seni ukir , limbuk dan cangik

11
Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315 e-ISSN 2615-3289 55 SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK Tenggelam Dalam Budaya Pop di Jepara Suharto Desain Komunikasi Visual UNISNU Jepara [email protected] Abstrak Perjalanan seni ukir di Jepara merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk diangkat dalam culture study. Kehadiran seni ukir yang lazim juga disebut kriya mengalami perjalanan yang melewati beberapa masa pemerintahan, yaitu mulai dari masa pemerintahan yang dipimpin oleh tokoh wanita Ratu Kalinyamat, R.A. Kartini dan dilanjutkan pada masa orde baru yang melibatkan Ibu negara yaitu Ibu Tin Soeharto. Karya yang diciptakan pada masa lalu merupakan karya kriya yang memiliki falsafah yang kental dengan budaya Nusantara, terutama budaya Jawa yang merupakan budaya adi luhung.Pada ujung perjalanan kriya ukir pada umumnya orang menyebut seni ukir masuk dalam era globalisasi. Adanya era globalisasi mengakibatkan terjadinya krisis moneter pada kisaran tahun 1990-an hingga 2000. Krisis moneter mengakibatkan pemutusan atau pengurangan tenaga kerja dimana-mana, hampir disetiap negara di dunia. Namun berbeda dengan Jepara, Krisis moneter memberikan keberuntungan pada masyarakat Jepara. Menurunnya nilai rupiah terhadap dolar mengakibatkan lonjakan-lonjakan ekspor ukir yang ada di Jepara dengan keuntungan yang lebih tinggi.Kebutuhan untuk mendapatakan keuntungan yang besar dan kebutuhan akan rasa seni saling berbenturan. Tak dapat dielakkan akhirnya terjadi pergulatan hingga akhirnya seni ukir terjerumus dalan gerbang budaya pop. Bukan hanya cukup sampai di sini, perjalanan kemenangan budaya pop dalam berkompetisi ternyata manpu meraih simpati masyarakat Jepara dalam dunia pewayangan.Limbuk dan cangik yang biasanya menjadi media pitutur bagi generasi muda yang ada di Jepara tak mampu membendung rayuan budaya pop. Kata Kunci: Seni Ukir, Limbuk dan Cangik, Budaya Pop

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

55

SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK Tenggelam Dalam Budaya Pop di Jepara

Suharto

Desain Komunikasi Visual UNISNU Jepara

[email protected]

Abstrak

Perjalanan seni ukir di Jepara merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk diangkat dalam culture study. Kehadiran seni ukir yang lazim juga disebut kriya mengalami perjalanan yang melewati beberapa masa pemerintahan, yaitu mulai dari masa pemerintahan yang dipimpin oleh tokoh wanita Ratu Kalinyamat, R.A. Kartini dan dilanjutkan pada masa orde baru yang melibatkan Ibu negara yaitu Ibu Tin Soeharto. Karya yang diciptakan pada masa lalu merupakan karya kriya yang memiliki falsafah yang kental dengan budaya Nusantara, terutama budaya Jawa yang merupakan budaya adi luhung.Pada ujung perjalanan kriya ukir pada umumnya orang menyebut seni ukir masuk dalam era globalisasi. Adanya era globalisasi mengakibatkan terjadinya krisis moneter pada kisaran tahun 1990-an hingga 2000. Krisis moneter mengakibatkan pemutusan atau pengurangan tenaga kerja dimana-mana, hampir disetiap negara di dunia. Namun berbeda dengan Jepara, Krisis moneter memberikan keberuntungan pada masyarakat Jepara. Menurunnya nilai rupiah terhadap dolar mengakibatkan lonjakan-lonjakan ekspor ukir yang ada di Jepara dengan keuntungan yang lebih tinggi.Kebutuhan untuk mendapatakan keuntungan yang besar dan kebutuhan akan rasa seni saling berbenturan. Tak dapat dielakkan akhirnya terjadi pergulatan hingga akhirnya seni ukir terjerumus dalan gerbang budaya pop. Bukan hanya cukup sampai di sini, perjalanan kemenangan budaya pop dalam berkompetisi ternyata manpu meraih simpati masyarakat Jepara dalam dunia pewayangan.Limbuk dan cangik yang biasanya menjadi media pitutur bagi generasi muda yang ada di Jepara tak mampu membendung rayuan budaya pop.

Kata Kunci: Seni Ukir, Limbuk dan Cangik, Budaya Pop

Page 2: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

56

Abstract

Phenomenon of wood sculpture in Jepara is interested, as always, to be analyzed in a cultural study. The existence of wood sculpture, called craft, started from the reign of Kalinyamat queen, R.A Kartini, and continued by Ibu Tin Seharto in new order period. The creation of artworks, in the meantime, had its own philosophy of Nusantara culture, particularly Javanese culture as the highest culture.In the end of journey time of the craft of carving, generally people called wood sculpture entering globalization era. The existence of it had an impact of monetary crisis during 1990s until 2000s. Monetary crisis impact is work termination or reduction of manpower everywhere, almost all countries in the world. However, it was different to Jepara, in which monetary crisis gave profit to Jepara people. Deflation of rupiah to dollar made the product of carvings incredibly increased. The need to get big profit and the need of sense of art were collide. It could not be neglected then eventually wood sculpture fell to pop culture. Furthermore, it was in fact pop culture could compete and gave sympathy to the world of wayang. Limbukdancangik, commonly being story telling media for young generation in Jepara could not stay away from pop culture.

Pendahuluan

“Kota Ukir”merupakan citra yang

telah begitu melekat di Jepara. Ukir

kayu telah menjadi idiom kota kelahiran

Putri bangsa penyandang gelar pejuang

emansipasi wanita yaitu Raden Ajeng

Kartini, bahkan belum ada kota lain

yang layak disebut sepadan dengan

Jepara untuk industri kerajinan mebel

ukir. Namun untuk sampai pada kondisi

seperti ini, Jepara telah mengayunkan

langkah menempuh perjalanan yang

sangat panjang. Sejak jaman kejayaan

Negara-negara Hindu di Jawa Tengah,

Jepara Telah dikenal sebagai pelabuh-

an utara pantai Jawa yang juga

berfungsi sebagai pintu gerbang

komunikasi antara kerajaan Jawa

dengan Cina dan India .

Peranan Raden Ajeng Kartini dalam

pengembangan seni ukir juga sangat

besar. Salah satu perhatian R.A. Kartini

yang cukup menonjol ialah kepedulian-

nya yang besar pada kegiatan para

senimam dan pengrajin, khususnya

kepada para pengrajin yang bekerja

dibidang mebel ukir (Gustami, 2000 : 4).

Raden Ajeng Kartini yang melihat

kehidupan para pengrajin tak juga

beranjak dari kemiskinan, batinnya

terusik, sehingga ia bertekat mengang-

kat derajat para pengrajin. Ia memanggil

beberapa pengrajin dari Belakang

Gunung (kini salah satu padukuhan

Desa mulyoharjo) di bawah pimpinan

Keywords: wood sculpture, Limbuk and Cangik, Pop Culture

Page 3: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

57

Singowiryo, untuk bersama-sama mem-

buat ukiran di belakang kantor

Kabupaten. Oleh Raden Ajeng Kartini,

mereka diminta untuk membuat

berbagai macam jenis ukiran, seperti

peti jahitan, meja keci, pigura, tempat

rokok, tempat perhiasan, dan lain-lain

barang souvenir. Barang-barang ini

kemudian di jual Raden Ajeng Kartini ke

Semarang dan Batavia (sekarang

Jakarta), sehingga akhirnya diketahui

bahwa masyarakat Jepara pandai

mengukir.

Berkat kegigihan Kartini,seni ukir

telah memasuki babak baru yang bukan

hanya sebagai hasil seni yang tak bisa

dijual, tetapi telah menjadi sebuah

industri kerajinan yang dapat dijual

dengan harga yang layak sehingga

dapat meningkatkan kesejahteraan

pengrajin ( Reksonegoro, 1978:27).

Akibat banyaknya pesanan yang

datang, hasil produksi para pengrajin

Jepara bertambah jenisnya, seperti

kursi pengantin, alat panahan angin,

tempat tidur pengantin dan penyekat

ruangan serta berbagai jenis kursi tamu

dan kursi makan.Raden Ajeng Kartini

juga mulai memperkenalkan seni ukir

Jepara keluar negeri.Caranya, Raden

Ajeng Kartini memberikan souvenir

kepada sahabatnya di luar

negeri.Akibatnya ukir terus berkembang

dan pesanan terus berdatangan.

Perkembangan seni ukir mencapai

puncak perkembangan saat memasuki

masa era globalisasi. Proses perkem-

bangan globalisasi pada awalnya

ditandai kemajuan bidang teknologi

informasi dan komunikasi. Bidang

tersebut merupakan penggerak

globalisasi.Dari kemajuan bidang ini

kemudian mempengaruhi berbagai

aspek.Salah satu aspek yang

terpengaruh adalah kebudayaan.Dari

sini timbul pertanyaan, bagaimana

budaya pop mampu memasuki dunia

seni ukir di Jepara?

Kehadir Budaya Pop Telah

Menggeser Budaya Lokal

Jika kita perhatikan perkembangan

seni ukir di Jepara, maka kita temukan

bagaimana Masyarakat Jepara dalam

berkarya. Adakah idiologi yang tercer-

min dalam karyayang diciptakan.Sejauh

mana masyarakat Jepara memahami

dan mempertahankan idiologi dalam

penciptaan karya seni ukir yang juga

merupakan karya kriya. Memang

ideologi bukanlah fantasi perorangan,

namun terjelma dalam cara hidup

kolektif masyarakat. Bagi kebanyakan

orang, ideologi mewakili suatu

kecenderungan umum untuk

menukarkan yang benar dengan apa

yang tidak baik bagi kepentingan

sendiri. Sekalipun anggapan yang

sangat luas tersebar ini tidak harus

berarti bahwa ideologi adalah suatu

Page 4: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

58

konsepsi palsu mengenai kesadaran,

namun anggapan itu mengakui bahwa

hanya ada satu ideologi saja yang dapat

dikatakan benar, dan ada tanda-tanda

bahwa kita dapat menemukan ideologi

mana yang benar dengan bersikap lebih

objektif (Sobur, 2006:213-214). Karya -

karya yang diciptakan betul-betul

merupakan ungkapan rasa yang di

miliki, setiap karya mengandung

makna, baik makna spiritual maupun

makna lain yang semuanya merupakan

karakteristik yang mendasar dari

kriyawan. Kreativitas kriyawan Jepara

yang senantiasa tidak lepas dari budaya

lokal sebagai sumber inspirasi merupa-

kan kekuatan dalam berkarya,

disamping kemampuan skill berupa

ketrampilan mengukir.Berkarya dalam

pandangannya merupakan perkawinan

sakral yang penuh pergulatan ritual

untuk melahirkan karya cipta yang

agung atau luhur.

Pada tahun 1990-an kondisi Jepara

mengalami pergeseran budaya, yang

disebabkan adanya globalisasi yang

mengakibatkan krisis moneter. Adanya

krisis moneter mendorong-orang asing

terutama para investor untuk mencari

peluang bisnis dalam dunia ukir. Hal ini

akan terjadi interaksi antar masyarakat

dunia secara luas, yang akhirnya akan

saling mempengaruhi satu sama lain,

terutama pada kebudayaan daerah.Hal

ini berpengaruh terhadap aspek

kejiwaan.

Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi

penting artinya apabila disadari, bahwa

tingkah laku seseorang sangat

dipengaruhi oleh apa yang ada dalam

alam pikiran orang yang bersangkutan.

Contoh sederhana dengan teknologi

internet, parabola dan TV, orang di

belahan bumi manapun akan dapat

mengakses berita dari belahan dunia

yang lain secara cepat.

Keberadaan globalisasi telah

mampu melahirkan budaya populer

yang dirawat oleh kaum kapitalis demi

meraup keuntungan besar.Keterbukaan

pintu dunia memberi kemudahan pada

siapapun untuk memasukinya, ternasuk

masyarakat Jepara yang tanpa mengerti

atau tidak, disadari atau tidak, telah

memasuki lorong budaya

populer.Melalui jaringan internet

masyarakat Jepara telah membuka

komunikasi dengan berbagai negara

dengan mudah dan cepat. Budaya pop

yang dikembangkan oleh sistem

kapitalis sebagai alat untuk

memasarkan komoditi telah menggeser

budaya Indonesia termasuk Jepara

hingga menjadikan masyarakat

konsumtif dan hedonis. Bahkan yang

menyedihkan, media massa yang

semestinya berperan sebagai filter

kebudayaan malah menjadi agen

penyebaran yang menelan banyak

Page 5: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

59

korban. Diantaranya kriyawan, di mana

karya-karya yang dihasilnya cuma

bersifat temporer tanpa landasan filosofi

seperti halnya seni adiluhung atau

klasik yang abadi.

Apresiasi publik pada seni

mengalami penyeragaman lewat media

televisi dan sejenisnya.Orientasi budaya

leluhur kita sebenarnya untuk menjaga

harkat dan martabat manusia sesuai

dengan fitrahnya.Namun karena

perkembangannya semakin tersisih oleh

budaya pop yang merangsek dari waktu

ke waktu, pola pikir masyarakat menjadi

berubah menjadi praktis dan pragmatis.

Orientasi seniman dalam mencipta

kekaryaan pun bergeser.Idiologi yang

dimiliki telah luntur. Cavallaro

(2005:136-137) berpendapat bahwa

idiologi adalah: Sekumpulan ide, cita-

cita, nilai atau kepercayaan; Filsafat,

Agama, Nilai-nilai palsu yang digunakan

untuk mengendalikan seseorang,

seperangkat kebiasaan atau ritual,

suatu media tempat sebuah budaya

membentuk dunianya, ide-ide yang

diunggulkan oleh kelas sosial, gender

atau kelompok ras tertentu, nilai-nilai

yang melanggengkan struktur

kekuasaan dominan, suatu proses di

mana sebuah budaya memproduksi

makna dan peran-peran bagi subjek-

subjeknya, gabungan antara budaya

dan bahasa, perwujudan konstruksi

budaya sebagai kenyataan yang

sesungguhnya.

Jika sebelumnya kriyawan

melakukan kajian yang cermat terhadap

simbol-simbol yang diselaraskan

dengan persepsi publik terhadap kultur

yang berlaku di lingkungannya,

sekarang hal itu terabaikan. Kini yang

dijadikan pertimbangan seniman dalam

memproses karya hanyalah

pertimbangan praktis, mudah (simple)

dan sesuai selera pasar (marketable).

Karya ukir yang sekarang

berkembang menghiasi kota Jepara

maupun mancanegara diproduksi

secara massa di setiap perusahaan,

baik perusahaan yang dimiliki oleh

masyarakat lokal maupun orang asing

dari berbagai negara yang ada di

Jepara. Melalui teknologi industri karya

kriya diproduksi secara berulang-ulang

dengan dalam jumlah yang cukup

banyak, bisa mencapai ratusan bahkan

ribuan.

Kalau pada masa lalu seni ukir di

persembahkan untuk para raja dan

kehadirannya juga dari dalam kerajaan

yaitu pada masa Ratu Kalinyamat,

maka sekarang hampir semua

masyarakat mampu membeli dan

memilikinya, pada ujungnya mereka

terhipnotis untuk membelinya.

Pada jaman corak produksi

kapitalisme sekaranglah, seni ukir telah

digunakan oleh kelas berkuasa sebagai

Page 6: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

60

alat untuk mendominasi budaya dan

ideologi masyarakat.Seniman atau

kriyawan secara tidak sadar telah

dipaksa mengabdi pada kekuasaan dan

penindasan. Aspek-aspek pembentuk

kebudayaan seperti kesenian, adat-

istiadat,kebiasaan dan sebagainya akan

memiliki patron, menyesuaikan dengan

pihak yang menguasai budaya global di

dunia.

Seni ukir berubah menjadi kerajinan

yang disajikan dalam ranah modern

sebagai identitas baru.Menurut Burton

(2008:153) bahwa identitas manusia

dikonstruksi melalui jejaring makna dan

hubungan sosial yang ada di sekitar,

baik dari diri sendiri maupun dengan

budaya dominan. Dengan demikian,

seni ukir menjadi identitas baru dengan

adanya penandaan terhadap tata cara

struktur sosial yang telah memosisikan-

nya.

Perubahan seni ukir menjadi

budaya pop berdampak pada pola hidup

mayarakat, bagi produsen dan

karyawan, secara ekonomis mengalami

peningkatan yang cukup tinggi,

sehingga mampu meningkatkan

kesejahteraan mastarakat.Ini merupa-

kan dampak positif yang dirasakan

masyarakat Jepara. Namun tanpa

disadari, dampak negatif juga hadir

secara beriringan pada sisi lain. Dalam

dunia hiburan misalnya, Wayang yang

merupakan salah satu artefak budaya

Jawa yang adiluhung, dalam

pementasanya tak mampu memper-

tahankan keluhurannya. Dengan kata

lain larut menjadi budaya pop.

Bagaimana ini terjadi?sebuah

pertanyaan yang perlu kita renungkan.

Ideologi dalam budaya Jawa adalah

paham spiritual yang amat wingit.Hanya

orang yang benar-benar respek saja

biasanya yang mampu menyelami

ideologi asli orang Jawa lewat budaya

pop. Ideologi dalam layar,wayang kulit

yang berbau budaya pop jelas

membutuhkan pemahaman yang

komprehensif. Oleh karena di dalamnya

memuat aneka ragam muatan

budaya.Aneka kehidupan yang bersifat

ideologis kejawen, biasanya masuk ke

dalam drama tersebut.Karena, para

pengarang atau pujangga sengaja atau

tidak memang mernbungkus pesan

yang terselubung melalui estetika

khusus. Budaya pop disadari atau tidak

telah masuk dalam wayang tersebut

dan sering dianggap sekedar bingkisan

berbau latah. Bahkan kalau meminjam

istilah Strinati (2003:9) karya itu hanya

placebo (pemanis bibir) moralitas

masyarakat.

Wayang Kulit sebagai Budaya Pop

Kehadiran budaya clasik yang

dipersandingkan dengan budaya pop

memang sering memunculkan tawar-

menawar nilai. Keduanya saling isi-

mengisi dan memoles suasana. Hal ini

Page 7: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH

akan nampak ketika kita menikmati

pertunjukan wayang kulit, di sana ada

tawaran nilai budaya klasik yang

seakan-akan sulit berubah, sementara

budaya pop harus masuk di dalamnya.

Tarik-menarik antara budaya Jawa

klasik dan pop akan selalu ada

manakala penikmat wayang kulit juga

berbeda.

Merebaknya media massa,

merupakan arena bermain budaya pop.

Hidup subur budaya pop ditopang oleh

media massa yang canggih dan

gencarnya arus komunikaksi. Situasi ini

telah memoles komersialisasi seni dan

budaya. Akibatnya bukan tidak mungkin

wayang kulit sebagai cipta sastra dan

seni harus terbawa arus tersebut

menuju pada suatu titik nol yang belum

jelas. Yang lebih rumit, gerakan budaya

pop dalam wayang tersebut mau tida

mau harus perang melawan ideologi

kejawen yang luhur.

Akibat dari benturan budaya lama

(klasik) dan baru itu, budaya pop

Gambar 1. Hasil produk ukir masa

budaya pop

e

nampak ketika kita menikmati

pertunjukan wayang kulit, di sana ada

tawaran nilai budaya klasik yang

akan sulit berubah, sementara

budaya pop harus masuk di dalamnya.

menarik antara budaya Jawa

klasik dan pop akan selalu ada

wayang kulit juga

Merebaknya media massa,

merupakan arena bermain budaya pop.

Hidup subur budaya pop ditopang oleh

media massa yang canggih dan

gencarnya arus komunikaksi. Situasi ini

h memoles komersialisasi seni dan

budaya. Akibatnya bukan tidak mungkin

wayang kulit sebagai cipta sastra dan

seni harus terbawa arus tersebut

menuju pada suatu titik nol yang belum

jelas. Yang lebih rumit, gerakan budaya

pop dalam wayang tersebut mau tidak

mau harus perang melawan ideologi

Akibat dari benturan budaya lama

(klasik) dan baru itu, budaya pop

muncul adanya subordinasi budaya

yang tak jelas

parameternya.Subordinasi bukan

sekedar persoalan pemaksaan

(coercion) melainkan juga

konsensus.Budaya pop, yang telah

banyak menyita sastra, estetika, dan

nilai luhur dipandang tetap berharga.

Perhatian cultural studies, dikatakan

sebagai landasan tercapai atau tidaknya

konsensus.Sebagai sebuah jalan untuk

menjelaskan kesalingterkaita

kekuasaan dan tujuan, kedua konsep

yang saling terkait tersebut terus

menerus digunakan dalam teks

awal cultural studies, meskipun

keduanya tidak begitu berakhir

yakni ideologi dan hegemoni.

Pada masyarakat barat, menurut

Williams (Strinati, 2003:7) memang

masih sering mengambil jarak antara

budaya populer dan budaya "tinggi"

atau "pengetahuan tinggi".Pendapat ini

juga sering terjadi dalam masyarakat

Jawa, ketika memahami fenomena

wayang kulit yang ada di Jepara.Kaum

tua biasanya menghendaki wayang kulit

tampil "bersih" sebagai perisai budaya

luhur, sementara kaum muda telah

berpikir konsumtif budaya.Sedangkan

anak muda sebaliknya, menginginkan

tampilan seni pop yang modernis.Kaum

tua seperti menghendaki wayang kulit

tetap sebagai agent of art, anak muda

ke arah agent of change.Bagi anak

Hasil produk ukir masa

p-ISSN2615-4315 e-ISSN 2615-3289

61

muncul adanya subordinasi budaya

yang tak jelas

parameternya.Subordinasi bukan

sekedar persoalan pemaksaan

melainkan juga soal

konsensus.Budaya pop, yang telah

banyak menyita sastra, estetika, dan

nilai luhur dipandang tetap berharga.

erhatian cultural studies, dikatakan

sebagai landasan tercapai atau tidaknya

konsensus.Sebagai sebuah jalan untuk

menjelaskan kesalingterkaitan antara

kekuasaan dan tujuan, kedua konsep

yang saling terkait tersebut terus-

menerus digunakan dalam teks-teks

awal cultural studies, meskipun

keduanya tidak begitu berakhir-akhir ini,

yakni ideologi dan hegemoni.

Pada masyarakat barat, menurut

(Strinati, 2003:7) memang

masih sering mengambil jarak antara

budaya populer dan budaya "tinggi"

atau "pengetahuan tinggi".Pendapat ini

juga sering terjadi dalam masyarakat

Jawa, ketika memahami fenomena

wayang kulit yang ada di Jepara.Kaum

nghendaki wayang kulit

tampil "bersih" sebagai perisai budaya

luhur, sementara kaum muda telah

berpikir konsumtif budaya.Sedangkan

anak muda sebaliknya, menginginkan

tampilan seni pop yang modernis.Kaum

tua seperti menghendaki wayang kulit

ent of art, anak muda

ke arah agent of change.Bagi anak

Page 8: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

62

muda yang penting wayang itu enak

ditonton, menyenangkan, dan

nikmat.Oleh karena itu konsep

komersial sering berbaur dalam budaya

pop.

Dalam pengertian itu, budaya pop

dalam wayang kulit memang memiliki

berbagai arah dan sasaran. Arah dan

sasaran itu akan berkombinasi dengan

kepentingan, antara lain: (a) banyak

disukai orang, (b) jenis kerja rendahan,

(c) karya yang dilakukan untuk

menyenangkan orang, (d) budaya yang

memang dibuat oleh orang untuk dirinya

sendiri. Jadi disetujui atau tidak budaya

pop wayang kulit memang bergerak dari

aspek pragmatik.Asalkan pertunjukan

itu dapat dinikmati, meskipun jauh dari

rasa Kehadiran budaya pop pada

pementasan wayang di Jepara

dipengaruhi oleh adanya peningkatan

ekonomi kaum muda yang ada di

masyarakat. Sehingga mereka mampu

menghadirkan wayang pada acara

tertentu, seperti pernikahan , sunatan

maupun acara peresmian perusahaan

yang dimiliki. Kehadiran wayang dalam

acara ini digunakan sebagai alat untuk

membangun kemitraan antar

pengusaha atau relasi dan juga

karyawan yang rata rata kaum

muda.Sebagai masyarakat pesisir,

musik dangdut merupakan musik yang

begitu populer di telinga

mereka.Disinilah budaya pop merasuk

pada pementasan wayang kulit di

Jepara.Melalui tokoh limbuk dan cangik

musik dangdut disuguhkan bagi

penggemar-nya.

Pengusaha, ketika cabang

komunikasi telah meretas sekat budaya

ideologi itu juga mencair.Definisi

ideologi kejawen memang amat

luas.Seluruh hal dapat menjadi ideologi,

manakala berkaitan dengan gagasan

sentral masyarakat Jawa. Untuk

memperjelas pandangan ideologi, ada

baiknya menyimak pernyataan

Cavallaro (2005:136-137) bahwa ide

adalah: sekumpulan ide, cita-cita, nilai

atau kepercayaan; Filsafat, Agama,

Nilai-nilai palsu yang digunakan untuk

mengendalikan seseorang, seperangkat

kebiasaan atau ritual, suatu media

tempat sebuah budaya membentuk

dunianya, ide-ide yang diunggulkan oleh

kelas sosial, gender atau kelompok ras

tertentu, nilai-nilai yang melanggengkan

struktur kekuasaan dominan, suatu

proses di mana sebuah budaya

memproduksi makna dan peran-peran

bagi subjek-subjeknya, gabungan

antara budaya dan bahasa, perwujudan

konstruksi budaya sebagai kenyataan

yang sesungguhnya.

Belajar dari pendapat demikian,

apabila mencermati ideologi kejawen

dalam pertunjukan wayang kulit menjadi

semakin terang.Ideologi dalam wayang

kulit yang telah dipoles dengan budaya

Page 9: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

63

pop pun dapat dipahami dalam

kaitannya dengan nilai dan konstruksi

budaya Jawa yang melingkupinya.

Wayang kulit adalah bangunan

estetis klasik.Oleh karena itu, pada

waktu dikemas dengan budaya pop,

estetika sering berbaur.Pembauran

estetika klasik dan pop itu banyak

berkaitan dengan tuntutan

pengguna.Yang lebih rumit lagi,

menurut Eagleton (Callavaro, 2004:138)

estetika berulang-ulang dibelenggu oleh

keharusan-keharusan yang bersifat

ideologis. Estetika telah digunakan

untuk menunjukkan bahwa seseorang

dapat diajak bersama-sama menuju

sebuah keluarga bahagia sebuah dunia

berbagi perasaan yang harmonis untuk

menghapuskan kenyataan sebenarnya

dari pasar (marketplace) dan ketiadaan

'konsensus ideologi' dalam 'hubungan-

hubungan sosial yang sungguh-

sungguh'.

Berdasarkan pendapat tersebut,

berarti ideologi kejawen dalam wayang

kulit akan berdampingan dengan

estetika. Sebaliknya, estetika wayang

kulit juga mempengaruhi hadirnya

ideologi. Dengan kata lain, dorongan-

dorongan ide seniman kreatif wayang

kulit dapat saja dipengaruhi oleh

penonton. Penonton akan memiliki

hegemoni penuh yang dapat mengubah

ideologi. Ideologi kejawen yang luhur,

suatu saat dapat bergeser atas desakan

pasar. Maka, tidak mengherankan kalau

ada wayang kulit yang semata-mata

menuruti pasar, tetapi tetap mempunyai

ideotogi tertentu.Sebaliknya ada pula

wayang kulit yang terdesak oleh

hegemoni penonton sehingga

kehilangan ideologi murni.

Pergelaran wavang kulit adalah

seni yang kompleks. Seni apa saja

dapat masuk di dalamnya, seperti seni

pop, drama, krawitan, lawak, dan lain-

lain. Munculnya aneka ragam seni itu

pada awalnya memang masih

sederhana, belum melibatkan

kolaborasi yang luas.Namun, akibat

tuntutan jaman, berbagai hal sering

masuk dalam pertunjukan wayang

kulit.Anehnya, semakin banyak seni

yang diadopsi dalam wayang, oleh

penonton dianggap sebagai pertunjukan

yang unik.

Hal demikian selalu membuktikan

bahwa wayang kulit selalu berubah-

ubah.Pertunjukan wayang kulit seakan-

akan menerima hegemoni (meminjam

istilah Gramci) penonton.Meskipun

penonton tidak secara terang-terangan

meminta kepada ki dalang harus

membuat sanggit dan gagasan

pertunjukan yang berbeda, hegemoni itu

tetap ada.Hegemoni wayang seperti

dikuasai oleh publik. Publik selalu

dibayangkan sebagai massa yang

menginginkan perubahan, akibatnya

percampuran antara ideologi klasik dan

Page 10: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

64

ideologi kontemporer masuk di

dalamnya.

Kesimpulan

Adanya globalisasi mengakibatkan

terjadinya krisis moneter di berbabagi

belahan dunia.Kehadiran era globalisasi

ditantai adanya perkem-bangan

teknologi terutama teknologi informasi

dam komunikasi.

Budaya populer turut hadir

mewarnai dunia melalui tangan kapitalis

yang menjadikan media masa sebagai

agennya.Kondisi yang demikian telah

menggilas Jepara sebagai kota

ukir.Jepara yang dulu memiliki seni ukir

yang merupakan artefak budaya yang

adi luhung, kini telah larut menjadi

budaya populer yang telah mengglobal

ke mancanegara.

Akibat produksi yang meningkat

atas permintaan konsumen mampu

meningkatkan perekonomian

Jepara.Hal ini berdampak pada

perubahan sosial budaya

masyarakatnya.Hadirnya budaya pop

yang ada pada ukiran Jepara pada

akhirnya merambah pada dunia

pewayangan.

Limbuk dan cangik dalam

pementasan juga tenggelam dalam

budaya pop yang terlepas dari nilai-nilai

luhur yang harus di sampaikan pada

pakemnya, sebagai pitutur bagi kaum

muda.

Sampai kapankah budaya pop

bertahan di Jepara???Kita kembalikan

pada masyarakat yang mengkonsomsi-

nya.

Daftar Pustaka

Cavallaro, Dani. 2004, Critical and

Cultural Theory, Yogyakarta:

Niagara.

Graeme Burton, 2008, Pengantar untuk

Memahami Media dan Budaya

Populer, Yogyakarta: Jalasutra

Gustami Sp. 1991. “Seni Kriya

Indonesia Dilema Pembinaan

dan Pengembangan", dalam

SENI: Jurnal Pengetahuan dan

Pencitaan Seni. 1/03 - Oktober

1991, B.P ISI Yogyakarta.

Reksonegoro, Kardinah, 1978. Tiga

Saudara(Kartini, Kardinah,

Roekmini).Pemda Dati II

Rembang.

Strinati, Domisic.1995. An Introduction

to theories of Popular Culture.

London dan New York:

Koutledge.

Sobur, Alex. 2006. Semiotika

Komunikasi. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Page 11: SENI UKIR , LIMBUK DAN CANGIK

Jurnal SULUH p-ISSN2615-4315

e-ISSN 2615-3289

65