seor

13
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian non polar. Bagian kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan bagian ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri. Gambar dari molekul surfaktan terdapat pada Gambar 1. Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio,1996) Berdasarkan gugus hidrofiliknya, m olekul surfaktan dibedakan kedalam 4 kelompok, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985; Rosen, 2004). Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active), seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationikH adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan ( surface- active), seperti quarternery ammonium salt (QUAT). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Didalam aplikasinya, keempat jenis surfaktan tersebut memiliki fungsi yang spesifik dan kondisi lingkungan kerja yang spesifik. Surfaktan anionik sangat baik digunakan untuk stimulasi batuan sandstone. Adanya unsur silika di dalam batuan sandstone yang bermuatan negatif (-) akan menyebabkan water wet pada formasi batuan sand stone. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya gaya adhesi antara minyak dan batuan sehingga minyak akan lepas dan lebih mudah mengalir dan sifat batuan akan berubah menjadi water wet. Sebaliknya pada batuan limestone yang bermuatan positif, penggunaan surfaktan anionik akan menyebabkan batuan bersifat oil wet (Allen and Robert,1993).

Upload: chatarina-icha-sanchia

Post on 27-Oct-2015

58 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SURFAKTAN

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang

mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik

menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas

dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan

tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan

mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985).

Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri

atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang

sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian

non polar. Bagian kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan bagian ekor dapat

berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan

memiliki fungsi yang beragam di industri. Gambar dari molekul surfaktan terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio,1996)

Berdasarkan gugus hidrofiliknya, m olekul surfaktan dibedakan kedalam 4 kelompok, yaitu

surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985;

Rosen, 2004). Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus hidrofilik atau

aktif permukaan (surface-active), seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationikH adalah

senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-

active), seperti quarternery ammonium salt (QUAT). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak

bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus

oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif

pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH rendah akan bermuatan negatif

dan pada pH tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996; Rosen, 2004).

Didalam aplikasinya, keempat jenis surfaktan tersebut memiliki fungsi yang spesifik dan

kondisi lingkungan kerja yang spesifik. Surfaktan anionik sangat baik digunakan untuk stimulasi

batuan sandstone. Adanya unsur silika di dalam batuan sandstone yang bermuatan negatif (-) akan

menyebabkan water wet pada formasi batuan sand stone. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya

gaya adhesi antara minyak dan batuan sehingga minyak akan lepas dan lebih mudah mengalir dan

sifat batuan akan berubah menjadi water wet. Sebaliknya pada batuan limestone yang bermuatan

positif, penggunaan surfaktan anionik akan menyebabkan batuan bersifat oil wet (Allen and

Robert,1993).

5

Surfaktan kationik dengan muatan gugus hidrofilikya yang positif akan merubah wettability

batuan yang memiliki muatan positif menjadi water wet seperti batuan karbonat dan akan merubah

wettability batuan yang bermuatan negatif seperti batuan sandstone menjadi oil wet. Berbeda dengan

surfaktan anionik dan kationik, surfaktan nonionik yang tidak memiliki muatan pada gugus

hidrofiliknya menyebabkannya kompatible pada kedua jenis batuan. Surfaktan nonionik akan

menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone. Sedangkan penggunaan

surfaktan amfoterik pada kedua jenis batuan tersebut tergantung pada pH larutan dimana surfaktan

tersebut bekerja. Pada kondisi pH>7 (basa), gugus hidrofilk surfaktan amfoterik akan bermuatan

positif sehingga akan menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan positif (karbonat).

Pada pH<7 (asam), gugus hidrofilik surfaktan amfoterik akan bermuatan negatif sehingga akan

menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan negatif (sandstone), sedangkan pada

pH=7, gugus hidrofilik surfaktan amfoterik tidak akan bermuatan. Namun pada aplikasi stimulasi

surfaktan, surfaktan amfoterik digunakan terbatas sebagai pencegah korosi dan agen pembusa (Allen

and Robert, 1993; Mulyadi, 2002)

Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat

kelompok yaitu :

1. Berbasis minyak-lemak seperti; monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester.

2. Berbasis karbohidrat seperti; alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida.

3. Ekstrak bahan alami seperti; lesitin dan saponin.

4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti; rhamnolipid dan sophorolipid.

Pengujian surfaktan meliputi kemampuan untuk menstabilkan emulsi, kemampuan untuk

menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan

hidrofil lipofil balance, dan penentuan gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red

Spectroscopy).

1. Kestabilan Emulsi

Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan permukaan, dengan

cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga

senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil

(Fennema, 1985). Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat

sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan

(Kemel, 1991).

Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata

pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani et. al,

2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada

sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya

ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus, lebih

besar viskositasnya dibandingkan emulsi dengan globulanya yang lebih besar atau tidak

seragam (Muchtadi, 1990).

6

2. Tegangan Permukaan

Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik

dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini

dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi

dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani, et al. 2001).

Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk

memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan disebabkan oleh

adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan antara lain dapat diukur

dengar menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter

(dyne/cm) atau miliNewton per meter (mN/m).

Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada

permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekul-

molekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas

permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di

bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan. Hal ini menyebabkan

cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin.

Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk

cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul

dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989).

3. Tegangan Antarmuka

Tegangan antar muka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang diperlukan untuk

memperluas antar muka antara dua cairan immiscible persatuan luas (Shaw, 1980). Tegangan

permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan,

sedangkan tegangan antar muka adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis

permukaan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Dalam

satuan SI (Standard International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau

dyne/cm.

Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya

meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara

molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja

diantara molekul-molekul yang tidak sejenis.

Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan

memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat

polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua

cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan

permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan

antar muka (Georgiou et al., 1992).

Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari konsentrasi

surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan sebagai

konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat tertahan pada antar muka. Efektifitas surfaktan

dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak – air dipengaruhi oleh beberapa faktor,

7

diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang

digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi larutan surfaktan (Menurisita, 2002).

Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses

enhanced oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan

tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan

hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi

minyak yang terikat dengan batuan (emulsion block), mengurangi terjadinya water blocking

dan mengubah sifat kebasahan (wattability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi

batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan

demikian water cut dapat dikurangi.

4. Hydrophile -Lipophile Balance (HLB)

Menurut Suryani et. al. (2002), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui

hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB digunakan

untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi,

yaitu :

a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Pada kondisi ini diperlukan

surfaktan dengan nilai HLB rendah.

b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Pada kondisi ini diperlukan

surfaktan dengan nilai HLB tinggi.

Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air. Sedangkan bila makin

rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya

berdasarkan konsep Grifin disajikan pada Table 2.

Tabel 2. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin

Nilai HLB Aplikasi

3 – 6 Pengemulsi W/O

7 – 9 Wetting agent

8 – 14 Pengemulsi O/W

9 – 13 Detergen

10 -13 Solubilizer

12 -14 Dispersant

Sumber : Holmberg et al. (2003)

Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada

kinerja dan karakteristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan

(Sadi, 1994). Menurut BP MIGAS (2009), karakteristik surfaktan yang diinginkan untuk

aplikasi Enhanced Oil Recovery, adalah formula surfaktan yang memiliki karakteristik sebagai

berikut:

8

Compatibility : tidak ada endapan

Adsorbsion : < 0.25% atau 0.4 mg/g batuan

Tegangan Antar Muka : 10-3

dyne/cm

Temperatur : tahan terhadap temperature reservoir minimal 3 bulan

pH : 6-8

Bentuk Phase : bawah atau tengah

Recovery oil : > 10% incremental tergantung keekonomian

Filtrasi rasio : < 1,2

2.2. SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)

Surfaktan Alkil Poliglikosida pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer

(Margaretha, 1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan

bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka, jagung dan lain-lain) dengan fatty alcohol

berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, rapeseed, soy bean, bunga matahari). Alkil Poliglikosida

(APG) mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan

bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai

hidrokarbon tersebut tersusun dari fatty alcohol yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa.

Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari

molekul glukosa yang berasal dari pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada

Gambar 2.

Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG) (Wuest et al., 1992)

Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur

pertama berbasis bahan baku pati dan fatty alcohol sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku

dekstrosa (glukosa) dan fatty alcohol. Prosedur pertama, berbasis pati-fatty alcohol melalui proses

butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-fatty alcohol

hanya melalui proses asetalisasi yang selanjutnya dari masing-masing prosedur masuk ke proses

netralisasi, distilasi, dan pelarutan. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3.

Alkil Glikosida

Alkil Poliglikosida

9

Gambar 3. Proses sintesis surfaktan alkil poliglikosida untuk aplikasi EOR

Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mencampurkan fatty alcohol

dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam p-

toluene sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu 100-120°C selama 3-4 jam pada tekanan 15-25

mmHg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan

NaOH 50 % pada suhu 80°C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur

dengan residu (air + fatty alcohol) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan

menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan fatty alcohol dilakukan pada

suhu 160-200°C dan tekanan 15 mmHg (Indrawanto, 2007). Proses reaksi sintesa APG satu

tahap/langsung dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sintesis Fischer secara langsung (Wuest et al., 1992)

Menurut Wuest et al., (1992), sintesis surfaktan APG dapat pula dilakukan dengan reaksi 2

tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama

Dekstrosa Fatty alcohol Alkyl Polyglicoside

10

direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi

direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C 12-18 dari fatty alkohol bahan baku alami.

Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125oC dan dibawah tekanan 4-10 bar dalam zone

reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur dibawah temperatur 115-118 oC

dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio molar pati dihitung sebagai anhidroglukosa,

terhadap alkohol rantai panjang 1: 1.5 - 1: 7, 1:2.5 ke 1:7, 1:3 ke 5. Sedangkan rasio molar sakarida :

air = 1: 5 – 1:12, 1: 6-1:12, 1: 6-1: 9, 1: 6-1: 8. Proses reaksi sintesa APG dua tahap dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Sintesis Fischer secara langsung dan dua tahap (Wuest et al., 1992)

2.3. TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI

Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu fase primer

(primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Fase primer

merupakan fase dimana proses produksi minyak tergantung kepada kandungan energi alam reservoir

yaitu tekanan alami dari reservoir (natural flow) (Gomma, 1997). Menurut Sumotarto (1997), tekanan

alami reservoir dapat berasal dari tekanan gas yang terlarut dalam fluida minyak (solution gas

drive), kolom air di bawah lapisan minyak (water drive), atau tekanan dari lapisan batuan yang berada

di atasnya (overburden pressure). Adanya energi alami reservoir memungkinkan minyak untuk

keluar dengan sendirinya dari sumur.

Fase sekunder dalam recovery minyak bumi merupakan fase dimana sudah melibatkan

penginjeksian material kedalam reservoir. Pada fase ini diterapkan proses immiscible gas flood dan

water flood, sedangkan fase tersier merupakan fase dimana diterapkannya metode Enhanced Oil

Recovery (EOR) (Gomma, 1997). Menurut Thamrin dan Sudibjo (1992), EOR atau metode

pengurasan tahap lanjut merupakan usaha untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi

yang sudah tidak produktif lagi pada tahap produksi pertama. Metode EOR dilakukan dengan

menginjeksikan material kedalam batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih

terkandung didalam batuan reservoir, yang pada umumnya berupa residual oil dan by-passed oil.

Residual oil merupakan butir-butir minyak yang tersisa karena terperangkap di dalam pori-pori

batuan (saturasi minyak tersisa). By-passed oil merupakan kandungan minyak di dalam bagian dari

reservoir yang tidak tersapu dan terjangkau (by-passed) oleh injeksi air pada tahap sekunder.

Pati Butanol

Butyl Glicoside

Butyl Glicoside

Fatty Alcohol Alkyl Polyglicoside

11

Berdasarkan material yang diinjeksikan, metode EOR dikelompokkan kedalam empat

kelompok, yaitu metode termal (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia

(polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon,

dan campuran gas alam), dan metode lainnya (mikroba, listrik, mekanis). Meskipun metode EOR

kadang disebut sebagai recovery tersier, namun beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fasa

primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery) (Gomma,1997). Skema recovery minyak

bumi ditunjukkan pada Gambar 6.

Menurut Allen dan Roberts (1993), karakteristik minyak dan reservoir perlu dipertimbangkan

dalam pemilihan metode EOR, supaya memenuhi target yang hendak dicapai. Sebagai gambaran,

reservoir yang dangkal tidak cocok bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi

sehingga dapat beresiko merusak formasi dan akan menimbulkan semburan liar.

Gambar 6. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009)

2.4. SURFACTANT FLOODING

Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut dengan surfactant flooding.

Proses ini dikategorikan ke dalam proses tersier produksi minyak bumi. Nummedal et.al. (2003)

menyatakan bahwa peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan dengan cara

menambahkan surfaktan kedalam air injeksi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang

diinjeksikan kedalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air

yang berada di dalam cekungan minyak bumi (reservoir). Demikian pula dengan penginjeksian

12

surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada

di dalam reservoir minyak bumi.

Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam surfactant flooding, namun

juga polimer umumnya partially hidrolized polyacrilamide (PMPA). Polimer diinjeksikan setelah

campuran surfaktan dan air injeksi dipompakan ke dalam sumur minyak. Tujuannya adalah

meningkatkan stabilitas genangan (flood) dan meningkatkan efisiensi penyapuan (sweep

efficiency) minyak. Technology Assesment Board (1978), mengungkapkan bahwa surfactant

flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi recovery

minyak yang superior.

Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah surfaktan diinjeksikan

dijelaskan sebagai berikut: surfaktan memiliki gugus dasar hidrokarbon dan berikatan pada ujung

dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus kimia surfaktan adalah R – SO3H, dengan

gugus R – merupakan gugus rantai hidrokarbon. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi

RSO3- dan H

+. bila ion molekul RSO3

- kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka

gugus R – akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan-minyak), sedangkan pada molekul

surfaktan itu sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3-. Pengaruh gaya adhesi ini akan

mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antar permukaan

minyak dengan air akan menurun. Selain itu, terjadi gaya tolak-menolak antara kepala surfaktan yang

bermuatan negatif karena adanya gugus RSO3- dengan batuan sandstone yang bermuatan negatif

karena adanya senyawa silica (SiO2-). Gaya tolak-menolak ini mengakibatkan surfaktan yang

mengikat minyak pada bagian gugus R akan bergerak menjauh dari batuan dan ini akan

mengakibatkan wettability batuan berubah menjadi water wet (Ashayer et al.,2000).

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pada aplikasi surfactant flooding tergantung pada

beberapa faktor seperti formulasi, biaya, ketersediaan bahan, dampak lingkungan, serta harga minyak

bumu dipasar. Agar pemanfaatan surfaktan lebih efektif, beberapa kriteria harus dipenuhi yaitu

surfaktan yang digunakan harus dapat menghasilkan IFT ultra low dan harus cukup sederhana pada

saat disintesis untuk diproduksi secara komersial (Nasiri, 2011).

2.5. AIR FORMASI

Air formasi yang diambil dari lapangan mengandung berbagai ion. Hal ini dikarenakan air

formasi tersebut telah bereaksi dengan batuan. Dengan kata lain telah mengalami interaksi dengan

mineral-mineral lain yang terdapat pada batuan. Ion-ion tersebut dapat berupa padatan mineral dan

logam yang tersuspensi maupun berupa gas yang terlarut di dalamnya. Kandungan utama dari air

formasi terdiri dari kandungan anion dan kation. (Widiyowati, 2005)

1. Kandungan Kation, yang termasuk didalam kation, antara lain:

a. Kalsium (Ca)

Ion kalsium adalah penyusun terbanyak pada air formasi yang dapat mencapai 30.000 ppm.

b. Magnesium (Mg)

Ion Mg pada umumnya terkonsentrasi dengan volume yang lebih kecil dibandingkan ion

kalsium

13

c. Besi (Fe)

Kadar besi secara alamiah yang terdapat pada air formasi mempunyai konsentrasi yang kecil.

Keberadaan besi menunjukkan kecenderungan sifat korosif.

d. Barium (Ba)

Jumlah ion barium ini tidak cukup banyak terdapat didalam air formasi

2. Kandungan Anion, yang termasuk kandungan anion, antara lain:

a. Klorida (Cl-)

Ion klorida pada umumnya merupakan anion yang terkadung didalam air formasi yang menyatu

dengan garam NaCl sebagai sumber utamanya sehingga konsentrasi ion Cl dapat dijadikan

sebagai pengukur tingkat keasaman air.

b. Karbonat (CO3-) dan Bikarbonat (HCO3

-)

Ion-ion ini dapat membentuk scale yang mempunyai sifat tidak larut.

c. Sulfat (SO4-)

Ion sulfat dapat membentuk scale setelah bereaksi dengan barium atau kalsium.

2.6. POROSITAS

Porositas merupakan ukuran ruang-ruang kosong dalam suatu batuan. Berdasarkan

definisi, porositas merupakan perbandingan antara volume ruang yang terdapat dalam batuan

yang berupa pori-pori terhadap volume batuan secara keseluruhan, biasanya dinyatakan dalam fraksi.

Besar-kecilnya porositas suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir.

Secara matematis porositas dapat dinyatakan sebagai :

Ø =

=

Dimana :

Vb = volume batuan total (bulk volume)

Vs = volume padatan batuan total (volume grain)

Vp = volume ruang pori-pori batuan

Porositas batuan reservoir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1. Porositas absolut, adalah persen volume pori-pori total terhadap volume batuan total (bulk

volume)

Ø =

2. Porositas efektif, adalah persen volume pori-pori yang saling berhubungan terhadap volume

batuan total (bulk volume).

Ø =

Untuk selanjutnya porositas efektif digunakan dalam perhitungan karena dianggap sebagai fraksi

volume yang produktif.

14

2.7. PERMEABILITAS

Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida

melalui pori-pori batuan tanpa merusak partikel pembentuk batuan. Definisi kuantitatif

permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris

dengan bentuk differensial sebagai berikut:

Dimana:

V = kecepatan aliran ,cm/sec

= viskositas fluida yang mengalir, cP

dP/dL = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm

k = permeabilitas media berpori

Tanda negatif dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam

satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Beberapa

anggapan yang digunakan oleh Darcy dalam persamaan tersebut antara lain; alirannya mantap (steady

state), fluida yang mengalir satu fasa, viskositas fluida yang mengalir konstan, kondisi aliran

isothermal, formasinya homogen dan arah alirannya horizontal, fluidanya incompressible. Dalam

batuan reservoir, permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu; permeabilitas absolut, adalah

permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal

hanya minyak atau gas saja. Permeabilitas efektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida yang

mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak atau ketiga-

tiganya. Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas

absolut.

2.8. KELAKUAN FASA/ PHASE BEHAVIOR SURFAKTAN

Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam

memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak pada proses injeksi surfaktan. Proses

emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada

dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang

diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde

10-2

sampai dengan 10-4

dyne/cm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo, 2002).

Ada beberapa jenis emulsi yang akan terbentuk pada proses uji kelakuan fasa, yaitu:

1. Emulsi fasa bawah, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa air, terjadi kelebihan fasa

minyak (excess oil), dalam kondisi dua fasa, dan berwarna translusen (jernih tembus cahaya).

Gambar emulsi fasa bawah terdapat pada Gambar 7 (a).

2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah, yaitu emulsi yang terdiri dari tiga fasa (air-mikroemulsi-

minyak) dan berwarna translusen. Gambar emulsi fasa tengah terdapat pada Gambar 7 (b).

15

3. Emulsi fasa atas, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa minyak dan terjadi

kelebihan fasa air (excess water), emulsi ini terdiri dari dua fasa. Gambar emulsi fasa atas

terdapat pada Gambar 7 (c ).

4. Makroemulsi, emulsi yang berbentuk kental dan berwarna putih susu (milky). Gambar

makroemulsi terdapat pada Gambar 7 (d).

(a) (b)

(c ) (d)

Gambar 7. Emulsi yang akan terbentuk pada uji kelakuan fase/ phase behavior. (a) Emulsi fasa

bawah. (b) Emulsi fasa tengah (mikroemulsi). (c) Emulsi fasa atas . (d) Makroemulsi

Surfaktan yang digunakan dalam proses chemical flooding biasanya menunjukkan kelarutan

yang baik dalam fase cairan dan kelarutan yang buruk dalam fase minyak pada salinitas garam

rendah. Jadi pada salinitas air formasi rendah, susunan keseluruhan diantara dua fase akan terpecah

menjadi; fase kelebihan minyak dan air diluar fase mikroemulsi. Fase kelebihan minyak terdiri dari

minyak dan fase mikroemulsi terdiri dari air formasi, surfaktan dan minyak yang terlarut ditengah

micelles. Kondisi ini disebut sebagai sistem Winsor’s type I, sistem mikroemulsi fase rendah atau tipe

II (-). Istilah ini disebabkan berdasarkan fakta bahwa sistem terdiri dari dua fase dan kemiringan

terhadap garis batas antara fase minyak dan fase cairan negatif. Perilaku dari sistem fase tipe II (-)

dapat dilihat pada Gambar 8 (a).

Pada salinitas air formasi yang tinggi, kelarutan surfaktan dalam fase cair berkurang secara

drastis karena gaya elektrostatik. Jadi pada salinitas air formasi yang tinggi, susunan keseluruhan

diantara dua fase akan terpecah menjadi minyak diluar fase mikroemulsi dan kelebihan fase air

formasi. Dalam kasus ini, fase air formasi tidak akan berisi surfaktan dan beberapa fase air formasi

akan larut dalam fase mikroemulsi pada tengah micelle. Sistem ini disebut sebagai sistem Winsor’s

tipe II, mikroemulsi fase atas atau sistem tipe II (+) (Gambar 8 (b)).

Diantara dua type salinitas air formasi yang dibahas diatas, terdapat tipe phase behavior yang

ketiga dimana ketiga fase ( fase air formasi, fase mikroemulsi, dan fase minyak) menyatu. Fase

mikroemulsi tengah sering disebut sebagai fase bicontinous yaitu terdapat pada minyak dan air.

Sistem ini dikenal sebagai Winsor’ tipe III, mikroemulsi fase tengah atau sistem tipe III (Gambar 8

(c )).

16

Gambar 8. Gambar fase behavior yang dihasilkan pada saat pencampuran minyak, air garam dan

surfaktan. (a) tipe II (-). (b) tipe II (+). (c ) tipe III (lake, 1989)

Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa

tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Tim lemigas, 2002). Pada kondisi

tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga

proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Terbentuknya mikroemulsi

fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi fasa bawah maupun

fasa atas. Namun demikian, untuk tercapainya kondisi mikroemulsi ini diperlukan beberapa

persyaratan diantaranya adalah faktor konsentrasi surfaktan yang digunakan.