sfszf

27
REFERAT FAKTOR RISIKO MUAL DAN MUNTAH PASCA OPERASI Disusun oleh: 1. Kusuma Ajeng S. (G1A211086) 2. Liliana Yeni Safira (G4A013098) 3. Khozatin Zuni F. (G4A013099) 4. Nurvita Pranasari (G4A013100) Pembimbing : dr. Hermin Prihartini, Sp. An, KIC

Upload: pulsewangmin

Post on 15-Sep-2015

228 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

FGSG

TRANSCRIPT

REFERATFAKTOR RISIKO MUAL DAN MUNTAH PASCA OPERASI

Disusun oleh:1. Kusuma Ajeng S.

(G1A211086)

2. Liliana Yeni Safira (G4A013098)

3. Khozatin Zuni F.

(G4A013099)

4. Nurvita Pranasari

(G4A013100)

Pembimbing :

dr. Hermin Prihartini, Sp. An, KIC

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

SMF ANESTESIOLOGI

RSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

2014

LEMBAR PENGESAHANREFERAT FAKTOR RISIKO MUAL DAN MUNTAH PASCA OPERASIDiajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepanitraan Klinik

Di bagian SMF Anestesiologi

RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :Kusuma Ajeng S.(G1A211086)

Liliana Yeni Safira (G4A013098)

Khozatin Zuni F. (G4A013099)

Nurvita Pranasari(G4A013100)

Purwokerto, April 2014Mengetahui

Pembimbing

dr. Hermin Prihartini, Sp. An, KIC KATA PENGANTARPuji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME. atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Faktor Risiko Mual dan Muntah Pasca Operasi. Tujuan penulisan referat ini ialah untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Anestesiologi RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo, Purwokerto.Dalam kesempatan ini perkenakanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. dr. Hermin Prihartini, Sp. An, KIC. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan pada referat kami.2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunanreferat ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat kekurangan. Kami berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran.

Purwokerto, April 2014

PenulisBAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Muntah merupakan suatu cara traktus gastrointestinal membersihkan dirinya sendiri dari isinya ketika hampir semua bagian traktus gastrointestinal teriritasi secara luas, sangat mengembang, atau bahkan terlalu terangsang. Distensi atau iritasi yang berlebihan dari duodenum menyebabkan suatu rangsangan khusus yang kuat untuk muntah (Guyton dan Hall, 2008).Mual dan muntah pasca operasi atau post operative nausea and vomiting (PONV) dapat disebabkan oleh beberapa jalur yaitu sistem saraf perifer, dan reseptor dari sistem saraf pusat, meskipun penyebab pastinya belum diketahui. Mual muntah pasca operasi atau Post operative nausea and vomiting (PONV) adalah efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi (Christian, 2010).Mual dan muntah pasca operasi menunjukkan 20 - 30 % angka kejadian pada pasien. Angka kejadiannya kurang lebih 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama (Morgan et al, 2006).Ada beberapa golongan obat yang biasa digunakan untuk menangani mual dan muntah pasca operasi, seperti dopamine antagonis, histamin antagonis, antikolinergik, serotonin antagonis, dexametason, dan neurokinin antagonis. Namun ondansetron adalah antogonis serotonin pertama, dan merupakan pilihan untuk keluhan mual dan muntah, dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penggunaan selective 5 hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) anatagonis seperti ondansetron 4 mg ( 0.1 mg/kg pada anak), granisetron 0.01 - 0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak) juga secara aktif dapat mencegah PONV dan dalam terapi PONV. Pemberian dexametason juga berperan efektif dalam meningkatkan penurunan terjadinya PONV dengan dosis 4 - 10 mg (Sadosty dan Browne, 2000).B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui keadaan mual dan muntah pasca operasi dan cara menanganinya

2. Tujuan Khusus a. Menjelaskan tentang fisiologi mual dan muntahb. Menjelaskan tentang mual dan muntah pasca operasi dari identifikasi sampai penatalaksanaan

C. Manfaat

Menambah khasanah pengetahuan kedokteran tentang faktor risiko mual dan muntah pasca operasi.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Mual dan MuntahSinyal sensoris yang mencetuskan muntah terutama berasal dari faring, esophagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian ditransmisikan oleh serabut saraf aferen vagal maupun oleh saraf simpatis ke berbagai nucleus yang tersebar di batang otak yang semuanya disebut pusat muntah. Dari sini, impuls-impuls motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur saraf kranialis V, VII,IX,X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktur yang lebih bawah dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen (Guyton, 2008).Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul perilaku muntah, efek pertama adalah (Guyton, 2008) :

1. Bernapas dalam

2. Naiknya tulang lidah dan laring untuk menarik sfingter esophagus bagian atas supaya terbuka

3. Penutupan glotis untuk mencegah aliran muntah memasuki paru

4. Pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior

Kemudian datang kontraksi diafragma yang kuat ke bawah bersama dengan kontraksi semua otot dinding abdomen. Keadaan ini memeras perut di antara diafragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Akhirnya, sfingter esophagus bagian bawah berelaksasi secara lengkap, membuat pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus.2,5 Jadi, aksi muntah berasal dari suatu kerja dari otot-otot abdomen bersama dengan kontraksi dari dinding lambung dan pembukaan sfingter esophagus sehingga isi lambung dapat dikeluarkan (Guyton, 2008).Selain dari muntah yang disebabkan oleh rangsangan iritasi traktus gastrointestinal, muntah juga dapat disebabkan oleh impuls saraf yang timbul pada daerah otak. Terutama berlaku pada daerah kecil yang terletak bilateral pada dasar ventrikel keempat disebut zona pencetus kemoreseptor untuk muntah. Perangsangan elektrik pada daerah ini dapat menyebabkan muntah, namun yang lebih penting terutama pada penggunaan obat-obat tertentu, termasuk apomorfin, morfin, dan beberapa derivate digitalis, dapat secara langsung merangsang zona pencetus kemoreseptor dan mencetuskan muntah. Destruksi daerah tersebut menghambat muntah, tetapi tidak menghambat muntah yang ditimbulkan oleh rangsangan iritasi (Price dan Wilson, 2006).Telah diketahui dengan baik bahwa perubahan arah atau irama gerakan tubuh yang cepat dapat menyebabkan muntah. Mekanisme hal ini yaitu karena gerakan merangsang reseptor di dalam labirin vestibular pada telinga dalam, dan dari sini impuls ditransmisikan terutama lewat jalur nuclei vestibular batang otak kedalam serebelum, kemudian ke zona pencetus kemoreseptor dan akhirnya ke pusat muntah untuk menyebabkan muntah (Guyton dan Hall, 2008).Teradapat 3 stadium pada proses mual dan muntah (Pierre et al , 2008). :

1. Mual ( perasaan yang sangat tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium. Terjadi peningkatan salivasi menurunya tonus lambung dan peristaltik.2. Recthing ( suatu usaha involunter untuk muntah, terdiri atas gerakan pernapasan spasmodik melawan glotis dan pergerakan inspirasi dinding dada dan diafragma.3. Muntah ( suatu refleks yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi lambung atau usus atau keduanya ke mulut.

Jalur alamiah dari muntah belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf-saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf-saraf ini menerima input dari (Gan et al, 2003):a. Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postremab. Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah

c. Nervus vagus ( yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)d. Sistem spinoreticular ( yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus (Guyton dan Hall, 2008).a. Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisk dan manipulasi selama operasi.b. Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia.

Pada area CTZ kaya akan reseptor dopamin dan 5-hydroxytryptamine, khususnya D2 dan 5HT. CTZ tidak dilindungi oleh sawar darah otak, oleh karena itu bisa terpapar oleh stimulus-stimulus (mis : obat-obatan dan toksin). Bisa juga dipengaruhi oleh agen anestesi, opioid dan faktor humoral (cth 5HT) yang terlepas pada saat operasi. Sistem vestibular bis amenstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba-tiba dari kepala pasien setelelah bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga tengah dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibuler ke pusat muntah. Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatanm, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor (Sadosty dan Bowne, 2000). B. Etiologi Mual dan MuntahEtiologi muntah pada PONV merupakan multifaktorial. Faktor-faktornya bisa diklasifikasikan berdasar sikuensi keterpaparan pasien yaitu (Morgan et al, 2006) :

1. Faktor-faktor pasien a. Umur : insidensi PONV 5 % pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42-51% pada umur 6-16 tahun dan 14-40% pada dewasa.b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2-4 kali lebih mungkin dibandingkan laki-laki, kemungkinan karena hormon perempuan.c. Obesitas : laporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi PONV baik karena adipos yang berlebihan sehingga penyimpanan obat-obat anestesi atau produksi esterogen yang berlebihan oleh jaringan adipos.d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena PONVe. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya PONVf. Perokok : meropkok mempengaruhi angka kejadian PONV, pada pasien dengan status bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV2. Faktor-faktor preoperatif a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan meningkatkan insidensi PONVb. Ansietas : stress dan ansietas bisa menyebabkan muntahc. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial, obstruksi saluran pencernaan , kehamilan, aborsi atau pasien dengan kemoterapi.d. Pre medikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dan sel-sel chromaffin dan terlepasnya ADH;3. Faktor-faktor intraoperatif a. Faktor anestesi 1) Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah.2) Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah.3) Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang vestibular4) Obat-obat anestesi :opioid adalah obat penting yang berhubungan dengan PONV. Eromidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi.5) Agen inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster.

b. Teknik anestesi : insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.c. Faktor pembedahan :1) Kejadian PONV juga berhubngan dengan tingginya insiden dan keparahan PONV. Seperti pada laparoskopi, bedah payudara, laparotomi, bedah plastik, bedah optalmik, bedah THT, bedah ginekologi.2) Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat sampai 60%).4. Faktor-faktor post operatif

Nyeri,pusing, ambulansi, makan yang terlalu cepat.

Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar pada daerah medulla yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan bagian dari pusat muntah, dan mual dapat disebabkan oleh (Christin, 2010) :

1. Impuls iritatif yang datang dari traktus gastrointestinal

2. Impuls yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion sickness

3. Impuls dari korteks serebri untuk mencetuskan muntah.

Muntah kadang terjadi tanpa didahului dengan preangsangan prodromal mual, yang menunjukkan hanya bagian-bagian tertentu dari pusat muntah yang berhubungan dengan perangsangan mual (Morgan et al, 2006).PN/PONV estimates for patient, anesteshia dan prediktor terkait pembedahan.

Beberapa kelompok peneliti mencari sistem skor tidak hanya untuk mengidentifikasi faktor resiko independen PONV tapi juga mengembangkan formula dari pasien pasien yang mungkin mengalami mual, muntah atau keduanya. Namun dengan menggunakan sistem skor ini angka kejadian PONV menjadi jauh berkurang secara umum dan terutama pada populasi dengan resiko tinggi. Belum ada sistem skoring yang dijadikan sebagai baku emas (gold standart) berdasarkan akurasinya. Perkembangan utama dalam sistem skor terfokus pada penyederhanaan sistem skor untuk kemudahan dalam penilaian. Untuk dewasa, Apfel dan Koivuranta telah membuat sistem skor sederhana dengan 4 dan 5 faktor resiko (Gan, 2003). Apfel dkk. Menyederhanakan faktor resiko PONV pada pasien dewasa dengan membuat suatu sistem skoring yang terdiri dari 4 kategori yaitu: wanita, tidak merokok, riwayat PONV dan penggunaan opioid pascabedah. Bila 0, 1, 2, 3, atau 4 faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah sekitar 10%, 20%, 40%, 60%, atau 80%.

C. Tatalaksana Mual dan Muntah Pasca OperasiPengunaan propofol pada anestesia dapat mengurangi angka kejadian pada muntah (Bosch et al, 2006).Adapun beberapa golongan obat yang dapat digunakan dalam terapi mual dan muntah paska operasi, yaitu :

1. Dopamine Antagonists

Metoklorpramid dapat diberikan untuk mencegah PONV. Ini merupakan antiemetik yang dimedia melalui reaksi anti dopaminergik dan berhubungan dengan prokinetik. Penggunaan dosis untuk metokloramid yaitu 200 mg tiap 6 jam yang mana mencegah mual dan muntah yang terinduksi dengan kemoterapi. Sayangnya penggunaan obat ini berefek samping pada gejala ekstrapiramidal pada lebih dari 10 % pasien, yang dapat diatasi dengan pemberian antihistamin dan benzodiazepin. Dosis lain diberikan metoklopramid 0,15 mg/kg secara intravena, namun tidak seefektif pada pemberian 5-HT, antagonis, namun dapat diberikan sebagi obat alternatif. 5-HT, antagonis tidak berhubungan dengan gejala akit piramidal (distonik) dan reaksi disforik yang mungkin dapat ditemui pada pemberian metoklopramid atau antiemetik fenotiazin. Pemberian droperidol 0,625-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak) secara intravena dapat diberikan saat berlangsungnya operasi, dan menurunkan kejadian PONV. Namun sayangnya pemberian droperidol mengindikasi terjadinya QT interval dan berhubungan dengan aritmia jantung. Peringatan dari FDA (food and Drug Administration) masih menjadi kontroversi dan penggunaan obat ini pun tidak terlalu digunakan (Christian, 2010).2. Histamin Antagonis

Diphenhydramine (Benadryl) dan dimenhydrinate adalah histamine (H1) reseptor antagonis yang diketahui efektif mengatasi morning sickness dan antikolinergik lemah (antimuskarinik) . Cyclizine (Marezine) dan promethazine (atosil, phenergan) sama dengan antihistamin dan antikolinergik, yang memiliki kontraindikasi pada pasien dengan glaucoma dan hipertrofi prostat. Pemberian obat ini efektif dalam mencegah PONV. Efek samping pemberian obat ini adalah mengantuk, retensi urin, mulut kering, penglihatan yang kabur, dan gejala ektrapiramidal (Morgan et al, 2006). 3. Antikolinergik

Pemberian atrofin sulfat masih dipertimbangkan. Penggunaan scopolamine secara transdermal cukup efektif namun dapat menimbulkan beberapa kesulitan pada beberapa pasien, seperti pada eksaserbasi glaucoma, retensi urin, dan kesulitan pada daya akomodasi penglihatan. Efek samping pada pemberian obat ini yaitu penglihatan kabur (18%), mulut kering (8%), pusing (2%), dan agitasi (1%) (Christian, 2010). 4. Serotonin Antagonis

Ondansetron adalah antogonis serotonin pertama, dan merupakan pilihan untuk keluhan mual dan muntah. Dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penggunaan selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) anatagonis seperti ondansetron 4 mg ( 0.1 mg/kg pada anak), granisetron 0.01 - 0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak) juga secara aktif dapat mencegah PONV dan dalam terapi PONV. Namun pemberian obat-obat ini tidak lebih baik dari ondansetron, seperti dolasetron yang butuh waktu 15 menit untuk mencapai onsetnya (Morgan et al, 2006).

Ondansetron merupakan derivate carbazolone yang merupakan obat selectivememblock serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT3) receptor. 5- hydroxytryptamine(5-HT) terdapat dalam jumlah besar di trombosit dan saluran gastrointestinal( enterchromaffin sel dan plexus myenteric). 5-HT juga berperan penting dalam neurotransmitter di Central nervous system, retina, system limbic, hypothalamus, cerebellum dan spinal cord. Banyak type dari 5-HT ini, antara lain 5-HT2A adalah reseptor yang berpengaruh pada kontraksi otot dan agregasi trombosit. 5-HT3 adalah reseptor yang memediasi terjadinya mual muntah yang terdapat saluran pencernaan dan area postrema di otak. 5-HT4 adalah reseptor untuk sekresi dan peristaltic. 5-HT6 dan 5-HT7 adalah reseptor utama pada system limbic yang berperan penting untuk terjadinya depresi (Carl et al, 2008).

Reseptor 5-HT3 berlokasi perifer (abdominal vagal afferent) dan sentral (chemoreseptor trigger zone di area postrema dan tractus nucleus solotaries) yang berperan penting dalam terjadinya mual muntah. Serotonin dilepaskan dari sel enterocromaffin di usus kecil yang menstimulasi vagal afferent melalui 5-HT3 dan menstimulasi terjadinya muntah. Obat ini tidak menganggu motilitas gastrointestinal dan sphingter oesophagus ( Carl et al, 2008).

Ondansentron telah terbukti sebagai antiemetik yang efektif untuk mencegah PONV, kemoterapi dan radiasi yang menyebabkan mual muntah. Tetapi tidak mempunyai efek pada mual muntah yang diakibatkan oleh gangguan vestibular. Profilaksis ini harus kita berikan terutama kepada pasien dengan resiko tinggi terjadinya PONV untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan akibat mual muntah tersebut (Morgan et al, 2006).

5-HT3 reseptor antagonis mempunyai efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan oabat lain. ondansentron tidak menyebabkan sedasi, gangguan ekstrapiramidal ataupun depresi pernapasan. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah sakit kepala. Pada beberapa kasus didapatkan gangguan irama jantung (prolong QT interval) terutama pada dolasetron. Kontraindikasi ondansentron adalah selain pada pasien hipersensitivitas terhadap obat ini, juga pada ibu hamil ataupun yang sedang menyusi karena mungkin disekresi dalam asi. Pasien dengan penyakit hati mudah megalami intoksikasi, tetapi pada pasien yang mempunyai kelainan ginjal agaknya dapat digunakan dengan aman (Sadosty dan Browne , 2000).

Dosis yang dinajurkan untuk mencegah PONV adalah 4 mg pada akhir pembedahan dapat diulang setiap 4-8 jam waktu paruhnya adalah 3-4 jam pada orang dewasa sedangkan pada anak-anak dibawah 1-5 tahun antara 2-3 jam. Oleh karena itu ondansentron baik diberikan pada akhir pembedahan. Ondansentron di metabolisme di hati melalui proses hydroxylasi dan konjugasi oleh enzyme sitokrom P-450 . Pada disfungsi hati terjadi penurunan kadar plasma dan berpengaruh pada dosis yang diberikan.Ondansentron digunakan untuk pencegahan mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan pengobatan kanker dengan radioterapi dan sitostatika. Ondansentron biasa diberi secara oral, intravena, dan intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan operasi ( Sadosty dan Browne, 2000). 5. Dexametason

Desametason cukup efektif dalam mengatasi antiemetik. Pada penelitian kerja dexametason berefek pada penghambatan dari traktus nucleus solitarii tapi tidak pada area postrema. Banyak penelitian menjelaskan bahwa pemberian dosis desametason yang biasa diberikannya yaitu 8-10 mg, namun ada juga sumber berbeda mengatakan pemberian dosisnya yaitu 2,5-5 mg. Pemberian desametason 4-10 mg (0,10 mg/kg pada anak) dapat dikombinasikan dengan obat antiemetik lain dan efektif untuk keadaan mual dan muntah (Morgan et al, 2006).6. Neurokinin Antagonis

Substansi P yaitu regulatori peptide yang mengukat neurokinin-1(NK1) reseptor ditemukan pada vagal aferen di traktus gastrointestinal. Sekitar 40 tahun lalu dikatakan bahwa NK1 secara efektif dapat mngetasi stimulus emetik secara luas. Namun saat ini di beberapa penelitian, pemberian 200 mg mengurangi kejadian muntah postoperative dari 50% menjadi 10% (Sadosty dan Browne, 2000).

Dosis profilaksis dan waktu pemberian antiemeti (McCracken et al, 2008).

Sumber lain mngatakan bahwa penggunaan 1 mg haloperidol dan 4 mg ondansentron efektif sebagai profilaksis dalam mual dan muntah pasca operasi.6Pada terapi nonfarmakologis PONV termasuk pemberian cairan yang adekuat yaitu 20mL/kg setelah puasa dan stimulasi dari P6 dengan akupuntur pada pergelangan tangan (Morgan et al, 2006).

Pemberian profilaksis pada setiap pasien masih menjadi kontroversi, dan masih perlu dilakukan penilaian dari segala aspek multifaktor untuk dapat menerima profilaksis. Terapi yang baik untuk menangani mual dan muntah paska operasi yaitu dilakukan pad akurang dari 24 jam (Christian, 2010).BAB IIIKESIMPULAN

Mual dan muntah pasca operasi menunjukkan 20 - 30 % angka kejadian pada pasien. Angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama (Morgan et al, 2008).Jalur alamiah dari muntah belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf - saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf-saraf ini menerima input dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema , sistem vestibular, nervus vagus, sistem spinoreticular, dan nukleus traktus solitaries (Guyton dan Hall, 2008). Ada beberapa golongan obat yang biasa digunakan untuk menangani mual dan muntah pasca operasi, seperti dopamine antagonis (metoclopramide 0.15 mg/kg), histamin antagonis, antikolinergik, serotonin antagonis (ondansetron, granisetron, dolasetron), dexametason, neurokinin antagonis. Namun ondansetron adalah antogonis serotonin pertama, dan merupakan pilihan untuk keluhan mual dan muntah. Dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Penggunaan selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) anatagonis seperti ondansetron 4 mg ( 0.1 mg/kg pada anak), granisetron 0.01 - 0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak) juga secara aktif dapat mencegah PONV dan dalam terapi PONV. Pemberian dexametason juga berperan efektif dalam meningkatkan penurunan terjadinya PONV dengan dosis 4 - 10 mg (Sadosty dan Browne, 2000).DAFTAR PUSTAKABosch,J.E., Bonsel,G.J., Moons,K.G. 2006.Effect of Postoperative Experiences on Willingness t Pay to Avoid Postoperative Pain, Nausea, and Vomiting. Anesthesiology. 104:1033-9.Carl, E., Rosow, C.E., Haspel, K.L., Smith, S.E., Grecu, L. 2008. Haloperidol Versus Ondansetron for Prophylaxis of Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg.106:1407-9. Christian, C.A. 2010. Post Operative Nausea and Vomiting. In: Miller DR, Eriksson LI, Fleisher LA, Kronish JPW, Young WL, editors. Miller's Anesthesia. Seventh Edition. Volume Two. San Fransisco: Elsevier: P 2729-2751.Gan ,T.J., Meyer .T., Apfel. C.C., Chung, F., Davis, P.J., Eubanks, S., Kovac, A., et al. 2003. ConsensuS Guidelines for Managing Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth Analg97: 62-71.Guyton, A.C.,dan Hall, J.E. 2008. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Yanuar L, Hartanto H, Novriati A, Wulandari N, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

McCracken,G., Houston ,P., Lefebvre, G.2008. Guideline for the Management of Postoperative Nausea and Vomiting. J O G C Juillet. 209: 600 - 7. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Postanesthesia Care. In: Clinical Anesthesiology Fourth Edition. USA: McGraw-Hill CompanieS.

Pierre, S., Benais, H., Pouymayou, J. 2002. Apfel's simplified score may favourably predict the risk of postoperative nausea and vomiting. Can J Anesth. 49 (3): 237 - 42. Price , S.A.,dan Wilson, L.M.2006. Gangguan Sistem Gastrointestinal. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. P421-2. Sadosty ,A.T., dan Browne , B.J. 2000. Vomiting Diarrhea and Constipation. In: Tintinalli JE, Kelen GD, Stapczynski JS, editors. Emergency Medicine A Comprehensive Study Guide. Fifth Edition. USA: McGraw-Hill Companie. P567-8.

18