dengan bidik misi, aku bisa ukir prestasi

24

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI
Page 2: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

“Siiaaaaap grak! Ambil posisi push up!”

“Siap, ambil posisi push up.” Terdengar suara lantang

pemimpin barisan memberikan komado kepada pasukannya.

Namaku Chaerul Amin, yang berarti seseorang yang baik

untuk dipercaya. Aku terlahir di kota di mana sosok Pang Lima

Besar Indonesia−Jenderal Soedirman−dilahirkan. Kau tau di

mana itu? Yap, tepat sekali, di kota Purbalingga, tepatnya pada

17 Desember 1993. Aku terlahir dari cinta kasih sepasang

buruh tani di desa Kebutuh. Diriku bukanlah anak semata

wayang. Aku merupakan putra kedua dari tiga bersaudara.

Kakakku−yang kini sudah membangun rumah

tangga−hanyalah seseorang yang berijazah MTs, sedangkan

adikku kini sedang menimba ilmu di bangku kelas X MA.

Tertegun diriku, sekilas menatap wajah sosok yang telah

membawaku tuk bisa menghirup udara di bumi ini. Wajah yang

berpeluh, wajah yang menyimpan beribu pemikiran yang

tersimpan dalam otaknya, wajah yang hingga saat ini tetap tak

henti membanting tulang membantu ayahku. Namun, di balik

Page 3: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

semua itu, tersimpan derita yang tersembunyi dalam semburat

senyumnya. Ibuku sering mengalami sakit yang tidak dirasa.

Diagnosis dokter menyatakan bahwa ibuku mengalami

penyempitan syaraf selepas melahirkan diriku.

Beliaulah sosok yang berati bagiku. Menempatkanku

pada kasur rahim di kala diriku masih dalam kandungan. Setia

membawaku kemanapun beliau pergi selama sembilan bulan

lamanya. Rintihannya, bertaruh dengan nyawa tatkala beliau

berjuang tuk memperkenalkan diriku pada indahnya dunia.

Sampai pada akhirnya, selain merawat, membesarkan, dan

mendidikku, beliau pun harus berjuang melawan kejamnya

penyakit yang menyerangnya. Perjuangannya untukku, begitu

luar biasa bukan?

“Latihan yang keras, tekad yang kuat dapat menjadikan

kita berhasil. Tak perlu memandang siapa kita, tak usah melihat

darimana kita berasal, dan tak perlu menengok latar belakang

kita. Keseluruhannya menjadi dorongan otak tuk berfikir dan

sikap tuk bertindak, akan jadi seperti apakah kita nantinya?”

sebuah penggalan kata-kata yang kuperoleh dari perjalanan

hidupku.

Page 4: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Masa kecilku kuanggap begitu suram. Gelap tanpa

penerangan. Merintih karena tertindih. Sekolah dasar biasanya

dilalui dalam kurun waktu enam tahun. Berbeda dengan diriku

yang harus menempuh pendidikan di sekolah dasar selama

delapan tahun. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena diriku

pernah tinggal kelas pada saat kelas tiga dan kelas empat.

Karena saat itu sistem imunku tak bekerja melawan virus

kemalasan, yang pada akhirnya menjatuhkanku pada jurang

keburukan, bukan hanya bagiku tapi juga bagi orang tuaku.

Kemalasanku muncul bukanlah tanpa alasan. Rasa malas

itu sudah menyatu dalam darahku saat itu dikarenakan aku

menyibukkan diriku dengan ngarit−istilah Jawa mencari

pakan/rumput untuk makan ternak−setelah pulang sekolah.

Kebiasaan ngarit itu sudah mengakar dalam diriku. Selama tiga

jam kugunakan waktuku untuk memenuhi satu karung

rumput. Tapi di kala rahmat-Nya turun, hasil merumput

tentunya tak sebanyak di saat matahari tersenyum indah.

Semua itu demi seekor kambing, kusebut sebagai hewan

kesayangan, yang kudapatkan di kala diriku usai sunatan, di

saat diriku duduk di bangku kelas IV SD. Kebiasaan tersebut

Page 5: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

tetap berlanjut, kutekuni hingga tak terasa diriku sudah

mengenyam pendidikan kelas X MA.

Delapan tahun di sekolah dasar usai sudah. Aku

melanjutkan studiku di MTs NU 09 Kutawis. Bising suara orang

mengatakan bahwa orang-orang yang sekolah di MTs NU 09

Kutawis merupakan siswa buangan. Buangan karena tidak

diterima di sekolah tujuan, buangan karena kalah bersaing

dengan mereka yang lebih cerdas, buangan karena tersisihkan.

Terdengar menjijikkan dan menyakitkan bukan? Laksana

kisah katak tuli. Aku pun tak menghiraukan kicauan itu. Bagiku,

sekolah di manapun tiadalah perbedaan, yang terpenting

adalah kemauan untuk berproses. Seperti buku yang pernah

kubaca, “jadilah berlian dalam selokan”, tetap menjadi sosok

yang begitu bernilai tinggi meskipun diriku berada dalam

tempat yang tak layak.

Bak angin yang kilat berhembus, begitu cepat. Tak terasa

kini aku berada di penghujung studiku di MTs. Saat-saat yang

menentukan pun sudah kulalui. Ya, ujian kelulusan. Hal yang

menjadi momok ketakutan siswa. Ucap puji suykur

alhamdulillah, aku dapat melaluinya dengan baik.

Page 6: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Termenung diriku di malam yang seharusnya aku

menyibukkan diri dengan buku-buku. Di malam saat ujian, aku

tidak melepas lelahku di ranjang rumahku. Aku menghindar,

meratapi diri yang tak berdaya. Mata pun tak mampu menahan

bendungan air mata. Rasa kesal begitu mudahnya tumbuh

dalam hatiku. Rasa kesal itu kian memuncak. Setan saat itu

berfoya-foya atas keberhasilannya menghasut diriku dalam

jebakannya. Kesal yang turut ditemani rasa kecewa mengamuk

dalam diri yang lemah ini. Ya, karena perlakuan ayahku yang

enggan menggantikan posisiku untuk merumput saat ujian.

Dalam fikirku, bukanlah sikap yang bijak dari seorang ayah.

Kuteguhkan hatiku pada agama-Mu. Kuterima semua

perlakuan yang dilemparkan pada diriku. Karena hal tersebut

merupakan secuil kisah yang menggembleng mental diriku.

Proses yang panjang dan menantang kini membawaku pada

perubahan yang baik. Diriku yang dahulu dirundung

kemalasan, kini dapat memperoleh nilai baik−versi diriku

sendiri−pada mata pelajaran Matematika dengan nilai 7,00

dan IPA dengan nilai 8,75.

Page 7: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Usahaku melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya

bukanlah suatu perjuangan yang mudah. Tak semudah

membalikan telapak tangan. Niatku yang ingin terus menerus

menuntut ilmu kandas oleh ultimatum yang keluar dari mulut

ayahku. Ayahku bersikukuh tak memberikan ijin padaku untuk

tetap berjuang di kancah pendidikan. Sampai pada akhirnya,

amarahku tak terbendung hingga menjebolkan kesabaran

seorang anak buruh tani ini. Ketika itu, aku turut membantu

ayahku memanen padi milik Lilikku−sebutan Paman dalam

bahasa Jawa. Aku yang kecewa tehadap larangan ayahku

memberontak di bawah sengatan matahari. Dengan tegas aku

melontarkan kata-kata,

“Aku tak mau lagi ke ladang!”

“Tak mau pula diriku bekerja di tempat yang panas. Ayah,

aku akan tetap melanjutkan sekolahku!”

Mungkin saat itu ayahku tetap menutup telinganya, enggan

mendengarkan suara hati anaknya yang menggebu ingin

sekolah. Entah apa yang sudah merasuki fikiran ayahku, hingga

beliau bertindak layaknya batu. Kaku.

Page 8: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Aku pun juga tak turun tangan begitu saja. Aku tak lemah

oleh larangan, tak kalah oleh tantangan, dan tak menyerah

melawan rintangan. Tanpa sepengetahuan ayahku, aku tetap

mengikuti ujian masuk sekolah unggulan di MA Minhajut

Tholabah. Sejumlah tiga puluh siswa lah yang akan diusung

menuju kelas unggulan.

Sangat disayangkan, berita kurang mengenakkan pun

sampai juga di gendang telingaku. Aku gagal lolos ujian.

Perjuanganku menakhlukkan soal menempatkanku pada

ranking ke-32. Tekadku yang kini telah membaja,

membengkok. Bak dihantam palu raksasa yang

membinasakan. Aku terpukul dengan berita duka kala itu.

Kuasa Sang Ilahi tiada yang dapat menyandingi. Tak

kusangka, keajaiban Allah jatuh padaku saat itu. Beberapa

nama yang telah masuk dalam kelas unggulan mengundurkan

diri karena orang tua mereka kontra dengan kontrak

perjanjian dari pihak MA. Alhamdulillah, ucapku. Aku diterima

di kelas unggulan MA Minhajut Thalabah.

Ayahku, sosok yang bersikukuh melarangku bersekolah,

tersentak kaget mendengar nama beliau dipanggil di MTs.

Page 9: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Sebuah panggilan tuk menerima kontrak perjanjian dari MA,

dengan membubuhkan tanda tangan orang tuaku di atas

selembar kertas bermaterai. Tak kusangka, ayahku tetap

menolak. Penolakan tersebut akhirnya mendorongku tuk tetap

melangkah maju, mengambil tindakan sebagai pemberontak.

Pemberontakan atas kekejaman larangan dari sosok kepala

keluarga. Aku tetap melangkahkan kakiku untuk daftar ulang

di MA, yang pada akhirnya pemberontakan itulah yang mampu

meluluhkan hati beku ayahku. Laksana es batu, aku bertindak

sebagai matahari yang dengan tega menyengat es batu dengan

pancaran sinarnya, hingga mencairkan es batu yang beku. Kala

itulah hatiku membumbung tinggi, bahagia yang tiada tara.

Sekolah unggulan MA Minhajut Thalabah. Terdengar

fantastik bukan? Yap, fantastik bagi masyarakat desa Kebutuh.

Perlu kau ketahui, sekolahku merupakan sekolah yang berada

di pelosok desa pinggiran, yang sepi akan keramaian, pun jauh

pula jangkauannya. Sekitar ±5 KM jarak yang membentang

antara rumah kediamanku dengan sekolahku. Kutempuh

dengan mengayuh sepeda. Di kala pagi, kesejukan embun

memberikan semangat seiring upayaku mengayuh sepeda ke

Page 10: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

sekolah. Matahari pun tak mau kalah. Di kala siang, di saat aku

pulang sekolah, matahari memberikan kehangatannya melalui

sinarnya yang menyengat. Alhasil, kehangatannya−sebagai

bukti penyemangat kepadaku−mampu merubah warna kulit

manusia, terutama diriku. Sungguh, sebuah pancaran

kepedulian matahari kepadaku.

Tak kalah miris, uang sakuku hanya sebesar Rp 5.000,00

per minggunya jikalau orang tuaku memiliki rejeki lebih.

Terkadang pula, aku sering menahan uang di kantongku.

Pasalnya, saat itu jok sepadaku membutuhkan perhatian lebih

dariku. Tempat duduk sepeda yang dalam bahasa Jawa disebut

sedel itu, tampak tak layak pakai. Uang yang kutahan itulah

yang berjasa. Berjasa karena merelakan dirinya untuk diganti

dengan jok sepeda yang baru. Merelakan dirinya demi

kenyamanan diriku berjuang menuntut ilmu.

Perjalanan yang kulalui untuk menuntut ilmu bukanlah

suatu perjalanan yang mudah. Banyak lika-liku jalan yang

harus kutempuh. Jalanan yang menanjak, jalanan yang penuh

aral terus menghadang langkahku. Di masa diriku kelas X MA,

suatu kisah tragis yang mengancam pendidikanku tejadi.

Page 11: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Orang tuaku yang hanya seorang buruh tani, tak mampu

melunasi uang gedung sekolah yang bernilai Rp 750.000,00.

Aku terancam putus sekolah. Sampai pada saat itu tiba. Saat di

mana namaku sudah tercantum dalam data siswa yang akan

dipanggil di sekolah untuk di drop out. Diriku dirundung

gelisah. Semangatku yang dulu menjulang tinggi, kini seakan-

akan terpendam oleh ancaman putus sekolah. Pun aku jarang

berceloteh dan bersenda gurau dengan ayahku. Tak ada orang

yang mau menghapus pilu deritaku dan tak seorang pun

mampu menegakkan semangatku kembali, terkecuali sosok

pahlawanku saat itu.

Ya, beliaulah pa’Deku. Sosok yang perduli kepadaku.

Kehendak beliau sangat berati untukku. Tanpa sepengetahuan

ayahku, beliau membiayai uang gedung sekolahku. Bahagiaku

tak bisa terwakilkan oleh kata-kata yang terucap dan tak

terlukiskan oleh gambaran tiga dimensi. Dari situlah

harapanku yang layu, tumbuh segar kembali. Semangatku yang

terkekang, kini bergelora kembali.

Duniaku bersekolah tidak hanya diwarnai oleh

kesibukanku mengulas buku pelajaran. Aku juga melibatkan

Page 12: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

diriku dengan berbagai aktivitas non-akademik, di antaranya

pramuka−yang sangat kugemari, voli, dan paskibraka.

Keaktifanku di bidang non-akademik tak berpengaruh kala itu.

Tetap berjalan seimbang, beriringan mesra antara akademik

dan non-akademik tanpa ada yang dinomorduakan.

Ku berproses melalui tantangan-tantangan dan

organisasi yang kuikuti. Keterlibatanku dalam bidang non-

akademik membawaku dalam sederetan ajang perlombaan.

Kelas X, aku mengikuti seleksi atletik lari jarak jauh 10 Km,

namun sangat disayangkan aku hanya menempati posisi ke-3,

Alhamdulillah guru olahragaku sekaligus pemilik jabatan

tertinggi di madrasah sebagai kepala madrasah kala itu. Beliau

menawarkan kepadaku untuk bergabung dalam tim voli dan

akhirnya aku ditunjuk untuk mengkuti lomba bola voli

mewakili kabupaten menuju tingkat Provinsi. Sebuah

kebanggan yang tiada tara. Kemampuan yang kumiliki, yang

kuasah sedemikian rupa, diakui hingga di kancah kabupaten.

Merasa bangga pada diriku, telah dipercaya oleh untuk

menjadi delegasi yang membawa nama harum kabupaten.

Sangat disayangkan, usaha timku pupus. Timku gugur pada

Page 13: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

babak penyisihan. Laksana pohon jati yang mengugurkan

daunnya di musim kemarau, hatiku gugur oleh kekalahanku

dalam perlombaan. Namun, hatiku tetap bersabar

menjelaskan, masih banyak peluang dan kesempatan yang

menanti di depan sana.

Tahun 2011 menjadi tahun yang penuh kebanggaan yang

bercampur kisah haru pilu. Kala itu, aku dinobatkan menjadi

siswa pertama kali yang masuk dalam Tim Pakibraka

Kabupaten. Aku memberitahu perihal ini pada ayahku. Diriku

berharap, jiwa ayahku yang keras layaknya batu, akan segera

lunak oleh kabar gembira ini. Aku memberitahu ayahku untuk

datang pada acara pengukuhanku sebagai Paskibraka.

Berharap berita ini membuat rasa bangga dan bahagia

membumbung tinggi dalam dada ayahku.

Ketika acara pengukuhan dimulai, mataku menyelinap

memandang sekeliling. Tak kutemukan wajah ayahku berada

di tempat acara pengukuhanku. Hatiku merasa kecewa atas

ketidakhadiran ayahku saat itu. Pikiran kotorku mulai

berbicara, “apa ayahku malu memiliki buah hati sepertiku?

Apakah ayahku malu karena profesinya yang hanya sebagai

Page 14: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

buruh tani?” Batinku mulai berkecamuk, amarahku

memuncak. Dan rasa kecewa itu kian menyesakkan dada

ketika pemasangan sabuk pengukuhan. Sosok yang kuharap

memasangkan sabuk pengukuhan saat itu tidak hadir untuk

memasangkan sabuk pada wajah yang penuh harap ini.

Upacara pengukuhan pun usai. Pandanganku terus

berlari mengelilingi seluruh sudut ruangan, mencari-cari di

mana keberadaan ayahku. Tangkapan mata pun menemukan

sosok yang kuharapkan kehadirannya. Kudatangi beliau

dengan hati yang terluka karena sayatan rasa kekecewaan

yang teramat mendalam. Namun, seketika luka itu terobati

oleh sikap dan pengakuan pilu ayahku. Tatapan ayahku bak

orang yang sedang mengarap belas kasihan orang lain. Tak

kusangka, ayahku telah berada di lokasi pengukuhan setalah

dzuhur, sedangkan acara itu dimulai pukul 16.00 WIB.

Ketika ayahku melihatku berada di pendopo, beliau

berlari hendak menemui Sang Kebangaannya. Namun, langkah

ayahku dihadang oleh satpam yang berjaga. Hanya karena

ayahku mengenakan sendal jepit, kakinya tak diperbolehkan

menginjakkan kaki di tempat pengukuhan tersebut.

Page 15: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Pengakuan kesalahan terucap tulus dari bibir ayahku. Hatiku

tertusuk oleh tajamnya pengakuan kasih sayang ayahku

padaku, menikam rasa kecewa yang membalut hatiku. Rasa

kecewa yang menguasai diriku kini berganti haru pilu. Merasa

bersalah karena tak memberitahu ayahku untuk tidak

menggunakan sandal jepit di acara pengukuhan. Tubuh yang

memberikan pengakuan padaku, berpamit pulang.

Tak menungguku hingga selesai, aku pun membiarkan

beliau pulang seorang diri. Diri yang tak mencegah kepergian

ayah ke rumah ini, tak kuasa menahan jebolnya bendungan air

mata, tatkala sesi foto bersama orang tua. Hanya seorang diri,

ya dirikulah yang tak bisa foto bersama ayahku. Batinku

memanas. Pandangan merasa iri melihat kebahagiaan anak-

anak lain, yang memiliki foto bersama orang tua, yang akan

dikenang dalam bingkai nan apik. Berbeda dengan diriku yang

hanya mengenangnya dalam ingatan dan jepretan mata saja.

Sejarah mencatat, paskibraka angkatan

2011−paskibraka angkatanku−menjadi paskibraka terbaik di

Kabupaten Purbalingga. Berawal dari titik itulah, ada

perubahan pandangan ayahku kepadaku. Beliau jarang

Page 16: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

meneriakkan suara lantang beliau kepadaku lagi. Beliau larut

dalam senang melihatku mampu bersaing dengan yang lain.

Dan semenjak itulah ijinku aktif dalam kegiatan terbuka lebar

dari ayahku. Aku merasa senang, mampu melebarkan sayapku

untuk memulai terbang.

Aku sedari dahulu menyuakai kegiatan kepramukaan.

Menurutku pramuka bukan sekedar permainan atau

penyiksaan belaka. Bila kita menikmati prosesnya, pengalaman

yang luar biasa bisa kita peroleh. Sebuah kesimpulan dari

pengalaman yang kurasakan. Karena keaktifan diriku dalam

pramuka aku ditunjuk sebagai delegasi untuk mengikuti

perkemahan santri mewakili kabupaten di Jepara.

Perjuanganku dan teman-teman satu tim terbayarkan oleh

juara yang kami peroleh. Perkemahan pun berlanjut pada

tingkat nasional yang dilaksanakan di Kepri Kota Batam pada

tahun 2012. Girang, merasa senang, akhirnya diriku mampu

membawa tubuh ini terbang.

Manisnya berkegiatan membuatku lupa diri. Lupa akan

kewajibanku yang utama menuntut ilmu di sekolah. Saat aku

mampu terbang tinggi, diriku tak mampu menjaga

Page 17: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

keseimbangan hingga membuatku jatuh. Jatuh yang

menyisakan rasa sakit yang membekas. Sayapku patah sebelah.

Aku terpuruk pada ujian kelulusan. Nilai UN yang kuperoleh

membuatku shock ketika mengetahuinya. Hasil ujian

menempatkanku pada peringkat terendah. Suatu hal yang

buruk bukan? Ya, hal itu terulang kembali.

Kejadian buruk yang berantai. Kecerobohanku yang

teledor akan komposisi akademik mengakibatkan diriku tak

lolos ujian SNMPTN dan SBMPTN. Kepala madrasah pun tak

mampu menyembunyikan amarahnya. Merasa kecewa

terhadapku, sehingga membuatku menerima rambatan

getaran amarah dari kepala madrasah.

Kejadian itu lantas tak membuatku jera. Aku kembali

mengikuti UMBPTN atau lebih dikenal dengan SPMB

Nusantara kala itu, dan sekarang sudah dihapus dan langsung

berlanjut pada ujian SPMB Universitas Jenderal Soedirman. Hal

tersebut kulakukan tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku

pun tak mampu menghindar dari ketetapan-Nya. Aku

dinyatakan lolos ujian dan diterima di Jurusan D3 Peternakan

Fakultas Peternakan Unsoed.

Page 18: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Aku merupakan mahasiswa regular kala itu, yang

membuatku dituntut untuk membayar Uang Kuliah Tunggal

(UKT). Puji syukur kupanjatkan karena biaya UKT yang

kuperoleh merupakan UKT terendah. Melihat hal tersebut, aku

menengok kembali. Otakku berfikir akan kesangguapan orang

tuaku untuk membiayai kuliahku. Mampukah mereka?

Sanggupkah mereka? Aku tak boleh diam begitu saja, kecamku.

Aku tak ingin kembali menambah beban yang harus dipikul

orang tuaku.

Aku berusaha mencari informasi mengenai besasiwa

untuk kuliah. Pernah kudengar beasiswa Bidikmisi dari

Kemenristek Dikti. Beasiswa yang ditujukan untuk membidik

anak-anak yang lemah dalam ekonomi akan tetapi memiliki

prestasi yang membanggakan. Dengan tekad dan

kesungguhanku, aku mengajukan diri sebagai penerima bidik

misi. Tak mengecewakan. Hal itu pun berhasil.

Menjadi salah satu mahasiswa bidikmisi bukanlah hal

yang mudah. Tantangan untuk terus berprestasi baik

akademik maupun non akademik terus digencarkan. Hal

tersebut memacu semangatku untuk memberikan yang terbaik

Page 19: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

bagi diriku, orang tuaku dan pemerintah. Ya kepada

pemerintah yang telah menyediakanku jalan untuk menikmati

pendidikan di jenjang perguruan tinggi.

Melalui bidikmisi ini putra putri bangsa di Indonesia akan

terselamatkan. Terselamatkan dari pedihnya tindasan

kemiskinan yang menjerat mereka, yang menahan mereka

sehingga tak mampu meloncat meraih impian. Aku pun sangat

bersyukur dengan adanya bidikmisi, yang memacu semangat

tuk terus berprestasi. Saat diriku sebagai pemula dalam kuliah,

aku enggan berkecimpung dalam kegiatan. Akan tatapi ada hal

yang mendorongku sehingga aku menjadi aktivis seperti saat

madrasah dulu.

Aku mengikuti organisasi Islam di Fakultas Peternakan

yang bernama Salam (Persaudaraan Islam) dan di universitas

aku turut ikut serta dalam Racana Soedirman dan UKMPR (Unit

Kegiatan Mahasiswa Penalaran dan Riset). Keaktifanku di

Salam tak bertahan lama, begitupula di UKMPR. Akan tetapi

diriku yang mendalami dunia pramuka di perguruan tingggi

ini, turut serta memberikan sumbangsih kepada universitas.

Aku ditunjuk sebagai delegasi Racana Soedirman dalam ajang

Page 20: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

SRSC (Senior Rover Scout Creativity) se-Indonesia yang

dilaksanakan di Universitas Negeri Semarang. Hasil yang

membanggakan, timku memeperoleh juara umum dalam ajang

perlombaan tersebut. Dan yang tidak terbayangkan kala itu,

ketika aku berhasil menorehkan mendali mas pada bidang

Putra-Putri SRSC dan sekaligus mematahkan harapan ITB dan

UI sebagai pesaing terdekat. Selain itu aku juga terpilih menjadi

Anggota Berprestasi Racana Soedirman dan Mahasiswa

Berprestasi Fakultas Peternakan 2015 dan berlanjut pada

juara ketiga Mahasiswa Berprestasi Universitas Jenderal

Soedirman.

Sejarah hidupku yang pernah robek karena

keterpurukanku, dapat kusulam kembali dengan prestasi-

prestasi yang kuperoleh. Aku yang dahulu pernah tidak naik

kelas dua kali, peringkat terendah dalam kelas, dan ulangan

biologi yang memeperoleh nilai 0,1. Ibarat jamu temu ireng,

kesemuanya itu memberikan rasa pahit di lidah dan

tenggorokan, akan tetapi pada akhirnya akan menyehatkan

tubuh. Begitulah jalan yang penuh rintangan yang kualami.

Page 21: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

Keterpurukanku menjadi tonggak pemacu semangat

berprestasi.

Tiga tahun sudah. Terasa lama saat kubayangkan dahulu,

tapi terasa begitu cepat saat ini, ketika kutengok ke belakang

kisah yang telah kurajut dalam sulaman hari-hariku selama di

perguruan tinggi. Puji syukur alhamdulillah gelar A. Md. Pt

telah disematkankan pada namaku di hari Rabu, 23 Agustus

2016 Rasa senang memebalut hatiku saat itu, akan tetapi rasa

kecewa pun turut menyelip dalam balutan rasa senang yang

tercipta. Ya, kecewa akan kegagalanku dalam menggapai target

menjadi salah satu mahasiswa berprestasi saat kelulusan. IPK

yang kutargetkan melenceng dari perkiraan yang telah

kuperhitungkan. Batinku menyabarkan emosi diri,

mengingatkan akan keagungan perhitungan dan renana Allah,

yang tak satu pun manusia mampu menyandingi-Nya.

Kegagalanku tak lantas menggugurkan semangat

juangku. Masih banyak target yang telah kusemai dan

kusiapkan diri untuk memelihara dan memetiknya pasca

wisuda nanti. Meskipun mimpi-mimpi itu berada di tempat nan

jauh dan teramat tinggi, akan kujemput dengan segenap usaha

Page 22: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

yang kutunai dan doa yang mengalun dalam kerendahan hati.

Percayalah bahwa kita bermimpi tidak pernah ada yang

melarang dan mimpi itupun tidak pernah dijual dan dibeli

dengan harga yang mahal, namun dengan mimpi kita bisa

meraih sesuatu yang tak ternilai harganya

Kini, diriku menunggu saat yang kunantikan. Yap, tepat di

hari Rabu, 21 September 2016, saat di mana nantinya aku

mengenakan pakaian toga dan resmi dinyatakan lulus dari

Universitas Jenderal Soedirman. Ucapan terima kasih

kusembahkan pada seluruh elemen yang telah membantu

proses belajarku selama di almamater tercinta. Dan saat itu

pula diriku berada pada garis start kehidupan dunia yang

sesungguhnya, memulai untuk berusaha menggapai impian-

impianku serta menggerakkan diri untuk mengemban amanah,

mengabdi pada masyarakat.

Selama lidah ini mampu melafalkan, selama kaki masih

dapat melangkah, dan selama jiwa ini masih melekat pada raga,

akanku teruskan perjuanganku menakhlukkan kehidupan

demi tertatanya kehidupan yang lebih baik. Tak hanya

Page 23: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI

untukku, tapi jua untuk kedua orang tuaku serta masyarakat.

Tetap semangat, bekerja keras! Jadilah yang terbaik di mana

pun kita berada. Karena kesuksesan itu adalah ketika kita

mampu menciptakan sejarah yang bernilai positif bagi diri

sendiri.

Page 24: DENGAN BIDIK MISI, AKU BISA UKIR PRESTASI