si miskin dan si kaya di hadapan hukum

3
Si Miskin dan Si Kaya di Mata Hukum Berawal dari kasus-kasus yang mengusik rasa keadilan, sorotan berbagai media pun mengarah pada penegakan hukum yang dinilai pro terhadap si kaya dan menindas kaum miskin sampai-sampai muncul ungkapan bahwa penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sebut saja beberapa kasus yang pernah kita dengar misalnya nenek Rasminah yang mencuri 6 buah piring dihukum 130 hari, kakek Rawi yang mencuri 500gram merica terancam 5 tahun penjara, serta nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti bersalah mencuri 3 buah kakao. Dukungan, simpati, serta empati masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk untuk kasus-kasus tersebut. Dari kasus-kasus semacam ini biasanya berbagai media baik elektronik maupun cetak memberitakan secara gencar karena dinilai memiliki nilai pemberitaan yang tinggi. Namun demikian yang disayangkan adalah bahwa ketika pengambil keputusan atau pengadilan telah menjatuhkan putusan, opini dan pemberitaan yang berkembang di masyarakat kerap kali menunjukan kekecewaannya dimana seolah-olah sudah terpasang “kuda-kuda” bahwa mereka harusnya dinyatakan tidak bersalah atau tidak dihukum karena mereka hanyalah segelintir korban rakyat kecil yang terzolimi oleh sistem penegakan hukum di negeri ini. Hal tersebut terlihat dengan jelas misalnya ketika Mahkamah Agung menyatakan nenek Rasminah bersalah dan menjatuhi hukuman 130 hari kepadanya. Seketika itu juga berbagai reaksi ditujukan kepada Mahkamah Agung dan seolah-olah para Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah salah menjatuhkan putusannya. Sebaliknya, dalam kasus-kasus yang melibatkan orang-orang besar, entah dari kalangan pengusaha, birokrat, politikus, artis, ataupun berbagai elemen masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini proses penegakan hukumnya kerap kali dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Belum-belum berjalan, padangan masyarakat sudah antipati bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai dari proses penyidikan hingga putusan nanti. Pada akhirnya, bilamana seseorang yang didakwa sebagai koruptor kemudian diputus bebas maka dengan mudahnya terbentuk opini bahwa pasti ada main mata dalam pengambilan putusan tersebut. Atau juga misalnya ketika seorang yang secara

Upload: john-edwards

Post on 21-Jul-2015

34 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Si Miskin dan Si Kaya di Mata Hukum Berawal dari kasus-kasus yang mengusik rasa keadilan, sorotan berbagai media pun mengarah pada penegakan hukum yang dinilai pro terhadap si kaya dan menindas kaum miskin sampai-sampai muncul ungkapan bahwa penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sebut saja beberapa kasus yang pernah kita dengar misalnya nenek Rasminah yang mencuri 6 buah piring dihukum 130 hari, kakek Rawi yang mencuri 500gram merica terancam 5 tahun penjara, serta nenek Minah divonis 1,5 bulan kurungan karena terbukti bersalah mencuri 3 buah kakao. Dukungan, simpati, serta empati masyarakat mengalir deras dalam berbagai bentuk untuk kasus-kasus tersebut. Dari kasus-kasus semacam ini biasanya berbagai media baik elektronik maupun cetak memberitakan secara gencar karena dinilai memiliki nilai pemberitaan yang tinggi. pemberitaan yang Namun demikian yang disayangkan adalah bahwa di masyarakat kerap kali menunjukan ketika pengambil keputusan atau pengadilan telah menjatuhkan putusan, opini dan berkembang kekecewaannya dimana seolah-olah sudah terpasang kuda-kuda bahwa mereka harusnya dinyatakan tidak bersalah atau tidak dihukum karena mereka hanyalah segelintir korban rakyat kecil yang terzolimi oleh sistem penegakan hukum di negeri ini. Hal tersebut terlihat dengan jelas misalnya ketika Mahkamah Agung menyatakan nenek Rasminah bersalah dan menjatuhi hukuman 130 hari kepadanya. Seketika itu juga berbagai reaksi ditujukan kepada Mahkamah Agung dan seolah-olah para Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah salah menjatuhkan putusannya. Sebaliknya, dalam kasus-kasus yang melibatkan orang-orang besar, entah dari kalangan pengusaha, birokrat, politikus, artis, ataupun berbagai elemen masyarakat lainnya yang dinilai memiliki pengaruh di Republik ini proses penegakan hukumnya kerap kali dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Belum-belum berjalan, padangan masyarakat sudah antipati bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan perlakuan istimewa mulai dari proses penyidikan hingga putusan nanti. Pada akhirnya, bilamana seseorang yang didakwa sebagai koruptor kemudian diputus bebas maka dengan mudahnya terbentuk opini bahwa pasti ada main mata dalam pengambilan putusan tersebut. Atau juga misalnya ketika seorang yang secara

status ekonominya lebih kuat berhadapan dengan rakyat kecil yang kedudukan sosial ekonominya lebih lemah, maka opini media dan masyarakat kerap membela rakyat kecil tersebut yang mereka anggap pasti terzolimi tanpa melibat lebih dulu secara rijit hal-hal yang menjadi pokok permasalahannya. Sesungguhnya, hukum telah mengatur bahwa kedudukan setiap warganegara adalah sama dihadapan hukum. Penegakan hukum dilakukan tanpa melihat apakah yang bersangkutan kaya atau miskin, kuat atau lemah. Hal inilah yang disebut sebagai kesamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law). Jadi, dalam penegakan hukum yang seharusnya dititikberatkan adalah mengenai perbuatannya. Jika salah atau melanggar hendaklah dinyatakan salah dan jika benar hendaklah dinyatakan tidak bersalah. Bukan berarti apabila si pelaku adalah kaum miskin maka tindakannya dapat dibenarkan dan apabila pelaku dari golongan kuat bukan berarti juga atas kesalahannya akan mendapatkan perlakuan khusus. Pandangan dan opini masyarakat terhadap suatu kasus tertentu memang diperlukan seiring dengan proses pembelajaran demokrasi di negeri ini. Namun demikian, hendaknya padangan tersebut tidaklah bersifat skeptis dan antipati terhadap golongan tertentu. Sebaliknya, padangan tersebut hendaknya diberikan dari sisi objektif akan perbuatan yang dilakukan. Ketika pengadil telah mengetuk palu dan menjatuhkan putusan, disinilah diperlukan kedewasaan kita untuk menghormati putusan yang telah melalui proses pemeriksaan tersebut. Menurut Prof. Soerjono Soekanto penegakan hukum itu sendiri memiliki berbagai faktor seperti faktor hukumnya itu sendiri (peraturan), faktor sarana atau fasilitas penegakan hukum, faktor masyarakat, kebudayaan, serta faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor-faktor ini saling bersinergi dan melengkapi satu dan yang lain sehingga menghasilkan suatu produk penegakan hukum. Sebagai salah satu faktor penegakan hukum, dalam menjatuhkan putusan hakim juga tidak dapat hanya sebagai corong undang-undang saja. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Salah salah satu contoh putusan yang dapat kita perhatikan antara lain adalah kasus pencurian sendal jepit yang menimpa AAL, dimana AAL dituduh telah mencuri sendal eiger milik seorang anggota kepolisian. Kasus ini kemudian membuat geger salah satunya adalah karena ternyata sendal barang bukti sandal yang dicuri berbeda dengan sendal yang dilaporkan hilang oleh anggota kepolisian tersebut. Atas hal inipun masyarakat kemudian bereaksi melakukan gerakan mengumpulkan seribu sandal jepit sebagai bentuk dukungan terhadap sang anak. Seandainya secara hukum sang anak terbukti bersalah melakukan pencurian, maka disini hakim berperan menerapkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam kasus ini hakim tingkat pertama tidak menjatuhkan hukuman pidana kepada sang anak melainkan mengembalikan kepada orang tuanya untuk diberikan pembinaan. Putusan semacam inilah yang menurut hemat penulis telah menempatkan hukum di dalam koridornya sehingga tidak hanya dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Bagaimanapun seandainya perbuatan yang terbukti salah secara hukum haruslah dinyatakan sebagai perbuatan yang salah. Namun dengan mempertimbangkan berbagai nilainilai yang hidup dalam masyarakat, putusan atau hukuman yang dijatuhkan harus juga menunjukan suatu kearifan yang berkeadilan dengan mempertimbangkan berbagai faktor penegakan hukum sebagaimana disebutkan diatas. Menghukum pelaku dengan sanksi pidana bukanlah merupakan tujuan utama dari hukum pidana. Hukum pidana hendaknya dilihat sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir dalam rangka penegakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat. Mudah-mudahan dengan terpilihnya Ketua Mahkamah Agung yang baru penegakan hukum di Indonesia dapat lebih berkeadilan sehingga masyarakat pun dapat lebih percaya akan proses serta produk penegakan hukum di negeri ini. Bryan Bernadi Senior Associate di Kantor Hukum Andi F. Simangunsong Partnership