospek yang sangat baik karena belum banyak dibudidayakan.
Sidat memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditi unggulan ekspor
yang bernilai ekonomis dan mampu bersaing dengan komoditi lain di pasar
internasional. Harga jual sidat ukuran konsumsi mencapai Rp. 50.000—
80.000/kg, bahkan untuk ukuran Glass eel mencapai harga Rp. 400.000—
2
500.000/kg pada tingkat produsen (Rahmawati et al., 2015). Menurut data KKP
(2017) harga untuk tingkat konsumen mencapai Rp.650.000—
800.000sedangkan untuk ekspor mencapai Rp. 800.000—1.000.000.
Berdasarkan data dari Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budi Daya
Karawang (BLUPBK), permintaan berbagai Negara terhadap sidat segar dan
olahannya mencapai 300.000 ton per tahun. Sebagian besar kuota impor dikirim
untuk memenuhi permintaan dari Jepang dan sisanya seperti Negara Cina,
Korea, Taiwan, Hongkong, Amerika dan beberapa Negara di Eropa (Topan dan
Riawan, 2015). Berdasarkan data KKP (2017), nilai ekspor hasil perikanan tahun
2016 mencapai 2.092.302 ton. Untuk ekspor sidat mengambil peranan 7% nilai
ekspor Indonesia. Namun nilai ini mengalami penurunan karna pengiriman sidat
dibatasi hanya diatas ukuran 150 gram, sedangkan untuk benih sidat dilarang.
Pemanfaantan sumberdaya sidat dalam usaha penangkapan sidat
dewasa maupun elver dan untuk usaha budidaya masih terbilang kecil. Pada
kegiatan budidaya sidat, benih yang digunakan masih mengandalkan hasil
tangkapan dari alam. Saat ini produksi sidat di negara-negara produsen sidat
mengalami penurunan pasokan benih. Hal ini disebabkan oleh adanya degradasi
habitat baik pada alur ruayanya maupun habitat pembesarannya dan over-
eksploitasi benih sehingga calon induk yang nantinya akan menghasilkan benih
menjadi berkurang. Kendala utama dalam budidaya sidat adalah tingginya tingkat
mortalitas pada saat glass eel sampai elver yang mencapai 70—80%.
Pemeliharaan benih sidat pada tahap awal merupakan masa paling sulit dengan
tingkat kelangsungan hidup sebesar 30—50%. Selain masalah mortalitas yang
tinggi, masalah lain dalam budidaya sidat adalah laju pertumbuhannya yang
lambat yaitu kurang dari 3,1% (Haryono, 2008 dalam Yusup et al., 2015).
Kelenjar tiroid menghasilkan dua jenis hormon, yaitu tiroksin (T4) dan
hormon triiodotironin (T3). Hormon ini berperan dalam katabolisme protein, lemak,
3
karbohidrat dalam semua sel. Triiodotironin (T3) juga berfungsi dalam mengatur
kecepatan metabolisme semua sel, mengatur produksi panas tubuh dan
mempertahankan sekresi hormon pertumbuhan (Baradero et al., 2009).
Penelitian mengenai pengaruh perendaman hormon triiodotironin (T3) ini telah
dilakukan sebelumnya pada beberapa ikan, salah satunya ikan gurami
(Osphronemus gouramy) dan ikan betutu (Oxyeleotris marmorata) yang juga
memiliki nilai ekonomis tinggi. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa
hormon triiodotironin dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan
pertumbuhan pada fase larva. Menurut penelitian Herviani et al. (2002) mengenai
ikan gurami, pada penggunaan dosis 0; 0,001; 0,01; 0,1 dan 1 ppm, perlakuan
terbaik diperoleh pada pemberian dosis 0,001 ppm terhadap panjang total, bobot
rata-rata dan kelangsungan hidup. Namun penggunaan hormon dengan dosis 1
ppm dapat mengakibatkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan larva gurami.
Dalam penelitian ini akan dilakukan pemberian rangsangan hormonal
berupa perendaman pada Larutan Hormon Triiodotironin (T3) yang diharapkan
dapat mempercepat proses pertumbuhan elver sehingga dapat meningkatkan
mutu benih. Dosis yang digunakan adalah (0,5; 1; dan 1,5) ppm yang diharapkan
mampu memberikan hasil pertumbuhan yang optimal bagi elver sidat.
1.2 Perumusan masalah
Permasalahan yang dihadapi adalah pemenuhan konsumsi sidat untuk
dalam negeri dan ekspor masih mengandalkan tangkapan dari alam. Belum ada
teknik pembudidayaan yang sesuai untuk sidat mengingat habitat dan siklus
hidup sidat yang katadromus. Pembesaran sidat yang dilakukan mulai dari fase
glass eel, yellow eel, elver, fingerlings sampai dengan ukuran konsumsi masih
menemukan kesulitan. Salah satunya adalah laju pertumbuhan sidat yang lambat.
Untuk mencapai ukuran konsumsi biasanya dibutuhkan waktu hingga 2 tahun.
4
Laju pertumbuhan sangat penting dalam usaha pembesaran karena
semakin cepat pertumbuhan berlangsung, maka waktu pembesaran juga akan
semakin singkat. Hal ini juga harus didukung dengan penambahan massa tubuh
sidat yang optimal, sehingga menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi pula.
Selama ini penyebab rendahnya laju pertumbuhan disebabkan karena nafsu
makan benih yang kurang, padat penebaran terlalu tinggi, kualitas pakan
tambahan rendah dan jumlah pakan kurang. Namun hal lain yang dapat kita kaji
adalah bagaimana meningkatkan laju pertumbuhan ikan sidat dari fase benih
(elver) dengan cara meningkatkan laju metabolisme nya. Laju metabolisme yang
baik akan berdampak pada penambahan bobot tubuh yang sesuai.
Salah satu metode yang akan diteliti adalah mempercepat pertumbuhan
elver sidat dengan cara direndam di dalam larutan hormon triiodotironin (T3)
yang diketahui dapat mempercepat metabolisme dan pertumbuhan. Perendaman
dalam hormon ini belum diketahui dosis optimal yang dapat berpengaruh dan
meningkatkan laju pertumbuhan elver sidat. Diketahui sebelumnya hormon T3
yang diujikan pada ikan gurami dengan dosis terlalu tinggi justru memberikan
efek tubuh langsing yaitu sebesar 1 ppm namun belum diketahui pula apakah
dosis hormon yang diberikan pada elver sidat jika terlalu tinggi akan
menyebabkan hal yang demikian.
Dari latar belakang tersebut diperoleh rumusan masalah yaitu apakah
perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda
memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan elver sidat (Anguilla bicolor)?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis
perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) yang berbeda terhadap
pertumbuhan elver ikan sidat (Anguilla bicolor).
5
1.4 Hipotesis
H0: Perbedaan dosis perendaman larutan hormon triiodotironin yang berbeda
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan elver ikan sidat (Anguilla bicolor)
yang diteliti.
H1: Perbedaan dosis perendaman larutan hormon triiodotironin yang berbeda
berpengaruh terhadap pertumbuhan elver ikan sidat (Anguilla bicolor) yang
diteliti.
1. 5 Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi
mengenai pengaruh dosis perendaman larutan hormon triiodotironin yang
berbeda terhadap pertumbuhan elver ikan sidat (Anguilla bicolor), sehingga
nantinya dapat mempercepat laju pertumbuhan elver sidat dan meningkatkan
produksi pada kegiatan pembesarannya.
1.6 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juni 2017 di Ruang
Laboratorium Budidaya Ikan (Divisi Reproduksi Ikan) Gedung D lantai 1 Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Sidat (Anguilla bicolor)
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Sidat
Menurut Weber dan de Beaufon (1929) dalam Sasongko et al. (2007),
mengemukakan klasifikasi sidat sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Euchordata
Kelas : Osteichthyes
Subkelas : Actinoptrygii
Infrakelas : Teleostei
Superordo : Elepomorpha
Ordo : Anguilliformes
Famili : Anguillidae
Genus : Anguilla
Spesies : Anguilla bicolor
Gambar 1. Ikan Sidat (Anguilla bicolor) (Roy, 2013)
7
Sidat memiliki bentuk tubuh bulat dan memanjang yang terdiri dari kepala,
perut dan ekor. Permukaan tubuh sidat yang licin dilapisi sisik kecil berbentuk
memanjang. Susunan sisiknya tegak lurus terhadap panjang tubuhnya. Sisik
biasanya membentuk pola mozaik mirik anyaman bilik. Sirip di bagian anus
menyatu dan berbentuk seperti jaring-jaring yang terlihat lemah. Sirip dada terdiri
atas 14—18 jari-jari sirip. Punggung sidat berwarna cokelat kehitaman. Perutnya
berwarna kuning hingga perak. Pergerakannya terbantu oleh lendir yang melapisi
permukaan tubuhnya, lendir ini berfungsi sebagai salah satu mekanisme
pertahanan dirinya dari predator alam maupun agar sulit dipegang oleh manusia.
Hewan ini memiliki kemampuan mengambil oksigen langsung dari udara dan
mampu bernafas dengan seluruh bagian kulitnya (Suitha dan Suhaeri, 2008).
Menurut Cholik et al. (2005), sidat memiliki sirip punggung panjang dan
menyatu dengan sirip ekor dan seterusnya bersambungan dengan sirip dubur.
Sirip dada nya berbentung cuping, maka hewan ini sering kal disebut sebagai
belut bertelinga. Memiliki lubang pernafasan (spirakulum) yang terletak di
belakang kepala dan di depan sirip dada. Mulut terletak diujung dan dilengkapi
dengan geligi kecil. Sidat merupakan salah satu hewan karnifora dan nokturnal
(aktif pada malam hari). Hal ini sesuai dengan pendapat Sasongko et al. (2007),
bahwa mata sidat sangan kecil, bulat dan berwarna hitam. Mata sidat tidak tahan
terhadap sinar matahari langsung karena sidat termasuk binatang malam
(nokturnal).
2.1.2 Jenis dan Penyebaran
Di seluruh dunia terdapat 18 spesies sidat. Namun, yang ada di perairan
Indonesia hanya enam jenis sidat yaitu A. marmorata, A. bicolor, A. celebensis, A.
borneoensis, A. ancertralis dan A. mauritinia. Biasanya ditemukan pada muara
sungai yang menghadap ke lautan atau samudera. Berikut disajikan jenis-jenis
sidat yang hidup di perairan Indonesia beserta ciri-ciri fisiknya pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Jenis Sidat yang Hidup di Indonesia dan Ciri Fisiknya (Roy, 2013)
Jenis Sidat Ciri-ciri
A. marmorata Kulit halus dengan bercak hitam,
warna hijau muda, punggung bergaris
coklat
A. bicolor Kulit halus dengan warna coklat atau
abu-abu, bagian punggung agak hijau
dan perut berwarna putih
A. celebesensis Kulit berwarna abu-abu dan berbintik
A. borneoensis Tubuhnya berwarna putih terang
A. ancertalis Kulit berwarna abu-abu gelap (lebih
gelap daripada Anguilla celebesensis)
dan berbintik-bintik
A. mauritania Tubuhnya berbintik-bintik, warna lebih
gelap dibandingkan dengan jenis
lainnya
Diantara jenis sidat yang telah dipaparkan diatas, A. bicolor dan A. marmorata
merupakan jenis yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. A. bicolor
banyak tersebar di daerah Aceh, pantai selatan Pulau Jawa hingga Sumbawa.
Sementara A. marmorata terdapat di Papua, Sulawesi dan Ternate.
Ikan sidat merupakan ikan yang penyebarannya sangat luas yakni di
daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia ikan sidat hidup di sungai-sungai yang
bermuara di laut dalam dan banyak tersebar di perairan Barat Sumatera, Selatan
Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi,
Kalimantan, Maluku dan Papua (Rahmawati et al., 2015). Terdapat 7 spesies
sidat dari 16 spesies sidat yang terdapat di dunia. Dari ketujuh sidat itu yang
paling luas penyebarannya adalah A. marmorata, sedangkan penyebaran yang
paling sempit adalah A. bornoensis yang hanya terdapat di Kalimantan Timur dan
Sulawesi. Jenis A. bicolor adalah jenis yang paling banyak ditangkap di perairan
Pulau Jawa antara lain pada daerah Pelabuhan Ratu, Karawang, Cimanggu dab
Lumajang. Jenis-jenis sidat dan daerah penyebarannya menurut Sarwono (2002)
disajikan pada Tabel 2 sebagai berikut:
9
Tabel 2. Jenis Sidat dan Daerah Penyebarannya (Sarwono, 2002)
No
Nama
Warna
Tubuh
Ukuran
Maksimum
Sidat Betina
Penyebaran
kg/ekor cm/ekor
1. A. ancestralis Berbintik-bintik
- - Sulawesi Utara
2. A. celebesensis Berbintik-bintik
- - Indonesia, Filipina
3. A. Interiosis Berbintik-bintik
- - Irian
4. A. megastoma Berbintik-bintik
22 190 Lautan Pasifik dari bagian timur, Solomon Pitcairn
5. A. nebulosa Berbintik-bintik
10 150 Afrika timur, India
6. A. marmorata Berbintik-bintik
27 200 Afrika selatan, Madagaskar, Indonesia, Cina , Jepang
7. A.reinhardtii Berbintik-bintik
18 170 Australia timur, Kaledonia baru
8. A. borneensis Putih Terang
2 90 Kalimantan, Sulawesi
9. A. japonica Putih Terang
6 125 Jepang, Cina
10. A. roostrata Putih Terang
6 125 Pantai timur USA, Kanada, Greenland
11. A. anguilla Putih Terang
6 125 Pantai barat, Eropa, Afrika utara, Islandia barat
12. A. dieffenbachii Putih Terang
20 150 Selandia baru
13. A. mossambica Putih Terang
5 125 Afrika timur dan selatan, Madagaskar
14. A. bicolor Putih Terang
3 110 Afrika timur, Madagaskar, India, Indonesia, Australia barat
15. A. obscura Putih Terang
- - Laut Irian
16. A. australis Putih Terang
2,5 95 Australia timur dan Selandia baru
10
2.1.3 Habitat dan Siklus Hidup
Sidat hidup di dua jenis perairan. Fase larva hingga menjelang dewasa
hidup di sungai. Setelah dewasa menuju laut dalam untuk bereproduksi.
Selanjutnya, larva hasil pemijahan terbawa arus ke pantai dan menuju perairan
tawar melalui muara sungai. Menurut Suitha dan Suhaeri (2008), sidat dapat
beradaptasi pada suhu 12—31°C. Salinitas (kadar garam perairan) yang bisa
ditoleransi antara 0—35 ppt. Salinitas dan turbiditas (kekeruhan suatu perairan)
merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap jumlah elver di suatu
daerah. Elver lebih menyukai habitat dengan salinitas rendah dan turbiditas tinggi.
Sidat betina lebih menyukai perairan estuaria dan sungai-sungai besar yang
produktif. Sementara sidat jantan lebih banyak menghuni perairan berarus deras
Sidat mengalami empat fase pertumbuhan. Larva sidat disebut glass eel.
Tubuhnya lebar seperti daun dan transparan. Setelah berukuran sekitar 12 cm
disebut elver. Selanjutnya menjadi fingerling kemudian menjadi sidat ukuran
konsumsi dengan panjang tubuh 80 cm hingga satu meter lebih.
Gambar 2. Elver Sidat dengan Panjang 12 cm (Suitha dan Suhaeri, 2008)
Sidat dewasa akan berada di hulu sungai atau danau ketika sudah
matang gonad, sidat akan bermigrasi ke laut untuk memijah hingga kedalaman
lebih dari 6.000 m dpl. Telur hasil pemijahan akan menetas menjadi larva yang
kemudian akan terbawa arus laut untuk kembali ke perairan dangkal, lalu akan
11
berenang menuju muara sungai. Larva sidat sidat ini berbentuk seperti daun,
bewarna bening dan transparan. Setelah mencapai pantai dalam kurun waktu
satu sampai tiga tahun, larva sidat akan menjadi glass eel yang memiliki panjang
5—7 cm dan bobot 0,17—0,21 gram. Glass eel yang mencapai muara akan
hidup di rawa-rawa, hulu sungai, danau atau perairan payau. Fase perubahan
glass eel menjadi elver ditandai dengan perubahan warna bening menjadi
berwarna kuning kecokelatan, kehijauan atau kehitaman. Pada masa tersebut
elver memiliki panjang 9—11 cm dan bobot 2,8—3,2 gram. Ukuran tersebut
sudah masuk ke dalam kategori yang dapat dibudidayakan. Tahap selanjutnya
disebut fingerling dengan panjang tubuh sekitar 40 cm. Fingerling kemudian
tumbuh menjadi sidat dewasa dengan panjang tubuh dapat mencapai 80 cm
hingga satu meter lebih (Roy, 2013).
Gambar 3. Perubahan Bentuk Larva Sidat Menjadi Elver (Nontji, 2008)
2.1.4 Kandungan Gizi
Daging sidat enak dan gurih karena 25% bobot tubuhnya adalah lemak.
Dagingnya banyak mengandung vitamin E. Tidak ada ikan lain yang
mengandung lemak dan vitamin E seperti sidat. Untuk 100 gram daging sidat
mengandung 5.000 IU vitamin E. Kandungan gizi pada daging sidat disajikan
pada Tabel 3 sebagai berikut.
12
Tabel 3. Kandungan Gizi Sidat (Sarwono, 2002)
Zat Gizi Jumlah
Kalori 303 kkal
Protein 14,0 g
Lemak 27,0 g
Karbohidrat 0 g
Fosfor 200 mg
Kalsium 20 mg
Zat Besi 20 mg
Vitamin A 1.600 mg
Vitamin B1 0,10 mg
Vitamin C 2 mg
Air 58 g
Menurut pernyataan Roy (2013), tingginya tingkat konsumsi sidat tidak
terlepas dari kandungan gizinya yang juga tinggi. Daging ikan sidat kaya akan
protein, vitamin, asam lemak, dan unsur mikro. Kandungan vitamin pada daging
ikan sidat diantaranya vitamin A, vitamin B1 dan B2 serta unsur hara seperti Zn.
Sidat juga mengandung asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan oleh tubuh,
diantaranya asam lemak omega yang berguna untuk perkembangan sel otak
anak. Ekstrak sumsum sidat juga mengandung tiga jenis bahan bermanfaat, yaitu
DHA, EPA dan AKG. Berikut disajikan kandungan gizi sidat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Daging Sidat (Roy, 2013)
Zat Gizi Jumlah
BBD 100 %
Energi 81 kkal
Protein 19,0 g
Lemak 1,9 g
Karbohidrat 3,8 g
Fosfor 174 mg
Kalsium 118 mg
Zat besi 3,0 mg
2.1.5 Pakan dan kebiasaan Makan
Ikan sidat termasuk dalam jenis karnivora. Mereka memangsa ikan kecil,
udang, kepiting, dan lain-lain. Ikan ini juga tanggap terhadap pemberian pakan
buatan. Pakan yang biasa digunakan dalam pembesaran sidat adalah pakan
13
buatan yang memiliki kadar protein 40—55%. Khusus pada pasta yang
digunakan untuk benih sidat, biasanya akan dicampurkan dengan berbagai jenis
vitamin sebesar 2,5% dari total pakan yang ditujukan untuk menambah laju
pertumbuhan (Cholik et al., 2005).
Sepanjang hidupnya sidat bersifat karnivora dan kanibal. Sidat dapat
memangsa sesama sidat yang memiliki ukuran lebih kecil dari tubuhnya. Hal ini
ditandai dengan usus sidat yang pendek atau hanya sekitar 60% dari panjang
tubuhnya. Menurut Sasongko et al. (2007), larva yang baru menetas pada fase
preleptocephale dan fase leptocephale akan memakan fitoplankton. Pada fase
elver mulai memakan hewan-hewan kecil seperti anak kepiting, anak udang,
cacing kecil dan anak kerang. Formulasi pakan pasta untuk elver sidat antara lain
mengandung Tepung ikan 75%, tepung tapioka 10%, mineral mix 4%, vitamin
mix 2%, minyak ikan 2%, minyak jagung 2% dan CMC 5%. Menurut penelitian
yang dilakukan Airin dan Cyska (2015), pakan yang memiliki kecernakan tinggi
dan dapat dicerna dalam saluran pencernaan memiliki pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih sidat. Frekuensi dan
selang waktu makan yang tepat akan mempengaruhi pertumbuhan dan derajat
efisiensi pakan yang diberikan. Hal ini dipengaruhi oleh kualitas pakan, nutrisi
pakan, dan kemampuan ikan untuk mencerna dan mengabsorpsi pakan tersebut.
Pakan yang lebih digiling halus memberikan permukaan yang luas terhadap
getah pencernaan dan mempertinggi daya cerna.
2.2 Pertumbuhan
Menurut Effendi (2002), pertumbuhan adalah pertambahan ukuran
panjang atau berat bobot persatuan waktu dari suatu jenis makhluk hidup.
Pertumbuhan dapat secara utuh atau meliputi bagian-bagian tertentu saja dari
suatu populasi hewan atau tumbuhan. Pertumbuhan ikan sidat dalam wadah
14
budidaya relatif lambat. Menurut Cholik et al. (2005), laju pertumbuhan dari elver
hingga ukuran konsumsi (25 cm) adalah 7 cm/ tahun. Dalam wadah budidaya
seekor elver membutuhkan waktu 12—18 bulan untuk mencapai ukuran 150—
200 gram. Elver yang rata-rata beratnya 1,6 gram dapat tumbuh menjadi benih
berukuran 52,60 gram dalam waktu 42 hari.
Pemeliharaan benih sidat pada tahap awal merupakan masa yang paling
sulit dengan tingkat kelangsungan hidup hanya 30—50% dan laju
pertumbuhannya sangat lambat yaitu kurang dari 3,1% (Yusup et al., 2015).
Pertumbuhan pada sidat dalam pemeliharaan benih atau elver umumnya sangat
lambat. Oleh karena itu diperlukan waktu yang lama untuk proses pembesaran
(Rahmawati et al., 2015). Faktor suhu sangat berpengaruh pada pertumbuhan.
Suhu yang disarankan untuk pembesaran sidat diatas 27°C. Suhu sangat
berpengaruh pada nafsu makan. Meningkatnya konsumsi pakan pada akan
menentukan laju pertumbuhan (Affandi et al., 2013).
2.3 Padat Penebaran
Padat penebaran benih merupakan banyaknya jumlah ikan yang
ditebarkan per satuan luas atau volume. Semakin tinggi padat penebaran benih,
semakin intensif tingkat pemeliharaannya (Mahyuddin, 2010). Padat penebaran
memiliki hubungan dengan pertumbuhan karena semakin banyak jumlah individu
per satuan luas kan mempengaruhi ruang gerak untuk aktivitas benih,
kandungan oksigen terlarut untuk melakukan respirasi dan kompetisi pakan yang
didapat tiap individu. Kebiasaan hidup benih sidat adalah bergerombol sehingga
dapat mengkonsumsi pakan secara bersamaan Namun, setiap makhluk hidup
memiliki batas toleran kepadatan untuk lingkungan hidupnya. Pada padat tebar
tertentu akan mempengaruhi pertumbuhan benih sidat. Padat tebar yang sesuai
akan menghasilkan pertumbuhan yang baik pula (Rahmawati et al., 2015).
15
Menurut penelitian yang telah dilakukan Ilmiah (2014), pada perlakuan
padat tebar elver sidat (Anguilla marmorata) yang berbeda yaitu 2gr/l, 3gr/l, dan 4
gr/l dengan bobot awal saat tebar 7 gr/l, memberikan hasil padat tebar terbaik
pada 4gr/l yang menghasilkan laju pertumbuhan biomassa 3,89gr/hari dan
konversi pakan 1,16. Semakin tinggi padat tebar, maka respon ikan sidat
terhadap pakan juga tinggi. Ikan sidat mempunyai bagian yang sangat sensitif
terhadap getaran terutama di bagian samping. Bagian ini membantu pergerakan
sidat dan sebagai sinyal akan adanya pergerakan dari ikan sidat lain saat diberi
pakan. Jika ikan sidat dipelihara dalam padat tebar yang rendah, maka akan
kurang mendapatkan sinyal tersebut sehingga nafsu makan menurun. Didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Fitria (2014), menggunakan Anguilla
marmorata mengatakan bahwa laju pertumbuhan biomassa terbaik diperoleh
saat elver ukuran awal 3 gram ditebar dengan kepadatan 4gr/l. Maka dapat
dirumuskan pada penelitian ini akan digunakan padat tebar 4gr/l dalam 5 liter air
per wadahnya.
2.4 Kualitas Air Pemeliharaan
Sidat dapat beradaptasi di daerah dengan suhu lingkungan 20—31°C.
Dalam pemeliharaan sidat pH optimal untuk pertumbuhan sebesar 5—7. Sidat
hidup dalam perairan dengan kadar garam terlarut antara 0—35 ppt. Salinitas
merupakan salah satu parameter yang paling berpengaruh terhadap
pertumbuhan sidat. Sidat menyukai habitat dengan salinitas rendah. Namun larva
sidat yang dipelihara pada salinitas 0 akan mengalami mortalitas yang tinggi. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Yusup et al. (2015), perbedaan tekanan dimana
tekanan osmotik lingkungan (air) lebih rendah disbanding tekanan osmotik cairan
tubuh sehingga sidat bersifat hyperosmotic akibatnya air cenderung masuk ke
dalam tubuh secara difusi dan menyebabkan pengenceran cairan tubuh.
16
Menurut Suryono dan Badjoeri (2013), suhu yang sesuai untuk
pemeliharaan larva ikan sidat pada suhu 20—29°C. Kondisi suhu yang lebih
tinggi dari 30°C maupun kurang dari 10°C dapat mempengaruhi sensitivitas larva
sidat, yaitu dapat menghilangkan lendir (mucous) pada tubuh sidat dimana
keberadaan lendir tersebut mengandung zat anti bakteri salah satunya kelompok
bakteri protease seperti Cathepsins L dan B. Nilai pH yang baik untuk
pertumbuhan larva sidat adalah 5. Sedangkan untuk oksigen terlarut tidak kurang
dari 4 ppm. Rata-rata konsentrasi nitrit yang diperbolehkan dalam wadah
pemeliharaan tanpa sirkulasi adalah 0,04—0,1 mg/l sedangkan konsentrasi
ammonium yang diperbolehkan berkisar 2—3 mg/l. Konsentrasi nitrit maupun
ammonium di dasar wadah pemeliharaan akan lebih tinggi karena oksigen
terlarut yang rendah. Menurut Sutrisno (2008), selama periode awal kehidupan
(fase benih) ikan sidat masih terpengaruh oleh salinitas. Pada salinitas 0 ppt
diperoleh sintasan 58% sedangkan dengan adanya perlakuan salinitas 5 ppt
memberikan hasil sintasan terbaik sebesar 100%.
2.5 Hormon Triiodotironin (T3)
Kelenjar tiroid terdiri atas dua lobus terletak di bawah kartilago tiroid pada
bagian posterior dan anterior trakea. Kelenjar tiroid memiliki dua macam sel,
yaitu sel folikular dan sel parafolikular. Sel folikular adalah unit fungsional
kelenjar tiroid. Sel folikular menghasilkan hormon tiroksin (T4) dan hormon
triiodotironin (T3). Hormon ini berperan dalam katabolisme protein, lemak dan
karbohidrat dalam semua sel. Mengatur kecepatan metabolisme semua sel,
mengatur produksi panas tubuh, mempertahankan sekresi hormon pertumbuhan,
pematangan tulang dan mobilisasi kalsium (Baradero et al., 2009).
Hormon triiodotironin mengandung tiga atom yodium. Hormon ini
berperan dalam pertumbuhan, perkembangan dan laju metabolisme. Hormon ini
17
dihasilkan oleh kerja kelenjar tiroid yang menyerap yodium dari dalam darah.
Menurut Sakdiah et al. (2003), larva gurami yang direndam dalam larutan
hormon triiodotironin mempunyai panjang total lebih besar daripada panjang total
ikan kontrol. Menurut Ostrader (2000), T3 juga merangsang peningkatan
ekspresi GH mRNA dan pelepasan growth hormone dari pituitari. Gambar rumus
bangun hormon triiodotironin disajikan pada gambar 4 sebagai berikut.
Gambar 4. Rumus Bangun Hormon Triidotironin (Campbell, 2004)
Setiap jenis hormon memiliki satu atau lebih efek fisiologis spesifik
terhadap jaringan sasaran. Berbagai jenis hormon akan masuk ke dalam darah,
namun tidak akan bercampur. Di dalam darah, molekul hormon tersebut akan
direspon dan diikat oleh jaringan spesifik. Kemudian akan terjadi interaksi antara
hormon dengan jaringan sasaran yang ditentukan oleh adanya reseptor sel yang
terletak di membran plasma sel. Masing-masing sel sasaran memiliki jumlah
reseptor yang berlainan untuk satu jenis hormon, yang bervariasi dari 100 atau
kurang sampai lebih dari sejuta reseptor per sel. Afinitas reseptor terhadap ligan
(senyawa yang berikatan dengan reseptor) harus tinggi karena sebagian besar
hormon beredar dalam darah dalam konsentrasi pikomolar sampai nanomolar.
Ranah pengikat ligan, terdapat di bagian ekstrasel dari membrane sel, terdiri dari
tujuh kumpulan residu asam amino heliks-α hidrofilik terpisah yang terentang
menembus membran (membrane spanning) dan menambatkan reseptor ke sel.
Agar aktivitas hormon dapat timbul, pengikatan hormon-reseptor ini harus di
transduksikan menjadi sinyal kimia pascareseptor di dalam sel. Sinyal ini
18
menyebabkan respon fisiologis spesifik terhadap hormon bersangkutan di
jaringan sasaran, misalnya pengaktivan enzim atau sintesis protein baru untuk
pertumbuhan atau diferensiasi sel (Marks et al., 2000).
Gambar 5. Down-regulation Reseptor Permukaan Sel (Marks et al., 2000)
Hormon beredar di seluruh cairan tubuh termasuk di dalam darah.
Hormon yang berada dalam sirkulasi darah hanya mempengaruhi sel-sel tertentu
saja. Interaksi hormon menuju sel sasaran dibantu oleh reseptor hormon.
Gambar 6. Alur Hormonal Sederhana (Isnaeni, 2006)
Reseptor tersebut hanya berikatan dengan hormon tertentu atau analognya, yaitu
senyawa lain yang mempunyai gugus fungsional sangat mirip dengan gugus
19
fungsional hormon yang dimaksud (Isnaeni, 2006). Di dalam darah, T3
bergabung dengan protein intrasel. Hormon ini mempengaruhi mitokondria, jadi
mempengaruhi metabolisme sel dan laju metabolik (Tambayong, 2000).
Tempat ikatan atau reseptor dari triiodotironin adalah sitoplasma,
mitokondria dan inti sel. Triiodotironin masuk ke dalam sel dan berikatan dengan
reseptor-reseptor dalam inti dan menimbulkan sebagian besar pengaruh pada
sintesis mRNA dan RNA. Tempat ikatan triiodotironin yaitu pada bagian
nonhiston protein kromatin. (Utomo, 2003). Di dalam pengubahan protein
makanan ini menjadi protein tubuh (pertumbuhan) dikenal adanya peran ARN-K
(asam ribose nukleat-kurir atau mRNA). Pemberian hormon triiodotironin ini akan
meningkatkan sintesis ARN-K di dalam sel, sehingga meningkatkan aktivitas
metabolisme (Pudji et al., 2002).
Gambar 7. Alur T3 dalam Sel (Neal, 2006)
Hormon T3 yang dilepaskan ke dalam sirkulasi peredaran darah, akan
bekerja pada reseptor (R) dalam membrane plasma dan pada reseptor
intraseluler. Selanjutnya akan masuk ke dalam mitokondria dan terjadi proses
pengubahan ADP menjadi ATP. Enzim yang terlibat dalam metabolisme energi,
akan mempengaruhi transkripsi gen sehingga pembentukkan mRNA menjadi
protein akan semakin cepat. Kemampuan ini lah yang membuat protein dapat
20
dengan cepat menyusun sel baru dan mempengaruhi laju metabolisme atau
pertumbuhan (Neal, 2006)
Gambar 8. Reseptor Nuclear Hormon Tiroid (Fauci et al., 2008)
Setelah masuk sel, hormon tiroid bertindak terutama melalui reseptor
nuklear, meskipun mereka juga merangsang membran plasma dan respon
enzimatik mitokondria. Hormon tiroid berikatan dengan afinitas tinggi terhadap
reseptor hormon tiroid (TRs) nuclear alfa dan beta. Kedua TR diekspresikan
dalam sebagian besar jaringan. Kemudian terjadi pengubahan coA yang dapat
masuk ke dalam transkripsi gen. TRs mengandung DNA-binding domain
sentral dan ligand-binding domain C-terminal. Mereka mengikat urutan DNA
spesifik, yang disebut respon elemen tiroid (Tres), di daerah promoter gen target.
Reseptor berikatan sebagai homodimers dengan reseptor asam retinoat X
(RXRs). Reseptornya yang diaktifkan dapat menstimulasi transkripsi inti dari
sejumlah besar gen. Maka proses yang terlibat seperti enzim protein, protein
structural, protein transport, dan zat lainnya akan meningkat. Hasil akhir dari
semuanya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh
(Fauci et al., 2008).
Waktu paruh sirkulasi dari T4 (7 hari) dan T3 (sekitar 1 hari) lebih panjang
dari sebagian besar hormon. Deiodinase-5' juga mengubah T3 reversa (3,3',5'-L-
21
triiodotironin) menjadi 3,3'-T2 (3,3'-diiodotiroin) (Anwar, 2005). Sedangkan
penelitian yang dilakukan Alan et al. (1976), kandungan hormon triiodotironin
dalam hati ayam terurai setelah 30 jam dari awal waktu pemberian. Hormon yang
digunakan memiliki merek Lyotiroic T3 produsen Keifei Singapura yang biasa
digunakan untuk mengobati Hypotiroid pada manusia dengan kandungan 0,025
mg T3 disetiap tabletnya beserta bahan preservatif warna dan perekat.
2.6 Pengaruh Hormon Triiodotironin terhadap Pertumbuhan
Menurut Herviani et al. (2003), panjang total ikan gurame yang dipelihara
selama delapan minggu telah direndam dalam larutan hormon triiodotironin
dosis 0,01 ppm sebesar 4,0 mm, dosis 0,1 ppm sebesar 33,9 mm dan dosis 1 ppm
sebesar 24,7 mm. Bobot rata-rata ikan gurame dosis 0,01 ppm sebesar 639,6 mg,
dosis 0,1 ppm sebesar 601,3 mg dan dosis 1 ppm sebesar 257,3 mg.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dosis hormon 0,01 ppm
memberikan pengaruh terhadap panjang total dan berat basah lebih besar
daripada kontrol. Hormon triiodotironin dapat merangsang pertumbuhan dan
mengurangi risiko kematian pada ikan. Sedangkan pada ikan traut coklat (Salmo
trutta) triiodotironin mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan
tetraiodotironin di dalam merangsang pertumbuhan tulang (Promono, 2001).
Menurut Pudji dan Zairin (2002), penelitian dengan menggunakan
hormone triiodotironin yang dicobakan pada benih ikan betutu (Oxyeleotris
marmorata) yaitu 0,001; 0,01; 0,1; dan 1 ppm memberikan hasil pertumbuhan
tertinggi pada dosis 0,1 ppm. Memberikan pertumbuhan bobot mutlak selama 28
hari pemeliharaan sebesar 2,29 gram/individu. Menurut Degani dan Levanon
(2015), pemberiaan hormone triiodotironin pada ikan sidat (Anguilla japonica)
fase fingerling dalam pakan 2 kali sehari selama 84 hari memberikan
penambahan bobot mutlak sebesar 12 gram/individu.
22
3. METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
3.1.1 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan untuk penelitian tentang pertumbuhan ikan
sidat (Anguilla bicolor) pada fase elver dengan perendaman larutan triiodotironin
pada dosis yang berbeda adalah sebagai berikut:
Akuarium (30x20x30) cm volume 27 liter (15 buah)
Blower (1 buah)
Heater akuarium (5 buah)
T-aerasi (15 buah)
Batu aerasi (15 buah)
Selang plastik (7 meter)
Shelter pipa paralon (2 meter)
Akuarium penampungan/ aklimatisasi (1 buah)
Kantung plastik 10 liter (15 buah)
Baskom plastik (15 buah)
Karet gelang (45 buah)
Seser (1 buah)
Serbet (1 buah)
Nampan (2 buah)
Pisau (1 buah)
Toples plastik 30 liter (12 buah)
Toples plastic 2 liter (1 buah)
Penggaris (1 buah)
Timbangan digital (1 buah)
23
DO meter (1 buah)
pH meter (1 buah)
Salinometer (1 buah)
Mortar dan Alu (1 buah)
Botol Film (4 buah)
Kabel roll
Box Sterofoam (3 buah)
Spatula (3 buah)
Sentrifuge dingin 8°C (1 buah)
Erlenmeyer/ Beakerglass 50 ml (12 buah)
3.1.2 Bahan Penelitian
Elver ikan sidat (Anguilla bicolor) yang digunakan akan diperoleh dari PT.
Banyu Laju Semesta, Bogor yang kemudian akan dibawa ke lokasi penelitian.
Jumlah elver yang dibutuhkan 250 ekor dengan ukuran berat 5—6 gram.
Menurut Degani et al. (1985), bobot tubuh diatas 3 gram merupakan bobot
dengan laju pertumbuhan yang cepat ketika diberikan pakan buatan ataupun
campuran. Sebelum proses pemeliharaan akan dilakukan proses aklimatisasi
selama 3 hari dengan perbandingan air dari daerah asal dan air laboratorium
reproduksi 1:1 selama 3 hari. Sebelumnya elver yang akan dimasukkan ke kolam
pemeliharaan, akan diapungkan terlebih dahulu selama 1—2 jam dalam kantung
plastik. Larutan hormon Triiodotironin (Liothyroic T3) dalam bentuk padat
sebanyak 5 mg diperoleh dengan cara menghaluskan sebelumnya dengan
mortar dan alu Kemudian setiap dosis dimasukkan masing-masing ke dalam
botol film. Lalu hormon dilarutkan dengan menggunakan dimetilsulfoksida
(DMSO) dengan perbandingan 20mg T3/ml DMSO (Pramono, 2001). Adapun
bahan lain yang diperlukan adalah sebagai berikut:
24
Air tawar
Pakan Pasta (3 kg)
Oksigen (1 tabung)
Kertas label (1 pack)
Spuit 1 cc (14 buah)
Akuades (3 liter)
DMSO (2 ml)
Tissue
Kertas saring
Plastik bening (1 pack)
Pipet tetes (4 buah)
Benang kasur (1 gulung)
Testkit Nitrit (2 kotak)
Testkit Amoniak (2 kotak)
PBS (12 ml)
Apendorf tube 1,5 ml (12 buah)
Vacutainer (12 buah)
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara berfikir, berbuat yang dipersiapkan dengan
baik-baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk mencapai suatu tujuan
penelitian. Metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat dan
desain penelitian yang digunakan. Metode penelitian yang akan dilaksanakan
adalah metode eksperimental. Metode ini bersifat menguji pengaruh satu atau
lebih variabel terhadap variabel lain. Variabel yang mempengaruhi
dikelompokkan sebagai variable bebas dan variabel yang dipengaruhi
dikelompokkan sebagai variabel terikat (Hamdi dan Bahruddin, 2014).
25
Metode eksperimental adalah suatu metode penelitian dimana seseorang
akan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajarinya. Proses ini
termasuk mengamati suatu objek, keadaan atau suatu proses. Hasil dari
perlakuan percobaan akan dibandingkan dengan data kontrol, untuk mengetahui
apakah penelitian tersebut memiliki hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (Gulo, 2000).
3.3 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalan rancangan percobaan
Rancangan Acak Lengkap. Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan untuk
percobaan yang mempunyai media atau tempat percobaan yang seragam atau
homogen, sehingga RAL banyak digunakan untuk percobaan laboratorium,
rumah kaca, dan peternakan. Karena media homogen, maka media atau tempat
percobaan tidak memberikan pengaruh pada respon yang diamati. Rancangan
yang dipakai terdiri dari 3 perlakuan dosis hormon (0,5 ppm, 1 ppm, dan 1,5 ppm)
ditambah kontrol dan masing-masing dilakukan 3 kali ulangan. Dimana dosis
yang digunakan berasal dengan merujuk penelitian Sakdiah et al. (2003) dan
Herviani et al. (2003) yang menggunakan hormon triiodotironin pada ikan gurami
(Osphronemus gouramy) dengan dosis 0,001; 0,01; 0,1 dan 1 ppm dimana dosis
terbaik diperoleh pada dosis 0,1 dan 1 ppm. Maka dosis tersebut diuji cobakan
terlebih dahulu pada elver sidat dalam Penelitian Pendahuluan selama 28 hari
dan didapatkan hasil terbaik pada dosis 0,1 dan 1 ppm, namun nilai yang
dihasilkan dari setiap dosis memiliki nilai yang tidak berbeda nyata sehingga
menghasilkan titik determinasi pada kurva yang berdekatan. Maka dari itu
diujikan pada penelitian inti dengan menggunakan dosis yang memiliki rentang
lebih jauh agar dapat dianalisis dan dilihat perbedaannya. Dapat dilihat tabel
rancangan penelitian sebagai berikut.
26
Tabel 5. Tabel Rancangan penelitian
Perlakuan Dosis Ulangan
1 2 3
0,5 ppm (A) A1 C3 B2
1 ppm (B) C2 A3 B1
1,5 ppm (C) B3 C1 A2
Gambar 9. Denah Penelitian
Gambar 10. Susunan akuarium sesuai denah penelitian
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Persiapan Wadah dan Peralatan
Wadah penelitian yang digunakan adalah 12 buah akuarium berukuran
(30x 20 x 30) cm volume 27 liter. Akuarium ini dibersihkan terlebih dahulu
dengan dicuci dengan sabun dan dikeringkan dibawah sinar matahari. Kemudian
C3 B2 A1
B1 A3
C1 A2
C2
B3
27
masing-masing akuarium akan dilapisi dengan trashbag atau kantong plastik
hitam di keempat sisi akuarium. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat stress
dari sinar matahari, lampu, dan pergerakan manusia. Selanjutnya disusun pada
rak besi 2 tingkat, ditiap tingkatnya terdapat 6 buat akuarium. Lalu diberi label
sesuai dengan denah rancangan percobaan. Langkah selanjutnya adalah
pengisian air sebanyak 15 liter pada masing-masiang akuarium. Air ini
sebelumnya telah diendapkan sehari pada akuarium penampungan air.
Kemudian dilakukan pemasangan pipa paralon 1,5 inchi pada bagian atas rak
untuk aliran oksigen dari blower ke tiap akuarium. Pada badan pipa dibuat 12
lubang dengan menggunakan solder untuk tempat T-aerasi. Lalu dipasang
selang aerasi yang panjang nya disesuaikan untuk mencapai ke masing-masing
akuarium. Kemudian dipasang batu aerasi dan blower dihidupkan. Dilakukan
aerasi selama 24 jam sebelum sidat yang telah mengalami proses perendaman
hormone dimasukkan. Lalu masukkan 2 pipa paralon ukuran 3 inchi sepanjang
10 cm yang digunakan sebagai shelter atau tempat persembunyian sidat pada
masing-masing akuarium. Langkah terakhir adalah menutup sekeliling bagian rak
dengan kantong plastik hitam.
3.4.2 Pemeliharaan Awal Elver Sidat
Sebelum proses pemeliharaan akan dilakukan proses aklimatisasi selama
3 hari. Pada proses awal ini, sidat akan dipelihara pada akuarium penampungan
awal dengan ukuran (150x40x60) cm. Akuarium ini sebelumnya dicuci terlebih
dahulu dengan sabun, dibilas hingga bersih dan dikeringkan dibawah sinar
matahari. Selanjutnya dilakukan pengisian air sebanyak 60 liter dan dipasang 3
buah aerator dengan total 6 selang aerasi. Lalu diberi Elbayou 5—10 gram untuk
mencegah adanya jamur atau bakteri pada akuarium pemeliharaan awal. Setelah
itu didiamkan selama 24 jam. Kemudian elver yang masih berada dalam kantung
plastik pertama-tama akan diapungkan selama 2 jam kemudian kantung dibuka
28
dan elver dibiarkan keluar perlahan. Perbandingan air pada wadah
penampungan 1:1 dengan air daerah asal dan laboratorium reproduksi. Setelah
itu elver dipuasakan selama 2 hari untuk mengadaptasikan elver yang masih
stress dari perjalanan dan belum mau makan. Setelah nafsu makannya
meningkat dan mortalitasnya stabil barulah elver dapat dilakukan treatment
perendaman hormon. Elver yang telah diaklimatisasi akan dilakukan perendaman.
3.4.3 Perendaman Elver dalam Larutan Hormon Triiodotironin
Elver yang akan dijadikan objek penelitian terlebih dahulu akan dilakukan
sampling awal untuk melihat morfologi elver yang sehat dan tidak cacat.
Kemudian akan diambil 180 ekor elver dan dilakukan penimbangan dan
pengukuran panjang tubuh awal. Sebelum direndam elver akan dipuasakan
terlebih dahulu selama 1 hari untuk menghindari adanya feses pada saat
perendaman. Perendaman dilakukan dengan menggunakan 12 kantung plastik
panen ukuran 10 liter yang diisi air 1 liter dan diberikan larutan hormon sesuai
dosis dan ulangan yang ditentukan. Perlakuan dosis hormon yang diberikan
adalah 0,5 ppm, 1 ppm dan 1,5 ppm. Dosis ini awalnya mengacu pada penelitian
Herviani et al. (2003) yang menggunakan dosis (0; 0,1; 0,01; 0,001 dan 1) ppm.
Namun setelah melakukan penelitian pendahuluan dosis ini memberikan
pengaruh yang tidak berbeda nyata dan memberikan rentang hasil pertumbuhan
yang tidak berbada jauh. Maka dari itu penggunaan dosis 0,5 ppm, 1 ppm dan 1,5
ppm diharapkan dapat memberikan pengaruh dan nilai optimal terhadap
pertumbuhan elver sidat. Lalu kantung plasik digoyangkan untuk
menghomogenkan hormon. Setelah itu dimasukkan 15 ekor elver pada masing-
masing kantung. Pada kantung plastik ini diberi tekanan oksigen terlarut
berbanding volume air yaitu 5:1 dengan konsentrasi oksigen terlarut maksimal 7
ppm. Selanjutnya kantung plastik diikat dengan karet gelang dan diletakkan dalam
box sterofoam secara horisontal dan didiamkan selama 8 jam. Dicatat jam
29
dimulainya perendaman yaitu jam 12.30 WIB. Waktu ini adalah waktu yang
diperlukan untuk hormon triiodotironin dapat diabsorsi ke dalam tubuh sidat.
Setiap 2 jam sekali kantung ini akan digoyangkan untuk mencegah
mengendapan hormon pada dasar kantung plastik. Setelah 8 jam yaitu pukul
20.30 WIB, elver dari masing-masing kantung akan dipindahkan ke wadah
akuarium untuk dipelihara selama 42 hari. Elver diambil dari masing-masing
kantung dengan seser dan 15 ekor dipindahakan ke dalam akuarium sesuai
dengan label denah penelitian pastikan larutan hormon tidak terbawa agar air
dalam akuarium tidak keruh. Skema perendaman elver selama 8 jam dapat
dilihat pada gambar 10 sebagai berikut.
Gambar 11. Skema Perendaman Elver selama 8 Jam
Gambar 12. Proses perendaman elver pada larutan hormone T3
1 ppm
1,5 ppm
15 ekor 1 liter air 1 mg T3
15 ekor 1 liter air 1,5 mg T3
0,5 ppm
15 ekor 1 liter air 0,5 mg T3
30
3.5 Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dengan penimbangan berat awal (W0)
dan pengukuran panjang awal (L0). Elver yang telah direndam dengan hormon
triiodotironin (T3) selanjutnya dipindahkan ke masing-masing akuarium
pemeliharaan dengan seser. Jenis pakan yang diberikan adalah pasta yang
dicampurkan air dan dibentuk bulat. Diberikan 2 kali sehari yaitu jam 08.00, dan
16.00 dengan ransum pakan 3.5% bobot tubuh (Degani et al., 1984). Menurut
Redaksi Agromedia (2012), pakan diberikan dengan frekuensi 3—4 kali sehari
sebanyak 3% dari total bobot ikan.
Kualitas air selama pemeliharaan akan dipertahankan pada suhu 24—
28°C, DO >4 ppm, dan pH 6,5—7,5. Dilakukan pengukuran kualitas air (suhu,
DO pH) setiap pagi pukul 04:00 dan siang hari pukul 14:00 serta konsentrasi nitrit
dan amoniak dengan testkit setiap seminggu sekali. Dilakukan penyifonan setiap
hari dengan pergantian air 50—80% dari total volume awal. Pengukuran panjang
dan bobot mingguan dilakukan dua minggu sekali dengan sampel sebanyak 7
ekor. Pengukuran panjang dan bobot mutlak dilakukan pada awal hari
pemeliharaan dan setelah 42 hari pemeliharaan. Pengujian ELISA dilakukan
setelah 4 hari pemeliharaan.
3.6 Parameter Uji
3.6.1 Parameter Utama
A. Bobot Tubuh
Pengukuran parameter utama bobot tubuh meliputi pertumbuhan rata-rata
harian, laju pertumbuhan harian, pertumbuhan mutlak dan mingguan.
Pengambilan sampel untuk pengukuran dilakukan dalam dua minngu sekali.
Dalam sekali pengukuran, diambil 7 sampel untuk mewakili 15 individu yang ada
dalam satu populasi akuarium. Sehari sebelum pengambilan sampel biasanya
31
sidat akan dipuasakan terlebih dahulu agar pada saat pengukuran sidat tidak
mengeluarkan feses dan lendir yang terlalu banyak. Langkah awal yang
dilakukan adalah menyiapkan alat dan bahan yang meliputi 12 toples plastik
ukuran 30 liter sebagai wadah pengukuran bobot, 12 aerator untuk suplai
oksigen selama proses sampling, seser untuk mempermudah proses
pengambilan elver, toples plastik 2 liter sebagai wadah penimbangan, timbangan
digital ketelitian 10-2 untuk mengukur bobot tubuh elver. Selanjutnya persiapkan
12 toples 30 liter yang telah dicuci bersih kemudian masing-masing toples diisi air
sebanyak 3 liter dan diberi aerasi. Kemudian diambil seluruh sidat yang berada di
akurium dengan seser dan dipindahkan ke dalam toples. Siapkan timbangan
digital dengan ketelitian 10-2 yang akan dijadikan instrumen penimbangan.
Colokkan kabel ke stopkontak dan tekan tombol On, letakkan toples plastic
ukuran 2 liter sebgai wadah penimbangan. Pastikan wadah penimbangan ini
selalu kering untuk penimbangan. Lalu tekan tombol zero agar berat toples tidak
terukur. Selanjutnya sidat dari toples dipindahkan dengan seser, usahan tidak
ada atau minimalisir air yang terbawa dalam penimbangan dengan bantuan lap
basah atau tisue. Setelah semua individu sidat masuk ke dalam toples, catat
hasil yang terukur dan masukkan data ke dalam form pengukuran. Sidat yang
telah selesai diukur lalu dikembalikkan kedalam masing-masing akuarium.
Biasanya, setelah dilakukan penimbangan sidat akan mengalami sedikit stress
dengan tanda mengeluarkan lendir yang cukup banyak. Nafsu makannya juga
menjadi berkurang, maka dari itu sidat yang telah diukur biasanya akan
dipuasakan selama 8 jam.
- Pertumbuhan Rata-rata Bobot Harian
PRH = Wt−W0
t
Keterangan: PRH = Pertumbuhan Rata-rata Harian bobot individu (g/ hari)
32
Wt = Bobot akhir (g)
W0 = Bobot awal (g)
t = Periode pemeliharaan (hari)
- Laju Pertumbuhan Bobot Harian Spesifik
α = ln(Wt)− ln (W0)
t x 100%
Keterangan: α = Laju pertumbuhan harian bobot individu (%/ hari)
Wt = Bobot akhir (g)
W0 = Bobot awal (g)
t = Periode pemeliharaan (hari)
- Pertumbuhan Bobot Mutlak
PBM = Wt – W0
Keterangan: PM = Pertumbuhan bobot mutlak (g)
Wt = Bobot rata- rata pada akhir pemeliharaan (g)
W0 = Bobot rata-rata pada awal pemeliharaan (g)
- Pertumbuhan Bobot Mingguan
PM = Wt – W0
Keterangan: PM = Pertumbuhan bobot mingguan (g/ minggu)
Wt = Bobot rata- rata pada akhir mingguan (g)
W0 = Bobot rata-rata pada awal mingguan (g)
Gambar 13. Proses pengukuran bobot tubuh
33
B. Panjang Tubuh
Pengukuran parameter utama panjang tubuh meliputi pertumbuhan rata-
rata harian, laju pertumbuhan harian, pertumbuhan mutlak dan mingguan.
Pengambilan sampel untuk pengukuran dilakukan dalam dua minngu sekali.
Dalam sekali pengukuran, diambil 7 sampel untuk mewakili 15 individu yang ada
dalam satu populasi akuarium. Sehari sebelum pengambilan sampel biasanya
sidat akan dipuasakan terlebih dahulu agar pada saat pengukuran sidat tidak
mengeluarkan feses dan lendir yang terlalu banyak. Langkah awal yang
dilakukan adalah menyiapkan alat dan bahan yang meliputi nampan sebagai alas
pengukuran, benang kasur untuk mempermudah melakukan pengukuran
panjang tubuh dan girth, penggaris sebagai instrumen pengukuran panjang,
toples 30 liter sebagai wadah sidat saat pengukuran serta tisue untuk
mempermudah handling saat pengambilan sampel. Selanjutnya persiapkan 12
toples 30 liter yang telah dicuci bersih kemudian masing-masing toples diisi air
sebanyak 3 liter dan diberi aerasi. Lalu ambil 7 sampel sidat dari masing-masing
akuarium dengan seser dan letakkan dalam toples. Sidat diambil satu per satu
dan diletakkan dalam nampan, pastikan nampan kering dan gunakan tisue untuk
mengurangi pergerakan sidat selama pengukuran. Selanjutnya sidat diukur
dengan menggunakan benang kasur mengikuti panjang tubuhnya dimulai dari
ujung kepala sampai dengan ujung ekor. Kemudian dicocokkan dengan
penggaris untuk mengetahui panjang tubuh sidat dalam satuan cm. Setelah itu
dimasukkan data dalam form pengukuran. Sidat yang telah selesai diukur lalu
dikembalikkan kedalam masing-masing akuarium. Biasanya, setelah dilakukan
pengukuran sidat akan mengalami sedikit stress dengan tanda mengeluarkan
lendir yang cukup banyak. Nafsu makannya juga menjadi berkurang, maka dari
itu sidat yang telah diukur biasanya akan dipuasakan selama 8 jam. Perhitungan
parameter pertumbuhan panjang dapat dilihat pada rumus-rumus berikut.
34
- Pertumbuhan Rata-rata Panjang Harian
PRH = Lt−L0
t
Keterangan: PRH =Pertumbuhan Rata-rata Harian panjang individu (cm/hari)
Lt = Panjang akhir (cm)
L0 = Panjang awal (cm)
t = Periode pemeliharaan (hari)
- Laju Pertumbuhan Panjang Harian Spesifik
α = ln(Lt)− ln (L0)
t x 100%
Keterangan: α = Laju pertumbuhan harian panjang individu (%/ hari)
Lt = Panjang rata-rata pada akhir pemeliharaan (cm)
L0 = Panjang rata-rata pada awal pemeliharaan (cm)
t = Periode pemeliharaan (hari)
- Pertumbuhan Panjang Mutlak
PLM = Lt – L0
Keterangan: PM = Pertumbuhan panjang mutlak (cm)
Lt = Panjang rata-rata pada akhir pemeliharaan (cm)
L0 = Panjang rata-rata pada awal pemeliharaan (cm)
- Pertumbuhan Panjang Mingguan
PM = Lt – L0
Keterangan: PM = Pertumbuhan panjang mingguan (cm/ minggu)
Lt = Panjang rata-rata pada akhir pemeliharaan (cm)
L0 = Panjang rata-rata pada awal pemeliharaan (cm)
Gambar 14. Proses pengukuran panjang tubuh dan girth
35
C. Kelangsungan Hidup
Pengamatan kelangsungan hidup dilakukan dengan cara menghitung
jumlah individu diawal pemeliharaan dan diakhir pemeliharaan (hari ke-42)
kemudian menghitung persentase kelangsungan hidup dengan rumus sebagai
berikut
SR = Nt
N0 x 100%
Keterangan: SR = Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Nt = Jumlah elver akhir penelitian (ekor)
N0 = Jumlah elver awal penelitian (ekor)
D. ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay)
Pengujian ELISA dilakukan pada hari keempat pemeliharaan dengan
tujuan untuk mengetahui waktu urai, dengan arti empat hari setelah perendaman
hormone tersebut telah terurai atau masih terdapat di dalam tubuh. Keberadaan
hormone didalam tubuh ini juga dapat dijadikan acuan bahwa nantinya laju
pertumbuhan elver disebabkan nyata karena perendaman dalam larutan
hormone triiodotironin (T3). Dalam pengujian ELISA dilakukan 2 tahap utama
yaitu isolasi protein yang dilakukan di Laboratorium Budidaya Perairan divisi
Reproduksi Ikan dan uji ELISA yang dilakukan di Rumah Sakit Saiful Anwar
Malang. Pertama-tama siapkan alat dan bahan untuk isolasi protein berupa
nampan, tisue, sectio set, pisau, mortar alu, spatula, apendorf tube 1,5 ml, rak
apendorf tube, spuit, PBS, vacutainer, dan alat sentrifuge dingin.
Dalam tahap isolasi protein langkah awal yang harus dilakukan adalah
mengambil sidat dari masing-masing unit percobaan lalu diletakkan di dalam
kantung plastic bening. Kemudian satu per satu sidat dibedah dengan section set
untuk diambil dagingnya. Cara nya adalah dengan memotong bagian kepalanya
terlebih dahulu, kemudian dibedah secara vertikal mulai dari lubang urogenital
36
kearah kepala. Setelah itu hilangkan bagian kulit terlebih dahulu dan ambil
bagian dagingnya saja. Pastikan bagian tulangnya tidak ikut terbawa. Lalu
haluskan daging pada mortar alu sampai benar-benar lunak dan ambil 0,75 gram
daging yang telah dihaluskan. Letakkan pada apendorf tube ukuran 1,5 ml
dengan bantuan spatula lalu tambahkan PBS sebanyak 1 ml dengan spuit.
Selanjutnya beri label dan letakkan pada rak apendorf tube. Kemudian tahap
selanjutnya adalah disentrifuge untuk mengambil cairan supernatan nya.
Gambar 15. Proses Isolasi protein untuk uji ELISA
Tahap untuk pengoperasian sentrifuge dingin sebagai berikut:
Dipasang kabel pada stopkontak dan tekan tombol ON-OFF
Diatur suhu pada rentang 5—8°C
Ditekan tanda bintang untuk cooling start sampai lampu nyala dan
berkedip, tekan start untuk memulai
Ditunggu sampai suhu mencapai sesuai yang diinginkan, tekan stop
Dibuka sentrifuge dan masukkan sampel dengan posisi yang seimbang,
tutup kembali sentrifuge dengan benar.
Diatur kecepatan 3000 rpm dan atur waktu 10 menit, tekan start
37
Ditunggu proses sentrifuge berjalan, tekan stop saat proses sentrifuge
sudah selesai
Dibuka tutup dan ambil sempel, letakkan kembali pada rak apendorf tube
Ditutup kembali tekan ON-OFF dan cabut stop kontak.
Sampel yang telah diambil dari sentrifuge, dibuka dan diambil satu per satu
supernatannya dengan spuit kemudian dimasukkan dalam vacutainer kuning
yang telah berisi reagent. Setelah proses ini vacutainer akan dimasukkan pada
kotak sterofoam dengan es kering untuk di uji ke Rumah Sakit Saiful Anwar
Malang.
Selanjutnya dilakukan pengujian konsentrasi hormon triiodotironin.
Secara keseluruhan proses ini berlangsung selama 18 menit. Pada tahap
inkubasi pertama sebanyak 30 µLsampel dan antibodi spesifik T3 yang berlabel
rutenium kompleks. T3 terikat dilepaskan dari protein pengikat pada sampel
dengan inkubasi ANS. Kemudian dilakukan inkubasi kedua, setelah penambahan
T3 biotinilasi berlapis streptavidin, mikropartikel dan situs pengikat bebas yang
bebas dari antibodi menjadi terisi, dengan pembentukan kompleks antibodi-
hapten. Seluruh kompleks menjadi terikat pada fase padat melalui interaksi
biotin dan streptavidin. Campuran reksi tersebut kemudian disedot ke dalam sel
pengukur dimana mikropartikel ditangkap secara magnetis ke permukaan
elektroda. Zat-zat yang tidak terikat kemudian dilepaskan dengan
ProCeWProCell M. Penggunaan voltase ke elektroda akan menginduksi emisi
chemiluminescent yang diukur dengan hasil photomultiplier ditententukan melalui
kurve kalibrasi yang merukan instrumen khusus, yang dihasilkan dengan
kalibrasi 2 titik dan kurva master yang dibaca melalui kode batang reagen.
Kemudian dilihat konsentrasi T3.
38
Hal ini serupa dengan hal yang dilakukan oleh Rachmawati dan Susilo
(2011), ketika melakukan metode ELISA dengan pengambilan sampel darah.
ikan diukur bobot dan panjangnya kemudian diambil darahnya melalui pembuluh
darah kaudal menggunakan spuit berukuran 1 ml. Darah yang diperoleh
dimasukkan ke dalam tabung ependorf. Setelah itu disentrifugasi selama 15
menit dengan kecepatan 3500 rpm untuk mendapatkan serum. Serum darah
yang dihasilkan dimasukkan ke dalam tabung ependorf dan disimpan pada suhu
–20°C dan digunakan untuk analisis kadar hormon steroid dengan metode ELISA.
Dilakukan pengujian Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA)
dengan panjang gelombang 405 nm setelah 4 hari perendaman hormon. Uji
ELISA merupakan salah satu metode yang sederhana, mudah dilakukan,
sensitive, akuran, dan dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah
banyak. Cara kerja uji ELISA didasarkan pada konjugasi antara virus, antibodi,
dan enzim dengan menambahkan substrat pewarna (Pitojo, 2004). Di akhir masa
pemeliharaan, sampel elver akan dilakukan pengujian ada atau tidaknya hormon
triiodotironin pada daging, yang menandakan bahwa penambahan pertumbuhan
baik panjang mauput berat merupakan pengaruh dari perendaman hormon
triiodotironin. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan 3,0 gram
daging yang dihomogenkan dengan 9 ml larutan serum bovine albumin dengan
Potter-Elvehjem-Homogenised 1200 rpm selama 30 detik (Kralik et al., 1996).
3.6.2 Parameter Penunjang
Pengukuran parameter kualitas air merupakan salah satu hal penting
yang menunjang kehidupan sidat. Untuk mengontrol parameter kualitas air
secara optimal, maka dilakukanlah pengujian kualitas air secara berkala.
Pengukuran ini termasuk parameter fisik berupa suhu perairan dan parameter
kimia berupa DO, pH, nitrit dan amonium.
39
A. Suhu
Pengukuran suhu pada akuarium dilakukan dengan menggunakan DO
meter yang juga menampilkan indikator suhu. Waktu pengukurannya dilakukan
pada jam 04.00 WIB dan 14.00 WIB. Caranya adalah buka tutup DO meter
kemedian celupkan ujung DO meter ke air sedalam 3 cm kemudian tunggu
sampai terlihat hasil pengukuran suhu pada layar. Catat hasilnya pada form.
Gambar 16. Proses pengukuran suhu
B. Oksigen terlarut (DO)
Pengukuran DO pada akuarium dilakukan dengan menggunakan DO
meter. Waktu pengukurannya dilakukan pada jam 04.00 WIB dan 14.00 WIB.
Caranya adalah buka tutup DO meter kemedian celupkan ujung DO meter ke air
sedalam 3 cm kemudian tunggu selama 1—2 menit sampai terlihat hasil
pengukuran DO pada layar. Catat hasilnya pada form pengukuran.
Gambar 17. Proses pengukuran DO
40
C. Derajat keasaman (pH)
Pengukuran pH pada akuarium dilakukan dengan menggunakan pH
meter. Waktu pengukurannya dilakukan pada jam 04.00 WIB dan 14.00 WIB.
Caranya adalah dengan mengkalibrasi terlebih dahulu ujung pH meter dalam
akuades kemudian celupkan ke dalam perairan sekitar 3 cm. Lalu tunggu sampai
nilai pH tampak pada layar. Catat hasilnya pada form pengukuran.
Gambar 18. Proses pengukuran pH
D. Nitrit
Pengukuran nitrit pada akuarium dilakukan dengan menggunakan teskit
nitrit. Waktu pengukurannya dilakukan sepuluh hari sekali. Caranya adalah
dengan menyiapkan 12 wadah ukur berupa beakerglass atau erlenmeyer ukuran
50 ml yang sudah diberi label satu per satu. Kemudian ambil air dari akuarium
sebanyak 5 ml dan letakkan pada gelas ukur. Setelah itu tambahkan nitrit
indikator nomer 1 sebanyak 5 tetes dan homogenkan. Lalu tambahkan kembali
nitrit indikator nomer 2 sebanyak 5 tetes dan homegenkan.
Gambar 19. Proses pengukuran nitrit
41
Tunggu selama 5 menit dan air akan mengalami perubahan warna.
Cocokkan warna air pada kertas indikator dan catat hasil pengukurannya pada
form pengukuran.
E. Amonium
Pengukuran amonium pada akuarium dilakukan dengan menggunakan
teskit amonium. Waktu pengukurannya dilakukan sepuluh hari sekali. Caranya
adalah dengan menyiapkan 12 wadah ukur berupa beakerglass atau erlenmeyer
ukuran 50 ml yang sudah diberi label satu per satu. Kemudian ambil air dari
akuarium sebanyak 10 ml dan letakkan pada gelas ukur. Setelah itu tambahkan
amonium indikator nomer 1 sebanyak 6 tetes dan homogenkan. Lalu tambahkan
kembali amonium indikator nomer 2 sebanyak 6 tetes dan homegenkan.
Kemudian tambahkan kembali amonium indikator nomer 3 sebanyak 6 tetes.
Tunggu selama 5 menit dan air akan mengalami perubahan warna. Cocokkan
warna air pada kertas indikator dan catat hasil pengukurannya pada form
pengukuran.
Gambar 20. Proses pengukuran ammonium
3.7 Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa secara statistik dengan
menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) sesuai dengan rancangan
percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap. Apabila dari data sidik
ragam diketahui bahwa perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
42
(significant) atau berbeda sangat nyata (highly significant), maka untuk
membandingkan nilai antar perlakuan dilanjutkan dengan uji BNT (beda nyata
terkecil) dan regresi.
43
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pertumbuhan Rata-Rata Harian
Pertumbuhan bobot rata-rata harian adalah pertambahan berat setiap
individu yang merupakan selisih bobot akhir dan bobot awal selama waktu
pemeliharaan. Menurut Harianto (2014), pertumbuhan biomassa merupakan
selisih atara biomassa akhir dengan biomassa awal terhadap waktu
pemeliharaan. Dari hasil pemeliharaan elver sidat selama 42 hari dengan
perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis yang
berbeda, diperoleh data pertumbuhan bobot harian pada Tabel 6 Lampiran 7.
Tabel 6. Pertumbuhan bobot rata-rata harian (gram/hari)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 0.16999 0.27638 0.23301 0.67938 0.22646 0.10119 0.06782
0.01353 0.00270 B (1 ppm) 0.08887 0.12850 0.08621 0.30359
C (1.5 ppm) 0.06623 0.07995 0.05729 0.20348 0.00118
Total 1.18646
Hasil perhitungan pertumbuhan bobot rata-rata harian pada elver sidat
pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) diperoleh hasil
pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis hormon T3 0,5ppm yaitu
sebesar 0,22646 gram/ hari, sedangkan pertumbuhan terendah pada perlakuan
C dengan dosis hormon T3 1,5ppm yaitu sebesar 0,06782 gram/hari.
Tabel 7. Analisa Keragaman pertumbuhan bobot rata-rata harian
Sumber
Keragaman Db JK KT
Uji F
F hitung
F Tabel
5%
F Tabel 10%
Perlakuan 2 0.041970 0.020985
17.717** 5.14 10.92 Galat 6 0.007107 0.001184
Tota 8 0.049076
Keterangan: * Berbeda Nyata
44
Berdasarkan dari analisa keragaman pertumbuhan bobot rata-rata harian
(Tabel 7) menunjukkan bahwa F hitung (17,7171) lebih besar dari F tabel 5% dan
1%, yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin (T3)
ternyata memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan
bobot rata-rat harian elver sidat (Anguilla bicolor).
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot rata-rata harian dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Uji BNT Pertumbuhan bobot rata-rata harian
Notasi C B A
Notasi 0.067829 0.101198 0.226463
C 0.067829 0.0000000 A
B 0.101198 0.033369ns 0.0000000 A
A 0.226463 0.158634** 0.125265** 0.000000 B
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Jika
dibandingkan hasil B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) tidak berbeda nyata, meskipun
perlakuan B (1 ppm) memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan C (1,5
ppm).
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji
polynomial orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 21.
Gambar 21. Grafik Pertumbuhan rata-rata bobot harian (gram/hari)
y = 0.290 - 0.158xR² = 0.769
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0 0.5 1 1.5 2
Pe
rtu
mb
uh
an b
ob
ot
rata
-ra
ta h
aria
n (
gram
/har
i)
Dosis Hormon Triiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
45
Berdasarkan pada Gambar 21, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
dengan dosis yang berbeda dengan pertumbuhan bobot rata-rata harian elver
sidat (Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 0,290 -0,158x
dengan koefisien determinasi R2= 0,769, artinya 77% pertumbuhan bobot rata-
rata harian elver sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormon triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan rata-rata
pertumbuhan bobot rata-rata sebesar 0,22 gram/individu, 0,10 gram/hari dan
0,06 gram/hari. Perlakuan perendaman dengan dosis hormon 0,5 ppm
memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 1
ppm atau 1,5 ppm. Semakin besar dosis yang diberikan justru akan menurunkan
nilai rata-rata bobot hariannya. Hal ini dapat dimungkinkan bahwa semakin
banyak dosis hormon yang diberikan maka akan semakin menaikkan
metabolisme elver, ketika metabolisme meningkat memungkinkan proses
katabolisme terhadap makanan lebih cepat sehingga makanan akan lebih cepat
tercerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses. Seperti yang telah dikemukakan
oleh Ganong (1983), bahwa hormon T4 atau T3 mempunyai efek kalorigenik
pada hampir semua jaringan metabolisme sehingga akan meningkatkan
kecepatan metabolisme tubuh. Dengan tingginya dosis hormon dalam tubuh
maka penggunaan oksigen akan semakin tinggi yang diikuti dengan
meningkatnya kecepatan metabolisme. Apabila ambilan pakan tidak dinaikkan,
maka protein dalam tubuh serta cadangan lemak akan dikatabolisme sehingga
bobot tubuh menjadi menurun (kurus).
Bila perlakuan A, B dan C dibandingkan dengan kontrol yang tidak
mendapatkan perlakuan perendaman hormon, hanya memberikan hasil rata-rata
46
pertumbuhan 0,03 gram/hari. Nilai biomassa ikan dipengaruhi oleh bobot rerata
ikan dan jumlah ikan yang hidup. Dapat diketahui bahwa perlakuan perendaman
hormon ini memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot rata-rata
elver sidat. Hal ini sesuai oleh pernyataan Lam dan Sharma (1984), bahwa
hormon tiroid dapat meningkatkan kelangsungan hidup, perkembangan dan
pertumbuhan pada beberapa spesies ikan. Pada penelitian yang dilakukan
Aminah (2012), dengan menggunakan perlakuan perendaman hormon rHP juga
menunjukkan hasil bahwa nilai bobot rerata tertinggi pada perlakuan (3 mg/l)
dibandingkan kontrol. Hasilnya mencapai 0,682 gram/ hari.
Namun bila dibandingkan dengan hasil penelitian Affandi et al. (2013),
dengan perlakuan padat penebaran yang berbeda selama 42 hari, elver dapat
mencapai 1,72 gram/ ekor. Hal ini dapat disebabkan kepadatan elver selama
penelitian rendah sehingga mempengaruhi nafsu makan ikan selama penelitian
yang mempengaruhi rata-rata bobot akhir selama penelitian. Sebagaimana
disebutkan oleh Affandi et al. (2013), kecenderungan tingginya bobot rata-rata
pada perlakuan kepadatan yang lebih tinggi, terkait dengan perilaku sosial ikan
sidat. Ikan sidat akan terpacu makan bilamana ikan lain melakukan aktivitas
mengonsumsi pakan.
Pertumbuhan panjang rata-rata harian adalah nilai pertambaahan
panjang setiap individu yang merupakan selisih panjang akhir dan panjang awal
selama waktu pemeliharaan. Nilai ini diperoleh dari sampling yang dilakukan per
dua minggu sebanyak lima kali kemudia di rata-ta dan dibagi waktu pemelihraan
yaitu 42 hari.
Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42 hari
dengan perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis
yang berbeda, diperoleh data pertumbuhan panjang rata-rata harian pada Tabel
9 Lampiran 8.
47
Tabel 9. Pertumbuhan panjang rata-rata harian (cm/hari)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 0.08666 0.094524 0.09119 0.27238 0.09079 0.00206
B (1 ppm) 0.05214 0.055952 0.05333 0.16142 0.05381 0.00072
C (1.5 ppm) 0.04119 0.045714 0.04619 0.13309 0.04436 0.00049
Total 0.566905
Hasil perhitungan pertumbuhan panjang rata-rata harian pada elver sidat
(Anguilla bicolor) pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3)
diperoleh hasil pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis hormon T3
0,5 ppm yaitu sebesar 0,09079 cm/ hari, sedangkan pertumbuhan terendah pada
perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu sebesar 0,04436 cm/hari.
Tabel 10. Analisa Keragaman pertumbuhan panjang rata-rata harian
Sumber Keragaman
db JK KT
Uji F
F hitung F Tabel
5% F Tabel
10%
Perlakuan 2 0.003612 0.0018063
200.960** 5.14 10.92 Galat 6 0.000053 0.0000089
Total 8 0.003666 Keterangan: * Berbeda Nyata
Berdasarkan dari analisa keragaman pertumbuhan panjang rata-rata
harian (Tabel 10) menunjukkan bahwa F hitung (200,9608) lebih besar dari F
tabel 5% dan 1%, yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon
triiodotironin (T3) ternyata memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
pertumbuhan panjang rata-rata harian elver sidat (Anguilla bicolor). Kemudian
dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan tujuan untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan yaitu untuk mencari perlakuan mana
yang terbaik.
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang rata-rata harian dapat dilihat
pada Tabel 11.
48
Tabel 11. Uji BNT Pertumbuhan panjang rata-rata harian
Notasi C B A
Notasi 0.044365 0.053810 0.090794
C 0.044365 0.000000 A
B 0.053810 0.009444** 0.000000 B
A 0.090794 0.046429** 0.036984** 0.000000 C
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Begitupun
jika dibandingkan kembali, perlakuan B (1 ppm) juga memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap perlakuan C (1,5 ppm). Dilihat dari nilainya perlakuan A
(0,5 ppm) memeberikan hasil terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji
polynomial orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 22.
Gambar 22. Grafik Pertumbuhan rata-rata panjang harian (cm/hari)
Berdasarkan pada Gambar 22, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
dengan dosis yang berbeda dengan pertumbuhan panjang rata-rata harian elver
sidat (Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 0,109 -0,046x
dengan koefisien determinasi R2= 0,881, artinya 88% pertumbuhan panjang rata-
rata harian elver sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
y = 0.109 -0.046xR² = 0.881
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0.09
0.1
0 0.5 1 1.5 2
Pe
rtu
mb
uh
an p
anja
ng
rata
-rat
a h
aria
n (
cm/h
ari)
Dosis Hormon Triiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
49
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormone triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan pertumbuhan
bobot rata-rata sebesar 0,090 cm/individu, 0,053 cm/hari dan 0,044 cm/hari.
Perlakuan perendaman dengan dosis hormon 0,5 ppm memberikan hasil
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 1 ppm atau 1,5 ppm. Hal
ini diduga karena semakin tinggi dosis hormon yang diberikan maka akan
semakin cepat pula laju katabolisme di dalam tubuh. Dalam kondisi ini,
pemberian pakan dengan komposisi protein yang tinggi sangat diperlukan karena
jika tidak yang disintesis di dalam tubuh adalah protein yang berasal dari tubuh
sendiri dan menyebabkan pertumbuhan menurun. Menurut Aminah (2015),
perilaku ikan yang agresif dan memiliki nafsu makan yang meningkat akan
menyebabkan banyaknya protein yang dikonversi menjadi energi, sehingga
sedikit protein yang digunakan untuk pertumbuhan. Penelitian Affandi et al.
(2013), tentang pakan pada budi daya sidat menunjukkan pakan buatan untuk
pemeliharaan elver sidat berkadar protein 45%. Sedangkan pada penelitian yang
telah dilakukan, berdasarkan uji proksimat pakan pasta hanya memiliki protein
28%. Hal inilah yang diduga menjadi faktor penurunan pertumbuhan elver sidat
karena protein pada pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh yang memiliki
laju metabolisme yang semakin meningkat akibat adanya pengaruh hormon.
Bila perlakuan A, B dan C dibandingkan dengan kontrol yang tidak
mendapatkan perlakuan perendaman hormon, hanya memberikan hasil rata-rata
pertumbuhan 0,036 cm/hari. Dapat diketahui bahwa perlakuan perendaman
hormon ini memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan panjang rata-rata
dibandingkan dengan kontrol. Menurut Anwar (2005), hormon mengatur
metabolisme semua kelas bahan kimia utama. Karbohidrat, lemak, protein dan
asam amino serta metabolisme asam nukleat diatur secara ketat salah satunya
50
oleh hormon tiroid. Interaksi ini dikoordinasi dalam suatu cara yang kompleks
untuk meberikan pengaturan halus dan responsivitas terhadap lingkungan seperti
stress dan kelaparan.
Hasil penelitian Rahmawati et al. (2014), menghasilkan nilai pertumbuhan
rata-rata harian panjang 0,010 cm/ hari. Hasil penelitian ini memiliki nilai yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sidat sebelumnya. Namun bila
dibandingkan dengan pertumbuhan ikan pada umumnya, nilai ini masih termasuk
rendah. Sebagaimana dikatakan oleh Rusmaedi et al. (2010), bahwa
pertumbuhan pada ikan sidat dalam pemeliharaan benih atau elver umumnya
sangat lambat, sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh pemeliharaan ikan
sidat mengalami pertumbuhan panjang dan berat harian, pertumbuhan tersebut
terjadi hanya dalam jumlah kecil, oleh karena itu dalam pemeliharaan ikan sidat
membutuhkan waktu lama untuk proses pembesaran. Selain itu menurut Yusup
et al. (2015), pertumbuhan benih ikan sidat pada umumnya terjadi perubahan
pada pertumbuhan berat kemudian pertumbuhan panjang, sebab ikan sidat
membutuhkan waktu yang lama untuk bertumbuh.
4.2 Laju Pertumbuhan Spesifik
Menurut Soemarjati et al. (2015), laju pertumbuhan spesifik adalah
peningkatan dalam satuan panjang atau bobot rata-rata per unit waktu
pemeliharaan. Nilai ini tergantung dari ukuran ikan pertama kali dipelihara.
Diperoleh nilai akhir berupa persentase. Dari hasil perhitungan nilai ini berupa
persentase selisih antara bobot akhir dan bobot awal selam waktu pemeliharaan.
Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42 hari
dengan perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis
yang berbeda, diperoleh data laju pertumbuhan rata-rata bobot harian pada
Tabel 12 Lampiran 9.
51
Tabel 12. Laju pertumbuhan rata-rata bobot harian (%)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 0.02121 0.02821 0.02543 0.0748 0.0249 0.00015
B (1 ppm) 0.01332 0.01765 0.01298 0.0439 0.0146 0.000055
C (1.5 ppm) 0.01035 0.01208 0.00911 0.0315 0.0105 0.000028
Total 0.15038
Hasil perhitungan laju pertumbuhan rata-rata bobot harian pada elver
sidat (Anguilla bicolor) pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin
(T3) diperoleh hasil pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis
hormon T3 0,5 ppm yaitu sebesar 0,0249 %, sedangkan pertumbuhan terendah
pada perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu sebesar 0,0105 %/hari.
Pada perlakuan B dengan dosis hormone T3 1 ppm yaitu sebesar 0,0146 %/hari.
Tabel 13. Analisa Keragaman laju pertumbuhan rata-rata bobot harian
Sumber Keragaman
Db JK KT
Uji F
F hitung
F Tabel
5%
F Tabel 10%
Perlakuan 2 0.00037447 0.0001658
23.211** 5.14 10.92 Galat 6 0.00004286 0.0000071
Total 8
Keterangan: * Berbeda Nyata
Berdasarkan dari analisa keragaman laju pertumbuhan rata-rata bobot
harian (Tabel 13) menunjukkan bahwa F hitung (23,2110) lebih besar dari F tabel
5% dan 1%, yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin
(T3) ternyata memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju
pertumbuhan rata-rata bobot harian elver sidat (Anguilla bicolor).
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan rata-rata bobot harian dapat dilihat
pada Tabel 14.
52
Tabel 14. Uji BNT Laju pertumbuhan rata-rata bobot harian
Notasi C B A Notasi
0.010519 0.014655 0.024955
C 0.010519 0.000000
A
B 0.014655 0.004136* 0.000000
B
A 0.024955 0.014436** 0.010300** 0.000000 C
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Jika
dibandingkan hasil B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) tidak berbeda nyata, meskipun
perlakuan B (1 ppm) memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan C (1,5 ppm).
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji
polynomial orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 23.
Gambar 23. Grafik Laju pertumbuhan rata-rata bobot harian (%)
Berdasarkan pada Gambar 23, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
dengan dosis yang berbeda dengan laju pertumbuhan rata-rata bobot harian
elver sidat (Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 0,031 -0,014x
dengan koefisien determinasi R2= 0,834, artinya 83% laju pertumbuhan rata-rata
bobot harian elver sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormone triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan laju
y = 0.031 -0.014xR² = 0.834
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0 0.5 1 1.5 2Laju
pe
rtu
mb
uh
an r
ata
-rat
a b
ob
ot
har
ian
(%
)
Dosis Hormon Triiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
53
pertumbuhan bobot rata-rata sebesar 2,5% per individu, 1,5% per individu dan
1,05% per individu. Perlakuan perendaman dengan dosis hormone 0,5 ppm
memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 1
ppm atau 1,5 ppm. Bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak mendapat
perlakuan perendaman hormon, hanya memberikan hasil laju pertumbuhan
bobot rata-rata 0,57% per individu. Menurut Matty (1985), pemberian hormon
tiroid melalui perendaman dapat meningkatkan pertumbuhan panjang dan bobot
asalkan dosis yang diberikan tidak terlalu besar.
Pada penelitian yang telah dilakukan, perlakuan perendaman hormone T3
dosis 0,5 ppm memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan dari dosis 1 ppm atau 1,5 ppm. Hal ini diduga diakibatkan oleh
rendahnya kandungan protein dalam pakan yang diberikan, yaitu hanya 28%.
Semakin tinggi dosis yang diberikan maka laju metabolisme dan kebutuhan akan
protein di dalam pakan juga akan semakin meningkat. Sedangkan pakan yang
diberikan tidak dapat mengimbangi kebutuhan tubuh. Akibatnya semakin tinggi
dosis yang diberikan, berakibat pada semakin menurun pula pertumbuhannya.
Menurut Cholifah et al. (2012), ikan sidat merupakan ikan karnivora yang apabila
diberi pakan buatan maka kadar protein pakannya harus tinggi (± 45%).
Penyediaan pakan yang tidak sesuai dengan jumlah ikan yang dipelihara dan
kualitas pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi, menyebabkan laju
pertumbuhan ikan menjadi lambat.
Pada penelitian Affandi et al. (2013), dengan perlakuan pemeliharaan
sidat pada padat tebar yang berbeda menghasilkan laju pertumbuhan elver
0,58—0,82%. Folquier et al .(1976), mendapatkan laju pertumbuhan spesifik
elver Eropa 0,22—1,04%. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini
menggunakan perlakuan perendaman hormon, maka laju pertumbuhan spesifik
yang telah didapatkan lebih besar. Seperti hasil penelitian Aminah (2012), nilai
54
SGR ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman rEIHP semakin rendah seiring
bertambah besarnya dosis yang diberikan. Nilai SGR ikan sidat yang diberi
perlakuan perendaman Reihp dengan dosis 3 mg/l sebesar 3,043%
dibandingkan dengan SGR kontrol sebesar 2,587%.
Laju pertumbuhan panjang harian adalah persentase selisih nilai panjang
akhir dan panjang awal selama masa pemeliharaan.
Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42 hari
dengan perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis
yang berbeda, diperoleh data laju pertumbuhan rata-rata panjang harian pada
Tabel 15 Lampiran 10.
Tabel 15. Laju pertumbuhan rata-rata panjang harian (%)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 0.51 0.55 0.54 1.60% 0.0053450 0.000007
B (1 ppm) 0.32 0.34 0.33 0.99% 0.0032983 0.000003
C (1.5 ppm) 0.26 0.29 0.29 0.83% 0.0027698 0.000002
Total 0.034239897
Hasil perhitungan laju pertumbuhan rata-rata panjang harian pada elver
sidat (Anguilla bicolor) pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin
(T3) diperoleh hasil pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis
hormon T3 0,5 ppm yaitu sebesar 0,0053450 %, sedangkan pertumbuhan
terendah pada perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu sebesar
0,0027698 %.
Tabel 16. Analisa Keragaman laju pertumbuhan rata-rata panjang harian
Sumber Keragaman
Db JK KT
Uji F
F hitung F
Tabel 5%
F Tabel 10%
Perlakuan 2 0.0000111 0.00000555
182.404** 5.14 10.92 Galat 6 0.0000001 0.00000003
Total 8 0.0000112 Keterangan: * Berbeda Nyata
55
Berdasarkan dari analisa keragaman laju pertumbuhan rata-rata panjang
harian (Tabel 16) menunjukkan bahwa F hitung (182,404) lebih besar dari F tabel
5% dan 1%, yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin
(T3) ternyata memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju
pertumbuhan rata-rata panjang harian elver sidat (Anguilla bicolor).
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan rata-rata panjang harian dapat
dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Uji BNT Laju pertumbuhan rata-rata panjang harian
Notasi C B A
Notasi 0.002770 0.003298 0.005345
C 0.002770 0.000000 A
B 0.003298 0.000529** 0.000000 B
A 0.005345 0.002575** 0.002047** 0.000000 C
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Begitupun
jika dibandingkan kembali, perlakuan B (1 ppm) juga memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap perlakuan C (1,5 ppm). Dilihat dari nilainya perlakuan A
(0,5 ppm) memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji
polynomial orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 24.
Gambar 24. Grafik Laju pertumbuhan rata-rata panjang harian (%)
y = 0.006 -0.002xR² = 0.881
0.00%
0.10%
0.20%
0.30%
0.40%
0.50%
0.60%
0 0.5 1 1.5 2Laju
pe
rtu
mb
uh
an r
ata
-rat
a p
anja
ng
har
ian
(%
)
Dosis Hormon Treiiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
56
Berdasarkan pada Gambar 24, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
dengan dosis yang berbeda dengan laju pertumbuhan rata-rata panjang harian
elver sidat (Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 0,006 -0,002x
dengan koefisien determinasi R2= 0,881, artinya 88% laju pertumbuhan rata-rata
panjang harian elver sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormone triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan laju
pertumbuhan panjang rata-rata sebesar 0,005 %, 0,003 % dan 0,002 %.
Perlakuan perendaman dengan dosis hormone 0,5 ppm memberikan hasil
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 1 ppm atau 1,5 ppm. Bila
dibandingkan dengan kontrol yang tidak mendapat perlakuan perendaman
hormon, memberikan hasil laju pertumbuhan panjang rata-rata yang lebih besar
yaitu 0,07%. Pertumbuhan elver sidat ini relatif lambat hal ini sesuai dengan
pernyataan Cholik et al. (2005), bahwa laju pertumbuhan dari elver hingga
ukuran konsumsi (25 cm) adalah 7 cm/tahun, oleh karena itu dalam
pemeliharaan benih ikan sidat selama 42 hari mengalami pertumbuhan panjang
dan berat yang sangat kecil. Dalam wadah budidaya elver memerlukan waktu 12-
18 bulan untuk mencapai ukuran konsumsi.
Laju pertumbuhan panjang dalam penelitian ini relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan penelitian Rahmawati et al. (2014), yang memberikan hasil
pertumbuhan 0,043 %/hari. Hal ini dapat disebakan karena kandungan protein
dalam pakan pasta tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh sidat. Energi
diperlukan untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Sumber dari energi ini
berasal dari makanan yang dimakan, jika makanan yang diberikan tidak dapat
memenuhi kebutuhan energi untuk pertumbuhan, maka energi akan didapatkan
57
dari pemecahan cadangan tubuh seperti protein, lemak, dan glikogen. Kebutuhan
protein untuk pakan sidat tergolong cukup tinggi seperti yang dikatakan oleh
Yaniharto et al. (2013), ikan sidat merupakan merupakan ikan karnivora yang
membutuhkan protein tinggi. Tingkat level protein pakan 45%, merupakan level
yang optimal untuk dapat memenuhi kebutuhan protein ikan sidat, sehingga bisa
tumbuh optimal. Pertumbuhan sangat berkaitan erat dengan pakan. Pakan yang
memenuhi kebutuhan gizi dapat berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan.
Faktor yang memepengaruhi kebutuhan energy ikan diantaranya aktivitas fisik,
suhu, ukuran ikan, dan ketgangan (stress) pada ikan.
4.3 Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan bobot mutlak merupakan nilai selisih antara bobot akhir dan
bobot awal tiap individu.
Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42 hari
dengan perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis
yang berbeda, diperoleh data pada Tabel 18 Lampiran 11.
Tabel 18. Pertumbuhan bobot mutlak (gram/individu)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 7.140 11.608 9.787 28.534 9.511444 23.878972
B (1 ppm) 3.733 5.397 3.621 12.751 4.250317 4.763766
C (1.5 ppm) 2.782 3.358 2.406 8.546 2.8488 2.086382
Total 49.83168
Hasil perhitungan pertumbuhan bobot mutlak pada elver sidat (Anguilla
bicolor) pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) diperoleh
hasil pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis hormon T3 0,5 ppm
yaitu sebesar 9,511444 gram/individu, sedangkan pertumbuhan terendah pada
perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu sebesar 2,8488 gram/individu.
58
Tabel 19. Analisa Keragaman pertumbuhan bobot mutlak
Sumber Keragaman
db JK KT
Uji F
F hitung F Tabel
5% F Tabel
10%
Perlakuan 2 74.03454 37.01727
17.717** 5.14 10.92 Galat 6 12.53609 2.089348
Total 8 86.57063
Keterangan: *Berbeda Nyata
Berdasarkan dari analisa keragaman pertumbuhan bobot mutlak (Tabel
15) menunjukkan bahwa F hitung (17,71714) lebih besar dari F tabel 5% dan 1%,
yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin (T3) ternyata
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan bobot mutlak
elver sidat (Anguilla bicolor). Kemudian dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan yaitu
untuk mencari perlakuan mana yang terbaik.
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot mutlak dapat dilihat pada Tabel
20.
Tabel 20. Uji BNT Pertumbuhan bobot mutlak
Notasi C B A
Notasi 2.848800 4.250317 9.511444
C 2.848800 0.000000 A
B 4.250317 1.401518ns 0.000000 A
A 9.511444 6.662645** 5.261127** 0.000000 B
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Jika
dibandingkan hasil B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) tidak berbeda nyata, meskipun
perlakuan B (1 ppm) memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan C (1,5 ppm).
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji
polynomial orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 25.
59
Gambar 25. Grafik pertumbuhan bobot mutlak (gram/individu)
Berdasarkan pada Gambar 25, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
dengan dosis yang berbeda dengan pertumbuhan bobot mutlak elver sidat
(Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 12,19 -6,662x dengan
koefisien determinasi R2= 0,769, artinya 77% pertumbuhan bobot mutlak elver
sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormone triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan hasil
pertumbuhan bobot mutlak sebesar 9,51 gram per individu, 4,25 gram per
individu dan 2,84 gram per individu. Perlakuan perendaman dengan dosis
hormone 0,5 ppm memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan dosis 1 ppm atau 1,5 ppm. Bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak
mendapat perlakuan perendaman hormon, hanya memberikan hasil laju
pertumbuhan panjang mutlak 1,38 gram per individu. Pemberian hormon
pertumbuhan yang berlebih diduga dapat memberikan feedback negatif bagi
pertumbuhan ikan.
Wong et al. (2006) menyatakan tentang pengaturan feedback hormone
pertumbuhan pada mamalia. Dalam pituitari mamalia, pelepasan hormone
y =12.19 -6.662xR² = 0.769
0.000
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
0 0.5 1 1.5 2
Pe
rtu
mb
uh
an B
ob
ot
Mu
tlak
(g
ram
/in
div
idu
)
Dosis Hormon Triiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
60
pertumbuhan/ Growth Hormon (GH) di somatotrop dikontrol oleh GHRH
dan SRIF di mana kedua regulator tersebut dirilis oleh hipotalamus dan
akan disampaikan ke pituitari anterior melalui sistem peredaran darah. GH yang
dirilis dari pituitari dapat memberikan feedback negatif pada somatotrop
melalui tiga jalur. Pertama, long-loop feedback yang merupakan akibat tidak
langsung dari aktifitas IGF-I yang diproduksi oleh hati. Kedua, short-loop
feedback yang merupakan akibat langsung dari aktifitas GH di hipotalamus.
Ketiga, ultra-short feedback yang merupakan akibat langsung dari aktivitas GH
yang berada di dalam Pituitary. Jumlah GH atau IGF-I yang berlebih dalam
pembuluh darah akan menimbulkan Feedback negatif atau umpan balik negatif
tersebut dan akan memberikan impuls pada kelenjar pituitari untuk tidak
mensekresikan GH.
Penurunan pertumbuhan ini tentu juga diduga oleh protein dari pakan
yang kurang memenuhi kebutuhan protein ikan sidat. Berdasarkan uji proksimat
pakan yang telah dilakukan, pakan pasta hanya mengandung protein 28%.
Menurut Afandi (2013), kebutuhan protein dipengaruhi oleh umur, ukuran, fungsi
fisiologis, kualitas, sumber protein dan energi non protein (karbohidrat dan
lemak), suhu air, jumlah pakan yang dimakan, kualitas protein. Kebutuhan ikan
terhadap protein umumnya berkisar 38% – 52%. Ikan sidat jepang Anguilla
japonica kandungan protein pakan optimal 45%, Ikan sidat lokal Anguilla bicolor
bicolor, kadar protein optimalnya 45% atau kadar protein minimal 40%.
Pertumbuhan panjang mutlak merupakan nilai selisih antara panjang
akhir dan panjang awal tiap individu.
Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42 hari
dengan perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis
yang berbeda, diperoleh data pertumbuhan panjang mutlak pada Tabel 21
Lampiran 12.
61
Tabel 21. Pertumbuhan panjang mutlak (cm/individu)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 3.64 3.97 3.83 11.44 3.813333 3.642236
B (1 ppm) 2.19 2.35 2.24 6.78 2.26 1.278575
C (1.5 ppm) 1.73 1.92 1.94 5.59 1.863333 0.871361
Total 23.81
Hasil perhitungan pertumbuhan panjang mutlak pada elver sidat (Anguilla
bicolor) pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) diperoleh
hasil pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis hormon T3 0,5 ppm
yaitu sebesar 3,81333 cm/individu, sedangkan pertumbuhan terendah pada
perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu sebesar 1,863333 cm/individu.
Tabel 22. Analisa Keragaman pertumbuhan panjang mutlak
Sumber Keragaman
db JK KT
Uji F
F hitung F
Tabel 5%
F Tabel 10%
Perlakuan 2 6.372689 3.186344
200.960** 5.14 10.92 Galat 6 0.0951 0.015856
Total 8 6.4678
Keterangan: *Berbeda Nyata
Berdasarkan dari analisa keragaman pertumbuhan bobot mutlak (Tabel
22) menunjukkan bahwa F hitung (200,9608) lebih besar dari F tabel 5% dan 1%,
yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin (T3) ternyata
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang
mutlak elver sidat (Anguilla bicolor). Kemudian dilanjutkan dengan Uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan yaitu untuk mencari perlakuan mana yang terbaik.
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang mutlak dapat dilihat pada
Tabel 23.
62
Tabel 23. Uji BNT Pertumbuhan panjang mutlak
Notasi C B A
Notasi 1.863333 2.260000 3.813333
C 1.863333 0.000000 A
B 2.260000 0.396667** 0.000000 B
A 3.813333 1.950000** 1.553333** 0.000000 C
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Begitupun
jika dibandingkan kembali, perlakuan B (1 ppm) juga memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap perlakuan C (1,5 ppm). Dilihat dari nilainya perlakuan A
(0,5 ppm) memeberikan hasil terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji polynomial
orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 26.
Gambar 26. Grafik pertumbuhan panjang mutlak (cm/individu)
Berdasarkan pada Gambar 26, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
dengan dosis yang berbeda dengan pertumbuhan panjang mutlak elver sidat
(Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 4,595 -1,95x dengan
koefisien determinasi R2= 0,881, artinya 88% pertumbuhan panjang mutlak elver
sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormone triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
y = -1.95x + 4.5956R² = 0.8819
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
0 0.5 1 1.5 2
Pe
rtu
mb
uh
an p
anja
ng
mu
tlak
(cm
/in
div
idu
)
Dosis Hormon Triiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
63
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan hasil
pertumbuhan panjang mutlak sebesar 3,81 cm per individu, 2,26 cm per individu
dan 1,86 cm per individu. Perlakuan perendaman dengan dosis hormone 0,5 ppm
memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 1
ppm atau 1,5 ppm. Bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak mendapat
perlakuan perendaman hormon, hanya memberikan hasil laju pertumbuhan
panjang mutlak 1,54 cm per individu.
Gambar 27. Panjang tubuh sidat perlakuan A,B dan C
Pada penelitian Rahmawati et al. (2014), pertumbuhan panjang mutlak
benih ikan sidat yang diberi perlakuan padat tebar yang berbeda memberikan
hasil pertambahan panjang terbaik 0,29 cm. Sedangkan pada penelitian pada
larva ikan gurami yang juga diberi perlakuan perendaman hormon triiodotironin
memberikan perubahan panjang total tertinggi 35,8 mm. Perbedaan hasil ini
diduga karena hormon triidotironin (T3) dicobakan pada ikan yang berbeda
sehingga memberikan pertumbuhan yang berbeda pula. Organ atau jaringan
dalam tubuh ikan memiliki reseptor hormon pertumbuhan yang akan mengenali
A B
C
64
hormone triiodotironin (T3) yang diberikan dan kemudian disampaikan ke sel-sel
tubuh sehingga terjadi proses pertumbuhan. Kecocokan antara reseptor dan
hormone yang digunakan akan mempengaruhi proses pertumbuhan yang akan
terjadi. Seperti yang dikatakan Aminah (2012), yang menyatakan bahwa
perbedaan pengaruh pertumbuhan dikarenakan tidak cocoknya jenis hormone
yang diberikan terhadap reseptor hormon pertumbuhan yang terdapat di dalam
tubuh ikan target.
Pertumbuhan ikan sidat yang diberi dosis hormon berbeda akan
menghasilkan pertumbuhan yang berbeda pula. Pertumbuhan tertinggi diperoleh
dari dosis hormone terendah (0,5 ppm). Hal ini diduga ada pengaruh dari pakan
yang diberikan. Semakin besar dosis maka laju metabolisme yang berjalan juga
semakin cepat, jika kualitas pakan tidak dapat menyeimbangi kebutuhan tubuh,
maka yang terjadi adalah penurunan pertumbuhan. Pertumbuhan ikan sidat di
alam relatif lambat. Faktor lambatnya laju pertumbuhan ini sangat ditentukan
pada kualitas pakan yang diberikan, sehingga untuk memacu pertumbuhan ikan
sidat perlu disediakan pakan berprotein tinggi karena sifatnya yang karnivora.
Kebutuhan protein dalam pakan berkisar 40—50% (Subekti et al., 2011).
4.4 Pertumbuhan Mingguan
Pertumbuhan bobot mingguan adalah pertambahan bobot yang
merupakan selisih nilai dari bobot akhir dan bobot awal selama satu minggu.
Data ini diambil secara berkala tiap minggunya.
Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42 hari
dengan perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis
yang berbeda, diperoleh data pertumbuhan bobot mingguan pada Tabel 24
Lampiran 13.
65
Tabel 24. Pertumbuhan bobot mingguan (gram/minggu)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 0.89245 1.451 1.22333 3.56679 1.1889 0.3731
B (1 ppm) 0.46659 0.67466 0.45260 1.59386 0.5312 0.0744
C (1.5 ppm) 0.34771 0.41978 0.30080 1.0683 0.3561 0.0326
Total 6.228961
Hasil perhitungan pertumbuhan bobot mingguan pada elver sidat
(Anguilla bicolor) pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3)
diperoleh hasil pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis hormon T3
0,5 ppm yaitu sebesar 1,1889 gram/minggu, sedangkan pertumbuhan terendah
pada perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu sebesar 0,3561
gram/minggu.
Tabel 25. Analisa Keragaman pertumbuhan bobot mingguan
Sumber Keragaman
db JK KT
Uji F
F hitung F Tabel
5% F Tabel
10%
Perlakuan 2 1.15679 0.578395
17.717** 5.14 10.92 Galat 6 0.195876 0.032646
Total 8 1.352666
Keterangan: *Berbeda Nyata
Berdasarkan dari analisa keragaman pertumbuhan bobot mingguan
(Tabel 25) menunjukkan bahwa F hitung (17,71714) lebih besar dari F tabel 5%
dan 1%, yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin
(T3) ternyata memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan
bobot mingguan elver sidat (Anguilla bicolor). Kemudian dilanjutkan dengan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan yaitu untuk mencari perlakuan mana yang terbaik.
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot mingguan dapat dilihat pada
Tabel 26
66
Tabel 26. Uji BNT Pertumbuhan bobot mingguan
Notasi C B A
Notasi 0.356100 0.531290 1.188931
C 0.356100 0.000000 A
B 0.531290 0.175190ns 0.000000 A
A 1.188931 0.832831** 0.657641** 0.000000 B
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Jika
dibandingkan hasil B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) tidak berbeda nyata, meskipun
perlakuan B (1 ppm) memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan C (1,5 ppm).
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji
polynomial orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 28.
Gambar 28. Grafik pertumbuhan bobot mingguan (gram/minggu)
Berdasarkan pada Gambar 28, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
dengan dosis yang berbeda dengan pertumbuhan bobot mingguan elver sidat
(Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 1,524 -0,823x dengan
koefisien determinasi R2= 0,769, artinya 77% pertumbuhan bobot mingguan elver
sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormone triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan hasil
y =1.524 -0.832xR² = 0.7690
0.5
1
1.5
2
0 0.5 1 1.5 2
Pe
rtu
mb
uh
an b
ob
ot
min
ggu
an (
gram
/min
ggu
)
Dosis Hormon Triiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
67
pertumbuhan bobot mingguan sebesar 1,18 gram per minggu, 0,53 gram per
minggu dan 0,35 gram per minggu. Perlakuan perendaman dengan dosis
hormone 0,5 ppm memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan dosis 1 ppm atau 1,5 ppm. Bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak
mendapat perlakuan perendaman hormon, hanya memberikan hasil laju
pertumbuhan panjang mutlak 0,17 gram per minggu. Dari data hasil
pertumbuhan mingguan kita dapat mengetahui bahwa pertumbuhan ikan hingga
akhir pemeliharaan semakin meningkat, namun laju pertumbuhannya semakin
menurun. Hal ini disebabkan karena efek atau kerja dari hormone triiodotironin
terus terdegradasi dan hancur di dalam tubuh. Dimana pertumbuhan mingguan
ini menampilkan kurva sigmoid dengan titik optimal dihasilkan pada minggu ke
5—6.
Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Rahmawati et al.
(2014), yang mendapatkan bobot mingguan tertinggi 0,166 gram. Hal ini dapat
berhubungan dengan hormon triiodotironin yang diberikan dapat menaikkan laju
metabolisme dan mempengaruhi pertumbuhan. Pemberian pakan dengan
komposisi yang tepat juga mempengaruhi laju perumbuhan ikan sidat. Jika
semakin tinggi dosis hormone yang diberikan, namun pakan yang diberikan
berprotein rendah, maka hal tersebut dapat menurunkan pertumbuhan. Seperti
yang dikatakan Idris (2016), bahwa pertumbuhan terjadi apabila jumlah pakan
yang dikonsumsi lebih besar dari kebutuhan pokok yang digunakan untuk
kelangsungan hidup ikan. Konsumsi ikan mempunyai hubungan erat dengan
kandungan protein dan energi yang dapat dicerna dalam pakan. Protein
merupakan sumber bahan pembentuk jaringan baru bagi tubuh ikan serta
sebagai sumber energi bagi ikan selain lemak dan karbohidrat. Dalam penelitian
ini perlakuan pemberian pakan dengan persentase berbeda antara 35—50%,
68
memberikan hasil perumbuhan ikan sidat terbaik pada pemberian pakan dengan
protein 45%.
Pertumbuhan panjang mingguan adalah pertambahan panjang yang
merupakan selisih nilai dari panjang akhir dan panjang awal selama satu minggu.
Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42 hari
dengan perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) dengan dosis
yang berbeda, diperoleh data pertumbuhan panjang mingguan pada Tabel 27
Lampiran 14.
Tabel 27. Pertumbuhan panjang mingguan (cm/minggu)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 0.455 0.49625 0.47875 1.43 0.476667 0.05691
B (1 ppm) 0.27375 0.29375 0.28 0.8475 0.2825 0.019978
C (1.5 ppm) 0.21625 0.24 0.2425 0.69875 0.232917 0.013615
Total 2.97625
Hasil perhitungan pertumbuhan panjang mingguan pada elver sidat
(Anguilla bicolor) pada perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3)
diperoleh hasil pertumbuhan tertinggi pada perlakuan A dengan dosis hormon T3
0,5 ppm yaitu sebesar 0,476667 cm/ minggu, sedangkan pertumbuhan terendah
pada perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu sebesar 0,232917
cm/minggu.
Tabel 28. Analisa Keragaman pertumbuhan panjang mingguan
Sumber Keragaman
db JK KT
Uji F
F hitung F
Tabel 5%
F Tabel 10%
Perlakuan 2 0.099573 0.049787
200.960** 5.14 10.92 Galat 6 0.001486 0.000248
Total 8 0.10106
Keterangan: *Berbeda Nyata
Berdasarkan dari analisa keragaman pertumbuhan panjang mingguan
(Tabel 28) menunjukkan bahwa F hitung (200,9608) lebih besar dari F tabel 5%
69
dan 1%, yang berarti berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin
(T3) ternyata memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan
panjang mingguan elver sidat (Anguilla bicolor).
Hasil uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perlakuan mana
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang mingguan dapat dilihat pada
Tabel 29.
Tabel 29. Uji BNT Pertumbuhan panjang mingguan
Notasi C B A
Notasi 0.232917 0.282500 0.476667
C 0.232917 0.000000 A
B 0.282500 0.049583** 0.000000 B
A 0.476667 0.243750** 0.194167** 0.000000 C
Berdasarkan hasil uji BNT, perlakuan A (0,5 ppm) memberikan pengaruh
berbeda nyata terhadap perlakuan B (1 ppm) dan perlakuan C (1,5 ppm). Begitupun
jika dibandingkan kembali, perlakuan B (1 ppm) juga memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap perlakuan C (1,5 ppm). Dilihat dari nilainya perlakuan A
(0,5 ppm) memeberikan hasil terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Untuk mengetahui respon tiap perlakuan maka dilanjutkan dengan uji
polynomial orthogonal yang ditunjukkan pada Gambar 29.
Gambar 29. Grafik pertumbuhan panjang mingguan (cm/minggu)
Berdasarkan pada Gambar 29, dapat diketahui bahwa hubungan antara
pemeliharaan perlakuan perendaman pada larutan hormon triiodotironin (T3)
y = -0.2438x + 0.5744R² = 0.8819
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 0.5 1 1.5 2
Pe
rtu
mb
uh
an p
anja
ng
mig
guan
(cm
/min
ggu
)
Dosis Hormon Triiodotironin (T3)
Series1
Linear (Series1)
70
dengan dosis yang berbeda dengan pertumbuhan panjang mingguan elver sidat
(Anguilla bicolor) adalah linear dengan persamaan y= 0,574 -0,243x dengan
koefisien determinasi R2= 0,881, artinya 88% pertumbuhan panjang mingguan
elver sidat dipengaruhi oleh kinerja hormon triiodotironin (T3).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama 42 dengan
perlakuan perendaman hormone triiodotironin (T3) dengan dosis yang berbeda,
pada perlakuan A (0,5 ppm), B (1 ppm) dan C (1,5 ppm) memberikan hasil
pertumbuhan panjang mingguan sebesar 0,47 cm per minggu, 0,28 cm per
minggu dan 0,23 per minggu. Perlakuan perendaman dengan dosis hormone 0,5
ppm memberikan hasil pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis
1 ppm atau 1,5 ppm. Bila dibandingkan dengan kontrol yang tidak mendapat
perlakuan perendaman hormon, hanya memberikan hasil laju pertumbuhan
panjang mutlak 0,057 cm per minggu. Perumbuhan tertinggi didapatkan dari
dosis terendah, sedangkan semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin
menurunkan pertumbuhan karena semakin besar dosis yang diberikan maka
akan semakin memacu metabolisme yang berdampak pada fisiologi tubuh yang
dipaksakan terus menerus sehingga efisiensi menurun. Terjadinya inefisiensi ini
juga disebkan hormone yang diberikan memiliki waktu paruh sehingga semakin
lama akan terdegradasi sehingga efek yang ditimbulkan akan semakin menurun
pula. Jika dibuat kurva maka perumbuhannya akan membentuk kurva sigmoid
dimana akan didapatkan titik optimal pada pada pertumbuhan di minggu 5—6.
Kemudian pertumbuhannya akan menurun.
Bila dibandingkan dengan penelitian Rahmawati et al. (2014),
pertumbuhan panjang mingguan tertinggi hanya mencapai 0,26 cm/minggu. Hasil
ini meningkat 55% bila dibandingkan dengan pemberian dosis 0,5 ppm. Semakin
rendah dosis yang diberikan maka laju pertumbuhannya semakin tinggi. Hal ini
dapat disebabkan hormon dapat bekerja optimal pada dosis tertentu, dan
71
menyebabkan feedback negatif saat dosis yang diberikan terlalu tinggi jika hal ini
tidak diimbangi dengan pemberian pakan yang sesuai. Menurut penelitian yang
dilakukan Nawir et al. (2015), ketersediaan protein dan imbangan rasio energi
protein yang tepat dalam pakan memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan
ikan sidat. Kandungan protein tubuh dipengaruhi oleh pengambilan protein pakan
dan timbunan protein yang berkorelasi positif dengan kadar protein pakan.
Kandungan protein tubuh yang tinggi turut memengaruhi kinerja pertumbuhan.
Kenaikan pertumbuhan ditemukan pada pemberian pakan dengan protein 45%.
4.5 Kelangsungan Hidup
Sintasan (kelulushidupan) adalah perbandingan jumlah individu yang
hidup pada akhir pemeliharaan dari jumlah awal. Sintasan ikan dipengaruhi oleh
faktor biotik dan abiotik. Menurut Samsundari dan Wirawan (2013), faktor biotik
yaitu kompetitor, parasit, kepadatan populasi, kemampuan adaptasi dari hewan
tersebut dan penanganan manusia. Sedangkan faktor abiotik yaitu sifat fisika dan
kimia perairan. Dari hasil pemeliharaan elver sidat (Anguilla bicolor) selama 42
hari, diperoleh data kelulushidupan pada Tabel 30 Lampiran 16.
Tabel 30. Kelulushidupan (%)
Perlakuan Ulangan
Total Rerata Standar Deviasi 1 2 3
A (0.5 ppm) 93.33 73.33 80.00 246.67% 0.822222 0.171605
B (1 ppm) 93.33 80.00 93.33 266.67% 0.888889 0.199012
C (1.5 ppm) 93.33 86.67 93.33 273.33% 0.911111 0.207901
Total 7.866667
Hasil perhitungan kelulushidupan pada elver sidat (Anguilla bicolor) pada
perlakuan perendaman larutan hormon triiodotironin (T3) diperoleh hasil
kelulushidupan tertinggi pada perlakuan C dengan dosis hormon T3 1,5 ppm yaitu
sebesar 91%, sedangkan kelulushidupan terendah pada perlakuan A dengan
dosis hormon T3 0,5 ppm yaitu sebesar 82%. Dari data tersebut menunjukkan
72
bahwa kelulushidupan pada masing-masing perlakuan memiliki hasil yang
berbeda. Maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil meberikan hasil yang
dapat dilihat pada Tabel 31 seperti berikut.
Tabel 31. Analisa Keragaman Kelulushidupan
Sumber Keragaman
db JK KT
Uji F
F hitung F
Tabel 5%
F Tabel 10%
Total 8 0.048395
1.08333ns 5.14 10.92 Galat 6 0.035556 0.005926
Perlakuan 2 0.01284 0.00642
Keterangan: *Tidak berbeda Nyata
Berdasarkan dari analisa keragaman kelulushidupan (Tabel 31)
menunjukkan bahwa F hitung (1,083333) lebih kecil dari F tabel 5% dan 1%,
yang berarti tidak berbeda nyata. Pemberian larutan hormon triiodotironin (T3)
ternyata tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
kelulushidupan elver sidat (Anguilla bicolor).
Pada penelitian ini kelulushidupan elver yang dipelihara semakin
menurun seiring dengan waktu pemeliharaan. Elver yang dipelihara dengan
perlakuan perendaman larutan hormone triiodotironin (T3) memiliki kelangsungan
hidup cukup tinggi yakni 82—91%. Pemberian perlakuan dosis hormone yang
berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
kelulushidupan elver sidat yang berarti hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kepadatan elver sidat yang sesuai untuk kelulushidupan benih,
kualitas perairan yang mendukung, dan nutrisi pakan yang memadai. Menurut
Cholifah et al. (2012), faktor yang dapat mempertinggi kelulushidupan ikan sidat
(A. bicolor) selama pemeliharaan tersebut adalah kualitas pakan dan tingkat
pemeberian pakan sehingga kebutuhan pakan dapat terpenuhi tanpa terjadi
persaingan. Begitu pula menurut Aminah (2012), daya dukung wadah dan padat
73
tebar akan mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup benih
terkait denganketersediaan oksigen yang diterima benih.
Persentase kelulushidupan pada penelitian yang dilakukan oleh Herviani
et al. (2003), pada ikan gurami (Osphronemus gouramy) yang diberi perlakuan
perendaman hormon trriodotironin (T3) memberikan hasil kelulushidupan 25—
88%. Begitu pula pada penelitian yang dilakukan oleh Sakdiah et al. (2003),
perendaman hormone triiodotironin (T3) pada ikan ikan gurami (Osphronemus
gouramy)memberikan hasil kelulushidupan 60—83%.
Derajat kelangsungan hidup (SR) merupakan parameter utama dalam
produksi biota akuakultur yang dapat menunjukkan keberhasilan produksi
tersebut. Jika diperoleh nilai SR yang tinggi pada suatu kegiatan budidaya, maka
dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya yang dilakukan telah berhasil.
Tingginya nilai derajat kelangsungan hidup ini disebabkan faktor kondisi media
pemeliharaan ikan sidat yang cocok dengan keadaan tempat ikan sidat hidup.
Tingkat stres yang dialami ikan sidat diduga masih berada pada level yang dapat
ditoleransi sehingga tidak menyebabkan ikan sidat mati. Kepadatan tertinggi
pada penelitian ini masih dapat ditolerir, sehingga tidak terjadi persaingan pada
ruang gerak dan kesempatan dalam memperoleh pakan.
Sedangkan elver yang mati biasanya disebabkan oleh kondisi yang lemah,
sifat kanibalisme dari elver yang berukuran lebih besar dan tidak tahan saat
terjadi penurunan kualitas air seperti suhu dan oksigen terlarut. Kematian elver
ini paling banyak ditemukan pada awal pemeliharaan. Hal ini dapat disebabkan
pada benih yang belum dapat berdaptasi pada kondisi perairan yang baru.
Kemungkinan pula benih sidat yang dipelihara memang lemah akibat membawa
agen penyakit dari tempat sebelumnya dan gejala penyakit tersebut muncul
ketika kondisinya lemah akibat transportasi.
74
Hal ini juga bisa disebabkan karena penyakit atau tingkat stress dari sidat
tersebut yang menyebabkan penurunan nafsu makan. Kondisi mormofologi sidat
yang mati berupa tubuh yang kaku, warna menjadi memutih, mengeluarkan
banyak lendir dan bau, serta terdapat bercak merah dan bekas gigitan dari sidat
lain. Seperti pendapat Affandi et al. (2013), pada pemeliharaan benih sidat
kematian benih sering terjadi akibat serangan penyakit dan kanibalisme. Kedua
penyebab tersebut pada dasarnya adalah akibat kondisi benih yang lemah.
Kondisi yang menyebabkan benih lemah adalah individu benih tidak tahan
terhadap penurunan kondisi lingkungan terutama suhu dan oksigen terlarut,
individu benih menjadi lemah, nafsu makan turun, dan selanjutnya terserang
penyakit atau depresi oleh sidat lain yang ukurannya lebih besar.SEdangkan
pada penelitian Pudji et al. (2002), kelangsungan hidup larva ikan betutu
(Oxyeleotris marmorata) yang direndam dalam media yang mengandung hormon
T3 dan lebih rendah dibandingkan kontrol. Diduga penyebab kematian yang
tinggi pada larva adalah kelaparan dan pemberian hormon.
4.6 Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay)
Pada penelitian ini dilakukan uji ELISA dengan tujuan untuk mengetahui
konsentrasi dan keberadaan hormone di dalam tubuh elver ikan setelah 4 hari
dari waktu perendaman. Menurut Anwar (2005), waktu paruh sirkulasi dari T3
sekitaar 2—3 hari, lebih panjang dari sebagian besar hormon. Waktu urai hormon
ini akan memberikan informasi berapa lama hormon tersebut benar-benar telah
terurai di dalam tubuh sidat dan konsentrasinya menjadi normal kembali.
Keberdaan hormon yang belum terurai (masih aktif) di dalam tubuh elver sidat ini
dikhawatirkan akan mempengaruhi food safety ketika di konsumsi oleh manusia.
Menurut Takei dan Hirose (2001), hormon osmoregulasi dapat dikategorikan ke
dalam dua grup. Fast-acting hormones adalah hormon amina atau oligopeptida
75
yang disekresi segera (dalam detik atau menit) setelah transfer ikan ke medium
osmotik berbeda dan cepat hilang dari sirkulasi. Slow-acting hormones adalah
hormon steroid atau polipeptida yang disekresi lambat (biasanya dalam hari) dan
berpartisipasi dalam adaptasi ke lingkungan baru.
Berikut ini hasil pengujian ELISA yang telah dilakukan, disajikan dalam
tabel 32 sebagai berikut.
Tabel 32. Uji ELISA hormon Triiodotironin (T3)
Perlakuan Dosis (mg/l)
Hasil Satuan (ng/ml)
Nilai Rujukan (ng/ml)
K1 - 1,48 0,8—2,0
K2 - 1,28 0,8—2,0
K3 - 1,76 0,8—2,0
A1 0,5 3,52 0,8—2,0
A2 0,5 3,89 0,8—2,0
A3 0,5 3,19 0,8—2,0
B1 1 2,17 0,8—2,0
B2 1 2,21 0,8—2,0
B3 1 3,41 0,8—2,0
C1 1,5 3,02 0,8—2,0
C2 1,5 4,53 0,8—2,0
C3 1,5 2,33 0,8—2,0
Berdasarkan hasil uji ELISA didapatkan konsentrasi hormon triiodotironin
(T3) di dalam tubuh sidat yang telah diberi perlakuan perendaman (selengkapnya
dapat dilihat pada lampiran 17). Konsentrasi paling tinggi terdapat pada
perlakuan C2 dengan dosis hormon 1,5 ppm, sedangkan konsentrasi terendah
pada perlakuan B1 dengan dosis hormon 1 ppm. Jika dibandingkan dengan
kontrol yang tidak mendapat perlakuan perendaman hormon, hasilnya lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan. Hal ini menunjukkan korelasi elver sidat
yang diberi perlakuan hormon triiodotironin (T3) memiliki konsentrasi hormon T3
yang lebih tinggi daripada kontrol karena tubuh telah berhasil mengabsorpsi
hormon yang diberikan. Proses ini terjadi secara difusi karena adanya
konsentrasi hormone yang diberikan dan tekanan oksigen yang diberikan dalam
kantung perendaman.
76
Difusi merupakan bercampurnya molekul-molekul dalam cairan, gas, atau
zat padat secara bebas atau acak. Proses difusi dapat terjadi bila dua zat
bercampur dalam sel mebran. Dalam tubuh, proses difusi air, elektrolit dan zat-
zat lain terjadi melalui membran kapiler yang permiabel. Kecepatan proses difusi
bervariasi bergantung pada faktor ukuran molekul, konsentrasi cairan, dan
temperatur cairan (Uliyah dan Hidayat, 2008). Hal ini terbukti melalui hasil
pengujian ELISA yang telah dilakukan bahwa pada konsentrasi dosis hormon
yang lebih besar yaitu 1,5 ppm terabsorpsi lebih tinggi dibandingkan dengan dosis
lain, dengan nilai hormon triiodotironin (T3) 4,53 ng/ml. Namun begitu, pada
dosis yang sama di ulangan yang berbeda terdapat laju penyerapan hormon
yang berbeda. Bila dilihat kembali pada tabel 28 nilai penyerapan hormon
triiodotironin lebih tinggi pada dosis 0,5 ppm dibandingkan dengan dosis 1 ppm. Hal
ini dapat disebabkan oleh berbeda nya kemampuan setiap individu elver untuk
dapat terpapar hormon melalui insang maupun kulitnya.
Proses penyerapan hormone pada tubuh larva diduga terjadi melalui
difusi. Penambahan hormone ke dalam media perendaman menyebabkan
adanya perbedaan konsentrasi didalam media. Perbedaan ini selanjutnya
menyebabkan terjadinya proses difusi (Arfah et al., 2002). Difusi kemungkinan
merupakan mekanisme yang paling penting untuk molekul-molekul agar dapat
masuk ke dalam tubuh. Molekul tersebut harus berada dalam bentuk larutan dan
berpartisi ke dalam membram sel lipofilik, berdifusi melintasi sel, dan kemudian
berpartisi keluar dari sel dan menuju kompartemen berair sisi yang lain. Maka
agar suatu molekul dapat terserap dengan baik harus memiliki tingkat kelarutan
yang baik di dalam air dan di dalam lipid (Cairns, 2004).
Smith (1982) dalam Aminah (2012), mendemonsrasikan radiolabeled-
BSA dapat masuk ke insang dan epidermis ikan rainbow trout (Oncorhynchus
mykiss) setelah perendaman dalam larutan dan diduga bahwa sel insang
77
memungkinkan digunakan sebagai jalur masuk. Berdasarkan uraian tersebut,
mekanisme masuknya hormon dengan metode perendaman juga diduga
melalui insang secara osmoregulasi. Beberapa organ yang berperan dalam
proses osmoregulasi ikan antara lain: insang, ginjal, dan usus.
Hormon tiroid beredar terikat dengan protein plasma sedemikian rupa
sehingga 0,04% dari T4 dan 0,4% dari T3 adalah bebas. Sekitar 68% dari T4 dan
80% dari T3 terikat oleh globulin pengikat-glikoprotein hormon tiroid (TBG).
Sekitar 11% dari T4 dan 9% dari T3 terikat dengan transtiretrin (prealbumin
pengikat-hormon tiroid; TBPA). Sisanya terikat dengan albumin (Anwar, 2005).
4.7 Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya ikan karena
diperlukan sebagai media hidup. Air yang digunakan untuk pemeliharaan elver
sidat perlu dijaga kualitasnya. Dalam pemeliharaan selama 42 hari, dilakukan
pengecekan kualitas air secara berkala, baik harian maupun mingguan.
Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan, didapatkan kisaran parameter
kualitas air berupa suhu, oksigen (DO) terlarut, derajat keasaman (pH), nitrit dan
ammonium. Dapat dilihat pada tabel 33 sebagai berikut.
Tabel 33. Hasil Pengukuran Kualitas Air
Parameter Hasil Penelitian Literatur
Suhu 24—27°C 20—29 °C (Suryono dan Badjoeri, 2013)
DO 4—7,5 mg/l ≥ 3 mg/l (Rahmawati et al., 2014)
pH 6—7,5 6—8 (Rohman, 2015)
Nitrit 0—1 mg/l 0,01—1 mg/l (Samsundari dan Wirawan, 2013)
Amonium 0—1 mg/l 0—0,5 mg/l (Harianto et al., 2014)
4.7.1 Suhu
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan kualitas air berupa suhu dengan
menggunakan DO meter yang menampilkan data suhu perairan. Waktu
78
pengukuran dilakukan pada pukul 04.00 dan 14.00 WIB. Dari data pengukuran
didapatkan nilai suhu pada pukul 04.00 WIB berkisar antara 24—25°C dan pukul
14.00 WIB berkisar antara 25—27°C. Data nilai suhu selengkapnya dapat dilihat
pada lampiran 19.
Menurut Suryono dan Badjoeri (2013), suhu yang sesuai untuk
pemeliharaan larva ikan sidat pada suhu 20—29°C. Nilai ini masih dalam kisaran
toleransi dan baik untuk pertumbuhan. Kondisi suhu yang lebih tinggi dari 30°C
maupun kurang dari 10°C dapat mempengaruhi sensivitas larva sidat yaitu dapat
menghilangkan lendir (mucous) pada tubuh sidat dimana keberadaan lendir
tersebut mengandung zat anti bakteri salah satunya kelompok bakteri protease
seperti Cathepsins L dan B.
Suhu merupakan faktor lingkungan paling penting untuk mengatur
kecepatan pertumbuhan. Ikan sidat melakukan aktivitas makan pada kisaran
suhu antara 20—28°C (Rahmawati et al., 2014). Suhu optimal yang
menghasilkan laju pertumbuhan terbaik ikan sidat adalah 23—31°C (Usui, 1974).
Apabila suhu media pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan ikan maka
metabolisme dan nafsu makan akan terjaga dengan baik sehingga berdampak
positif bagi pertumbuhan ikan. Suhu juga mempengaruhi proses-proses fisiologis
seperti tingkat respirasi, efesiensi pakan, pertumbuhan, tingkah laku dan
reproduksi.
4.7.2 Oksigen Terlarut (DO)
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan kualitas air berupa oksigen
terlarut dengan menggunakan DO meter. Waktu pengukuran dilakukan pada
pukul 04.00 dan 14.00 WIB. Dari data pengukuran didapatkan nilai DO pada
pukul 04.00 WIB berkisar antara 4—6 ppm dan pukul 14.00 WIB berkisar antara
6—7,5 ppm. Data nilai DO selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 20.
79
Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter yang digunakan
sebagai pilihan utama menentukan layak tidaknya sumber air digunakan dalam
kegiatan budidaya, nilai oksigen yang terkandung dalam budidaya ikan sidat
tergolong tinggi karena jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk aktivitas dan
metabolisme tubuh sidat juga tergolong tinggi. Ikan sidat dapat hidup dalam air
dengan kandungan oksigen 3—5 mg/l, namun untuk ,meningkatkan produktivitas,
maka kandungan oksigen terlarut dalam air sebaiknya dijaga pada level diatas 5
mg/l, hal ini karena pada level dibawah 1 mg/l dapat menyebabkan pertumbuhan
laju pertumbuhan lambat (Rahmawati et al., 2014).
Tingkat konsumsi oksigen ikan bervariasi tergantung pada suhu,
konsentrasi oksigen terlarut, ukuran ikan, tingkat aktivitas, waktu setelah
pemberian pakan dan lain sebagainya. Tingkat metabolisme juga bervariasi antar
spesies dan dibatasi oleh rendahnya kandungan oksigen yang tersedia. Pada
umumnya, ikan kecil akan mengkonsumsi oksigen per berat badan lebih banyak
dibandingkan ikan besar dari satu spesies. Kandungan oksigen terlarut yang
ideal di dalam air untuk budidaya ikan tidak boleh <3,00 mg/l karena dapat
menyebabkan kematian organisme air (Samsundari dan Wirawan, 2013).
4.7.3 Derajat Keasaman (pH)
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan kualitas air berupa derajat
keasaman dengan menggunakan pH meter. Waktu pengukuran dilakukan pada
pukul 04.00 dan 14.00 WIB. Dari data pengukuran didapatkan nilai pH pada
pukul 04.00 WIB berkisar antara 6—7,5 dan pukul 14.00 WIB berkisar antara 6—
7,5. Data nilai pH selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 21.
Menurut Rohman (2015), nilai pH optimum untuk pemeliharaan sidat yaitu
6—8. Nilai suatu pH perairan mencirikan keseimbangan asam dan basa dalam
air. Menurut Harianto et al. (2014), pH air merupakan parameter penyebab
banyaknya ion yang terkandung dalam air, pH rendah dapat menyebabkan
80
kematian sedangkan nilai pH yang terlalu tinggi menyebabkan perairan tidak
produktif. Nilai pH optimum untuk pemeliharaan ikan sidat berada pada kisaran
6—8.
Pada kisaran pH 4—11 elver sidat mampu hidup, namun yang terbaik
pada kisaran 6,6—8. Perairan yang memiliki pH kurang dari 6 atau melebihi 8
tergolong pH yang dapat membahayakan dalam pemeliharaan budidaya benih
sidat. Air yang memiliki kadar asam terlalu tinggi akan mengakibatkan
kandungan oksigen terlarut berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen
menurun, aktivitas pernapasan naik dan selera makan akan berkurang.
Sedangkan pada perairan yang memiliki pH tinggi (basa) lebih banyak ditemukan
NH3 yang tidak terionisasi dan bersifat toksik (Ritonga, 2014).
4.7.4 Nitrit (NO2-)
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan kualitas air berupa nitrit dengan
menggunakan teskit nitrit. Waktu pengukuran dilakukan sepuluh hari sekali. Dari
data pengukuran didapatkan nilai nitrit berkisar antara 0—1 mg/l. Data nilai nitrit
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 22.
Kadar optimun nitrit perairan adalah antara 0,01 – 1,0 mg/l. Senyawa nitrit
yang berlebih dalam suatu perairan akan menyebabkan menurunnya
kemampuan darah organisme perairan untuk mengikat O2, karena nitrit akan
beraksi lebih kuat dengan hemoglobin yang menyebabkan tingginya tingkat
kematian (Samsundari dan Wirawan, 2013).
Konsentrasi nitrit di perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup biota akuatik. Sumber utama nitrit dalam perairan adalah limbah hasil
kegiatan antropogenik. Konsentrasi nitrit lebih dari 0,05 mg/l dapat brsifat toksisk
bagi organisme akuatik yang sensitif (Suryono dan Badjoeri, 2013). Konsentrasi
hasil analisis lebih tinggi dari ketentuan yang ditolerir perairan alami tetapi hal ini
81
tidak membuat benih sidat mati karena sifat ikan sidat yang lebih toleran
terhadap kondisi perairan.
4.7.5 Amonium (NH4+)
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan kualitas air berupa amonium
dengan menggunakan teskit amonium. Waktu pengukuran dilakukan sepuluh
hari sekali. Dari data pengukuran didapatkan nilai amonium berkisar antara 0—1
mg/l. Data nilai amonium selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 23.
Pada saat kadar amoniak dalam air tinggi maka kemampuan ikan untuk
mengekskresikan amoniaknya berkurang. Hal tersebut menyebabkan naiknya
kadar amoniak dalam darah maupun jaringan tubuh. Hal itu akan meningkatkan
kadar pH darah dan memiliki efek yang merugikan pada reaksi berbagi enzim
dan stabilitas membran. Efek negatif tersebut meliputi kerusakan insang,
pengurangan kapasitas darah dalam membawa oksigen serta kerusakan
histologi pada sel darah merah (Boyd, 1998).
Menurut Harianto et al. (2014), kadar 0 - 0,5 mg/l merupakan batas
maksimum yang lazim dianggap sebagai batas untuk menyatakan bahan air itu
“unpolluted”. Ikan masih dapat hidup pada air yang mengandung N2 mg/l, batas
letal akan tercapai pada kadar 5 mg/l. Salah satu cara untuk mengurangi
konsentrasi dalam perairan adalah melakukan pergantian air secara berkala.
Amonia yang terakumulasi dalam media pemeliharaan sangat beracun bagi ikan
karena dapat merusak jaringan insang ikan. Konsentrasi amonia yang sangat
tinggi dalam perairan dapat mengakibatkan penurunan ekskresi ammonia oleh
ikan, sehingga amonia terakumulasi di dalam darah dan insang. Akumulasi
amonia dalam darah dapat menyebabkan kemampuan darah dalam
mentransportasikan oksigen berkurang.
82
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan selama 42 hari dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan elver ikan sidat (Anguilla bicolor) baik bobot maupun
panjang dapat ditingkatkan dengan metode perendaman dalam larutan hormon
triiodotironin (T3). Dosis yang diberikan memberikan perbedaan terhadap
pertumbuhan elver ikan sidat. Pertumbuhan tertinggi didapatkan dari dosis 0,5
ppm, dengan pertumbuhan bobot rerata harian sebesar 0,22 gram/hari, panjang
rerata harian 0,09 cm/hari, laju bobot spesifik 2,5 %, laju panjang spesifik 0,005%,
bobot mutlak 9,5 gram, panjang mutlak 3,8 cm, bobot mingguan 1,18 gram,
panjang mingguan 0,47 cm, dan rerata kelangsungan hidup sebesar 87,67%.
Semakin besar dosis yang diberikan (1,5 ppm dan 1 ppm) dapat memberikan hasil
pertumbuhan yang lebih rendah jika tidak diimbangi dengan pakan berprotein
tinggi dan suplai oksigen yang mencukupi.
5.2 Saran
Saran dari penelitian yang telah dilakukan adalah penelitian lebih lanjut
mengenai peningkatan pertumbuhan pada ikan sidat perlu dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Misalnya perendaman ikan sidat dengan
beberapa frekuensi atau pada stadia yang berbeda, dosis hormon dengan
rentang lebih sempit, penggunaan hormon triiodotironin dengan metode injeksi
ataupun pencampuran dalam pakan, padat tebar perendaman atau pemeliharaan
yang lebih tinggi, dan pemeliharaan lebih lanjut untuk melihat tren peningkatan
pertumbuhan ikan sidat.
83
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M. 2013. Aplikasi pakan komersil yang disubsitusi tepung silase daun mengkudu dengan inokulan khamir laut sebagai pakan ikan sidat (Anguilla bicolor). Skripsi. Surabaya. Universitas Hang Tuah.
Affandi, R., T. Budiardi., R.I. Wahju dan A.A. Taurusman. 2013. Pemeliharaan
ikan sidat dengan sistem air resirkulasi (eel rearing in water resirculation system). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 18(1): 55—60.
Airin, Y. L. D dan Cyska, L. 2015. Pakan diameter berbeda bagi pertumbuhan
ikan sidat (Anguilla sp.). Budidaya Perairan. 3(3): 30—41. Alan, G.G and Thomas G.A. 1976. Regulation of malic enzyme synthesis by
insulin triiodothyronine, and glucagon in liver cells in culture. The Journal of Biochemical Chemistry. 251(10): 3027—3032.
Anwar, R. 2005. Pelepasan dan Sintesis Hormon. Skripsi. Bandung. FK UNPAD. Aminah. 2012. Aplikasi hormon Pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang
pada glass eel dengan dosis perendaman berbeda. Skripsi. Bogor. IPB. Arfah, H., Alimuddin., K. Sumantadinata dan J. Ekasari. 2002. Seks reversal
pada ikan tetra kongo stadia larva. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1(2): 69—74.
Baradero, M., M.W. Dayrit dan Y. Siswandi. 2009. Klien Gangguan Endokrin: Seri
Asuhan Keperawatan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 141 hlm. Boyd, C. E and C. S Tucker. 1998. Pond Acuaculture Water Quality Management.
Great Britain. Kluwer Academic Publisher. Cairns, D. 2004. Intisari Kimia Farmasi. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
232 hlm.
Campbell, N.A., J.B. Reece dan L.G. Mitchell. 2004. Biologi. Jakarta. Erlangga.501 hlm.
Cholifah, D., M. Febrian., A. W. Ekawati dan Y. Risjani. 2012. Pengaruh
penggunaan tepung silase daun mengkudu (Morinda citrifolia) dalam formula pakan terhadap pertumbuhan ikan sidat (Anguilla bicolor) stadia elver. Jurnal Kelautan. 5(2): 93—107.
Cholik, F., A.G Jagatraya., Poernomo dan A. Jauzi. 2005 Akualkultur Tumpuan
Harapan Masa Depan Bangsa. Jakarta. Masyarakat Perikanan Nusantara. 415 hlm.
Effendi, M.F. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusantara.
122 hlm.
84
Fauci, A., E. Braunwald., D. Kasper., S. Hauser., D. Longo., J. Jameson., and J. Loscalzo. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. US. Mcgraw Hill inc. 3000 hlm.
Fitria, S. 2014. Kinerja produksi elver ikan sidat (Anguilla bicolor) berbobot awal 3
g/ekor dengan padat tebar 2 g/l, 3 g/l, dan 4 g/l dalam sistem resirkulasi. Skripsi. Bogor. FPIK IPB.
Ganong, W. F. 1983. Fisiologi Kedokteran. San Fransisco. EGC Press. 642 pgs. Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta. Grasindo. 260 hlm. Gunawan, S. 2014. Kupas Tuntas Budidaya dan Bisnis Lele. Jakarta. Penebar
Swadaya. 188 hlm. Hamdi, A. S dan Bahruddin, E. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi
dalam Pendidikan. Yogyakarta. Deepublish. 171 hlm. Harianto, E., T. Budiardi dan A.O. Sudrajat. 2014. Kinerja Pertumbuhan Anguilla
bicolor bobot awal 7 g dengan kepadatan berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia. 13(2): 120—131.
Herviani, I. 2002. Pengaruh Perendaman Larva dalam Larutan Hormon
Triiodotironin (T3) Selama 24 jam dengan Dosis Berbeda Terhadap Perkembangan, pertumbuhan, dan Kelangsungan Hidup Larva Gurame (Osphronemus gouramy). Skripsi. Bogor. FPIK IPB.
Herviani, I., M. Zairin dan O. Carman. 2003. Pengaruh perendaman larva ikan
gurame dalam larutan triiodotironin (T3) pada dosis berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Osphronemus gouramy Lac.). Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(2): 61—65.
Idris, A. P. S. 2016. Analisis berbagai kadar protein terhadap konsumsi dan
efisiensi pakan pada budidaya ikan sidat (Anguilla marmorata). Jurnal Galung Tropika. 5(2): 109—117.
Ilmiah, E. N. 2014. Kinerja produksi elver ikan sidat (Anguilla marmorata) dengan
padat tebar 2 g/l, 3 g/l, 4 g/l pada bobot awal 7 g/ekor dalam sistem resirkulasi. Skripsi. Bogor. FPIK IPB.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta. Kanisius. 285 hlm. Kralik, A., K. Eder and M. Kirchgessner. 1996. Influence of zinc and selenium
deficiency on parameters relating to thyroid hormone metabolism. Horm. Metab. Res. 28: 223—226.
Lam, T. J and R. Sharma. 1985. Effects of salinity and thyroxine on larval survival,
growth and development in carp, Cyprinus carpio. Aquaculture. 44: 201—212.
Latif, K. 2006. Evaluation of chicken intestine waste as a feed ingredient for red
tilapia (Oreochromis sp.) juveniles. Skripsi. Malaysia. Universiti Putra Malaya.
85
Mahyuddin, K. 2009. Panduan Lengkap Agribisnis Ikan Gurami. Jakarta. Penebar
Swadaya. 249 hlm. Mahyuddin, K. 2010. Panduan Lengkap Agribisnis Patin. Jakarta. Penebar
swadaya. 212 hlm. Marks, D.B., Allan, D.M and Colleen, M.S. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 770 hlm. Matty, A. J. 1985. Fish Endocrinology. London. Croom Helm. 267 pg. Nawir, F., N. B. Utomo dan T. Budiardi. 2015. Pertumbuhan ikan sidat yang diberi
kadar protein dan rasio energi protein pakan berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia. 14(2): 128—134.
Neal, J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta. PT. Gelora Aksara
Pratama. 98 hlm. Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Jakarta. LIPI Press. 331 hlm. Ostrander, G.K. 2000. The Laboratory Fish. USA. Academic Press. 2000 hlm. Pitojo, S. 2004. Benih Kentang. Yogyakarta. Kanisius. 128 hlm. Pramono, T.H. 2001. Pengaruh Pemberian Hormon Triiodo-Tironin Kepada Induk
Terhadap Organogenesis, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata, Blkr). Skripsi. FPIK IPB.
Rachmawati, F. N dan U. Susilo. 2011. Profil hormone dan kinerja reproduksi
ikan sidat (Anguilla bicolor McClelland) yang tertangkap di perairan segara anakan cilacap. Biota. 16(2): 221—226.
Rahmawati, S., Hasim dan Mulis. 2014. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan sidat di balai benih ikan gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3(2): 64—70.
Redaksi Agromedia. 2012. 19 Peluang Bisnis Ikan Konsumsi. Jakarta. PT.
Agromedia Pustaka.166 hlm. Ritonga, T. P. 2014. Respon benih ikan sidat (Anguilla bicolor bicolor) terhadap
derajat keasaman (pH). Skripsi. Bogor. IPB. Rohman, Z. F. 2015. Kinerja produksi pendedran glass eel ikan sidat (Anguilla
marmota) pada sistem resirkulasi dengan pergantian air 30% dan 45% per hari. Skripsi. Bogor. IPB.
Roy, R. 2013. Budi Daya Sidat. Jakarta. Agromedia Pustaka. 70 hlm. Rusmaedi., Praseno. O., Rasidi dan Subamia I.W. 2010. Pendederam ikan sidat
(Anguilla bicolor) sistem resirkulasi bak beton. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Loka Riset Pemuliaan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. Jakarta. Pusat Riset Prikanan Budidaya. 107—111.
86
Sakdiah, M., M. Zairin dan O. Carman. 2003. Pengaruh lama perendaman di dalam larutan hormon triiodotironin terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(1): 1—6.
Samsundari, S dan G. A. Wirawan. 2013. Analisis penerapan biofilter dalam
sistem resirkulasi terhadap mutu kualitas air budidaya ikan sidat (Anguilla bicolor). Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. 8(2): 86—97.
Sarwono, B. 2002. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta. Penebar Swadaya. 95 hlm. Sasongko, A., J. Purwanto., S. Mu’minah dan U. Arie. 2007. Sidat: Panduan
Agribisnis Penangkapan, Pendederan dan Pembesaran. Jakarta. Penebar Swadaya. 116 hlm.
Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang pertanian.
Yogyakarta. Kanisius. 244 hlm. Soemarjati, W., A. B. Muslim., R. Susiana., dan C. Saparinto. 2015. Bisnis dan
Budi Daya Kerapu. Jakarta. Penebar Swadaya. 148 hlm. Subekti, S., M. Prawesti dan M. Arief. 2011. Pengaruh kombinasi pakan buatan
dan pakan alami cacing sutera (Tubifex tubifex) dengan persentase yang berbeda terhadap retensi protein, lemak dan energi pada ikan sidat (Anguilla bicolor). Jurnal Kelautan. 4(1): 90—95.
Suitha, I.M., A. Suhaeri. Budi Daya Sidat. Jakarta. Agromedia Pustaka. 48 hlm. Suryono, T dan M. Badjoeri. 2013. Kualitas air pada uji pembesaran larva ikan
sidat (Anguilla spp.) dengan sistem pemeliharaan yang berbeda. Limnotek. 20(2): 169—177.
Sutrisno. 2008. Penentuan salinitas dan jenis pakan alami yang tepat dalam
pemeliharaan benih ikan sidat (Anguilla bicolor). Jurnal Akuakultur Indonesia. 7(1): 71—77.
Tabinda, A. B and Butt, A. 2012. Replacement of fish meal with poultry by-
product meal (chicken intestine) as a protein source in grass carp fry diet. Pakistan J. Zool. 44(5): 1373—1381.
Takei. Y and S. Hirose. 2001. The natriuretic peptide system in eel: a key
endocrine system for euryhalinity. Am. J. Physiol. Regulatory Integrative Comp. 282 pgs.
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran. 211 hlm. Topan, M dan N. Riawan. 2015. Budi Daya Belut dan Sidat Gak Pake Masalah.
Jakarta. Agromedia Pustaka. 134 hlm. Uliyah, M dan Hidayat, A. A. 2008. Keterampilan Dasar Praktik klinik untuk
Kebidanan, Edisi 2. Jakarta. Penerbit Salemba Medika. 268 hlm.
87
Usui, A. 1974. Eel culture. West Byfleet & London. Fishing News (Book). 186 pp. Utomo, B. 2003. Tampilan Produksi Susu dan Komponen Metabolisme Tubuh
Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Akibat Perbedaan Kulaitas Rnasum. Tesis. Magister Ilmu Ternak Universitas Diponegoro.
Wong A, Zhou H, Jiang Y, Ko W. 2006. Feedback regulation of growth
hormone synthesis and secretion in fish and the emerging concept of intrapituitary feedback loop. Comparative Biochemistry and Physiology. Part A 144 (2006) 284-305.
Yaniharto, D., O. Rovara dan I. E. Seyiawan. 2013. Substitusi tepung ikan impor
dengan tepung ikan lokal dan tepung bungkil kedelai pada pakan ikan sidat (Anguilla bicolor) yang dipelihara di kolam (hapa). Konferensi Akuakultur Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Yusup, W., Hasim dan Mulis. 2015. Pengaruh pemberian pakan Artemia sp.
dosis berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan benih ikan sidat di balai benih ikan gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan kelautan. 3(2): 58—63.