sembilan - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/cornelis.p09/material/9... ·...

Download Sembilan - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/cornelis.p09/material/9... · disampaikan Mary Robinson dari UNHCR,4 dijadikan 2 Lihat misalnya, Chandrasekaran and P. Finn,

If you can't read please download the document

Upload: dodung

Post on 06-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    215

    Sembilan

    Menjaring Bayang-bayang: Dilema Pengawasan Intelijen

    Dalam Masyarakat Demokratis

    Cornelis Lay Pembuka: Dilema Masyarakat Moderen Masyarakat modern senantiasa dihadapkan pada dilema antara kebutuhan-kebutuhan yang saling membatasi, bahkan meniadakan, yakni di antara kebutuhan akan keamanan dan kebutuhan akan demokrasi. Dilema ini tidak hanya berlangsung dalam sebuah negara bangsa, tapi juga pada level global. Pasca tragedi 11 September di AS, sejumlah kajian1 dan laporan dari berbagai belahan dunia menunjukan dengan benderang kecenderungan yang sangat kuat 1 Lihat misalnya, Paul Todd and Jonathan Bloch, Global Intelligence. The Worlds of Secret Services Today (London: Zed Books, 2003); Uwe Johannen, Alan Smith and James Gomes (Eds), 911: September 11 and Political Freedom. Asian Perspective (Singapore: Select Publishing, 2003).

  • Cornelis Lay

    216untuk mengorbankan kebutuhan akan demokrasi kebebasan sipil dan hak-hak asasi manusia -- baik di negara-negara Barat maupun Asia. Di AS misalnya, perang melawan terorisme telah menjadi sarana pembenaran bagi diambilnya sejumlah kebijakan kontroversial yang secara fundamental menempatkan hak-hak demokratis paling tidak dari kelompok masyarakat minoritas tertentu -- pada skala yang lebih rendah di hadapan kebutuhan akan keamanan. Kebijakan imigrasi yang semakin ketat, pembatasan kebebasan sipil, pelangkahan prosedur legal normal, dan peningkatan secara dramatis anggaran bagi kepentingan militer dan intelijen2 adalah contoh-contoh kecil mengenai hal ini. Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Inggris yang yang semakin melonggarkan pemaknaan mengenai detention3 dalam aturan mainnya yang memfasilitasi lembaga keamanan dan intelijen dengan kekuasaan yang semakin besar atas nama perang melawan terorisme. Di kawasan Asia, konsolidasi secara cepat juga dilakukan kebanyakan rejim politik untuk mempertegas kembali pemihakan mereka atas kebutuhan akan keamanan melalui penggunaan isu perang anti terorisme, bahkan sebagaimana disampaikan Mary Robinson dari UNHCR,4 dijadikan 2 Lihat misalnya, Chandrasekaran and P. Finn, US Skirts Law on Terror, International Herald Tribune, (12 Maret 2002); S. Fainaru and A. Goldenstein, US Detention Tactics is Illegal, court rules, International Herald Tribune (18 April 2002). 3 E. Pfanner, UK Seek to Widen Powers of Detention, International Herald Tribune (12 November 2002) 4 M. Richardson, Asian Regimes Appears to Use War on Terror to Stem Discent, International Herald Tribune, (21 November 2001)

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    217 sebagai alasan untuk menyingkirkan lawan. Di China isu yang sama dipakai untuk meningkatkan represi rejim di kawasan barat propinsi Xinjiang5. Sejumlah reportase dan analisis di atas mempertegas watak dilematis yang dihadapi masyarakat modern baik pada tingkat global maupun negara bangsa dalam menentukan pilihan di antara keamanan dan demokrasi sebagai dua kebutuhan kolektif yang sama mendasarnya. Pemenuhan kebutuhan akan keamanan sebagai public goods6 mengandung di dalamnya sifat-sifat pembatasan atas kebebasan individu dan masyarakat, bahkan dalam kasus ekstrim di sejumlah negara, meniadakan bukan saja kebebasan individu dan masyarakat, tapi juga hak-hak dasar manusia yang merupakan properties dasar yang dilindungi oleh sebuah sistem yang demokratis.7 Kebutuhan akan keamanan adalah salah satu rasion detre dari kehadiran negara. Fungsi perlindungan warga negara menjadi alasan paling klasik yang menjustifikasi

    5 C. Hutzler, Beijing Outlines Terrorist Links, Asian Wall Street Journal, (22 Januari 2002). 6 Untuk membedakannya dengan private dan collective goods, lihat, misalnya, Sally Sargeson, Introduction: the Contested Nature of Collective Goods in East and Southeast Asia dalam Sally Sargeson, Collective Goods, Collective Future in Asia (London: Routledge, 2002). 7 Demokrasi baik sebagai prosedur maupun sebagai substansi selalu menemukan hak-hak asazi manusia dan kebebasan individu dan masyarakat sebagai nilai-nilai tertinggi yang harus dilindunginya. Lihat misalnya, Robert A. Dahl, On Democracy (New Haven: Yale University Press, 1998).

  • Cornelis Lay

    218kehadiran institusi negara dengan segala instrumen dan kewenangan yang melekat di dalamnya. Secara lebih spesifik, kebutuhan akan keamanan inilah yang menjadi landasan berpikir yang menjustifikasi adanya monopoli penggunaan kekerasan secara sah yang diberikan kepada negara, yang secara praktis digenggam oleh institusi yang menjalankan fungsi di bidang keamanan secara luas.8 Sementara kebutuhan akan demokrasi lahir dari evolusi perkembangan peradaban manusia yang telah mencapai fase dimana keamanan manusia, termasuk di dalamnya hak-hak dasar dan kebebasan yang melekat dalam individu dan masyarakat mendapatkan tempat yang sangat terhormat dalam pengaturan kehidupan bersama dan dengannya, meletakan kewajiban di pihak negara untuk menjaminnya. Demokrasi terlepas dari semakin banyaknya penambahan atribut ke dalam konsep ini dalam dua dasawarsa terakhir ini -- lewat prestasi yang diletakannya di sepanjang sejarah peradaban politik, memastikan diri sebagai sistem yang unggul dalam dirinya sendiri dalam mempromosikan banyak nilai dan tujuan kolektif masyarakat manusia, mulai dari cita-cita kemakmuran hingga pada terbentuknya tertib

    8 Semua literatur klasik, teori-teori kontrak sosial, misalnya, senantiasa menempatkan keamanan dan kemakmuran sebagai dua fungsi asli atau klasik negara yang menjustifikasi kehadiran negara berikut institusi dan kewenangan yang melekat di dalamnya. Lihat misalnya, Mac Iver, The Modern State (Oxford: Oxford University Press, 1964).

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    219 sosial yang sejati, bukan saja dalam batas-batas klasikal negara bangsa, tapi juga dalam sistem global.9 Pada titik inilah dilema muncul: bekerjanya demokrasi, antara lain, mengharuskan penurunan secara signifikan menggunaan metode dan cara kerja di sektor keamanan yang paling fungsional untuk jangka pendek, sementara pencapaian keamanan, melibatkan metode dan cara kerja yang dalam banyak hal berhadapan secara diametral dengan kebutuhan akan demokrasi. Gambaran persoalan di atas mengharuskan politik berfungsi untuk mencari jalan keluar: sebuah seni pengaturan politik yang mampu menciptakan mekanisme dan instrumen yang efektif dalam mendamaikan kedua kebutuhan di atas. Bab ini mendiskusikan seni mendamaikan dilema di atas melalui pemanfaatan instrumen teknokratis yang dikenal dalam sistem organisasi modern, yakni pengawasan. Intelijen dan Pengawasan: Melacak Keharusan Intelijen merupakan bagian integral dari fungsi keamanan negara. Sebagai metode, intelijen telah dipraktekkan di sepanjang sejarah manusia sebagai

    9 David Held, Democracy and the Global Order (Stanford: Stanford University Press, 1995).

  • Cornelis Lay

    220bagian integral insting survival manusia,10 apalagi dalam bentuknya sebagai sebuah kesatuan, semisal suku, kerajaan ataupun negara. Lebih dari sebatas metode, intelijen telah berkembang menjadi bagian integral dari ilmu pengetahuan mengenai statecraft11 serta alasan bagi kejayaan dan kemenangan dalam perang jauh sebelum peradaban politik modern berkembang. 12 Dalam perkembangan terkini, intelijen telah berkembang sebagai ilmu tersendiri,13 ruang lingkup kerjanya menjadi sangat luas,14 dan dalam 10 Intelijen sebagai seni dan ilmu pengetahuan telah melewati rentangan sejarah yang sangat panjang dan terus mengalami pertumbuhan pesat hingga dunia modern sekarang ini; Lihat misalnya, Allen Dulles, The Craft of Intelligence (New York: The New American Library, 1965. 11 Sebagai bagian dari ilmu ketatanegaraan, dokumen tertulis yang tersedia dapat dilihat dalam karya Kautilya sebagaimana telah ditranslasikan, diedit dan diinterpretasikan secara baru oleh L. N. Langarajan, The Astrabrata (New Delhi: Pinguin Books, 1992), khususnya Bagian IX, X dan XI. Secara tidak langsung, kebutuhan akan intelijen lewat diskusi yang luas atas sentralitas peran angkatan perang -- sebagai bagian dari pembangunan negara dapat dilihat dalam Plato, Republik, terj. Sylvester G. Syukur, (Jakarta: Bentang, 2002). 12 Sun Tzu, seniman dan filsuf perang Cina secara tegas menyebutkan fungsi strategis foreknowledge atau waskita -- sebuah term yang dipakai untuk menggambarkan produk kerja intelijen sebagai kekuatan penentu kejayaan penguasa dan penentu kemenangan seorang jenderal dalam perang; lihat Allen Dulles, Op.Cit.. 13 Lihat misalnya, Abram N. Shulsky dan and Gary J. Schmitt, Silent Warfare, 3rd ed, (Washington D.C.: Brasseys, Inc., 2002); Jono Hatmodjo, Intelijen Sebagai Ilmu (Jakarta: Balai Pustaka, 2003). 14 Lihat misalnya, William MacCullum, Computer Security in Defence, dalam Anthony Bergin and Robert Hall (eds), Intellegence and Australian National Security (Canberra: Australian

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    221 posisinya sebagai seni, fungsi ini mengalami intensifikasi luar biasa seiring dengan penemuan teknologi (komunikasi) dan meningkatnya ketegangan dunia yang berakhir dengan dua perang dunia.15 Sentralitas posisi intelijen dalam perkembangan peradaban manusia tidak terlepas dari peran sentralnya dalam menyediakan foreknowledge melalui fungsi-fungsi pengumpulan dan analisis informasi, serta rekomendasi yang fungsional dalam mengisi the blind side of decision making. Intelijen, dengannya, menjadi bagian prinsipil yang memfasilitasi terbentuknya sistem peringatan dini dan sistem informasi menyeluruh yang dapat digunakan bagi

    Defence Studies Centre, 2002); Shulsky dan Gary J. Schmitt, , Op.Cit..; AC. Manullang, Menguak Tabu Intelijen. Teror, Motif dan Regim (Jakarta: 2001). 15 Lihat misalnya, Jeffry T. Richelson, A Century of Spies. Intelligence in the Twentieth Century (Oxford: Oxford University Press, 1995). Hingga pertengahan abad 19, hanya ribuan orang di Eropa yang terlibat dalam aktivitas intelijen. Pasca Perang dingin kebutuhan akan komunitas ini tidak merosot, bahkan terus berkembang untuk menemukan bentuk barunya; lihat misalnya, John Ferris, Intelligence After the Cold War: Global Perspective dalam Anthony Bergin and Robert Hall (eds.), Op.Cit..; Peter Polomka, Intelligence After the Cold War: A Regional Vew dalam Ibid. Dalam perkembangan kini, lebih dari satu juta orang memasuki dunia ini sebagai pekerja aktif. Intelejen tumbuh secara cepat menjadi ranah kerja pemerintahan yang melibatkan dana triliunan dollar Amerika dan sekaligus melibatkan aneka tehnologi canggih; lihat, Hans Born, Democratic and Parliamentary Oversight of The Intelligence Services: Best Practices and Procedures, DCAF Working Paper Series No. 20, (Mei 2002).

  • Cornelis Lay

    222kepentingan pengambilan keputusan, terutama di bidang keamanan. Hal-hal di atas dapat dieja melalui fragmen-fragmen ajaran kebajikan pengelolaan negara dan politik karya Kautlya sebuah ajaran yang sering diparalelkan dengan konsepsi tujuan menghalalkan cara dari Machiavelli.16 Karya ini mengungkapkan sentralitas peran Guda dan metode kerja intelijen bagi kepentingan survival penguasa, kejayaan negara, dan dalam memperluas kekuasaan. Karenanya, tidak mengherankan seni pengaturan fungsi intelijen dalam ajaran Kautlya diletakan sebagai bagian dari kewajiban politik paling awal seorang raja yang diharuskan untuk membangun jaringan intelijen menyeluruh serta membangun sistem pengujian atas kehandalan dan loyalitasnya pada sang raja. Guda adalah sebutan bagi agen-agen clandestine baik yang ditempatkan di dalam istana maupun yang ditugaskan ke berbagai tempat (samstha). Guda merupakan agen tetap yang dibayar kerajaan, berada langsung di bawah kendali raja, dan dikreasikan untuk menjalankan fungsi mata-mata: a king shall have his agents in the court of the enemy, the ally, the Middle and Neutral kings to spy on the kings as well as their eighteen types of high officials.17 Kebutuhan ini berangkat dari keyakinan bahwa, (M)oraculous result can be achieved by practicing the methods of subversion;18 dan bahwa (A) single assassin can achieve, with weapons,

    16 Niccolo Machiavelli, Il Principe, terj. The Prince (London: MacMillan.Ltd., 1916). 17 L. N. Langarajan, The Astrabrata, Op. Cit., h. 497. 18 Ibid.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    223 fire or poison, more than a fully mobilized army19. Di samping itu, ada juga intelijen yang dipekerjakan secara temporer untuk memenuhi tugas-tugas khusus serta jaringan intelijen yang dikendalikan para kanselor terutama untuk kawasan-kawasan pedalaman. Mengalir dari penggambaran cepat di atas, segera nampak bahwa pengawasan atas lembaga dan kerja intelijen menjadi kebutuhan mutlak yang tak bisa ditunda, sejauh pencapaian masyarakat demokratik yang bebas tetap menjadi obsesi kolektif baik masyarakat sebuah negara bangsa maupun masyarakat global. Secara lebih terinci, pengawasan atas intelijen terkait dengan paling tidak sejumlah alasan berikut ini. Pertama, pengawasan atas intelijen diperlukan untuk memastikan terjadinya keseimbangan antara keamanan dan kebebasan privacy dan hak-hak sipil -- sebagai dua kebutuhan dasar masyarakat modern. Hal ini sangat penting, karena seperti sudah disampaikan sebelumnya, nature dari keduanya saling meniadakan, sementara kebutuhan akan keduanya sama pentingnya dalam masyarakat modern. Sekalipun dalam perkembangan negara-negara demokrasi modern keberadaan intelijen dimaksudkan untuk melindungi masyarakat demokratis yang bebas, perubahan orientasi ini tidak berakibat pada perubahan metode kerja. Metode kerja intelijen tetap

    19 Ibid.

  • Cornelis Lay

    224mewarisi metode kerja lama yang bersifat tertutup dan rahasia. Metode kerja di atas memunggungi prinsip-prinsip kerja sebuah masyarakat demokratis. Lebih lagi, untuk dapat menjalankan fungsinya, intelijen dalam banyak kasus membutuhkan adanya kewenangan khusus, yang sekali lagi karena sifat kerjanya yang rahasia dan tertutup semakin menjauhi prinsip kerja demokrasi yang menuntut pembatasan kewenangan dan transparansi.20 Karenanya, merumuskan secara jelas dan tegas tujuan-tujuan yang dibenarkan bagi lembaga intelijen dalam sistem demokratis21 menjadi hal pokok dalam rangka pengawasan atas intelijen. Dalam konteks ini, pengawasan sebagai instrumen guna menyeimbangkan kedua kebutuhan terwujudnya intelijen yang efektif dalam menfasilitasi keamanan dan terjaganya kebebasan masyarakat -- tidak terhindarkan.22 Kedua, lebih dari sekadar untuk menjamin adanya keseimbangan antara keamanan dan demokrasi,

    20 Lihat misalnya, Deborah G. Barger, Toward A Revolution in Intelligence Affairs, Technical Report (Santa Monica: Rand National Security Research Devision, 2005); Hans Born and Ian Leigh, Making Intelligence Accountable: Legal Standards and Best Practice for Oversight of the Intelligence Agencies (Oslo: Publishing House of the Parliament of Norway, 2005). 21 Philip Heymann, Controlling Intelligence Agencies, Project on Justice in time of Transition, (Harvard: Harvard University, 2001). 22 Trade-off antara kontrol demokratik atas intelijen dengan efektivitas kerja lembaga ini dalam melindungi dan mempertahankan negara merupakan dilema yang melekat dalam isu kontrol ini.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    225 kontrol atas intelijen dimaksudkan untuk memastikan hak-hak asasi manusia tidak terlanggarkan begitu saja atas nama keamanan. Dalam perkembangan modern saat sekarang, diterima dalil bahwa alasan apapun tidak dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran ataupun peniadaan atas apa yang disebut sebagai non-derogable human rights yang mulai efektif berlaku sejak 1976.23 Tidak ada alasan yang lebih logis untuk memastikan hal ini, kecuali pengawasan atas lembaga yang karena sifat kerjanya senantiasa berada di ujung ekstrim dari hak-hak asasi manusia: intelijen. Ketiga, dalam sistem demokratis, ada kecenderungan kuat dalam masyarakat untuk tidak mempercayai lembaga yang terlibat dalam kerja-kerja yang memiliki watak kerahasiaan dan tertutup, sebagaimana organisasi intelijen. Kerahasiaan dan ketertutupan adalah watak-watak negatif yang dikontraskan dengan transparansi dan akuntabilitas sebagai ukuran-ukuran penting dari apa yang disebut sebagai good governance.24 Dan karenanya, keduanya bukan

    23 Lihat, artikel 6, 7, 8, 11, 15, 16 dan 18 International Covenant on Civil and Political Rights. 24 Good governance merupakan konsep yang menggeser secara fundamental pemaknaan klasik mengenai government. Konsep ini pertama kali muncul dalam Dokumen Bank Dunia tahun 1989 yang mengevaluasi kegagalan negara-negara Sub-Sahara Afrika yang kemudian disepakati lewat pertemuan Washington melibatkan Departemen keuangan AS, Bank Dunia dan IMF sebagai kriteria baru yang akan diterapkan kepada negara-negara dunia ketiga. Elemen-elemen good governance meliputi spektrum yang sangat luas, antara lain pelibatan segitiga kepentingan negara, pasar, dan civil society dalam proses

  • Cornelis Lay

    226merupakan bagian dari proyek sejarah peradaban manusia hari ini dan masa nanti. Dengannya, tidak mengherankan jika di negara-negara demokrasi yang sudah stabil, pengembangan sistem kontrol atas intelijen yang relatif efektif melalui instrumen legal dan politik, terutama melalui operasionalisasi prinsip checks and balance sudah mencapai bentuk finalnya,25 terlepas dari kemunduran besar yang berlangsung pasca 11 September. Perkembangan pasca 11 September melahirkan kecemasan serius mengenai nasib demokrasi di tengah-tengah tekanan kampanye perang melawan terorisme. Kecemasan ini menemukan alasannya pada akibat dari perubahan fundamental dalam watak dan sumber ancaman pergeseran secara dramatis pendulum pergulatan dari kebijakan, serta pengembangan tolok ukur baru semisal partisipasi, HAM, transparansi, akuntabilitas, dan masih banyak lagi sebagai indikator-indikator kunci. Lihat misalnya, UNDP, Reconceptualising Governance, Discussion Paper 2, New York, Januari 1997. 25 Praktis semua negara demokrasi yang sudah stabil telah diperlengkapi dengan UU baik yang secara langsung membatasi kerja dunia intelijen melalui berbagai instrumen misalnya, penetapan mandat bagi intelijen secara tegas, kontrol eksekutif, penetapan syarat yang ketat mengenai penggunaan kewenangan khusus, pembentukan aneka komite pengawasan dan sebagainya, maupun secara tidak langung melalui penegasan hak-hak warga negara, misalnya dalam hal kebebasan informasi. Lihat misalnya, Canada Security of Information Act, 1985; Intelligence and Security Services, The Netherlands 2002; Intelligence Service Act, United Kingdom, 1994; Intelligence Service Act, Australia, 2001; Bundesverfassungsschutzestz (BVErfSchG), Jerman, 2002; The Act Relating to the Monitoring of Intelligence, Surveillence and Secutity Services. Act No. 7 of 3 February 1995; National Intelligence Law, No. 25520, 2001, Amerika Serikat.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    227 isu bagaimana mendamaikan kebutuhan akan keamanan dan kebebasan ke arah penemuan sistem yang memungkinkan kebutuhan akan keamanan semakin dapat diwujudkan secara lebih efektif. Perubahan dan pengembangan sistem keamanan menyeluruh kini menjadi bahasa politik baru di kebanyakan negara Barat, dengan titik penekanan pada pendefinisian dan pengorganisasian kembali mandat komunitas dan lembaga-lembaga intelijen mereka.26 Lebih parah lagi, perubahan-perubahan di atas untuk sebagian harus dikompensasi oleh pengurangan sistematis prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi. Bagi masyarakat transisi27 yang baru mulai menikmati kebebasan, ketidakpercayaan bahkan berlangsung secara timbal-balik: masyarakat tidak mempercayai intelijen dan sebaliknya. Trauma mendalam atas sepak-terjang dunia intelijen di masa lalu menjadi alasan ketidakpercayaan di pihak masyarakat. Tidak mengherankan jika dalam sepuluh tahun terakhir ini, banyak negara yang mengalami transisi berlomba-lomba menghasilkan Undang-Undang dan berbagai aturan main lainnya yang pada esensinya membatasi secara ketat sepak terjang komunitas intelijen.28 26 Lihat misalnya, Deborah G. Barger, Log.Cit.. 27 Larry Diamond, Developing Democracy. Toward Consolidation, (London: The Johns Hopkins University Press, 1999). 28 Kebanyakan negara yang pernah melewati masa sulit dengan komunitas intelijen, secara serentak memproduksi sistem pengaturan baru melalui Undang-Undang yang mengatur, bahkan hingga tingkat yang paling rinci yang tidak terbayangkan sebelumnya, mengenai komunitas intelijen masing-masing. Lihat

  • Cornelis Lay

    228Sementara, keyakinan sepihak komunitas intelijen bahwa mereka adalah representasi tunggal dari kehendak mulia negara atau setidaknya menjadi pihak satu-satunya yang menjalani misi sakral negara, membuat mereka menaruh curiga tidak terhingga pada pihak di luar dirinya. Kuatnya kecurigaan timbal-balik yang berujung pada semakin mengentalnya ketidakpercayaan timbal-balik menyebabkan baik demokrasi maupun keamanan sebagai dua kebutuhan kolektif berada dalam taruhan besar. Pada simpul inilah, kebutuhan akan seni yang bercorak teknokratis untuk mendapatkan keseimbangan ideal antara intelijen yang efektif dan jaminan bagi demokrasi semakin besar dan mendesak. Dengan pengawasan, keraguan atau bahkan ketidakpercayaan baik yang bersifat sepihak, maupun yang bersifat timbal-balik di atas dapat diminimalisasi. Setidaknya debat publik akan meyakinkan publik bahwa intelijen memang bekerja dalam batas mandat yang diberikan dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama. Sementara bagi komunitas intelijen, pengawasan melalui penetapan mandat yang jelas akan dapat bekerja secara lebih baik karena tidak setiap saat diganggu oleh kecurigaan berlebihan.

    misalnya, Law on the Intelligence and Security Agency of Bosnia and Herzegovina (2004); Hungarian Law on the National Security Services (1995); National Intelligence Law No. 25520 of Argentina; The Internal Security Agency and Foreign Intelligence Act of Poland (2002); Intelligence Service Control Act of Republic of South Africa, (1994; 2002).

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    229 Keempat, negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia, berada dalam proses mentransformasi komunitas intelijen masing-masing melalui hukum. Ujung paling akhir dari proses transformasi -- atau reformasi dalam bahasa politik yang dikenal di Indonesia --, adalah tegaknya prinsip-prinsip demokrasi dari sebuah masyarakat bebas dan terbuka, yang di dalamnya fungsi perlindungan intelijen dapat bekerja efektif. Pengawasan atas intelijen menjadi penting karena dapat berfungsi sebagai pengawal dari proses pertukaran karakter intelijen dari yang bersifat tertutup dan represif ke arah perwujudan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan demokratis. Hal ini penting, karena seperti diungkapkan Tood dan Bloch,29 sekalipun pergeseran-pergeseran terus berlangsung, intelijen tetap berjalan dengan cara lama, seperti yang ditunjukan oleh kasus agen Israel dalam penanganan di Tepi Barat dan Libanon ataupun seperti didemonstrasikan oleh Mukhabarat, intelijen Syria, dalam menjalankan fungsinya. Hal ini mudah dimengerti, karena lembaga intelijen, sebagaimana nasibnya birokrasi publik, telah menjadi korban dari hukum kekakuannya sendiri. Perubahan menjadi sangat sulit karena sebagaimana diargumentasikan Belasco dan Stayer,30 birokrasi 29 Paul Todd and Jonathan Bloch, Global Intelligence: The Worlds of Secret Services Today (London: Zed Books, 2003). 30 James Belasco and Ralph Stayer, Fight of the Buffalo (New York: Warner books, 1994). Karya ini memang berkutat di sekitar persoalan leadership yang berlangsung di ranah organisasi bisnis. Tetapi, argumentasi yang dikembangkan tanpanya sahih untuk menjelaskan persoalan dalam dunia birokrasi secara umum, termasuk birokrasi intelijen.

  • Cornelis Lay

    230(termasuk lembaga intelijen) terlanjur mengira bahwa apa yang dimilikinya selama sekian lama sedemikian istimewanya, sehingga menutup mata pada kemungkinan nilai baru yang lebih baik yang bisa diperoleh jika mereka mau berubah. Perubahan menjadi sesuatu yang tidak menarik, justru karena birokrasi (termasuk intelijen) telah belajar sedemikian baiknya selama sekian lama sehingga tidak lagi melihat adanya kemungkinan di luarnya yang lebih baik yang bisa dipelajari.31 Tidak mengherankan, jika kebutuhan akan fleksibilitas telah dimunculkan sejak cukup lama sebagai salah satu prioritas penataan intelijen AS dalam mengarungi tahun-tahun ketidakpastian.32 Kelima, dalam perkembangan modern, intelijen berkembang menjadi sebuah aktivitas pemerintahan yang semakin penting. Jika pada pertengahan abad 19, hanya kurang dari seribu orang di Eropa, misalnya, yang terlibat dalam aktivitas ini, dalam perkembangan sekarang, hampir 1 juta orang di seluruh dunia terlibat langsung dalam aktivitas intelejen. Dari sudut anggaran pun, aktivitas intelijen telah berubah menjadi bisnis raksasa yang menelan miliaran dollar Amerika,33 dengan melibatkan teknologi yang semakin 31 Kecenderungan ini dapat dilihat dalam uraian J. P. Olsen. and B. G. Peters, Learning From Experience: Lessons From Administrative Reform (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1995). 32 Lihat misalnya, Paula L. Scalingi, U. S. Intelligence in an Age of Uncertainty, The Washington Quaterly, 15 (Winter 1992). 33 Sebagai contoh, pasca 11 September, MI 5, MI 6 dan Kantor Pusat Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ) memiliki cadangan dana terpisah sebesar 2, 4 miliar Pounsterling untuk

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    231 canggih, mulai dari satelit, komputer berteknologi tinggi, hingga pada penggunaan pesawat canggih. Meningkatnya secara dramatis kapital dalam bisnis intelijen, untuk sebagian boleh jadi merupakan akibat dari apa yang dikenal sebagai kecenderungan bureau-shaping,34 tapi dapat dipastikan hal ini menggambarkan peningkatan yang sebanding urgensi intelijen dalam kehidupan politik modern. Karena alasan ini, pengawasan atas intelijen menjadi hukum wajib, sebagaimana pengawasan atas fungsi negara dan pemerintahan lainnya. Keenam, intelijen perlu diawasi karena pendefinisian kembali mandat intelijen telah dan sedang berlangsung di berbagai negara dan kawasan. Akan tetapi proses ini tersembunyi dari mata dan keterlibatan publik. Padahal, pendefinisian baru ini mengandung ancaman serius bagi masa depan demokrasi. intelijen Barat, misalnya, telah mendefinisikan kembali mandatnya secara sepihak tanpa perdebatan publik yang bermakna. Penetapan

    anggaran 2001-4. Secara khusus, MI 6 telah menerima tambahan anggaran sebesar 15 juta Pound di luar 200 juta anggaran tahunan yang dimiliki; sementara MI 5 mengajukan penambahan anggaran sebesar 30 juta Pounsterling guna membiayai peningkatan 20% jumlah stafnya dari 1.750 menjadi kurang lebih 2.300 orang. Bagi kedua lembaga ini, rekrutmen staf diprioritaskan dari kalangan Muslim dan kelompok minoritas. Lihat, Todd dan Bloch, Op. Cit.. 34 Lihat misalnya, P. Dunleavy, Democracy, Bureaucracy and Public Choice (Brighton: Harverster Wheatshef, 1991; W. Niskanen., Bureaucracy and Representative Government, (Chicago: Aldine/ Atherton, 1971).

  • Cornelis Lay

    232mandat baru ini, bahkan berlangsung pada level supra negara bangsa: Uni Eropa. Sementara penetapan mandat baru ini, seperti akan kita lihat dalam kasus kecil berikut ini mengandung potensi penyalahgunaan di masa depan. Sebagai contoh, sebagai akibat dari peningkatan protes massal yang terorganisasi atas pertemuan tingkat tinggi Uni Eropa di Gothenburg Juli 2001, the EU Justice and Home Affairs Council telah menyepakati dalam sebuah pertemuan tanggal 13 Juli penerapan pembatasan kebebasan berpindah, hak protes, serta pengamatan menyeluruh atas aktivitas politik di Eropa. Kesepakatan ini memang tidak mengikat negara-negara anggota Uni Eropa. Tetapi, potensi ancamannya bagi demokrasi sangat besar karena kesepakatan ini meliputi antara lain, perluasan data base masing-masing negara sehingga mencakup individu atau kelompok yang dianggap menjadi ancaman bagi keamanan dan ketertiban, serta pertukaran data mengenai orang-orang yang membuat masalah. Bagi mereka-mereka ini, Council menyepakati penggunaan semua sarana legal yang tersedia guna mencegah mereka melintasi batas satu negara. Hal ini didasari keyakinan bahwa orang-orang semacam itu memiliki niat terlibat dalam serious disturbances.35 Masih banyak lagi langkah yang diambil, akan tetapi contoh kecil di atas cukup menggambarkan terjadinya perubahan mandat intelijen tanpa adanya konsultasi publik; dan bahwa pendefinisian baru ini, sangat potensial menabrak rambu-rambu dari sebuah masyarakat demokratis yang bebas. Pengalaman di

    35 Todd and Bloch, Op.Cit..

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    233 negara-negara dunia ketiga, bisa diperkirakan lebih serius lagi. Paling tidak, beredarnya secara luas RUU Intelijen Negara versi Maret 2003 di Indonesia -- hingga kini tidak ada satupun pihak yang mengakui sebagai dokumen resmi yang sarat dengan Pasal kontroversi, termasuk pemberian kewenangan bagi BIN mencari dana sendiri di luar APBN dan Kepala BIN dalam pengadaan senjata sendiri, mengungkapkan kuatnya kecenderungan pendefinisian kembali mandat intelijen yang potensial bermasalah dilihat dari kepentingan pembangunan demokrasi. Karena alasan ini, kebutuhan akan pengawasan atas intelijen menjadi wajib hukumnya, sekali lagi sejauh pembangunan demokrasi menjadi ukuran-ukuran normatif utama yang digunakan untuk mengukur kedewasaan peradaban politik. Ketujuh, perubahan dramatis dalam teknologi pada era CNN36 dimana laporan dari seantero dunia dapat diperoleh secara instan dan real time atau almost real time yang merupakan keunggulan informasi intelijen pada periode sebelumnya, di satu sisi melahirkan tantangan serius bagi perubahan dramatis kerja intelijen. Tetapi pada sisi lainnya, telah meningkatkan potensi kontrol totalitarianisme dan manipulasi pemahaman publik melalui pemanfaatan teknologi baru ini. Semakin pesatnya perkembangan teknologi telah menciptakan peluang yang semakin lebar bagi intelijen karena kemampuan dan nature kerjanya bagi kepentingan memata-matai 36 Dave McCuedy, Glasnost for the CIA, Foreign Affairs, 73 (Januari-Pebruari 1994).

  • Cornelis Lay

    234rakyatnya sendiri atau paling tidak, untuk menggunakan teknologi yang tersedia untuk memanipulasi masyarakatnya. Guna mencegah hal ini, pengawasan atas intelijen harus dilakukan, bahkan harus lebih diintensifkan mengikuti perkembangan teknologi yang terus berubah. Terakhir, terlepas dari fakta bahwa semakin banyak negara telah menspesifikasi lewat UU mandat yang diletakkan di pundak intelijen, serta penggunaan berbagai sarana politik dan administrasi guna mengontrol intelijen sudah semakin luas dipraktekkan, pertanyaan dasar mengenai efektivitas akuntabilitas, transparansi dan pengawasan atas intelijen masih tetap menjadi persoalan akut, bahkan di negara-negara yang sudah sangat mapan demokrasinya, Inggris dan US, misalnya.37 Karenanya, usaha-usaha menemukan cara dan mekanisme terbaik untuk mengawasi intelijen harus tetap menjadi pekerjaan politik tak kenal henti karena hanya dengan cara itu, sebuah keseimbangan yang wajar antara demokrasi dan keamanan bisa terus dijaga. Pengawasan, dengannya, menjadi relevan sebagai sesuatu yang harus dirutinkan dan terus ditingkatkan. Pengawasan: Cara dan Obyek Pengawasan atas komunitas intelijen berlaku baik pada tataran lembaga maupun individu para agen.

    37.Ibid., h. 6-7.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    235 Pengawasan lembaga dilakukan melalui pengaturan kelembagaan dan rule of the game yang mengikat komunitas intelijen. Sementara pada level individual, fokus pengawasan lebih diberikan pada kegiatan, syarat-syarat dan batas-batas penggunaan kewenangan, dan perilaku anggota intelijen.

    Setiap fungsi dan aktivitas pemerintahan, fungsi dan institusi yang ada di dalamnya adalah subyek yang sah dari pengawasan. Demikian pula dengan intelijen sebagai bagian integral dari fungsi kemananan nasional atau negara. Inilah salah satu dalil pokok dalam setiap sistem politik demokratis; inilah prinsip dasar dari semua sistem politik demokratis. Terdapat berbagai instrumen yang bisa digunakan untuk mengawasi intelijen.

    Dari sudut organisasi, dalam tradisi pembangunan politik, diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi,38 di samping digunakan sebagai indikator untuk mengungkapkan derajat pelembagaan politik yang menjadi fondasi dari stabilitas dan kontinuitas sistem secara makro39, juga merupakan instrumen teknokrasi modern bagi berfungsinya pengawasan. Instrumen teknokratis ini mengkuti prinsip Small is beautiful40 dan

    38 Lucian W. Pye, Aspect of Political Development, (New York: Little, Brown and Company, 1966). 39 Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies, (New Haven: Yale University Press, 1968). 40 E.F Sumacher, Small is Beautifull: Study of Economic as If People Mattered, (London: Abacus, 1991).

  • Cornelis Lay

    236dispersion of power41 sebagai salah satu metode untuk meminimalisasi kecenderungan korup yang inherent dalam kekuasaan. Melalui prinsip ini, each intelligence service should have just one mission.42 Penerapan prinsip ini merupakan instrumen teknokratik penting untuk menekan resiko penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini disebabkan--mengikuti alur argumen Lord Acton:-- (T)oo many missions being performed by a single intelligence service implies an accumulation of power.43 Dan setiap akumulasi kekuasaan, mengandung di dalamnya potensi penyalahgunaan yang sebanding dengan kekuasaan yang diakumulasi.

    Operasionalisasi metode ini dapat diwujudkan melalui pemisahan antara lembaga yang bergerak dalam bidang intelijen yang dalam dokumen Kelompok Kerja Indonesia Untuk Reformasi Intelijen Negara, Pacivis FISIP Universitas Indonesia dirumuskan dalam skema organisasi Cakra Byuha. Pemilahan paling umum yang ditemukan dalam pengalaman banyak negara adalah antara fungsi intelijen domestik dan luar negeri. Hal ini disebabkan karena keduanya memiliki misi dan bekerja dalam kondisi dan landasan hukum yang berbeda. Pemilahan lainnya adalah antara fungsi intelijen dengan fungsi yustisia. Polisi dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, memiliki tujuan

    41 Lesley Lipson, The Great Issues in Politics (New Jerssey: Printice-Hall Inc., 1981). 42 Hans Born, Democratic and Parliamentary Oversight of The Intelligence Services: Best Practices and Procedures, DCAF Working Paper Series No. 20 (2002). 43 Ibid.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    237 yang berbeda dengan intelijen. Intelijen menghimpun informasi yang relevan mengenai kemungkinan ancaman, dan tidak bisa melaksanakan kewenangan menghentikan, menangkap atau menahan orang yang dicurigai. Sebaliknya polisi tidak dibenarkan menjalankan fungsi pencegahan yang menjadi domain intelijen kecuali sudah ada bukti sebuah kejahatan telah terjadi. Pembilahan lain dapat dilakukan melalui pembedaan kerja secara geografis, misalnya melalui pembagian wilayah kerja ke dalam kompartemen-kompartemen. Pada tingkat individual, prinsip spesialisasi juga berlaku melalui pemberian tugas yang bersifat spesifik bagi setiap anggota intelijen. Disagreasi intelijen ke dalam fungsi-fungsi khusus di atas, mengharuskan adanya instrumen hukum mulai dari UU hingga pada tingkatan sebagai petunjuk teknis yang bersifat rinci bagi setiap lembaga dan anggota intelijen. Di luar instrumen teknokratis di atas, pengawasan juga dapat dilakukan melalui prinsip sederhana yang dikenal dalam setiap sistem politik demokrasi konstitusional, yakni no power can be granted to any governmental institution without a legal basis for doing so;44 apalagi lembaga dengan watak kerja seperti intelijen. Pada level Undang-Undang ini, harus dirumuskan secara tegas mengenai mandat, status, ruang lingkup, operasi, kerjasama, penugasan, pembiayaan, dan kewajiban melaporkan serta

    44 Ibid.

  • Cornelis Lay

    238pengawasan atas lembaga intelijen. Termasuk dalam hal ini adalah pengaturan mengenai penggunaan wewenang khusus.45 Dengan cara seperti di atas, basis pembenaran bagi aktivitas intelijen menjadi absah menurut standar hukum dan demokrasi sehingga semakin mengokohkan legitimasi intelijen sebagai lembaga dan fungsi pemerintahan yang sangat penting. Tetapi pada saat yang bersamaan diperoleh jaminan bahwa intelijen akan sungguh-sungguh bekerja dalam batas mandat yang diberikan kepadanya. Hal di luarnya, menjadi pelanggaran hukum. Di luar penggunaan instrumen hukum, sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme pengawasan demokratis atas intelijen melalui operasionalisasi prinsip sederhana: otoritas terpilih secara demokratis menggenggam kewenangan dasar dalam memberikan tugas (tasking) terhadap intelijen.46 Mekanisme tasking 45 Penggunaan UU sebagai dokumen pertama dan terutama untuk mengawasi intelijen merupakan praktek standar di semua negara demokrasi. Beberapa argumen mengenai ini dapat ditemukan di kebanyakan literatur mengenai intelligence (democratic) oversight, lihat, misalnya, dalam Ibid., Theo van den Doel, Oversight and Reform of Intelligence and Security Services, Makalah yang dipresentasikan pada Workshop mengenai the Handbook on Parliamentary Oversight of the Security Sector, (Sofia, 2-3 June, 2004). 46 Di AS misalnya, external guidance diberikan oleh National Security Council (NSC). Lihat, Preparing for the 21st Century: An Appraisal of U.S.. Intelligence, Report of the Commision on the Roles and Capabilities of the United States Intelligence Communitity, (Washington D.C.: GPO, 1996).

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    239 ini, diikuti oleh pengembangan sistem pelaporan yang bersifat berkala/reguler dapat berfungsi sebagai instrumen penting di tangan eksekutif untuk memberikan arahan. Arahan dikombinasi dengan pelaporan secara berkala menjadi kunci penting untuk memastikan setiap tindakan intelijen tetap berada dalam koridor keputusan politik. UU Polandia, misalnya, menspesifikasi kewenangan Perdana Menteri dalam memberikan tugas pada intelijen melalui mekanisme instruksi, kewajiban pada kepala-kepala intelijen untuk menyampaikan rencana dan laporan secara regular pada Perdana Menteri.47 Dalam perkembangan dunia saat sekarang, persoalan tasking semakin krusial. Hal ini terkait dengan fakta bahwa intelijen kini dihadapkan pada ancaman dan resiko baru yang sama sekali berbeda dengan periode Perang Dingin. Ancaman seumpama terorisme, trans-national crime, human trafficking; smuggling (drugs, dan sebagainya), piracy, dan sebagainya muncul sebagai ancaman-ancaman baru. Sementara lembaga intelijen dan anggota-anggotanya telah terbiasa hidup dalam suasana lingkungan global Perang Dingin yang banyak mempengaruhi prioritas dan metode kerjanya. Perkembangan baru ini mengharuskan adanya

    47 Lihat, The Internal Security Agency and Foreign Agency Act of Poland (2002), khususnya Pasal 7 yang menetapkan bahwa tiga bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran, para kepala intelijen berkewajiban menyampaikan rencana kepada PM; dan sebelum 31 Januari setiap tahun, mereka sudah harus menyampaikan laporan tertulis mengenai aktivitas tahun sebelumnya kepada PM.

  • Cornelis Lay

    240ketepatan dalam menentukan prioritas kerja bagi intelijen yang dalam tradisi demokrasi merupakan wilayah kewenangan pengambil kebijakan. Dari gambaran di atas, tampak jelas bahwa penugasan oleh otoritas politik terpilih sangat fungsional dalam memberikan tuntunan demokratik bagi kerja intelijen. Pada saat yang bersamaan, penugasan oleh otoritas politik menghindarkan terbentuknya cabang atau fungsi dalam lembaga negara yang bersifat otonom melalui mekanisme self-tasking, sebagai salah satu ancaman serius bagi setiap sistem politik demokratis. Hal ini lebih relevan lagi bagi lembaga dan fungsi intelijen, terutama karena kultur birokrasi intelijen memiliki kecenderungan yang kuat untuk menugaskan diri sendiri; bahkan dalam banyak kasus, merumuskan sendiri apa yang menjadi ancaman, misi dan tujuan yang diembannya. Pada tingkatan seperti ini, intelijen bukan saja berubah menjadi ancaman bagi demokrasi, bahkan ancaman bagi negara itu sendiri. Banyak kasus telah membuktikan ini sebagaimana terungkap dalam kasus pembunuhan Presiden Korea Selatan oleh Kepala Intelijen Negara itu sendiri. Untuk bisa efektif, penugasan harus diikuti oleh mekanisme kontrol untuk memastikan ia berjalan sebagaimana yang diharapkan. Karenanya, sisi lain dari penugasan yang sama krusialnya adalah mekanisme pelaporan yang dilakukan oleh intelijen kepada otoritas politik yang memberikan penugasan. Melalui cara ini, koreksi secara terus menerus dapat dilakukan dan kemungkinan akumulasi

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    241 penyelewengan dapat dihindari pada aneka tahapan kerja intelijen. Laporan umumnya berbasis waktu disampaikan secara rutin dalam siklus waktu tertentu dan juga berbasis tugas penyampaian laporan untuk setiap penugasan, baik yang dilakukan pada akhir kegiatan secara menyeluruh, maupun yang dilakukan dalam setiap proses perkembangan. Pilihan-pilihan ini harus disediakan bagi intelijen. Kontrol atas intelijen dapat juga difasilitasi melalui penerapan prinsip-prinsip kerja manajemen secara umum ke dalam setiap tahapan dan bagian kerja intelijen yang memungkinkan aktivitas intelijen tetap berada dalam batas-batas mandat organisasi. Planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting dan budgeting adalah fungsi-fungsi standar yang dikenal dalam manajemen secara umum. Bagi intelijen, penerapan fungsi-fungsi ini ke dalam sistem kerja baku yang terdokumentasi secara tertulis yang mengikuti lingkaran aktivitas intelijen: planning and direction, collection, processing, analysis and production, dan dessimination akan menjadi intrumen efektif bagi pimpinan pada masing-masing lembaga intelijen untuk mengontrol aktivitas anak buah masing-masing. Negara seperti Bosnia-Herzegovina, bahkan mengatur dalam UU-nya fungsi dari Direktur Jenderal utuk mengeluarkan serangkaian dokumen yang diperlukan untuk bekerjanya intelijen secara efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. UU Intelijen Negara ini memuat 18 buku aturan yang harus

  • Cornelis Lay

    242dikeluarkan Direktur Jenderal Intelijen, di samping kode etik dan Rencana Pengamanan Data.48 Intelijen adalah sebuah fungsi yang berjalan dalam kegelapan. Berbeda dengan fungsi negara atau pemerintah lain yang bekerja di permukaan, intelijen secara alamiah adalah fungsi yang penuh misteri, ditandai oleh sifatnya yang tertutup dan rahasia dalam keseluruhan kerjanya. Lebih dari itu, produk intelijen pun bersifat rahasia dan tertutup yang menyebabkan publik tidak akan pernah memiliki pengetahuan atasnya, kecuali memang secara sadar difasilitasi untuk itu. Tidak mengherankan, jika dikatakan bahwa publik yang terinformasi, merupakan prasyarat yang diperlukan bagi berlangsungnya fungsi pengawasan oleh masyarakat secara luas.49 Karena watak fungsinya yang demikian, kekuatan utama untuk menjinakkan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga dan pelaku intelijen banyak diletakan pada kapasitas pengendalian diri dan intelegentia seorang intelijen adalah kombinasi dari manusia dengan moralitas tinggi dan intelijensia yang tinggi -- sehingga tidak terjerembab dalam penyalah-gunaan kekuasaan. Karenanya, moralitas dan sikap etis dalam menjalankan fungsi ini menjadi piranti penting yang berfungsi sebagai kekuatan self-cencorship. Secara organisasi hal ini dapat dilembagakan melalui pengembangan etos kerja 48 Lihat, Law on the Intelligence and Security Agency of Bosnia and Herzegovina (2004), Pasal 27. 49 Ibid.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    243 profesional, termasuk di dalamnya kode etik profesi yang antara lain meliputi komitmen untuk tunduk pada otoritas politik dan konstitusi serta aneka peraturan lainnya, kesungguhan bekerja bagi kepentingan negara secara efektif dan efisien, menyisihan sikap partisanship secara politik, serta sejumlah kualifikasi normatif lainnya.50 Afrika Selatan misalnya, menetapkan kode etik intelijen yang cukup detail ke dalam White Paper on Intelligence.51 Dalam dokumen ini ditegaskan prinsip-prinsip etis seperti kesetiaan pada negara dan konstitusi; kepatuhan pada hukum dan tunduk pada aturan main; menjujung nilai-nilai demokrasi seumpama penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia; bersumpah untuk menjaga kerahasiaan; komitmen pada integritas yang tinggi, obyektivitas dan tidak bias dalam mengevaluasi informasi; komitmen untuk mempromosikan terbangunnya rasa saling percaya di antara pengambil kebijakan dan 50 Rata-rata kode etik profesi intelijen menempatkan norma-norma seumpama setia pada negara dan konstitusi; tunduk pada otoritas politik, konstitusi dan UU; pengabdian pada bangsa dan negara; komitmen pada pelayanan yang efisien dan efektif; tidak menyalahgunakan kekuasaan; menjauhi diri dari sikap partisanship; dan sejenisnya sebagai butir-butir norma profesi bagi intelijen. Lihat misalnya, Law on the Intelligence and Security Agency of Bosnia and Herzegovina (2004); Hungarian Law on the National Security Services (1995); National Intelligence Law No. 25520 of Argentina; The Internal Security Agency and Foreign Intelligence Act of Poland (2002); Intelligence Service Control Act of Republic of South Africa, (1994; 2002). 51 Lihat Republic of South Africa, White Paper on Intelligence, Lampiran A, (Oktober 1994).

  • Cornelis Lay

    244dunia intelijen. Dalam menjalankan tugasnya, intelijen juga harus menerima sebagai prinsip lembaga-lembaga demokratik sebagai kekuatan yang berwenang untuk melakukan kontrol atas intelijen; tidak melakukan perubahan atas doktrin, struktur dan prosedur keamanan nasional, tanpa persetujuan parlemen; dan secara umum harus terikat pada norma dan kode etik yang disepakati. Dimensi moral dan etis di atas, menuntut kepemimpinan dengan kualitas tersendiri sebagai pengawal hati nurani dunia intelijen. Tanpa ini, intelijen bisa dengan mudah terjerembab dalam kegelapan dunianya sendiri, dan berubah menjadi ancaman bagi demokrasi; bahkan bagi negara itu sendiri. Untuk ini, memastikan awetnya hati nurani dalam kerja intelijen, sejumlah negara mengembangkan mekanisme dimana sebuah penugasan yang diberikan oleh atasan dapat dikontrol. Sebagai contoh, UU Bosnia-Herzegovina52 merumuskan mekanisme yang memberikan hak pada seorang agen memastikan keabsahan dari sebuah perintah. Dalam hal seorang agen meregukan keabsahan sebuah perintah, ia dapat menyampaikan nota untuk memverifikasi pada pemberi perintah, dan jika perintah yang sama masih diberikan, ia dibenarkan untuk meminta dokumen tertulis dari pemberi perintah. Jika perintah yang diyakininya ilegal masih diharuskan kepadanya, ia dapat meneruskan perintah tersebut pada atasan langsung 52 Lihat, Law on the Intelligence and Security Agency of Bosnia and Herzegovina (2004), Pasal 41.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    245 pemberi perintah. Dengan cara seperti ini, kemungkinan pengingkaran hati nurani oleh atasan pemberi perintah dapat diminimalisasi. Political Oversight: Parlemen Dalam tradisi demokrasi perwakilan, oversight atas intelijen telah ditempatkan sebagai salah satu persyaratan bagi bekerjanya sistem politik demokratis dan fungsi oversight ini, secara apriori telah diletakkan di pundak parlemen sebagai lembaga representasi masyarakat.53 Oversight oleh parlemen dapat diwujudkan melalui aneka instrumen, misalnya melalui operasionalisasi aneka fungsi regulasi, budget dan pengawasan -- yang melekat dalam parlemen ataupun melalui pembentukan lembaga-lembaga khusus untuk tugas tersebut. Lembaga-lembaga ini, dapat secara langsung dihuni oleh wakil rakyat dan berada di dalam parlemen, tapi juga dapat dihuni oleh warga negara bukan anggota parlemen atau kombinasi antara keduanya yang secara langsung diintegrasikan dalam parlemen, maupun di tempatkan di luarnya.

    53 Di samping sebagai lembaga oversight, parlemen sekalipun hal ini tidak berlaku umum untuk semua negara karena parlemen adalah subyek dari tekanan politik yang membuatnya rawan terhadap godaan untuk menyalahgunakan intelijen --, juga merupakan consumer of intelligence.

  • Cornelis Lay

    246Oversight melalui fungsi legislasi, seperti sudah dibicarakan di sepanjang bab ini, merupakan kunci pertama dan sumber utama bagi pengawasan atas intelijen. Lebih lagi, dalam kaitannya dengan dua hal fundamental, peran parlemen menempati posisi kunci, yakni dalam hal pembentukan lembaga intelijen dan dalam pemberian wewenang khusus berikut syarat-syaratnya: Security agencies should be established by legislation54 dan bahwa special powers that they exercise should be grounded in law55 Prinsip ini sangat fundamental. Dan ini pula salah satu persoalan pokok Indonesia: keberadaan lembaga dan fungsi intelijen tidak didasarkan pada UU, tapi diturunkan dari kebiasan ketatanegaraan. Melalui fungsi anggaran, pengawasan parlemen diwujudkan melalui penetapan besaran anggaran dan kepastian bahwa keseluruhan anggaran bagi kepentingan intelijen harus bersumber pada sumber tunggal, yakni anggaran negara yang disepakati bersama pemerintah dan parlemen. Parlemen memang senantiasa dihadapkan pada kesulitan untuk merumuskan hingga pada satuan anggaran yang bersifat rinci sebagaimana anggaran bagi bidang lainnya. Demikian pula, parlemen senantiasa dihadapkan pada kesulitan dalam menentukan anggaran, jika basis penetapan anggaran harus dibuat berdasarkan performance. Kesulitan-kesulitan dalam

    54 Ian Leigh, Democratic Control of security and Intelligence Services: A Legal Framework, DCAF Working Paper No. 119 (2003), h. 9. 55 Ibid., h. 10.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    247 menentukan indikator atau proxy indicator bagi kinerja intelijen, merupakan persoalan pokok yang ditemui di semua sistem politik. Tetapi keduanya, tidak dapat dijadikan sebagai penghalang bagi parlemen dalam menggunakan instrumen anggaran bagi kepentingan oversight. Dalam hal penggunaan fungsi pengawasan untuk kepentingan oversight oleh parlemen, terdapat dua pola umum yang bisa ditemukan. Oversight yang dilakukan oleh parlemen sebagai sebuah kesatuan melalui berbagai mekanisme, misalnya dengar pendapat, rapat dan sebagainya, dan mekanisme oversight melalui komisi khusus yang dibentuk untuk kepentingan tersebut. Pengalaman dari sejumlah negara membuktikan bahwa pola yang kedua, yakni adanya komisi khusus untuk urusan intelijen lebih efektif dalam melakukan oversight ketimbang pola pengawasan umum. Di AS misalnya, baik DPR maupun Kongres memiliki komisi sejenis yang berwenang dalam penetapan anggaran, menginvestigasi, mengaudit, menyelidiki, dan sebagainya. Kedua komisi ini ditopang oleh staf yang kuat dengan jumlah mencapai 60 orang. Kanada memiliki format yang berbeda. Oversight dilakukan para duta serogates -- parlemen yang terhimpun dalam The Security Review Committee (SIRC). Mereka bukan anggota parlemen, tapi memainkan peran sangat sentral dalam mereview kinerja the Canadian Security Intelligence Service (CSIS), menginvestigasi

  • Cornelis Lay

    248keluhan, dan mengkaji masalah yang terkait dengan imigrasi dan aplikasi menjadi warga negara. Di Australia, the Statutory Joint Committee on the Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) bertugas dalam mereview aspek-aspek tertentu dari kerja ASIO dengan mengecualikan intelijen luar negeri, hal-hal yang sensitif secara operasional, dan keluhan. Hasil temuan komisi gabungan dilaporkan pada Jaksa Agung, dan dengan ijin Jaksa Agung kepada parlemen. Di Jerman, Parliamentary Control Panel menjalankan fungsi oversight ini. Anggota Panel berjumlah 9 orang dimana keanggotaan, komposisi dan metode kerjanya ditetapkan Bundestag (parlemen). Parlemen Inggris tidak memiliki kewenangan langsung dalam oversight atas intelijen. Mereka melakukan tugasnya melalui kajian atas laporan yang dibuat the Intelligence and Security Committee, yang sekalipun keseluruhan 9 anggotanya adalah anggota parlemen, tapi melaporkan pada Perdana Menteri. Lebih lagi, komite ini tidak memiliki akses sepenuhnya pada informasi. Di Italia, komisi berangotakan empat deputi dan empat anggota kongres. Kesemuanya diangkat bersama pimpinan DPR dan Senat berdasarkan prinsip proporsionalitas. Komisi dapat meminta informasi dari Presiden Council of Minister and the Inter-minesterial Committee on Intelligence and Security. Di Republik Chech, komisi khusus terdiri dari 7 orang. Hanya saja, komisi tidak dibenarkan mengintervensi ke personil dan manajemen intelijen. Sekalipun demikian, jika

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    249 komisi mencurigai ada pelanggaran hukum, ia dapat meminta penjelasan dari direktur intelijen. Komisi memperoleh informasi dari intelijen berdasarkan permintaan. Di Rumania, komisi khusus juga ditemukan, dimana intelijen menyampaikan informasi kepada komisi berdasarkan permintaan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa intelijen bekerja dalam rambu-rambu mandat yang diberikan.56 Para pemimpin fraksi di parlemen Belanda memiliki komisi sejenis yang menjadi mitra kerja menteri dalam negeri sebagai penanggungjawab politik atas intelijen. Komisi senantiasa bekerja secara tertutup. Sementara untuk menjamin hak-hak warga negara yang diatur konstitusi, serta terwujudnya koordinasi dan efisiensi kerja badan intelijen dan kepolisian, terdapat komisi khusus dalam parlemen di Belgia. Komisi dibekali para staf yang memiliki kewenangan investigatif atas informasi dan dokumen. Intelijen wajib menyampaikan informasi kepada komisi ini. Hanya saja, untuk menghindari kerugian pada pihak tertentu, pimpinan komisi memiliki kewenangan final memutuskan sesuatu.57

    56 Untuk lebih rinci, lihat Karoly F. Szabo, Parliamentary Overview of Intelligence Services in Romania, Makalah disampaikan dalam Workshop mengenai Democratic and Parliamentary Oversight of Intelligence Services, (Geneva, 3 5 Oktober 2002) 57 Hans Born, Op. Cit. (Lampiran x). Untuk perbandingan antar waktu dan antar sejumlah negara, lihat pula Thorsten Wetzling, Making Intelligence Accountable: Executive and Legislative Oversight of Intelligence Services, Workshop Report, (Oslo: DCAF, 19 20 September 2003). Laporan mengenai oversight oleh parlemen di Uni Eropa Barat (Jerman, Belgia, Spanyol, Yunani,

  • Cornelis Lay

    250 Untuk memberikan gambaran yang lebih mudah, berikut ini matriks perbandingan antar beberapa negara mengenai oversight atas intelijen.

    Tabel 1. Comparison of the External and Parliamentary Oversight Bodies

    in Selected Countries

    Country Mandate of oversight

    body

    Budget Control Power of Oversight

    Body

    Type of Oversight Body;

    membership; clearance;

    appointment of Oversight Body

    Subpoena Powers

    Prior Notification

    Request

    Argentina Review legality & effectiveness of the services,

    including citizens

    complaints

    Both scrutiny and

    authorization powers

    Parliamentary oversight body of

    14 MPs as member, appointed

    by parliament. There is no security

    vetting

    No No. regulated by

    the law

    Canada The SIRC checks legality and afficacy of

    the agency

    SIRC has no authorization

    powers, yet can comment on

    CSISs budget

    External independent expert oversight body of max. 5 experts as

    members, appointed by Prime Minister. Members

    are under oath

    Yes No. Prior

    notification required

    Italia, Belanda, Inggris) dan Negara-negara yang berasosiasi ke Uni Eropa (Hongaria, Norwegia, Plandia, Checo, dan Turki) dapat dilihat dalam Assembly of WEU, The Interim European Security and Defence Assembly, Parliamentary Oversight of the Intelligence Services in WEU countries Current Situation and Prospect for Reform, Report, Document A/1810, (4 Desember 2002).

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    251 Country Mandate of

    oversight body

    Budget Control Power of Oversight

    Body

    Type of Oversight Body;

    membership; clearance;

    appointment of Oversight Body

    Subpoena Powers

    Prior Notification

    Request

    Norway The oversight focuses

    primarily on legality of the

    services, including

    human rights protection

    No budget oversight function

    External expert parliamentary

    oversight body; max. 7 members (non-MPs) but appointed by parliament

    Yes, all persons

    summoned to appear

    before the Committee

    are obliged to do so

    Agencies are forbiddens

    from consulting with the

    Committee about future operations

    Poland Overviews, legality, policy, administration & international cooperation of

    sevices. Effectiveness is not checked.

    Commission scrutinises yhe services draft budget and its

    implementation.

    Parliamentary oversight body; max. 9 MPs as

    members, appointed by parliament. All

    members undergo security vetting.

    No No legal duty

    South Africa

    Its oversight purview includes

    legislation, activities,

    administrations, financial

    management & expenditure of

    the sevices

    The committee does not

    oversee the intellegence

    services budget per se, but its

    purview includes financial

    management of the services

    Parliamentary oversight body;

    committee consists of 15 MPs,

    appointed by President.

    Members are vetted.

    Yes No legal duty

    United Kingdom

    Finance, administration, and policy of

    M15, M16, and GCHQ with a

    view on afficiency. It

    does not check legality.

    Committee scrutinizes the

    finance together with the

    Chairman of the Public Accounts Committee but

    has no authorization

    power

    Parliamentary oversight body of 9 members drawn from Houses of

    Parliament, appointed by the Prime Minister.

    No No legal duty

  • Cornelis Lay

    252Country Mandate of

    oversight body

    Budget Control Power of Oversight

    Body

    Type of Oversight Body;

    membership; clearance;

    appointment of Oversight Body

    Subpoena Powers

    Prior Notification

    Request

    United States

    Reviews all intelligence agencies.

    Approves top intelligence

    appointments. Its check both

    legality & effectiveness of

    the services

    Both oversight committees

    possess budget authorization

    powers

    Two Congressional oversight

    committee, consisting of 20 (House) and 17

    (Senate) Congressman, appointed by

    House and State leaders

    Yes, on both committees

    Yes, except in times of

    acute emergency, in which the

    agencies can delay

    reporting for 2 days

    Sumber: Hans Born, L. K. Johnson, and I. Leigh (eds.), Whos Watching the Spies? Establishing Intelligence Service Accountable, (Dulles, VA; Potomac Book, Inc., 2005. Praktek yang berlangsung di sejumlah negara sebagaimana digambarkan secara cepat di atas mengindikasikan bahwa parlemen bukan institusi tunggal yang menjalankan fungsi oversight politik atas lembaga intelijen. Lebih lanjut, pembacaan secara lebih teliti atas pengalaman sejumlah negara di atas mengkonfirmasi bahwa sebuah komisi khusus parlemen untuk intelijen yang efektif dalam kerjanya memiliki sejumlah karakteristik berikut ini. 58

    a. Fungsi dan kewenangannya bersumber dari UU b. Memiliki kontrol atas agenda, isu, jadwal dan

    frekuensi pertemuan dari komisi; c. Memanfaatkan laporan-laporan kecil;

    58 Ibid. h. 11-12.

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    253 d. Adanya koordinasi yang terus menerus dengan

    komisi-komisi lain yang terkait dengan bidang keamanan secara keseluruhan;

    e. Dipimpin oleh anggota parlemen senior yang berpengalaman dalam bidang kebijakan pertahanan dan keamanan;

    f. Memiliki kewenangan untuk meminta menteri terkait, para ahli baik sipil dan militer untuk memberikan kesaksian;

    g. Memanfaatkan para ahli secara efektif, baik yang berasal dari dunia kampus maupun NGOs;

    h. Pertemuan-pertemuannya, umumnya bersifat tertutup;

    i. Menyampaikan laporan tahunan secara teratur kepada rapat paripurna parlemen;

    j. Memiliki hak untuk meminta informasi, dengan jaminan bahwa informasi tersebut tidak akan dibocorkan sehingga membahayakan operasi yang sedang berjalan atau sumber informasi;

    k. Mampu membangun kerjasama dengan menteri yang bertanggung jawab secara politis atas lembaga intelijen;

    l. komisi dapat saja membuka informasi, tapi harus bahwa mayoritas anggota menyepakati bahwa hal ini demi kepentingan publik;

    m. Tidak membatasi diri pada informasi yang dimintakannya, tapi harus juga berinisiatif mendapatkan informasi dari berbagai sumber lainnya.

  • Cornelis Lay

    254Komisi khusus, umumnya memanfaatkan keahlian dari pihak luar, misalnya melalui dengar pendapat ataupun penelitian; aktif dalam forum parlemen global sebagai parnert untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuannya; memiliki staf yang kuat dan terekspos secara berarti pada forum-forum nasional dan internasional, yang berfungsi untuk menopang baik anggota maupun komite secara keseluruhan; dan memiliki dukungan sistem birokrasi yang kuat.59 Penutup: Keterbatasan Pengawasan Parlemen Seperti sudah disampaikan secara cepat pada bagian awal, intelijen sudah mengalami proses pelembagaan sangat panjang. Fungsi ini sudah melekat dalam pengaturan negara dan pemerintahan sejak bentuk-bentuk persekutuan kolektif semacam negara ini mulai muncul. Penataannya sebagai sebuah sistem birokrasi juga sudah berjalan sangat panjang, seiring dengan evolusi perkembangan birokrasi pemerintahan atau negara. Sementara itu, proses pelembagaan demokrasi dan pengembangan instrumen teknokratis yang efektif merupakan fenomena baru. Sebagai gagasan besar dan praktek umum demokrasi sudah lama dikenal. Tetapi sarana-sarana teknokratis yang dibangun di dalamnya untuk memfasilitasi bekerjanya prinsip normatif baru muncul seiring dengan meluasnya gagasan demokrasi perwakilan, bahkan lebih spesifik lagi limited democracy atau demokrasi minimalis mengikuti perubahan

    59 Ibid. h. 15-16

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    255 pemaknaan yang ditawarkan oleh Schumpeter.60 Hal ini semakin terasa bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Selisih pertumbuhan sejarah yang merentang sangat panjang inilah yang menyebabkan adanya perbedaan akumulasi pemahaman dan keahlian dari intelijen sebagai institusi dan fungsi yang harus diawasi dan parlemen sebagai institusi dan fungsi yang harus mengawasi. Hal di atas diperburuk oleh sejumlah fakta lainnya. Pertama, keterlibatan dalam dunia intelijen mengharuskan pemenuhan sejumlah kriteria keahlian dan teknis yang sangat khusus dan cenderung terspesialisasi. Sementara, keterlibatan ke dalam parlemen sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme politik dukungan partai dan atau pemilih dan hanya melibatkan syarat-syarat umum (misalnya, usia, derajat pendidikan minimal, keanggotaan dalam partai, dan sebagainya).61 Ini berimplikasi pada terjadi

    60 Joseph A Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy (New York: Harper & Row Publishers, 1976); lihat pula, Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971). 61 Banyak literatur yang telah mendiskusikan hal ini. Lihat misalnya Barbara Geddes, Politicians Dillema, Building State Capacity in Latin America, (California: University of California Press, 1994); Eva Etzioni-Halavy, Bureucracy and Democracy, A Political Dillema (London: Routledge, 1983), menggambarkan selisih waktu pertumbuhan ini mengakibatkan meluasnya fenomena ministerial turn-over sebagai salah satu dilema demokrasi. Mengenai persyaratan menjadi anggota parlemen lihat berbagai UU mengenai Pemilu dari berbagai negara. Sementara mengenai persyaratan menjadi anggota intelijen, dapat

  • Cornelis Lay

    256ketimpangan keahlian antara kedua lembaga ini. Akibat lebih lanjut, ketika parlemen harus menjalankan fungsi pengawasannya atas hal-hal yang bersifat sangat spesifik, parlemen praktis kehilangan jejak sejak awal. Kondisi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa parlemen di rata-rata negara dunia ketiga tidak dibekali oleh tenaga ahli yang handal untuk mengkompensasi kelemahan anggota parlemen dalam sektor ini. Kelangkaan tenaga handal dalam bidang intelijen, sebenarnya merupakan gambaran dari persoalan yang sama di tingkat masyarakat secara keseluruhan: intelijen merupakan keahlian yang praktis tidak diminati oleh kalangan di luar pelaku intelijen. Kedua, intelijen, sebagaimana organisasi publik lainnya, dirancang sebagai organisasi yang bersifat permanen dengan sistem keanggotaan yang bersifat permanen. Dalam tradisi birokrasi lama, menjadi anggota intelijen -- analogi dari anggota civil servant -- adalah pengabdian seumur hidup, sejenis kontrak sosial, dan dimengerti sebagai karier.62 Akibatnya, sirkulasi yang bersifat cepat tidak terjadi dan secara positif hal ini telah memungkinkan terjadinya akumulasi pengetahuan dan pemahaman yang terus

    dilihat dari berbagai UU dan manual petunjuk pelaksanaan mengenai rekrutmen anggota intelijen. 62 Review yang menarik mengenai hal ini dapat dilihat dalam, B. Guy Petters, The Future of Governing, 2nd ed., (Kansas: University Press of Kansas, 2001); Janet V. Denhardt and Robert B. Denhardt, The New Public Service. Serving, Not Steering (New York: M. E. Sharpe, 2003).

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    257 bertumpuk. Pengaturan semacam ini menempatkan organisasi intelijen dalam posisi sebagai daya ingat63 lembaga yang membuatnya sangat ahli dan sekaligus penuh kekuasaan. Fenomena sebaliknya justru berlaku bagi anggota parlemen. Sebagai lembaga dan fungsi, parlemen bersifat abadi; tapi keanggotaannya mengalami sirkulasi secara cepat mengikuti irama politik. Akibatnya, kemungkinan bagi akumulasi pengetahuan dan pengalaman sangat terbatas dan fungsi lembaga sebagai memori organisasi tidak pernah terbangun. Hal ini mengakibatkan parlemen kesulitan dalam menjalankan fungsi pengawasan, apalagi terhadap intelijen yang memiliki sifat sangat khusus. Ketiga, sebagai akibat lanjut dari dua hal di atas, dan sebagai akibat dari terjadi pergeseran pendulum tanggung-jawab pelayanan publik negara dan pemerintah yang dialihkan kepada pasar ataupun masyarakat (civil society) fungsi pengawasan parlemen mengalami proses peminggiran bertahap tapi pasti. Pergeseran ini memunculkan kriteria baru dalam menilai baik-buruknya kinerja pemerintah, khususnya yang terkait dengan pelayanan publik. Kriteria-kriteria semisal akuntabilitas dan transparansi, telah memindahkan fungsi pengawasan parlemen kepada mereka yang memiliki keahlian teknokratis di bidang tersebut, misalnya perencana anggaran, auditor, dan akuntan. Perubahan paradigma organisasi publik melalui introduksi parameter baru ini telah berakibat 63 E. W. Stein, Organizational Memory International Journal of Information Management, No. 15 (1995).

  • Cornelis Lay

    258pada semakin sentralnya posisi auditing dalam ranah sektor publik. Auditing tidak saja dimaksudkan untuk menemukan fraud, waste and abuse sebagaimana ia diposisikan dalam model organisasi publik lama, tapi juga difungsikan untuk menjawab ekonomi, efisiensi dan efektivitas -- dikenal dengan 3 E.64 Ini berarti peranan auditor dikonversi secara dramatis dari semata-mata sebagai pemantas menjadi bagian integral dan bahkan bagian terpenting jika kita berkaca dalam perkembangan terakhir Indonesia -- dari seluruh perubahan dan proses akuntabilitas dan transparansi. Pasungan sejumlah keterbatasan atas parlemen dalam melakukan fungsi pengawasan politiknya semakin terasa karena, berbeda dengan bentuk-bentuk pelayanan lainnya dari negara atau pemerintah yang bisa dengan mudah menjadi subjek dari prinsip transparansi, pelayanan intelijen dibatasi oleh sifatnya sebagai forknowledge (waskita) yang dari sudut sumber, proses penghimpunan, analisis, metode dan penggunaannya bersifat tertutup dan rahasia. Tiga kategori isu fundamental harus tetap bersifat rahasia sehingga tetap bisa sebagai produk intelijen, dan dapat efektif. Pertama menyangkut semua informasi yang terkait dengan operasi, sumber, metode, prosedur, dan

    64 Pengambilalihan fungsi pengawasan parlemen oleh auditor ini berlangsung dramatis dalam satu dekade terakhir ini seiring dengan perubahan paradigma menejemen publik. Lihat misalnya, Guy Petters, The Future of Governing, Op.Cit..; Janet V. Denhardt and Robert B. Denhardt, The New Public Service. Serving, Not Steering, Op. Cit..

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    259 sarana yang digunakan. Kedua, kerahasiaan dari anggota intelijen yang menjalankan tugas, berikut pengetahuan dan informasi yang dimilikinya. Dan Ketiga, asal muasal dan rincian informasi intelijen yang diberikan lembaga-lembaga pemerintah di luarnya atau dari intelijen asing.65 Ketiganya disepakati sebagai area sensitif yang harus tetap bersifat rahasia atau minimal konfidensial. Akibatnya, sebuah pengawasan politik oleh parlemen memang tidak dapat efektif menjangkau hal ini. Hal ini membawa konsekuensi sangat serius. Dalam berbagai kesempatan diskusi antara Kelompok Kerja Indonesia Untuk Reformasi Intelijen Negara, PACIVIS FISIP UI dengan anggota Komisi I DPR RI, persoalan-persoalan klasik yang terkait dengan ini senantiasa mengedepan. Pertanyaan-pertanyaan semisal apa tolok ukur yang bisa dipakai sebagai indicator atau proxy indicator dalam menilai kinerja intelijen, praktis tidak terjawab dengan memadai. Nature kerja intelijen membuat sumber informasi mengenai kinerja intelijen hanya terbatas dari pengguna akhir (end user) produk intelijen, terutama Presiden. Menggunakan meluasnya kasus terorisme sebagai indikator kegagalan intelijen, misalnya, dalam sejumlah batas adalah sahih. Akan tetapi karena adanya jarak antara intelijen sebagai penyedia informasi dengan pengguna akhir akibat pembedaan fungsi antara intelijen sebagai pengumpul, penganalisa dan penyaji informasi dengan politisi 65 DCAF Working Group on Intelligence Reform, Intelligence Services and Democracy, DCAF Working Paper Series No. 13 (2002).

  • Cornelis Lay

    260(Prsiden, khususnya) yang punya kewenangan dalam memperlakukan produk intelijen --, penilaian semacam ini bisa salah. Jarak yang ada termasuk ke wilayah yang sangat sulit diverifikasi. Parlemen misalnya, tidak akan pernah mengetahui secara pasti apakah kelalaian ada di pihak intelijen atau pengguna akhir. Pada titik seperti ini, pengawasan parlemen menjadi sangat sulit, justru karena ukuran yang diperlukan tidak tersedia. Pertanyaan lain yang muncul dalam diskusi adalah sejauh mana parlemen memiliki kewenangan dalam penetapan anggaran intelijen. Untuk fungsi dan jenis pelayanan pemerintahan lainnya, hal ini mudah dijawab. Untuk konteks Indonesia level keterlibatan parlemen adalah satuan tiga. Tetapi batas-batas pelayanan intelijen sedemikian kabur dan lentur; dan secara umum hanya akan mencapai penetapan besaran secara makro. Padahal, penggunaan instrumen anggaran merupakan salah satu sarana paling penting yang melekat dalam fungsi parlemen. Mengalir dari diskusi sejauh ini terungkap bahwa kebutuhan untuk melakukan pengawasan atas intelijen adalah mutlak, baik untuk kepentingan pencapaian fungsi intelijen secara lebih baik dan profesional, maupun dan terutama bagi kepentingan pembangunan demokrasi. Tetapi, diskusi kita juga mengungkapkan, bahwa hasrat untuk mendamaikan mencari titik equilibrium di antara kebutuhan akan keamanan dan demokrasi melalui pengendalian atas intelijen, membutuhkan banyak

  • Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis p

    261 sekali imajinasi dan kerja kongkrit yang tidak dapat diwujudkan dalam satu usaha tunggal. Keseimbangan antar keduanya, hanya dapat dicapai melalui kerja-kerja berkesinambungan yang dituntun oleh keyakinan bahwa keamanan dan demokrasi adalah kebutuhan-kebutuhan bersama yang sama mulianya. Keyakinan di atas, juga harus disandarkan pada kesadaran bahwa di antara kedua kebutuhan di atas, mengandung tendensi-tendensi untuk saling meniadakan; dan karenanya, penciptaan tanpa kenal lelah seni untuk menyeimbangkan keduanya adalah pekerjaan politik tak pernah berhenti. Instrumen untuk mencapai keseimbangan telah tersedia dengan cukup memadai. Tetapi, masing-masingnya memiliki keterbatasan yang serius. Karena hal di atas, perlu integrasi dari berbagai instrumen ke dalam sebuah bangunan dan logika sistem pengawasan yang berlapis dan sirkular sifatnya merupakan kebutuhan obyektif. Operasionalisasi dari model pengawasan ini dielaborasi Andi Widjajanto dalam Bab Sepuluh buku ini. Prinsip kerjanya sangat sederhana: setiap lapis pengawasan merupakan bagian dari lapis lainnya yang tersusun secara bertingkat ke dalam empat lapisan. Pengawasan yang dilakukan, bukan merupakan peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan sirkuler dari lapis-lapis pengawasan.