semiotika dresscode dalam arisan (studi kasus...

13
SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus Dresscode Sebagai Alat Komunikasi Pada Kelompok Arisan TheBeauty, Mojokerto) Ratnaningrum Zusyana Dewi (Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Majapahit) ABSTRAK Gaya hidup dan busana adalah bagian integral dari kehidupan sosial seorang wanita. Keduanya merupakan satu paket yang saling melengkapi. Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat berpengaruh terhadap gaya hidup wanita. Gaya hidup yang berlandaskan kapitalisme ini banyak terbawa dalam kehidupan sosial. Salah satunya dalam bentuk arisan. Arisan bukan lagi sekedar wadah silaturahmi, tapi sudah menjadi arena eksistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna dari dresscode yang dipakai ketika arisan. Metode yang dipakai adalah metode kualitatif. Analisa yang digunakan adalah analisa semiotika. Semiotika dipakai untuk menganalisa makna dresscode sebagai alat komunikasi dalam penelitian ini. Sumber data yang dipakai adalah observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, fungsi dresscode tidak sekedar busana , tapi juga menjadi tempat aktualisasi para peserta arisan. Kebutuhan aktualisasi ini justru menjadi kebutuhan utama anggota arisan, mengalahkan besarnya jumlah uang yang menjadi obyek arisan. Kedua, dresscode dipakai sebagai penanda identitas kelompok. Anggota merasa tersanjung bisa diterima sebagai anggota kelompok ini. Karena mereka mempunyai identitas sebagai anggota kelompok tertentu. Ketiga, kohesivitas tinggi antar anggota dapat terjadi karena rasa kebersamaan antar anggota yang dimediakan oleh dresscode. Keempat, bertambahnya jaringan dan relasi yang membuat keuntungan sosial, ekonomi, dan politik. Kata Kunci : Semiotika, Dresscode, Gaya Hidup PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu cenderung konsumtif. Tingkat konsumsi masyarakat sangat tinggi, yaitu 1,09 kali lebih banyak dari rata-rata pendapatan total masyarakat. Artinya, anggaran belanja yang mereka keluarkan lebih besar daripada penghasilannya, sehingga hampir seluruh pendapatan mereka habis untuk dikonsumsi. Hal ini berdasar temuan Priyonggo Suseno, ketua tim peneliti PPS-LP UII dalam penelitiannya tentang Pola Konsumsi Masyarakat : Faktor yang Mempengaruhinya dan Kaitannnya dengan Inflasi (Kompas, 24 Nop 2005). Dalam penelitian itu dikatakan bahwa profesional memiliki tingkat konsumsi tertinggi, diikuti pegawai, pensiunan, dan mahasiswa. Di sisi lain, buruh, manajer, dan wiraswasta, tingkat konsumsinya lebih rendah. Meningkatnya pola hidup yang cenderung konsumtif ini mengubah

Upload: trankhuong

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN

(Studi Kasus Dresscode Sebagai Alat Komunikasi Pada Kelompok

Arisan TheBeauty, Mojokerto)

Ratnaningrum Zusyana Dewi

(Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Islam Majapahit)

ABSTRAK

Gaya hidup dan busana adalah bagian integral dari kehidupan sosial

seorang wanita. Keduanya merupakan satu paket yang saling melengkapi.

Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

berpengaruh terhadap gaya hidup wanita. Gaya hidup yang berlandaskan

kapitalisme ini banyak terbawa dalam kehidupan sosial. Salah satunya

dalam bentuk arisan. Arisan bukan lagi sekedar wadah silaturahmi, tapi

sudah menjadi arena eksistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari

makna dari dresscode yang dipakai ketika arisan. Metode yang dipakai

adalah metode kualitatif. Analisa yang digunakan adalah analisa

semiotika. Semiotika dipakai untuk menganalisa makna dresscode sebagai

alat komunikasi dalam penelitian ini. Sumber data yang dipakai adalah

observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa pertama, fungsi dresscode tidak sekedar busana , tapi

juga menjadi tempat aktualisasi para peserta arisan. Kebutuhan aktualisasi

ini justru menjadi kebutuhan utama anggota arisan, mengalahkan besarnya

jumlah uang yang menjadi obyek arisan. Kedua, dresscode dipakai sebagai

penanda identitas kelompok. Anggota merasa tersanjung bisa diterima

sebagai anggota kelompok ini. Karena mereka mempunyai identitas

sebagai anggota kelompok tertentu. Ketiga, kohesivitas tinggi antar

anggota dapat terjadi karena rasa kebersamaan antar anggota yang

dimediakan oleh dresscode. Keempat, bertambahnya jaringan dan relasi

yang membuat keuntungan sosial, ekonomi, dan politik.

Kata Kunci : Semiotika, Dresscode, Gaya Hidup

PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat dari

waktu ke waktu cenderung konsumtif.

Tingkat konsumsi masyarakat sangat

tinggi, yaitu 1,09 kali lebih banyak dari

rata-rata pendapatan total masyarakat.

Artinya, anggaran belanja yang mereka

keluarkan lebih besar daripada

penghasilannya, sehingga hampir

seluruh pendapatan mereka habis untuk

dikonsumsi. Hal ini berdasar temuan

Priyonggo Suseno, ketua tim peneliti

PPS-LP UII dalam penelitiannya

tentang Pola Konsumsi Masyarakat :

Faktor yang Mempengaruhinya dan

Kaitannnya dengan Inflasi (Kompas,

24 Nop 2005). Dalam penelitian itu

dikatakan bahwa profesional memiliki

tingkat konsumsi tertinggi, diikuti

pegawai, pensiunan, dan mahasiswa.

Di sisi lain, buruh, manajer, dan

wiraswasta, tingkat konsumsinya lebih

rendah. Meningkatnya pola hidup yang

cenderung konsumtif ini mengubah

Page 2: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

perilaku sosial masyarakat. Kaum

wanita dan anak muda adalah sasaran

empuk. Kedua kelompok tersebut

adalah pasar yang setiap saat selalu

berkembang.

Kaum wanita merupakan

sasaran utama bagi kapitalisme. Dalam

mengambil keputusan pembelian,

seringkali mereka lebih mengandalkan

emosi daripada rasionya. Hidup dalam

riuhnya pola konsumerisme memaksa

mereka untuk mendapatkan barang

yang belum dimilikinya. Feel need

lebih penting daripada real need.

Sedikit banyak perilaku

konsumtif ini dipengaruhi oleh

globalisasi industri media. Globalisasi

media didukung oleh globalisasi

ekonomi. Menjamurnya pusat-pusat

belanja yang menyediakan berbagai

keperluan adalah salah satu contohnya.

Gaya promosi yang dikemas dalam

bentuk sinetron, talkshow, fashion

show, adalah makanan kita sehari-hari.

Kemajuan teknologi menjadikan nilai

materialistik mendominasi kehidupan

keluarga modern.

Secara sosiologis, Featherstone

mengatakan bahwa gaya hidup

(lifestyle) adalah tata cara hidup yang

khas pada kelompok tertentu

(Featherstone, 2001). Tetapi dalam

budaya kontemporer (masyarakat

modern) istilah gaya hidup

mengkonotasikan tentang

individualisme, ekspresi diri, serta

kesadaran diri untuk bergaya (stylistic).

Tubuh, busana, cara bicara, hiburan

saat luang, pilihan makanan dan

minuman, kendaraan, bahkan pilihan

sumber informasi, dan lain-lain,

dipandang sebagai indikator dari gaya

dan selera perseorangan (Featherstone,

2001).

Gaya hidup dilukiskan sebagai

ruang yang bersifat plural, anggota

yang berada di dalamnya membangun

kelompok sosial, lengkap dengan

kebiasaan-kebiasaan sosial mereka

(Bourdieu, 1994).

Dari berbagai pemaknaan

tersebut, gaya hidup dilihat sebagai

wujud paling ekspresif dari cara

manusia menjalani dan memaknai

kehidupannya. Gaya hidup dipahami

sebagai cara-cara terpola dalam

menginvestasikan aspek-aspek tertentu

dari kehidupan sehari-hari dengan nilai

sosial atau simbolis. Dengan demikian,

gaya hidup menjadi cara untuk

mengidentifikasi diri sekaligus

membedakan diri dalam relasi sosial.

Gaya hidup juga menjadi cara bermain

dengan identitas (Ibrahim, 2011, 307)

Dalam abad gaya hidup,

penampilan adalah segalanya. Urusan

penampilan bukan lagi menjadi

perbincangan sosiologis. Penampilan

sudah bisa menjadi alat komunikasi

yang efektif. Erving Goffman bahkan

mengemukakan bahwa kehidupan

sosial merupakan penampilan teatrikal

yang diritualkan. Kita bertindak seolah-

olah di atas sebuah panggung.

Penggunaan ruang, barang, bahasa

tubuh, merupakan ritual interaksi sosial

untuk tampil dalam memfasilitasi

kehidupan sosial sehari-hari (Erving

Goffman dalam Chaney, 2004, 194).

Dalam abad gaya hidup pula,

penampilan diri banyak mengalami

estetisasi. Penampilan menjadi sebuah

proyek yang menggiurkan. Ibaratnya,

semakin gaya penampilan seseorang,

semakin berkualitas hidup mereka.

Artinya, “penampakan luar “ menjadi

indikator keberadaan diri. Substansi

dikalahkan oleh penampilan diri. Kulit

mengalahkan isi.

Chaney juga mengatakan

bahwa semua yang kita miliki akan

menjadi budaya tontonan. Semua orang

ingin menjadi penonton sekaligus

ditonton. Ingin melihat sekaligus

dilihat. Di titik ini, gaya mulai menjadi

modus keberadaan manusia modern.

Page 3: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

Kamu bergaya, maka kamu ada! Kalau

kamu tidak gaya, siap-siaplah untuk

dianggap “tidak ada”. Diremehkan,

diabaikan, bahkan mungkin dilecehkan.

Itulah sebabnya, jaman sekarang orang

gemar sekali bersolek. Bersolek atau

merias diri menjadi hal yang biasa

dalam kehidupan sehari-hari. Jadilah

kita menjadi masyarakat pesolek

(dandy society). (Chaney, 2004, 179-

183)

Dalam hal solek-menyolek,

wanita adalah jagonya. Di semua lini,

wanita senantiasa suka memamerkan

dirinya. Baik di ruang privat ataupun

ruang publik. Eksistensi wanita seolah-

olah menebarkan tanda. Baudrillard

mengatakan bahwa ruang publik

sekarang sudah penuh dengan “tanda”.

“Tanda” memicu lahirnya keresahan

baru tentang hilangnya ruang publik

yang harusnya independen, menjadi

arena bebas guna mengaktualisasikan

diri atas masalah-masalah sosial. Tak

ada lagi batas mana yang privat dan

mana yang publik. Masyarakat telah

terjebak dalam lautan panggung yang

tidak memisahkan antara yang riil dan

tidak riil.(Baudrillard, 2006, 13-18).

Fenomena Baudrillard sedang

berlangsung. Fenomena sosialita marak

di berbagai daerah. Sosialita, makna

sesungguhnya adalah orang yang

berasal dari kalangan bangsawan, atau

orang yang sudah kaya karena

keturunannya, atau orang yang

berpengaruh dan memiliki kemampuan

untuk mengorganisir/menggerakkan

masyarakat. Di Amerika atau Eropa,

makna sosialita mengacu pada

sekelompok orang kaya yang senang

mengadakan kegiatan sosial, guna

membantu orang yang sedang

kesusahan. Misal : membantu korban

gempa bumi, banjir, dan lain-lain.

Sosialita berbeda dengan jetset.

Golongan jetset berisi manusia kelas

atas juga, tetapi kehidupannya tidak

bersentuhan dengan kegiatan sosial

sama sekali. Golongan ini hanya hidup

untuk dirinya sendiri, hidup dalam

kemewahan, foya-foya, dan gaya hidup

hedon lainnya.

Di Indonesia fenomena sosialita

banyak mengalami pergeseran makna.

Di kota-kota besar, istilah sosialita

mendekati arti asli dari sosialita.

Golongan kelas atas yang mempunyai

gaya hidup serba mewah dan penuh

dengan foya-foya. Golongan inipun

terbagi dua, sosialita yang

berkontribusi terhadap kegiatan sosial,

dan sosialita yang tidak sedikitpun

merambah dunia sosial.

Di daerah yang kotanya tidak

terlalu besar, ada juga fenomena

sosialita. Meski tidak semewah

sosialita kota besar, istilah sosialita di

daerah/kota kecil lebih mengacu pada

sekelompuk orang yang mapan strata

ekonominya, pejabat daerah,

wiraswasta, atau professional, dengan

gaya hidup lebih tinggi daripada

umumnya gaya hidup penduduk di

daerah tersebut. Di kelas lokal,

“persaingan” antar sosialita tidak

seekstrim anggota sosialita di kota

besar. Norma-norma sosial masih

berlaku kental di kelompok ini. Mereka

tidak semena-mena menghabiskan

uang sekian puluh juta hanya untuk

sepasang sepatu atau sebuah tas.

Mereka lebih „sopan‟ dalam mengatur

pengeluaran untuk benda-benda

konsumsi.

Kelompok ini biasanya mepunyai

agenda bulanan dalam bentuk arisan.

Linda Darmajanti, sosiolog Universitas

Indonesia mengatakan, arisan adalah

mekanisme kumpul-kumpul sebuah

komunitas. Yang penting bukan

arisannya, tapi komunitasnya.

Pasalnya, komunitas adalah konsep

paling konkret dari society.(Dalam Joy

Risma, 2013, 27) Sebuah komunitas

dibentuk karena kesamaan visi, misi,

Page 4: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

needs, sense of belonging, dan karakter.

Itulah sebabnya mengapa arisan

merupakan kumpulan orang-orang

sejenis. Dalam arti orang-orang yang

mempunyai persamaan. Misal,

berdomisili di komplek yang sama,

bekerja di tempat yang sama,

mempunyai profesi yang sama, dan

lain-lain. Dalam perkembangannya,

arisan mengalami pergeseran fungsi.

Kalau dahulu arisan hanya sekedar

mengumpulkan uang, dikocok,

kemudian pulang. Kemudian

berkembang tidak hanya sekedar uang,

tapi berupa barang. Misalnya lemari es,

emas, sepeda motor, dan lain-lain.

Akhir-akhir ini marak pula arisan

umroh. Entah bagaimana

perhitungannya, nyatanya arisan jenis

ini banyak pula pengikutnya, dan bisa

berjalan sampai beberapa putaran.

Belakangan arisan banyak

mengalami mutasi. Selain sebagai

sarana investasi, arisan juga dianggap

sebagai sarana refreshing. Sebagai

arena pelepas penat ketika lelah

menghadapi rutinitas sehari-hari. Juga

sebagai ajang pamer eksistensi. Para

arisan ladies, demikian sebutan modern

untuk anggota arisan, menginginkan

kemasan arisan yang lebih segar,

kreatif, dan ceria. Mereka mencari

terobosan agar arisan tidak lagi

menjadi acara yang monoton. Dan,

dresscode adalah jawabannya.

Fenomena dresscode marak lima

tahun terakhir sebagai salah satu alat

untuk memperkuat ikatan antar

anggota. Dresscode diterjemahkan

secara bebas sebagai instruksi

mengenai pakaian yang dikenakan

ketika menghadiri suatu acara.

Biasanya dicantumkan di undangan.

Hal ini dimaksudkan agar para

undangan bisa menyesuaikan antara

baju yang dikenakan dengan suasana

acara, sehingga tercipta nuansa acara

seperti yang diinginkan oleh si

empunya acara. Dresscode banyak

macamnya, mulai dari aneka warna,

batik, kebaya, bahkan yang diambil

dari karakter film (Superman, Nyi

Iteung, Barbie, dll). Anggota arisan

tanpa berkeberatan mematuhi

dresscode yang ditentukan.

METODE PENELITIAN

Metode yang dipakai dalam

penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif. Tekhnik pengumpulan data

yang digunakan adalah observasi,

wawancara, diskusi, dan studi literatur.

Sementara itu, tekhnik analisa yang

digunakan adalah analisa semiotika.

Tekhnik analisa ini dipakai untuk

menganalisa makna dresscode sebagai

alat komunikasi.

PEMBAHASAN

1. Gaya Hidup

Budaya dan masyarakat adalah

dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Keduanya pun tidak bisa dijauhkan dari

komunikasi. Inovasi budaya banyak

membawa perubahan dalam

berkomunikasi. Gaya hidup populer

yang sekarang sedang terjadi

merupakan hasil dari kita

berkomunikasi dan berinteraksi.

Bentuk-bentuk budaya jaman sekarang

menjadi semakin simbolik, kompleks,

dan dinamis.

Gaya hidup mengacu pada

frame of reference (kerangka acuan)

yang dipakai seseorang dalam

bertingkah laku. Dua aspek pentingnya

adalah, pertama individu berusaha

membuat seluruh aspek hidupnya

berhubungan dalam suatu pola tertentu

dan mengatur strategi bagaimana ia

ingin dipersepsi oleh orang lain.

Kedua, tiap individu punya kebebasan

untuk mengatur cara dia berkomunikasi

dengan orang lain. Kebebasan yang

dimaksud adalah kebebasan untuk

menentukan batasan struktural yang

Page 5: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

diinginkannya, seperti kelas sosial,

usia, jenis kelamin, dan kelompok

tertentu.

Gaya hidup sering dihubungkan

dengan kelas sosial ekonomi dan citra

seseorang. Fenomena gaya hidup

dalam masyarakat (Ibrahim, 2007, 133-

135) bisa dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, masyarakat konsumen

Indonesia tumbuh seiring dengan

sejarah globalisasi ekonomi dan

transformasi kapitalisme konsumsi

yang ditandai dengan menjamurnya

pusat-pusat perbelanjaan, industri

waktu luang, industri mode dan

fashion, industri kecantikan, industri

gossip, industri kuliner, kawasan

hunian mewah, gencarnya iklan

barang-barang luks, berdirinya sekolah-

sekolah mahal, kegemaran terhadap

merek-merek asing (branded),

makanan serba instan (fast food),

pemakaian telepon genggam canggih,

dan tidak ketinggalan pula serbuan

gaya hidup melalui media yang

mengusik ruang pribadi setiap orang.

Kedua, globalisasi industri

media dari mancanegara yang

bermodal besar, berupa serbuan

majalah-majalah mode dan gaya hidup

edisi bahasa Indonesia. Majalah-

majalah tersebut menawarkan gaya

hidup yang pada awalnya serasa tidak

terjangkau oleh sebagian besar rakyat

Indonesia. Terpaan media semakin

menjadi ketika TV kabel sudah tidak

eksklusif lagi. Dengan harga relatif

terjangkau, TV kabel sudah bisa

menjadi makanan sehari-hari rakyat

Indonesia kelas menengah.

Ketiga, munculnya gaya hidup

alternatif, yaitu gaya hidup “kembali ke

alam”. Gaya hidup ini adalah

representasi sebagian orang untuk

kembali hidup sederhana, semacam

kerinduan akan kampung halaman,

dengan skala spiritualisme yang lebih

besar. Gaya hidup ini seolah-olah

menjadi antitesis dari gaya hidup

glamour para kaum borjuasi, OKB

(orang kaya baru), yang tanpa malu-

malu memperlihatkannya di depan

umum.

Dengan kesadaran tertentu,

biasanya orang rela bergabung dalam

sebuah kelompok gerakan gaya hidup

yang tidak bersifat formal, dan

mengidentifikasikan diri mereka dalam

“komunitas makna” sebagai cara

mereka mengekspresikan “politik gaya

hidup”(Featherstone, 2001, 199).

Kontribusi media dan konsumsi

sebagai partisipan dalam kelompok-

kelompok sosial kontemporer/gaya

hidup sangat kentara di tengah-tengah

budaya konsumen yang dimediakan

(mediated consumer culture).

Kelompok-kelompok tersebut oleh

Featherstone disebut sebagai

stylization-of-life form of lifestyle. Ciri

khas dari kelompok ini adalah adanya

kode-kode simbolik dan praktik

konsumsi yang tinggi.

Simbol, identitas, dan status,

membentuk satu garis linier yang

saling mempengaruhi. Dalam tingkatan

yang lebih tinggi, merek sebagai

simbol status seseorang memunculkan

harapan untuk “naik kelas”. Pakaian,

sepatu, tas, adalah merupakan bahasa

diam yang berkomunikasi melalui

tanda-tanda nonverbal. Goffman

(dalam Yusuf, 2001, 82) menyebut

simbol-simbol semacam itu sebagai

sign-vehicles atau cues yang

menyeleksi status seseorang dan tata

cara orang lain memperlakukan

mereka.

Busana adalah sarana

komunikasi nonverbal, karena tidak

menggunakan lisan ataupun tulisan.

Meskipun secara teoritis komunikasi

nonverbal dipisahkan dari komunikasi

verbal, tetapi dalam kenyataannya

kedua jenis komunikasi itu jalin

menjalin dalam komunikasi setiap hari.

Page 6: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

Misalnya kalau kita menyatakan

ketidaksetujuan atas sesuatu hal,

biasanya secara otomatis kita akan

menggelengkan kepala.

Busana sering dipakai sebagai

penunjukan nilai sosial seseorang atau

status, dan orang kerap membuat

penilaian status seseorang berdasarkan

pakaian yang dikenakannya. Status dan

nilai sosial merupakan perkembangan

dari berbagai sumber, misalnya jabatan,

ras, ataupun keturunan keluarga. Dalam

abad gaya hidup, penampilan adalah

segalanya. Perhatian terhadap urusan

penampilan bukan barang baru dalam

abad ini. Erving Goffman (dalam

Chaney, 2004, 194) mengatakan bahwa

kehidupan sosial terutama terdiri dari

penampakan teatrikal yang diritualkan,

yang dikenal dengan pendekatan

dramaturgi (dramaturgical approach).

Artinya bahwa dalam keseharian kita

seolah-olah berada di atas sebuah

panggung. Berbagai penggunaan ruang,

barang-barang, bahasa tubuh, ritual

interaksi sosial, tampil untuk

memfasilitasi kehidupan sosial sehari-

hari. Semua orang ingin menjadi

penonton sekaligus ditonton. Ingin

melihat tetapi sekaligus juga dilihat.

Penampakan luar menjadi barang

penting bagi gaya hidup. Pakaian dan

fashion menjadi komoditas utama

untuk ditonjolkan. Para pekerja seni,

politisi, dan orang-orang yang sering

berhadapan denga audiens akan terus

berusaha memanipulasi penampakan

luar mereka. Citra diri mereka

ditempelkan pada pakaian yang

dikenakannya. .

Pentingnya peran busana,

dandanan, dan perhiasan dalam

komunikasi insani selalu mendapat

perhatian tersendiri. Busana dipandang

memiliki fungsi komunikatif. Sebagai

bentuk komunikasi, pakaian bisa

menyampaikan pesan artifaktual yang

bersifat nonverbal. Selain sebagai alat

pelindung, busana juga mempunyai

fungsi kesopanan.

2. Semiotika

Ilmu tentang tanda (semiotika)

mempelajari tentang hakikat

keberadaan suatu benda. Oleh karena

itu, salah satu cara untuk membaca

realitas (budaya, sosial, media) adalah

dengan memahami konteksnya. Lewat

konteks, orang dapat memahami

masalah yang ada dan pemecahannya

tidak berlaku untuk konteks yang lain.

Dalam kasus pemberitaan di sebuah

media, jurnalis dapat menuangkan

„madu‟ dan „racun‟ secara bersamaan

atau bergantian menurut konteksnya.

Sebuah berita buruk bisa diperhalus

untuk meminimalisir efek yang terjadi.

Sebaliknya , berita bagus bisa berakibat

runyam bila tidak pandai mengolahnya.

Dengan demikian, konteks menjadi alat

penting dalam memahami realitas.

Preminger (dalam Burhan Bungin,

2007, 173) mengatakan bahwa semua

semua fenomena sosial dan

kebudayaan itu adalah tanda-tanda.

Semiotika bertugas mempelajari

sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-

konvensi yang membuat tanda-tanda

tersebut mempunyai arti.

Charles Sanders Pierce

menjelaskan bahwa semiotika dapat

diklasifikasikan dengan keterangan

sebagai berikut :

1. Hubungan penalaran dengan jenis

penandanya,

a. Qualisigns.

Qualisigns adalah tanda

berdasarkan suatu sifat.

Contohnya sifat kuning. Kuning

merupakan tanda karena

mengacu pada perilaku tertentu.

Agar benar-benar berfungsi,

kuning harus memperoleh

bentuk. Maka, kuning dipakai

sebagai tanda. Misalnya,

sebagai pengungkap rasa

Page 7: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

senang, sebagai tanda

peringatan dalam rambu-rambu

lalu lintas, sebagai warna

kebangsan Golkar. Dan

bentuknya adalah papan lalu

lintas, pita pesta pora

kemenangan, dan sebagai jaket

kebangsaan Golkar.

b. Sinsigns

Sinsigns adalah tanda dalam

kenyataan. Misalnya, gertakan

bisa berarti kekagetan,

ancaman, kemarahan. Bentuk

dari gertakan adalah suara keras

dan disertai sentakan.

c. Legisigns

Legisign adalah tanda atas suatu

peraturan berlaku umum,

konvensi. Contoh : tanda-tanda

lalu lintas, cara berjabat tangan,

mengangguk untuk mengatakan

ya, dan lain-lain.

2. Hubungan kenyataan dengan jenis

dasarnya

a. Icon, sesuatu yang

melaksanakan fungsi sebagai

penanda yang serupa dengan

bentuk obyeknya (adanya

kemiripan). Misal : foto dengan

peta

b. Index, sesuatu yang

melaksanakan fungsi sebagai

penanda yang mengisyaratkan

petandanya. Misal, asap adalah

tanda adanya api

c. Symbol, sesuatu yang

melaksanakan fungsi sebagai

penanda yang berlaku umum di

masyarakat (konvensi)

3. Hubungan pikiran dengan jenis

petandanya

a. Rheme/seme, adalah tanda yang

memungkinkan orang untuk

menafsirkan berdasar pilihan.

Missal, mata merah dapat

menandakan bahwa orang

tersebut barusaja menangis, tau

sedang sakit mata, atau baru

saja kemasukan serangga.

b. Dicent/decisign, adalah tanda

sesuai kenyataan. Penanda

yang menampilkan informasi

tentang petandanya. Missal,

bila di suatu tikungan sering

terjadi kecelakaan, maka disitu

dipasang rambu lalu lintas

yang menyatakan bahwa di

tempat itu sering terjadi

kecelakaan.

c. Argumen, adalah tanda yang

yang langsung memberi alasan

tentang sesuatu (kaidah)

Pierce lebih jauh mengatakan

bahwa tipe-tipe tanda seperti ikon,

indeks, dan simbol, memiliki nuansa-

nuansa yang dapat dibedakan. Ikonis

adalah sesuatu yang dapat dilihat

berupa gambar, lukisan, patung, foto.

Indeksial adalah sesuatu yang dapat

mengisyaratkan sesuatu hal melalui

suara, langkah-langkah, bau, dan gerak.

Sesuatu yang bersifat simbol adalah

tanda yang dapat diucapkan, baik oral

maupun dalam hati, yaitu makna dari

gambar, bau, lukisan, gerak.

Tanda dan makna memiliki

konsep dasar dari semua model makna

dan dimana secara luas memiliki

kemiripan. Masing-masing

memperhatikan tiga unsur yang selalu

ada dalam kajian tentang makna.

Ketiga unsur itu adalah; (a) tanda, (b)

acuan tanda, dan (c) pengguna tanda.

Berikut adalah model makna dan tipe

tanda meurut Pierce.

Gambar1.1.

Unsur Makna dari Pierce

Ta

nd

a

O

bj

ek

Inter

preta

n

Page 8: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

Gambar 1. 2.

Kategori Tipe Tanda dari Pierce

Agar dapat dideskripsikan secara

jelas, rinci, dan mampu mendapatkan

data yang mendalam, maka penelitian

ini dirancang dengan menggunakan

pendekatan deskriptif kualitatfi

.Pemilihan pendekatan kualitatif,

didasarkan atas karakteristik tema

penelitian yang lebih banyak

menghadirkan makna-makna dibalik

suatu peristiwa atau proses yang

berlangsung.

Data dalam penelitian ini

dikelompokkan menjadi dua macam,

yaitu data utama dan data pendukung (

Moleong, 2011). Data utama adalah

kata-kata dan pernyataan responden

berkaitan dengan fenomena dresscode

sebagai alat komunikasi. Sedangkan

data pendukungnya adalah data yang

terkait secara langsung maupun tidak

langsung dengan penelitian, seperti

profil kelompok arisan ini, visi dan

misi, data anggotat, sarana dan

prasarana, program kegiatan atau acara

arisan dan juga peraturan yang dibuat

dan berlaku dalam kelompok arisan ini.

4. Pembahasan

Arisan adalah bagian dari

budaya pop Indonesia yang

sesungguhnya sudah ada sejak lama.

Arisan pada dasarnya adalah

sekelompok orang (umumnya kaum

hawa) yang berkumpul dan

mengumpulkan uang secara teratur tiap

periode tertentu. Setelah uang

terkumpul, akan diundi nama yang

dinyatakan sebgai pemenang. Periode

putaran arisan berakhir bila semua

anggota telah mendapatkan undian.

Tujuan awal arisan adalah

menjalin silaturahmi antar keluarga

besar. Seiring berjalannya waktu,

keberadaan arisan banyak mengalami

perubahan. Dari sekedar wadah

silaturahmi, menjadi sarana pengakuan

sosial, sarana bertemu antar tetangga

yang dililit kesibukan bekerja, sampai

sarana bergunjing ibu-ibu kompleks.

Sosiolog Universitas Indonesia,

Linda Darmayanti (dalam Nadia dan

Joy, 2013, 28) mengatakan bahwa

arisan adalah mekanisme berkumpul

sebuah komunitas. Yang dipelajari dan

dianggap penting dalam sosiologi

bukan arisannya, tetapi komunitasnya.

Sebab komunitas adalah konsep paling

konkret dari society. Sebuah komunitas

terbentuk karena kesamaan visi, misi,

karakter, kebutuhan, dan perasaan

saling memiliki. Itulah sebabnya

mengapa arisan pada umumnya adalah

kumpulan orang-orang sejenis. Artinya

anggota arisan adalah orang-orang

yang punya persamaan. Misalnya,

mempunyai profesi yang sama,

bertempat tinggal di lingkungan yang

sama, maupun anak-anak yang

bersekolah di tempat yang sama.

Linda menambahkan,

komunitas itu pada dasarnya bervariasi.

Ada yang primordial, seperti

paguyuban atau arisan keluarga besar.

Ada juga yang berdasarkan profesi,

gaya hidup, sampai spasial seperti di

lingkungan RT atau RW. Dalam

perkembangannya, konsep arisan yang

sederhana ini membuat arisan dipakai

untuk dijadikan instrumen

mengembangkan komunitas.

Departemen Kesehatan melakukan

sosialisasi di daerah-daerah untuk

meningkatkan fasilitas sanitasi dan

perilaku sehat warga dari strata sosial

Ik

on

Si

m

bo

ll

Inde

ks

Page 9: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

menengah ke bawah di desa-desa.

Setiap kepala keluarga atau beberapa

rumah tangga diminta menyumbangkan

sedikit uang setiap bulan. Mereka yang

mendapat arisan bulan tersebut akan

dibangunkan toilet di rumahnya. Berkat

sistem ini, terjadi peningkatan

pengguna WC di Sulawesi Selatan ,

dari 45% di tahun 2008, menjadi

hampir 80% di tahun 2011. (Nadya,

Joy, 2013, 30)

Praktik arisan tidak hanya ada

di Indonesia. Di Malaysia, arisan

dikenal dengan istilah “main kutu”.

Para pelaku “main kutu” di Malaysia

tidak berbeda dengan di Indonesia.

Mereka akan dengan senang hati

mendatangi tempat-tempat dimana

“main kutu” diadakan. Di Vietnam

arisan dikenal dengan sebutan

“ho”.Praktik “ho” dilakukan dengan

mengumpulkan iuran beras, bukan

uang atau emas. Di Filipina, arisan

dikenal dengan nama “paluwagan”,

yang diartikan sebagai media/sarana

untuk merangkul jejaring. Di Amerika ,

arisan dikenal denan istilah saving

club.

Secara ekonomis, peserta

banyak mendapat keuntungan dari

arisan ini. Peserta yang menang di awal

adalah peserta yang banyak mendapat

keuntungan. Layaknya mendapat

pinjaman tanpa bunga. Ini sangat

berarti bagi mereka yang memerlukan

modal bisnis atau dana saat kebutuhan

mendesak, seperti biaya sekolah anak.

Selain itu, mengacu pada inflasi, nilai

uang yang didapat lebih berharga

daripada yang menang terakhir, apalagi

bila kocokannya besar. Sementara yang

mendapat belakangan tidak mendapat

apa-apa, yang berarti yang

bersangkutan kehilangan opportunity

cost.

Tetapi setiap orang mempunyai

pertimbangan dan justifikasi sendiri.

Sebagai contoh, ibu A menginginkan

agar arisannya ditarik saat ia

membutuhkan dana tambahan untuk

liburan atau untuk uang pangkal masuk

sekolah anak, sehingga ia akan merasa

bahagia bila mendapat arisan bulan

Mei. Lain halnya ibu B yang lebih

menginginkan mendapat arisan saat

penutupan, agar tidak ada lagi

kewajiban membayar iuran.

Dresscode adalah salah satu

kecenderungan busana yang sedang

ramai saat ini. Pentingnya peran busana

dalam proses komunikasi insani telah

mendapat sorotan dari banyak pakar.

Busana dipandang memiliki suatu

fungsi komunikatif. Busana, kostum,

dan dandanan adalah bentuk

komunikasi artifaktual. Dalam buku-

buku komunikaasi, komunikasi

artifaktual biasanya didefinisikan

sebagai komunikasi yang berlangsung

melalui pakaian dan berbagai artefak.

Misalnya dandanan, perhiasan,

furniture, dekorasi rumah, dan lain

sebagainya. Busana yang kita pakai

bisa menampilkan berbagai fungsi.

Sebagai bentuk komunikasi, pakaian

bisa menyampaikan pesan artifaktual

yang bersifat non verbal. Pakaian bisa

melindungi kita dari cuaca buruk.

Pakaian juga membantu kita

menyembunyikan bagian-bagian tubuh,

sehingga pakaian mempunyai fungsi

kesopanan. Desmond Morris (dalam

Ibrahim, 2007, 242) mengatakan bahwa

pakaian juga menampilkan peran

sebagai pajangan budaya (cultural

display) karena ia mengkomunikasikan

budayanya. Pakaian bisa menunjukkan

identitas nasional dan kultural

pemakainya. Orang membuat

kesimpulan tentang kita sebagian bisa

juga dilihat dari apa yang kita pakai.

Kelas sosial kita, keseriusan kita,

afiliasi politik kita, sedikit banyak bisa

dilihat dari cara kita berbusana.

Dengan kata lain, pakaian bisa

dimetaforakan sebagai kulit sosial dan

Page 10: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

budaya kita (Ibrahim, 2007, 245).

Pakaian merupakan ekspresi identitas

pribadi. Oleh karena itu, “memilih

pakaian, baik di toko, di rumah,

maupun di jalan, berarti

mendefinisikan dan menggambarkan

diri kita sendiri” (Lurie dalam Ibrahim,

2007, 244). Yang dimaksud disini

adalah gaya busana sebagai indikator

status yang jelas, tidak termasuk

seragam yang dipakai sebuah institusi

tertentu.

Busana adalah salah satu dari

seluruh rentang penandaan yang paling

jelas dari penampilan luar. Dengannya

orang menempatkan diri mereka

terpisah dari yang lain. Selanjutnya

mereka diidentifikasi sebagai suatu

kelompok tertentu. Di dalam

TheBeauty, dresscode hanyalah

patokan. Anggota tidak boleh terbebani

dengan kostum yang ditentukan.

Anggota wajib memakai busana yang

sudah ada di rumah. Misal, apabila

bulan ini ditentukan drescode yang

dipakai adalah kuning, maka anggota

boleh memakai kuning muda, kuning

tua, kembang-kembang kuning, atau

garis-garis kuning. Pendeknya, tidak

harus kuning polos. Itulah sebabnya

mengapa mereka menyebut kata

„nuansa‟ pada setiap warna yang

dijadikan dresscode.

Berikut adalah beberapa contoh

dresscode yang pernah dipakai

TheBeauty dalam rentang kegiatan 3

tahun.

1. Busana bernuansa warna putih

Putih adalah warna yang

banyak dimaknai secara positif.

Dalam bendera Indonesia, putih

artinya suci. Merah artinya berani.

Warna putih sangat bagus untuk

menampilkan kesucian,

kesederhanaan, kebersihan, dan

keamanan. Banyak anggota yang

menyukai warna ini karena

memberi kesan bersih dan

bercahaya bagi pemakainya.

Warna putih adalah warna yang

paling banyak diminta anggota..

Tetapi demi menjaga kreativitas,

maka tiap satu warna hanya boleh

dipakai satu kali dalam setahun.

Warna ini adalah representasi

kebersihan hati perempuan dalam

mengelola rumah tangga. Cobaan

hidup dan godaan dalam

mengarungi rumah tangga

dihadapi dengan kebersihan hati

2. Busana bernuansa warna merah

Merah adalah warna yang

melambangkan kekuatan,

keberanian, dan rasa percaya diri

yang tinggi. Merah adalah warna

yang mempunyai banyak arti,

mulai dari cinta yang

menggairahkan sampai kekerasan

perang. Warna ini tak cuma

mempengaruhi psikologi

seseorang, tapi juga fisik.

Penelitian menunjukkan, menatap

warna merah bisa meningkatkan

detak jantung dan membuat kita

bernapas lebih cepat. Banyak

ragam warna merah yang dipakai

sebagai dresscode, misalnya

kebaya merah, jersey tim sepak

bola Manchester United, bahkan

baju kebesaran suku Madura garis-

garis merah. Warna merah bersifat

dinamis dan dramatis. Warna ini

pekat dengan keberanian dan

keceriaan. Pemakai warna merah

merasa terbangkitkan keberanian

dan optimisme dalam menghadapi

hidup. Warna merah sebagai warna

asesoris melambangkan keberanian

yang total. Hal ini dilambangkan

dengan gambar tengkorak merah

pada kalung yang dipakai beberapa

anggota. Secara mental, mereka

menjadi bertambah berani karena

banyak teman yang memakainya.

Perasaan senasib sepenanggungan

menjadi perekat antar anggota

Page 11: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

3. Busana bernuansa warna hitam.

Hitam adalah warna kuat, elegan,

agung, sophisticated. Hitam punya

reputasi buruk. Warna ini dipakai

oleh para penjahat di komik atau di

film. Hitam juga melambangkan

duka dan muram. Di sisi lain,

hitam adalah warna abadi,

menyatakan sesuatu yang klasik,

dan secara universal dianggap

sebagai warna yang

melangsingkan. Meskipun warna

ini berkesan kotor, kusam, tapi

banyak sekali penyuka warna ini.

Kesan kuat, agung, sekaligus seksi,

sangat melekat di warna ini.

Warna hitam bersifat lentur,

mudah dikombinasikan dengan

warna lain, dan aksesori jenis

apapun. Anggota merasa bahwa

dengan memakai warna ini akan

merasa tenang, dominan, dan

berani menghadapi hidup. Hitam

juga identik dengan maskulinitas,

keperkasaan, ketangguhan dan

keuletan. Dengan hitam, mereka

siap, dan tidak takut menghadapi

cobaan apapun

4. Baju Kebaya

Kebaya menyimpan nila-nilai

filosofi kehidupan yang tinggi.

Bentuk kebaya yang sederhana

bisa dikatakan sebagai wujud

kesederhanaan masyarakat

Indonesia. Kebaya melambangkan

kepatuhan, kehalusan, dan

kelembutan tindak-tanduk seorang

wanita. Mengenakan kebaya

mampu merubah wanita menjadi

seorang yang anggun dan

berkepribadian. Tetapi dalam

sejarah TheBeauty belum pernah

sekalipun memakai kebaya

lengkap dengan kain dan setagen

yang dibebat di perut. Jenis kebaya

yang dipakai pada komunitas ini

adalah kebaya semi modern,

dengan model yang lebih simpel

dan warna yang lebih beragam.

Bahkan pernah kelompok ini

memakai atasan kebaya dan

bawahan celana jins. Responden

mengatakan bahwa hal tersebut

sah-sah saja selama filosofi kebaya

sebagai salah satu budaya

Indonesia masih melekat. Yaitu

kepatuhan, kesantunan, semeleh,

dan nrimo ing pandum. Dengan

feminitas kebaya, anggota tetap

dapat menyelesaikan permasalahan

hidup, tegar, tidak mudah

menyerah

5. Baju Jins

Jins adalah busana busana paling

universal di dunia. Jins

merepresentasikan persamaan

status, derajat dan menghilangkan

perbedaan. Pakaian dari jins

melambangkan kebebasan, casual,

santai, dan sporty. Sejarah jins

justru dimulai dari pakaian kaum

pekerja menengah ke bawah. Jins

berkonotasi jelek, berafiliasi

dengan geng motor dan kaum

hippies (Barnard, 1996, 183). Pada

perkembangannya semua strata

sosial sangat menyukai jins

beraneka warna dan desain. Jins

menjadi icon manusia-manusia

berjiwa muda dan trendi. Busana

jins adalah busana paling sering

menjadi dresscode di kelompok

TheBeauty. Sifatnya yang ringan,

santai, dan mudah didapat adalah

penyebab busana ini menjadi

busana idola. Baju ini baju

“kebangsaan” semua orang. Kesan

egaliter yang menempel pada

bahan ini adalah alasan utama

kenapa semua orang menyukainya.

Serius tapi santai melekat pada

kostum ini. Dalam menyelesaikan

masalah, seringkali rasa putus asa

lebih mendominasi. Tetapi

berbekal rasa yakin, pelan tapi

Page 12: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

pasti, hal-hal penyulit hidup pasti

akan teratasi

6. Baju Batik .

Batik adalah salah satu baju asli

Indonesia yang banyak mengalami

metamorfose. Pada jaman dahulu,

batik adalah tradisi turun temurun,

sehingga dari motif baju batik

yang dipakainya dapat dikenali

darimana orang tersebut berasal.

Beberapa motif batik dapat

menunjukkan status seseorang.

Bahkan sampai saat ini beberapa

motif batik tradisional hanya

dipakai oleh keluarga kraton

Yogyakarta dan Surakarta. Ragam

corak dan warna batik banyak

dipengaruhi oleh kehidupan sehari-

hari. Corak batik pesisir berbeda

dengan batik pedalaman. Batik

Jogja lain dengan batik

Pekalongan. Warna batik

tradisional yang hanya putih,

coklat, dan hitam, banyak

mengalami perubahan. Batik-batik

modern banyak mengekspose

warna-warna cerah. Seperti merah,

kuning, dan biru. Baju batik yang

aslinya berasal dari dalam kraton,

membuat pemakai merasa

tersanjung. Sebagai orang luar,

dianggap sebagai anggota keluarga

kraton adalah anugerah yang luar

biasa. Pemakai baju ini merasa

bahwa batik mampu membuat hati

terasa tentram, tidak terburu-buru,

tapi tetap optimis menghadapi

cobaan hidup. Batik tetap sebagai

representasi kostum yang elegan,

cantik, dan penuh improvisasi.

7. Baju Hippies

Hippie sebenarnya adalah gerakan

budaya di Amerika Serikat dan

Eropa Barat di akhir tahun 1960-

an. Ketika itu kaum muda

menentang kemapanan generasi

tua yang semakin materialistis.

Mereka juga menentang keinginan

negara yang memaksa untuk

menjalani Perang Vietnam.

Semboyan mereka adalah “make

love not war”. Mereka

menginginkan perdamaian. Simbol

yang mereka usung adalah gambar

bunga, sehingga disebut the flower

generation. Waktu itu banyak anak

orang kaya yang ingin merasakan

menjadi “orang miskin” dengan

cara berpakaian seadanya,

tumpang tindih, dan semau gue.

Dengan cara inilah mereka

melakukan protes terhadap

kenyataan yang ada. Cara busana

mereka yang terlalu seadanya,

cenderung compang-camping, dan

terkesan kumuh ini justru menjadi

daya tarik tersendiri bagi generasi

selanjutnya. Hal ini sebagai

representasi kebebasan dan

aktualisasi kaum muda. Baju

hippies adalah representasi hidup

yang penuh improvisasi. Teori

kehidupan dan praktek berjalan

berdampingan

PENUTUP Berdasarkan uraian di atas,

kesimpulan hasil peneliian adalah:

1. Aktualisasi diri sebagai kebutuhan

pertama manusia, oleh karena itu,

perempuan mendatangi arisan

dengan memakai dresscode untuk

mengaktualisasikan diri. Sarana

untuk pembuktian bahwa

keberadaan mereka diakui oleh

orang lain dan setara dengan para

professional yang lain.

2. Dresscode dipakai sebagai

penanda identitas, karena

merupakan simbol dari individu

dan kelompok tertentu. Dengan

ber-dresscode, seseorang merasa

menjadi anggota kelompok

tertentu sehingga dapat menambah

rasa percaya diri termasuk dalam

mengelola rumah tangga

Page 13: SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN (Studi Kasus …unim.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/1-SEMIOTIKA-DRESSCODE-DALAM... · Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat

3. Pemakaian dresscode dapat

mempengaruhi kohesivitas antar

anggota karena secara psikologis,

seringnya berkumpul dan bersama-

sama memakai busana yang senada

makin memperkuat ikatan

persaudaraan diantara anggota.

4. Kohesivitas yang tinggi dapat

meningkatkan relasi sosial,

ekonomi, dan politik antar

anggota.

Berdasarkan kesimpulan hasil

penelitian di atas, saran yang dapat

dijadikan rekomendasi adalah:

1. Meminimalisir hedonisme yang

selama ini melingkupi kegiatan yang

diadakan oleh kelompok tersebut.

Tidak bisa dipungkiri, anggapan

bahwa kelompok tersebut adalah

kelompok borjuis disebabkan gaya

hidup sebagian anggota yang tidak

bisa mengendalikan diri dalam

pergaulan sosial. Penampilan

mencolok yang menjadi identitas

sebagian anggota hendaknya

diminimalisir. Kualitas anggota

hendaknya lebih ditingkatkan.

Workshop dan kursus singkat yang

sudah sering diadakan, akan lebih

baik kalau lebih diperbanyak

2. Memperbanyak frekuensi kegiatan

sosial yang selama ini sudah

dilakukan. Kegiatan sosial yang

biasanya 3 bulan sekali, bisa

diperbanyak menjadi 2 bulan sekali

Forum diskusi kecil ditingkatkan

dengan mengundang pakar yang

kompeten. Mini workshop perlu

segera direalisasikan.

3. Membuka keanggotaan untuk

masyarakat yang lebih luas. Tidak

hanya untuk lingkunngan terbatas

saja, supaya memperluas jaringan

daan relasi bisnis, sosial, dan politis.

Semakin banyak anggotanya,

semakin populis kelompok ini.

4. Dresscode tidak dijadikan sebagai

satu-satunya patokan eksklusivitas.

Kompetensi dan profesionalisme

harus lebih diutamakan. Manfaat

dari terbentuknya kelompok ini

harus lebih ditingkatkan. baik dari

segi personal maupun kelompok.

Kajian semotik yang diteliti

hendaknya dapat diambil manfaat

sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 2010,Manajemen

Penelitian, edisi Revisi,

Jakarta, Rineka Cipta

Lull, James 2000, Media, Komunikasi,

Kebudayaan : Suatu

Pendekatan Global, Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia

Moleong, L. J., (2011), Metodologi

Penelitian Kualitatif, Edisi

Revisi, Cetakan Keduapuluh

sembilan, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya

Moelyana, Deddy, 2009, Metode

Penelitian Kualitatif,

Bandung, PT Remaja Rosda

Karya

Moelyana, Deddy, ,2007, Komunikasi

Suatu Pengantar, Edisi Revisi,

Bandung, PT Remaja Rosda

Karya

Rahmat, Jalaludin, 2005, Psikologi

Komunikasi, edisi revisi,

Bandung, Remaja Roosda

Karya

Storey, John, 2006, Pengantar

Komprehensif Teori dan

Metode:Cultural Studies dan

Kajian Budaya Pop,Edisi

Terjemahan, Cetakan

1,Yogyakarta, Jalasutra