dengan bidik misi, aku bisa ukir prestasi
TRANSCRIPT
DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI
“Siiaaaaap grak! Ambil posisi push up!”
“Siap, ambil posisi push up.” Terdengar suara lantang
pemimpin barisan memberikan komado kepada pasukannya.
Namaku Chaerul Amin, yang berarti seseorang yang baik
untuk dipercaya. Aku terlahir di kota di mana sosok Pang Lima
Besar Indonesia−Jenderal Soedirman−dilahirkan. Kau tau di
mana itu? Yap, tepat sekali, di kota Purbalingga, tepatnya pada
17 Desember 1993. Aku terlahir dari cinta kasih sepasang
buruh tani di desa Kebutuh. Diriku bukanlah anak semata
wayang. Aku merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.
Kakakku−yang kini sudah membangun rumah
tangga−hanyalah seseorang yang berijazah MTs, sedangkan
adikku kini sedang menimba ilmu di bangku kelas X MA.
Tertegun diriku, sekilas menatap wajah sosok yang telah
membawaku tuk bisa menghirup udara di bumi ini. Wajah yang
berpeluh, wajah yang menyimpan beribu pemikiran yang
tersimpan dalam otaknya, wajah yang hingga saat ini tetap tak
henti membanting tulang membantu ayahku. Namun, di balik
semua itu, tersimpan derita yang tersembunyi dalam semburat
senyumnya. Ibuku sering mengalami sakit yang tidak dirasa.
Diagnosis dokter menyatakan bahwa ibuku mengalami
penyempitan syaraf selepas melahirkan diriku.
Beliaulah sosok yang berati bagiku. Menempatkanku
pada kasur rahim di kala diriku masih dalam kandungan. Setia
membawaku kemanapun beliau pergi selama sembilan bulan
lamanya. Rintihannya, bertaruh dengan nyawa tatkala beliau
berjuang tuk memperkenalkan diriku pada indahnya dunia.
Sampai pada akhirnya, selain merawat, membesarkan, dan
mendidikku, beliau pun harus berjuang melawan kejamnya
penyakit yang menyerangnya. Perjuangannya untukku, begitu
luar biasa bukan?
“Latihan yang keras, tekad yang kuat dapat menjadikan
kita berhasil. Tak perlu memandang siapa kita, tak usah melihat
darimana kita berasal, dan tak perlu menengok latar belakang
kita. Keseluruhannya menjadi dorongan otak tuk berfikir dan
sikap tuk bertindak, akan jadi seperti apakah kita nantinya?”
sebuah penggalan kata-kata yang kuperoleh dari perjalanan
hidupku.
Masa kecilku kuanggap begitu suram. Gelap tanpa
penerangan. Merintih karena tertindih. Sekolah dasar biasanya
dilalui dalam kurun waktu enam tahun. Berbeda dengan diriku
yang harus menempuh pendidikan di sekolah dasar selama
delapan tahun. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena diriku
pernah tinggal kelas pada saat kelas tiga dan kelas empat.
Karena saat itu sistem imunku tak bekerja melawan virus
kemalasan, yang pada akhirnya menjatuhkanku pada jurang
keburukan, bukan hanya bagiku tapi juga bagi orang tuaku.
Kemalasanku muncul bukanlah tanpa alasan. Rasa malas
itu sudah menyatu dalam darahku saat itu dikarenakan aku
menyibukkan diriku dengan ngarit−istilah Jawa mencari
pakan/rumput untuk makan ternak−setelah pulang sekolah.
Kebiasaan ngarit itu sudah mengakar dalam diriku. Selama tiga
jam kugunakan waktuku untuk memenuhi satu karung
rumput. Tapi di kala rahmat-Nya turun, hasil merumput
tentunya tak sebanyak di saat matahari tersenyum indah.
Semua itu demi seekor kambing, kusebut sebagai hewan
kesayangan, yang kudapatkan di kala diriku usai sunatan, di
saat diriku duduk di bangku kelas IV SD. Kebiasaan tersebut
tetap berlanjut, kutekuni hingga tak terasa diriku sudah
mengenyam pendidikan kelas X MA.
Delapan tahun di sekolah dasar usai sudah. Aku
melanjutkan studiku di MTs NU 09 Kutawis. Bising suara orang
mengatakan bahwa orang-orang yang sekolah di MTs NU 09
Kutawis merupakan siswa buangan. Buangan karena tidak
diterima di sekolah tujuan, buangan karena kalah bersaing
dengan mereka yang lebih cerdas, buangan karena tersisihkan.
Terdengar menjijikkan dan menyakitkan bukan? Laksana
kisah katak tuli. Aku pun tak menghiraukan kicauan itu. Bagiku,
sekolah di manapun tiadalah perbedaan, yang terpenting
adalah kemauan untuk berproses. Seperti buku yang pernah
kubaca, “jadilah berlian dalam selokan”, tetap menjadi sosok
yang begitu bernilai tinggi meskipun diriku berada dalam
tempat yang tak layak.
Bak angin yang kilat berhembus, begitu cepat. Tak terasa
kini aku berada di penghujung studiku di MTs. Saat-saat yang
menentukan pun sudah kulalui. Ya, ujian kelulusan. Hal yang
menjadi momok ketakutan siswa. Ucap puji suykur
alhamdulillah, aku dapat melaluinya dengan baik.
Termenung diriku di malam yang seharusnya aku
menyibukkan diri dengan buku-buku. Di malam saat ujian, aku
tidak melepas lelahku di ranjang rumahku. Aku menghindar,
meratapi diri yang tak berdaya. Mata pun tak mampu menahan
bendungan air mata. Rasa kesal begitu mudahnya tumbuh
dalam hatiku. Rasa kesal itu kian memuncak. Setan saat itu
berfoya-foya atas keberhasilannya menghasut diriku dalam
jebakannya. Kesal yang turut ditemani rasa kecewa mengamuk
dalam diri yang lemah ini. Ya, karena perlakuan ayahku yang
enggan menggantikan posisiku untuk merumput saat ujian.
Dalam fikirku, bukanlah sikap yang bijak dari seorang ayah.
Kuteguhkan hatiku pada agama-Mu. Kuterima semua
perlakuan yang dilemparkan pada diriku. Karena hal tersebut
merupakan secuil kisah yang menggembleng mental diriku.
Proses yang panjang dan menantang kini membawaku pada
perubahan yang baik. Diriku yang dahulu dirundung
kemalasan, kini dapat memperoleh nilai baik−versi diriku
sendiri−pada mata pelajaran Matematika dengan nilai 7,00
dan IPA dengan nilai 8,75.
Usahaku melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya
bukanlah suatu perjuangan yang mudah. Tak semudah
membalikan telapak tangan. Niatku yang ingin terus menerus
menuntut ilmu kandas oleh ultimatum yang keluar dari mulut
ayahku. Ayahku bersikukuh tak memberikan ijin padaku untuk
tetap berjuang di kancah pendidikan. Sampai pada akhirnya,
amarahku tak terbendung hingga menjebolkan kesabaran
seorang anak buruh tani ini. Ketika itu, aku turut membantu
ayahku memanen padi milik Lilikku−sebutan Paman dalam
bahasa Jawa. Aku yang kecewa tehadap larangan ayahku
memberontak di bawah sengatan matahari. Dengan tegas aku
melontarkan kata-kata,
“Aku tak mau lagi ke ladang!”
“Tak mau pula diriku bekerja di tempat yang panas. Ayah,
aku akan tetap melanjutkan sekolahku!”
Mungkin saat itu ayahku tetap menutup telinganya, enggan
mendengarkan suara hati anaknya yang menggebu ingin
sekolah. Entah apa yang sudah merasuki fikiran ayahku, hingga
beliau bertindak layaknya batu. Kaku.
Aku pun juga tak turun tangan begitu saja. Aku tak lemah
oleh larangan, tak kalah oleh tantangan, dan tak menyerah
melawan rintangan. Tanpa sepengetahuan ayahku, aku tetap
mengikuti ujian masuk sekolah unggulan di MA Minhajut
Tholabah. Sejumlah tiga puluh siswa lah yang akan diusung
menuju kelas unggulan.
Sangat disayangkan, berita kurang mengenakkan pun
sampai juga di gendang telingaku. Aku gagal lolos ujian.
Perjuanganku menakhlukkan soal menempatkanku pada
ranking ke-32. Tekadku yang kini telah membaja,
membengkok. Bak dihantam palu raksasa yang
membinasakan. Aku terpukul dengan berita duka kala itu.
Kuasa Sang Ilahi tiada yang dapat menyandingi. Tak
kusangka, keajaiban Allah jatuh padaku saat itu. Beberapa
nama yang telah masuk dalam kelas unggulan mengundurkan
diri karena orang tua mereka kontra dengan kontrak
perjanjian dari pihak MA. Alhamdulillah, ucapku. Aku diterima
di kelas unggulan MA Minhajut Thalabah.
Ayahku, sosok yang bersikukuh melarangku bersekolah,
tersentak kaget mendengar nama beliau dipanggil di MTs.
Sebuah panggilan tuk menerima kontrak perjanjian dari MA,
dengan membubuhkan tanda tangan orang tuaku di atas
selembar kertas bermaterai. Tak kusangka, ayahku tetap
menolak. Penolakan tersebut akhirnya mendorongku tuk tetap
melangkah maju, mengambil tindakan sebagai pemberontak.
Pemberontakan atas kekejaman larangan dari sosok kepala
keluarga. Aku tetap melangkahkan kakiku untuk daftar ulang
di MA, yang pada akhirnya pemberontakan itulah yang mampu
meluluhkan hati beku ayahku. Laksana es batu, aku bertindak
sebagai matahari yang dengan tega menyengat es batu dengan
pancaran sinarnya, hingga mencairkan es batu yang beku. Kala
itulah hatiku membumbung tinggi, bahagia yang tiada tara.
Sekolah unggulan MA Minhajut Thalabah. Terdengar
fantastik bukan? Yap, fantastik bagi masyarakat desa Kebutuh.
Perlu kau ketahui, sekolahku merupakan sekolah yang berada
di pelosok desa pinggiran, yang sepi akan keramaian, pun jauh
pula jangkauannya. Sekitar ±5 KM jarak yang membentang
antara rumah kediamanku dengan sekolahku. Kutempuh
dengan mengayuh sepeda. Di kala pagi, kesejukan embun
memberikan semangat seiring upayaku mengayuh sepeda ke
sekolah. Matahari pun tak mau kalah. Di kala siang, di saat aku
pulang sekolah, matahari memberikan kehangatannya melalui
sinarnya yang menyengat. Alhasil, kehangatannya−sebagai
bukti penyemangat kepadaku−mampu merubah warna kulit
manusia, terutama diriku. Sungguh, sebuah pancaran
kepedulian matahari kepadaku.
Tak kalah miris, uang sakuku hanya sebesar Rp 5.000,00
per minggunya jikalau orang tuaku memiliki rejeki lebih.
Terkadang pula, aku sering menahan uang di kantongku.
Pasalnya, saat itu jok sepadaku membutuhkan perhatian lebih
dariku. Tempat duduk sepeda yang dalam bahasa Jawa disebut
sedel itu, tampak tak layak pakai. Uang yang kutahan itulah
yang berjasa. Berjasa karena merelakan dirinya untuk diganti
dengan jok sepeda yang baru. Merelakan dirinya demi
kenyamanan diriku berjuang menuntut ilmu.
Perjalanan yang kulalui untuk menuntut ilmu bukanlah
suatu perjalanan yang mudah. Banyak lika-liku jalan yang
harus kutempuh. Jalanan yang menanjak, jalanan yang penuh
aral terus menghadang langkahku. Di masa diriku kelas X MA,
suatu kisah tragis yang mengancam pendidikanku tejadi.
Orang tuaku yang hanya seorang buruh tani, tak mampu
melunasi uang gedung sekolah yang bernilai Rp 750.000,00.
Aku terancam putus sekolah. Sampai pada saat itu tiba. Saat di
mana namaku sudah tercantum dalam data siswa yang akan
dipanggil di sekolah untuk di drop out. Diriku dirundung
gelisah. Semangatku yang dulu menjulang tinggi, kini seakan-
akan terpendam oleh ancaman putus sekolah. Pun aku jarang
berceloteh dan bersenda gurau dengan ayahku. Tak ada orang
yang mau menghapus pilu deritaku dan tak seorang pun
mampu menegakkan semangatku kembali, terkecuali sosok
pahlawanku saat itu.
Ya, beliaulah pa’Deku. Sosok yang perduli kepadaku.
Kehendak beliau sangat berati untukku. Tanpa sepengetahuan
ayahku, beliau membiayai uang gedung sekolahku. Bahagiaku
tak bisa terwakilkan oleh kata-kata yang terucap dan tak
terlukiskan oleh gambaran tiga dimensi. Dari situlah
harapanku yang layu, tumbuh segar kembali. Semangatku yang
terkekang, kini bergelora kembali.
Duniaku bersekolah tidak hanya diwarnai oleh
kesibukanku mengulas buku pelajaran. Aku juga melibatkan
diriku dengan berbagai aktivitas non-akademik, di antaranya
pramuka−yang sangat kugemari, voli, dan paskibraka.
Keaktifanku di bidang non-akademik tak berpengaruh kala itu.
Tetap berjalan seimbang, beriringan mesra antara akademik
dan non-akademik tanpa ada yang dinomorduakan.
Ku berproses melalui tantangan-tantangan dan
organisasi yang kuikuti. Keterlibatanku dalam bidang non-
akademik membawaku dalam sederetan ajang perlombaan.
Kelas X, aku mengikuti seleksi atletik lari jarak jauh 10 Km,
namun sangat disayangkan aku hanya menempati posisi ke-3,
Alhamdulillah guru olahragaku sekaligus pemilik jabatan
tertinggi di madrasah sebagai kepala madrasah kala itu. Beliau
menawarkan kepadaku untuk bergabung dalam tim voli dan
akhirnya aku ditunjuk untuk mengkuti lomba bola voli
mewakili kabupaten menuju tingkat Provinsi. Sebuah
kebanggan yang tiada tara. Kemampuan yang kumiliki, yang
kuasah sedemikian rupa, diakui hingga di kancah kabupaten.
Merasa bangga pada diriku, telah dipercaya oleh untuk
menjadi delegasi yang membawa nama harum kabupaten.
Sangat disayangkan, usaha timku pupus. Timku gugur pada
babak penyisihan. Laksana pohon jati yang mengugurkan
daunnya di musim kemarau, hatiku gugur oleh kekalahanku
dalam perlombaan. Namun, hatiku tetap bersabar
menjelaskan, masih banyak peluang dan kesempatan yang
menanti di depan sana.
Tahun 2011 menjadi tahun yang penuh kebanggaan yang
bercampur kisah haru pilu. Kala itu, aku dinobatkan menjadi
siswa pertama kali yang masuk dalam Tim Pakibraka
Kabupaten. Aku memberitahu perihal ini pada ayahku. Diriku
berharap, jiwa ayahku yang keras layaknya batu, akan segera
lunak oleh kabar gembira ini. Aku memberitahu ayahku untuk
datang pada acara pengukuhanku sebagai Paskibraka.
Berharap berita ini membuat rasa bangga dan bahagia
membumbung tinggi dalam dada ayahku.
Ketika acara pengukuhan dimulai, mataku menyelinap
memandang sekeliling. Tak kutemukan wajah ayahku berada
di tempat acara pengukuhanku. Hatiku merasa kecewa atas
ketidakhadiran ayahku saat itu. Pikiran kotorku mulai
berbicara, “apa ayahku malu memiliki buah hati sepertiku?
Apakah ayahku malu karena profesinya yang hanya sebagai
buruh tani?” Batinku mulai berkecamuk, amarahku
memuncak. Dan rasa kecewa itu kian menyesakkan dada
ketika pemasangan sabuk pengukuhan. Sosok yang kuharap
memasangkan sabuk pengukuhan saat itu tidak hadir untuk
memasangkan sabuk pada wajah yang penuh harap ini.
Upacara pengukuhan pun usai. Pandanganku terus
berlari mengelilingi seluruh sudut ruangan, mencari-cari di
mana keberadaan ayahku. Tangkapan mata pun menemukan
sosok yang kuharapkan kehadirannya. Kudatangi beliau
dengan hati yang terluka karena sayatan rasa kekecewaan
yang teramat mendalam. Namun, seketika luka itu terobati
oleh sikap dan pengakuan pilu ayahku. Tatapan ayahku bak
orang yang sedang mengarap belas kasihan orang lain. Tak
kusangka, ayahku telah berada di lokasi pengukuhan setalah
dzuhur, sedangkan acara itu dimulai pukul 16.00 WIB.
Ketika ayahku melihatku berada di pendopo, beliau
berlari hendak menemui Sang Kebangaannya. Namun, langkah
ayahku dihadang oleh satpam yang berjaga. Hanya karena
ayahku mengenakan sendal jepit, kakinya tak diperbolehkan
menginjakkan kaki di tempat pengukuhan tersebut.
Pengakuan kesalahan terucap tulus dari bibir ayahku. Hatiku
tertusuk oleh tajamnya pengakuan kasih sayang ayahku
padaku, menikam rasa kecewa yang membalut hatiku. Rasa
kecewa yang menguasai diriku kini berganti haru pilu. Merasa
bersalah karena tak memberitahu ayahku untuk tidak
menggunakan sandal jepit di acara pengukuhan. Tubuh yang
memberikan pengakuan padaku, berpamit pulang.
Tak menungguku hingga selesai, aku pun membiarkan
beliau pulang seorang diri. Diri yang tak mencegah kepergian
ayah ke rumah ini, tak kuasa menahan jebolnya bendungan air
mata, tatkala sesi foto bersama orang tua. Hanya seorang diri,
ya dirikulah yang tak bisa foto bersama ayahku. Batinku
memanas. Pandangan merasa iri melihat kebahagiaan anak-
anak lain, yang memiliki foto bersama orang tua, yang akan
dikenang dalam bingkai nan apik. Berbeda dengan diriku yang
hanya mengenangnya dalam ingatan dan jepretan mata saja.
Sejarah mencatat, paskibraka angkatan
2011−paskibraka angkatanku−menjadi paskibraka terbaik di
Kabupaten Purbalingga. Berawal dari titik itulah, ada
perubahan pandangan ayahku kepadaku. Beliau jarang
meneriakkan suara lantang beliau kepadaku lagi. Beliau larut
dalam senang melihatku mampu bersaing dengan yang lain.
Dan semenjak itulah ijinku aktif dalam kegiatan terbuka lebar
dari ayahku. Aku merasa senang, mampu melebarkan sayapku
untuk memulai terbang.
Aku sedari dahulu menyuakai kegiatan kepramukaan.
Menurutku pramuka bukan sekedar permainan atau
penyiksaan belaka. Bila kita menikmati prosesnya, pengalaman
yang luar biasa bisa kita peroleh. Sebuah kesimpulan dari
pengalaman yang kurasakan. Karena keaktifan diriku dalam
pramuka aku ditunjuk sebagai delegasi untuk mengikuti
perkemahan santri mewakili kabupaten di Jepara.
Perjuanganku dan teman-teman satu tim terbayarkan oleh
juara yang kami peroleh. Perkemahan pun berlanjut pada
tingkat nasional yang dilaksanakan di Kepri Kota Batam pada
tahun 2012. Girang, merasa senang, akhirnya diriku mampu
membawa tubuh ini terbang.
Manisnya berkegiatan membuatku lupa diri. Lupa akan
kewajibanku yang utama menuntut ilmu di sekolah. Saat aku
mampu terbang tinggi, diriku tak mampu menjaga
keseimbangan hingga membuatku jatuh. Jatuh yang
menyisakan rasa sakit yang membekas. Sayapku patah sebelah.
Aku terpuruk pada ujian kelulusan. Nilai UN yang kuperoleh
membuatku shock ketika mengetahuinya. Hasil ujian
menempatkanku pada peringkat terendah. Suatu hal yang
buruk bukan? Ya, hal itu terulang kembali.
Kejadian buruk yang berantai. Kecerobohanku yang
teledor akan komposisi akademik mengakibatkan diriku tak
lolos ujian SNMPTN dan SBMPTN. Kepala madrasah pun tak
mampu menyembunyikan amarahnya. Merasa kecewa
terhadapku, sehingga membuatku menerima rambatan
getaran amarah dari kepala madrasah.
Kejadian itu lantas tak membuatku jera. Aku kembali
mengikuti UMBPTN atau lebih dikenal dengan SPMB
Nusantara kala itu, dan sekarang sudah dihapus dan langsung
berlanjut pada ujian SPMB Universitas Jenderal Soedirman. Hal
tersebut kulakukan tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku
pun tak mampu menghindar dari ketetapan-Nya. Aku
dinyatakan lolos ujian dan diterima di Jurusan D3 Peternakan
Fakultas Peternakan Unsoed.
Aku merupakan mahasiswa regular kala itu, yang
membuatku dituntut untuk membayar Uang Kuliah Tunggal
(UKT). Puji syukur kupanjatkan karena biaya UKT yang
kuperoleh merupakan UKT terendah. Melihat hal tersebut, aku
menengok kembali. Otakku berfikir akan kesangguapan orang
tuaku untuk membiayai kuliahku. Mampukah mereka?
Sanggupkah mereka? Aku tak boleh diam begitu saja, kecamku.
Aku tak ingin kembali menambah beban yang harus dipikul
orang tuaku.
Aku berusaha mencari informasi mengenai besasiwa
untuk kuliah. Pernah kudengar beasiswa Bidikmisi dari
Kemenristek Dikti. Beasiswa yang ditujukan untuk membidik
anak-anak yang lemah dalam ekonomi akan tetapi memiliki
prestasi yang membanggakan. Dengan tekad dan
kesungguhanku, aku mengajukan diri sebagai penerima bidik
misi. Tak mengecewakan. Hal itu pun berhasil.
Menjadi salah satu mahasiswa bidikmisi bukanlah hal
yang mudah. Tantangan untuk terus berprestasi baik
akademik maupun non akademik terus digencarkan. Hal
tersebut memacu semangatku untuk memberikan yang terbaik
bagi diriku, orang tuaku dan pemerintah. Ya kepada
pemerintah yang telah menyediakanku jalan untuk menikmati
pendidikan di jenjang perguruan tinggi.
Melalui bidikmisi ini putra putri bangsa di Indonesia akan
terselamatkan. Terselamatkan dari pedihnya tindasan
kemiskinan yang menjerat mereka, yang menahan mereka
sehingga tak mampu meloncat meraih impian. Aku pun sangat
bersyukur dengan adanya bidikmisi, yang memacu semangat
tuk terus berprestasi. Saat diriku sebagai pemula dalam kuliah,
aku enggan berkecimpung dalam kegiatan. Akan tatapi ada hal
yang mendorongku sehingga aku menjadi aktivis seperti saat
madrasah dulu.
Aku mengikuti organisasi Islam di Fakultas Peternakan
yang bernama Salam (Persaudaraan Islam) dan di universitas
aku turut ikut serta dalam Racana Soedirman dan UKMPR (Unit
Kegiatan Mahasiswa Penalaran dan Riset). Keaktifanku di
Salam tak bertahan lama, begitupula di UKMPR. Akan tetapi
diriku yang mendalami dunia pramuka di perguruan tingggi
ini, turut serta memberikan sumbangsih kepada universitas.
Aku ditunjuk sebagai delegasi Racana Soedirman dalam ajang
SRSC (Senior Rover Scout Creativity) se-Indonesia yang
dilaksanakan di Universitas Negeri Semarang. Hasil yang
membanggakan, timku memeperoleh juara umum dalam ajang
perlombaan tersebut. Dan yang tidak terbayangkan kala itu,
ketika aku berhasil menorehkan mendali mas pada bidang
Putra-Putri SRSC dan sekaligus mematahkan harapan ITB dan
UI sebagai pesaing terdekat. Selain itu aku juga terpilih menjadi
Anggota Berprestasi Racana Soedirman dan Mahasiswa
Berprestasi Fakultas Peternakan 2015 dan berlanjut pada
juara ketiga Mahasiswa Berprestasi Universitas Jenderal
Soedirman.
Sejarah hidupku yang pernah robek karena
keterpurukanku, dapat kusulam kembali dengan prestasi-
prestasi yang kuperoleh. Aku yang dahulu pernah tidak naik
kelas dua kali, peringkat terendah dalam kelas, dan ulangan
biologi yang memeperoleh nilai 0,1. Ibarat jamu temu ireng,
kesemuanya itu memberikan rasa pahit di lidah dan
tenggorokan, akan tetapi pada akhirnya akan menyehatkan
tubuh. Begitulah jalan yang penuh rintangan yang kualami.
Keterpurukanku menjadi tonggak pemacu semangat
berprestasi.
Tiga tahun sudah. Terasa lama saat kubayangkan dahulu,
tapi terasa begitu cepat saat ini, ketika kutengok ke belakang
kisah yang telah kurajut dalam sulaman hari-hariku selama di
perguruan tinggi. Puji syukur alhamdulillah gelar A. Md. Pt
telah disematkankan pada namaku di hari Rabu, 23 Agustus
2016 Rasa senang memebalut hatiku saat itu, akan tetapi rasa
kecewa pun turut menyelip dalam balutan rasa senang yang
tercipta. Ya, kecewa akan kegagalanku dalam menggapai target
menjadi salah satu mahasiswa berprestasi saat kelulusan. IPK
yang kutargetkan melenceng dari perkiraan yang telah
kuperhitungkan. Batinku menyabarkan emosi diri,
mengingatkan akan keagungan perhitungan dan renana Allah,
yang tak satu pun manusia mampu menyandingi-Nya.
Kegagalanku tak lantas menggugurkan semangat
juangku. Masih banyak target yang telah kusemai dan
kusiapkan diri untuk memelihara dan memetiknya pasca
wisuda nanti. Meskipun mimpi-mimpi itu berada di tempat nan
jauh dan teramat tinggi, akan kujemput dengan segenap usaha
yang kutunai dan doa yang mengalun dalam kerendahan hati.
Percayalah bahwa kita bermimpi tidak pernah ada yang
melarang dan mimpi itupun tidak pernah dijual dan dibeli
dengan harga yang mahal, namun dengan mimpi kita bisa
meraih sesuatu yang tak ternilai harganya
Kini, diriku menunggu saat yang kunantikan. Yap, tepat di
hari Rabu, 21 September 2016, saat di mana nantinya aku
mengenakan pakaian toga dan resmi dinyatakan lulus dari
Universitas Jenderal Soedirman. Ucapan terima kasih
kusembahkan pada seluruh elemen yang telah membantu
proses belajarku selama di almamater tercinta. Dan saat itu
pula diriku berada pada garis start kehidupan dunia yang
sesungguhnya, memulai untuk berusaha menggapai impian-
impianku serta menggerakkan diri untuk mengemban amanah,
mengabdi pada masyarakat.
Selama lidah ini mampu melafalkan, selama kaki masih
dapat melangkah, dan selama jiwa ini masih melekat pada raga,
akanku teruskan perjuanganku menakhlukkan kehidupan
demi tertatanya kehidupan yang lebih baik. Tak hanya
untukku, tapi jua untuk kedua orang tuaku serta masyarakat.
Tetap semangat, bekerja keras! Jadilah yang terbaik di mana
pun kita berada. Karena kesuksesan itu adalah ketika kita
mampu menciptakan sejarah yang bernilai positif bagi diri
sendiri.