repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43416/1/rendy...
TRANSCRIPT
ANALISIS TRANSAKSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP PENDAPATAN PETANI
(Studi Kasus: Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian (S.P.)
Disusun oleh:
Rendy Setiawan
NIM : 1110092000019
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/ 1436 H
ANALISIS TRANSAKSI LAHAN PERTANIAN DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus: Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi,
Propinsi Jawa Barat)
Oleh:
Rendy Setiawan
NIM: 1110092000019
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian (S.P) pada Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1436 H
ANALISIS TRANSAKSI LAHAN PERTANIAN DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Studi Kasus: Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi,
Propinsi Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Sains dan Teknologi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian (S.P)
Oleh :
RENDY SETIAWAN
NIM : 1110092000019
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Analisis Transaksi Lahan Pertanian dan Dampaknya
Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan,
Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat)”, yang ditulis oleh Rendy Setiawan. NIM
1110092000019, telah diuji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqosyah
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada hari Rabu, tanggal 16 September 2015. Skripsi Ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program
Studi Agribisnis.
Menyetujui,
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, September 2015
Rendy Setiawan
RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PRIBADI
Nama : Rendy Setiawan
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 30 Maret 1992
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat lengkap : Taman Wisma Asri Jalan Salak 3, Blok A5.
No. 2, RT 02 RW 013 Kelurahan Teluk
Pucung Kecamatan Bekasi Utara
No. Handphone : 081545714911
E-mail : [email protected]
PENDIDIKAN
1996 – 1998 : TK Al-Manaar Bekasi
1998 - 2004 : SDN Harapan Baru 3 Bekasi
2004 - 2007 : SMP Negeri 3 Bekasi
2007 – 2010 : SMA Mutiara 17 Agustus Bekasi
2010 – 2015 : Program Sarjana (S-1) Agribisnis,
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah (UIN) Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI
2004-2006 : Anggota Palang Merah Remaja SMPN 3
2007-2009 : Anggota OSIS Divisi Kesenian dan
Olahraga SMA Mutiara 17 Agustus
2013 : Ketua Anggota KKN “Raja Muda”
PENGALAMAN KERJA
2013 : Magang di PT. Godong Ijo
2013 : Magang di PT. Daya Agro Mitra Mandiri
i
RINGKASAN
Rendy Setiawan. Analisis Transaksi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap
Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten
Bekasi, Propinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan Iskandar Andi Nuhung dan
Rahmi Purnomowati
Dalam Periode 2008-2012 Konversi Lahan di Kabupaten Bekasi
mengurangi penggunaan lahan basah mencapai 2.108 ha. Penggunaan lahan basah
yang berkurang diiringi dengan peningkatan penggunaan lahan kering mencapai
2.108 ha, penggunaan lahan basah biasa digunakan untuk persawahan, kebun,
ladang, tegalan, dll. Sedangkan lahan kering biasa digunakan untuk perumahan,
bangunan, industri dan fasilitas umum lainnya. Desa Buni Bakti adalah salah satu
dari 9 Desa yang ada pada Kecamatan Babelan yang merupakan 1 dari 23
Kecamatan di Kabupaten Bekasi. Berkurangnya lahan persawahan di desa ini pun
terjadi, pada tahun 2012-2013 luas panen menurun mencapai 217 ha, produksi
padi sawah menurun 2.498 ton serta. Penurunan ini disebabkan konversi lahan
pertanian yang diawali dari transaksi lahan oleh para petani kepada pembeli lahan
di daerah tersebut. Pembangunan pertambangan dan industri di Desa Buni Bakti
mendorong berubahnya penggunaan lahan disana, terdapat PT. Pertamina, PT.
Tesco dan PT. Cikarang Listrindo yang aktif di daerah tersebut. Lahan yang
awalnya dimiliki oleh petani setempat, mereka lepas kepada pembeli ataupun
pengembang dengan beberapa alasan terutama karena ekonomi. Kuatnya
dorongan dan desakan dari dalam maupun luar diri petani membuat mereka tidak
kuasa untuk melepas lahan mereka.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi petani dalam menjual lahan mereka. Faktor-faktor yang
diteliti adalah faktor internal dari dalam diri petani. Pengambilan data dilakukan
pada bulan Januari-April 2015 di Desa Buni Bakti, data terdiri dari dua jenis yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan kuisioner yang
ditujukan kepada petani/warga setempat yang menjual lahan mereka. Sedangkan
data sekunder diambil dari data Badan Pusat Statistik, BP3K, dan kantor desa
setempat.
Hasil dari model regresi menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh
nayata terhadap motivasi petani dalam menjual lahan di Desa Buni Bakti adalah
umur, harga tanah, luas lahan dan jumlah tanggungan keluarga, sementara lama
pendidikan tidak berpengaruh nyata. Transaksi lahan di Desa Buni Bakti ini
banyak diperantarai oleh calo tanah. Pemakain lahan oleh pembeli banyak
digunakan untuk investasi dan dijual kembali, karena banyak spekulan tanah yang
memang ingin mengambil keuntungan ketika mereka menjual kembali lahan
tersebut mengingat harga tanah meningkat di tiap tahunnya. Beberapa petani
menjual lahan mereka kepada perusahaan yang aktif di daerah tersebut. Dampak
dari transaksi lahan yang dilakukan oleh petani di desa tersebut terhadap
pendapatan mereka ada yang berdampak negatif dan ada yang positif. Sedangkan
terhadap mata pencaharian mereka beberapa petani ada yang tetap menjadi petani
garap dengan menggarap lahan pemilik tanah dengan sistem sewa, beberapa dari
mereka ada yang membuka usaha seperti warung, toko ataupun berdagang namun
ii
tidak meninggalkan pekerjaan sebagai petani. Terdapat juga yang meninggalkan
pekerjaan sebagai petani sepenuhnya dan beralih kepada kegiatan
wirausaha/bisnis, dan beberapa dari mereka yang meninggalkan pekerjaan mereka
sebagai petani untuk bekerja sebagai sekuriti, guru maupun karyawan.
Dampak lain dari penjualan lahan ini adalah rusaknya lingkungan desa
sekitar karena pembangunan industri dan juga lahan yang terbengkalai karena
tidak digunakan untuk bertani. Karena perluasan kegiatan industri, kelestarian
peninggalan sejarah Situs Buni pun terancam eksistensinya.
Kata kunci: Transaksi, Lahan Pertanian, Pendapatan Petani, Konversi Lahan.
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr, Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat,
karunia dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis
Transaksi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi
Kasus Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa
Barat)” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan
sahabatnya yang telah membawa umat manusia ke jalan kebaikan.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian pada Program Studi Agribisnis, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya, terselesaikan skripsi ini
bukan merupakan kerja keras sendiri namun berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang mendalam atas dukungan dan partisipasi yang telah diberikan. Ucapan
terima kasih, penulis berikan kepada :
1. Kedua orang tua tercinta H. Johnny Sabaruddin, B.Sc dan Hj. Erni Rositha
yang tidak pernah lelah memberikan dorongan, masukan, nasihat, semangat
serta bantuan moril maupun materi sehingga penulis dilancarkan dalam
penulisan skripsi.
2. Abang ku Chandra Riyadhi, yang selalu membantu baik tenaga maupun
pikiran dan menjadi tempat sharing bagi penulis agar menjadi lebih baik lagi.
iv
3. Tante ku Novita Hiramoto, yang membantu dalam hal masukan, saran,
materi, dan selalu memberi semangat untuk penulis dalam menyelesaikan
studi ini. Arigatou Gozaimasu Oba-chan.
4. Bapak Dr. Agus Salim, M. Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
5. Bapak Dr. Edmon Daris, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta jajarannya.
6. Bapak Dr. Iskandar Andi Nuhung, MS dan Ibu Rahmi Purnomowati, SP,
M.Si selaku dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan masukan,
bimbingan, serta meluangkan waktunya hingga selesainya skripsi ini.
7. Bapak Dr. Ujang Maman, M.Si dan Drs. Acep Muhib, MM selaku dosen
penguji I dan II yang telah meluangkan waktu untuk penulis dan menjadi
penguji yang baik serta bijaksana.
8. Seluruh dosen pengajar Program Studi Agribisnis yang telah mengajarkan
penulis ilmu-ilmu yang bermanfaat terkait agribisnis. Semoga ilmu yang
diberikan dapat penulis gunakan dan aplikasikan dengan baik ke depannya.
9. Bapak Dayatulloh dan Bapak Muhdi Sastra selaku Kepala Desa Buni Bakti
dan Sekretaris Desa Buni Bakti yang telah mengizinkan serta membantu
penulis melakukan penelitian guna menyelesaikan skripsi ini.
10. Bapak Putut dan Bapak Romelih selaku pagawai Dinas Pertanian Kabupaten
Bekasi dan Anggota penyuluh pertanian Desa Buni Bakti yang telah rela
meluangkan waktu serta membantu penulis melakukan penelitian guna
v
menyelesaikan skripsi ini. Khusus untuk Bapak Romelih, terima kasih pak
sudah ajak saya jalan-jalan ke pelosok Bekasi yang belum saya jamah.
11. Sahabat seperjuangan Rumindo Warrior: Radit, Adhitia, Rian, Andhika yang
selalu menjadi saudaraku telah mendukung, memberi masukan, saling berbagi
dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, sebagai
teman makan sepermainan Dot-A dan teman berbisnis Domu Brownies.
Masa-masa indah itu takkan kulupakan sampai kapanpun, stick together guys!
12. Teman-teman Agribisnis 2010 : Eel, Adam, Shano, Iqbal, Bagus Tole, Devi,
Adha, Malisa, Uwi, Tisa, Gega, Desi, Udinesse, Doeng, Uda „Mertua Edan‟,
Alam, Ihsan, Elly dan yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.
13. Kekasih, Diah Anugraheni S.E. yang selalu berada di samping penulis selama
dua tahun ini memberikan semangat, segenap cinta dan kekuatan untuk bisa
menyelesaikan sripsi ini, makasih ya yaangee for everything, loveya :*
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih banyak kekurangannya.
Oleh sebab itu , penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk menyempurnakan penelitian ini. Akhir kata penulis mengharapkan
penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak, Aamiin aamiin Ya Rabbal Alamiin,
Wassalamualaikum, Wr, Wb.
Jakarta, September 2015
Rendy Setiawan
vi
DAFTAR ISI
RINGKASAN........................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................. iii
DAFTAR ISI………………………………………………..................... vi
DAFTAR TABEL………………………………………….................... x
DAFTAR GAMBAR………………………………………................... xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………................... xii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian............................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian............................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan.................................................................................. 10
2.1.1 Penguasaan Lahan..................................................... 14
2.1.2 Landreform (Perombakan Tanah)............................. 16
2.1.3 Land Rent (Sewa Tanah)........................................... 18
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan
Tanah......................................................................... 21
2.1.5 Harga Lahan.............................................................. 23
2.1.6 Produktifitas Lahan................................................... 24
2.2 Konsep Petani .................................................................... 26
2.2.1 Pendapatan Rumah Tangga Petani............................ 32
2.2.2 Motivasi Sosial Ekonomi........................................... 33
vii
2.3 Pendekatan Pembangunan.................................................. 37
2.4 Konversi Lahan.................................................................. 38
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Pertanian............................................................................ 43
2.5.1 Faktor Determinan Konversi Lahan......................... 43
2.5.2 Faktor Makro Konversi Lahan................................. 45
2.5.3 Faktor Mikro Konversi Lahan.................................. 46
2.6 Dampak dari Konversi Lahan Pertanian.......................... 48
2.7 Penelitian Terdahulu......................................................... 50
2.8 Kerangka Pemikiran.......................................................... 52
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian............................................ 55
3.2 Jenis dan Sumber Data...................................................... 55
3.3 Teknik Pengambilan Data................................................. 56
3.4 Populasi dan Sampel.......................................................... 57
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data.............................. 57
3.6 Hipotesis............................................................................. 58
3.6.1 Uji Hipotesis.............................................................. 59
3.6.1.1 Uji Koefisien Determinasi
(R-squared)................................................. 59
3.6.1.2 Uji F............................................................ 60
3.6.1.3 Uji t............................................................. 61
3.6.2 Uji Asumsi Klasik..................................................... 62
3.6.2.1 Uji Normalitas............................................ 62
viii
3.6.2.2 Uji Heteroskedastisitas.............................. 63
3.6.2.3 Uji Multikolinearitas.................................. 64
3.7 Definisi Operasional.......................................................... 65
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kabupaten Bekasi............................................................... 67
4.1.1 Sejarah Kabupaten Bekasi......................................... 68
4.2 Kecamatan Babelan............................................................ 70
4.2.1 Sejarah Kecamatan Babelan...................................... 71
4.3 Desa Buni Bakti................................................................. 72
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Pertanian dan Lingkungan di
Desa Buni Bakti................................................................. 74
5.2 Konversi Lahan di Desa Buni Bakti.................................. 76
5.3 Karakteristik Responden................................................... 78
5.4 Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Transaksi Lahan
Petanian di Desa Buni Bakti.............................................. 82
5.5 Uji Hipotesis...................................................................... 92
5.5.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)................................ 92
5.5.2 Uji F......................................................................... 93
5.5.3 Uji t.......................................................................... 94
5.6 Uji Asumsi Klasik............................................................. 102
5.6.1 Uji Normalitas.......................................................... 102
5.6.2 Uji Heteroskedastisitas............................................ 103
ix
5.6.3 Uji Multikolinearitas................................................ 104
5.7 Dampak dan Implikasi Transaksi Lahan........................... 106
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan......................................................................... 113
6.2 Saran................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 116
LAMPIRAN............................................................................................. 120
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tabel Penilaian Variabel Kualitatif..................................................... 66
2. Tabel Karakteristik Responden........................................................... 78
3. Tabel Jenis Pekerjaan Responden....................................................... 80
4. Tabel Usia Responden........................................................................ 81
5. Tabel Tingkat Pendidikan Responden................................................ 82
6. Tabel Motivasi Responden Menjual Lahan........................................ 83
7. Tabel Tingkat Penyesalan Responden dalam Menjual Lahan............. 84
8. Tabel Harga Jual Lahan Responden.................................................... 85
9. Tabel Pihak Pembeli Lahan Menurut Responden......................... ...... 86
10. Tabel Mediator Pembeli Lahan Responden....................................... 87
11. Tabel Tahun Penjualan Lahan Responden......................................... 88
12. Tabel Luas Lahan yang Dijual Responden........................................ 89
13. Tabel Penggunaan Lahan Oleh Pembeli............................................ 90
14. Tabel Pendapatan Keluarga Rumah Tangga Responden per Bulan.. 90
15. Tabel Penggunaan Hasil Penjualan Lahan oleh Responden............. 91
16. Tabel Hasil Uji Koefisien Determinasi............................................. 93
17. Tabel Hasil Uji F (ANOVA)............................................................ 94
18. Tabel Hasil Uji Statistik t............................................................. .... 95
19. Tabel Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov (K-S).................................... 103
20. Tabel Hasil Uji Heteroskedastisitas............................................. .... 104
21. Tabel Hasil Uji Multikolinearitas..................................................... 105
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Gambar Kurva Permintaan dan Penawaran Lahan............................... 20
2. Gambar Kerangka Pemikiran Penelitian............................................... 54
3. Gambar Perubahan Mata Pencaharian Responden............................... 108
4. Gambar Perubahan Pendapatan Responden......................................... 110
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Dokumentasi Peneliti............................................................................. 121
2. Tabel Luas Lahan Basah dan Lahan Kering Kabupaten Bekasi
Tahun 2008 – 2012................................................................................ 123
3. Tabel Luas Lahan Pekarangan dan Bangunan di Kabupaten Bekasi
Tahun 2008 – 2012................................................................................ 123
4. Tabel Distribusi Petani Lahan Sawah di BP3K Kecamatan Babelan
Tahun 2013............................................................................................. 124
5. Tabel Data Kelompok Tani Berdasarkan Kelas Kelompok Tani
Tahun 2013............................................................................................ 124
6. Tabel Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan
Padi Sawah Kecamatan Babelan Tahun 2012 – 2013........................... 125
7. Tabel Peraturan Pemerintah yang Terkait dengan Upaya Pengendalian
Konversi Lahan Sawah.......................................................................... 125
8. Tabel Rata-Rata Pendapatan Setelah Pajak per Kapita Menurut
Golongan Rumah Tangga (ribu rupiah) Tahun 2000, 2005, 2008......... 126
9. Tabel Mata Pencaharian Responden Sebelum dan Sesudah
Menjual Lahan...................................................................................... 127
10. Tabel Perbandingan Pendapatan Responden Sebelum dan Sesudah
Menjual Lahan....................................................................................... 129
11. Tabel Hasil Analisis Regresi................................................................ 131
12. Kuisioner Penelitian.............................................................................. 135
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan populasi penduduk
membuat permintaan akan komoditas pangan akan semakin meningkat dari tahun
ke tahun. Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional pemerintah harus bekerja
keras dalam menyediakan komoditas-komoditas pangan dipasaran, salah satunya
adalah beras yang merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Makanan
pokok negara Indonesia adalah beras yang dihasilkan dari padi, tradisi ini sudah
berjalan sejak dahulu kala. Kekayaan alam yang melimpah dengan letak geografis
yang sangat strategis dan baik untuk bercocok tanam membuat Indonesia
memiliki hasil pertanian yang beragam dan tanaman pangan yang bermacam-
macam seperti; singkong, ketela, umbi-umbian, talas, jagung, sagu, dll. Tetapi
nasi tetaplah menjadi makanan pokok penduduk Indonesia. ini terlihat dari rata-
rata konsumsi kalori (kkal) per kapita sehari menurut kelompok makanan
penduduk Indonesia yang menempatkan padi-padian sebagai komoditi yang
paling banyak di konsumsi oleh masyarakat Indonesia membawahi umbi-umbian,
ikan, daging, telur dan susu dan lain-lain (Badan Pusat Statistik, 2013).
Komoditas padi-padian menjadi ujung tombak konsumsi nasional dan
permintaan pemenuhan konsumsi beras akan meningkat tiap tahunnya seiring
dengan pertumbuhan penduduk. Apabila pemerintah tidak bisa memenuhi
kebutuhan pangan pokok dalam negeri hal ini akan mengancam ketahanan pangan
2
dan sudah pasti Indonesia akan impor dari negara lain. Oleh karena itu pemerintah
harus menjaga daerah-daerah utama penghasil padi agar dapat memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Menurut Soekartawi (2002), ada beberapa tantangan
sektor pertanian di dalam negeri, salah satunya yaitu transformasi perekonomian
di Indonesia yang berjalan begitu cepat. Peran serta pertanian terhadap PDB
semakin menurun karena lahan yang berubah fungsi ke industri dan perumahan.
Hal tersebut mengakibatkan berubahnya „pedesaan‟ menjadi „perkotaan‟
menjadikan urbanisasi semakin berkembang yang mengakibatkan kurangnya
tenaga kerja di sektor pertanian di pedesaan (Soekartawi, 2002).
Kabupaten Bekasi merupakan salah satu daerah penghasil komoditas
beras yang diunggulkan di Provinsi Jawa Barat dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan pangan daerah. Penggunaan tanah di kabupaten ini dibagi menjadi 2
penggunaan tanah yaitu penggunaan untuk tanah kering dan penggunaan untuk
tanah basah yang biasa digunakan untuk lahan persawahan. Dari tahun 2008 s/d
2012 perbandingan penggunaan tanah basah dan kering di Kabupaten Bekasi
terlihat berubah tiap tahunnya. Penggunaan tanah kering cenderung meningkat
sedangkan penggunaan tanah basah cenderung menurun. Pada rentang waktu 4
tahun penggunaan tanah basah mengalami penurunan sekitar 2.108 ha dan pada
tanah kering mengalami peningkatan sebesar 2.108 ha. (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bekasi, 2013).
Untuk menghasilkan komoditas pangan dibutuhkan lahan yang
memadai sebagai tempat bercocok tanam oleh para pelaku usaha pertanian.
Menurut Jayadinata (1999) lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya
3
dan umumnya dimiliki dan dimanfaatkan oleh perorangan atau lembaga untuk
dapat diusahakan. Kebutuhan akan lahan akan terus meningkat di tiap tahunnya
mengingat pertumbuhan populasi di Indonesia bertambah setiap tahun. Dalam
rangka memenuhi kebutuhan pangan ini pemerintah akan menghadapi persoalan-
persoalan yang terbilang sangat pelik, salah satunya adalah konversi lahan/alih
fungsi lahan persawahan yang banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini dikarenakan aktivitas pembangunan dalam berbagai
bidang meningkat sehingga permintaan akan lahan ikut meningkat. Permintaan
akan lahan terus bertambah, sedangkan lahan yang tersedia jumlahnya terbatas.
Hal inilah yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian
dan mengancam ketersediaan lahan untuk kegiatan bercocok tanam.
Pada Kabupaten Bekasi keadaan luas penggunaan lahan sawah
mengalami penurunan di beberapa kecamatan. Terdapat 23 kecamatan yang
dimana semua kecamatan memiliki lahan persawahan yang bervariasi luasnya,
Kecamatan Pebayuran adalah kecamatan yang memiliki luas lahan sawah terbesar
dan Kecamatan Tambun Selatan adalah kecamatan yang paling kecil luas lahan
persawahannya (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2013). Penurunan
penggunaan lahan sawah terjadi di beberapa kecamatan termasuk Kecamatan
Babelan, penurunan ini diperkirakan adanya alih fungsi lahan persawahan menjadi
lahan non persawahan. Penyusutan lahan pertanian di Kabupaten Bekasi beralih
fungsi menjadi perumahan dan kawasan industri. Di beberapa kecamatan
penghasil padi terbanyak yang semestinya menjadi kawasan beras nasional
menyusul Kabupaten Bekasi merupakan daerah pertanian yang mampu
4
menyumbang kebutuhan beras nasional dalam rangka program ketahanan pangan.
Penyusutan lahan sudah terjadi sejak tahun 2003 dimana para pemilik tanah
mengkavlingkan tanah sawah dan dijual kepada pengembang perumahan.
Akibatnya, di atas lahan itu berdiri kawasan industri maupun perumahan yang
dibangun investor lokal dan asing. Pemerintah sulit melakukan upaya pencegahan,
sebab tanah tersebut adalah milik warga, semua keputusan ada di tangan mereka,
mau menjual atau mempertahankannya.
Kecamatan Babelan adalah salah satu wilayah yang diandalkan di
Kabupaten Bekasi untuk memproduksi beras. Kecamatan Babelan memiliki luas
63,36 km2 dan memiliki 9 kelurahan/desa. Mempunyai luas baku lahan sawah
3.105 ha sebesar 48,82 % dari total luas wilayah sebesar 6.360 ha (Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bekasi, 2013). Hal ini menempatkan Kecamatan Babelan
berada di peringkat 5 kecamatan dengan luas lahan sawah terbesar di Kabupaten
Bekasi. Pada kenyataannya luas lahan di kecamatan ini terus berkurang di setiap
tahunnya, ini dikarenakan pembangunan perumahan, industry dan kegiatan
investasi yang sangat gencar terjadi di daerah ini. Kecamatan Babelan berada
dekat dengan perkotaan, daerah ini berbatasan dengan Kota Bekasi yang saat ini
sudah menjadi kota metropolitan karena pembangunannya yang maju. Oleh
karena itu lahan pertanian disini terus berkurang eksistensinya, disebabkan oleh
pembangunan non pertanian yang semakin lama semakin tinggi.
Terdapat 2 kelurahan dan 7 desa di Kecamatan Babelan yaitu;
Kelurahan Bahagia, Kelurahan Kebalen, Desa Babelan Kota, Desa Kedung
Pengawas, Desa Kedung Jaya, Desa Buni Bakti, Desa Muara Bakti, Desa Pantai
5
Hurip, dan Desa Hurip Jaya. Dari ke 2 kelurahan dan 7 desa tersebut semua
memiliki lahan pertanian yang beragam luas nya, desa yang memiliki lahan
pertanian terluas adalah Desa Kedungjaya, dengan luas sekitar 640 ha dan yang
terkecil adalah Kelurahan Kebalen sekitar 15 ha (BP3K Kecamatan Babelan,
2014). Pada kenyataannya lahan pertanian di setiap desa selalu berkurang tiap
tahunnya, karena pembangunan non pertanian. (Riyadhi. Staff Pengendalian OPT
BP3K Kecamatan Babelan, 2014). Pembangunan yang dilakukan di Kecamatan
Babelan ini adalah pembangunan industri, infrasturuktur dan bangunan.
Sekitar tahun 80-an dibangun kali CBL (Cikarang Bekasi Laut) yang
disodet dari kali Bekasi sepanjang lebih kurang 10 kilometer, jaraknya dari Desa
Muara Bakti sampai ke tepi pantai laut Jawa di Desa Hurip Jaya. Sejak saat itulah
masyarakat di wilayah utara Kecamatan Babelan mulai bersentuhan dengan
pembangunan bersekala besar/raksasa (industri). Areal atau lokasi lahan yang
digusur atau dikeruk untuk membuat kali CBL, selain rumah-rumah
perkampungan penduduk, tambak-tambak ikan, area hutan bakau, tetapi juga area
persawahan produktif yang sebelumnya sudah banyak memberikan manfaat buat
kehidupan masyarakat.
Selain itu, PT Pertamina memulai eksploitasi dan eksplorasi minyak
dan gas (migas) di Kampung Buni, Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan sekitar
tahun 1997-an dan berproduksi sekitar tahun 2000-an. Pengeboran minyak di
wilayah yang pernah dilakukan penelitian oleh para sejarawan dan arkeolog soal
benda-benda budaya itu sangat disesalkanya karena bisa menghilangkan benda-
benda peninggalan budaya dari peradaban kehidupan leluhur nenek moyang orang
6
Bekasi masa lalu yang diperkenalkan oleh arkeolog dengan Situs Buni. Pada
penelitian ini berfokus di satu desa, yaitu Desa Buni Bakti. Desa Buni Bakti
merupakan salah satu desa yang produktif dalam menghasilkan komoditas
pertanian. Populasi petani pun lebih banyak berada di desa ini, namun saat ini
keberadaan lahan pertanian terancam dengan pembangunan-pembangunan
tambang, pembangkit tenaga, perumahan, dan industri-industri yang menggeser
fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Total luas lahan pertanian di desa ini
lebih dari setengahnya sudah menjadi milik orang luar bukan lagi orang pribumi,
menurut Syaiful, staf pemerintahan Desa Buni Bakti, bahwa sekitar 80% lahan di
desa Buni Bakti sudah milik orang luar, dan tersisa sekitar 20% masih dimiliki
oleh petani setempat.
Terdapat juga pembangunan pertambangan dan pembangkit listrik,
yaitu perusahaan asing bernama PT. Cikarang Listrindo. Meski perusahaan
tersebut mampu memproduksi listrik hingga 10.000 megawatt, tetapi listrik yang
dijual PT. Cikarang Listrindo hanya untuk perusahaan-perusahaan di kawasan
industri. Ironisnya, pemukiman-pemukiman penduduk di sekitar perusahaan
sebagian belum teraliri listrik. Adapun rencana pembangunan pelabuhan di bagian
utara dekat Kecamatan Babelan serta pembangunan jalan tol Cibitung-Cilincing
sehingga pembangunan infrastruktur pun akan sangat gencar nantinya, hal ini
yang diduga dapat mendorong pembangunan komplek perumahan, cluster,
maupun pemukiman-pemukiman baru. Pembangunan-pembangunan ini di luar
dari kegiatan pertanian dan menggusur lahan pertanian di daerah setempat. Letak
kecamatan Babelan yang tidak jauh dari pusat kota dan dekat dengan akses Kota
7
Harapan Indah Bekasi diduga membuat para pencari tanah untuk membeli lahan
di daerah tersebut untuk membuat perumahan atau kegiatan non pertanian serta
investasi di masa mendatang.
Ketersediaan lahan pertanian yang saat ini semakin berkurang juga
dikarenakan para petani yang menjual lahan mereka kepada pihak pengembang
yang ingin menggunakan lahan itu untuk kepentingan di luar non pertanian.
Penjualan lahan ini bukan tanpa alasan, tapi karena beberapa faktor yang
membuat petani untuk melepas lahannya. Mereka terdesak untuk menjualnya,
melihat lahan yang sudah sempit karena pergerakan pembangunan non pertanian
tak lagi membuat nyaman untuk melanjutkan usaha taninya. Permasalahan
ekonomi juga diduga menjadi alasan petani menjual lahan yang sudah lama
mereka miliki.
Penjualan lahan pertanian yang dilakukan oleh para petani
menyebabkan menurunnya jumlah warga yang ingin mengembangkan dan
menjalankan usaha pertanian dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi
produksi beras di daerah tersebut. Intensitas pembangunan yang menuntut
penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan (pemukiman,
industri, berbagai prasarana) memaksa alih fungsi tanah pertanian, terutama di
daerah pinggiran, menjadi tanah non pertanian dengan segala konsekuensinya.
Perkembangan yang terjadi tersebut boleh dikatakan hampir tidak menyentuh pola
kehidupan petani yang semakin sulit untuk menghindarkan diri dari keterpaksaan
melepaskan tanahnya karena praktik perizinan yang memungkinkan alih fungsi
8
tanah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Tingkat II yang
karena alasan kepentingan pembangunan mengarahkan alih fungsi tersebut.
Pertanyaan dan permasalahan pun bermunculan saat melihat petani
yang menjual lahannya kepada para pembeli tanah, seperti; motivasi petani dalam
menjual lahan, penggunaan lahan setelah lahan dibeli oleh para pembeli lahan,
penggunaan hasil dari penjualan lahan oleh para petani, serta pekerjaan petani
setelah merelakan lahannya kepada para pembeli lahan. Hal ini dapat menyulitkan
para petani kedepannya, karena saat mereka menjual lahan artinya mereka
menghilangkan mata pencaharian utama mereka, walaupun ada sebagian besar
petani yang memiliki pekerjaan sampingan selain bercocok tanam di ladang,
namun pekerjaan sebagai petani pengolah lahan adalah pekerjaan yang tetap
karena mereka memiliki lahan tersebut sendiri bagi mereka pemilik lahan. Maka
dari itu penelitian ini difokuskan pada fenomena tersebut dan diberi judul
“Analisis Transaksi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap
Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan,
Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat).
1.2 Rumusan Masalah
Dari penelitian ini yang akan dianalisis adalah:
1) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi transaksi lahan
pertanian di Desa Buni Bakti?
2) Bagaimana dampak dari penjualan lahan pertanian terhadap
pendapatan petani?
9
3) Berapa besar dampak penjualan lahan pertanian terhadap
perubahan mata pencaharian petani?
1.3 Tujuan Penelitian
1) Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi transaksi
lahan pertanian di Desa Buni Bakti.
2) Mengetahui dampak dari penjualan lahan pertanian terhadap
pendapatan petani.
3) Mengetahui seberapa besar dampak penjualan lahan pertanian
terhadap perubahan mata pencaharian petani.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Sebagai informasi ilmiah bagi pihak-pihak yang membutuhkan
2) Sebagai bahan informasi bagi pemerintah
3) Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan
4) Sebagai bahan referensi untuk penelitian lanjutan
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief,
hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua
faktor-faktor tersebut mempengaruhi pengunaan lahan. Termasuk di dalamnya
juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975,
dalam Arsyad, 1989). Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit
dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman
Allah SWT yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan
kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24] : 42). Allah
SWT juga berfirman yang artinya, “kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi,
Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS Al-Hadid [57] : 2). Menurut Jayadinata (1999) lahan merupakan tanah yang
sudah ada peruntukannya dan umumnya dimiliki dan dimanfaatkan oleh
perorangan atau lembaga untuk dapat diusahakan. Menurut Hanafie (2010)
berdasarkan topografinya, lahan dibedakan menjadi empat, antara lain;
1. Lahan dengan lereng 0-3%: datar, termasuk rawa-rawa, untuk tanaman
padi atau perkebunan kelapa.
2. Lahan dengan lereng 3-8%: baik untuk tanaman setahun tertentu
apabila dibuat teras atau kontur.
11
3. Lahan dengan lereng 8-15%: baik untuk tanaman rumput sehingga
cocok untuk area peternakan.
4. Lahan dengan lereng >15%: baik untuk tanaman kayu sehingga cocok
dijadikan area perkebunan atau kehutanan.
Kebutuhan penggunaan lahan dalam struktur tata ruang kota/wilayah
berkaitan dengan 3 sistem yang ada (Priyandono, 2001): (1) Sistem kegiatan,
manusia dan kelembagaannya untuk memenuhi kebutuhan yang berinteraksi
dalam waktu dan ruang, (2) Sistem pengembangan lahan yang berfokus untuk
kebutuhan manusia dalam aktivitas kehidupan, (3) Sistem lingkungan berkaitan
dengan kondisi biotik dan abiotik dengan air, udara dan material. Penggunaan
lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan
pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam
macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan.
Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan,
kebun, kebun campuran, lalang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan
pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman),
industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2006). Penggunan lahan bukan
pertanian atau disebut juga non pertanian banyak menimbulkan dampak negatif,
salah satunya adalah mengganggu produktivitas tanaman pangan maupun non
pangan, karena berkurangnya lahan pertanian menyebabkan tempat untuk
bercocok tanam semakin sempit dan tidak ada lagi. Dalam hal ini Kabupaten
12
Bekasi yang merupakan wilayah satelit kota Jakarta dan sebagai daerah
penyangga Jabodetabek mengalami perkembangan ekonomi yang pesat.
Letak yang strategis dan bentang alam yang ada pada dataran rendah
membuat para investor dan pelaku usaha non pertanian tertarik untuk
mengembangkan usahanya. Kabupaten Bekasi memiliki lahan basah dan lahan
kering, dimana lahan basah digunakan untuk persawahan dan kegiatan bertani
tanaman padi sedangkan lahan kering digunakan untuk bangunan, pekarangan,
kebun, ladang, tempat budidaya, hutan rakyat, dll (BPS Kabupaten Bekasi, 2012).
Penggunaan lahan basah tidak seimbang dengan penggunaan lahan kering, lahan
basah menurun di tiap tahunnya sedangkan penggunaan lahan kering meningkat
tiap tahunnya tabel 2.1 (lampiran).
Berkurangnya lahan basah yang diikuti dengan meningkatnya
penggunaan lahan kering akan berdampak pada ketersedian lahan persawahan dan
mempengaruhi produksi padi daerah. Saat ini ketersediaan lahan sudah terancam
dengan adanya pembangunan-pembangunan non pertanian seperti industri,
perumahan, pembangunan jalan dan pembangunan lainnya yang tidak
menghasilkan produk tanaman pangan. Dari total luas lahan kering diatas hampir
setengahnya adalah luas lahan yang digunakan untuk perumahan dan bangunan.
Pada tahun 2008 s/d 2012 setidaknya luas lahan pekarangan dan bangunan
bertambah sekitar 14.000 ha (BPS Kabupaten Bekasi, 2013). Hal ini terlihat pada
tabel 2.2 (lampiran), luas pekarangan dan bangunan naik secara signifikan. Pada
lingkup kecamatan, dalam hal ini kecamatan Babelan luas lahan persawahan di
tiap tahunnya mengalami penurunan. Ini karena pengalihan fungsi lahan yang
13
banyak dilakukan oleh pengembang, industri dan pencari lahan untuk investasi
mereka. Pada tingkat Kecamatan di Kabupaten Bekasi, pengurangan jumlah lahan
pertanian juga terjadi, di setiap kecamatan pun pengurangan lahan pertanian
beragam jumlah luasnya (BP3K Kecamatan Babelan, 2014).
Pada Kecamatan Babelan penurunan luas panen, produktivitas dan
produksi terjadi di 2 tahun terakhir. Pada tabel 2.3 (lampiran) di paparkan luas
lahan sawah dan jumlah petani di setiap desa pada Kecamatan Babelan. Desa yang
memiliki lahan sawah terluas adalah Desa Kedung Jaya dengan luas lahan sawah
mencapai 640 ha, sedangkan yang terendah luas lahan sawahnya adalah
Kelurahan Kebalen yang memiliki luas lahan sawah sekitar 15 ha saja. Desa
dengan jumlah petani paling banyak terdapat pada Desa Buni Bakti, sedangkan
desa yang paling sedikit petaninya adalah Desa Kebalen.
Desa Buni Bakti mempunyai banyak petani yang terdiri dari beberapa
kelompok petani. Kelompok tani Desa Buni Bakti pun memiliki jumlah terbanyak
diantara desa/kelurahan lain tabel 2.4 (lampiran). Ketersediaan lahan pada suatu
daerah menentukan produksi suatu komoditas yang menjadi andalan daerah itu
sendiri. Pada tabel 2.5 (lampiran) di paparkan luas panen, produksi dan
produktivitas tanaman pangan padi sawah Kecamatan Babelan tahun 2012-2013.
Luas panen, produktivitas dan produksi tanaman pangan padi sawah pada
Kecamatan Babelan yang terdiri dari 9 desa/kelurahan tampak mengalami
penurunan dalam 2 tahun terakhir (BP3K Kecamatan Babelan, 2014). Pada Desa
Buni Bakti tahun 2013 penurunan luas panen sebesar 30 ha dari tahun 2012, hal
ini menyebabkan penurunan pada produktivitas dan produksi padi sawah di tahun
14
2013. Total produktivitas sawah sebesar 6 ton/ha dan total produksi 1.620 ton,
produktivitas mengalam penurunan sebesar 0,42 ton/ha dan produksi sebesar 306
ton (BP3K Kecamatan Babelan, 2014).
2.1.1 Penguasaan Lahan
Aspek penguasaan lahan tertuang dalam UUPA No. 5 tahun
1960. Secara konseptual, agrarian terdiri atas dua aspek utama yang
berbeda, yaitu aspek „penguasaan dan pemilikan‟ dan aspek „penggunaan
dan pemanfaatan‟. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan
tentang reforma agrarian yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun
2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup
suatu proses yang bekesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya
agraria”. Aspek penguasaan dan pemilikan‟ jelas berbeda dengan aspek
„penggunaan dan pemanfaatan‟, karena yang pertama berkenaan dengan
bagaimana relasi hukum manusia dengan lahan, sedangkan yang kedua
membicarakan bagaimana lahan (dan sumberdaya agrarian lain) digunakan
dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi (Syahyuti, 2006).
Pada pasal 7 UUPA menetapkan bahwa: “untuk tidak
merugikan kepentingan umum maka kepemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena
berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khusunya di
15
daerah-daerah yang padat penduduknya, hal itu menyebabkan menjadi
sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali
kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Menurut
taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tak bertanah.
Mereka itu merupakan buruh tani atau penggarap tanah kepunyaan orang
lain (penyewa, pembagi hasil) (Harsono, 2008).
Jumlah petani yang tak bertanah itu makin lama makin
bertambah. Ini berarti, bahwa syarat-syarat untuk memperoleh tanah
garapan tambah lama menjadi tambah berat, disebabkan bertambahnya
petani yang membutuhkan tanah garapan. Biasanya orang-orang yang
mempunyai tanah banyak, makin lama tanahnya makin bertambah, baik
yang dimiliki maupun dikuasainya dalam hubungan gadai dan jual
tahunan. Tanah-tanah itu berasal dari petani-petani kecil yang hidupnya
tambah lama menjadi tambah miskin. Dengan demikian pembagian hasil
pertanian menjadi sangat tidak merata. Pembagian hasil tanah dalam
rangka perjanjian bagi-hasil juga tidak adil, karena para petani penggarap
tanah umumnya memperoleh hasil yang sangat tidak seimbang dengan
tenaga dan biaya yang telah diberikannya dalam mengusahakan tanh
garapannya. Hal itu disebabkan karena para penggarap harus menerima
syarat-syarat penggarapan yang sangat berat berhubung dengan besarnya
persaingan antara para calon penggarap (Harsono, 2008).
16
2.1.2 Landreform (Perombakan Tanah)
Landreform berasal dari Bahasa Inggris yaitu “land” dan
“reform. Land artinya tanah sedang reform artinya perombakan atau
perubahan untuk membangun atau membentuk atau menata kembali
struktur pertanian baru. Dalam arti sempit landreform merupakan
serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia (Harsono,
2008).
Tujuan landreform, khususnya di Indonesia adalah:
1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber
penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar
ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak sturktur
pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir
keadilan sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak tejadi
lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan obyek (maksudnya: alat)
pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi
setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita,
yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan
terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat,
bersifat perseorangan dan turun-temurun, tetapi berfungsi sosial.
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan
pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan
17
tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan
batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga
dapat seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian
mengikis pula sistem liberalism dan kapitalisme atas tanah dan
memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis
lemah.
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
terselenggaranya pertanian yang insentif secara gotong royong
dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong lainnya, untuk
mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan
sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani.
Menurut (Syahuti, 2004) kondisi yang dihadapi untuk
mengimplementasikan program landreform di Indonesia sangat berat,
dalam kondisi ekonomi dan politik yang belum mapan, setelah beberapa
tahun dilanda krisis multidimensi. Peluang landreform semakin kecil jika
diingat, bahwa sesungguhnya belum tumbuh kesadaran yang kuat pada
golongan elit, bahkan masyarakat, bahwa segala permasalahan
pembangunan pertanian dan pedesaan yang kita hadapai sekarang ini dapat
diselesaikan secara mendasar, yaitu melalui perbaikan struktur penguasaan
dan pemilikan tanah pertanian.
18
2.1.3 Land Rent (Sewa Tanah)
Keistimewaan yang melekat pada faktor produksi tanah (lahan
tanah dan beberapa sumber alam lain) adalah bahwa penawarannya
sangat inelastis karena dibatasi oleh alam. Betapa pun naik atau turunnya
harga tanah, luas lahan tanah (total) tidak akan bertambah karena luas
tanah yang tersedia hanya itu saja. Land Rent atau rente tanah, atau
disebut juga sewa tanah (rent), adalah harga atau balas jasa yang harus
dibayar untuk penggunaan lahan tanah (atau sumber-sumber daya alam
lain) yang supply totalnya tetap, tak dapat ditambah. Karena tanah dapat
dipergunakan untuk berbagai tujuan (sebagai tanah pertanian, sebagai
tempat pemukiman penduduk, sebagai tempat mendirikan
perusahaan/pasar/toko, dan sebagainya), maka diperlukan suatu balas
jasa tertentu agar pemiliknya rela menyediakan tanahnya untuk tujuan
produktif tertentu (dan tidak dapat dialihkan untuk tujuan lain). Dalam
hal ini “sewa tanah” sama dengan biaya alternatif (opportunity cost). Ini
tidak banyak dipersoalkan (Gilarso 2003).
Yang sudah berabad-abad lamanya dipersoalkan adalah yang
disebut “rente ekonomis murni” (pure economic rent). Istilah “rente
ekonomi murni” atau economic rent dalam ilmu ekonomi dipakai khusus
untuk faktor produksi yang penawarannya tetap (atau sangat inelastis).
Karena dalam hal ini pemiliknya memperoleh suatu penghasilan tanpa
bekerja, maksudnya pemilik tanah yang tidak melakukan usaha atau kerja
apa-apa memperoleh hasil yang besar. Dirumuskan dengan kata lain
19
pembayaran rente itu sebenarnya tidak perlu untuk menjamin bahwa
tanah itu tetap tersedia bagi produksi masyarakat (Gilarso 2003).
Menurut Barlowe (1986) sewa lahan merupakan konsep
penting dalam teori ekonomi sumberdaya lahan. Sewa lahan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Sewa lahan (contract rent) sebagai
pembayaran dari penyewa kepada pemilik, dimana pemilik melakukan
kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu. 2. Keuntungan usaha
(economic rent atau land rent) yaitu merupakan surplus pendapatan di
atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor
produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Sewa tanah
dan keuntungan usaha merupakan dua konsep sewa lahan penting yang
digunakan dalam ekonomi sumberdaya lahan. Kedua konsep tersebut
hanya berbeda dalam satu hal yaitu contract land merupakan pembayaran
yang sebenarnya kepada pemilik lahan. Pembayaran ini dapat lebih tinggi
atau lebih rendah dari surplus pendapatan (land rent) yang seharusnya
oleh pemilik lahan. Kekurangan maupun kelebihan dari surplus
pendapatan merupakan hak dari penyewa.
Pada dasarnya harga lahan/tanah tidak pernah berkurang
sampai saat ini. Sebagaimana kita sadari, jumlah manusia setiap saat
terus bertambah, sementara jumlah tanah tidak dapat bertambah. Ini
merupakan teori klasik yang secara sederhana menjelaskan mengapa
harga tanah terus merangkak naik dari waktu ke waktu. Berdasarkan
pengamatan secara nominal harga tanah di Indonesia tidak pernah turun.
20
Karena sifatnya yang terbatas, maka semakin hari persediaan tanah akan
relatif semakin langka terhadap jumlah penduduk atau orang yang
membutuhkan tanah tersebut. Hal ini disebabkan karena faktor kelahiran
(natalitas) dan meningkatnya tingkat kegiatan ekonomi sebuah
masyarakat, yang menyebabkan manusia tidak puas hanya memiliki satu
rumah. Meningkatnya taraf ekonomi juga membuat pengembangan
kegiatan manusia semakin laju, seperti dibangunnya perkantoran, pusat
perbelanjaan, restoran, bioskop, dan lain sebagainya (Simanungkalit,
2013).
Harga Lahan (Rp/ m2)
S2
P2 S1
P1 D2
D1
Q1 Unit Kepemilikan Lahan (Q)
Gambar. 1 Kurva Permintaan dan Penawaran Lahan
Sumber: Barlowe, Raleigh (1986)
Pada harga keseimbangan bersifat fleksibel, selalu berubah-ubah
dan cenderung meningkat karena penawaran lahan yang semakin terbatas
21
yang disertai permintaan lahan yang semakin bertambah. Dengan
mengasumsikan bahwa kurva supply lahan bersifat hampir tidak elastik
dan kurva permintaan bersifat sangat elastik dan berubah sesuai dengan
perkembangan ekonomi, sehingga terjadi pergeseran kurva permintaan
lahan dari D1 meningkat ke D2. Pergeseran permintaan lahan tersebut
mendorong peningkatan harga dari P1 meningkat ke P2 dengan penurunan
tingkat penawaran lahan, dapat ditunjukkan pada Gambar 1 di atas
(Barlowe, 1986).
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Tanah
Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi permintaan akan
tanah, dan dengan demikian ikut mempengaruhi tinggi rendahnya sewa
dan harga tanah (Gilarso, 2003):
a. Harga hasil-hasil yang dapat diperoleh dari tanah itu, atau dapat
diproduksikan dengan bantuan tanah sebagai inputnya. Misalnya,
tanah yang cocok untuk jenis tembakau tertentu yang bisa
memasuki pasar dunia pasti lebih mahal daripada lahan tanah yang
tidak mempunyai keistimewaan itu.
b. Produktivitas tanah. Untuk tanah pertanian ada perbedaan dasar
dalam produktivitas tanah yang berhubungan dengan faktor alam
(seperti jenis tanah, iklim, suhu dan curah hujan, dsb).
Produktivitas tanah juga sangat dipengaruhi oleh jumlah mutu
sumber-sumber daya lain yang dipakai bersama dengan tanah itu.
22
Misalnya, irigasi teknis, pemupukan, bibit unggul, peralatan teknis,
dan sebagainya. Hal terakhir ini sebenarnya merupakan investasi
dalam tanah sehingga kenaikan hasil yang diperoleh dapat juga
dipandang sebagai bunga modal, bukan lagi sewa tanah.
c. Lokasi tanah. Lokasi tanah ternyata mempunyai pengaruh yang
besar sekali, karena tanah secara geografis tidak bisa dipindah,
letak tanah itu sangat mempengaruhi permintaan dan harga tanah.
Misalnya, tanah yang terletak di pusat kota atau di pedalaman, di
pinggir jalan raya atau dekat pasar. Kalau ada jalan baru melintasi
daerah pertanian, tiba-tiba harga tanah disekitarnya meingkat
sekian kali lipat.
d. Lahan tanah tidak hanya digunakan untuk pertanian, tetapi juga
untuk berbagai tujuan lain: sebagai tempat pemukiman penduduk,
sebagai tempat mendirikan perusahaan, pasar, pabrik, toko atau
bengkel, atau untuk lapangan golf. Di Indonesia, tanah kerap kali
dibeli oleh orang kota sebagai semacam tabungan. Oleh karena itu,
permintaan akan tanah bukan lagi merupakan “derived demand”
murni (permintaan akan tanah sebagai input dalam proses
produksi) tetapi juga sebagai “barang (modal)” yang
diperjualbelikan di “pasar”. Ada suatu “pasar tanah” di mana
permintaan dan penawaran tanah bertemu dan harga (jual/beli)
tanah dibentuk.
23
2.1.5 Harga Lahan
Nilai lahan secara definsi diartikan sebagai kekuatan nilai dari
lahan untuk dipertukarkan dengan barang lain yang dapat didefinisikan
sebagai harga (diukur dalam satuan uang) yang dikehendaki oleh penjual
dan pembeli. Nilai lahan merupakan harga lahan yang diukur dalam
satuan uang per meternya (Michalski et al. 2010). Pesatnya
perkembangan suatu kota dan tingginya laju pertumbuhan jumlah
penduduk, secara langsung membuat kebutuhan lahan akan menjadi
tinggi. Ketersediaan lahan yang semakin terbatas dan jumlahnya relatif
tetap membuat nilai lahan juga akan meningkat.
Nilai lahan juga menentukan penggunaan lahan, karena
penggunaan lahan ditentukan oleh kemampuan untuk membayar lahan
yang bersangkutan. Peningkatan nilai lahan terjadi di pusat kota dan
mengalami penurunan secara teratur menjauhi pusat kota (Berry, 2008).
Lahan memiliki nilai ekonomi yang berbeda-beda. Lahan yang berada di
pedesaan berbeda dengan perkotaan dari segi pendapatannya. Lahan yang
berada di dekat perkotaan memiliki nilai ekonomi tinggi yang biasanya
digunakan untuk kegiatan industri dan perdagangan serta terdapat tempat
tinggal yang memberikan nilai produksi yang tinggi. Para pemilik
sumberdaya lahan biasanya menginginkan lahannya menghasilkan nilai
yang tinggi. Penggunaan yang terbaik dan tertinggi biasanya untuk
daerah industri dan perdagangan, menyusul unuk daerah pemukiman,
kemudian untuk daerah pertanian dan yang terakhir untuk ladang dan
24
penggembalaan dan daerah liar yang tidak ditanami (Suparmoko, 1989),
maka dari itulah maraknya kegiatan konversi lahan banyak menimpa
daerah-daerah yang justru menjadi penghasil padi nasional.
Dalam hukum ekonomi, lahan akan digunakan berdasarkan
pada prinsip ekonomi Richardson yaitu “land rent”. Jika tidak ada
pengaturan ketat dan bahkan larangan, maka lahan akan mengalir ke
sektor dengan tingkat equilibrium yang tinggi. Akan lebih menjanjikan
secara ekonomi jika satu hektar lahan pertanian diatasnya dibangun mall,
hotel atau apartemen dibanding dengan menanami padi, jagung, atau
singkong. Selain itu (Richardson. 1977) mengungkapkan di lokasi yang
dekat dengan pusat kota, penggunaan lahan yang paling cocok adalah
untuk tujuan komersial dan industri ringan. Hal ini disebabkan adanya
akses besar yang dimiliki oleh lahan terhadap berbagai pelayanan kota,
disamping nilai lahannya sendiri.
2.1.6 Produktifitas Lahan
Produktifitas lahan sawah menentukan pendapatan petani dari
usahatainya. Semakin rendah produktifitas lahan sawah, maka produk
yang dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah dan
selanjutnya pendapatan yang diterima oleh petani akan semakin rendah.
Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya
produktifitas lahan sawah menyebabkan petani memutuskan untuk
mengkonversi lahan sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal
25
ini dikarenakan pekerjaan di sektor non pertanian dipandang dapat
menghasilkan pendapatan yang lebih tingi daripada pendapatan yang
diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktifitas rendah
(Utama, 2006). Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian,
terdapat berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi permasalahan paradigma, produksi, distribusi,
konsumsi, koordinasi dan keuangan (Lemhannas, 2013):
1. Aspek paradigma mencakup: sistem agribisnis harus digeser
menjadi berbasis kepada petani dan pengusaha, sedangkan peran
pemerintah hanya sebagai fasilitator, pendekatan masih bersifat
sektoral dan peran pemerintah daerah masih kurang.
2. Aspek produksi mencakup: skala usaha petani masih kecil, alih
fungsi lahan pertanian ke non pertanian masih tinggi, rusaknya
infrastruktur pertanian di berbagai daerah, melemahnya sistem
penyuluhan pertanian, suplai air semakin berkurang, laju
pertumbuhan penduduk relatif tinggi, ketergantungan
masyarakat terhadap beras masih tinggi, produksi beras
cenderung berfluktuasi, adopsi inovasi teknologi relatif rendah,
pemilikan lahan sangat kecil (rata-rata 0,25 ha per petani),
kelembagaan petani masih lemah, pascapanen tergantung alam,
keadaan cuaca dan keadaan geografi setempat.
3. Aspek distribusi mencakup: fluktuasi harga/inflasi relatif tinggi,
pengelolaan distribusi yang belum merata di seluruh wilayah,
26
permintaan dari luar daerah sangat tinggi, cadangan pangan
beras belum terdata dengan baik dan biaya koleksi dan distribusi
yang relatif tinggi.
4. Aspek konsumsi mencakup: kemanan pangan, kerawanan
pangan dan gizi, diversifikasi pangan serta daya beli masyarakat
yang belum memadai.
5. Aspek koordinasi mencakup: masing-masing instansi hanya
fokus pada tugas pokok fungsinya masing-masing, lemahnya
koordinasi antar-instansi dan lemahnya leadership yang dapat
mengkoordinasi berbagai instansi.
6. Aspek keuangan yaitu terbatasnya akses petani terhadap sumber
permodalan serta belum adanya perlindungan keuangan
terhadap petani.
2.2 Konsep Petani
Menurut Anwas (2002), petani adalah orang yang melakukan cocok
tanam dari lahan pertaniannya atau memelihara ternak dengan tujuan untuk
memperoleh kehidupan dari kegiatan itu. Petani terbagi menjadi dua jenis yaitu
petani penggarap dan pemilik, yang dimana keduanya mempunyai perbedaan
dalam hak dalam penggunaan lahan. Menurut Slamet (2000), petani disebut „asli‟
apabila memiliki tanah sendiri, bukan sekedar penggarap maupun penyewa.
Berdasarkan hal tersebut, secara konsep, tanah merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan seorang petani.
27
Berdasarkan penguasaannya atas sebidang lahan, petani dibedakan
menjadi petani pemilik-penggarap, petani penyewa, petani penyakap, dan buruh
tani yang tidak mempunyai kewenangan sedikit pun atas sebidang tanah.
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki, ada petani kaya pemilik lahan luas, petani
menengah pemilik lahan sedang, dan petani gurem pemilik lahan sempit.
Penggunaan lahan/tanah dalam bidang pertanian meliputi usaha tani tanaman padi
dan/atau palawija, usaha tani tanaman hortikultura, usaha tani tanaman
perkebunan, usaha tani tanaman kehutanan, usaha tani ternak/unggas, budi daya
ikan/biota lain di air tawar, budi daya ikan/biota lain di tambak air payau, dan
usaha penangkaran satwa liar. Secara mikro, pengaruh tanah dalam pertanian
dilihat dari penguasaan lahan, luas lahan garapan, dan nilai lahan (Hanafie, 2010).
Macam-macam lahan menurut kepemilikan oleh petani dibedakan menjadi:
1. Lahan yang dibeli, baik kontan maupun angsuran.
2. Lahan warisan, yaitu lahan yang diterima oleh ahli waris berdasarkan
pembagian dari harta orang tua yang telah meninggal dunia.
3. Lahan yang diperoleh secara hibah, yaitu lahan yang diterima/didapat
secara cuma-cuma dari badan/harta orang yang masih hidup.
4. Lahan yang dimiliki berdasarkan landreform, permohonan biasa,
pembagian lahan transmigrasi, pembagian lahan dari pembukaan hutan,
hukum adat, atau penyerahan dari program Perkebunan Inti Rakyat
(PIR).
5. Lahan sewa, yaitu lahan yang didapat dengan perjanjian sewa, yang
besarnya sudah ditentukan terlebih dahulu tanpa melihat besar/kecilnya
28
hasil produksi. Pembayaran sewa dapat berupa uang atau barang.
Dalam sewa-menyewa, pemilik lahan tidak ikut menanggung ongkos-
ongkos produksi dan risiko dari penggarapan lahannya.
6. Lahan bagi hasil (sakap), yaitu lahan sewa, tetapi dengan perjanjian
besarnya sewa berdasarkan hasil panen/produksi dan dibayarkan stelah
panen. Besarnya bagian yang akan diserahkan pada pemilik lahan sudah
ditentukan lebih dahulu, seperti setengah atau sepertiga hasil produksi.
Istilah-istilah yang dipakai di beberapa daerah, antara lain maro,
meniga, martilu, toyo, nengah, jejuron, kujang, dan mampatigoi.
7. Lahan gadai, yaitu lahan yang berasal dari pihak lain sebagai jaminan
pinjaman uang pihak yang menggadaikan lahannya. Lahan tersebut
dikuasai oleh orang yang memberi pinjaman uang sampai pemilik lahan
membayar kembali hutangnya.
8. Lahan bengkok/pelungguh, yaitu lahan milik desa/kelurahan yang
dikuasakan kepada pamong desa atau bekas pamong desa sebagai gaji
atau pensiun.
9. Lahan bebas sewa, serobotan, dan lahan garapan. Lahan bebas sewa
adalah lahan yang didapatkan dengan tanpa membeli atau membayar
sewa dan bukan merupakan lahan milik, tetapi hanya diizinkan
memakai dengan bebas sewa.
10. Lahan yang dikuasai adalah lahan milik sendiri ditambah lahan yang
berasal dari pihak lain dan dikurangi lahan yang berada di pihak lain.
Lahan tersebut berupa lahan sawah dan/atau lahan buka sawah.
29
11. Lahan pertanian adalah lahan yang dikuasai dan pernah diusahakan
untuk pertanian selama setahun yang lalu. Lahan tersebut mencakup
lahan sawah, huma, lading, tegal/kebun, kolam/tebat/empang, tambak,
lahan perkebunan, hutan, dan lahan untuk penggembalaan/padang
rumput.
12. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi
oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air
yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana
diperolehnya atau status lahan tersebut. Dalam hal ini, termasuk lahan
yang hanya terdaftar di Pajak Bumi Bangunan (PBB), lahan bengkok,
lahan serobotan, dan rawa yang ditanami padi. Lahan sawah dibedakan
menjadi:
a. Lahan sawah irigasi (berpengairan), yaitu lahan sawah yang
mendapatkan air dari sitem irigasi, baik bangunan penyadap dan
jaringannya yang dikelola oleh instansi pemerintah, seperti Dinas
Pengairan maupun oleh masyarakat.
b. Lahan sawah tanpa irigasi (tak berpengairan) yang meliputi sawah
tadah hujan (sawah yang pengairannya tergantung pada air hujan),
sawah pasang-surut (sawah yang pengairanya tergantung pada air
sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut), dan sawah
lainnya (misalnya; lebak, polder, lahan rawa yang ditanami padi,
dan lain-lain).
30
13. Lahan bukan sawah adalah semua lahan selain sawah yang biasanya
ditanami dengan tanaman musiman atau tanaman tahunan, lahan untuk
kolam atau untuk kegiatan usaha pertanian lainnya. Lahan bukan sawah
meliputi huma, lading, tegal, kebun, kolam/tebat/empang, dan lahan
perkebunan.
14. Huma adalah lahan kering yang biasanya ditanami tanaman musiman
dan penggunaannya hanya semusim atau dua musim, kemudian
ditinggalkan bila sudah tidak subur lagi. Kemungkinan lahan ini
beberapa tahun kemudian akan dikerjakan kembali bila kesuburannya
kembali.
15. Ladang/tegal/kebun adalah lahan kering yang ditanami tanaman
musiman atau tanaman tahunan, serta terpisah dengan halaman sekitar
rumah dan penggunaannya tidak berpindah-pindah. Lahan yang
dibiarkan kosong kurang dari 1 tahun (menunggu masa penanaman
yang akan datang) dianggap sebagai kebun/tegal apabila hendak
ditanami tanaman musiman/tahunan atau dianggap sebagai lahan
pekebunan apabila akan ditanami tanaman perkebunan.
16. Lahan tidur adalah lahan yang biasanya digunakan untuk usaha
pertanian, tetapi tidak dimanfaatkan lebih dari 2 tahun.
Masalah tanah yang menonjol di Indonesia adalah perpecahan
(division), perpencaran (fragmentation), dan bentuk milik tanah (tenancy).
Perpecahan tanah adalah pembagian milik seseorang atas petak-petak kecil untuk
diberikan kepada ahli warisnya. Perpencaran tanah adalah sebuah usaha tani di
31
bawah satu manajemen yang terdiri dari beberapa petak yang berserak-serak.
Bentuk-bentuk usaha tani yang demikian menyulitkan sistem pengairan dan
pengawasannya. Diperlukan waktu dan biaya yang lebih banyak sehingga
efisiensi produksi menurun. Dari gambaran tentang perpecahan tanah, tampak
bahwa kepemilikan lahan sawah oleh masing-masing rumah tangga pertanian
adalah relatif sempit (Hanafie, 2010). Perpecahan dan perpencaran tanah ini
ditimbulkan oleh jual-beli, pewarisan, hibah perkawinan, dan penyakapan.
Walaupun landreform yang ditetapkan tahun 1960 berusaha untuk membatasi luas
minimum lahan garapan, tetapi proses perpecahan dan perpencaran tetap tak
mampu dihindarkan karena berkaitan erat dengan adat dan sampai sekarang belum
ada cara lain yang lebih baik untuk menggantikannya (Hanafie, 2010)
Bagi petani, lahan adalah aset paling berharga. Peranannya sangat
penting karena merupakan determinan pendapatan rumah tangga dan terutama di
negara berkembang (termasuk Indonesia) seringkali berkaitan pula dengan status
sosial. Oleh karena itu keputusan untuk melepaskan hak pemilikan atas lahan
merupakan salah satu keputusan petani yang sifatnya strategis. Sebagian besar
proses pelepasan hak pemilikan atas lahan berkenaan dengan dua hal yaitu karena
diwariskan dan dijual. Pewarisan adalah peralihan hak penguasaan (pemilikan)
yang berhubungan dengan suksesi dan biasanya mengacu pada sistem
kelembagaan yang dianut dalam komunitas setempat. Tergantung sistem yang
dianutnya kelembagaan tersebut ada yang mengacu pada pada hukum adat,
hukum agama, ataupun hukum negara. Di sisi lain, pelepasan hak pemilikan lahan
32
yang terjadi akibat transaksi jual-beli pada umumnya lebih banyak berkenan aspek
ekonomi (Sumaryanto, 2010).
Berbeda dengan peralihan pemilikan lahan akibat pewarisan, pengaruh
peralihan hak pemilikan akibat jual-beli terhadap distribusi pemilikan lahan
bersifat kondisional. Pada sebagian kasus mengarah pada konsolidasi penguasaan,
namun tak sedikit pula yang mendorong terjadinya fragmentasi. Namun demikian
untuk cakupan agregat, jual-beli lahan pertanian ikut berkontribusi pada
percepatan laju penyusutan lahan pertanian karena seringkali diikuti dengan alih
fungsi ke penggunaan ke aktivitas usaha atau peruntukan non pertanian
(Sumaryanto, 2010).
2.2.1 Pendapatan Rumah Tangga Petani
Sumber pendapatan rumahtangga petani berasal dari usahatani
padi dan non usahatani. Pendapatan rumahtangga petani adalah
penjumlahan pendapatan dari usahatani padi dan pendapatan non
usahatani. Pendapatan rumahtangga petani dari usahatani padi adalah
pendapatan suami dan isteri. Pendapatan rumahtangga petani dari non
usahatani adalah penjumlahan pendapatan suami, isteri dan anak. Untuk
menambah total pendapatan rumah tangga petani, maka anggota rumah
tangga akan mengalokasikan waktu kerja untuk mendapatkan penghasilan.
Kegiatan tersebut terutama ditujukan pada kegiatan usahatani padi dan non
usahatani (Rochaeni, 2010). Pendapatan yang berasal dari luar sektor
pertanian tampak memberikan kontribusi yang lebih besar terutama di
33
daerah-daerah yang kurang subur, dalam arti ketergantungan pendapatan
rumah tangga terhadap sektor ini lebih besar (Nurmanaf dan Nasution,
1986). Jenis kegiatan di luar sektor pertanian yang mampu memberikan
pendapatan yang tinggi menuntut penguasaan modal dan atau
keterampilan (Soentoro, 1983).
Menurut (Gustiyana, 2004), pendapatan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu pendapatan usahatani dan pendapatan rumah tangga.
Pendapatan merupakan pengurangan dari penerimaan biaya total.
Pendapatan rumah tangga yaitu pendapatan yang diperoleh dari kegiatan
usahatani ditambah dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan di luar
usahatani. Pendapatan usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor
(output) dan biaya produksi (input) yang dihitung dalam per bulan, per
tahun, per musim tanam. Pendapatan uluar usaha tani adalah pendapatan
yang diperoleh sebagai akibat melakukan kegiatan di luar usahatani seperti
berdagang, mengojek, dll.
2.2.2 Motivasi Sosial Ekonomi
Dalam Penelitian Farhani (2009) faktor pembentuk motivasi dari
dalam diri petani (internal) adalah terdiri dari umur, tingkat pendidikan,
luas kepemilikan lahan, tingkat pendapatan dan kosmopolitan.
1. Umur
Menurut Hernanto (1984), umur petani mempengaruhi
pengetahuan fisik (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan respon
34
terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usahataninya. Mantra
(1991) menyatakan bahwa kelompok umur 0-14 tahun merupakan
kelompok umur belum produktif, sedangkan umur 15-64 tahun
merupakan umur produktif serta kelompok umur lebih dari 65
tahun merupakan umur tidak produktif.
Umur mempunyai kaitan dengan tingkat kedewasaan
psikologis. Artinya semakin tua umur seseorang diharapkan
mampu menunjukkan kematangan jiwa, semakin bjiaksana,
mampu berpikir rasional, mampu mengendalikan emosional
sehingga semakin tua umur seseorang, kecenderungan untuk
berpindah pekerjaan akan semakin berkurang (Siagian, 1989).
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap motivasi
seseorang khusunya dalam tanggapan untuk menerima adanya
inovasi. Seseorang dengan tingkat pendidikan formal yang tinggi
akan lebih mudah dalam menanggapi inovasi ataupun isu yang
berkembang karena seseorang lebih berpikiran rasional setelah
mendapatkan ilmu-ilmu yang didapat dari bangku sekolah
(Kartasapoetra, 1994).
Menurut Slamet (1993) tingkat pendidikan responden
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok
berpendidikan rendah SD ke bawah, kelompok berpendidikan
35
sedang SMP sampai SLTA, dan yang berpendidikan tinggi yaitu
mereka yang berpendidikan diatas SLTA.
Tingkat pendidikan petani baik formal maupun non formal
akan mempengaruhi cara berfikir yang diterapkan pada
usahataninya yaitu dalam rasionalitas usaha dan kemampuan
memanfaatkan setiap kegiatan ekonomi yang ada (Hernanto,
1984).
3. Luas Kepemilikan Lahan
Sempitnya lahan yang dikuasai petani berkaitan dengan
budaya warisan dimana satu bidang tanah harus dibagi-bagi sesuai
dengan jumlah orang yang menerima warisan, sehingga
kebanyakan petani hanya mempunyai sepetak tanah kecil saja
(Khairuddin, 1992). Kepemilikan tanah pertanian yang kecil
disebabkan karena adanya pembagian tanah yang tidak merata.
Tekanan penduduk atas tanah yang berat serta terbatasnya
kesempatan kerja merupakan pendorong yang kuat bagi penduduk
untuk mencari pekerjaan, karena hasil yang diperoleh sedikit
sehingga pendapatan yang diterima masih kurang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga (Sajogyo, 1992).
Menurut Hernanto (1984), penggolongan petani
berdasarkan luas tanahnya dibagi menjadi 4 yaitu:
1) Golongan petani luas (lebih dari 2 ha)
2) Golongan petani sedang (0,5 – 2 ha)
36
3) Golongan petani sempit ( > 0,5 ha)
4) Golongan buruh tani yang tidak memiliki tanah
4. Tingkat Pendapatan
Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam
menunjang perekonomian keluarga. Tingkat pendapatan
merupakan salah satu indikasi sosial ekonomi yang sangat
dipengaruhi oleh sumberdaya dan kemampuan dalam diri individu.
Jenis pekerjaan dan tingkat pengeluaran seseorang juga
menentukan tingkat kesejahteraan dalam status sosial seseorang
(Soekartawi, 2003).
5. Kosmopolitan
Kosmopolitan adalah tingkat hubungan dengan dunia luar
sistem sosialnya sendiri (keluarga dan kerabat). Kosmopolitan
dicirikan oleh frekwensi dan jarak perjalanan yang dilakukan oleh
petani luar daerah, frekwensi mengakses informasi (Mardikanto,
1996). Sedangkan menurut Karsidi (2004) tingkat kosmopolitansi
pengrajin industri kecil dicirikan oleh keikutsertaan dalam
organisasi sosial, kontak dengan penyuluh industri dan jenis kursus
industri yang pernah diikuti.
37
2.3 Pendekatan Pembangunan
Kesenjangan wilayah di negara-negara berkembang cukup besar dan
dalam beberapa kasus makin cenderung terjadi jurang kesenjangan khususnya
antara desa dengan kota (Stohr & Taylor, 1981; Nurzaman, 2002 dalam Widodo,
2015). Dalam sejarah perkembangannya, regional planning sebagai perencanaan
publik (Gillingwater, 1978) mencoba mereduksi kesenjangan ini dengan dua
pendekatan yaitu DfA (Development from Above) dan DfB (Development from
Below). DfA berakar pada teori ekonomi neoklasik dan manifestasinya terhadap
pembangunan wilayah adalah konsep growth centre. Cumulative Causation
Theory. Pencetusnya adalah Gunnar Myrdal (Glasson, 1978). Menurutnya,
perbedaan pendapatan wilayah dari waktu ke waktu akan menjadi jurang yang
semakin melebar selama backwash effect mendominasi spread effect dan
pertumbuhan wilayah pada saat itu mengalami disequilibrium. Permainan
kekuatan pasar cenderung meningkat dan pada akhirnya terjadilah kesenjangan
antar wilayah.
Munculnya DfB karena strategi spreadeffect yang diimpikan dalam
DfA jauh dari harapan. Backwash effect justru lebih besar pengaruhnya terhadap
daerah daerah sekitarnya. DfB adalah strategi lain dalam perencanaan
pembangunan regional dan merupakan refleksi gagasan mengubah hakikat dan
tujuan pembangunan itu sendiri seperti digambarkan Goulet (1979). Tujuan utama
DfB adalah memanfaatkan sumber-sumber alam wilayah dan keterampilan
masyarakat setempat yang pada awalnya untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Beberapa teori ataupun pendukung pendekatan DfB adalah; teori pembangunan
38
teritorial, teori pembangunan fungsional, dan teori agropolitan. Pengembangan
Agropolitan yang ditawarkan pada waktu itu, adalah karena sebagian besar
wilayah Indonesia memiliki karakteristik rural yang dipersyaratkan dalam
pengembangan agropolitan.
Diantaranya, wilayah tersebut berbasis pertanian dengan kisaran
penduduk antara 50.000 - 150.000 jiwa, kepadatan penduduk 200 orang/km2,
radius wilayah 5-10 km, dapat ditempuh dengan sepeda kurang lebih 1 jam. Latar
belakang pengembangan agropolitan yang digagas Friedmann dan Douglas (1975)
tersebut adalah melihat kegagalan sektor industri di negara berkembang yang
mengakibatkan terjadinya urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota, pendapatan
yang tidak merata, pengangguran, ketergantungan pada dunia luar, dan
berkurangnya bahan pangan akibat fokus pembangunan dicurahkan pada
pertumbuhan sektor industri saja.
2.4 Konversi Lahan
Konversi lahan merupakan suatu proses konversi lahan oleh manusia
dari penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara
maupun permanen. Konversi lahan atau lazimnya juga disebut alih fungsi lahan
adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak
negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo et al,
1992). Konversi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan
penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
39
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus
meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian
sulit dihindari (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).
Konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum
menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu
penggunaan ke penggunaan lainnya. Berdasarkan fakta empirik di lapangan, ada
dua jenis proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang langsung
dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang dilakukan oleh bukan petani lewat
proses penjualan. Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara
langsung oleh petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli.
Konversi yang dilakukan langsung oleh petani luasannya sangat kecil.
Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah melibatkan pemerintah, yaitu ijin
lokasi dan ijin pembebasan lahan. Secara empiris lahan pertanian yang paling
rentan terhadap alih fungsi lahan adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: (1)
kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah
pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekositem lahan kering,
sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2) daerah persawahan
banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) akibat pola
pembangunan di masa sebelumnya, infrasturktur wilayah pesawahan pada
umumnya lebih baik daripada wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan
40
prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung
berlangsung cepat di wilayah topografi datar, dimana pada wilayah dengan
topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan
areal persawahan (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).
Upaya mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian dan menekan
dampak negatif alih fungsi lahan bagi kelangsungan pembangunan pertanian,
pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundangan, sekaligus
mengakomodasi berbagai kepentingan antar sektor ekonomi. Namun demikian,
implementasinya di daerah terkesan belum efektif sebagaimana terlihat dari alih
fungsi lahan yang terus terjadi dan semakin tidak terkendali. Kurang efektifnya
aturan yang dapat memayungi seluruh upaya pengendalian dan perlindungan
terhadap lahan pertanian produktif, disinyalir terkait dengan instrumen ekonomi
dan aspek kelembagaan yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.
Kecenderungan demikian berdampak pada semakin lemahnya upaya pengendalian
alih fungsi lahan (Zakaria dan Rachman, 2013).
Lemahnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian produktif menurut
Nasoetion (2003) erat kaitannya dengan kondisi: (1) koordinasi kebijakan; (2)
pelaksanaan kebijakan; dan (3) konsistensi perencanaan. Sementara itu, tidak
efektifnya peraturan yang telah ada juga dipengaruhi oleh sistem administrasi
lahan masih lemah dan koordinasi antar lembaga yang terkait kurang kuat, serta
implementasi tata ruang yang belum memasyarakat. Sumberdaya lahan menjadi
semakin penting seiring dengan tingginya pertambahan jumlah penduduk, yang
mana hal ini akan terus memberikan tekanan-tekanan terhadap permintannya.
41
Alokasi atau peruntukan pemanfaatan lahan antar sektor ekonomi, khusunya di
wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi kerapkali didasarkan
atas pertimbangan nilai ekonomi. Hal ini membawa implikasi terhadap kompetisi
pemanfaatan lahan untuk berbagai aktivitas ekonomi semakin tinggi, dengan kata
lain pendulum peruntukkan lahan cenderung mengarah pada aktivitas ekonomi
yang memberikan rent tertinggi (Zakaria dan Rachman, 2013).
Dari satu sisi, proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat dipandang
merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan
transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang
berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya (1)
pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya
permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan
jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita, serta (2) adanya pergeseran
kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer khususnya dari
sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktifitas sektor-
sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa) (Rustiadi, 2001).
Di dalam hukum ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari
aktifitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land
rent yang lebih tinggi. Land rent dapat diartikan sebagai nilai keuntungan bersih
dari aktivitas pemanfaatan lahan persatuan luas lahan dan waktu tertentu
(Rustiadi, 2001). Proses alih fungsi lahan pada umumnya didahului oleh adanya
proses alih penguasaan lahan. Dalam kenyataannya, di balik proses alih fungsi
lahan umumnya terdapat proses memburuknya struktur penguasaan sumberdaya
42
lahan. Permasalahan di seputar proses alih penguasaan lahan adalah (1) proses
yang asimetrik antara pihak yang melepas hak dengan yang menerima hak
penguasaan lahan, (2) kecenderungan semakin terkonsentrasinya struktur
penguasaan lahan pada kelompok masyarakat tertentu (distribusi penguasaan yang
semakin memburuk), dan (3) bertambahnya kelompok masyarakat tanpa lahan.
Struktur sosial-ekonomi yang asimetrik antara yang melepas (seringkali
secara terpaksa) hak dan dengan yang penerima hak penguasaan menyebabkan
manfaat peningkatan land rent dari proses alih fungsi dan pengembangan lahan
sebagian besar dinikmati oleh penguasa berikutnya atau pihak-pihak pengambil
rente dari proses alih penguasaan (calo tanah, dan aparat desa/pemerintah).
Sedangkan kalangan masyarakat lokal dan petani yang kehilangan akses
penguasaan atau yang menjual lahan menerima harga yang rendah. Proses alih
fungsi lahan pada dasarnya bagian dari proses yang menyertai terjadinya
konsentrasi penguasaan sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan. (Rustiadi,
2001).
Konversi lahan pertanian pada intinya terjadi akibat adanya persaingan
dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian.
Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga
fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan sumberdaya lahan, pertumbuhan
penduduk, dan pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang ekonomi konversi
lahan pertanian pada dasarnya dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu tarikan
permintaan lahan untuk kegiatan nonpertanian dan dorongan penawaran lahan
pertanian oleh petani pemilik lahan.
43
Perilaku penawaran dan permintaan lahan pada dasarnya akan
mempengaruhi peluang terjadinya konversi lahan pertanian disuatu daerah.
Namun peluang konversi lahan tersebut tidak selalu menjadi konversi lahan yang
sebenarnya terjadi di lapangan karena pemerintah memiliki kewenangan yang sah
untuk mengendalikan dan mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan (Nasoetion,
2003). Hal ini ditegaskan dalam UUPA No. 5 tahun 1960 pasal 2 ayat (2) yang
menyatakan bahwa negara memiliki kewenangan untuk: (1) Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa, (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan (3)
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa.
Terdapat peraturan pemerintah terkait dengan upaya pengendalian konversi lahan
sawah pada tabel 2.6 (lampiran).
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian
2.5.1 Faktor Determinan Konversi Lahan
Dalam jurnal penelitian Irawan (2008), Konversi lahan pertanian pada
dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor
pertanian dan sektor nonpertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan
lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu:
keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan
ekonomi. Di setiap daerah, luas lahan yang tersedia relatif tetap atau terbatas
44
sehingga pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kelangkaan lahan yang
dapat di alokasikan untuk kegiatan pertanian dan non pertanian. Sementara itu
pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan
non pertanian pada laju lebih tinggi dibanding permintaan lahan untuk kegiatan
pertanian karena permintaan produk non pertanian lebih elastis terhadap
pendapatan. Meningkatknya kelangkaan lahan (akibat pertumbuhan penduduk),
yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan yang relatif tinggi untuk
kegiatan non pertanian (akibat pertumbuhan ekonomi) pada akhirnya
menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian (Irawan, 2008).
Sejalan dengan perubahan struktur perekonomian yang merupakan ciri
perkembangan suatu negara atau daerah, kebutuhan lahan untuk kegiatan non
pertanian akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kecenderungan
tersebut menyebabkan konversi lahan pertanian sulit dihindari, dengan kata lain,
setiap tahunnya pasti terjadi konversi lahan. Luas konversi lahan tersebut setiap
tahunnya akan semakin besar karena konversi lahan pertanian umumnya bersifat
menular. Dengan kata lain, sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka luas
lahan yang dikonversi di lokasi tersebut akan semakin besar akibat konversi lahan
ikutan yang terjadi di lokasi sekitarnya (Irawan, 2008). Gejala penularan konversi
lahan tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling terkait (Irawan, 2003)
yaitu:
1. Sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau kawasan
industri di suatu lokasi yang mengalami konversi lahan pertanian, maka
aksesibilitas di lokasi yang bersangkutan semakin baik akibat
45
berkembangnya sarana dan prasarana transportasi. Peningkatan
aksesibiltas tersebut selanjutnya merangsang peningkatan permintaan
lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di
lokasi sekitarnya mengalami peningkatan.
2. Meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di
sekitarnya untuk menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut biasanya
bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai
yang secara umum rentan terhadap proses konversi lahan (Wibowo,
1996).
2.5.2 Faktor Makro Konversi Lahan
Menurut Pakpahan et al (1993) faktor tak langsung atau makro yang
mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian yaitu faktor konversi di tingkat wilayah
dimana faktor tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani.
Faktor ini mempengaruhi faktor-faktor lain yang nantinya berpengaruh terhadap
keputusan petani. Faktor tersebut antara lain seperti pertumbuhan penduduk yang
mempengaruhi pertumbuhan pemukiman dan perubahan struktur ekonomi ke arah
industri dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan sarana transportasi dan
lahan untuk industri.
46
2.5.3 Faktor Mikro Konversi Lahan
Menurut (Pakpahan et al dalam Irawan, 2008), faktor langsung atau
mikro yaitu faktor konversi di tingkat petani dimana faktor tersebut
mempengaruhi langsung keputusan petani. Faktor tersebut antara lain kondisi
sosial ekonomi petani, seperti pendidikan, pendapatan, kemampuan secara
ekonomi, pajak tanah, harga tanah, dan lokasi tanah. Sedangkan faktor tak
langsung atau makro yaitu faktor konversi di tingkat wilayah dimana faktor
tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani.
Sebagian besar lahan pertanian yang berupa sawah, tegalan, atau kebun
dimiliki oleh petani.oleh karena itu proses konversi lahan pertanian umumnya
diawali dengan transaksi penjualan lahan petani kepada pihak lain. berdasarkan
proses tersebut, konversi lahan dapat pula dirangsang oleh dorongan penawaran
lahan pertanian oleh petani (Irawan, 2008). Dalam jangka panjang dorongan
penawaran lahan pertanian tersebut dapat dirangsang oleh dua fenomena yaitu
berlakunya sistem pewarisan lahan pecah bagi yang berdampak pada pemilikan
lahan per petani makin sempit dan penurunan rente usaha pertanian sebagai
konsekuensi dari penurunan sekuler nilai tukar pertanian dan naiknya harga lahan.
Kedua fenomena tersebut selanjutnya mendorong petani untuk menjual
lahannya dan beralih ke sektor lain, karena pendapatan yang diperoleh dari lahan
yang dimiliki dinilai tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani (Irawan,
2008). Dalam kasus penjualan lahan, para pemodal melihat itu sebagai peluang
yang sangat besar dan menjanjikan dalam jangka panjang, yaitu dengan membeli
lahan di sekitar perkotaan untuk investasi.
47
Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama harga tanah akan terus
meningkat secara signifikan. Para pembeli tanah pun mencari pemilik lahan untuk
diimingi bayaran agar pemilik lahan mau menjual lahannya. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ermanto (2012) pada petani PIR Kelapa Sawit di Desa Karta,
Banten, menunjukkan bahwa motif petani menjual lahannya menunjukkan
27,73% digunakan untuk biaya kematian/hajatan, 20,2% untuk biaya hidup,
18,8% untuk modal usaha, 14,4% untuk beli sawah, 5,8% untuk dibagi kepada
anak-anak mereka, dan selebihnya untuk keperluan lain. Rahmanto dkk, (2008),
menyatakan karakteristik rumahtangga memiliki hubungan kuat terhadap
keragaman persepsi multi fungsi lahan sawah di antaranya mencakup peubah-
peubah berikut:
1. Usia responden
2. Tungkat pendidikan
3. Jumlah anggota keluarga tertanggung
4. Luas garapan sawah
5. Proporsi pendapatan rumah tangga dari lahan sawah
Hasil temuan Rusastra (1997), di Kalimantan Selatan, alasan utama
petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang
tinggi, skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Syafa‟at (1995), di
Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah
karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan.
Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi
48
dan rasio pendapatan non pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi
cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi.
2.6 Dampak dari Konversi Lahan Pertanian
Sumberdaya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas
secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu hilangnya lahan pertanian
akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian akan menimbulkan dampak
negatif terhadap berbagai aspek pembangunan. Keberadaan lahan pertanian dari
aspek lingkungan dapat memberikan lima jenis manfaat yaitu: mencegah
terjadinya banjir, sebagai pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya
erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah
tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasala dari gas buangan. (Irawan,
2005) Meningkatnya pertumbuhan populasi mempengaruhi perkembangan
kegiatan pembangunan perumahan dan industri yang menekan keberadaan lahan
produktif penghasil pangan, sayuran, dan buah-buahan. Hal ini juga menekan
keberadaan petani yang memiliki lahan pertanian sebagai tempat untuk mencari
nafkah. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan,
antara lain:
1. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan turunnya produksi
padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan
kerja dari sektor pertanian ke non petanian dimana tenaga kerja lokal
nantinya akan bersaing dengan pendatang. Dampak sosial ini akan
49
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat
setempat terhadap pendatang yang nantinya akan berpotensi
meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan saran pengairan
menjadi tidak optimal. Hal ini dikarenakan irigasi yang telah dibangun
menjadi sia-sia karena sawah yang dialih fungsikan.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan
ataupun industri karena kesalahan perhitungan mengakibatkan lahan
yang telah dialihfungsikan menjadi tidak termanfaatkan, karena tidak
mungkin dikembalikan menjadi sawah kembali.sehingga luas lahan
tidur akan meningkat dan nantinya akan menimbulkan konflik sosial
seperti penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah di Pulau Jawa dimana telah terbentuk
selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan pencetakan sawah baru di luar
Pulau Jawa tidak memuaskan hasilnya.
Dalam jurnal penelitian oleh (Syahyuti, 2011) dengan judul
“Delandreformisasi Sebagai Gejala Anti Landreform di Indonesia” mengatakan
bahwa delandreformisasi adalah proses atau gejala yang menyebabkan petani
tidak dapat menjalankan kegiatannya sebagai petani dengan semestinya, baik
karena tekanan dari luar maupun karena perilaku petani itu sendiri dan lingkungan
sosio kultural masyarakat setempat. Delandreformisasi adalah gejala yang
berlawanan dengan cita-cita ideal landreform dan reforma agrarian sebagaimana
tercantum dalam UU, kebijakan pemerintah, dan impian para pejuang dan
50
pemerhati agraria. Karakter yang melekat pada delandreformisasi sesungguhnya
saling terkait satu sama lain. adapun bentuk utama gejala delandreformisasi:
Penjualan lahan, fragmentasi lahan dan konversi lahan pertanian. Dampak dari
delandreformisasi pun mempengaruhi kesejahteraan petani dan struktur pertanian
nasional. Adapun dampaknya sebagai berikut: Terkendalanya pengembangan
agribisnis, petani terpaksa harus melakukan diversifikasi, perubahan sosiokultural.
Delandreformisasi umumnya berlangsung sebagai peristiwa di level mikro, yakni
di tingkat rumah tangga. Namun, gejala ini memiliki dampak secara mikro dan
makro sekaligus. Penjualan dan fragmentasi lahan telah menyebabkan penguasaan
tidak mencapai skala ekonomi. Secara umum telah, telah terjadi penyempitan
penguasaan lahan.
2.7 Penelitian Terdahulu
Nuhung (2013) Pengkajian Transaksi Lahan Pertanian di Wilayah Sub
Urban, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi atau memotivasi
masyarakat untuk menjual lahannya di desa Nagrak Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor adalah: Usia/umur, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan
keluarga, tingkat pendidikan, kebutuhan yang mendesak. Faktor-faktor tersebut
berpengaruh nyata secara statistic melalui F test. Terdapat 76% responden
memiliki motivasi “sedang sampai sangat tinggi” untuk menjual lahan.
Subali (2005) Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumah
Tangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten
Bogor) menjelaskan bahwa faktor utama yang menyebabkan konversi lahan di
51
Desa Batujajar dibagi menjadi dua yaitu (1) faktor internal, yaitu faktor dari
dalam diri masyarakat penjual lahan sendiri dalam hal ini, pendidikan, pendapatan
dan pengalaman kerja dan juga ketergantungan terhadap lahan, (2) faktor
eksternal, yakni faktor yang muncul dari luar masyarakat Desa Batujajar dalam
hal ini investor, pengaruh tetangga, pengaruh aparat desa dan juga calo-calo tanah
yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan.
Munir (2008) Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan
Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah) menjelaskan bahwa ada
hubungan antara faktor internal dan eksternal pertain dengan pengambilan
keputusan untuk mengkonversi lahan. Konversi lahan berpengaruh positif
terhadap tingkat kesejahtraan rumah tangga petani khususnya di Desa
Candimulyo. Dalam hal ini, petani tersebut akan lebih sejahtera setelah
mengkonversi lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Akan tetapi,
jika dilihat sisi negatifnya, petani tersebut pada hakekatnya menghancurkan
lingkungan sendiri.
Silalahi (2008) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan
Pemukiman di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Latar belakang penjualan
lahan di Kecamatan Cibinong mengindikasikan bahwa responden yang menjual
lahan adalah sudah berkeluarga dan mempunyai tanggungan keluarga yang cukup
besar, umur relatif pada usia kerja mendekati usia kerja tidak produktif. Motivasi
penjual lahan pada saat melakukantransaksi jual lahan mengindikasikan bahwa
faktor pendorong disebabkan kebutuhan modal usaha dan faktor penariknya
52
disebabkan oleh keinginan untuk membuat tabungan demi kelangsungan hidup,
sedangkan peruntukan hasil penjualan lahannya adalah untuk modal usaha.
2.8 Kerangka Pemikiran
Lahan merupakan modal penting yang harus dimiliki suatu daerah
untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun pertumbuhan populasi dan
meningkatnya nilai ekonomi membuat perubahan yang terjadi pada lahan semakin
marak. Lahan pertanian saat ini sudah banyak berganti menjadi lahan non
pertanian. Laju pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat menyebabkan
peningkatan kebutuhan akan lahan pemukiman ikut bertambah. Belum lagi
permintaan sarana dan prasarana akan ikut bertambah seiring banyaknya
pemukiman baru yang dibangun.
Pergesaran fungsi lahan pertanian didorong oleh faktor eksternal
maupun faktor internal, faktor eksternal yang mempengaruhi keputusan petani
menjual lahan adalah pengaruh dari investor, kebijakan pemerintah, dan tetangga
petani yang menjual lahan. Faktor-faktor ini berasal dari luar petani itu sendiri,
pengaruh investor yang mendatangi petani, kebijakan pemerintah dalam
membangun pertanian, serta jumlah petani yang menjual lahannya dapat
mempengaruhi petani lain untuk tidak mempertahankan lahannya yang semetara
itu, faktor internal seperti; umur, pendidikan, jumlah tanggungan, luas lahan dan
harga lahan, juga diduga menjadi pendorong kuat bagi para petani untuk menjual
lahannya kepada para pengembang lahan. Pada penelitian ini, peneliti membatasi
untuk membahas faktor internal dari petani dalam menjual lahannya saja yang
53
dimana peneliti ingin menganalisa apakah faktor umur, pendidikan, jumlah
tanggungan, luas lahan dan harga lahan mempengaruhi petani dalam menjual
lahan mereka. Skema faktor-faktor yang mempengaruhi petani menjual lahan
pertaniannya secara sederhana pada Gambar 2.
54
Ket:
- - - - = batasan penelitian
= menyatakan hubungan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Transaksi Lahan
Pertanian
Petani Menjual Lahan
Perubahan Pendapatan dan
Mata Pencaharian Petani
Desa Buni Bakti
Konversi Lahan
Pertanian
Pertumbuhan Ekonomi
Peningkatan
Permintaan Lahan
Faktor Internal:
Umur
Lama Pendidikan
Jumlah Tanggungan Keluarga
Luas Lahan
Harga Lahan
Faktor Eksternal:
Pengaruh Investor
Kebijakan Pemerintah
Jumlah Tetangga Petani yang
Menjual Lahan
Pertumbuhan Populasi
Penduduk
Luas Tanah dan
Kekayaan Alam
Analisis Regresi
Berganda
55
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai transaksi lahan ini dilakukan pada Desa Buni Bakti
di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat dari bulan Januari
s/d April 2015. Penentuan wilayah dilakukan dengan sengaja (purposive), karena
Desa Buni Bakti diduga mempunyai kecenderungan konversi lahan pertanian
yang cukup besar terutama karena berada di dekat daerah perkotaan dan
berbatasan dengan daerah industri. Konversi lahan pertanian yang disebabkan
karena penjualan lahan pertanian oleh para petani ini banyak terdapat di Desa
Buni Bakti, yaitu penjualan lahan sawah yang diubah menjadi lahan pemukiman
penduduk, kegiatan investasi oleh para investor, kegiatan para spekulan tanah
untuk mendapat keuntungan, perubahan lahan menjadi lokasi industri dan
beberapa pembangkit listrik. Petani di Desa Buni Bakti diduga sudah menjadi
petani penggarap saja karena mereka sudah menjual lahan kepada pembeli lahan.
Walaupun beberapa masih memiliki lahan dan mempetahankannya.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder yang
berhubungan dengan konversi lahan persawahan. Data primer didapat dari hasil
wawancara dan kuesioner yang disebar ke petani sebagai responden penelitian
sedangkan data sekunder didapat dari data kependudukan, perkembangan luas
56
lahan sawah, panjang jalan, luas lahan pemukiman, pertumbuhan PDRB industri,
produktivitas lahan sawah. Data didapat dari Pemerintahan Daerah Kabupaten
Bekasi, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, Dinas Pertanian Kabupaten
Bekasi, serta data-data pendukung yang berasal dari literatur-literatur, skripsi, dan
data mengenai konversi lahan.
3.3 Teknik Pengambilan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data maka peneliti tidak
akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini dengan cara melakukan wawancara
langsung dengan narasumber. Moleong (2002) mendefinisikan bahwa wawancara
adalah percakapan lisan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Daftar pertanyaan dalam wawancara
tersebut menggunakan kuisioner. Kusumah (2011) menjelaskan bahwa kuisioner
adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada subjek yang diteliti untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan peneliti. Kuisioner dibagi menjadi dua
macam, yaitu kuisioner berstruktur atau tertutup dan kuisioner tidak berstruktur
atau terbuka. Kuisioner tertutup berisikan pertanyakan yang disertai dengan
pilihan jawaban. Sedangkan kuisioner terbuka berisikan pertanyaan yang tidak
disertai pilihan jawaban.
57
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tanya jawab secara langsung
kepada petani setempat selaku narasumber pada penelitian ini. Kuisioner yang
digunakan menggunakan kuisioner terbuka atau tidak terstruktur. Kuisioner dalam
penelitian ini memuat tentang karateristik petani, ekonomi petani, status
kepemilikan lahan, tentang penjualan lahan, penggunaan hasil penjualan lahan,
dan sistem menjual lahan.
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sampel adalah bagian dari
jumlah populasi tersebut. Pengambilan sampel (data primer) dilakukan dengan
wawancara langsung kepada para petani yang menjual lahan serta mengajukan
kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratisfied random
sampling. Sampel yang diambil sebanyak 44 responden.
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ditabulasi menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel 2010 kemudian dilakukan pengolahan data
menggunakan SPSS 18. SPSS 18 digunakan untuk menguji data yang terdiri dari;
uji asumsi klasik, dan uji hipotesis. Data yang sudah diolah, dianalisis dengan dua
cara yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif yang telah diolah
disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif dipaparkan dalam bentuk
58
uraian guna mendukung data kuantitatif yang tersedia sebelumnya. Untuk
menganalisis permasalahan tersebut digunakan model kualitatif dan kuantitatif
dengan sistem tabulasi statistik serta model regresi linear berganda:
Dimana:
Y = Motivasi menjual lahan
α = Intersep
X1 = Umur (tahun)
X2 = Lama Pendidikan (tahun)
X3 = Harga Tanah (rupiah)
X4 = Luas Lahan (m2)
X5 = Jumlah Tanggungan Keluarga (orang)
3.6 Hipotesis
Hipotesis yang dapat dibuat dari variabel-variabel mengenai analisis
transaksi lahan pertanian di Kecamatan Babelan adalah sebagai berikut:
1. Umur diduga berpengaruh signifikan terhadap motivasi menjual lahan
pertanian yang dilakukan oleh petani.
2. Lama pendidikan diduga berpengaruh signifikan terhadap motivasi
menjual lahan pertanian yang dilakukan oleh petani.
59
3. Harga tanah diduga berpengaruh signifikan terhadap motivasi menjual
lahan pertanian yang dilakukan oleh petani.
4. Luas lahan diduga berpengaruh signifikan terhadap motivasi menjual
lahan pertanian yang dilakukan oleh petani.
5. Jumlah tanggungan keluarga diduga berpengaruh signifikan terhadap
motivasi menjual lahan pertanian yang dilakukan oleh petani.
3.6.1 Uji Hipotesis
Dalam model regresi berganda ini dilakukan uji hipotesis, antara lain;
Uji Koefisien Determinasi (R-squared), Uji F (F-test), Uji t (t-test).
3.6.1.1 Uji Koefisien Determinasi (R-squared)
Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari
variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen.
Nilai R-squared memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 <
R-squared < 1. Apabila nilai R-squared bernilai nol artinya keragaman
variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen.
Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari
variabel dependen secara keseluruhan dapat dijelaskan oleh variabel
independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). R-squared dapat
dirumuskan sebagai berikut:
60
Dimana:
ESS = Explained of Sum Squared
TSS = Total Sum of Squared
3.6.1.2 Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independent
atau variabel bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel
dependen atau variabel tidak bebas (Y). Adapun tahap yang digunakan
dalam uji F (Gujarati 2002):
H0 = β1 = β2 = β3 = ….. = βi = 0
H1 = minimal terdapat satu βi ≠ 0
⁄
⁄
Dimana:
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKG = Jumlah Kuadrat Galat
k = Jumlah variabel terhadap intersep
n = jumlah pengamatan/sampel
Apabila Fhitung < Ftabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti
bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel
61
tidak bebas (Y). sedangkan apabila Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan H1
diterima yang berarti bahwa variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata
terhadap variabel tidak bebas (Y).
Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik,
jika tidak maka akan mempengaruhi interpretasinya. Interpretasi ini
menjadi tidak benar apabila terdapat hubungan linear antara variabel
bebas (Chatterejee and price dalam Nachrowi et all 2002).
3.6.1.3 Uji t
Pengujian individu digunakan untuk menguji apakah nilai
koefisien regresi mempunyai pengaruh yang signifikan (Setiawan dan
Kusrini, 2010:64). Pada penelitian ini digunakan pengujian satu arah
dengan hipotesis sebagai berikut:
H0: βi ≤ 0
Ha: βi ≥ 0
Secara individual uji statistik yang digunakan adalah uji t yang
dihitung dengan rumus (Rohmana, 2010:74):
Dimana:
t = nilai thitung
βi = nilai koefisien regresi variabel X
sei = standar error variabel X
Mula-mula tentukan nilai degree of freedom (df):
62
Dimana:
n = jumlah observasi/sampel
k = jumlah variabel bebas ditambah konstanta
Kemudian bandingkan antara nilai thitung degan ketentuan sebagai
berikut:
a. Jika thitung ≥ ttabel, maka tolak H0 dan terima Ha artinya signifikan.
b. Jika thitung ≤ ttabel, maka terima H0 dan tolak Ha artinya tidak
signifikan.
3.6.2 Uji Asumsi Klasik
Dibutuhkan Uji asumsi klasik untuk memenuhi interpretasi dan kriteria
model regresi linear yang baik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada
model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang telah
berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik. setelah model
diregresikian dilakukan uji penyimpangan asusmsi, yaitu: Uji Normalitas, Uji
Heterokedastisitas, Uji Autokorelasi, Uji Multikolinearitas.
3.6.2.1 Uji Normalitas
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal
(Ghozali, 2011). Model dikatakan baik jika mempunyai distribusi normal
atau hampir normal. Salah satu uji yang dapat digunakan adalah uji
63
Kolmogorov-Smirnov. Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah
sebagai berikut:
H0 : Error term terdistribusi normal
H1 : Error term tidak terdistribusi normal
Dengan kriteria uji:
Jika P-value < α maka tolak H0
Jika P-value > α maka terima H0
Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan
perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain.
3.6.2.2 Uji Heteroskedastisitas
Asumsi penting dari regresi linear klasik adalah bahwa gangguan
yang muncul dalam fungsi regresi adalah heteroskedastisitas. Menurut
Juanda (2009), heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama
untuk tiap pengamatan kecuali dari peubah-peubah bebas dalam model
regresi. Masalah heteroskedastisitas biasanya sering terjadi dalam data
cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi heteroskedastisitas
adalah dengan transformasi terhadap peubah respon hasil transformasi
tersebut. Namun, dalam mendeteksi terjadinya heteroskedastsitas dalam
model dapat digunakan juga metode grafik (Nachrowi et all 2002). Selain
itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser. Uji glejser dilakukan dengan
meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolute residualnya
64
(Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejser lebih besar dari
α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.
3.6.2.3 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabell bebas (independen)
(Ghozali, 2011). Jika suatu model regresi berganda terdapat hubungan
liniear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat
dikatakan model tersebut mengalami multikolinearitas. Terdapat
multikolinearitas menyebabkan R-squared tinggi namun tidak banyak
variabel yang signifikan dari uji t. terdapat beberapa cara untuk
menentukan apakah suatu model memiliki gejala multikolinearitas. Salah
satu cara yang digunakan adalah dengan uji Varian Infaction Factor
(VIF). Cara ini terbilang mudah dengan hanya melihat apakah nila VIF
untuk masing-masing variabel lebih besar dari 10 atau tidak. Apabila
nilai VIF lebih besar dari 10 maka diindikasikan model tersebut
mengalami multikolinearitas. Sebaliknya, apabila VIF lebih kecil dari 10
maka diindikasikan bahwa model tersebut tidak mengalami
multikolinearitas.
65
3.7 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional variabel yang terdapat dalam transaksi
lahan pertanian adalah sebagai berikut :
1. Umur (X1)
Umur menggambarkan produktifnya seseorang untuk melakukan
perkerjaan. Semakin tua umur seseorang, aktivitas yang dilakukan
sedikit menurun sedangkan saat umur seseorang masih muda, banyak
aktivitas yang dapat dilakukan.
2. Lama Pendidikan (tahun) (X2)
Lama pendidikan yang ditempuh mempengaruhi seseorang dalam
mengambil keputusan dan menggambarkan individu yang dapat
mempertimbangkan sesuatu secara matang.
3. Harga Tanah (X3)
Harga tanah yang saat ini terus meningkat membuat petani tergiur
menjual lahannya kepada para pembeli, dalam hal ini harga lahan
yang dijual oleh petani kepada pembeli lahan.
4. Luas Lahan (X4)
Luas lahan yang dimiliki oleh petani, yang bervariasi total luasnya.
Luas lahan yang semakin sempit mempengaruhi petani untuk menjual
lahannya.
5. Jumlah Tanggungan Keluarga (X5)
Jumlah anggota keluarga membuat para petani membutuhkan
pendapatan yang lebih lagi untuk menghidupi anggota keluarganya.
66
Untuk Variabel (Y) motivasi menjual lahan oleh petani dilakukan
secara kualitatif dengan menentukan nilai, dan akan diukur melalui cara
kuantitatif (Tabel. 3.1) yaitu skoring sebagai berikut:
Tabel 3.1 Penilaian Variabel Kualitatif
Jawaban Nilai Motivasi/Niat
A 5 Sangat tinggi
B 4 Tinggi
C 3 Biasa saja
D 2 Rendah
E 1 Tidak ada
67
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kabupaten Bekasi
Kabupaten Bekasi merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat dan
beribukota Cikarang. Letak geografis Kabupaten Bekasi berada pada posisi 6o 10‟
6” – 6o 30‟ 6” Lintang Selatan dan 160
o 48‟ 28” – 107
o 27” 29” Bujur Timur.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Bekasi adalah dataran rendah dengan bagian
selatan yang berbukit-bukit. Ketinggian lokasi antara 0 – 115 meter dan
kemiringan 0 – 250 meter. Suhu udara Kabupaten Bekasi berkisar antara 280-
320C. Curah hujan tertinggi dan hari hujan terbanyak terjadi pada Bulan Januari.
Kabupaten ini mayoritas merupakan dataran rendah, 72% wilayah Kabupaten
Bekasi berada pada ketinggian 0 – 25 meter di atas permukaan laut.
Wilayah Kabupaten Bekasi terbagi ke dalam 23 kecamatan yang
meliputi lima kelurahan dan 182 desa. Kabupaten ini berada tepat di sebelah timur
Jakarta, di bagian barat berbatasan dengan Kota Bekasi dan Provinsi DKI Jakarta,
pada bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, pada bagian utara
berbatasan dengan Laut Jawa, dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor di bagian
selatan. Luas wilayah mencapai 127.388 Ha. Kecamatan yang paling luas yaitu
Kecamatan Muaragembong (14.009 Ha) atau 11% dari luas kabupaten. Penduduk
Kabupaten Bekasi tahun 2012 berjumlah 2.786.638 jiwa, yang terdiri dari
1.426.765 laki-laki dan 1.359.873 perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar
104,92. Sehingga rata-rata kepadatan penduduk sebesar 2.188 jiwa per km2.
68
Wilayah yang paling pada penduduknya adalah Kecamatan Tambun Selatan
(10.329 jiwa per km2), sedangkan yang paling rendah kepadatannya adalah
Kecamatan Muaragembong (255 jiwa per km2).
4.1.1 Sejarah Kabupaten Bekasi
Dalam catatan sejarah, nama "Bekasi" memiliki arti dan nilai sejarah
yang khas. Menurut Poerbatjaraka, seorang ahli bahasa Sansekerta dan Jawa
Kuno, asal mula kata Bekasi, secara filosofis, berasal dari kata Chandrabhaga.
Chandra berarti "bulan" (dalam bahasa Jawa Kuno, sama dengan kata Sasi) dan
Bhaga berarti "bagian". Jadi, secara etimologis
kata Chandrabhaga berarti bagian dari bulan. Kata Chandrabhaga berubah
menjadi Bhagasasi yang pengucapannya sering disingkat menjadi Bhagasi.
Kata Bhagasi ini dalam pelafalan bahasa Belanda seringkali ditulis "Bacassie"
kemudian berubah menjadi Bekasi hingga kini. Bekasi dikenal sebagai "Bumi
Patriot", yakni sebuah daerah yang dijaga oleh para pembela tanah air. Mereka
berjuang disini sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan negeri
tercinta dan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Balada kepahlawanan tersebut tertulis dengan jelas dalam setiap bait
guratan puisi heroik Pujangga Besar Chairil Anwar yang berjudul "Karawang -
Bekasi". Kini, Kabupaten Bekasi di usianya yang ke-57 tahun, banyak perubahan
yang telah terjadi dari masa ke masa. Sejarah terbentuknya Kabupaten Bekasi
dimulai dengan dibentuknya "Panitia Amanat Rakyat Bekasi" yang dipelopori R.
Supardi, M. Hasibuan, KH. Noer Alie, Namin, Aminudin dan Marzuki Urmaini,
69
yang menentang keberadaan RIS- Pasundan dan menuntut berdirinya kembali
Negara Kesatuan RI. Selanjutnya diadakan Rapat Raksasa di Alun-alun Bekasi
yang dihadiri oleh sekitar 40.000 orang rakyat Bekasi pada tanggal 17 Pebruari
1950. Menyampaikan tuntutan Rakyat Bekasi yang berbunyi :
1. Penyerahan kekuasaan Pemerintah Federal kepada Republik Indonesia,
2. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Republik Indonesia,
3. Tidak mengakui lagi adanya pemerintahan di daerah Bekasi, selain
Pemerintahan Republik Indonesia,
4. Menuntut kepada Pemerintah agar nama Kabupaten Jatinegara diganti
menjadi Kabupaten Bekasi.
Upaya para pemimpin Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk
memperoleh dukungan dari berbagai pihak terus dilakukan. Diantaranya
mendekati para pemimpin Masjumi, tokoh militer Mayor Lukas Kustaryo dan
Moh. Moefreini Mukmin) di Jakarta. Pengajuan usul dilakukan tiga kali antara
bulan Pebruari sampai dengan bulan Juni 1950 hingga akhirnya setelah
dibicarakan dengan DPR RIS, dan Mohammad Hatta menyetujui penggantian
nama "Kabupaten Jatinegara" menjadi "Kabupaten Bekasi ". Persetujuan
pembentukan Kabupaten Bekasi semakin kuat setelah dikeluarkannya Undang-
undang No. 14 Tahun 1950. Kabupaten Bekasi secara resmi dibentuk dan
ditetapkan tanggal 15 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Kabupaten Bekasi.
Selanjutnya pada tanggal 2 April 1960 Pusat Pemda Bekasi semula dipusatkan di
Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta, Jakarta) dipindahkan ke
70
gedung baru Mustika Pura Kantor Pemda Bekasi yang terletak di Bekasi Kaum JI.
Jr. H. Juanda.
4.2 Kecamatan Babelan
Kecamatan Babelan terdiri dari sembilan desa dan terbagi menjadi tujuh
desa dan dua kelurahan, yaitu Desa Kedung Pengawas, Desa Buni Bakti, Desa
Babelan Kota, Desa Pantai Hurip, Desa Hurip Jaya, Desa Muara Bakti, Desa
Kedung Jaya, Kelurahan Bahagia, dan Kelurahan Kebalen. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Tarumajaya di sebelah barat, Laut Jawa di sebelah
barat laut, Kecamatan Muara Gembong di sebelah utara, Kecamatan Sukawangi di
sebelah timur, Kecamatan Tambun Utara di sebelah tenggara, dan Kecamatan
Bekasi Utara di sebelah selatan.
Topografi daerah Kecamatan Babelan adalah datar 100%, ketinggian
dari permukaan laut 3-9 mdpl. Kecamatan Babelan didominasi tanah dengan jenis
tanah Alluvial Kelabu dengan luas 5.525 ha. Tipe iklim menurut klasifikasi
Sistem Oldemen adalah bersifat sedang dengan bulan basah 7 bulan dan bulan
kering 5 bulan. Musim hujan dimulai bulan Oktober, Nopember sampai dengan
bulan April, sedangkan musim kemarau dimulai bulan Mei sampai dengan bulan
September. Suhu rata-rata 270C, per Desember 2011 rata-rata curah hujan bulanan
sebanyak 175,6 mm dengan jumlah hari hujan per bulan 11 hari.
Penduduk Kecamatan Babelan pada tahun 2013 berjumlah 258.645 jiwa
yang terdiri dari 142.249 jiwa laki-laki dan 116.416 jiwa perempuan. Kelurahan
Bahagia adalah yang paling banyak penduduknya yakni sebesar 96969 jiwa,
71
sedangkan Desa Hurip Jaya adalah yang paling sedikit penduduk yakni sebesar
3.852 jiwa. Pesebaran penduduk di Kecamatan Babelan tidak merata, penduduk
terkonsentrasi pada wilayah yang sudah berkembang perekonomiannya, seperti
Kelurahan Bahagia, Kelurahan Kebalen dan Desa Babelan Kota dimana daerah-
daerah tersebut memiliki sumber penghasilan utama dari sektor industri
pengolahan. Sedangkan daerah yang masih didominasi oleh pertanian cenderung
memiliki penduduk yang sedikit dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai
buruh tani.
Perkembangan sektor industri di Kecamatan Babelan sangat
mempengaruhi karakteristik kependudukannya. Desa lain, seperti Desa Hurip Jaya
adalah desa di Kecamatan Babelan yang masih banyak lahan pertanian, tambak
dan lahan produktif lainnya, begitu juga dengan Desa Pantai Hurip yang masih
memiliki lahan pertanian cukup luas, kedua desa ini terletak di utara dekat dengan
pantai sehingga memiliki tanaman bakau yang dapat menahan abrasi air laut,
pengairan disini juga lancar untuk mendukung bercocok tanam dan budidaya ikan.
Di bagian tengah Kecamatan terdapat Desa Kedung Jaya, Kedung Pengawas,
Buni Bakti dan Muara Bakti yang masing-masing mnempunyai lahan pertanian
yang banyak dan sebagai penghasil padi terbanyak di Kecamatan Babelan.
4.2.1 Sejarah Kecamatan Babelan
Babelan dahulu daerah utara kota Bekasi ini dikenal karena hamparan
sawahnya yang menjulang dan penghasil dedak berkualitas. Kini telah berubah
drastis menjadi bangunan kios, ruko, pabrik dan sebagainya. Konon pada zaman
72
Hindia Belanda, ada sebidang tanah yang letaknya di sepanjang pantai Bekasi
luasnya 17 kilometer persegi itu dikuasai oleh tuan tanah keturunan china. Sang
Tuan tanah oleh masyarakat setempat dijuluki “Baba Land”. Seiring
perkembangan zaman, muncul sejumlah pendatang konon mereka adalah korban
eksodus wilayah Senayan oleh Bung Karno. Dialek bahasa mereka suka menyebut
fonem e di setiap ujarannya, sebutan ”Baba Land” menjadi “Babe Land”.
Adapula Sumber lain mengatakan bahwa “Babelan” pada awalnya
bernama Kebalen, Menurut cerita lisan yang beredar zaman dahulu, Kebalen
adalah nama sebuah desa di kawasan pesisir pantai Bekasi yang diambil dari nama
tanah lapang untuk bermain sepakbola bagi penduduk setempat dan penduduk
londo. Wilayah tersebut terkenal dengan lapangan sepakbolanya maka pada level
masyarakat pribumi yang ingin main bola sering dengan sebutan Ke Ball
Land yang maksudnya ke “tanah lapang” main bola (tapi diterjemahkan ke bahasa
Belanda). Sejak itu, istilah Ke Ball Land lazim dipakai oleh masyarakat yang
ingin main bola kala itu, maka suatu saat oleh penduduk setempat dinamakan lah
wilayah itu dengan nama Kampung Kebalen.
4.3 Desa Buni Bakti
Desa Buni Bakti adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan
Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa
Huripjaya di sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Tarumajaya di sebelah
barat, berbatasan dengan Desa Muarabakti di sebelah timur, dan Desa Kedung
Pengawas dan Kedung Jaya di sebelah selatan. Jumlah penduduk Desa Buni Bakti
73
sebesar 9242 jiwa yang terdiri dari 5083 jiwa laki-laki dan 4159 jiwa perempuan
(data akhir Juli 2013, BP3KKP Kecamatan Babelan). Jumlah kepala keluarga
menurut status pekerjaan pada tahun 2013 sebanyak 2551 rumah tangga bekerja
dan 416 rumah tangga tidak bekerja (UPT KB Kecamatan Babelan, 2013).
74
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Pertanian dan Lingkungan di Desa Buni Bakti
Desa Buni Bakti adalah salah satu desa yang diandalkan di Kecamatan
Babelan dalam memproduksi hasil-hasil pertanian. Tetapi beberapa permasalahan
seperti kekeringan dan banjir kerap kali mengganggu proses bercocok tanam yang
sedang dilakukan oleh petani desa tersebut. Saat musim kemarau, kekeringan
melanda desa ini sehingga menyebabkan kurangnya air untuk pengairan pertanian.
Irigasi di desa ini menggunakan irigasi tadah hujan yang sangat mengandalkan air
hujan untuk ketersediaan air untuk pengairan.
Problema yang ada saat musim hujan, sawah yang ada pada desa ini
mengalami kebanjiran, apalagi saat hujan turun dengan intensitas tinggi yang
dapat merendam sawah sehingga menyebabkan gagal panen. Tapi hal ini bertolak
belakang saat musim kemarau berakhir, karena lahan pertanian disini khususnya
lahan persawahan menggunakan sistem pengairan irigasi tadah hujan, sehingga
saat hujan air di irigasi pun tersedia. Namun, berbeda cerita ketika intensitas hujan
tinggi, banjir kerap melanda daerah desa Buni Bakti dan ada beberapa dusun yang
terkena banjir parah sehingga menyebabkan kerusakan pada lahan pertanian.
Hal ini sudah pasti akan merugikan petani, mereka terancam gagal
panen dan kehilangan pendapatannya. Selain dari memperhatikan masalah
pengairan dan penanggulangan banjir yang datang saat musim hujan, pemerintah
setempat dituntut untuk membantu para petani dalam pekerjaannya. Petani disini
75
juga mengaku kurangnya perhatian dari pemerintah soal ketersediaan pupuk yang
mengakibatkan petani tidak dapat menggarap lahannya. Hal ini menunjukkan
bahwa perhatian dari pemerintah terhadap petani masih kurang, kondisi
lingkungan di Desa Buni Bakti saat ini banyak aktivitas-aktivitas industri maupun
pertambangan yang menyebabkan kelestarian alam terancam rusak.
Pembangunan lokasi pertambangan menjadi salah satu penyumbang
pengalihan fungsi lahan di desa ini, terdapat pertambangan dari PT.
PERTAMINA dan PLTB yang memakai lahan produktif pertanian. Padahal lahan
yang saat ini banyak beralih fungsi tadinya adalah milik para petani setempat yang
dijadikan andalan untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun seiring berjalannya
waktu dan kemajuan teknologi serta pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan
pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan untuk perumahan serta kegiatan
industrial membuat lahan-lahan pertanian beralih fungsi, lahan itu tadinya dimiliki
oleh petani setempat.
Tidak sedikit petani yang menjual lahannya kepada para
investor/pembeli lahan. Tertarik dengan harga lahan yang saat ini semakin tinggi,
sejalan dengan harga tanah yang bersifat inelastis sempurna yaitu, bahwa tanah
bersifat terbatas namun permintaan selalu ada untuk tanah dan kian lama kian
tinggi. Harga tanah di desa ini sekitar tahun 2005 adalah 150 juta/ha, dan saat ini
bisa mencapai 2 milyar/ha. Harga lahan yang terbilang tinggi ini menggiurkan
petani untuk menjual lahannya, walaupun ada beberapa hal lain pendorong
mereka menjual lahan tersebut. Penjualan lahan pertanian oleh para petani di Desa
Buni Bakti banyak dilakukan di tahun-tahun sebelum harga tanah melambung,
76
walaupun beberapa ada yang menjual pada 3-4 tahun terakhir yang harga tanah
menembus sekitar Rp. 100.000,- per meter persegi.
5.2 Konversi Lahan di Desa Buni Bakti
Luas lahan pertanian di Desa Buni Bakti menurun di 2 tahun
belakangan ini, penurunan lahan ini salah satunya akibat dari penjualan lahan oleh
petani setempat. Para pembeli lahan/investor menggunakan lahan yang telah
mereka miliki untuk keperluan industri, pergudangan maupun perumahan dan
beberapa ada yang hanya membeli dan untuk dijual kembali. Konversi lahan yang
dimana adalah mengubah fungsi awal lahan memang menimbulkan beberapa
dampak negatif, antara lain; rusaknya ekosistem, berkurangnya produksi
pertanian, rusaknya situs-situs penting, banjir, dan masalah sosial. Beberapa
dampak ini jelas terasa di Desa Buni Bakti, dimana desa ini sangat diandalkan
hasil pertaniannya.
Penjualan lahan pertanian yang dilakukan oleh petani Desa Buni Bakti
didorong oleh beberapa hal, yaitu kebutuhan dan harga tanah. Kebutuhan disini
lebih kepada pemenuhan kebutuhan hidup karena sulitnya ekonomi para petani.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan desakan kebutuhan yang harus dipenuhi
adalah masalah utama yang dihadapi oleh petani setempat. Kehidupan yang
terbilang jauh dari kata cukup membuat petani berniat menjual lahannya, dari
beberapa hasil wawancara dengan petani setempat rata-rata dari mereka memang
harus menjual lahannya karena sulitnya kebutuhan dan ada tujuan tertentu.
Kebutuhan sehari-hari seperti membayar listrik, air dan kebutuhan lainnya tidak
77
cukup dipenuhi dengan hasil dari bertani, walaupun hasilnya mereka tidak berbagi
dengan pemilik tanah karena saat itu lahan masih milik mereka sendiri, namun
karena di desa tersebut kerap kali mengalami kekeringan apabila musim kemarau
dan bantuan pupuk maupun benih yang tidak ada dari pemerintah setempat
membuat mereka terpaksa menjual lahan kepada para pembeli/investor. Terdapat
responden yang memang berniat menjual lahan dan memakai hasil penjualan
mereka digunakan untuk berwirausaha/berdagang.
Beberapa petani menggunakannya untuk naik haji dengan tujuan
menunaikan Rukun Islam yang ke-5. Selain itu, kebiasaan kampung ini yang suka
mengadakan hajatan apabila ada sanak saudara dan keluarga yang menikah
membuat para warga rela menjual lahannya untuk kepentingan tersebut. Rumah
para petani yang bisa dikatakan kurang layak juga menjadi salah satu tujuan
mereka menjual lahan, agar dapat merenovasi atapun membeli rumah baru di
sekitar desa tersebut. Sulitnya pupuk dan benih sangat dirasakan ketika lahan
mereka kosong dan tidak digarap.
Ketika menjadi petani garap pun mereka kesulitan mendapatkan benih
dan pupuk, keluhan yang biasa mereka keluhkan ini kurang mendapat tanggapan
atau aksi nyata dari pemerintah setempat. Saat musim kemarau lahan sawah
mengering dan tanaman padi pun tidak bisa tumbuh karena harusnya
membutuhkan air yang banyak, beberapa petani ada yang menanam palawija
untuk mengisi lahan garapan mereka, namun tidak sedikit petani yang tidak
menanami lahan garapan mereka, karena beberapa dari mereka tidak mengetahui
peluang menanam tanaman selain padi saat lahan kekurangan air.
78
Pembeli yang membeli lahan di desa ini banyak yang bertujuan untuk
investasi dan spekulan tanah, mereka membeli lahan untuk menjual kembali di
tahun selanjutnya dimana harga tanah akan naik. Bagi investor lain yang membeli
lahan, menyewakan lahan mereka untuk digarap oleh petani setempat. Secara
syariah sebenarnya hal ini dilarang, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah
SAW, “Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya,
atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan (memberikan) maka tahanlah
tanahnya itu. (HR Bukhari). Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah
kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil
pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang). (Al-Nabhani, 2003).
Namun karena mereka lebih ingin mendapatkan keuntungan yang banyak jadi
melupakan hal tersebut.
5.3 Karakteristik Responden
Responden yang terpilih memiliki keragaman yang cukup tinggi dari
sisi usia, pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, dan indikator-
indikator lainnya. Dari hasil penelitian dan penelusuran, diperoleh gambaran
karakteristik rata-rata responden seperti pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik Responden
No Indikator Rata-rata Responden
1 Umur 47 tahun
2 Jumlah Tanggungan Keluarga 3 orang
3 Lama Pendidikan 7 tahun
4 Pendapatan Rumahtangga Rp. 2.577.272
Sumber: Data Primer, 2015
79
Umur rata-rata responden yaitu 47 tahun, jumlah tanggungan keluarga
rata-rata sebesar 3 orang, hal ini menunjukkan bahwa penduduk di desa ini
memiliki tanggungan yang cukup rendah bagi kepala rumah tangga responden
karena anak-anak mereka yang sudah bekerja dan tinggal pisah dari orang tuanya.
Lama pendidikan yang ditempuh oleh responden rata-rata sebesar 7 tahun
pendidikan yang berarti rata-rata responden menempuh pendidikan lebih dari 6
tahun atau pendidikan setara Sekolah Dasar (SD), pendapatan rumahtangga
responden rata-rata yaitu 2.577.272 rupiah.
Melihat dari pendapatan per kapita setelah pajak pada tabel 5.2
(lampiran) para pekerja pertanian di Desa Buni Bakti terbilang cukup rendah bila
dibandingkan dengan rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian di atas.
Pendapatan yang tergolong rendah ini umumnya disebabkan hasil pertanian yang
sedikit akibat gagal panen karena beberapa faktor, salah satunya adalah banjir
yang kerap kali melanda daerah ini. Selain itu pada tabel menjelaskan bahwa
pendapatan rumah tangga bukan pertanian di desa lebih besar daripada rumah
tangga pertanian di desa, yang mengindikasikan dan diprediksi bahwa pekerjaan
sebagai petani ataupun pelaku usaha tani tidak lagi menguntungkan dan diprediksi
akan banyak ditinggalkan oleh para warga desa untuk mencari pekerjaan lain di
luar sektor pertanian.
Dari 44 responden yang diwawancarai, diperoleh jenis pekerjaan yang
banyak ditemui adalah petani yaitu sebanyak 32 responden, lalu wirausaha/bisnis
yang meliputi usaha dagang, warung, dan lain-lain sebanyak 7 responden,
menyusul karyawan dalam hal ini pegawai desa dan sekuriti perusahaan sebanyak
80
3 responden, kemudian profesi guru sebanyak 2 responden, dan tidak ada yang
tidak bekerja. Dapat dilihat pada Tabel 5.3 jenis pekerjaan responden.
Tabel 5.3 Jenis Pekerjaan Responden
Jenis Pekerjaan Jumlah Responden Persen (%)
Petani 32 73
Wirausaha/Bisnis 7 16
Karyawan 3 7
Guru 2 4
Tidak Bekerja 0 0
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Dari tabel 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata terbesar pekerjaan
responden adalah sebagai petani. Tidak semua responden pekerjaan utamanya
adalah petani, beberapa responden yang berprofesi petani pun memiliki pekerjaan
sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pekerjaan sampingan yang di
tekuni antara lain; calo tanah, berdagang kecil-kecilan, berternak, dan lain-lain.
Pekerjaan sampingan tersebut mulai dilakoni setelah mereka menjual lahan dan
menggunakan sebagian dari hasil penjualan sebagai modal usaha mereka.
Para responden yang berprofesi sebagai petani rata-rata adalah petani
penggarap bukan petani pemilik lahan, mereka menjadi penggarap di lahan yang
sudah dimiliki oleh orang luar yang membeli lahan tersebut. Lahan yang dijual
oleh para responden kebanyakan dibeli oleh orang yang berasal dari Jakarta Timur
dan Jakarta Utara, tujuan mereka adalah untuk investasi tanah maupun untuk
dijual kembali dan beberapa ada perusahaan yang membeli lahan untuk kegiatan
usaha baik jasa maupun industri. Petani penggarap disini bekerja dengan lahan
hak sewa dimana antara pemilik lahan dan penggarap lahan menganut sistem bagi
81
hasil. Responden lain yang berprofesi di luar pertanian dulunya adalah petani
pemilik yang menggarap lahan sendiri namun setelah menjual lahan, mereka
beralih profesi walau terkadang mereka sesekali juga masih bertani dan
menjadikan kegiatan bertani sebagai sampingan saja. Sebaran usia responden pun
beragam, mulai dari usia produktif sampai usia tidak produktif. Usia produktif
mendominasi dengan total 93% responden yang terdiri dari dua kategori yaitu usia
25 – 40 tahun dan 41 – 60 tahun. Sedangkan sisanya adalah responden dengan
usia yang sudah tidak produktif yaitu usia 61 – 80 tahun dengan total 7%
responden. Dapat dilihat di tabel 5.4.
Tabel 5.4 Usia Responden
Umur (Tahun) Jumlah Responden Persen (%)
25 – 40 tahun 13 29
41 – 60 tahun 28 64
61 – 80 tahun 3 7
> 80 tahun 0 0
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Tingkat pendidikan responden pun beragam dengan responden yang
tidak pernah mengenyam bangku pendidikan yaitu sebanyak 2 responden dengan
total 4% dari total keseluruhan responden, berpendidikan terakhir Sekolah Dasar
(SD) sebagai jumlah terbanyak dari total 44 responden yaitu sebanyak 28
responden dengan total sebesar 64% responden. Sebanyak 14 responden
menempuh pendidikan 9 – 12 tahun dengan total sebesar 32% yang berarti
responden-responden tersebut telah memenuh setidaknya wajib belajar 9 tahun.
Dapat dilihat pada tabel 5.5.
82
Tabel 5.5 Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Persen (%)
Tidak Sekolah 2 4
SD 28 64
SMP 8 18
SMA 6 14
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan responden lebih banyak
yang tidak memenuhi wajib belajar 9 tahun sehingga bisa dikatakan masih rendah.
Namun mereka sangat peduli terhadap pendidikan anak, tidak sedikit beberapa
responden yang menjual lahan mereka untuk biaya pendidikan anak mereka.
Beberapa responden sudah berhasil mengantarkan anaknya sampai lulus sarjana
(S1), dapat disimpulkan bahwa mereka sangat ingin anak-anak mereka bekerja
lebih baik untuk masa depan, tidak masalah walau dengan menjual lahan mereka
sekalipun.
5.4 Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Transaksi Lahan Pertanian di
Desa Buni Bakti
Semakin banyaknya tuntutan hidup dan kebutuhan semakin meningkat
dari tahun ke tahun membuat petani harus berfikir bagaimana caranya agar dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara pendapatan sebagai petani terkadang
tidak mencukupi dan cenderung kurang. Para petani yang dulunya pemilik lahan
sendiri terpaksa menjual lahan mereka demi memenuhi kebutuhan sehari-hari,
motivasi para petani pun beragam. Tetapi dari semua itu, motivasi utama adalah
83
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kurang dengan memanfaatkan uang hasil
penjualan.
Tabel 5.6 Motivasi Responden Menjual Lahan
Motivasi Jumlah Responden Persen (%)
Sangat Tinggi 9 21
Tinggi 30 68
Sedang 4 9
Rendah 1 2
Tidak Ada 0 0
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Melihat dari tabel 5.6 bahwa 21% responden memiliki motivasi yang
sangat tinggi dalam menjual lahan mereka, 68% memiliki motivasi yang tinggi,
dan sisanya memiliki motivasi dibawah tinggi berjumlah 5 responden sebesar
11% dari responden, dan tidak ada responden yang tidak memiliki motivasi untuk
menjual. Hal ini memperlihatkan bahwa rata-rata responden memang ingin
menjual lahannya. Dengan motivasi yang berbeda-beda tentunya tujuan untuk
menjualnya pun berbeda, semua itu terkait dengan kebutuhan.
Tingginya motivasi yang ada pada diri responden rupanya menjadi
suatu penyesalan di kemudian hari karena harga tanah saat ini melonjak drastis,
hal ini disebabkan oleh pembangunan di daerah Kabupaten Bekasi semakin pesat,
ditambah lagi dengan rencana pembangunan jalan tol baru yang menghubungkan
Jakarta Utara dan Pantura yang akan dibangun dalam beberapa tahun lagi,
menjamurnya industri dan perumahan di sekitar dan di Desa Buni Bakti ini
membuat harga tanah semakin tinggi, hal ini lah yang membuat rata-rata
responden menyesal dengan harga jual mereka beberapa tahun belakangan, karena
84
harga tanah di sekitar desa mereka sekarang bisa mencapai Rp. 100.000 –
200.000,- per meter nya, bahkan ada pengakuan dari responden ada yang berani
menawar Rp. 400.000,- per meter nya. Hal ini membuat mereka gigit jari karena
saat itu mereka menjual lahannya terlalu cepat. Namun alasan mengapa mereka
tetap menjual lahan mereka adalah karena himpitan ekonomi, keperluan, dan
alasan lain yang memaksa mereka untuk melepas lahan. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 5.7.
Tabel 5.7 Tingkat Penyesalan Responden dalam Menjual Lahan
Tingkat Penyesalan Jumlah Responden Persen (%)
Menyesal 24 54
Sedikit Menyesal 7 16
Tidak Menyesal 13 30
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Sebanyak 24 responden menyatakan bahwa mereka menyesal karena
menjual lahan mereka atau karena terlalu cepat menjual lahan dan hasil penjualan
lahan habis untuk kehidupan dan beberapa dari mereka menggunakan untuk
membayar hutang. Sebanyak 7 responden mengatakan bahwa dirinya hanya
sedikit menyesal yang berarti bahwa sebenarnya mereka tidak begitu
merencanakan menjual lahan mereka namun melihat keuntungan yang bisa
mereka ambil saat itu dan dengan hasil penjualan mereka dapat membuka usaha
kecil-kecilan, sedangkan 13 responden menyatakan tidak menyesal yang artinya
memang mereka sudah merencanakan untuk menjualnya dan mencari keuntungan
dari hasil penjualan lalu memutar uang tersebut untuk dijadikan usaha ataupun
membeli lahan di tempat lain. Harga penjualan lahan di berbagai responden
memiliki harga jual yang berbeda-beda. Terdapat, 3 responden yang menjual
85
lahan dengan harga di kisaran 3.000 – 5.000 rupiah per meter, sebanyak 13
responden menjual lahan dengan harga kisaran 5.001 – 10.000 rupiah per meter,
lalu sebanyak 9 responden yang menjual lahan mereka di kisaran harga 10.001 –
15.000 rupiah per meter, dan sebanyak 19 responden yang menjual lahan mereka
di atas 15.000 rupiah per meter. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8 Harga Jual Lahan Responden
Harga (Rp/m2) Jumlah Responden Persen (%)
Rp. 3.000 – 5.000 3 7
Rp. 5.001 – 10.000 13 30
Rp. 10.001 – 15.000 9 20
> Rp. 15.000 19 43
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Harga penjualan lahan memiliki nilai yang berbeda-beda, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu; letak lokasi lahan, tahun penjualan, dan
status pemilikan lahan. Letak lokasi lahan sangat berpengaruh terhadap harga
lahan yang dijual, semakin dekat dengan pusat desa ataupun dengan perbatasan
kota dalam hal ini Bekasi Kota, maka semakin mahal harganya. Letak Desa Buni
Bakti tidak begitu jauh dengan Kota Bekasi, namun karena luas desa yang
terbilang luas, ada juga wilayah yang terbilang jauh dari kota.
Wilayah ini biasanya dipakai untuk pertambangan dan industri. Tahun
penjualan lahan dapat membedakan nilai penjualan lahan. Harga lahan 30 tahun
lalu berbeda dengan harga lahan saat ini maupun 2-3 tahun yang lalu. Harga lahan
pada sekitar tahun 80-an hanya sekitar Rp. 1.000,00 – Rp. 5.000,00 per meter,
tetapi saat ini harga lahan bisa mencapai Rp. 100.000,00 – Rp. 200.000,00 per
meter, harga bervariasi tergantung lokasi lahan dan status kepemilikan lahan.
86
Harga tersebut berlaku di Desa Buni Bakti yang didapat dari hasil wawancara dan
kuesioner. Status pemilikan lahan juga dapat mempengaruhi harga penjualan
lahan, di Desa Buni Bakti ini rata-rata responden yang menjual lahan memiliki
status lahan girik yang berarti belum memiliki akta tanah resmi sehingga harganya
pun bisa saja rendah. Hal ini dimanfaatkan oleh para pembeli tanah untuk
memiliki lahan di sekitar desa agar dapat diinvestasikan atau bagi para spekulan
untuk menjualnya kembali dengan maksud mendapat keuntungan lebih dari harga
pembelian mereka sebelumnya. Pembeli lahan pun beragam asal dan afiliasinya
yang dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9 Pihak Pembeli Lahan menurut Responden
Pembeli Jumlah Responden Persen (%)
Perorangan 36 82
Perusahaan 7 16
Warga Desa 1 2
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Pada tabel 5.9 pembeli lahan di Desa Buni Bakti kebanyakan adalah
dari perorangan yang bisa disebut sebagai spekulan tanah ataupun investor,
sedangkan 7 responden lahannya dibeli oleh perusahaan yang bergerak di bidang
non pertanian (industri, jasa maupun perumahan), lalu 1 responden menjual
lahannya kepada warga desa setempat. Proses transaksi lahan melibatkan tidak
hanya antara penjual dan pembeli saja, dalam hal ini beberapa transaksi di
perantarai oleh seseorang. Terdapat mediator pembeli lahan responden pada tabel
5.10.
87
Tabel 5.10 Mediator Pembeli Lahan Responden
Mediator Jumlah Responden Persen (%)
Pembeli Langsung 8 18
Aparat Desa 3 7
Calo Tanah 32 73
Tetangga 1 2
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Mediator penjualan lahan di Desa Buni Bakti yang dilakukan oleh
pembeli langsung yang menawarkan kepada warga bahwa mereka ingin membeli
lahan terdapat 8 responden mengaku bahwa mereka menjual lahan dengan
berinteraksi langsung dengan pembeli. Namun ada juga yang menjual lewat calo
tanah, sebanyak 32 responden menjual lahannya dengan perantara/calo, mereka
dijelaskan rencana-rencana pembelian lahan. Calo-calo tersebut berasal dari luar
desa dan ada juga warga desa setempat yang memperantarai jual-beli lahan
tersebut. Serta terdapat juga penjual lahan yang dimediasi oleh tetangganya dalam
transaksi jual lahan, tetangga itu memiliki afiliasi dengan pihak yang ingin
membeli lahan, terdapat 1 responden yang memakai mediator tetangga sebagai
perantara jual lahan dan 3 responden menjual melalui aparat desa.
Pada tabel 5.11, penjualan lahan oleh para responden paling banyak
dilakukan sekitar tahun 2005 – 2010 yang mencakup 39 responden dengan jumlah
89% dari total responden. Penjualan lahan pada tahun 2011 – 2014 terdapat 5
responden dengan jumlah 11% dari jumlah total responden. Dapat disimpulkan
penjualan banyak dilakukan dibawah tahun 2011, dimana harga tanah saat itu
masih terbilang murah untuk ukuran desa. Sedikitnya penjualan lahan di tahun
2011 ke atas karena memang dari hasil penelitian dan observasi dan wawancara
88
pada petani maupun petugas desa setempat bahwa di Desa Buni Bakti ini lahan
sudah hampir 80% adalah milik orang luar desa, yang artinya bahwa penjualan
hanya dilakukan oleh orang-orang luar yang memiliki tanah tersebut, bukan lagi
para penduduk atau petani setempat.
Hanya sedikit sekali petani yang masih mempertahankan lahan mereka,
dan beberapa dari mereka ada yang menjual di tahun 2011 – 2014 karena dari
awal mereka sudah memprediksikan bahwa harga lahan akan naik, ditambah lagi
memang ekonomi mereka terbilang cukup sehingga tidak mendesak untuk
menjual lahan terlalu dini, sehingga mereka mendapat hasil penjualan lebih dari
responden lain, dan menggunakannya untuk usaha maupun membeli lahan di
tempat lain.
Tabel 5.11 Tahun Penjualan Lahan Responden
Tahun Penjualan Jumlah Responden Persen (%)
2005 – 2010 39 89
2011 – 2014 5 11
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Luas lahan yang dijual responden beragam, namun yang paling banyak
menjual lahan yang luasnya antara 3.000 – 5000 m2 sebanyak 28 responden
dengan jumlah 64% dari total responden. Sedangkan yang terendah adalah lebih
dari 10.000 m2 atau 1 ha sebanyak 3 responden dengan jumlah 7% dari total
responden, dan terdapat 8 responden yang menjual lahan dengan luas di bawah
3000 m2. Penjualan lahan di desa Buni Bakti ini tergolong penjualan lahan yang
luas karena rata-rata banyak yang menjual di atas 3000 m2
bahkan beberapa
responden ada yang menjual sampai 40.000 m2
atau 4 ha, dapat dilihat di tabel
89
5.12. Lahan yang dijual oleh para responden adalah lahan warisan dari orang tua
yang dulu diwariskan. Mereka menjual lahan dengan mengosongkan lahan
terlebih dahulu dari tanaman maupun komoditas pertanian. Tidak terdapat
responden yang menjual lahan beserta tanaman diatasnya, mereka biasanya
mengosongkan lahannya atau memang sudah tidak ada tanaman di lahan tersebut.
Tabel 5.12 Luas Lahan yang Dijual Responden
Luas Lahan (m2) Jumlah Responden Persen (%)
< 3000
8 18
3000 – 5000 28 64
5001 – 10000 5 11
> 10000 3 7
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Pada tabel 5.13 penggunaan lahan oleh pembeli banyak ditujukan untuk
investasi oleh para pembeli dan beberapa dari mereka adalah spekulan tanah yang
membeli lalu menjual kembali lahan tersebut untuk mendapatkan keuntungan
lebih dari biaya yang dia keluarkan untuk membeli lahan. Pembeli yang bertujuan
untuk investasi menggarap tanahnya dengan sistem bagi hasil kepada petani
setempat yang bersedia menggarap lahannya. Sebanyak 17 responden mengaku
bahwa mereka menjual kepada pembeli yang ingin menginvestasi lahan yang
telah mereka beli serta 20 responden yang mengetahui bahwa tanah yang mereka
jual sudah dibeli lagi oleh orang lain, karena harga tanah yang tidak pernah turun
sepanjang sejarah yang membuat mereka tergiur akan harga tanah di masa
mendatang. Terdapat 2 responden yang menjual lahannya kepada developer
perumahan dan 5 responden yang menjual tanah digunakan untuk usaha yang
mencakup (industri dan jasa).
90
Tabel 5.13 Penggunaan Lahan oleh Pembeli
Penggunaan oleh
Pembeli
Jumlah Responden Persen (%)
Bangun Perumahan 2 4
Untuk Usaha 5 11
Investasi 17 39
Dijual Lagi 20 46
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Total pendapatan responden yang diukur ketika responden telah
menjual lahan memiliki pendapatan yang berbeda-beda, pendapatan mereka
cenedrung meningkat, namun ada juga yang relatif sama karena beberapa
responden tidak memutar uang hasil penjualan dengan membuka usaha
sampingan selain menjadi petani garap. Sedangkan pendapatan yang tergolong
besar, yaitu responden yang menjual lahan dan menggunakan hasil penjualan
mereka untuk membuka usaha yang menjadi pekerjaan utama mereka, selain itu
ada dari mereka yang berinvestasi dengan membeli lahan di desa lain. hal ini
disajikan pada tabel 5.14.
Tabel 5.14 Pendapatan Keluarga Rumah Tangga Responden per Bulan
Total Pendapatan Jumlah Responden Persen (%)
500.000 – 1.000.000 14 32
1.000.001 – 3.000.000 20 45
3.000.001 – 5.000.000 7 16
> 5.000.000 3 7
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Tingkat pendapatan responden beragam, responden paling banyak
memiliki pendapatan di kisaran 1.000.001 – 3.000.000 dengan total sebanyak 20
responden hal ini menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata responden terbilang
91
menengah. Sebanyak 3 responden memiliki penghasilan lebih dari 5.000.000
rupiah setelah menjual lahan, lalu sebanyak 7 responden yang memiliki
pendapatan di kisaran 3.000.001 – 5.000.000 rupiah, serta 14 responden yang
memiliki pendapatan antara 500.000 – 1.000.000 rupiah. Macam-macam tujuan
dari para responden untuk menjual lahan memiliki perbedaan, adapun penggunaan
hasil penjualan lahan oleh responden disajikan pada tabel 5.15.
Tabel 5.15 Penggunaan Hasil Penjualan Lahan oleh Responden
Penggunaan Jumlah Responden Persen(%)
Beli/Renovasi Rumah 5 12
Modal Usaha 21 48
Dibagikan Kepada Anak 3 7
Membeli Lahan di
Tempat Lain
2 4
Biaya Hidup 7 16
Naik Haji 4 9
Hajatan/Pesta 2 4
Jumlah 44 100
Sumber: Data Primer, 2015
Terdapat 21 responden yang penggunaan utama uang hasil penjualan
lahan untuk membuka usaha, dari ke 21 responden tersebut beberapa responden
memang membuka usaha sebagai pekerjaan utamanya dan meninggalkan
pekerjaan sebagai petani, dan ada juga yang membuka usaha namun sebagai
sampingan dengan tidak meninggalkan profesi utama mereka sebagai petani.
Responden yang penggunaan utama uang hasil penjualan lahannya untuk
beli/renovasi rumah, sebanyak 5 responden atau sekitar 12% dari total responden,
memang saat melihat rumah para penduduk disana yang belum sepenuhnya
memakai dinding dan masih seperti bilik-bilik membuat beberapa dari mereka
terdorong untuk merenovasi rumah agar lebih nyaman. Sebanyak 7 responden
92
atau sekitar 16% dari total responden memiliki tujuan utama memenuhi biaya
hidup, beberapa dari mereka ada yang memakai hasil penjualan lahan untuk
membayar hutang. Terdapat 4 responden atau sekitar 9% dari total responden
yang tujuan utamanya adalah naik haji, dan 2 responden atau sekitar 4% dari total
responden menggunakannya untuk hajatan/pesta, hajatan disini adalah pesta
pernikahan dan syukuran. Ternyata ada juga responden yang membeli lahan lain
setelah menjual lahan yang dipergunakan untuk usaha dan investasi, sebanyak 2
responden membeli lahan lagi.
Setelah ditanya mereka membeli lahan untuk investasi atau antisipasi
kebutuhan kedepan, dan membaca harga tanah di masa mendatang. Mereka
menggunakan sisa penggunaan hasil menjual lahan untuk membeli lahan yang
lebih kecil ataupun lebih murah, satu diantara mereka membeli lahan di desa lain,
sedangkan sisanya membeli di desa sendiri, serta 3 responden yang membagikan
hasil penjualan lahannya kepada anak-anaknya. Pembagian ini dapat dibilang
warisan, walau yang bersangkutan belum meninggal namun mereka ingin anak-
anak mereka terutama yang sudah menikah untuk hidup lebih mandiri dan
mempunyai rumah/usaha sendiri.
5.5 Uji Hipotesis
5.5.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerapkan model regresi dalam menerangkan pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2011). Dalam
penelitian ini menggunakan variabel independen yaitu umur, lama
93
pendidikan, harga tanah, luas lahan dan jumlah tanggungan keluarga dan
variabel dependen yaitu motivasi menjual lahan. Adapun hasil uji
koefisien Adjusted R-square disajikan pada tabel 5.16 dibawah ini:
Tabel 5.16
Hasil Uji Koefisien Determinasi
Sumber: Data primer diolah, 2015
Berdasarkan tabel 5.16 menunjukkan bahwa nilai Adjusted R
Square adalah sebesar 0.23, hal ini berarti 23% variabel dependen
(motivasi menjual lahan) dapat dijelaskan oleh variabel indepeden (umur,
lama pendidikan, harga tanah, luas lahan, dan jumlah tanggungan
keluarga). Sedangkan sisanya (100% - 23% = 77%) dijelaskan oleh faktor-
faktor lain yang tidak diketahui dan tidak termasuk dalam analisa regresi
pada penelitian ini.
5.5.2 Uji F
Uji F digunakan untuk menunjukkan apakah semua variabel
independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat
(Ghozali, 2011). Hasil uji F pada penelitian ini dilakukan dengan melihat
nilai signifikansi pada tabel hasil uji F berikut:
Model Adjusted R Square
1 0.23
94
Tabel 5.17
Hasil Uji F (ANOVA)
Sumber: Data primer diolah, 2015
Pada tabel 5.17 diperoleh nilai signifikansi 0.008, nilai
signifikansi lebih kecil dari 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa model
regresi yang digunakan layak untuk menguji data atau dapat dikatakan
bahwa ukuran umur, lama pendidikan, harga tanah, luas lahan dan jumlah
tanggungan keluarga secara bersama-sama mempengaruhi motivasi
menjual lahan.
5.5.3 Uji t
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh
pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011). Tabel 5.18
berikut ini menyajikan hasil uji statistik t dalam penelitian, yaitu:
Model Sig.
1 0.008
95
Tabel 5.18
Hasil Uji Statistik t
B t T tabel Sig Kesimpulan
Umur 0.032 2,784
2.024394
0.008* Berpengaruh
Lama
Pendidikan
-0.006 -,157 0.876 Tidak
Berpengaruh
Harga
Tanah
9,916E-
10
3,217 0.003* Berpengaruh
Luas Lahan -
2,082E-
5
-2,215 0.033* Berpengaruh
Jumlah
Tanggungan
0.286 3,097 0.004* Berpengaruh
Sumber: Data primer diolah, 2015
* signifikansi pada α 5%
Berdasarkan tabel diatas dilihat bahwa ada 4 variabel
independen yang mempengaruhi variabel dependen secara signifikan
yaitu; umur, harga tanah, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga.
Sedangkan variabel lama pendidikan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap motivasi responden menjual lahan.
a) Pengaruh Umur
Hasil pengujian variabel independen Umur mempunyai
signifikansi 0.008 lebih kecil dari α = 0.05. nilai koefisiensi beta yang
dihasilkan 0.032. Hal ini menunjukkan bahwa umur berpengaruh positif
terhadap motivasi menjual lahan oleh responden. Bagi sebagian
mansyarakat tradisional, saat umur makin bertambah dan semakin senja
dan semakin tidak produktif untuk bekerja jika memiliki aset yang
96
dapat dijual dengan cepat cenderung untuk menjualnya untuk keperluan
hidup ataupun untuk dibagikan kepada anak-anak mereka dalam hal ini
adalah warisan. Di Indonesia pembagian warisan dalam keluarga ini
sudah menjadi tradisi turun-temurun, bagi stiap orang tua mewariskan
harta yang dia miliki kepada anak-anak mereka adalah suatu kewajiban
yang harus dilakukan, agar kelak berguna bagi anak-anak mereka
kedepannya, secara psikologis bagi orang tua membagikan warisan
kepada anak di umur yang senja dan tua adalah suatu kepuasan sendiri
selain dari melepas tanggung jawab sebagai orang tua untuk terakhir
kali. Pada penelitian ini memang terdapat beberapa responden yang
menjual lahannya dengan maksud untuk membagikan hasil jual lahan
kepada anak-anak mereka. Pembagian warisan yang harusnya dilakukan
sesudah mereka meninggal, banyak dilakukan saat mereka masih hidup
untuk menghindari konflik antar anak yang memperebutkan harta orang
tua mereka, di lain hal untuk anak mereka yang sudah menikah untuk
dibelikan rumah atau modal usaha agar hidup mandiri.
Pengaruh lain, yaitu ketika masyarakat pedesaan menjalani
hidup di usia senja mereka lebih ingin terlihat baik dalam
kehidupannya, hal ini dengan melakukan peningkatan tampilan rumah
mereka dengan merenovasi rumah, bahkan membeli rumah yang baru
dan membeli beberapa kebutuhan penunjang seperti perabotan, alat-alat
elektronik untuk menikmati masa tua mereka. Ketika usia semakin tua
bagi masyarakat pedesaan yang rata-rata bermata pencaharian sebagai
97
petani ataupun buruh tani yang sangat membutuhkan tenaga dalam
bekerja seperti mencangkul di sawah dan kebun membuat mereka
mengurangi pekerjaan seperti itu atau bahkan berhenti untuk mencari
pekerjaan yang ringan secara fisik seperti berdagang ataupun berjualan,
oleh karena itu terdapat beberapa responden yang menjual lahan mereka
dan beralih ke profesi wirausaha atau berdagang sepenuhnya dengan
meninggalkan profesi sebagai petani itulah sebabnya terjadi
transformasi pekerjaan masyarakat dari usaha pertanian ke usaha non-
pertanian, namun ada beberapa dari mereka yang tetap menjadi petani
namun membuka usaha warung atau berdagang, tidak sedikit dari
mereka yang tidak ingin meninggalkan pekerjaan utama mereka yang
sudah turun-temurun, penyebabnya juga untuk menambah penghasilan
di luar berdagang guna meringankan pemenuhan biaya kehidupan.
Pada penelitian Munir (2008) petani yang mengkonversi
lahan pertanian banyak yang berumur muda yaitu 30-39 tahun, dimana
para petani yang tergolong memiliki usia senja tidak mengkonversi
lahan mereka karena alasan tenaga untuk mengelola tambang pasir.
Namun hasil penelitian ini mendukung dari hasil penelitian Nuhung
(2013) yang mengatakan bahwa ada pengaruh positif pada variabel usia
terhadap motivasi menjual lahan. Karena semakin tua usia seseorang
cenderung tidak bisa melakukan kegiatan berat seperti bertani dan
cenderung memilih pekerjaan ringan seperti berdagang. Pembagian
98
warisan juga menjadi salah satu pengaruh para petani dalam menjual
lahan mereka.
b) Pengaruh Lama Pendidikan
Hasil pengujian variabel independen Lama Pendidikan
mempunyai signifikasi 0.876 lebih besar dari α = 0.05. nilai koefisiensi
beta yang dihasilkan -0.006. Hal ini menunjukkan bahwa lama
pendidikan berpengaruh negatif terhadap motivasi menjual lahan oleh
responden. Lama pendidikan berpengaruh negatif terhadap motivasi
menjual lahan oleh responden. Ini berarti setiap pertambahan 1 tahun
lama pendidikan akan menurunkan motivasi untuk menjual lahan. Hal
ini terlihat paling banyak responden yang menjual lahan adalah
responden yang berpendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Beberapa
responden dengan tingkat pendidikan SMA menjual lahan untuk
mendapat keuntungan dan menggunakannya untuk investasi jangka
panjang. Hal ini masuk akal karena semakin tinggi pendidikan biasanya
akan berfikir lebih rasional, mereka yang berpendidikan lebih tinggi
diantara responden, mempunyai tujuan dalam menjual lahannya, yaitu
untuk usaha dan investasi. Pada penelitian Munir (2008) bahwa ada
hubungan nyata antara tingkat pendidikan dengan konversi lahan.
Petani yang paling banyak mengkonversi lahan mereka adalah petani
yang mengenyam pendidikan rendah. Sedangkan untuk petani yang
mengeyam pendidikan lebih tinggi cenderung tidak mengkonversi lahan
mereka.
99
c) Pengaruh Harga Tanah
Hasil pengujian variabel independen Harga Tanah
mempunyai signifikansi 0.003 lebih kecil dari α = 0.05 nilai koefisiensi
beta yang dihasilkan 9,916E-10 (0,0000000009916). Hal ini
menunjukkan bahwa harga tanah yang dijual oleh responden
berpengaruh positif terhadap motivasi menjual lahan oleh responden.
Bila melihat sifat dari tanah yang memiliki sifat inelastis sempurna,
dimana pada dasarnya harga lahan/tanah tidak pernah berkurang sampai
saat ini. Sebagaimana kita sadari, jumlah manusia setiap saat terus
bertambah, sementara jumlah tanah tidak dapat bertambah. Ini
merupakan teori klasik yang secara sederhana menjelaskan mengapa
harga tanah terus merangkak naik dari waktu ke waktu. Berdasarkan
pengamatan secara nominal harga tanah di Indonesia tidak pernah
turun.
Karena sifatnya yang terbatas, maka semakin hari persediaan
tanah akan relatif semakin langka terhadap jumlah penduduk atau orang
yang membutuhkan tanah tersebut. Hal ini disebabkan karena faktor
kelahiran (natalitas) dan meningkatnya tingkat kegiatan ekonomi
sebuah masyarakat, yang menyebabkan manusia tidak puas hanya
memiliki satu rumah. Meningkatnya taraf ekonomi juga membuat
pengembangan kegiatan manusia semakin laju, seperti dibangunnya
perkantoran, pusat perbelanjaan, restoran, bioskop, dan lain sebagainya
(Simanungkalit, 2013). Pada penelitian ini harga tanah yang dijual oleh
100
responden turut mempengaruhi mereka untuk menjual, melihat dari
hasil jual yang terbilang lumayan besar bagi beberapa responden yang
sangat membutuhkan dana untuk kebutuhan hidup yang terbilang tidak
mencukupi karena tuntunan hidup semakin bertambah tahun semakin
bertambah yang harus dipenuhi. Beberapa dari responden ada yang
memang ingin menjual lahan untuk mendapatkan banyak uang dari
hasil penjualan. Hasil penjualan dipakai untuk membeli lahan lain di
desa lain untuk investasi jangka panjang. Penelitian ini mendukung
penelitian Nuhung (2013) yang menyebutkan bahwa ada pengaruh
positif dari harga jual lahan terhadap motivasi menjual lahan. Karena
sifat dari tanah/lahan yang inelastis membuat harga lahan semakin
tahun semakin meningkat.
d) Pengaruh Luas Lahan
Hasil pengujian variabel independen Luas Lahan mempunyai
signifikansi 0.033 lebih kecil dari α = 0.05 nilai koefisiensi beta yang
dihasilkan -2,082E-5 (-0,00002082). Hal ini menunjukkan bahwa luas
lahan yang dijual oleh responden berpengaruh positif terhadap motivasi
menjual lahan oleh responden. Luas lahan menjadi penentu bagi para
responden dalam menjual lahan, luas kepemilikan lahan responden
bermacam-macam ukurannya, mulai dari 0,25 ha sampai lebih dari 0,5
ha, beberapa responden memiliki luas lahan lebih dari 0,5 ha untuk
dijual. Ternyata luas lahan berpengaruh bagi responden untuk melepas
lahan mereka khususnya yang memiliki lahan di atas 0,5 ha yang tujuan
101
mereka adalah untuk mendapatkan uang yang jumlahnya besar yang
digunakan untuk berwirausaha ataupun investasi dengan membeli lahan
yang lebih murah di desa lain.
Sedangkan bagi responden yang menjual lahan antara 0,25 –
0,5 ha banyak menggunakan hasil penjualan untuk kebutuhan hidup
maupun kebutuhan lain misal naik haji dan hajatan. Pada penelitian
Munir (2008) petani yang mengkonversi lahan, banyak dari mereka
yang memiliki luas lahan golongan sempit sedangkan petani yang
mempunyai luas lahan dengan golongan sedang terdapat 1 petani dan
tidak ada yang mengkonversi lahan pada petani yang memiliki luas
lahan yang tergolong luas.
e) Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga
Hasil pengujian variabel independen Jumlah Tanggungan
Keluarga mempunyai signifikansi 0.004 lebih kecil dari α = 0.05 nilai
koefisiensi beta yang dihasilkan 0.286. Hal ini menunjukkan bahwa
jumlah tanggungan keluarga berpengaruh positif terhadap motivasi
menjual lahan oleh responden. Penjualan lahan yang dilakukan oleh
responden juga didasarkan pada jumlah tanggungan keluarga, logikanya
semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung oleh responden
maka semakin banyak pula kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi
oleh responden. Jika melihat sebaran responden, terdapat sebagian
responden yang memiliki tanggungan lebih dari 2 anggota dan memiliki
pendapatan yang tergolong sedang. Hal ini membuat responden
102
terpaksa melepas lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan yang
diperlukan.
Penjelasan tersebut memperkuat dugaan bahwa ada hubungan
yang nyata antara jumlah tanggungan keluarga dengan motivasi
menjual lahan oleh para responden di Desa Buni Bakti. Dalam
penelitian Munir (2008) bahwa petani dengan jumlah tanggungan
keluarga yang banyak cenderung mengkonversi lahan mereka untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun hasil penelitian ini tidak
mendukung hasil dari penelitian Nuhung (2013) yang menyatakan tak
ada hubungan positif antara jumlah tanggungan keluarga dengan
motivasi menjual lahan oleh petani, dimana beberapa petani memang
memiliki aset yang cukup besar, sehingga tidak ada alasan mendesak
untuk mereka menjual lahan. Karena 18% dari total reponden memiliki
pendapatan di atas 50 juta rupiah per tahun yang bagi warga pedesaan
sangat besar dan memadai dan sudah termasuk kelompok masyarakat
dengan status sosial yang tinggi di masyarakat pedesaan.
5.6 Uji Asumsi Klasik
5.6.1 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal
(Ghozali, 2011). Model regresi yang baik adalah yang mempunyai
distribusi data normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini
103
pengujian uji normalitas dilakukan dengan menggunakan metode uji
non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S). Dasar pengambilan
keputusan pada uji K-S ini adalah dengan melihat nilai probabilitas
signifikansi data residual. Jika angka probabilitas kurang dari 0.05
maka variabel ini tidak berdistribusi secara normal. Sebaliknya, bila
angka probabilitas di atas 0.05 maka Ha ditolak yang berarti variabel
terdistribusi secara normal (Ghozali, 2011). Adapun hasil uji
Kolmogorov-Smirnov (K-S) dapat dilihat pada tabel 5.19 berikut:
Tabel 5.19
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov (K-S)
Asymp. Sig (2-tailed) Keterangan
0.159 Data berdistribusi normal
Sumber: Data primer diolah, 2015
Pada tabel di atas nilai asymp. sig (2-tailed) sebesar 0.159
yang lebih besar dari probabiltas 0.05 yang berarti data pada
terdistribusi secara normal dan tidak ada masalah normalitas.
5.6.2 Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2011). Uji
heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan uji statistik yaitu
104
Uji Glejser. Uji Glejser bertujuan untuk meregres nilai absolut residual
terhadap variabel independen.
Tabel 5.20
Hasil Uji Heterokedastisitas
Variabel Sig Keterangan
Umur 0.541 Tidak terjadi heteroskedastisitas
Lama
Pendidikan
0.188 Tidak terjadi heteroskedastisitas
Harga Tanah 0.203 Tidak terjadi heteroskedastisitas
Luas Lahan 0.224 Tidak terjadi heteroskedastisitas
Jumlah
Tanggungan
0.741 Tidak terjadi heteroskedastisitas
Sumber: Data primer diolah, 2015
Berdasarkan tabel 5.20 diatas, semua variabel independen
memiliki angka signifikansi diatas 0.05 hal ini mengindikasiskan dalam
persamaan regresi tersebut tidak terjadi heteroskedastisitas.
5.6.3 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen)
dalam model regresi (Ghozali, 2011). Untuk mendeteksi adanya
masalah multikolinearitas dalam penelitian ini dengan menggunakan
Nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor). Regresi yang
terbebas dari problem multikolinearitas apabila nilai VIF < 10 dan nilai
105
tolerance > 0.10, maka data tersebut tidak ada multikolinearitas.
Berikut ini disajikan hasil uji multikolinearitas dengan menggunakan
Nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor), yaitu:
Tabel 5.21
Hasil Uji Multikolonieritas
Model Collinearity Statistics Kesimpulan
Tolerance VIF
(Constant)
Umur 0.608 1.645 Tidak terjadi
multikolinieritas
Lama
Pendidikan
0.659 1.519 Tidak terjadi
multikoinieritas
Harga Tanah 0.613 1.631 Tidak terjadi
multikolinieritas
Luas Lahan 0.610 1.638 Tidak terjadi
multikolinieritas
Jumlah
Tanggungan
0.563 1.777 Tidak terjadi
multikolinieritas Sumber: Data primer diolah, 2015
Dalam tabel 5.21 menunjukkan hasil uji multikolinearitas
dengan nilai VIF berkisar antara 1.519 sampai 1.777 sedangkan nilai
tolerance berkisar antara 0.563 sampai 0.659. Maka dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa model penelitian ini tidak terjadi
multikolinearitas. Setelah melakukan uji t seperti yang tertera dalam
tabel diatas, maka persamaan regresi yang terbentuk dalam penelitian
ini yaitu:
Pada persamaan regresi diatas maka dapat diartikan bahwa
nilai konstanta sebesar 1.850, menunjukan jika variabel independen
Y = 1.850 + 0.032X1 - 0.006X2 + 0,0000000009916X3 – 0,00002082X4 + 0.286X5
106
tidak ada maka akan terjadi peningkatan variabel motivasi menjual
sebesar 1.850. Koefisien regresi untuk variabel umur sebesar 0.032
menunjukan bahwa setiap adanya perubahan 1 satuan tingkat umur,
maka variabel motivasi menjual bertambah sebesar 0.032. Koefisien
regresi pada variabel lama pendidikan sebesar -0.006 menunjukan
bahwa setiap adanya perubahan 1 satuan tingkat lama pendidikan, maka
dapat menurunkan variabel motivasi menjual sebesar -0.006. Koefisien
regresi untuk variabel harga tanah sebesar 0,0000000009916
menunjukan bahwa setiap adanya perubahan 1 satuan tingkat variabel
harga tanah, maka variabel motivasi menjual akan bertambah sebesar
0,0000000009916. Koefisien regresi untuk luas lahan sebesar -
0,00002082 menunjukan bahwa setiap adanya perubahan 1 satuan
tingkat luas lahan, maka dapat menurunkan variabel motivasi menjual
sebesar -0,00002082. Koefisien regresi untuk jumlah tanggungan
sebesar 0.286 menunjukan bahwa setiap adanya perubahan 1 satuan
tingkat jumlah tanggungan, maka variabel motivasi menjual akan
bertambah sebesar 0.286.
5.7 Dampak dan Implikasi Transaksi Lahan
Beberapa dampak yang muncul akibat transaksi lahan di wilayah
pedesaan salah satunya di Desa Buni Bakti ini menimbulkan beberapa dampak
yang berkaitan dengan, antara lain: aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek
lingkungan. Aspek sosial dalam kasus transaksi lahan disini adalah mendorong
107
masyarakat setempat untuk menjual salah satu aset mereka yang sebenarnya
berpotensi di kemudian hari, sehingga ini membuat mereka menjadi petani di
lahan milik mereka dahulu, dimana sewaktu mereka memiliki lahan sendiri,
mereka dapat mengambil keuntungan penuh dari lahan tersebut tanpa harus
menerima risiko yang lebih besar apabila menjadi petani garap/buruh tani. Hal ini
juga mendorong anak-anak mereka untuk mencari pekerjaan di luar desa yang
dapat menyebabkan fenomena urbanisasi. Walaupun beberapa dari mereka
akhirnya membuka usaha kecil-kecilan namun rasa penyesalan karena melepas
aset tetap tersisa.
Beberapa lahan sekarang ada yang di pakai untuk kegiatan
pertambangan, industri dan perumahan serta digunakan untuk investasi para
pemilik lahan dan juga tidak ditanami apapun karena beberapa spekulan tanah
menjual kembali lahan yang telah mereka beli kepada orang lain. Walau
responden yang diteliti rata-rata menjual lahan mereka kepada pihak perorangan
bukan tidak mungkin orang yang membeli telah menjual kembali kepada pihak
lain yang terkait dengan pembangunan tambang ataupun industri di desa tersebut,
karena banyak diantara pembeli lahan adalah spekulan dan orang yang ingin
berinvestasi.
Berdasarkan fenomena itu, aspek sosial di Desa Buni Bakti ini salah
satunya adalah perubahan mata pencaharian responden setelah mereka menjual
lahan, juga ada anak para responden yang sulit mencari kerja di sekitar desa yang
sekarang banyak di bangun pertambangan maupun kegiatan industri. Berdasarkan
pengakuan dari anak salah satu responden yang peneliti wawancarai bahwa
108
perusahaan-perusahaan itu lebih banyak menerima tenaga kerja dari luar desa dan
hanya sedikit mengambil dari desa setempat, inilah yang menimbulkan
kecemburuan sosial. Pada gambar 3 terdapat perubahan mata pencaharian
responden setelah menjual lahan.
Sumber: Data primer, 2015
Gambar. 3 Perubahan Mata Pencaharian Responden
Dari gambar 3 di atas dapat disimpulkan bahwa dari 44 responden yang
awalnya berprofesi sebagai petani yang memiliki lahan persawahan sendiri,
setelah mereka menjual lahan terjadi beberapa perubahan mata pencaharian di
sebagian responden. Sebanyak 12 responden berubah mata pencaharian dan tidak
lagi menjalani profesi sebagai petani, yaitu; wirausaha, karyawan dan guru,
terdapat 32 responden yang masih menjadi petani atau profesi utama masih
menjadi petani garap namun beberapa dari mereka memiliki pekerjaan sampingan
dengan berdagang, responden yang berdagang disini seperti: warung, toko, kios,
makanan, dan lain-lain. Mereka membuka usaha dari hasil menjual lahan tetapi
tidak meninggalkan profesi bertani walaupun hanya menjadi petani garap saja,
100%
Sebelum
PetaniPemilik
36%
36%
16%
7% 5%
Sesudah Petani Garap
Petani GarapWirausahaWirausaha
Karyawan
Guru
109
kemudian ada yang bertahan dengan pekerjaan mereka sebagai petani dan tidak
berwirausaha karena uang hasil penjualan habis untuk kebutuhan hidup.
Dari 12 responden yang sudah tidak bertani, ada 2 responden yang
berprofesi sebagai guru. Profesi sebagai guru memang sudah dijalani semenjak
menjadi petani ketika mereka memiliki lahan sendiri, namun setelah menjual
lahan mereka menjadi petani penggarap dengan tidak meninggalkan profesi
gurunya. Kemudian terdapat 7 responden yang beralih profesi dari petani menjadi
wirausaha dengan bermacam-macam pekerjaan seperti pedagang, membuka toko
sembako, pedagang sate keliling, dan bisnis menjadi calo tanah. Sedangkan
sisanya ada 3 responden yang berprofesi sebagai karyawan dalam hal ini ada 2
responden yang berprofesi sebagai sekuriti perusahaan, 1 responden adalah
perangkat desa setempat. Perubahan mata pencaharian responden dapat dilihat
secara jelas pada tabel 5.22 (lampiran)
Dampak dari penjualan lahan terhadap mata pencaharian responden
rupanya mendorong responden untuk mencari pemasukan selain dari profesi
sebagai petani dan ada juga yang benar-benar meninggalkan profesi mereka
sebagai petani. Himpitan ekonomi yang makin lama makin kuat membuat mereka
memutar otak untuk mencari pemasukan lain guna memenuhi kebutuhan
rumahtangga yang kurang, motif lain yang paling banyak adalah untuk
merenovasi rumah karena kebanyakan dari mereka memiliki rumah yang harus di
renovasi agar tempat tinggal lebih nyaman, selain itu keinginan seperti naik haji,
hajatan dan keinginan investasi juga menjadi motivasi dari beberapa responden.
110
Dari segi ekonomi, transaksi lahan bagi para responden memberikan dua dampak
ada yang positif dan ada yang negatif.
Sumber: Data primer, 2015
Gambar. 4 Perubahan Pendapatan Responden
Pada gambar 4 dapat disimpulkan bahwa pendapatan responden
menurun setelah menjual lahan bagi petani yang menjual dan tidak berwirausaha
dan hanya bekerja sebagai petani garap, petani yang menjual lahan mereka dengan
menggunakan hasil penjualan untuk membuka usaha cenderung memiliki
penghasilan yang meningkat, terutama bagi responden yang berprofesi rangkap
dengan tidak meninggalkan pekerjaan sebagai petani namun juga membuka usaha
sampingan sehingga mereka mendapatkan 2 sumber pendapatan. Bagi responden
yang meninggalkan profesi bertani dan fokus terhadap usaha dan meninggalkan
pekerjaan sebagai petani, pendapatan mereka meningkat. Sedangkan bagi pekerja
karyawan dan guru cenderung meningkat karena pekerjaan mereka yang masih
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
4000000
4500000
Petani Garap Petani GarapWirausaha
Wirausaha Karyawan Guru
Sebelum
Sesudah
111
menjadi petani penggarap dan pekerjaan utama sebagai pekerja/guru yang tidak
mereka tinggalkan, 2 guru juga sudah diangkat menjadi guru tetap sehingga
pendapatan mereka meningkat. Peningkatan pendapatan ini bisa lebih besar
mengingat beberapa responden menjual lahannya di 10 tahun lalu saat itu harga
lahan masih terbilang tidak begitu mahal seperti sekarang nilai jualnya, apabila
mereka menjual di saat - saat ini atau 5 tahun kebelakang mungkin bisa dibilang
pendapatan mereka meningkat drastis karena hasil jual lahan yang lebih besar
dapat digunakan untuk membuka usaha lebih besar kalau memang ada niat
membuka usaha saat itu juga harga gabah belum tinggi seperti sekarang.
Beberapa responden memiliki pendapatan lebih dari 5 juta, mereka
menjual lahan mereka di sekitar 5 tahun terakhir ini sehingga hasil penjualan yang
mereka dapat terbilang besar, dan diantara mereka ada yang membeli lahan baru
yang lebih murah di desa lain sebagai investasi. Pendapatan setelah menjual lahan
disini adalah jumlah penghasilan dari kegiatan bertani dan non pertanian bagi para
responden yang masih berprofesi sebagai petani dan memiliki pekerjaan
sampingan seperti: berdagang, calo tanah, dan lain-lain. Bagi responden yang
memang sudah tidak berprofesi menjadi petani, pendapatan berasal dari pekerjaan
yang mereka jalani, perubahan pendapatan dapat dilhat secara jelas pada tabel
5.23 (lampiran).
Transaksi lahan sebetulnya tidak menjadi masalah bagi lingkungan
sekitar namun apabila peruntukannya untuk kegiatan non pertanian akan menjadi
masalah yang cukup serius. Beberapa responden menjual lahan kepada pihak yang
ingin membuat perumahan dan usaha, dan beberapa ada yang di jual lagi dan
112
paling banyak adalah untuk investasi (tabel 5.13) perubahan fungsi lahan ini yang
membawa dampak bagi lingkungan setempat. Terlepas dari itu Desa Buni Bakti
ini memang dipenuhi banyak pertambangan seperti tambang gas dan batu bara,
ada juga pembangkit listrik yang dulunya adalah lahan pertanian. Beberapa
masalah seperti tidak berfungsinya irigasi yang seharusnya mengairi sawah,
banjir, dan masalah keamanan karena pertambangan gas yang dinilai memiliki
risiko selama beroperasinya pertambangan tersebut. Selain itu di desa ini juga
kerap kali terserang kekeringan apabila musim kemarau, akibat dari rusaknya
irigasi yang pernah dibuat pada zaman kepemimpinan Bapak Soeharto saat itu.
Satu hal lagi yaitu hampir hilang dan rusaknya Situs Buni yang dimana situs ini
adalah peninggalan dari kerajaan Tarumanegara yang diperkirakan usianya
mencapai 3000 tahun sebelum masehi.
113
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi atau memotivasi responden untuk
menjual lahannya di Desa Buni Bakti, Kecamatan Babalen adalah: Umur,
Harga Tanah, Luas Lahan dan Jumlah Tanggungan Keluarga. Faktor-
faktor tersebut secara masing-masing berpengaruh nyata secara statistik
dengan uji t. Faktor umur dengan nilai signifikan 0.008, faktor harga tanah
dengan nilai 0.003, faktor luas lahan dengan nilai signifikan 0.033, faktor
jumlah tanggungan keluarga dengan nilai signifikan 0.004, sedangkan
faktor lama pendidikan tidak berpengaruh dengan nilai signifikan di atas
0.05 yaitu 0.876 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap motivasi
menjual.
2. Dampak dari penjualan lahan terhadap pendapatan petani beragam dari
tiap responden. Penjualan lahan digunakan dengan berbagai kepentingan
oleh responden, mulai dari untuk keperluan hidup, membangun/renovasi
rumah, membuka usaha, naik haji, hajatan, dll. Pendapatan responden
yang menggunakan hasil penjualan untuk membuka usaha dan membeli
lahan di tempat lain cenderung meningkat, sedangkan penggunaan yang
tidak begitu produktif namun urgent seperti membangun/renovasi rumah,
kebutuhan hidup, naik haji dan hajatan, pendapatan mereka meningkat
namun tidak tinggi.
114
3. Penjualan lahan berdampak pada mata pencaharian responden, dimana
beberapa responden lebih memilih untuk berwirausaha dan meninggalkan
profesi sebagai petani setelah menjual lahan dengan membuka usaha
seperti; warung, toko, dan pedagang sayur keliling. Beberapa responden
tetap bertahan menjadi petani namun membuka usaha sampingan warung
di rumah untuk tambahan pendapatan.
6.2 Saran
1. Para petani/warga desa tidak dengan mudah melepas lahan mereka,
dengan mempertimbangkan beberapa hal salah satunya adalah untuk
jaminan kehidupan mereka. Lahan yang mereka miliki adalah aset yang
sangat mahal apabila dipertahankan, lahan itu juga tempat untuk mencari
penghasilan.
2. Bila akhirnya harus menjual lahan sebaiknya menggunakan hasil
penjualan ke kegiatan yang lebih produktif dengan membuka usaha
sampingan, hal ini terutama untuk para petani penjual lahan yang
menggunakan uang hasil penjualan lahan mereka untuk kebutuhan hidup,
menggelar pesta/hajatan dan kegiatan kurang produktif lainnya.
3. Sebaiknya bagi para penjual lahan tidak meninggalkan kegiatan sebagai
petani walau mereka membuka usaha, terutama untuk responden yang
masih memiliki umur yang masih terbilang produktif. Perubahan mata
pencaharian dari beberapa responden memang ada yang berdampak
positif, namun perubahan mata pencaharian ini dapat berdampak luas
115
nantinya, karena dengan adanya perubahan mata pencaharian yang
meninggalkan profesi petani maka akan berakibat kepada kurangnya
tenaga pertanian di desa.
116
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nabhani, Taqiyuddin. 2003. Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II. Beirut:
Darul Ummah.
Anwas, A. 2002. Pengantar Ilmu Pertanian. Jakarta: Rineke Cipta
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor
Press. Bogor.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi. 2012. Luas Lahan Basah dan
Lahan Kering di Kabupaten Bekasi Tahun 2008-2012. Bekasi.
__________________________________. 2013. Luas Lahan Pekarangan
dan Bangunan di Kabupaten Bekasi Tahun 2008-2012. Bekasi.
Barlowe, R. 1986. Land Resources Economics. The Economics of Real
Estate. Fourth Edition. Englewood Cliffs. N. J.
BP3K Kecamatan Babelan. Programa Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan BP3K Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, 2014. Luas Panen,
Produktivitas dan Produksi Padi Sawah Kecamatan Babelan Tahun 2012-2013
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bekasi 2012.
Djalal, Nachrowi dan Usman Hardius. 2002. Penggunaan Teknik
Ekonometri. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Farhani, Ardianto. Motivasi Sosial Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan dari
Sektor Pertanian ke Sektor Industri Kerajinan Mebel di Desa Serenan Kecamatan
Juwiring Kabupaten Klaten. Skripsi. Fakultas Pertanian. Program Studi
Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program
IBM SPSS 19. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gilarso, T. 2003. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Yogyakarta: Kanisius.
Hanafie, Rita. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: C.V
Andi Offset.
Gustiyana, H. 2004. Analisis Pendapatan Usahatani untuk Produk
Pertanian. Salemba Empat: Jakarta.
117
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Iqbal, M. dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi
Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor. Bogor.
Irawan, Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak Pola
Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Bogor.
______, Bambang. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi
Lahan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Forum Penelitian Agro
Ekonomi, Volume 26 No. 2, Desember 2008 : 116-131. Bandar Lampung.
Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Lahan dalam Perencanaan Pedesaan,
Perkotaan dan Wilayah Edisi Ketiga. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Jurnal Kajian Lemhannas RI, Edisi 15, Tahun 2013.
Michalski F, Metzger JP, Peres CA. 2010. Rural Property Size Drives
Pattern of Upland and Riparian Forest Retention. Global Environtmental Change
Journal. 20:705-712.
Munir, Misbahul. 2008. Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap
Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo,
Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nuhung, Iskandar A. 2013. Pengkajian Transaksi Lahan Pertanian Di
Wilayah Sub Urban (Studi Kasus: Desa Nagrak, Kabupaten Bogor). Penelitian
Individual. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat.
Nurmanaf, A. R. Dan A. Nasution. 1986. Ragam Sumber Pendapatan
Rumahtangga. (Bogor: Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1986).
Rahmanto, dkk, 2008. Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah dan
Implikasinya Terhadap Alih Fungsi Ke Pengguna Non Pertanian. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Litbang Pertnaian. Bogor.
118
Rochaeni, Siti. 2010. Model Ekonomi Rumah Tangga Petani. (Jakarta:
UIN Press, 2010).
Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan
Strategi Antisipatif dalam Penanggulangannya. Julnal Penelitian dan
Pengembangan Pertaanian. Volume XVI, Nomor 4 : 107 – 113. Badan Penelitian
dan Pengembangan
Rustiadi, E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Prespektif Lingkungan
Pedesaan. Makalah Lokakarya Penyusunan Kebijaksanaan dan Strategi
Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pedesaan di Cibogo, Bogor. Tanggal 10-11
Mei 2001. Bogor.
Silalahi, Rocky. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan
Pemukiman di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Slamet. 2000. Agrikultur, LPN-IPB-Bogor.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Soentoro. 1983. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor Pertanian di
Pedesaan. Pusat Penelitian Survey Agro Ekonomi, (Jakarta: Bdan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 1983).
Subali, Agus. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah
Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor). Skripsi. Fakultas Pertanian. Program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumardjono, Maria S.W. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi
Sosial dan Budaya. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Sumaryanto. 2010. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi
Keputusan Petani Menjual Lahan. Informatika Pertanian Volume 19 No. 2 Tahun
2010. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumber Alam dan Lingkungan: Suatu
Pendekatan Teoristis. PAU-UGM. Yogyakarta
119
Syahyuti. 2011. Delandreformisasi Sebagai Gejala Anti Landreformisasi
di Indonesia. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Forum Agro
Ekonomi Vol. 29 No. 2 Tahun 2011. Bogor.
________. 2006. Kebijakan Lahan Abadi Untuk Pertanian Sulit
Diwujudkan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Vol. 4 No.
2 Tahun 2006. Bogor.
________. 2004. Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia: Analisa
Terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksana
Reforma Agraria. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 22 No. 2 Tahun 2004. Bogor.
Utama, D. F. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi
Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi pada
Departemen Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Widjanarko et al. 2006. Aspek Pertahanan Dalam Pengendalian Alih
Fungsi Lahan Pertnian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan
Sawah : 22-23. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN. Jakarta.
Widodo, Teguh. 2015. Pembangunan Endogen. Mengabaikan Peran
Negara dalam Pembangunan. Yogyakarta: Deepublish.
120
LAMPIRAN
121
LAMPIRAN
Kantor Desa Buni Bakti Lahan pertanian di Desa Buni Bakti
Salah satu irigasi teknis di Desa Buni Bakti Kondisi beberapa lahan di desa
Kali CBL yang bermuara ke laut Lahan yang akan dibangun industri
122
Tanaman cabai di polybag Sawah yang belum ditanami
Selesai wawancara dengan responden Foto salah satu responden
Foto didepan tambang gas Foto salah satu responden
123
TABEL
Tabel 2.1 Luas Lahan Basah dan Lahan Kering Kabupaten Bekasi Tahun 2008-
2012.
Lahan Basah Jumlah Lahan Kering Jumlah
2008 55.074 2008 72.314
2009 54.425 2009 72.963
2010 53.584 2010 73.804
2011 53.703 2011 73.685
2012 52.966 2012 74.422
Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Bekasi dalam angka, 2012
Tabel 2.2 Luas Lahan Pekarangan dan Bangunan di Kabupaten Bekasi Tahun
2008-2012
Tahun Luas (ha)
2008 22.452
2009 24.043
2010 20.935
2011 30.052
2012 37.143
Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan
Badan Pusat Statistik, 2013
124
Tabel 2.3 Distribusi Petani Lahan Sawah di BP3K Kecamatan Babelan Tahun
2013.
No Desa Luas Sawah Jumlah
Petani
Rasio Petani
Sawah
orang/ha
1 Bahagia 25 42 0.60
2 Kebalen 15 25 0.60
3 Babelan Kota 380 299 1.27
4 Kedung
Pengawas
460 325 1.42
5 Kedung Jaya 640 350 1.83
6 Buni Bakti 490 485 1.01
7 Muara Bakti 340 245 1.39
8 Pantai Hurip 450 260 1.73
9 Hurip Jaya 230 122 1.89
Jumlah 3.030 2.153 1.41
Sumber: BP3K Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, 2014.
Tabel 2.4 Data Kelompok Tani Berdasarkan Kelas Kolompok Tani Tahun 2013.
No. Desa Jumlah
Kelompok
Jumlah
Anggota
Kelas Kelompok
Pemula Lanju
t
Madya Utam
a
1 Bahagia 17 302 17 - - -
2 Kebalen 9 161 4 4 - 1
3 Babelan
Kota
14 146 11 3 2 -
4 Kedung
Pengawas
14 350 5 9 - -
5 Kedung Jaya 14 420 10 3 1 -
6 Buni Bakti 31 723 28 3 - -
7 Muara Bakti 11 340 9 6 - -
8 Pantai Hurip 11 391 10 2 - -
9 Hurip Jaya 11 410 9 2 - -
Jumlah 132 3.243 103 32 3 1
Sumber: BP3K Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, 2014.
125
Tabel 2.5 Luas panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Padi Sawah
Kecamatan Babelan Tahun 2012-2013.
No Desa Tahun 2012 2013
Luas
Panen
(ha)
Produkti
vitas
(Ton/ha)
Produksi
(Ton)
Luas
Panen
(ha)
Produkt
ivitas
(Ton/ha)
Produksi
(Ton)
1 Bahagia 20 6,53 130,6 18 6 108
2 Kebalen 10 7,24 72,4 9 7 63
3 Babelan
Kota
360 7,52 2.707,2 324 6,9 2.235,6
4 Kedung
Pengawas
400 7,04 2.816 360 6,5 2.340
5 Kedung
Jaya
526 6,98 3.671,8 473 6,2 2.932,6
6 Buni
bakti
300 6,42 1.926 270 6 1.620
7 Muara
Bakti
300 5,86 1.758 270 5,5 1.485
8 Pantai
Hurip
200 6,4 1.280 180 6,2 1.116
9 Hurip Jaya 50 5,68 284 45 5,5 247,5
Jumlah 2.166 - 14.645,68 1.949 - 12.147,7 Sumber: BP3K Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, 2014.
Tabel 2.6 Peraturan Pemerintah yang Terkait dengan Upaya Pengendalian
Konversi Lahan Sawah.
Peraturan Pemerintah Substansi
KEPRES No. 53/1989 Pembangunan kawasan industri tidak
boleh mengurangi lahan pertanian dan
tidak dilakukan diatas tanah yang
memiliki fungsi utama untuk
melindungi sumberdaya alam dan
warisan budaya.
KEPRES No. 33/1990 Ijin pembebasan tanah untuk
pembangunan kawasan industri tidak
boleh meliputi kawasan pertanian
tanaman pangan berupa sawah irigasi
dan lahan yang dicadangkan untuk
pembangunan sawah irigasi.
PERMENDAGRI No. 5/1974 Lokasi pembangunan kompleks
perumahan oleh perusahaan sedapat
mungkin menghindari lahan pertanian
subur dan mengutamakan tanah yang
kurang produktif.
126
SE MNA/KBPN No. 410-1851/1994 Dalam menyusun RTRW Dati I dan
Dati II tidak memperuntukkan lahan
sawah beririgasi teknis bagi
penggunaan nonpertanian.
SE MNA/KBPN No. 410-2262/1994 Pemberian ijin lokasi untuk
penggunaan nonpertanian tidak boleh
meliputi lahan sawah beririgasi teknis.
SE KBAPENAS No. 5334/MK/9/1994 Pelarangan konversi lahan sawah
beririgasi teknis untuk penggunaan
nonpertanian.
SE MNA/KBPN No. 5335/MK/1994 Tidak mengijinkan perubahan
pemanfaatan lahan sawah beririgasi
teknis untuk penggunaan nonpertanian
dan RTRW Dati II yang didalamnya
meliputi rencana penggunaan lahan
sawah beririgasi teknis untuk
pengunaan nonpertanian, harus direvisi.
SE MNA/KBPN No. 5417/MK/10/1994 Perubahan penggunaan tanah sawah
beririgasi teknis untuk keperluan
nonpertanian tidak diijinkan
SE MNA/KBPN No. 460-1594/1996 Melarang perubahan status lahan sawah
menjadi lahan kering dengan menutup
saluran irigasi, mengeringkan lahan
sawah, menimbun lahan sawah dan
seterusnya. Sumber: Bambang Irawan (2008)
Tabel 5.2 Rata-Rata Pendapatan Setelah Pajak per Kapita Menurut Golongan
Rumah Tangga (ribu rupiah) Tahun 2000, 2005, 2008
Sektor Ekonomi Klasifikasi Tenaga Kerja
2000 2005 2008
Rumah tangga
buruh tani
2268,30 4511,90 5857,40
Rumah tangga
pengusaha pertanian
3323,30 6706,50 11233,50
Rumah tangga
petani gurem
2590,20 5174,40 -
Rumah tangga
pengusaha pertanian
yang memiliki lahan
0,5-1 ha
3884,60 7831,20 -
Rumah tangga 5449,10 10971,10 -
127
pengusaha pertanian
yang memiliki lahan
lebih dari 1 ha
Rumah tangga
bukan pertanian
golongan rendah di
desa
3734,50 8436,60 13164,10
Rumah tangga
bukan angkatan
kerja di desa
4800,40 9309,10 14773,10
Rumah tangga
bukan pertanian
golongan atas di
desa
7708,90 15956,70 28346,00
Rumah tangga
bukan pertanian
golongan rendah di
kota
5844,70 10738,90 18279,70
Rumah tangga
bukan angkatan
kerja di kota
6799,90 11178,40 19110,70
Rumah tangga
bukan pertanian
golongan atas di
kota
10512,60 22265,00 39968,50
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, 2011.
Tabel 5.22 Mata Pencaharian Responden Sebelum dan Sesudah Menjual Lahan
Nomor Responden Sebelum Menjual
Lahan
Sesudah Menjual
Lahan
1 H. Solihan Petani Petani garap
2 Juang Petani Bisnis/Berdagang
3 Rohimun Petani Calo tanah/petani
garap
4 Jiping Petani Petani
garap/pedagang
5 Nakir Petani Petani garap
6 Kasmi Petani/Anggota
BPD
Anggota
BPD/Bisnis/calo
128
tanah
7 Marniah Petani Petani garap
8 H. Syamsuddin Petani Calo tanah/pedagang
9 Sukri Petani Petani garap/peternak
10 Romin Petani Petani garap
11 Marja Petani Petani
garap/pedagang
12 H. Mus Petani Berdagang dan buka
toko/petani garap
13 Amad Matalih Petani Pedagang
14 Rodih Petani Petani garap
15 Kanin Petani Pedagang
16 Naroji Petani Petani garap
17 Sukma Petani Petani
garap/pedagang
18 Rojalih Petani Petani garap
19 Mulyadi Petani Petani
garap/pedagang
20 Nurdin Petani Petani garap
21 Maja Petani Petani garap
22 Maktub Petani Pedagang
23 Assad Petani Petani garap
24 H. Ali Ibrohim Guru/petani Guru/petani garap
25 Laud Petani Petani garap/peternak
26 Sanusih Petani Petani
garap/pedagang
27 H. Rojudin Petani Petani garap
28 Namin Petani Pedagang/petani
garap
29 Murdanih Petani Petani
garap/pedagang
30 Wahid Petani Petani garap
31 Hasim Petani Petani garap
32 Nimun Petani Petani
garap/pedagang
33 Misnan Petani Pedagang
34 Malih Petani Petani/Pedagang
35 Boli Petani Petani garap
36 Jamsari Petani Sekuriti
129
37 Nursan Petani Petani
garap/pedagang
38 Sabar Petani Petani
garap/pedagang
39 Samin Petani Petani
garap/pedagang
40 Ismail Petani Perangkat desa/petani
garap
41 Genur Jaya Petani Sekuriti
42 Nemit Guru/petani Guru/petani garap
43 Rodih Petani Petani
garap/pedagang
44 Limi Petani Petani
garap/pedagang
Sumber: Data Primer, 2015 diolah
Tabel 5.23 Perbandingan Pendapatan Responden Sebelum dan Sesudah Menjual
Lahan
Nomor Responden Sebelum menjual
lahan (rupiah)
Sesudah menjual
lahan (rupiah)
1 H. Solihan 600.000,- 500.000,-
2 Juang 900.000,- 3.500.000,-
3 Rohimun 1.500.000,- 6.000.000,-
4 Jiping 3.000.000,- 8.000.000,-
5 Nakir 1.500.000,- 1.000.000,-
6 Kasmi 1.250.000,- 4.500.000,-
7 Marniah 1.500.000 1.000.000,-
8 H. Syamsuddin 950.000,- 3.500.000,-
9 Sukri 1.300.000,- 1.000.000,-
10 Romin 900.000,- 700.000,-
11 Marja 1.500.000,- 3.000.000,-
12 H. Mus 3.000.000,- 10.000.000,-
13 Amad Matalih 1.000.000,- 3.000.000,-
14 Rodih 1.800.000,- 1.500.000,-
15 Kanin 900.000,- 3.500.000,-
16 Naroji 1.700.000 1.000.000
17 Sukma 600.000 2.500.000
18 Rojalih 1.000.000 800.000
19 Mulyadi 700.000 3.000.000
130
20 Nurdin 1.900.000 1.000.000
21 Maja 1.500.000 1.000.000
22 Maktub 700.000 2.500.000
23 Assad 900.000 700.000
24 Ali Ibrohim 1.100.000 3.000.000
25 Laud 1.700.000 1.200.000
26 Sanusih 800.000 3.000.000
27 Rojudin 800.000 600.000
28 Namin 550.000 2.000.000
29 Murdanih 600.000 4.500.000
30 Wahid 950.000 700.000
31 Hasim 900.000 600.000
32 Nimun 850.000 2.500.000
33 Misnan 1.000.000 3.000.000,-
34 Malih 900.000 3.000.000
35 Boli 1.000.000 900.000
36 Jamsari 950.000 3.500.000
37 Nursan 600.000 3.000.000
38 Sabar 1.000.000 3.500.000
39 Samin 950.000 3.000.000
40 Ismail 500.000 2.000.000
41 Genur Jaya 700.000 2.500.000
42 Nemit 900.000 3.000.000
43 Rodih 800.000 2.700.000
44 Limi 900.000 2.000.000
Sumber: Data Primer, 2015 diolah
131
TABEL DAN GAMBAR HASIL REGRESI
Tabel R-squared
Model Summaryb
Model
R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 ,572a ,327 ,238 ,545
a. Predictors: (Constant), Jumlah tanggungan, Luas lahan, lama
pendidikan, Harga tanah, umur
b. Dependent Variable: motivasi menjual
Tabel Uji F
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 5,490 5 1,098 3,691 ,008a
Residual 11,306 38 ,298
Total 16,795 43
a. Predictors: (Constant), Jumlah tanggungan, Luas lahan, lama pendidikan, Harga tanah, umur
b. Dependent Variable: motivasi menjual
132
Tabel Uji t dan Multikolinearitas
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 1,850 ,757 2,443 ,019
umur ,032 ,011 ,475 2,784 ,008 ,608 1,645
lama pendidikan -,006 ,041 -,026 -,157 ,876 ,659 1,519
Harga tanah 9,916E-10 ,000 ,547 3,217 ,003 ,613 1,631
Luas lahan -2,082E-5 ,000 -,377 -2,215 ,033 ,610 1,638
Jumlah
tanggungan
,286 ,092 ,549 3,097 ,004 ,563 1,777
a. Dependent Variable: motivasi menjual
Tabel Uji Heteroskedastisitas
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) ,880 ,504 1,746 ,089
umur -,005 ,008 -,122 -,617 ,541 ,608 1,645
lama pendidikan -,036 ,027 -,254 -1,341 ,188 ,659 1,519
Harga tanah -2,654E-10 ,000 -,254 -1,294 ,203 ,613 1,631
Luas lahan 7,737E-6 ,000 ,243 1,237 ,224 ,610 1,638
Jumlah
tanggungan
-,020 ,061 -,068 -,332 ,741 ,563 1,777
a. Dependent Variable: ABSUT
133
Tabel Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 44
Normal Parametersa,b
Mean ,0000000
Std. Deviation ,51275621
Most Extreme Differences Absolute ,170
Positive ,081
Negative -,170
Kolmogorov-Smirnov Z 1,125
Asymp. Sig. (2-tailed) ,159
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
134
135
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Indonesia Email : [email protected]
Telp. : (62-21) 7493606, 7493547 Fax.: (62-21) 7493315 Website
http:/www.fst.uinjkt.ac.id
KUESIONER PENELITIAN
Kuisioner Penelitian
Hari/Tanggal :
Nomor Responden :
Nama Responden :
Alamat Responden :
No. Telepon/HP :
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan wawancara untuk narasumber dalam skripsi
mengenai “Analisis Transaksi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap
Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten
Bekasi, Provinsi Jawa Barat)” oleh Rendy Setiawan (1110092000019). Kami memohon
partisipasi saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat
menjadi data yang objektif. Informasi yang saudara berikan dijamin kerahasiaannya,
bukan untuk dipublikasikan, dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas
perhatian dan partisipasi saudara, saya ucapkan terima kasih.
I. Data Responden
1. Jenis Kelamin :
2. Umur :
3. Status Pernikahan :
4. Pendidikan terakhir :
o Tidak Sekolah
o Tidak Tamat SD
o Tamat SD/Sederajat
o SMP
136
o SMA
5. A. Pekerjaan Utama :
B. Pekerjaan Sampingan :
6. Status kependudukan :
o Penduduk asli
o Pendatang
o Lainnya………
7. Lama menetap :
8. Lama menjadi petani :
II. Ekonomi Responden
9. jumlah anggota keluarga (termasuk responden) :
10. Jumlah tanggungan keluarga :
Data Keluarga
Nama Hubungan
Keluarga
Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan/tahun
Data Aset
Jenis Aset Volume/unit Hak
Penggunaan
Nilai Jual
Saat Ini
Tahun
Perolehan
Keterangan
Rumah
Sawah
Kebun
137
Mobil
Motor
Televisi
Sepeda
Traktor
Ternak
Lainnya
11. Berapa pengeluaran rumah tangga anda selama satu bulan?
III. Status Kepemilikan Lahan
12. Apakah status lahan yang anda miliki?
o Sewa
o Sakap
o Milik
o Gadai
13. Berapa luas lahan yang anda miliki? (ha)
14. Apakah lahan yang anda miliki adalah yang anda andalkan dalam memenuhi
kebutuhan keluarga?
o Ya
o Tidak
IV. Tentang Penjualan Lahan
15. Apakah anda pernah menjual lahan pertanian?
16. Dalam satuan apa anda menjual lahan sawah?
17. Berapa total luas lahan yang anda jual?
138
18. Berapa presentase lahan yang anda jual/konversi dari lahan yang anda
miliki?.......%lahan
19. Berapa harga lahan yang anda jual?
20. Apakah anda memiliki sertifikat tanah yang dijual?
21. Jika tidak ada sertifikat, apa status tanah tersebut?
22. Darimana tanah yang anda jual anda peroleh?
23. Tahun berapa anda menjualnya?
24. Kepada siapa anda menjualnya?
25. Sudah berapa kali anda menjual lahan sawah?
26. Apakah anda tahu bahwa ada juga penjualan lahan di desa lain?
27. Apakah anda tahu berapa harga penjualan lahan di desa lain?
28. Apakah pada lahan yang dijual tedapat tanaman? Jika iya apakah tanaman itu
dihitung juga harga jualnya saat penjualan lahan?
29. Berapa total pendapatan anda dalam sebulan sebelum menjual lahan?
Sumber
Pendapatan
Pendapatan per
bulan
Pendapatan per
tahun
Keterangan
Bertani Rp. Rp.
Buruh Rp. Rp.
Berjualan Rp. Rp.
Pekerjaan lain Rp. Rp.
30. Berapa total pendapatan anda dalam sebulan setelah menjual lahan?
Sumber
Pendapatan
Pendapatan per
bulan
Pendapatan per
tahun
Keterangan
Bertani Rp. Rp.
Buruh Rp. Rp.
Berjualan Rp. Rp.
Pekerjaan lain Rp. Rp.
V. Penggunaan Uang Setelah Hasil Penjualan
31. Apakah setelah menjual lahan, anda membeli lahan lain yang agak jauh dari
tempat awal? Jika ya, berapa harganya?
139
32. Apakah setelah menjual lahan, anda membeli rumah atau memperbaiki rumah
yang sudah ada? Jika ya, berapa harganya?
33. Apakah setelah menjual lahan, anda membuka usaha?
34. Apakah setelah menjual lahan, anda membagikan hasilnya kepada anak/ahli
waris?
35. Apakah setelah menjual lahan, anda menyimpan di bank?
36. Apakah setelah menjual lahan, anda menggunakannya untuk naik haji/umroh?
37. Apakah setelah menjual lahan, anda menggunakannya untuk pesta/hajatan?
38. Setelah menjual lahan apa pekerjaan bapak/ibu?
A. Jadi buruh di kota
B. Berjualan/berdagang
C. Buruh di lahan yang dijual
D. Kerja serabutan
E. Tidak bekerja
F. Lainnya….
VI. Alasan Menjual Lahan
39. Apakah penjualan lahan dilakukan secara bersamaan dengan warga lain?
40. Berapa harga lahan per meter saat ini (2015)?
41. Digunakan untuk apa lahan yang dibeli oleh pembeli?
A. Bangun perumahan
B. Membuat usaha
C. Investasi
D. Dijual lagi
E. Penggunaan lain
42. Dari mana bapak/ibu mengetahui rencana penggunaan oleh pembeli lahan
tersebut?
A. Pembeli langsung
B. Aparat desa
C. Tetangga
D. Orang lain
E. Lainnya..
140
43. Apakah ada kebutuhan mendesak sehingga bapak/ibu menjual lahan? (ya atau
tidak) kalau iya?
A. Sangat mendesak
B. Mendesak
C. Agak mendesak
D. Tidak terlalu mendesak
E. Tidak mendesak
44. Apakah memang ada motivasi bapak/ibu untuk menjual lahan? Jika ya
bagaimana motivasi tersebut?
A. Sangat tinggi
B. Tinggi
C. Biasa saja
D. Tidak tinggi
E. Tidak ada
45. Apakah motivasi utama yang mendorong anda untuk menjual lahan?
A. Untuk dibagikan kepada anak
B. Untuk modal usaha
C. Untuk membeli lahan di tempat lain
D. Untuk pesta/hajatan
E. Untuk membayar hutang
F. Untuk mencari pekerjaan lain
G. Untuk naik haji/umroh
46. Apakah ada penyesalan setelah menjual lahan tersebut? Ya atau tidak, jika ya?
A. Harga semakin naik saat ini
B. Sulit mencari pekerjaan lain
C. Uang hasil penjualan habis untuk kebutuhan/tidak ada investasi
D. Pendapatan menurun
E. Lainnya...