halaman pengesahan - opac.lib.idu.ac.idopac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/... · data...
TRANSCRIPT
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 ii
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Pencegahan Potensi Konflik Imigran Dengan Masyarakat Lokal di Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat
2. Kode/Nama rumpun ilmu : 3. Ketua Peneliti:
a. Nama Lengkap : Dr. Bambang Wahyudi MM, M.Si b. NIDN : 4702076101 c. Jabatan Fungsional : Sesprodi Damai dan Resolusi Konflik d. Program studi : Damai dan Resolusi Konflik e. Nomor Telepon/HP/FaX : 0812 81763762 f. Alamat surel (E-mail) : [email protected]
4. Anggota Peneliti (1): a. Nama Lengkap : Dr. Priza Audermando Purba, M.Si. b. NIDN : 4730116201 c. Perguruan Tinggi : Universitas Pertahanan 5 Anggota Peneliti (2): a. Nama Lengkap : Ningsih Susilawati, S.Sos, M.Si (Han) b. NIDN : - c. Perguruan Tinggi : Universitas Pertahanan 6. Lama penelitian keseluruhan : 3 bulan 7. Penelitian tahun ke : 1 8. Biaya Penelitian keseluruhan : Rp 30.000.000,- a. Internal Unhan : Rp 30.000.000,- b. Sumber Lain (tuliskan) : Rp 0
Mengetahui: Bogor, Oktober 2017
Ketua LPPM Unhan
Tjuk Agus Minahasa, S.IP
Mayor Jenderal TNI
Kapuslit Strategi Pertahanan,
G. Eko Sunarto, S.Pd., M.Si Kolonel Czi 1920044710870
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat dan karuniaNya, Laporan Hasil Penelitian ini
Dosen Program Studi Damai dan Resolusi Konflik dengan judul “Pencegahan
Potensi Konflik Imigran Dengan Masyarakat Lokal di Cisarua, Kab.
Bogor, Jawa Barat” ini telah dapat dilaksanakan dan diselesaikan pada
waktunya.
Oleh karenanya pada kesempatan yang baik ini, dengan segala
kerendahan hati peneliti menghaturkan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Letnan Jenderal TNI Dr. I Wayan Midhio, M.Phil selaku Rektor
Universitas Pertahanan.
2. Mayjen TNI Tjuk Minahasa, S.IP selaku Kepala Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pertahanan.
3. Laksda TNI Dr. Siswo Hadi Sumantri, S.T., M.MT selaku Dekan
Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan.
4. Para narasumber yang telah turut berkontribusi dalam penelitian ini.
Peneliti sangat menyadari bahwa dalam Laporan Hasil Penelitian ini
masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu demi kesempurnaan penelitian
ini, diharapkan adanya kritik yang membangun untuk penyempurnaan
penelitian selanjutnya. Akhirnya tim peneliti berharap semoga penelitian ini
dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu damai dan resolusi konflik.
Tim Peneliti
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 iv
ABSTRAK
Pencegahan Potensi Konflik Imigran Dengan Masyaraka t Lokal di
Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pencegahan potensi
konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua, Kab. Bogor, Jawa
Barat. Peningkatan jumlah imigran yang semakin meningkat sebagaimana
data yang diperoleh dari UNHCR, total imigran ilegal yang berada di wilayah
Indonesia hingga dengan bulan Maret 2014 kurang lebih sekitar 10.623 orang
yang terdiri dari 7.218 orang pencari suaka dan sisanya 3.405 berstatus
pengungsi. Di Cisarua Jawa Barat, telah terdapat imigran yang menikah
dengan penduduk lokal dan membuka usaha mandiri. Sementara itu, data
menyebutkan sepanjang 2016 tercatat 1.776 warga negara asing (WNA)
masuk ke wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Kemudian, fenomena
mengenai pernikahan silang antara warga negara asing yang merupakan
imigran illegal dengan masyarakat lokal juga menjadi persoalan yang harus di
atas oleh pemerintah setempat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan analisis deksriptif. Pengumpulan data dilaksanakan dengan
melakukan wawancara kepada para stakeholders setempat di Cisarua dan
masyarakat lokal. Setelah itu data akan dianalisis menggunakan teori Deteksi
Dini dan Pencegahan Konflik, tinjauan mengenai pengungsi dan imigran, dan
konsep keamanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Di Kecamatan
Cisarua Kab. Bogor terdapat potensi konflik antara imigran dengan
masyarakat lokal. Sumber dari potensi konflik tersebut terdiri dari aspek sosial
budaya, hukum, ideologi. Perbedaan budaya antara masyarakat lokal dengan
imigran tersebut tentu saja dapat memicu gesekan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Kemudian Proses mediasi dan negosiasi yang sudah dilakukan
dalam penanganan potensi konflik imigran di Cisarua, masih belum maksimal
dikarenakan belum adanya aturan pelaksanaan yang secara teknis mengatur
tentang penanganan masalah imigran.
Keyword: Pencegahan Konflik, CEWERS, Cisarua, Imigran, UNHCR, Potensi Konflik, Pengungsi
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 v
ABSTRACT
This study aims to analyze how the prevention of potential conflicts between
immigrants with local communities in Cisarua, Bogor, West Java. An
increasing number of immigrants as data obtained from UNHCR, total illegal
immigrants located in Indonesian territory up to March 2014 are approximately
10,623 people consisting of 7,218 asylum seekers and the remaining 3,405
are IDPs. In Cisarua, West Java, there are immigrants who marry local
residents and open independent businesses. Meanwhile, data mention
throughout 2016 recorded 1,776 foreign nationals (foreigners) into the area of
the City and Bogor District. Then, the phenomenon of cross-breeding between
foreign citizens who are illegal immigrants with local communities is also an
issue that should be overrun by the local government. This research uses
qualitative method with descriptive analysis. Data collection was conducted by
interviewing local stakeholders in Cisarua and local communities. After that
the data will be analyzed using Early Detection and Conflict Prevention, a
review of refugees and immigrants, and the concept of security. The results
showed that In District Cisarua Kab. Bogor there is a potential conflict
between immigrants and local communities. The source of potential conflict
consists of social-cultural, legal, ideological aspects. Cultural differences
between local communities and immigrants can certainly lead to friction in the
social life of the community. Then the mediation and negotiation process that
has been done in handling the potential of immigrant conflict in Cisarua, still
not maximal because there is no implementation rule that technically regulate
about handling of immigrant problem.
Keyword: Conflict Prevention, CEWERS, Cisarua, Immigrants, UNHCR, Potential Conflict, Refugees
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................... ......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................. .................................. ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................... ............................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......... .......... iv
KATA PENGANTAR .................................... ....................................... v
ABSTRAK ........................................... ................................................ vi i
ABSTRACT ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................ ................................................. x
DAFTAR GAMBAR ..................................... ........................................ xii
DAFTAR TABEL ...................................... ........................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................... ....................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM ...................... ....................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN ................................ .................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 7
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................. 9
1.5 Ruang Lingkup dan Gambaran Desain Penelitian ............. 11
1.5.1 Ruang Lingkup Penelitian .................................................. 11
1.5.2 Gambaran Desain Penelitian ............................................. 11
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .... .... 13
2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................... 13
2.1.1 Tinjauan Mengenai Pengungsi dan Imigran ................. 13
2.1.2 Teori Deteksi Dini dan Pencegahan Konflik ................. 21
2.1.3 Kerangka Dinamis Pencegahan dan
Resolusi Konflik............................................................ 24
2.1.4 Konsep Keamanan....................................................... 28
2.1.5 Penelitian Terdahulu .................................................... 31
2.2 Kerangka Pemikiran ..................................................... 37
BAB 3. METODE PENELITIAN........................... ................................ 41
3.1 Desain Penelitian ......................................................... 41
3.2 Sumber Data/Subjek/ Objek Penelitian ........................ 42
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 vii
3.2.1 Sumber Data ................................................................ 42
3.2.2 Subjek Penelitian ......................................................... 42
3.2.3 Objek Penelitian ........................................................... 43
3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................... 43
3.4 Teknik Analisis Data ..................................................... 45
3.5 Prosedur Penelitian ...................................................... 46
3.5.1 Instrumen Penelitian .................................................... 46
3.5.2 Data Primer .................................................................. 46
3.5.3 Data Sekunder ............................................................. 46
3.5.4 Pengujian Keabsahan dan Keterandalan Data ............ 47
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................ 48
BAB 4. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ............... .................. 50
4.1 Gambaran Sebaran Data/Subjek Penelitian ................ 50
4.1.1 Gambaran Umum Cisarua, Kab.Bogor ........................ 50
4.1.2 Gambaran Umum Pengungsi di Indonesia .................. 52
4.2 Analisis Data dan Interpretasi Hasil ............................. 58
4.2.1 Potensi Konflik antara Imigran dengan
Masyarakat Lokal di Cisarua, Kab. Bogor .................... 58
4.2.1.1 Data Pengungsi di Cisarua .......................................... 58
4.2.1.2 Potensi Konflik antara Imigran dengan
Masyarakat Lokal di Cisarua, Kab. Bogor .................... 60
4.2.2 Pencegahan Konflik antara Imigran dengan
Masyarakat Lokal di Cisarua, Kab.Bogor ..................... 64
4.3 Pembahasan ................................................................ 68
4.3.1 Potensi Konflik antara Imigran dengan
Masyarakat Lokal di Cisarua, Kab. Bogor .................... 68
4.3.2 Pencegahan Konflik antara Imigran dengan
Masyarakat Lokal di Cisarua, Kab.Bogor ..................... 71
BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ......................... .............................. 76
5.1 Simpulan ..................................................................... 76
5.2 Saran .......................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .................................... ........................................ 79
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Alur Masuk Imigran dan Pengungsi
Menuju Indonesia ....................................................... 5
Gambar 2.1.2 Proses Kegiatan CEWERS Berbasis Jaringan .......... 23
Gambar 2.2.1 Kerangka Pemikiran ................................................... 40
Gambar 4.1 Peta Kecamatan Cisarua ........................................... 51
Gambar 4.2 Proses Singkat Penanganan Pengungsi .................... 54
Gambar 4.3 Pengelompokan Pengungsi Secara Kompleks .......... 55
Gambar 4.4 Pengelompokan Pengungsi Secara Sederhana ........ 56
Gambar 4.5 Proses Penanganan Pengungsi di Lapangan ............ 57
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ..................................................... 32
Tabel 3.6 Rencana Jadwal Penelitian ........................................ 48
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kaum Migran menjadi topik permasalahan antara negara penerima
dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
sebagai mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
melindungi pengungsi dan membantu pengungsi mencari solusi atas
keadaan para pengungsi tersebut dan terkadang menjadi permasalahan
utama dalam penetapan status mereka. Hal ini menjadi permasalahan
karena tidak semua negara penerima merupakan peratifikasi The 1951
Convention relating to the International Status of Refugees (Konvensi
1951) dan The 1967, Protocol Relating to the International Status of
Refugees (Protokol 1967).
Kawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia merupakan tujuan
utama para kaum migran. Hal ini dikarenakan posisi strategis Indonesia
yang berada diantara dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) dan
dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Selain itu, faktor
penyebab lainnya adalah karena wilayah Indonesia yang berbatasan
langsung dengan negara luar seperti, Malaysia, Timor Leste, Singapura,
dan negara–negara lain. Wilayah perbatasan ini rentan untuk menjadi
pintu keluar masuknya oleh Warga Negara Asing (WNA) yang masuk
wilayah Indonesia termasuk imigran.
Permasalahan mengenai kaum imigran merupakan isu yang krusial
saat ini. Beberapa konflik di negara-negara Asia menjadi salah satu
penyebab meningkatnya jumlah imigran yang datang ke Indonesia. Konflik
dan situasi di negara asal yang kurang mendukung, seperti konflik
Rohingya di Maymar beberapa tahun lalu tentu saja mendorong warga
Rohingya masuk ke wilayah Indonesia melalui perairan di Aceh. Selain itu,
minimnya pertahanan di kawasan perbatasan juga menjadi penyebab
mudahnya akses keluar masuk imigran ke Indonesia.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 2
Permasalahan ini tidak hanya menjadi tanggungan bagi negara yang
telah meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 beserta
Protokolnya, yaitu Protokol tahun 1967, tapi juga dunia internasional.
Terlebih lagi Indonesia yang sama sekali tidak dibebani tanggung jawab
konvensi tersebut, artinya Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 turut menanggung juga terkait masalah
imigran dan pengungsi tersebut.
Meskipun Indonesia belum menandatangani Konvensi 1951 dan
Protokol 1967, namun Indonesia masih mempunyai aturan hukum yang
terkait masalah pengaturan orang asing dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 9 Tahun
1992 tentang Keimigrasian telah ditentukan bahwa setiap orang asing
yang masuk dan keluar wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah
dan masih berlaku kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini
dan perjanjian internasional. Pasal 9 juga menegaskan bahwa setiap
orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui
pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi.
Atas dasar hukum tersebut, maka setiap imigran yang masuk
wilayah Indonesia tidak berdasarkan aturan dimaksud, disebut sebagai
imigran ilegal, sehingga dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam Pasal 113
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan juga bahwa setiap
orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang
tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Namun dalam implementasi
peraturan tersebut, akan terlihat adanya perlakuan yang berbeda ketika
pihak Imigrasi Indonesia berhadapan dengan pencari suaka dan
pengungsi yang dalam perjalananya hendak ke negara tujuan, yaitu
Australia.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 3
Meskipun telah memiliki instrument hukum yang mengatur terkait
keberadaan orang asing melalui UU No 6 Tahun 2011 sebagaimana
disebutkan sebelumnya, namun demikian Indonesia tetap memiliki
kewajiban mengenai penanganan imigran ilegal karena alasan
kemanusiaan dan HAM. Terlebih lagi isu mengenai human security telah
diangkat oleh organisasi-organisasi Internasional sebagai concern. Hal ini
kemudian diperkuat dengan ditetapkannya hukum lokal dan diratifikasinya
International Human Right Treaties, seperti Perdirjenim No.IMI-
1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, TAP
MPR No.XVII/MPR/1998 yang berisikan Piagam Hak Asasi Manusia, UUD
1945 (Amandemen) yang berorientasi pada HAM, UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri, UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan CEDAW
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women), CRC (Convention on the Rights of the Child), ICCPR
(International Convenant on Civil and Political Rights), ICESCR
(International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights), CAT
(Convenant Against Torture), (ICERD (International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dan CRPD (Convention
on the Rights of Persons with Disability). Instrumen hukum baik nasional
dan internasional tersebut, tentu menjadi permasalahan bagi Indonesia
dalam penanganan imigran illegal mengingat terdapat pertimbangan
prinsip kemanusiaan dan HAM yang harus di taati oleh sebuah negara.
Sementara itu, dalam proses penanganan pengungsi dan imigran
terdapat beberapa tahap yang dilakukan oleh berbagai stakeholders dan
pihak yang bersangkutan, yaitu TNI, POLRI, Kantor Imigrasi, Kementerian
Luar Negeri, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee),
IOM (International Ornagization of Migration), dan lain sebagainya. Tahap
pertama, yaitu dari proses penangkapan atau ditemukannya para
pengungsi dan imigran yang sedang transit di Indonesia. Para imigran
tersebut kemudian ditempatkan di RUDENIM (Rumah Detensi Imigrasi)
dibawah naungan Kantor imigrasi setempat sehingga pada proses
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 4
penentuan status oleh UNHCR dan pada proses akhir setelah penentuan
status pengungsi tersebut dipindahkan ke negara ke-3 atau dikembalikan
ke negara asal mereka. Proses penentuan status oleh UNHCR para
pengungsi dan imigran tersebut membutuhkan waktu selama kurun waktu
1 - 2 tahun bahkan bisa lebih. Dalam kurun waktu tersebut dikahwatirkan
kehadiran para pengungsi dan imigran tersebut menimbulkan dampak
negative bagi stabilitas kegiatan keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan
berbagai aspek lainnya bagi Indonesia.
Berdasarkan data dari UNHCR hingga dengan Februari 2016
terdapat total 13,829 yang terdiri dari 7,560 pencari suaka dan 6,269
pengungsi yang berada di Indonesia dan berasal dari 44 negara. Dari
jumlah di atas, terdapat sekitar 1.030 pengungsi dan pencari suaka
berasal dari Myanmar, termasuk yang tiba di Aceh pada bulan Mei 2015.
Penampungan pencari suaka dan pengungsi dilakukan di 13 (tiga belas)
rudenim/ rumah detensi imigrasi yang tersebar di seluruh Indonesia
(Kementerian Luar Negeri RI : 2016). Sementara itu di Cisarua Jawa
Barat, telah terdapat imigran yang menikah dengan penduduk lokal dan
membuka usaha mandiri. Sementara itu, data menyebutkan sepanjang
2016 tercatat 1.776 warga negara asing (WNA) masuk ke wilayah Kota
dan Kabupaten Bogor. Dengan rincian 611 ITK (Izin Tinggal Kunjungan),
1.126 ITAS (Izin Tinggal Terbatas), dan 39 ITAP (Izin Tinggal Tetap)
(Awasi Orang Asing…. : 2016).
Pada umumnya para imigran tersebut memasuki wilayah Indonesia
melalui Provinsi Banten, yaitu daerah yang bersentuhan dengan Selat
Sunda. Banten juga merupakan daerah yang bersinggungan dengan Alur
Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dilewati kapal berbendera
Internasional. Para imigran tersebut bergerak dari wilayah Banten menuju
ke Selatan, yaitu Sukabumi, Jawa Barat. Melalui pelabuhan yang ada di
Sukabumi mereka berlayar lagi ke arah selatan yang merupakan tempat
tujuan utama, yaitu Christmas Island, Australia. Dari jalur tersebut
mayoritas keberadaan mereka sebagian besar terpusat di wilayah seputar
Jakarta dan Jawa Barat.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 5
Terdapat beberapa alasan mengapa imigran ini terpusat di wilayah
tersebut, yaitu pertama untuk memudahkan koordinasi dengan beberapa
lembaga seperti UNHCR dan IOM dalam pengurusan status mereka
sebagai pengungsi. Alasan yang kedua, yaitu supaya lebih dekat jarak
menuju wilayah pantai selatan seperti Sukabumi dengan tujuan utama
yaitu Christmas Island, Australia. Dari kedua hal tersebut yang menjadikan
terjadinya penumpukan imigran di seputar Cisarua Jawa Barat, ditambah
dengan proses penentuan pengungsi tersebut yang memakan waktu
lama, sehingga para imgran ini lebih memilih bermukim di daerah
tersebut.
Gambar 1.1 Alur Masuk Imigran dan Pengungsi Menuju Indonesia Sumber: UNHCR, 2010
Keberadaan warga negara asing sebagai imigran ini menjadi
permasalahan dan menimbulkan dampak bagi ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, keamanan nasional, dan kerawanan imigrasi di Indonesia.
Fenomena penumpukan imigran tersebut dikhawatirkan juga bisa
mempengaruhi sistem pertahanan Negara Indonesia, banyak pengungsi
dan imigran yang sudah menduduki wilayah territorial NKRI dan
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 6
berinteraksi dengan masyarakat lokal, tak jarang dari pengungsi dan
imigran tersebut melakukan melakukan pernikahan dengan masyarakat
lokal hingga mempunyai keturunan, fenomena tersebut bisa dijumpai di
wilayah Cisarua. Fenomena atas penolakan sebagian warga Bogor
terhadap keberadaan para imigran yang tinggal di sekitar Cisarua, Bogor,
konon berawal dari ketidaknyamanan warga yang mulai terganggu
dengan keberadaan para imigran. Menurut masyarakat setempat,
perilaku imigran semakin seenaknya, bahkan mulai mengabaikan masalah
hukum di Indonesia (Alvi, 2013). Secara tidak langsung kejadian tersebut
juga dapat menjadi pemicu sengketa antar negara maupun konflik antar
etnis, ditambah dengan adanya perbedaan budaya antara para imigran
dengan masyarakat lokal.
Di salah satu desa, yaitu Batu Layang, terdapat berbagai imigran
yang berasal dari berbagai negara yang membuka usah dan menikah
dengan warga sekitar atau penduduk lokal. Menghadapi hal ini,
stakeholders setempat melakukan pendataan dan upaya penindakan
(Imigran Gelap di Cisarua..., 2015). Mayoritas orang Afghanistan dan
Pakistan tersebut menyewa rumah dengan harga rata-rata satu juta,
setelah kontrak tersebut habis mereka terus pergi ke daerah lain. Terlebih
lagi jika diketahui oleh petugas yang akan mendata mereka (Rudi, dalam
peristiwa di puncak…, 2014). Menurut Rudi yang juga merupakan ketua
binmas di daerah tersebut, mereka pindah ke tempat lain bersama
makelar yang sulit dilacak, kebanyakan para imigran tersebut kemudian
pergi mencari suaka ke Australia.
Fenomena mengenai imigran tersebut di atas, dapat memotivasi
timbulnya potensi konflik antara warga asing yang merupakan imigran
illegal dengan masyarakat lokal. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia
melalui stakeholders terkait selain melalui penetapan UU No. 6 Tahun
2011 juga perlu melakukan upaya pencegahan konflik antara merupakan
imigran illegal dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat agar tidak
tercipta ekskalasi konflik yang terbuka.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 7
Hal ini menjadi isu yang penting untuk didalami karena memiliki
dampak bagi sistem pertahanan negara. Dibutuhkan penanganan lebih
lanjut mengingat dampak dari keberadaan pengungsi dan imigran tersebut
dapat menimbulkan konflik antar bangsa, yang secara langsung
memepengaruhi sistem pertahanan Negara Indonesia. Dalam pasal 1
ayat (2) dan (3) UU Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial dijelaskan mengenai penanganan konflik yaitu serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi
dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik
yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan
pasca konflik. Kegiatan Pencegahan konflik dilakukan dengan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini atau
Conflict Early Warning Systems (CEWERS). Untuk itu, penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis upaya pencegahan konflik melalui sistem
peringatan dini terhadap pengungsi dan imigran di Cisarua. Kegiatan
pencegahan konflik tersebut juga melibatkan banyak pihak dalam proses
penanganannya.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang hendak diangkat dan menjadi fokus dalam penelitian
ini adalah upaya pencegahan potensi konflik antara warga negara asing
yang menjadi imigran illegal dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa
Barat. Upaya pemerintah Indonesia dan stakeholders setempat beserta
political will yang kuat dan koordinasi antar lembaga institusional terkait
merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakannya pencegahan
potensi konflik mengenai imigran ini sejak dini.
Selain itu, peningkatan jumlah imigran yang semakin meningkat
sebagaimana data yang diperoleh dari UNHCR, total imigran ilegal yang
berada di wilayah Indonesia hingga dengan bulan Maret 2014 kurang
lebih sekitar 10.623 orang yang terdiri dari 7.218 orang pencari suaka dan
sisanya 3.405 berstatus pengungsi. Di Cisarua Jawa Barat, telah terdapat
imigran yang menikah dengan penduduk lokal dan membuka usaha
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 8
mandiri. Sementara itu, data menyebutkan sepanjang 2016 tercatat 1.776
warga negara asing (WNA) masuk ke wilayah Kota dan Kabupaten Bogor.
Dengan rincian 611 ITK (Izin Tinggal Kunjungan), 1.126 ITAS (Izin Tinggal
Terbatas), dan 39 ITAP (Izin Tinggal Tetap) (Awasi Orang Asing…. :
2016). Kemudian, fenomena mengenai pernikahan silang antara warga
negara asing yang merupakan imigran illegal dengan masyarakat lokal
juga menjadi persoalan yang harus di atas oleh pemerintah setempat.
Berdasarkan rumusan masalah penelitian sebagaimana diuraina di
atas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana Potensi Konflik antara imigran dengan masyarakat lokal
di Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat?
2) Bagaimana Pencegahan Konflik antara imigran dengan masyarakat
lokal di Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat?
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Berdasarkan fenomena dan rumusan masalah yang diuraikan di atas
maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ha-hal berikut:
1) Untuk Menganalisis Potensi Konflik antara imigran dengan
masyarakat lokal di Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat.
2) Untuk mengidentifikasi upaya Pemerintah Indonesia dan
stakeholders terkait dalam pencegahan konflik antara imigran
dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat. Hal ini dilakukan
untuk mencegah ekskalasi konflik terbuka antara kedua pihak dan
dampaknya bagi sistem pertahanan negara. Hal ini dikarenakan
keberadaan imigran ini merupakan ancaman bagi keamanan
nasional Indonesia. Dalam hal ini akan diidentifikasi mengenai
bagaimana sistem penanganan potensi konflik dan upaya
pencegahan apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dan stakeholders terkait dalam menangani konflik antara
imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat.
Namun demikian, signifikansi implementasi rekomendasi KKP bagi
keberlanjutan dan perdamaian bilateral masih perlu diteliti lebih lanjut,
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 9
terutama dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang menghambat dan
mendorong terimplementasinya rekomendasi komisi tersebut. Kemauan
politik penguasa yang kuat dan koordinasi antar lembaga yang baik akan
menjadi penentu terlaksananya upaya pencegahan konflik antara imigran
dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat.
Selain itu, dalam konteks geografis, penelitian ini menjadi sangat
krusial karena letak wilayah Cisarua yang berada di Provinsi Jawa Barat
berdekatan dengan Ibu Kota yang kemudian mengarah kepada pelabuhan
di Banten dan di sisi lain berdekatan dengan pelabuhan yang ada di
Sukabumi. Dengan letak yang strategis ini para imigran illegal dapat
berlayar ke Christmas Island, Australia melalui pelabuhan di Sukabumi.
Sementara itu, Banten merupakan daerah yang bersinggungan dengan
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dilalui oleh kapal-kapal
berbendera Internasional. Mengingat hal ini maka, keberadaan imigran di
Indonesia merupakan ancaman yang serius bagi sistem pertahanan
negara dan keamanan nasional Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu
bentuk penerapan teori-teori dan konsep-konsep pada Program Studi
Damai dan Resolusi Konflik di Universitas Pertahanan. Dengan demikian,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian mengenai upaya
pencegahan konflik dan sistem penanganan potensi konflik antara imigran
dengan masyarakat lokal di Indonesia.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang positif bagi ilmu pertahanan di Indonesia, mengingat ilmu
ini semakin berkembang dari waktu ke waktu dalam menghadapi
perubahan dalam lingkungan strategis. Semakin meningkatnya jumlah
imigran dari tahun ke tahun, sebagaimana data dari UNHCR disebutkan
bahwa hingga dengan Februari 2016 terdapat total 13,829 yang terdiri dari
7,560 pencari suaka dan 6,269 pengungsi yang berada di Indonesia dan
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 10
berasal dari 44 negara (Kementerian Luar Negeri RI : 2016). Bahkan di
Cisarua Jawa Barat, telah terdapat imigran yang menikah dengan
penduduk lokal dan membuka usaha mandiri. Hal ini tentu saja menjadi
ancaman bagi pertahanan dan keamanan nasional Indonesia mengingat
bahwa bentuk ancaman saat ini tidak hanya sesuatu yang bersifat militer
saja.
Berdasarkan dua hal pokok yang diuraikan di atas maka penelitian
ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya
khususnya penelitian dengan tema terkait, yaitu damai dan resolusi konflik
serta ilmu pertahanan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran mengenai suatu upaya pencegahan konflik dan
sistem penanganan potensi konflik.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia dan stakeholders terkait
mengenai upaya pencegahan konflik dan sistem penanganan potensi
konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di Indonesia. Secara
spesifik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah dan stakeholders Bogor yang terlibat aktif dalam upaya
pencegahan konflik akibat keberadaan imigran, antara lain Pemerintah
Kabupaten Bogor, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bogor,
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Bogor,
Dinas Imigrasi Kabupaten Bogor, Polres Bogor dan Kodim 0621/
Kabupaten Bogor untuk memiliki political will yang kuat dan koordinasi
antar lembaga yang terjalin baik yang didukung dengan dukungan
Regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah Pusat. Hal tersebut perlu
karena dapat mendorong terlaksananya upaya pencegahan dan Conflict
Early Warning Systems (CEWERS) antara imigran dengan penduduk lokal
guna menjaga pertahanan dan keamanan nasional Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup dan Gambaran Desain Penelitian
1.5.1 Ruang Lingkup Penelitian
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 11
Ruang lingkup penelitian ini merupakan ilmu perdamaian dan
resolusi konflik yang kemudian akan dikaitkan dengan ilmu pertahanan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam ilmu pertahanan disebutkan bahwa
ancaman bagi keamanan nasional negara bukan hanya sesuatu yang
bersifat militer saja namun juga dafat datang dari ancaman nir militer.
Dengan demikian untuk menjaga keamanan nasional maka ancaman nir
militer seperti keberadan imigran yang sedang transit di wilayah
Indonesia, khususnya di Cisarua, Bogor, Jawa Barat penting untuk di
atasi.
Sesuai dengan rumusan masalah serta pertanyaan penelitian yang
telah dideskripsikan pada bagian 1.2 Rumusan Masalah maka ruang
lingkup penelitian ini adalah sebaga berikut:
1) Potensi Konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua,
Kab. Bogor, Jawa Barat
2) Pencegahan Konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di
Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat.
1.5.2 Gambaran Desain Penelitian
Penelitian ini akan dibuat menjadi lima bagian yang terdiri dari :
BAB 1 PENDAHULUAN
Menjelaskan mengenai gambaran umum penelitian yang terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi
penelitian, manfaat akademis dan praktis penelitian, ruang lingkup dan
gambaran desain penelitian.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Menjelaskan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka
pemikiran, teori yang mendukung pernelitian, penelitian terdahulu yang
relevan, kajian-kajian yang relevan dengan penelitian, dan pelaksanaan
penelitian.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 12
Menjelaskan tentang metode penlitian yang digunakan untuk
penelitian dan pencarian data dalam rangka menjawab pertanyaan
penelitian. Desain penelitian, sumber data primer dan sekunder yang
digunakan dalam penelitian, teknik penentuan informan, teknik
pengolahan dan analisis data, serta semua yang berkaitan dengan
metode bagi penelitian ini akan dipaparkan dalam bab ini.
BAB 4 DATA PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
Membahas dan menganalisis temuan di lapangan yang telah
dikumpulkan melalui penentuan metode penelitian. Data-data penelitian
lainnya, seperti hasil desk review yang mendukung diharapkan dapat
membantu untuk menganalisis temuan penelitian tersebut dengan
mengaitkannya dengan konsep atau teori yang relevan dengan tema
penelitian.
BAB 5 PENUTUP
Bagian ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian, serta kritik dan
saran untuk kebaikan dan kesempurnaan penelitian. Selain itu, bab ini
juga berisi rekomendasi yang dihasilkan dari pengolahan dan analisis data
bagi institusi dan lembaga terkait sebagai bentuk dari manfat dan tujuan
dari dilakukannya penelitian ini.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Tinjauan Mengenai Pengungsi dan Imigran
Penelitian ini membahasa tentang imigran, imigran ilegal, pengungsi,
orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless person), maupun
pencari suaka. Berikut beberapa definisi yang membedakan antar
kelompok tersebut.
Didalam Pasal 1.A (2) Konvensi Mengenai Status Pengungsi 1951
dijelaskan bahwa istilah “pengungsi” yaitu :
“As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.” Pada pasal tersebut dijelaskan mengenai orang yang berada di luar
negara asalnya atau domisili aslinya. Hal tersebut merupakan dasar
fenomena yang kerap terjadi dalam masyarakat internasional, yaitu
ketakutan yang sah akan gangguan pada keselamatan diri dan
keluarganya sebagai akibat kesukuan, agama, kewarganegaraan, dan
keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang
dianutnya. Serta yang bersangkutan tidak mampu atau tidak ingin
memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal tersebut, ataupun
kembali ke negara asal karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya.
Pada intinya didalam Konvensi 1951 Mengenai Status Pengungsi
menjabarkan definisi pengungsi sebagai seseorang yang dikarenakan
oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh
alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu
dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 14
kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara
teresebut karena mengkhawatirkan keselamatan pengungsi tersebut.
Pengertian atau istilah “pengungsi” mengalami perkembangannya
sendiri. Pada kamus Bahasa Indonesia pengungsi diartikan sebagai
“orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya
yang mengancam” (Badudu, 1994). Jika diuraikan bahwa akar kata dari
istilah pengungsi adalah ‘ungsi’ dan kata kerjanya adalah ‘mengungsi’,
yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau
menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman).
Dalam terminologi bahasa Indonesia pengungsi tidak mencakup baik
geografisnya maupun prasyarat penyebabnya. Hal lain yang perlu
mendapat catatan dalam konteks Indonesia, pengungsi sering disebut
dengan “imigran ilegal” atau “imigran gelap”. Penyebutan imigran ilegal
atau imigran gelap di Indonesia ditujukan terhadap mereka yang tidak
memiliki identitas resmi berupa paspor dan visa (“Pengungsi Bukan
Imigran, dalam Wagiman, 2012:97).
Sementara itu, Pietro Verri (sebagaimana dikutip dalam Romsan,
2003:36-37) dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada Pasal 1
Konvensi 1951 khususnya pada kalimat “applies to many person who has
fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat
persecution”. Pandangan Pietro Verri tersebut menjelaskan bahwa
pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang
meninggalkan negaranya karena adanya ketakutan yang tidak terhingga
serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya penyiksaan. Dalam
pengertian umum pengungsi adalah orang yang dipaksa keluar dari
wilayah negaranya, karena disebabkan oleh paksaan yang dialami, dan
memungkinkan timbul rasa tidak aman atau jaminan atas keamanan dari
pemerintah tersebut.
Para ahli lain yaitu Malcolm Proudfoot (sebagaimana dikutip dalam
Wagiman, 2012) memberikan pengertian pengungsi dengan melihat
keadaan para pengungsi akibat Perang Dunia II. Walaupun tidak secara
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 15
jelas dia memberikan pengertian tentang pengungsi, namun dari
komentarnya dapat ditarik suatu gambaran sebagai berikut:
‘These forced movement, …were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jews and the political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic populations back to their homeland or to the newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitrary rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of civilians under the terror of bombarment from the air and under the threat or pressure of the advance or retreat of armies over immense areas of Europe; the forced removal of populations from coastal or defense areas under military dictation; and the deportations for forced labour to bolster the German war effort.’ Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat
terjadinya Perang Dunia II, pengungsi merupakan orang-orang yang
terpaksa berpindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi
secara paksa, atau pengusiran orang-orang Yahudi dan perlawanan politik
pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik tertentu ke tempat tinggal
negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau
perjanjian, penentu tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi;
perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya
serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari para militer di
beberapa wilayah di Eropa; perpindahan secara paksa penduduk dari
wilayah negara pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah
militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang
Jerman.
Menurut Statuta UNHCR, yaitu instrumen yang disahkan oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam Resolusi 428 (V), bulan
Desember 1959. United Nation High Commissioner for Refugees (Komisi
Tinggi Perserikatan Bangsa untuk Urusan Pengungsi) dibentuk pada
bulan Januari 1951. Secara garis besar Statuta UNHCR ini terdiri dari 3
(tiga) bab, yaitu: 1. Ketentuan-Ketentuan Umum; 2. Fungsi UNHCR; 3.
Organisasi dan Keuangan. Definisi tentang pengungsi disebutkan
tepatnya pada Pasal 6B Statuta UNHCR, pengungsi diartikan sebagai:
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 16
“Any person who is outside the country of his nationality or, if he has no nationality, the country of his former habitual residence, because he has or had well-founded fear of persecution by reasons of his race, religion, nationality or political opinion and is unable or, because of such fear, is enwilling to avail himself of the protection of the government of the country of his nationality, to return to the country of his former habitual residence” Pada pasal tersebut pengungsi didefinisikan sebagai orang yang
berada di luar negara asalnya atau tempat tinggal aslinya. Dengan
demikian batasan pengungsi berhubungan dengan lintas batas negara.
Adapun alasan untuk dapat disebut pengungsi haruslah mempunyai dasar
ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya sebagai akibat
kesukuan, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok
sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya. Di samping itu, harus
bisa dibuktikan kemudian bahwa mereka tidak memperoleh perlindungan
bagi dirinya dari negara asalnya. Apabila kembali ke negara asalnya pun
maka keselamatan terhadap pengungsi tersebut akan terancam
(Wagiman, 2012:104).
Definisi menegnai pengungsi selanjutnya diatur dalam Protokol
Tanggal 31 Januari 1967 tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to
the Status of Refugees of 31 January 1967) atau biasa disebut dengan
Protokol Pengungsi 1967, pengertian pengungsi sudah diperluas. Terlihat
dalam pasal 1 ayat (2), pengungsi diartikan sebagai berikut:
‘For the purposes of the present Protocol, the term ”refugee” shall, except as regards the application of paragraph 3 of this Article, mean any person within the definition of Article 1 of the Convention as if the words “As a result of events occurring before 1 January 1951 …”and the words”… a result of such events: in Article 1 A (2) were committed.’ Adanya perluasan mengenai definisi pengungsi seperti yang dimuat
dalam Konvensi tahun 1951 sebagai akibat adanya kelompok pengungsi
baru yang terjadi pada sepanjang tahun 1950 hingga dengan tahun 1960,
khususnya di Afrika. Oleh karena itu, negara-negara yang menjadi pihak
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 17
dari protokol ini menerapkan definisi pengungsi menurut Konvensi tahun
1951, namun tanpa adanya batasan waktu. Jika negara-negara hanya
terikat pada Protokol tahun 1967 saja, maka tidak mungkin untuk
memasukkan batasan geografis untuk masalah pengungsi.
Pandangan lain mengenai pengungsi juga terungkap dalam
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 tentang Asilum
Teritorial (UN. Declaration on Territorial Asylum 1967). Deklarasi ini
memperluas efektifitas perlindungan internasional terhadap para
pengungsi, deklarasi tersebut juga lebih menekankan hak-hak dan
perlindungan bagi para pengungsi. Perlindungan itu dimaksudkan untuk
mengembangkan instrumen hukum internasional untuk para pengungsi
dan juga untuk memastikan bahwa mereka diperlakukan sesuai dengan
instrumen-instrumen khususnya yang berkaitan dengan hak untuk
bekerja, jaminan sosial, serta akses terhadap dokumen perjalanan. UN.
Declaration on Territorial Asylum 1967 ini hanya terdiri dari 4 (empat)
pasal. Pada bagian Pembukaan, Deklarasi ini merujuk pada pasal 14 dari
Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan bahwa:
1) ‘Everyone has the right to seek and enjoy in other countries asylum
from presecution;
2) The right may not be revoked in the case of prosecutions genuinely
arising from non-political crimes or acts contrary to the purposes and
principles of the United Nations.’
Deklarasi tahun 1967 juga merujuk kepada pasal 13 ayat (2) dari
Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan, ‘Everyone has
the right to leave any country, including his own, and to return to his
country.’ Menurut Romsan (2003:29) dalam Hukum Pengungsi
Internasional selain istilah pengungsi (refugee), juga dikenal istilah-istilah
lain yang berkaitan dengan pengungsi, antara lain:
a. Pengungsi Dalam Negeri ( Internally Displaced Persons/IDPs)
Istilah Displaced Person (DPs) digunakan oleh Persrikatan Bangsa-
Bangsa dan UNHCR pertama kali pada tahun 1972 dan tetap dipakai
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 18
sampai tahun 1974. UNHCR mengartikan istilah Displaced Persons (DPs)
sebagai orang-orang yang karena konflik bersenjata internal terpaksa
meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain yang
lebihh aman tetapi masih berada di dalam wilayah negara mereka sendiri.
Sejak tahun 1975, UNHCR dan Perserikatan Bangsa-Bangsa memakai
istilah Displaced Persons (DPs) untuk menunjuk pada orang-orang yang
meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain yang
dirasanya lebih aman, sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di
negara asalanya, tetapi yang (sudah) berada di luar perbatasan negara
asalnya. Untuk displaced persons dalam pengertian semula (tetap masih
berada dalam wilayah negara yang sama), dan untuk itu UNHCR
memakai istilah Internally Displaced Persons (IDPs).
Istilah displaced persons (DPs) dalam berbagai resolusi Majelis
Umum tahun 1975 yang memberikan hak kepada UNHCR untuk
memberikan bantuan dan perlindungan kepada orang-orang terlantar
(persons displaced) di luar negara asal yang tidak dimasukkan dalam
pengertian pengungsi, tetapi mereka ditemukan dalam ‘kondisi seperti
pengungsi’, akibat kejadian-kejadian (terkadang sebagai ‘bencana buatan
manusia’) yang timbul dalam negara asal mereka (UNHCR, Training
Modul RLD, 1992:35).
Dalam Guiding Principles on Internal Displacement angka 2:
pengantar, memuat pengertian dan istilah Internally Displaced Persons
(IDPs) sebagai berikut:
‘…internally displaced persons are persons or groups of persons who have been forced or obliged to flee or to leave their homes or places of habitual residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of armed conflict, situations of generalized violence, violation of human rights or natural or humanmade disasters, and who have not crossed an internationally recognized state border.’
Berdasarkan pengertian di atas, yang dimaksud dengan Internally
Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang atau sekelompok orang
yang dipaksa atau diharuskan meninggalakan rumah atau tempat tinggal
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 19
mereka, terutama sebagai akibat atau disebabkan konflik bersenjata,
dalam situasi terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia, atau
peristiwa alam, atau karena pebuatan manusia, dan tidak menyeberang
perbatasan negara yang diakui secara internasional.
Dalam hal ini, terlihat bahwa istilah Internally Displaced Persons
(IDPs) timbul karena adanya bahaya yang mengancam keselamatan
penduduk. Misalnya: adanya pertikaian bersenjata, atau karena
banyaknya pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia, atau karena
terjadinya bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung
meletus, kekeringan. Juga karena bencana buatan manusia (man-made
disaster). Terlihat perkembangan penggunaan kata atau istilah ‘persons’
dalam Displaced Persons (DPs) dan Internally Displaced Persons (IDPs),
yaitu menjadi ‘people’, sehingga istilah-istilah yang kini dipakai oleh
UNHCR adalah Displaced People (DPs) atau Internally Displaced People
(IDPs).
b. Orang-Orang Tanpa Warga Negara ( Stateless Persons)
Orang-Orang Tanpa Warga Negara atau Stateless Persons adalah
setiap orang yang baik karena kelahiran atau akibat perubahan di dalam
negara asalnya menjadi tanpa kewarganegaraan (persons who either
feom birth or as result of subsequent changes in their country of origin are
without citizenship) (UNHCR, Training Modul RLD, 1992:36).
Seseorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara
manapun (de jure stateless) atau seseorang yang tidak dapat menikmati
hak-hak fundamental seperti warga lainnya di negara tempat tinggalanya
(de facto stateless), dapat menjadi musibah bagi mereka karena mereka
dianggap tidak ada dan tidak mempunyai hak sama sekali. Tidak seperti
kelompok-kelompok lain yang telah disebutkan sebelumnya, orang yang
tidak memiliki kewarganegaraan kemungkinan tidak pernah berpindah dari
tempat mereka dilahirkan. Namu beberapa dari mereka juga merupakan
pengungsi (UNHCR, Media Relation and Information, 2007:10).
Terdapat 2 (dua) hal yang menyebabkan seseorang menjadi tidak
berkewarganegaraan, yaitu: karena kelahiran atau akibat dari perubahan
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 20
yang terjadi di dalam negara asalnya. Selain beberapa istilah yang terkait
dengan pengungsi tersebut di atas, UNHCR (2007:10) menjabarkan
beberapa istilah lain yang juga berkaitan erat dengan istilah pengungsi,
yaitu:
i. Pencari Suaka
Adalah seseorang yang telah mengajukan klaim bahwa dia adalah
seorang pengungsi dan sedang menunggu apakah klaim yang
diajukannya tersebut diterima atau ditolak. Istilah ini tidak mengandung
asumsi apa pun, istilah ini hanya sekedar menyatakan fakta bahwa
seseoarang telah mengajukan permohonan sebagai pengungsi. Beberapa
pencari suaka dapat diputuskan sebagai pengungsi dan lainnya tidak.
ii. Migran
Istilah yang mencakup sebagian besar orang yang berpindah ke
negara asing untuk berbagai alasan dan untuk waktu tertentu (biasanya
sekrangnya 1 (satu) tahun supaya tidak termasuk pengunjung sementara
seperti wisatawan atau orang yang melakukan kunjungan bisnis, dan lain
sebagainya). Istilah ini berbeda dengan istilah ‘imigran’ yang berarti
seseorang yang menetap secara permanen di suatu negara selain negara
asalnya.
Berdasarkan beberapa pengertian pengungsi yang diuraikan di atas,
maka definisi dari pengungsi sesuai dengan pengertian pengungsi yang
diberikan oleh ketentuan Pasal I A ayat (2) Konvensi Tahun 1951
Mengenai Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating to the Status
of Refugees) dan juga pengertian pengungsi yang diberikan oleh Pasal 1
ayat 2 Protokol Tanggal 31 Januari 1967 mengenai Status Pengungsi
(Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967), yaitu
bahwa ‘pengungsi’ adalah orang-orang yang berada di luar negaranya
dan terpaksa meninggalkan negara mereka karena adanya rasa takut
yang sangat akan persekusi karena alasan ras, agama, dan kebangsaan,
keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena pendapat
politik yang dianut mereka.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 21
Unsur yang sering disebutkan dari berbagai definisi mengenai
pengungsi yaitu adanya ancaman baik dari dalam atau luar negaranya,
sehingga mayoritas dari mereka lebih memilih untuk meninggalkan
negaranya tersebut. Bagi yang tidak memiliki warga negara, mereka
berada di luar negara dimana mereka bertempat tinggal sebelumnya,
sebagai akibat dari suatu peristiwa, dan tidak dapat, atau karena adanya
rasa takut yang sedemikian rupa dan tidak bermaksud untuk kembali ke
negara tersebut.
2.1.2 Teori Deteksi Dini dan Pencegahan Konflik
Menurut Ganson & Wennman (2013) pencegahan konflik adalah,
“A focus on a strength and resilience of social and political networks and institutions that identify and mobilise responses to known tensions and stress factors”.
Stress factors dalam hal ini adalah akar penyebab konflik yang telah
lama ada dan menekan di sistem sosial sehingga mengurangi tingkat
stabilitas dan meningkatkan vulnerabilitas. Maka secara singkat
pencegahan konflik adalah ketahanan sistem untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan konflik dari akar atau sumber penyebab yang telah lama
ada di masyarakat.
Lebih lanjut, Burton (1990) mengenalkan teori provensi konflik, yang
membedakan antara conflict prevention dan conflict provention
“The term prevention has the connotation of containment. The term provention has been introduced to signify taking steps to remove sources of conflict, and more positively to promote conditions in which collaborative and valued relationships control behaviours.”
Istilah prevention memiliki konotasi pembatasan dan hanya bertujuan
untuk menghentikan kemungkinan terjadinya konflik dan tidak sampai
pada pencegahan dari sumber konflik yang telah lama ada. Oleh sebab itu
istilah provention diperkenalkan untuk memperlihatkan langkah-langkah
nyata untuk menyingkirkan sumber-sumber konflik dan secara lebih positif
mempromosikan kondisi kohesi masyarakat yang baik dan bernilai
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 22
sehingga dapat mengendalikan perilaku yang menimbulkan konflik. Pada
tingkat global, pencegahan konflik yang paling penting dikenal dengan
sebutan Responsibility to Protect atau R2P yaitu:
“explicitly obliges states to protect their populations from
genocide, war crimes, ethnic cleansing, and crime against
humanity, and moreover, calls on the international community to
take collective action if states fail to do so” (Stanes, et al. 2011).
Namun pencegahan konflik pada tingkat mikro bergantung pada
usaha dari masyarakat lokal itu sendiri. Maka diperlukan sistem yang
resilience untuk mencegah konflik terjadi, dimana perencanaan dan early
warning system dapat segera dilakukan oleh pemerintah lokal.
Definisi mengenai CEWERS berdasarkan Forum on Early Warning
and Early Response - FEWER (sebagaimana dikutip dalam Institut Titian
Perdamaian, 2005:7) yaitu:
“The systemic collection and analysis of information coming from areas of crises for the purpose of (a) anticipating the escalation of violent conflict; (b) the development of strategic response to these crises; and (c) the presentation of options to critical actors for the purpose of decision making.” Bisa diartikan sebagai kumpulan sistem dan analisis informasi yang
berasal dari daerah krisis untuk tujuan mengantisipasi eskalasi konflik
dengan kekerasan; pengembangan respon strategi terhadap krisis yang
ada; dan memberikan pandangan opsional terhadap aktor penting untuk
tujuan pengambilan keputusan.
Definisi lain juga diungkapan oleh West Africa Network for
Peacebuilding – WANEP (dalam Institut Titian Perdamaian, 2005:8) :
“the collection and analysis of information about potential and or actual conflict situations, and the provision of policy options to influential actors at the national, regional and international level that may promote peace” Yaitu kumpulan dan analisis informasi tentang situasi konflik baik
yang masih merupakan potensi konflik, maupun konflik pada situasi yang
aktual, serta ketetapan pilihan kebijakan untuk aktor yang berpengaruh
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 23
pada tingkat nasional, regional, maupun internasional yang dapat
mempromosikan perdamaian.
Pada dasarnya, CEWERS dibuat bertujuan untuk mengidentifikasi
dan menilai indikator-indikator konflik yang paling menonjol, menilai
kemungkinan kecenderungan dan skenario konflik (Institut Titian
Perdamaian 2005:9). Hasil laporan CEWERS dapat bervariasi, tergantung
pada sumber data, pelaku, dan metodologi yang digunakan untuk
melakukan analisis tren.
Gambar 2.1.2 Proses Kegiatan CEWERS Berbasis Jaring an Sumber: Institut Titian Perdamaian (2005:19)
Menurut Christie (2001), terdapat empat prinsip dalam resolusi
konflik, salah satunya yaitu resolusi konflik merupakan upaya kerja sama.
Institut Titian Perdamaian (2005:18) juga mengungkapkan bahwa jaringan
merupakan sumber informasi sekaligus area pertukaran gagasan dan
tindakan bersama dalam rangka pencegahan konflik. Dalam hal ini
adanya sistem antar institusi, serta adanya koordinasi yang tergabung
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 24
dalam suatau jaringan sangat menentukan hasil keluaran dari CEWERS.
Salah satu komponen vital adalah adanya kerja sama dengan pemangku
kebijakan, dalam suatu jaringan posisi pemangku kebijakan juga dianggap
penting.
Jaringan haruslah terdiri dari sekelompok orang terpilih yang
bertindak secara kolektif, dan dengan menggunakan jaringan yang ada,
secara bersama-sama dapat mencegah konflik kekerasan di suatu daerah
(Institut Titian Perdamaian 2005:63).
Tema yang akan dianalisis dalam penelitian ini, diharapkan teori
CEWERS dapat membantu untuk mengetahui seberapa besar upaya
pencegahan konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua,
Jawa Barat dan seberapa jauh sistem jaringan yang selama ini bekerja
dalam deteksi dini pencegahan konflik terhadap imigran dan pengungsi.
2.1.3 Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konf lik
Dalam hal ciri dinamis dari kerangka ini lahir karena meliputi dua hal
mendasar: pertama, analisis situasi dan kondisi konflik dan pascakonflik
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 25
haruslah analisis yang bersifat dinamis sebagaimana yang diraikan pada
awal kerangka teori; kedua, melalui pengalaman empiris Ichsan Malik
menjadi mediator konflik, konflik dapat muncul dari kelima komponen
tersebut. konflik dapat muncul dari eskalasi konflik yag dibiarkan terus
meningkat, namun juga dapat muncul dari dari faktor pemicu konflik yang
telah mumpuni, atau juga dapat muncul akibat dari efektifnya provokator
konflik yang memengaruhi kelompok rentan menjadi agresif dan mudah
dimobolisasi. Oleh karena itu perspektif yang digunakan dalam melihat
kondisi dan situasi konflik harus holistik dan terintegrasi dalam melihat
kelima komponen yang ada dalam kaerangka ini, karena semua
komponen tersebut semuanya saling kait-mengait, saling berkontribusi
dan saling memberikan pengaruh dalam terjadinya kondisi konfil dan juga
peramaian (Malik : 2014).
Komponen pertama adalah tingkat eskalasi dan de-eskalasi. Tingkat
eskalasi akan memberikan kontribusi bagi konflik dan perdamaian. Jika
eskalasi konflik meningkat dalam bentuk ketegangan dan mobilisasi
massa, kemudia diikuti terjadinya krisis pada seluruh pihak yang
berkepentingan untuk menyelesaikan konflik, hingga berlanjut dalam
bentuk aksi kekerasan baik yang bersifat terbatas atau massal yang
menyebabkan korban, maka eskalasi tersebut akan memberikan
pengaruh terhadap terjadinya pembangunan konflik. Begitu juga
sebaliknya, jika eskalasi telah dapat dideteksi dan dikendalikan, dilakukan
musyawarah atau pertemuan untuk menyelesaikan konflik sehingga
ketegangan dan krisis dapat diredam. Maka kondisi yang disebut de-
eskalasi konflik dapat mendorong terjadinya pembangunan perdamaian.
Akan tetapi, menurunnya eskalasi tidak serta merta akan menjadikan
permasalahan suatu konflik selesai. Masih ada beberapa komponen
lainnya yang dapat mendorong terjadinya konflik.
Komponen kedua disebut faktor konflik. ada tiga elemen dalam factor
konflik yaitu: 1) Elemen pemicu konflik adalah faktor yang muncul tiba-tiba
dalam kejadian konflik, bisa pembunuhan, perkelahian, ataupun tidak
kekerasan. Elemen pemicu ini dapat dianalogikan sebagai api yang
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 26
menyambar dan dapat langsung membakar rumput yang kering. 2)
Elemen akselerator konflik adalah reaksi-reaksi yang muncul sebagai
akibat dari terjadinya konflik, reaksi ini apabila dibiarkan akan terus
meluas dan semakin mendalam. Akselerator adalah katalisatir yang dapat
menyebarkan konflik ke segala arah. Hal ini dapat dianalogikan dengan
angin panas yang menyebarkan api sehingga kebakaran semakin meluas.
3) Elemen akar konflik. Penyebab struktural adalah sumber konflik yang
sebenarnya paling mendasar berkaitan dengan kebijakan negara maupun
kebijakan global dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya yang
menyangkut kehidupan. Adanya diskriminasi dan perlakuan yang tidak
adil. Kekacauan suatu pemerintah dalam pengelolaan masyarakat dan
sumber daya. Ataupun terjadinya kejahatan kemanusiaan dan korupsi. Hal
ini dapat dianalogikan sebagai hamparan rumput kering yang mudah
terbakar. Ketiga elemen ini akan menjadi prakondisi yang mendorong
meningkatnya eskalasi konflik.
Komponen ketiga adalah aktor konflik, suatu komponen yang
berkontribusi sangat besar untuk meningkatkan eskalasi konflik. ada tiga
kategori dari aktor-aktor konflik yang perlu diperhatikan dalam
pencegahan dan penyelesaian konflik yaitu: kategori pertama adalah aktor
provokator, yaitu aktor-aktor utama yang terlibat dalam konflik. aktor ini
kadang kala memiliki logika yang abnormal tentang peristiwa yang terjadi
atau faktor-faktor dalam konflik. logikanya yang abnormal ini biasa
disebarkan dalam bentuk informasi yang distortif. Logika yang abnormal
tentang situasi yang disebarkan bulat-bulat oleh provokator biasanya
diterima secara bulat-bulat oleh kelompok rentan yang merupakan aktor
dalam kategori kedua. Persepsi dari kelompok rentan dan pernyataan dari
provokator akan menyebabkan semakin meningkatnya eskalasi konflik.
kategori ketiga dari aktor-aktor konflik adalah kelompok fungsional, yaitu
kelompol yang tanggung jawab utamanya adalah menghentikan
kekerasan dan mencegah meluasnya konflik. berdasarkan undang-
undang, aktor fungsional untuk pencegahan dan penyelesaian konflik
adalah polisi dan pemerintah daerah atau pusat. Biaanya aktor fungsional
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 27
gagal memotong pengaruh dari provokator kepada kelompok-kelompok
rentan, dan terlambat atau tidak mampu berkoordinasi dengan pihak-pihak
yang berkepentingan (stakeholder) untuk menghentikan konflik.
Pemangku kepentingan (stakeholders) merupakan komponen
keempat dari kerangka dinamis pencegahan dan resolusi konflik.
pemangku kepenttingan adalah elemen-elemen yang berkepentngan
untuk menghentikan konflik serta mencegah meluasnya konflik. Elemen
pemangku kepentingan terdiri dari; kelompok polisi, militer, kelompok tooh
masyarakat (Tomas), tokoh agama (Toga) dan tokoh adat (Toda),
kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok peneliti, serta
kelompok media massa. Oleh kelompok fungsional, komponen pemangku
kepentingan ini diharapkan untuk dapat berkomunikasi, member
kontribusi, bekerja sama, dan saling berkoordinasi dengan mereka untuk
mencegah terjadinya konflik dan menghentikan konflik jika sudah terjadi.
Selain itu, kelompok pemangku kepentingan ini diharapkan dapat menjadi
pihak-pihak yang proaktif dalam pencegahan dan penyelesaian konflik;
jemput bola, tidak hanya menunggu bola; menjadi bagian dari solusi,
bukan menjadi bagian dari masalah.
Komponen kelima adalah kemauan politik dari penguasa. Kemauan
politik ini terrefleksi dalam dua hal. Pertama terlihat dari inisiatif dan
kepemimpinan dari para penguasa untuk menyelesaikan konflik-konflik
yang terjadi secara tuntas. Tidak membiarkan konflik terus membara dan
bahkan menyebar ke segala arah. Kedua adalah adanya produk-produk
hukum atau kebijakan yang dapat mencegah dan menyelesaikan konflik.
pada konteks Indonesia, secara normatif telah ada Undang-Undang
Penanganan Konflik Sosial No. 7 Tahun 2012, serta adanya Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 2014 tentang penanganan gangguan keamanan
dalam negeri, serta berbagai keputusan menteri terkait dengan
pengelolaan dan penyelamatan sumber daya. Namun persoalannya
adalah bagaimana UU dan peraturan ini diinterpretasikan dan ditegakkan
agar dapat digunakan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 28
Kelima komponen utama kerangka dinamis pencegahan dan resolusi
konflik ini akan saling berpengaruh, berinteraksi, dan saling memberikan
kontribusi untuk mencegah konflik. untuk itu, kunci utama dalam
mencegah dan menangani konflik terletak pada kecermatan dalam
mendeteksi eskalasi konflik kemudiann melakukan upaya untuk
deeskalasi konflik. Selanjutnya dibutuhkan adanya ketajaman analisis dari
faktor penyebab konflik untuk dilanjutkan dengan kemampuan untuk
memperkuat aktor fungsional, meredam provokatorm dan mengontrol
kelompok-kelompok rentan. Hal berikutnya adalah kemampuan di dalam
menjalin koordinasi yang efektif dengan seluruh elemen pemangku
kepentingan supaya konflik dapat dihentikan. Pada akhirnya adalah
bagaimana berdasarkan regulasi yang ada para pemimpin mampu
melakukan manuver, inisiatif dan melakukan suatu keputusan untuk
menghentikan konflik dan mencegah konflik secara menyeluruh.
2.1.3 Konsep Keamanan
Secara etimologis, konsep keamanan (security) berasal dari bahasa
latin “secures” (se+cura), yang meiliki makna bebas dari bahaya, terlepas
dari ketakutan (freedom of danger; freedom of fear). Kata tersebut
memiliki arti kebebasan dari kesulitan, atau sebuah situasi damai tanpa
bahaya atau ancaman apapun (Prihatono, Hari T., et al, dalam Supriyatno,
2014:41).
Dari uraian diatas, keamanan nasional tidak hanya menjadi
keamanan terhadap negara saja, keamanan nasional secara kontemporer
mempunyai pengertian yang lebih luas tidak hanya segi ancaman militer
saja, tetapi juga ancaman-ancaman yang bersifat non-militer. Dalam Buku
Putih Pertahanan disebutkan adanya ancaman militer berupa ancaman
yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisir yang dinilai
mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Sedangkan ancaman non-
militer berupa ancaman yang menggunakan faktor nir-militer yang
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 29
berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan
informasi, serta keselamatan umum. Pada dasarnya penelitian yang akan
dilakukan ini terkait dengan masalah keamanan, karena aspek non militer
salah satunya sosial-budaya masuk dalam kajian pokok penelitian ini.
Menurut Supriyatno (2014:43), konsep keamanan nasional meiliki
empat dimensi antara lain: dimensi pertahanan negara; dimensi stabilitas
dalam negeri; dimensi ketertiban publik; dan dimensi keamanan insani.
Dengan demikian pertahanan merupakan salah satu dimensi dari
keamanan nasional.
1) Aturan yang mendasar mengenai pertahanan negara telah diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XII Pasal 30 yang
berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.
2) Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara.
4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Peraturan yang lebih spesifik juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, ada beberapa poin
penting yang tertulis pada pasal 1 yang berbunyi:
1) Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan
gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 30
2) Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat
semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan
sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan
berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah,
dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
3) Penyelenggaraan pertahanan negara adalah segala kegiatan untuk
melaksanakan kebijakan pertahanan negara.
4) Pengelolaan pertahanan negara adalah segala kegiatan pada
tingkat strategis dan kebijakan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian pertahanan negara.
5) Komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap
digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
6) Komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah
disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar
dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.
7) Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan
komponen utama dan komponen cadangan.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pertahanan negara, peraturan
pelaksanaannya juga diatur di dalam undang-undang yang sama pada
Bab III pasal:
Pasal 6 yang berbunyi “Pertahanan negara diselenggarakan melalui
usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan
bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman.” dan; Pasal 7 yang
berbunyi:
1) Pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini
dengan sistem pertahanan negara.
2) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer
menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 31
utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen
pendukung.
3) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter
menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan
sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman
yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari
kekuatan bangsa.
Dengan demikian, ketentuan pertahanan menurut beberapa pasal
yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar maupun dalam Undang-
Undang pelaksana, bahwa dengan adanya penelitian ini dapat
memberikan kontribusi terhadap negara mengenai seberapa besar
ancaman non militer dari luar yang akan dihadapi. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat mendukung sistem pertahanan negara untuk
mendukung tugas dari komponen utama.
2.1.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah ilmu yang dalam cara berpikir
menghasilkan kesimpulan berupa ilmu pengetahuan yang dapat
diandalkan, dalam proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang
logis dan didukung oleh fakta empiris. Penelitian ini dilakukan tidak
terlepas dari hasil penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan
sebagai bahan perbandingan dan kajian sebagaimana diuraikan dalam
tabel berikut :
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 32
No Peneliti Judul Penelitian Fenomena Rumusan Masalah Metode
Penelitian Hasil Penelitian
1 Atik Krustiyati (2012)
Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian Dari Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol 1967
Para pengungsi yang menghadapi berbagai permasalahan tentang HAM, Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi.
Penanganan Pengungsi yang ada di Indonesia menurut perspektif Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mengenai pengungsi, dan urgensi meratifikasi konvensi tersebut
Metode Penelitian Yuridis Normatif
Penanganan pengungsi dapat dilakukan dengan memberikan bantuan dan pertolongan (assistance & relief) dan kewarganegaraan menjadi faktor penting. Urgensi meratifikasi juga harus dilakukan karena relevan dengan kondisi Indonesia yang sudah meratifikasi konvensi
2 Dindya S Prahenti (2013)
Dampak Singgahnya Pencari Suaka ke Australia terhadap Peningkatan Kejahatan Transnasional di
Pencari suaka yang memasuki wilayah Indonesia tak kunjung reda dan berbagai kasus yang ditimbulkan oleh para pencari suaka.
Digolongkannya para pencari suaka tersebut sebagai bentuk ancaman non-tradisional.
Kualitatif Ancaman keamanan non-tradisional meningkat apabila negara memiliki banyak akses yang memudahkan bagi pencari suaka, serta tidak memiliki kapabilitas yang baik dalam penanganannya.
3 Herman Suryokumoro,
Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran
Pesisir Malang menjadi
Penanganan Pengungsi/Migran
Kualitatif Penanganan terhadap pengungsi di Indonesia
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 33
Nurdin, I Kaningtyas (2013)
Ilegal Di Indonesia Sebagai Negara Transit Berdasarkan Konvensi Tentang Status Pengungsi 1951 Studi Di Kantor Imigrasi Kota Malang)
salah satu pintu penyeberangan imigran secara ilegal, yang bertujuan ke Australia. Terbukti Kepolisian dan Imigrasi Malang kembali menang kap 77 imigran gelap di wilayah pesisir Malang pada awal bulan Juli 2012.
Illegal yang Diterapkan di Kantor Imigrasi Kota Malang
sebagaimana di Kantor Imigrasi Kelas I Kota Malang masih sebatas penegakan peraturan keimigrasian untuk menjaga kepentingan Indonesia saja, sehingga substansi dan tekhnis penanganan terhadap pengungsi masih terbat as bahkan serupa pada penanganan terhadap imigran gelap.
Tabel 2.1.4 Penelitian Terdahulu
Sumber: Diolah Peneliti
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 34
1) Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kaj ian Dari
Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol 1967
Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Krustiyati (2012),
dimulai dari fenomena para pengungsi Rohingnya yang menjadi sasaran dari
berbagai bentuk kekerasan dan tindakan lain yang melanggar HAM. Banyak
diantara mereka yang diperkejakan secara paksa untuk membangun jalan
dan kamp militer, dianiaya dan kaum perempuan menjadi korban perkosaan
(Tentang Rohingya,…, dalam Krustiyati, 2012). Sehingga mereka memilih
meninggalkan daerah asal dan mencari suaka ke daerah lain yang dianggap
lebih menjamin keamanan mereka, salah satunya wilayah Indonesia yang
dijadikan sebagai tempat transit yang dapat diambil manfaatnya, mengingat
sampai saat ini Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi Jenewa Tahun
1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967. Padahal dari hari kehari jumlah
pengungsi yang masuk ke Indonesia semakin banyak yang mau tidak mau
akan menjadi beban dari Pemerintah Indonesia (“Puluhan Imigran Gelap”,
dalam Krustiyati 2012).
Hasil yang didapatkan dari penelitian (Krustiyati, 2012) bahwa
penanganan persoalan pengungsi dapat dilakukan dengan cara memberikan
bantuan (assistance) dan pertolongan (relief). Pemberian bantuan berupa
penampungan dan fasilitas makanan serta kesehatan. Pemberian
pertolongan dapat berupa pemberian status yang jelas tentang identitas
pengungsi, misalnya dengan membantu persoalan kewarganegaraan.
Mengenai urgensi meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967,
sebagai suatu negara hukum yang berpangkal pada paham penghargaan
terhadap HAM, maka Indonesia sesegera mungkin meratifikasi Konvensi
1951 dan Protokol 1967. Hal ini disebabkan bahwa Konvensi tersebut
memberikan pengakuan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari
semua anggota masyarakat yang memberikan penghargaan kepada martabat
manusia. Selain itu isi ketentuan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967
tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan nasional yang mengandung asas menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Dengan meratifikasi Konvensi ini asas dan prinsip yang
terkandung dalam peraturan perundangundangan nasional tersebut menjadi
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 35
jelas dan dapat ditegakkan. Begitu pula dalam hal pelaksanaannya,
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan merusak tatanan nilai-nilai
budaya, adat istiadat, serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku
dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.
2) Dampak Singgahnya Pencari Suaka ke Australia ter hadap
Peningkatan Kejahatan Transnasional di Indonesia
Pandangan yang berbeda diungkapkan oleh Prahenti (2013), dalam
penelitian prahenti para pencari suaka maupun pengungsi yang transit di
wilayah Indonesia dianggap sebagai ancaman non-militer. Penelitian yang
dilakukan oleh Prahenti berawal dari fenomena mengenai arus pencari suaka
yang memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tak
kunjung mereda, bahkan jumlah pencari suaka kini kian meningkat. Tercatat
di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Jakarta,
jumlah pencari suaka di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3.905 orang.
Jumlah tersebut terus meningkat di tahun 2011 menjadi 4052 orang. Sampai
dengan akhir Oktober 2012 terdapat 6.995 pencari suaka terdaftar di UNHCR
Jakarta secara kumulatif. Mereka berasal dari Afghanistan (56%), Iran (11%)
dan Pakistan (7%), sisanya berasal dari Irak, Myanmar, Sri Lanka dan
Somalia (Ribuan Imigran…, dalam Prahenti, 2013).
Menurut Sumardi (sebagaimana dikutip dalam Prahenti, 2013) bahwa
para pencari suaka yang singgah di Indonesia rawan menjadi kurir kejahatan
transnasional seperti kejahatan perdagangan narkotika dan terorisme. Saat
ini penanganan masalah pencari suaka masih sangat parsial dan terbatas.
Keterbatasan itu termasuk dalam hal sumber daya manusia, anggaran,
sarana dan prasarana pada lembaga-lembaga terkait, melemahnya
pengawasan pada jalur darat, laut dan udara, kendala dalam bidang
teknologi, serta lemahnya hukum secara yuridik dan diplomatik.
Hipotesis yang akan diambil oleh Prahenti (2013) dengan menggunakan
metode kualitatif, bahwa keberadaan pencari suaka tersebut sebagai bentuk
ancaman non-tradisional dan dapat menimbulkan peningkatan kejahatan
transnasional di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut
bahwa kasus fenomena bsinggahnya para pencari suaka di Indonesia yang
terjadi selama tahun 2009 hingga 2012 mengancam keamanan non-
tradisional Indonesia. Ancaman keamanan non-tradisional meningkat apabila
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 36
suatu negara memiliki banyak akses yang memudahkan para pencari suaka
bisa memasuki wilayah territory dengan mudah, terlebih lagi suatu negara
tidak memiliki kapabilitas yang memadai untuk penanganan para pencari
suaka tersebut. Kapabilitas tersebut berisi daya tangkal yang handal serta
kebijakan penanganan yang strategis.
3) Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal Di I ndonesia
Sebagai Negara Transit Berdasarkan Konvensi Tentan g Status
Pengungsi 1951 Studi Di Kantor Imigrasi Kota Malang ),
Dari penelitian Suryokumoro et al (2013) didapatkan bahwa untuk Kota
Malang sendiri terdapat kantor imigrasi kelas II. Kantor imigrasi ini tentunya
mempunyai fungsi strategis dalam mengatur lalu lintas warga negara
Indonesia maupun asing yang keluar maupun masuk ke wilayah Indonesia,
terutama yang terkait persoalan imigran illegal. Pesisir Malang menjadi salah
satu pintu penyeberangan imigran secara ilegal, yang bertujuan ke Australia.
Terbukti Kepolisian dan Imigrasi Malang kembali menangkap 77 imigran
gelap di wilayah pesisir Malang pada awal bulan Juli 2012. Terdiri dari 14
warga negara Afghanistan, Sudan 2 orang, 34 imigran asal Pakistan, Iran 9
orang dan 18 warga Srilanka. Tujuh orang di antaranya adalah perempuan,
empat anak-anak, dan 66 lelaki dewasa. Kemudian pada 11 Juli lalu petugas
keamanan juga mengamankan sedikitnya 25 imigran yang masuk secara
ilegal di Malang. Mereka ditangkap di Singosari, Malang dengan
menggunakan dua kendaraan. Selain itu, April silam juga diamankan 43
imigran gelap dari berbagai negara. Mereka ditangkap setelah kapal yang
mereka tumpangi terdampar di kawasan Pantai Gedangan.
Hasil dari penelitian Suryokumoro et al (2013) menunjukkan bahwa
penanganan terhadap pengungsi di Indonesia sebagaimana di Kantor
Imigrasi Kelas I Kota Malang masih sebatas penegakan peraturan
keimigrasian untuk menjaga kepentingan Indonesia saja, sehingga substansi
dan teknis penanganan terhadap pengungsi masih terbatas bahkan serupa
pada penanganan terhadap imigran gelap. Sebagai negara kepulauan yang
letaknya sangat strategis, dan tak jarang menjadi tempat singgah (transit)
bagi para imigran dengan berbagai tujuan, seharusnya pemerintah Indonesia
hendaknya segera menandatangani dan meratifikasi Konvensi Geneva 1951
dan Protokol 1967. Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967 secara
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 37
substansial menempatkan perlindungan dan jaminan Hak Asasi Manusia
pengungsi lebih utama, dengan tidak mengesampingkan kepentingan suatu
negara untuk menjaga stabilitas dan kepentingan nasionalnya. Tentunya
dengan meratifikasi Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967 ini, akan
menambah bargaining position di percaturan internasional, sebagaimana
yang kita ketahui HAM menjadi perhatian penting di komunitas Internasional.
2.2 Kerangka Pemikiran
Keberadaan imigran di Indonesia menjadi isu yang krusial saat ini
karena dapat menimbulkan potensi konflik dan mengancam keamanan
nasional. Beberapa konflik di negara-negara Asia menjadi salah satu
penyebab meningkatnya jumlah imigran yang datang ke Indonesia. Konflik
dan situasi di negara asal yang kurang mendukung, seperti konflik Rohingya
di Maymar beberapa tahun lalu tentu saja mendorong warga Rohingya masuk
ke wilayah Indonesia melalui perairan di Aceh. Selain itu, minimnya
pertahanan di kawasan perbatasan juga menjadi penyebab mudahnya akses
keluar masuk imigran ke Indonesia. UNHCR menyebutkan bahwa hingga
dengan Februari 2016 terdapat total 13,829 yang terdiri dari 7,560 pencari
suaka dan 6,269 pengungsi yang berada di Indonesia dan berasal dari 44
negara (Kementerian Luar Negeri RI : 2016). Bahkan di Cisarua Jawa Barat,
telah terdapat imigran yang menikah dengan penduduk lokal dan membuka
usaha mandiri. Sementara itu, data menyebutkan sepanjang 2016 tercatat
1.776 warga negara asing (WNA) masuk ke wilayah Kota dan Kabupaten
Bogor. Dengan rincian 611 ITK (Izin Tinggal Kunjungan), 1.126 ITAS (Izin
Tinggal Terbatas), dan 39 ITAP (Izin Tinggal Tetap) (Awasi Orang Asing…. :
2016).
Minimnya regulasi di Indonesia meskipun telah ada Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terkait masalah pengaturan orang
asing, namun UU ini masih terkendala dengan ditetapkannya hukum lokal
terkait HAM dan diratifikasinya International Human Right Treaties. Dengan
demikian, diperlukan upaya pencegahan yang rigit dari pemerintah pusat dan
lokal dalam menangani permsalahan imigran ini.
Berdasarkan fenomena tersebut maka dalam prosesnya penelitian ini
akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif sebagai
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 38
metode penelitian. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui desk
review dari sumber-sumber sekunder seperti buku, jurnal, majalah, laporan,
media massa dan online mengenai potensi konflik yang ditimbulkan oleh
keberadaan imigran di Indonesia dan upaya pencegahan konflik antara
imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua Jawa Barat. Untuk memperkuat
data awal tersebut maka akan didukung dengan kegiatan wawancara dengan
informan yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan kriteria tertentu yang
terkait dengan tema penelitian. Setelah data terkumpul kemudian akan
dilakukan veriifkasi data melalui triangulasi, checking member, dan expert
opinion agar diperoleh hasil penelitian yang valid. Data yang diperoleh
tersebut akan dianalisis dengan melalui tahapan reduksi data, penyajian data,
penyimpulan dan verifikasi, serta pembuatan kesimpulan akhir. Untuk
memperkuat analisis dari data yang diperoleh maka penelitian ini
menggunakan tinjauan mengenai pengungsi dan imigran, teori deteksi dini
dan pencegahan konflik, kerangka dinamis pencegahan dan resolusi konflik,
dan konsep keamanan agar dapat menjawab rumusan permasalahan secara
mendalam dan mencapai tujuan penelitian.
Dengan demikian, setelah proses analisis data dilakukan diharapkan
penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan
lokal untuk solusi sistem pencegahan konflik antara imigran dan masyarakat
lokal di Cisarua Jawa Barat dalam rangka untuk menjaga pertahanan dan
keamanan negara. Oleh karena itu, output dari penelitian ini adalah upaya
pencegahan konflik antara imigran dan masyarakat lokal di Cisarua Jawa
Barat dalam rangka menjaga pertahanan dan keamanan negara. Adapun
kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagaimana gambar
berikut:
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 39
Keberadaan Imigran Di Cisarua, Jawa Barat Dan
Regulasi Pemerintah Terkait Pengaturan Orang Asing
1) Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia dan stakeholders terkait dalam pencegahan konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat?
2) Bagaimana faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat uipaya pencegahan pencegahan konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat?
1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terkait masalah pengaturan orang asing,
2) Pembentukan Tim Pengawasan Orang Asing (Tim PORA) tingkat kecamatan kota dan kabupaten Bogor
Sistem Pencegahan Konflik Antara Imigran Dan Masyarakat Lokal Di Cisarua Jawa
Barat Dalam Rangka Untuk Menjaga Pertahanan Dan Keamanan Negara
Saran dan Rekomendasi: 1) Adanya Sistem Pencegahan Konflik yang Dibentuk Oleh
Pemerintah Pusat dan Lokal 2) Koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat dan Lokal Dalam
Melakukan Pencegahan Konflik 3) Political will yang kuat antara Pemerintah Pusat dan Lokal Dalam
Melakukan Pencegahan Konflik
Input
Proses
Output
Gambar 2.2.1 Kerangka Pemikiran Sumber: Data Olahan Penulis
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 40
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Berdasarkan klasifikasi jenis dan analisisnya, penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Strauss dan Corbin dalam Sujarweni (2014 : 6)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara lain dari kuantifikasi.
Secara umum, penelitian ini dapat digunakan untuk meneliti mengenai
kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi,
aktivitas sosial, dan lain-lain. Sementara itu, Moleong (2006 : 5)
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu jenis penelitian yang
menekankan pada penarikan kesimpulan berdasarkan interpretasi terhadap
suatu fenomena maupun fakta.
Dalam mengumpulkan dan mengungkapkan permasalahan dan tujuan
yang hendak dicapai maka penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
deskriptif analitis, Sugiyono (1994 : 73) mendefinisikan penelitian kualitatif
deskriptif sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post
positivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif
alamiah dengan peneliti berperan sebagai instrumen kunci.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena yang timbul
karena keberadaan imigran di Indonesia khususnya di Cisarua, Jawa Barat.
Hal ini berkaitan dengan fenomena yang timbul di lapangan dengan semakin
meningkatnya imigran yang datang dan tinggal di wilayah tersebut. Kehadiran
imigran ini dapat memotivasi timbulnya konflik di wilayah tersebut karena
fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat imigran yang menikah
dengan penduduk lokal, menetap dengan menyewa rumah penduduk, dan
membuka usaha mandiri. Dengan demikian, fenomena tersebut akan
dikaitkan dengan rumusan permasalahan agar tujuan penelitian dapat
terpenuhi.
Proses yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan upaya
pencegahan konflik antara imigran dengan masyarakat lokal sebagai tindak
lanjut dari munculnya fenomena akan keberadaan orang asing dan potensi
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 41
konflik yang ditimbulkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah melalui
dibentuknya Tim Pora. Hal tersebut akan dianalisis dengan menggunakan
tinjauan mengenai pengungsi dan imigran untuk mengetahui definitive dan
mengidentifikasi imigran dan pengungsi di Indonesia, teori deteksi dini dan
pencegahan konflik dan kerangka dinamis pencegahan dan resolusi konflik
untuk menganalisis sistem dan upaya pencegahan yang dilakukan oleh
pemerintah dan koordinasi antara K/L terkait, serta konsep keamanan dan
pertahanan negara untuk menjelaskan bahwa keberadaan imigran dapat
menjadi potensi konflik dan ancaman bagi keamanan nasional.
3.2 Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian
3.2.1 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data penelitian, yaitu data
primer dan data sekunder. Bungin (2001 : 129) mendefinisikan sumber data
primer sebagai sumber pertama data dihasilkan oleh pengumpul data.
Sementara itu, sebaliknya dengan sumber data sekunder yang merupakan
sumber data kedua sesudah sumber data primer atau sumber data yang tidak
langsung.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan yang
merupakan objek penelitian dengan melaksanakan depth interview bersama
informan yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan Pemerintah
Indonesia. Di sisi lain, penelitian ini juga dilaksanakan melalui desk review
dari laporan yang diperoleh dari Imigrasi pusat maupun daerah, buku, jurnal,
artikel, dan media massa.
3.2.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu hal yang memiliki kedudukan yang
penting di dalam penelitian yang harus ditata sebelum peneliti siap untuk
mengumpulkan data. Subjek penelitian ini dapat berupa benda, hal, ataupun
orang. Dengan demikian, secara umum subjek penelitian merupakan manusia
atau hal-hal yang menjadi urusan manusia itu sendiri (Arikunto, 2007 : 152).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian ini adalah
Kementerian Dalam Negeri, Kementerioan Ketenagakerjaan, Kementerian
Hukum dan HAM, UNHCR, IOM, Pemerintah Kabupaten Bogor, Dinas
Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bogor, Badan Kesatuan Bangsa dan
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 42
Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Bogor, Dinas Imigrasi Kabupaten Bogor,
Polres Bogor dan Kodim 0621/ Kabupaten Bogor.
3.2.3 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah sesuatu yang menjadi pemusatan dalam
kegiatan penelitian atau sasaran penelitian (Sugiyono, 2002). Oleh karena itu
yang menjadi objek dalam kegiatan penelitian ini adalah upaya pencegahan
konflik antara imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat.
Dengan demikian, termasuk di dalamnya akan diteliti mengenai faktor-faktor
yang menghambat dan mendukung upaya dalam mewujudkan hal tersebut
serta koordinasi antar lembaga dalam upaya mendukung implementasi
tersebut mengingat beberapa instansi terlibat dalam upaya pencegahan
konflik ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan teknik
observasi langsung, wawancara, dan studi literatur. Observasi merupakan
unsur penting dalam penelitian kualitatif. Observasi adalah proses kegiatan
awal yang dilakukan oleh peneliti untuk dapat mengetahui kondisi dan realitas
yang sebenarnya di lapangan penelitian. Sugiyono (2007 : 67) menyatakan
bahwa tujuan dari dilaksanakannya observasi dalam kegiatan penelitian
adalah untuk memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial agar
mendapatkan pandangan yang holistik atau menyeluruh. Dengan observasi
maka akan diketahui hal-hal yang tidak dapat diungkap oleh responden dalam
wawancara karena bersifat tertutup dan dapat merugikan lembaga misalnya.
Dalam penelitian ini akan dilakukan observasi dengan pengamatan pada
data-data yang didapatkan mengenai potensi konflik yang ditimbulkan oleh
keberadaan imigran dan upaya pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah,
seperti dengan dibentuknya Tim Pora.
Selanjutnya, penelitian ini juga akan menggunakan teknik pengumpulan
data melalui wawancara dengan informan terkait topik penelitian. Sujarweni
(2014 : 31) menyatakan bahwa wawancara merupakan proses untuk
mendapatkan penjelasan dengan tujuan mengumpulkan informasi dengan
menggunakan tanya jawab melalui tatap muka ataupun media telekomunikasi
antara pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman. Pada hakikatnya, wawancara merupakan kegiatan untuk
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 43
memperoleh informasi mendalam mengenai tema penelitian dan proses
pembuktian terhadap informasi yang telah diperoleh melalui teknik
pengumpulan data sebelumnya.
Informasi yang hendak didapatkan melalui wawancara ini adalah
mengenai potensi konflik yang ditimbulkan oleh keberadaan imigran dan
upaya pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah. Wawancara tersebut
akan menggunakan teknik purposive sampling yang merupakan teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan atau kriteri-kriteria tertentu. Dengan
demikian, informan dalam penelitian ini telah ditentukan berdasarkan kepada
kriteria-kriteria tersendiri. Kriteria-kriteria tersebut ditentukan dengan indikator
yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Untuk membantu kegiatan penelitian dan memperkuat analisis hasil
penelitian maka kegiatan penelitian ini juga menggunakan studi literatur
dalam mencari referensi terkait dan relevan dengan fenomena dan
permasalahan yang akan diteliti. Data tersebut dapat dikumpulkan melalui
bahan yang berbentuk dokumentasi, seperti jurnal kegiatan, hasil kegiatan,
arsip foto, surat, buku, otobiografi, dokumen, dan informasi dari media massa
baik cetak maupun online. Data-data tersebut mempunyai sifat utama yang
tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga dapat digunakan untuk
menggali informasi yang terjadi di masa lampau (Sujarweni, 2014 : 33). Oleh
karena itu, kegiatan penelitian ini akan diperkuat dengan data-data yang
bersumber dari studi dokumen agar didapatkan data yang komprehensif
terkait subjek dan objek penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Mudjiarahrdjo dalam (Sujarweni, 2014 : 34) menyatakan bahwa analisis
data merupakan sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya
sehingga memperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau permasalahan
yang hendak dijawab. Melalui serangkaian aktivitas kegiatan tersebut, maka
data-data yang telah diperoleh dan dikumpulkan sebelumnya dapat
disederhanakan sehingga dapat dipahami dengan mudah. Setelah seluruh
data yang dibutuhkan terkumpul maka dilakukan analisis data. Miles dan
Faisal dalam (Sujarweni, 2014 : 34), analisis data dilakukan pada saat
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 44
pengumpulan data di lapangan dan setelah semua data terkumpul dengan
teknik model interaktif, sebagai berikut:
1) Reduksi Data. Data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau
data yang terperinci kemudian disusun berdasarkan data yang diperoleh
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, dan difokuskan pada hal-hal
yang penting. Hal ini akan memberikan gambaran yang tajam mengenai hasil
pengamatan juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data
tambahan jika diperlukan.
2) Penyajian Data. Data yang diperoleh dikategorisasikan menurut
pokok permasalahan dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga
memudahkan untuk melihat pola-pola hubungan satu data dengan data
lainnya.
3) Penyimpulan dan verifikasi. Kegiatan ini merupakan langkah lebih
lanjut dari kegiatan reduksi dan penyajian data. Data yang sudah direduksi
dan disajikan secara sistematis akan disimpulkan sementara. Kesimpulan
sementara tersebut perlu diverifikasi. Teknik yang digunakan untuk
memverifikasi adalah triangulasi sumber data, metode, diskusi teman sejawat,
dan pengecekan anggota.
4) Kesimpulan Akhir. Kesimpulan akhir diperoleh berdasarkan
kesimpulan sementara yang telah diverifikasi. Kesimpulan tersebut
diharapkan dapat diperoleh setelah pengumpulan data selesai.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data dengan tujuan agar dapat memudahkan
pekerjaannya serta memiliki hasil yang cermat, lengkap, dan sistematis
sehingga dapat dengan mudah diolah. Arikunto (2006) menyatakan bahwa
bentuk dari variasi instrumen penelitian ini dapat berupa daftar checklist,
pedoman wawancara, angket, dan pedoman pengamatan. Di dalam
instrumen penelitian ini sendiri terdapat variabel, sub variabel, beserta
dengan indikatornya. Dalam penelitian ini, instrument yang digunakan adalah
pedoman wawancara karena menyesuaikan dengan salah satu teknik
pengumpulan data yang digunakan.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 45
3.5.2 Data Primer
Data primer dalam kegiatan penelitian merupakan data yang diperoleh
dari responden melalui kuisioner, kelompok fokus, dan panel, atau juga data
yang didapatkan dari hasil wawancara dengan informan. Setelah data ini
diperoleh maka akan dilakukan pengolahan terhadap data primer ini
(Sujarweni, 2014 : 73). Dalam kegiatan penelitian ini, data primer didapatkan
dari hasil wawancara dengan informan terkait tema penelitian, seperti
Kementerian Dalam Negeri, Kementerioan Ketenagakerjaan, Kementerian
Hukum dan HAM, UNHCR, IOM, Pemerintah Kabupaten Bogor, Dinas
Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bogor, Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Bogor, Dinas Imigrasi Kabupaten Bogor,
Polres Bogor dan Kodim 0621/ Kabupaten Bogor.
3.5.3 Data Sekunder
Data sekunder dalam suatu kegiatan penelitian merupakan data yang
didapatkan dari catatan, buku, jurnal, laporan pemerintah, artikel, buku teori,
majalah, pidato resmi pemimpin, dokumen resmi seperti minute of meetings
para pengambil kebijakan dan otobiografi (Nazir 2005 : 93). Dalam kaitannya
dengan kegiatan penelitian ini, data sekunder diperoleh dari laporan, buku-
buku teori, buku, jurnal, artikel, majalah, media massa dan online, serta
dokumen resmi pemerintah yang berkaitan dengan subjek dan objek
penelitian.
3.5.4 Pengujian Keabsahan dan Keterandalan Data
Pengujian keabsahan dan keterandalan data dalam penelitian kualitatif
sangat diperlukan untuk menguji ataupun memeriksa akurasi data yang telah
dikumpulkan dari proses penelitian berlangsung. Nasution (2003 : 105)
mengemukakan bahwa pengujian keabsahan dan keterandalan data
diperlukan untuk membuktikan kesesuaian hasil yang sudah diamati dengan
fakta dan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Untuk menuju keabsahan dan
keterandalan data maka diperlukan strategi sebagai berikut:
1) Triangulasi. Menurut Creswell (2010 : 286), triangulasi merupakan
teknik mengumpulkan sumber-sumber data yang berbeda dengan
memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan
menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara
koheren.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 46
2) Member Checking. Sugiyono (2007 : 129) menyatakan bahwa member
checking merupakan proses pengecekan data yang diperoleh dalam
penelitian. Proses ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian data
yang diperoleh dengan data yang diberikan oleh pemberi data. Proses
ini dapat dilakukan dengan membawa kembali laporan akhir atau
deskripsi dalam penelitian pada informan untuk melakukan konfirmasi
keakuratan laporan atau deksripsi tesebut.
3) Expert Opinion. Tahap ini merupakan tahan pemantapan hasil akhir
dengan cara mengkonsultasikan hasil temuan di lapangan kepada
para ahli di bidangnya termasuk pembimbing dalam penelitian.
Dengan demikian, untuk menguji keabsahan dan keterandalan data
dalam penelitian ini maka akan dilakukan triangulasi dengan mengumpulkan
data mengenai keberadaan imigran di Cisarua, Jawa Barat dan upaya
pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah dari berbagai sumber dan
informan. Kemudian, juga akan dilakukan member checking dengan
menyesuaikan data yang diperoleh terkait tema penelitian kepada orang-
orang atau instansi yang terlibat dalam upaya pencegahan konflik antara
imigran dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat. Proses terakhir
adalah berkonsultasi dengan orang yang ahli di bidangnya terkait hasil dari
upaya Pemerintah dalam melakukan pencegahan konflik antara imigran
dengan masyarakat lokal di Cisarua, Jawa Barat untuk memantapkan hasil
akhir penelitian.
3.6 Rencana Jadwal Penelitian
Penelitian mengenai upaya pencegahan konflik antara imigran dengan
masyarakat lokal di Cisarua, Jawa barat akan berlokasi di Cisarua, Kab.
Bogor, Jawa Barat. Adapun rencana jadwal kegiatan utama dalam penelitian
ini akan dikalkulasikan sesuai tabel berikut:
NO
Kegiatan Utama
2017
Juni Juli Ags-
sept
Okt-
Nov
Des
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 47
1 Desk Review Tema Proposal �
2 Penulisan Naskah Proposal �
3 Perbaikan Naskah Proposal �
4 Pengumpulan Data � �
5 Verifikasi Data �
6 Penulisan dan Pengolahan Hasil Pengumpulan Data
� �
7 Presentasi Hasil Penelitian �
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 48
BAB 4
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Sebaran Data/Subjek Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Cisarua, Kab. Bogor
Kecamatan Cisarua merupakan wilayah Kecamatan di Kabupaten Bogor
yang letaknya paling timur dan berbatasan langsung dengan Kabupaten
Cianjur, di sebelah barat dan timur Kecamatan Cisarua berbatasan langsung
dengan Kecamatan Ciawi, dan di sebelah utaranya berbatasan langsung
dengan Kecamatan Megamendung. Kecamatan memiliki luas sebesar 7.378
Ha, yang terdiri dari satu Kelurahan dan sembilan Desa diantaranya:
Kelurahan Cisarua, Desa Batulayang, Desa Jogjogan, Desa Cibereum, Desa
Cilember, Desa Kopo, Desa Tugu Utara, Desa Tugu Selatan, Desa
Leuwimalang, dan Desa Citeko.
Data terakhir menunjukkan komposisi penduduk di Kecamatan Cisarua
didominasi oleh golongan laki-laki dengan perbandingan 59.717 jiwa untuk
golongan laki-laki dan 55.284 jiwa untuk golongan perempuan, dengan selisih
lebih banyak 4.433 jiwa dari golongan laki-laki. Mayoritas penduduk di
Kecamatan Cisarua 95% adalah beragama Islam, sisanya adalah Kristen
Protestan, Katolik, dan Hindu. Lokasi Kecamatan Cisarua yang berada di
daerah dataran tinggi membuat hasil pertanian di daerah tersebut didominasi
dengan hasil berupa talas, jagung dan ubi, dari pada padi sawah.
Potensi lainnya yang dimiliki oleh Kecamatan Cisarua adalah potensi
pariwisatanya, wilayah yang terkenal dengan nama wisata Puncak Bogor ini
terkenal dengan objek pariwisata yang berupa perkebunan teh, wisata petik
buah, air terjun, pemandian air panas, dan juga objek wisata lainnya. Selain
itu, suhu udara di wilayah tersebut terbilang cukup sejuk yakni antara 18º-24º
C, hal tersebut yang menjadi daya tarik para wisatawan yang datang dari
berbagai daerah untuk menikmati tempat partiwisata dengan didukung udara
yang sejuk. Bukan hanya turis domestik saja yang berbondong-bondong
mengunjungi objek wisata Puncak Bogor, turis mancanegara juga
mendominasi. Ketika akhir pekan atau memasuki musim libur sekolah dan
libur akhir tahun, kawasan wisata Puncak Bogor Kecamatan Cisarua ini pasti
ramai karena menjadi rujukan untuk menghabiskan waktu hari libur. Tidak
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 49
hanya pada musim liburan atau akhir pekan saja, pada hari biasa Kecamatan
Cisarua juga lumayan ramai pengunjungnya, banyak instansi atau lembaga
yang memanfaatkan suasana kenyamanan di Kecamatan Cisarua untuk
mengadakan, diklat, outbond, rapat, dan kegiatan lainnya.
Gambar 4.1 Peta Kecamatan Cisarua
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 50
Untuk memenuhi fasilitas para wisatawan tersebut, di Kecamatan
Cisarua banyak bermunculan tempat-tempat yang memfasilitasi para
wisatawan, mulai dari kelas menengah ke atas yang berupa villa, hotel,
cottage, wisma, hingga rumah warga yang disewakan. Selain itu wahana
hiburan seperti taman safari dan juga berbagai rumah makan juga
bermunculan.
Dari kondisi tersebut, sebagian besar penduduk di Kecamatan Cisarua
banyak yang menginvestasikan hartanya maupun menawarkan jasanya di
bidang pariwisata. Sering dijumpai bahwa pariwisata membawa banyak
perubahan bagi masyarakat Kecamatan Cisarua, terutama adanya perubahan
dari segi peningkatan ekonomi masyarakat lokal. Dengan berkembangnya
aspek pariwisata di Kecamatan Cisarua, membuat warga sering berinteraksi
dengan para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan dari
luar negeri.
4.1.2 Gambaran Umum Pengungsi di Indonesia
Pada akhir Januari 2012, menurut data UNHCR terdapat 3275 pencari
suaka dan 1052 pengungsi yang terdaftar di UNHCR Jakarta. Selama Januari
terdapat 315 orang terdaftar dengan jumlah pencari suaka terbesar berasal
dari Afghanistan (66,6%), diikuti dengan Iran (9,8%), dan Somalia (6,7%).
Indonesia sendiri masih merupakan negara transit dan hingga saat ini belum
menjadi negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol
Opsional 1967.
Banyaknya pengungsi yang masuk di Indonesia sangat logis, karena
lokasi geografis Indonesia yang sangat strategis. Para Pengungsi tersebut
sebagian besarnya hendak menuju Australia, Canada, Amerika Serikat,
Selandia Baru, dan Norwegia. Motif terbesar dari para pengungsi tersebut
adalah menghindar presekusi, atau menghindari perang yang terjadi di
negaranya.
Sistem hukum Indonesia, karena belum meratifikasi Kovensi Pengungsi
dan Protokol Opsionalnya, berdasarkan UU No 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, masih mengkategorikan pengungsi sebagai imigran illegal atau
imigran yang memasuki wilayah Indonesia tanpa dokumen keimigrasian yang
resmi. Untuk itu para pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia selalu
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 51
dikenakan tindakan keimigrasian dalam bentuk penahanan selama jangka
waktu maksimum 10 tahun di rumah detensi imigrasi yang tersebar di 13
lokasi di seluruh Indonesia
Situasi ini tentu buruk, karena pengungsi tidak pernah bermaksud untuk
memasuki wilayah suatu negara tanpa ada dokumen resmi, karena pada
dasarnya adalah sulit untuk para pengungsi untuk memperoleh dokumen
imigrasi yang resmi. Oleh sebab itu pengungsi tidak dapat disamakan dengan
imigran illegal, meski tidak semua imigran illegal adalah pengungsi dan
pencari suaka. Pengungsi dan pencari suaka adalah setiap orang yang
meninggalkan negerinya karena ”ketakutan yang beralasan” akan ancaman
pengusiran dan pengejaran (persecution). Adapun istilah pengungsi dapat
dipertukarkan dengan istilah pencari suaka dengan makna yang berimpitan.
Para pencari suaka adalah orang yang mencari perlindungan internasional,
namun klaim dan status mereka sebagai pengungsi belum mereka dapatkan
dari otoritas internasional, yaitu United Nations High Commissioner for
Refugees (UNHCR). Status pengungsi ini penting untuk didapatkan karena
dengan status pengungsi maka hukum internasional akan bekerja dengan
segala sistem dan mekanisme perlindungannya
Pada level kebijakan mekanisme untuk penanganan pengungsi dapat
diketemukan dalam Peraturan Dirjend Imigrasi No IMI-1489.UM.08.05 Tahun
2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal, dimana setiap pengungsi yang
masuk ke Indonesia akan dikenakan tindakan keimigrasian dalam bentuk
penahanan sampai status pengungsinya ditetapkan oleh UNHCR. Namun
penentuan status oleh UNHCR dapat memakan waktu sangat lama. Hal Ini
berimbas pada munculnya pelanggaran HAM, karena pengungsi bukanlah
pelaku kriminal namun ditempatkan pada situasi yang mirip dengan
penahanan. Tak heran jika banyak di antara pengungsi yang mengalami
tekanan psikologis dan berkeinginan kuat untuk bunuh diri atau kabur dari
rumah detensi imigrasi tersebut.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 52
Langkah konkret penangan permasalahan pengungsi yang terjadi di
Indonesia adalah dilakukan dengan cara resettlement, dalam proses
resettlement tersebut ada beberapa tahapan. Berdasarkan definisi pengungsi
yang terdapat dalam konvensi 1951 dilakukan beberapa tahap-tahap dalam
bentuk bagan yang secara general digambarkan sebagai berikut:
Digambarkan bahwa dalam penanganan pengungsi pada intinya dilakukan
penangkapan pengungsi dari para pihak terkait, setelah proses penangkapan
dan langsung diserahkan kepada UNHCR mekanisme skrining yang
dilakukan seperti pada bagan diatas. Tetapi fakta dilapangan menunjukkan
bahwa berjalannya proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama,
untuk menentukan status diterima atau tidaknya imigran atau pencari suaka
yang masuk di Indonesia dibutuhkan waktu sekitar satu atau dua tahun
bahkan bisa lebih. Pada saat menunggu proses skrining yang dilakukan oleh
UNHCR, pengungsi ditempatkan pada RUDENIM yaitu singkatan dari Rumah
Detensi Imigrasi.
Setelah proses skrining dilakukan oleh pihak UNHCR ada dua
kemungkinan yang dihadapi oleh pengungsi tersebut yaitu diterima atau
ditolak, jika diterima, barulah para pengungsi ditempatkan kepada negara
tujuan mereka atau biasa disebut negara ke 3. Apabila calon pengungsi
tersebut ditolak setelah skrining status penentuan pengungsi tersebut, maka
Gambar 4.2 Proses Singkat Penanganan Pengungsi
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 53
ada beberapa kemungkinan yang akan dilakukan. Kemungkinan pertama
yaitu calon pengungsi dapat melakukan banding ke UNHCR dengan alasan-
alasan tertentu, jika calon pengungsi dalam proses banding tersebut diterima,
maka calon pengungsi tersebut berhak untuk ditempatkan pada negara ke-3.
Kemungkinan yang kedua jika calon pengungsi tersebut tetap ditolak dalam
proses banding, maka pilihan satu-satunya adalah dideportasi dari negara
tempat mereka transit.
Secara umum pembedaan tersebut bisa dilihat dari cara kedatangan
mereka di Indonesia, untuk para pendatang biasa bisa dilihat dari passport
yang mereka miliki. Tetapi untuk para pengungsi asli bisa biasanya
menggunakan jalur laut dengan menggunakan alat transportasi kapal. Tetapi
pada kasus dilapangan banyak juga ditemukan para pencari suaka maupun
pengungsi datang dengan cara yang legal dengan menggunakan passport
resmi dan mereka memanfaatkan celah tersebut dan menetap lama di negara
transit atau negara tujuan. Kasus tersebut juga menjadi salah satu faktor
penghambat dalam penanganan pengungsi.
Ada beberapa pengelompokan pengungsi yang lebih kompleks dan
menunjukkan bahwa pendatang atau imigran memiliki bermacam-macam tipe
yang bisa digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.3 Pengelompokan Pengungsi Secara Kompleks (UNHCR : 2013)
Dari pembagian beragam tipe imigran tersebut, ada pembedaan yang
lebih sederhana dalam pengelompokan pengungsi, Direktorat HAM dan
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 54
Multilateral Kementerian Luar Negeri RI menggolongkan pengungsi secara
sederhana yaitu :
Gambar 4.4 Pengelompokan Pengungsi Secara Sederhana (Kemlu : 2013)
Status pertama yang ditangani yaitu imigran, pada intinya imigran
masuk ke Indonesia ada 2 macam cara yaitu legal dan illegal. Setelah itu para
imigran tersebut bisa berganti status menjadi pencari suaka jika ada suatu
unsur bahwa mereka sedang dalam tekanan atau ancaman baik itu dari
dalam atau luar negaranya. Setelah itu barulah status menjadi seorang
pengungsi, untuk status pengung yang berhak memberikan status tersebut
adalah UNHCR dikarenakan Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi
Pengungsi 1951 beserta protocol 1967 sehingga tidak mempunyai
kewenangan dalam penanganannya, istilah tersebut bisa disebut dengan
“Refugee Status Determination”(RSD).
Untuk tahapan penangan pengungsi di Indonesia yang ditangani oleh
para pihak terkait dan proses dimulainya penanganan tersebut bisa
digambarkan secara umum yaitu:
Gambar 4.5 Proses Penanganan Pengungsi di Lapangan
IMIGRANPENCARI
SUAKAPENGUNGSI
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 55
Proses tersebut diatas digambarkan dari awal penemuan pengungsi
atau pencari suaka yang ditemukan oleh warga atau para pihak yang
megetahui kejadian yang ada ditempat, biasanya kejadian penemuan
pengungsi dan pencari suaka terjadi di sekitar daerah pesisir pantai. Setelah
itu para pengungsi atau pencari suaka tersebut dilaporkan kepada
Pemerintah Daerah maupun pihak aparat setempat yaitu Kepolisian dan TNI
setempat karena terkait masalah keamanan maupun batas wilayah NKRI.
Setelah itu Pemda, Kepolisian, maupun TNI yang ada di lokasi tempat
tersebut mereka melakukan koordinasi dengan pihak keimigrasian, karena
terkait dengan masalah dokumen dan kelengkapan mereka. Setelah itu, para
aparat yang berwenang tersebut melaporkan kepada Pemerintah Pusat,
dalam hal ini bisa merujuk kepada Kementerian Luar Negeri RI.
Disinilah letak peranan Kementerian Luar Negeri RI yaitu pada saat
menerima laporan dari para pihak terkait mengenai pengungsi atau pencari
suaka, setelah itu Kementerian Luar Negeri RI melakukan koordinasi kepada
pihak perwakilan UNHCR yang ada di Jakarta guna mencari solusi masalah
penanganan pencari suaka dan pengungsi.
Setelah melakukan koordinasi, Kementrian Luar Negeri RI melakukan
koordinasi dengan para pihak yang terkait, terutama negara-negara yang
terlibat pada proses pengungsian tersebut. Kementerian Luar Negeri lebih
bertanggung jawab pada tataran kebijakan dan kerjasama internasional,
terutama dalam hal hubungan bilateral dan multilateral yang dilakukan oleh
Kementerian Luar Negeri RI demi menjaga hubungan baik antar negara dan
juga menjalin kerjasama antar negara. Upaya koordinasi yang dilakukan oleh
Kementerian Luar Negeri RI ini mempengaruhi proses selanjutnya dalam
penanganan pengungsi dan pencari suaka, yaitu proses penempatan
selanjutnya ke negara ketiga atau negara yang bersedia menerima
keberadaan para pengungsi dan pencari suaka tersebut. Apabila proses
koordinasi tersebut berjalan lancar, para pengungsi mendapat suatu
kepastian penempatan ke wilayah selanjutnya, hal tersebut juga dapat
mengurangi jumlah para pengungsi dan pencari suaka yang sedang transit di
Indonesia.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 56
4.2 Analisis data dan Inetrpretasi Hasil
4.2.1 Potensi Konflik Antara Imigran Dengan Masyara kat Lokal Di
Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat
4.2.1.1 Data Pengungsi di Cisarua
Dari temuan di lapangan, ada tiga golongan besar untuk klasifikasi
imigran yang bermukim di Kecamatan Cisarua. Pertama adalah turis asing
yang memang memiliki tujuan utama untuk berlibur, dan mereka masuk ke
wilayah Indonesia dengan menggunakan dokumen resmi. Golongan
berikutnya yaitu ada pengungsi dan pencari suaka, untuk golongan ini cara
masuknya beragam. Ada yang melalui jalur laut dengan menembus wilayah
teritorial perairan Indonesia, ada juga yang masuk melalui jalur resmi, bisa
juga dibawa melalui proses oleh organisasi internasional. Menurut data yang
diperoleh dari desk Penanganan Penyelundupan Manusia, Pengungsi dan
Pencari Suaka (P2MP2S) Kementerian Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan (KEMENKOPOLHUKAM), setiap tahunnya jumlah pengungsi dan
pencari suaka cenderung naik, data yang diperoleh dari tahun 2013 sampai
september 2015 jumlah pengungsi selalu mengalami kenaikan. Sedangkan
jumlah pencari suaka cenderung fluktuatif, karena mengalami penurunan dan
kenaikan.
Menurut Dr. Tri Nuke Pujiastuti M.A., selaku pengamat migrasi
internasional dan regional ASEAN dari LIPI (komunikasi personal, 3
November 2015), sejak tahun 2008 Indonesia mengalami kondisi yang
memuncak dalam kasus force migration ini, dan khususnya masalah pencari
suaka dan pengungsi. Persoalannya adalah mereka tidak bisa sepenuhnya
kita kategorikan sebagai pengungsi dan pencari suaka, karena prosesnya
adalah banyak yang masuk pada proses penyelundupan migran. Berbeda
dengan pengungsi yang masuk wilayah dengan jalan kaki seperti di eropa, itu
murni sebagai pengungsi, atau manusia perahu pada masa Indochina. Kalau
yang masuk pada periode ini berbeda sekali, pengungsi tersebut ada
kecenderungan pada suatu jaringan. Apakah jaringan tersebut dari keluarga,
teman, atau jaringan tersebut yang murni dibayar. Ada suatu jaringan yang
memang terorganisir, tetapi bukan dalam bentuk organisasi. Jika anda
melihat trend yang ada di Indonesia, kita lihat pada data tahun 2013 saja
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 57
jumlah mereka sudah mencapai 7.000 lebih, 2014 sudah diatas angka
10.000, dan tahun 2015 sudah lebih dari 13.000, dari trend data tersebut
menunjukkan adanya sebuah jaringan, tidak mungkin mereka masuk tanpa
adanya jaringan. Secara kasat mata jika dilihat dari data tersebut, logikanya
orang masuk setiap tahunnya bertambah banyak, padahal stakeholder yang
ada berupaya untuk meminimalisir masuknya mereka ke wilayah teritorial
Indonesia.
Dari jumlah polulasi yang sama, yaitu 13.405 per September 2015.
Bagan di atas dapat dilihat bahwa pengungsi dan pencari suaka yang masuk
ke wilayah Indonesia didominasi oleh warga negara Afghanistan, yaitu
sebanyak 47% hampir dari separuh populasi, kemudian disusul oleh
Myanmar, Somalia, dst. Pada saat pengambilan data penelitian ini di
Kecamatan Cisarua, pengungsi dan pencari suaka yang banyak dijumpai.
adalah warga negara Afghanistan, Myanmar, dan sebagian kecil berasal dari
Pakistan.
Dari data periode September 2015, jika dibagi menurut jenis kelamin
bahwa populasi sejumlah 13.405 orang tersebut terbagi antara 10.055 orang
laki-laki dan 3.350 orang perempuan. Populasi tersebut sudah termasuk
3.775 orang anak-anak, 1.132 orang anak-anak diantaranya tanpa
pendamping dan anak-anak yang terpisah.
4.2.1.2 Potensi Konflik Antara Imigran Dengan Masya rakat Lokal Di
Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat
Dibalik perkembangan aspek pariwisata Kecamatan Cisarua yang
sangat pesat dengan datangnya para wisatawan ke tempat tersebut, serta
munculnya tempat-tempat penginapan untuk para wisatawan, wilayah
Kecamatan Cisarua juga difungsikan untuk kepentingan lainnya. Temuan
dalam penelitian ini yaitu ada beberapa wilayah di Kecamatan Cisarua yang
dijadikan sebagai tempat penampungan atau housing bagi para pengungsi
dan juga pencari suaka yang sedang dalam proses, hal tersebut juga menarik
untuk diteliti, karena jumlah pengungsi dan pencari suaka tersebut tidak
sedikit. Selain itu mereka ditempatkan tidak jauh dari lokasi wisata, sekaligus
memanfaatkan tempat penginapan-penginapan wisatawan baik secara
kelompok maupun personal.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 58
Dari sembilan desa dan satu keluahan, tidak semua daerah di
Kecamatan Cisarua dijadikan tempat penampungan bagi pengungsi dan
pencari suaka, tetapi ada beberapa titik di beberapa desa yang didominasi
oleh para pengungsi dan pencari suaka tersebut, daerah tersebut yaitu Desa
Batulayang, Desa Kopo, Desa Tugu Utara, dan Desa Tugu Selatan. Dalam
penelitian ini keempat daerah tersebut yang dijadikan sampling untuk
menentukan seberapa besar pengaruh keberadaan para pengungsi dan
pencari suaka terhadap masyarakat sekitar ditinjau dari segi potensi konflik.
Dalam temuan penelitian ini banyak hal yang dapat dijadikan suatu
indikator bahwa potensi konflik antara kelompok pengungsi dengan
masyarakat di Kecamatan Cisarua memang benar adanya. Dari beberapa
sumber yang didapat pada saat penelitian berlangsung, hal yang dapat dilihat
sebagai suatu potensi konflik yaitu melalui kasus atau fenomena-fenomena
yang terjadi antara imigran dan masyarakat Cisarua.
Secara garis besar, dalam penelitian ini digambarkan indikator potensi
konflik yang diakibatkan oleh pengungsi di Kecamatan Cisarua terbagi dalam
tiga aspek yang meliputi aspek hukum, sosial budaya, dan ideologi, masalah
tersebut juga berdampak terhadap keamanan yaitu mengakibatkan ancaman
nir-militer.
Menurut Karom, Sekertaris Desa Batulayang di Kecamatan Cisarua
(komunikasi personal 27 Oktober, 2015), adanya perbedaan faham agama
antara imigran dengan masyarakat lokal bisa menyebabkan suatu
perpecahan. Pada kasus di Desa Batulayang kondisi yang terjadi adalah
penduduk kita sama-sama beragama islam dengan para pengungsi, tetapi
yang membedakan adalah paham atau aqidahnya. Kalau mayoritas
masyarakat disini kebanyakan mengkuti ahlussunnah wal jamaah, atau garis
besarnya ikut kaum sunni, sedangkan para pengungsi kebanyakan mengikuti
syiah. Contoh kasus yang dapat mengakibatkan suatu perpecahan ketika
salah satu dari mereka ada yang meninggal, secara adab yang kita biasa
lakukan adalah mensholatkan jenazah yang meninggal tersebut, tiba-tiba
mereka menolak secara frontal agar tidak usah disholatkan jenazah itu.
Secara enteng kerabat dari imigran tersebut menanggapi “gak usah
disholatkan, orang itu setiap hari juga sudah sholat”, perbedaan-perbedaan
seperti itu lah yang bisa juga mengakibatkan konflik. Jika kondisi tersebut
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 59
terus-terusan terjadi di masyarakat, saya rasa kemarahan dari masyarakat
kita juga tidak terhindarkan.
Karom juga mengungkapkan, selain adanya perbedaan faham aqidah
agama antara masyarakat dengan pengungsi, terjadinya pelanggaran
terhadap kearifan lokal oleh para imigran juga dapat mengakibatkan konflik.
Masalah etika budaya sudah pasti berbeda antara warga kita dengan imigran
tersebut, sangat jauh sekali tingkat sopan santunya, unggah-ungguhnya
sudah tidak ada kalau mereka. Kalau kita lewat bilang permisi, mereka ya
lewat aja. Karena kita di desa sini punya tata tertib, ada etikanya, bagaimana
menjalin hubungan dengan orang-orang desa, jangan sampai hal-hal seperti
itu dilanggar. Kalau mereka enggak ada tata krama sama sekali, etika
tersebut sering dilanggar waktu ketika mereka menggoda perempuan disini
salah satunya yang bisa memancing keributan warga. Ya kalau mereka
membawa perempuan dari luar ya nggak masalah entah mereka taro di hotel,
di villa, itu terserah mereka, yang bermasalah adalah ketika yang menjadi
korban perempuan-perempuan warga desa sini dan mereka menggunakan
tempat-tempat penduduk. .
Di lain sisi adanya perbedaan kultur dan kebiasaan sehari-hari yang
membuat penduduk merasa terganggu dengan keberadaan mereka, serta
berujung pada terjadinya keributan. Menurut Nandar Winandar, kadang
permasalahan berawal dari perbedaan waktu dengan negara asal mereka,
intinya warga kita banyak yang beraktifitas di pagi hari, tetapi para imigran
tersebut malah sebaliknya aktif di malam hari pada saat warga sedang
beristirahat. Hal seperti itu yang membuat warga agak kurang respect dengan
mereka, begitupun sebaliknya. Karom juga menambahkan, bermula dari
kebiasaan awal di negaranya, di negaranya siang tapi disini malam. Jadi
mereka bangunnya siang, dan malam hari mereka aktifnya, hal itu juga
sangat mengganggu sekali, mereka menelpon, mengobrol dengan sesama di
community house atau di vila tersebut, yah pokonya aktifitas sehari-hari
mereka lakukan di malam hari. Agus Kurniawan salah satu staf dari Desa
Tugu Selatan (komunikasi personal 28 Oktober, 2015) juga menuturkan,
menurutnya belum ada konflik yang terlihat sangat serius dan perlu ditangani
oleh aparat, kadang kita melihat adanya masalah diantara mereka, mereka
malam-malam ribut-ribut karena berisik, mengganggu jam istirahat warga
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 60
disini kadang hingga terjadi pertengkaran, tetapi juga tidak mutlak salah
mereka karena mereka rata-rata masih belum terbiasa untuk tidur malam dan
masih menyesuaikan jam di negara asalnya. Masalah etika sopan santun
ketika mereka berbicara terdengar sangat keras sekali, mungkin yang sering
terjadi ya masalah-masalah seperti itu saja.
Menurut Kombespol Puja Laksana, pelanggaran hukum yang sering
dilakukan oleh para pengungsi dikarenakan para pengungsi merasa bahwa
keberadaan mereka dilindungi oleh suatu konvensi, jadi mereka merasa kebal
hukum dan bisa berbuat semena-mena, termasuk melanggar aturan hukum di
negara kita. Contoh kasus yang sering terjadi bahwa mereka melakukan
pengrusakan, pelecehan seksual, pencurian. Yang pernah saya temui
beberapa pengungsi juga pernah mengambil rokok dan barang lainnya di
minimarket tanpa mau membayar. Ketika mereka dimarahi oleh warga
sekitar, pengungsi tersebut berargumen bahwa dirinya dilindungi oleh
konvensi, karena statusnya di Cisarua adalah pengungsi hak nya patut untuk
dilindungi. Karena kesalah pahaman seperti itu salah satunya mendorong ke
arah perpecahan dengan warga.
Karom juga menuturkan justru potensi konflik yang lebih terlihat itu antar
warga kita sendiri, warga yang punya villa sama yang gak punya usaha villa,
malah hampir bentrok. Salah satu pihak meminta keberadaan imigran untuk
tetap dipertahankan karena dapat menambah penghasilan warga sekitar,
salah satu pihak lagi minta imigran diusir dari situ karena mengganggu
keberadaan warga. Pada waktu itu permasalahan disleseikan di tingkat RT-
RW, tetapi masih tidak terseleseikan, hingga ke tingkat kelurahan, itu potensi
konflik yang memang terlihat.
Kanit Intelkam Polres Bogor Ipda Nimrot (komunikasi personal 22
Oktober, 2015) juga mengungkapkan, para pengungsi tersebut tidak terlalu
membahayakan, tetapi potensi konfliknya tetap ada, bisa disebut masih di
taraf kerawanan, belum membahayakan hingga menjadi ancaman besar.
Justru potensi konflik yang ada, yaitu antara penduduk lokal itu sendiri.
Penduduk lokal di Cisarua mereka malah menjadi dua kubu, yang pertama
yaitu para penduduk yang memiliki usaha kontrakan, mereka pro dan
mendukung keberadaan imigran tersebut, karena mereka mendapatkan
keuntungan. Yang kedua yaitu para penduduk dan tokoh masyarakat yang
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 61
tidak memiliki usaha rumah kontrakan, mereka sebagian menolak
keberadaan imigran tersebut yang dirasa mengganggu aktifitas mereka
sehari-hari, bisa dibilang adanya faktor ekonomi.
4.2.2 Pencegahan Konflik antara imigran dengan masy arakat lokal di
Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat
Dari potensi konflik yang telah muncul akibat dari adanya imigran di
beberapa Desa di Kecamatan Cisarua, bahwa permasalahan memang
terbilang ada meskipun belum terlalu besar dampak yang ditimbulkan. Ada
beberapa solusi maupun gambaran perencaan dari beberapa pihak yang
telah menjadi informan. Ketika berbicara mengenai penanganan, menurut
Agus Kurniawan, untuk masalah-masalah kecil seperti percekcokan dan
pertengkaran antar warga dengan imigran masih bisa ditangani, dengan
melibatkan kamtibmas, babinsa, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh
disini Selain itu, pihak desa melakukan musyawarah dengan orang-orang
yang sekiranya terlibat, ketika ada percekcokan dengan warga, kadang kita
juga bikin semacam rapat bagaimana caranya masalah tersebut bisa selesai.
Nandar juga menambahkan, bahwa penanganan bisa dilakukan melalui
musyawarah dulu dengan tokoh masyarakat daerah sini, dengan cara damai
terlebih dahulu. Jika merasa kesulitan kita dibantu sama babinsa,
babinkamtibmas, sampai ke polsek.
Menurut Karom, mengingat Desa Batu Layang sebagai daerah yang
paling terkena dampak dalam permasalahan imigran ini, saya rasa hal yang
perlu dilakukan untuk mencegah potensi konflik tersebut, yaitu harus ada
seperti pembinaan dan penyuluhan kepada mereka, terutama pengasuh atau
yang membawa mereka kesini, seperti UNHCR, IOM, CWS, atau JRS.
Mungkin kalau mereka lebih mengerti tentang teknis, entah itu dari bahasa
dan pendekatan lain, dan kemungkinan besar imigran tersebut lebih bisa
nurut, daripada kita pihak desa ya gak ngerti apa-apa mengenai teknis
tersebut, ditakutkan kondisinya malah lebih parah.
Menganai penanganan pada tingkat pengambil kebijakan, Masni Eriza
selaku Kasubdit Kemanusiaan Dirjen Multilateral KEMENLU RI (komunikasi
personal, 26 November 2013), bahwa secara undang-undang pengawasan
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 62
orang asing itu ada dalam pengawasan dirjen imigrasi, KEMENLU itu
berperan sebagai communication harp saja, jadi berperan sebagai pihak yang
berada di tengah sebagai penjuru dari pemerintah RI halam hal komunikasi
internasional atau hubungan luar negeri jadi hanya sebatas communication
harp nya saja, dan kewenangan untuk penanganan dan pengawasan para
pengungsi tetap dirjen keimigrasian yang berhak.
Mitra S. Suryono selaku Associate External Relations of UNHCR
(komunikasi personal, 28 November 2013), bahwa UNHCR mendukung
dikembangkannya kerangka perlindungan nasional untuk membantu
pemerintah Indonesia mengatur kedatangan orang yang mencari suaka.
Dalam hal ini, UNHCR terus menerus secara aktif mempromosikan aksesi
terhadap dua instrumen hukum internasional: Konvensi 1951 tentang Status
Pengungsi dan Protokol 1967. Kedua instrumen ini telah dimasukan dalam
Rencana Aksi Nasional (RANHAM) pemerintah tahun 2010-2014, yang
mengkonfirmasi rencana pemerintah untuk mengaksesi Konvensi 1951 pada
tahun 2013, lalu selanjutnya Protokol 1976 pada tahun 2014.
Kombespol Puja Laksana juga menuturkan adanya instrumen hukum
yang berbeda, bahwa desk P2MP2S juga sudah melakukan rapat dengan
berbagai kementerian untuk penyusunan perpres dalam penanganan dan
penanggulangan pengungsi. Tetapi perpres hanya suatu SOP saja, bukan
suatu solusi yang utama, tujuannya agar yang kita lakukan sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, secara spesifik jelas arahnya, tidak gamang, dan
yakin dalam melakukan tugas karena adanya payung hukum tersebut.
Misalkan dalam permasalahan anggaran, kalau ada pengaturannya kan enak
kita mengalokasikan dana jelas diperuntukan kepada siapa, tujuannya
bagaimana. Sedangkan masalah pengungsi masih belum jelas siapa yang
menangani, kemudian kita keluarkan dana untuk bantuan mereka, tetapi dana
tersebut tidak masuk dalam tupoksi anggaran, ya sama saja nanti kita
diperiksa KPK.
Dr. Tri Nuke Pudjiastuti M.A., menambahkan bahwa, jangan harap
pemerintah melakukan upaya atau kebijakan dalam bentuk apapun, kalau
masih belum ada payung hukumnya, hal tersebut sangat struktural sekali di
pemerintah kita. Kalau bisa payung hukum tersebut diatur dan melibatkan
seluruh stakeholder, jadi sejauh mana peran-peran stakeholder yang ada itu
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 63
berperan secara aktif, serta bagaimana upaya meminimalisir peran dari
lembaga Internasional agar kita tidak terus menerus bergantung kepada
organisasi tersebut. Itu yang saya sebut sebagai hegemoni kultural, tanpa
sadar mereka menghegemoni kita, dan kita cederung tunduk pada sistem
organisasi internasional sehingga kita tidak bisa berbuat sesuatu dalam
penanganan pengungsi, padahal kita berdiri sebagai negara yang berdaulat.
Dr. Tri Nuke juga menyarankan mengenai konten dari payung hukum itu
juga harus spesifik dan jelas isinya, karena dari payung hukum tersebut para
stakeholder akan tahu apa yang harusnya mereka kerjakan, selain itu aturan
hukum juga harus memperhatikan karakteristik persoalan. Misalkan dalam
penanganan teknis, ketika ada pengungsi sebagai smuggler atau kriminal
penanganannya atau sanksinya seperti apa, ketika murni pengungsi juga
seperti apa penanganannnya, jangan terus disamaratakan dengan merujuk
dari konvensi.
Mengenai keberlangsungan suatu aturan hukum bagi pengungsi, Dr. Tri
Nuke juga mencontohkan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan yang
sudah terbentuk aturan hukumnya, kita lihat tentang penanganan masalah
human trafficking, perpresnya sudah ada, begitu juga UU nya, diperkuat lagi
Indonesia juga ratifikasi konvensi, sekaligus ada peraturan pembentukan
kelembagaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang langsung
dibawah Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(PMK). Artinya dalam penanganan masalah trafficking ini sudah ada posisi
secara structural, sampai lembaga tersebut membuat rencana aksi, tetapi
sampai sekarangpun juga belum terlihat di setiap level dari pusat hingga
daerah itu mempunyai fungsi masing-masing. Jadi berhasil atau tidaknya
aturan hukum tersebut semua itu bergantung dari pelaksanaannya.
Kombespol Puja Laksana juga mengatakan hal yang sama, jika aturan
hukum sudah ada dan disahkan, selesai atau tidaknya permasalahan tersebut
juga tergantung dari proses implementasi aturan hukum tersebut, bukan
berarti terbentuknya aturan hukum, semua masalah menjadi selesai. Kita
sebisa mungkin juga memberlakukan sangksi kepada smuggler juga, untuk
menghindari banyaknya penyelundupan ke Indonesia. Rekomendasi dari
P2MP2S, kita harus tetap memperlakukan mereka sesuai dengan amanat
konstitusi, karena mereka korban dari konflik yang ada di negara mereka. Kita
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 64
tetap berusaha menolong semampu kita, sekaligus kita juga butuh respon
dari masyarakat untuk terlaksananya penanganan ini. P2MP2S dengan pihak
lainnya juga tetap waspada dan tidak asal menerima pengungsi, kita seleksi
dulu bagaimana latar belakang mereka, takutnya keberadaan mereka dapat
mempengaruhi ideologi dan kedaulatan kita juga.
Selain di daerah Kecamatan Cisarua, banyak daerah provinsi lain yang
ditempati oleh pengungsi dan imigran dari luar Indonesia, penelitian ini juga
membandingkan contoh penanganan kasus di wilayah Kota Langsa Provinsi
Aceh yang menjadi jalur masuk pengungsi rohingya, dan wilayah pantai
selatan Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur yang menjadi jalur imigran
menuju Australia.
Untuk wilayah Aceh, Yusra Aprilla SH, MH, unit Reskrim TPPO Polda
Aceh (komunikasi personal, 25 februari 2016) mengatakan bahwa wilayah
Aceh memang banyak terdapat pantai serta pelabuhan untuk disinggahi,
tahun 2015 kemarin banyak para pengungsi rohingya terdampar tepatnya di
wilayah pemukiman penduduk di tepi pantai Kota Langsa, karena lemahnya
fisik dan agama para pengungsi rohingya tersebut sama-sama islam akhirnya
para penduduk menolong mereka. Untuk masalah penanganan, pemerintah
Kota Langsa juga menyediakan logistik beserta camp khusus untuk
pengungsi yaitu di kebun sawit yang diberi pembatas pagar dan agak jauh
dari pemukiman penduduk. Permasalahan yang timbul hanya dari kelompok
pengungsi saja yaitu kasus kriminal seperti pencabulan, dan 3 orang yang
tertangkap menggunakan ganja. Untuk permasalahan dengan penduduk
sekitar hampir tidak ada, karena di wilayah aceh ada kearifan lokal yang
bernama ”pemulia jamee” yang artinya tamu adalah raja, penduduk
memperlakukan mereka dengan sangat baik dan mengesampingkan status
mereka sebagai pengungsi, terlebih lagi agama mereka sama-sama islam.
Sedangkan di wilayah Jawa Timur, Soleh Masudi SH, MH, unit Reskrim
TPPO Polda Jatim (komunikasi personal, 25 februari 2016), bahwa sampai
sekarang wilayah pantai selatan Kabupaten Malang masih juga dibuat jalur
keluar para imigran untuk menuju wilayah Australi, karena jaraknya yang
sangat efisien untuk ditempuh menuju Australi, temuan yang paling banyak
yaitu sekitar tahun 2010. Untuk masalah yang
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 65
ditimbulkan hampir tidak kami jumpai, karena begitu mereka tertangkap
kita langsung koordinasi dengan pihak imigrasi dan mereka langsung dibawa
ke rudenim, jadi kita tidak bisa melihat seberapa besar dampak yang
ditimbulkan oleh imigran jika hidup berdampingan dengan masyarakat seperti
di Cisarua ini.
4.3. Pembahasan
4.3.1 Potensi Konflik Antara Imigran Dengan Masyara kat Lokal Di
Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat
Imigrasi yang dilakukan oleh imigran asing yang berasal dari negara-
negara Asia Selatan seperti Afganistan, Pakistan, Srilanka, Irak, Iran
merupakan tindakan untuk mencari suaka atau perlindungan ke negara lain
dan tujuannya yaitu masuk ke pulau Christmas yang merupakan pulau di
Australia. Untuk menuju Australia, para imigran masuk melalui Indonesia.
Kehadiran para imigran gelap di Indonesia yang bertujuan untuk transit ke
negara lain ini menjadi ancaman bagi Indonesia dikarenakan beberapa
oknum imigran ini yang melakukan tindakan kejahatan seperti peredaran
narkoba, senjata api, terorisme dan trafficking in person. Menyangkut hal ini,
Indonesia memiliki kepentingan nasional yang harus dikedepankan. Menurut
pendapat Morgenthauyaitu interest atau kepentingan yang sifatnya relatif
permanen yang meliputi tiga faktor yaitu sifat dasar dari kepentingan nasional
yang dilindungi, lingkungan politik dalam kaitannya dengan pelaksanaan
kepentingan tersebut, dan kepentingan yang rasional. Kepentingan nasional
merupakan pilar utama tentang politik luar negeri dan politik internasional
yang realistis karena kepentingan nasional menentukan tindakan politik suatu
negara.
“Ada kepentingan nasional yang bersifat vital bagi suatu
negara karena terkait dengan eksistensinya. Kepentingan nasional
yang bersifat vital biasanya berkaitan dengan kelangsungan hidup
negara tersebut serta nilai-nilai inti (core values) yang menjadi
identitas kebijakan luar negerinya. Kalau kepentingan vital atau
strategis suatu negara menjaditaruhan dalam interaksinya dengan
aktor lain, maka negara tersebut akan menggunakan segala
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 66
instrumen yang dimilikinya termasukkekuatan militer untuk
mempertahankannya.”
Mengingat setiap negara memiliki kepentingan nasional, maka
kepentingan Indonesia dalam hal ini adalah menjaga wilayah Indonesia tetap
dalam kondisi aman, meskipun Indonesia merupakan target para imigran
gelap. Karena kasus imigran gelap bukanlah satu-satunya kasus yang harus
diwaspadai oleh Indonesia. Posisi Indonesia yang strategis sebagai negara
kepulauan yang memiliki banyak pelabuhan yang tetap harus di pantau
menjadi tanggung jawab besar bagi semua aktor Indonesia.
Fenomena yang terjadi di Kecamatan Cisarua, sejauh ini ada korelasi
antara temuan penelitian di lapangan dengan teori dari Kevin Avruch
mengenani ethnic communal conflict, Avruch (1998) mengungkapkan bahwa
implikasi perubahan budaya terhadap konflik ada beberapa kemungkinan. Di
satu sisi, kepekaan perubahan budaya dapat mendorong ke arah
ketidakstabilan sosial, dan hal tersebut mungkin mendorong ke arah konflik.
Pada sisi lain, kemungkinan perubahan nilai budaya dapat membuktikan
penyesuaian terhadap situasi yang baru, dan para individu yang membawa
budaya lokal dapat menggunakan sumber budaya untuk mengakomodasi.
Koentjaraningrat mengungkapkan (2005) ada tujuh unsur kebudayaan
universal yaitu Bahasa; Sistem Pengetahuan; Sistem Kemasyarakatan atau
Organisasi Sosial; Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem Mata
Pencaharian Hidup; Sistem Religi; dan Kesenian. Poetra (2001) juga
menambahkan bahwa sebagian ahli antropologi menganggap ada tiga hasil
dari sebuah proses akulturasi, yakni: (1) penerimaan (acceptance); (2)
penyesuaian (adaptation); (3) reaksi (reaction).
Dari praktik yang terjadi di Kecamatan Cisarua bahwa kedua
kemungkinan dari teori avruch memang terjadi, yaitu adanya perbedaan
budaya dapat mendorong ke arah konflik, sekaligus dengan adanya
perbedaan budaya dapat mengakibatkan adanya penyesuaian budaya yang
baru.
Untuk kemungkinan yang pertama, yaitu mengenai aspek perbedaan
budaya sebagai akibat dari potensi konflik, telah diungkapkan pada paragraf
awal sub bab 4.2.2.1 oleh beberapa informan diantaranya dari Desa
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 67
Batulayang, Desa Tugu Utara, dan Desa Tugu Selatan, bahwa potensi konflik
disini dapat dipicu karena adanya perbedaan budaya. Secara teknis temuan
yang ada di lapangan sebagian besar pertengkaran atau keributan warga
dengan para pengungsi seringkali disebabkan karena masalah perbedaan
etika, dan juga paham agama. Mengenai tahapan-tahapan yang terjadi di
lapangan, Ipda Nimrot selaku Kanit Intelkam Polres Bogor mengungkapkan,
bahwa tahapan konflik yang biasa terjadi karena pengungsi di Cisarua pada
awalnya berangkat dari norma etika dan susila, hingga pada akhirnya
berujung pada tindakan pidana.
Untuk kemungkinan yang kedua dari teori Avruch yaitu dengan adanya
perbedaan budaya dapat mengakibatkan adanya penyesuaian budaya yang
baru. Koentjaraningrat (2005) juga menambahkan mengenai akulturasi
budaya, disebutkan bahwa proses sosial yang timbul apabila sekelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur dari
suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima
dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan tersebut.
Menurut Ipda Nimrot, selain ada potensi kerawanan, tetapi beberapa
imigran belakangan ini sudah lumayan banyak yang bisa berbahasa
Indonesia meskipun tidak lancar, sudah ada beberapa interaksi antara para
imigran dan warga lokal, terlebih lagi para imigran yang sudah memiliki
keluarga, berbeda dengan para imigran yang memang usianya masih muda,
emosi mereka masih labil.
Selain itu bentuk akulturasi budaya di Kecamatan Cisarua banyak
dijumpai tempat-tempat yang bernuansa timur tengah, karena sampai saat ini
Kecamatan Cisarua banyak dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan dari
beberapa negara dari Timur Tengah. Ada salah satu tempat di Kecamatan
Cisarua yang terkenal dengan julukan kampong arab atau warung kaleng,
tepatnya yaitu di Desa Tugu Utara.
4.3.2 Pencegahan Konflik antara imigran dengan masy arakat lokal di
Cisarua, Kab. Bogor, Jawa Barat
Indonesia sampai saat ini belum menjadi anggota dari Konvensi
Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 dan juga tidak mempunyai
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 68
mekanisme penentuan status pengungsi. Oleh karena itu, selama ini Badan
PBB yang mengurusi pengungsi United Nations High Commissioner for
Refugees (UNHCR) yang memproses sendiri setiap permohonan status
pengungsi di Indonesia dengan dibantu badan internasional lain seperti
International Organization for Migration (IOM).
Bagi mereka yang ternyata memang pengungsi, UNHCR berupaya
mencarikan solusi yang berkelanjutan baginya, yang biasanya berupa
pemukiman kembali ke negara lain untuk mana UNHCR bekerja sama erat
dengan negara-negara tujuan. Per tanggal 1 Mei 2009 terdapat sekitar 439
orang yang diakui sebagai pengungsi, 821 orang pencari suaka dan 26 orang
lainnya yang menjadi perhatian UNHCR di Indonesia.
Kendati belum menjadi pihak dari Konvensi Pengungsi 1951,
pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah selama ini telah mendukung
proses-proses suaka tersebut dengan mengijinkan pencari suaka masuk ke
wilayah Indonesia, merujuk para pencari suaka ke UNHCR, dan mengijinkan
para pengungsi untuk tinggal di Indonesia sementara menunggu diperolehnya
solusi yang berkelanjutan. Contoh terakhir adalah bagaimana rakyat Aceh
dan pemerintah Indonesia bersedia menampung sementara pencari suaka
Rohingya dari Myanmar yang terusir oleh rezim junta militer Myanmar dan
dianggap sebagai tak punya kewarganegaraan
(stateless person).Tindakan pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah ini
patut dipuji. Ini adalah implementasi dari asas non refoulement dalam
Konvensi Pengungsi 1951 (tidak mengusir / memulangkan kembali ke negeri
asalapabila kondisi negerinya masih tidak kondusif). Langkah berikutnya
adalah membantu pemprosesan status para pengungsi tersebut dan tidak
sekali-sekali melakukan kekerasan terhadap mereka dalam segala
bentuknya.
Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah dengan dukungan TNI /
POLRI juga harus mencegah dan menindak keras para penyelundup manusia
asal Indonesia yang mengambil keuntungan dari penderitaan para pencari
suaka dengan cara memfasilitasi, memberikan transportasi, dengan
sembunyi-sembunyi maupun dengan cara menipu,mengantarkan orang ke
negeri lain melalui cara tidak resmi yang sekaligus melanggar hukum.
Apalagi, Indonesia telah menjadi pihak (party) dari Konvensi PBB tentang Anti
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 69
Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (UN Convention Against
Transnational Organized Crime2000) dengan meratifikasinya sejak April 2009
melalui UU No. 5 tahun 2009.
Berdasarkan data yang kami dapatkan, bahwa sejauh ini Indonesia
belum mengaksesi konvensi genewa tahun 1951 dan protokol tambahan
tahun 1967 tentang pengungsi, sehingga Indonesia tidak dapat melakukan
pengusiran dan exstradisi. Selanjutnya, sesuai dengan Prinsip Non-
Refoulement dalam Hukum Hak Asasi Manusia tentang Convention Against
Torture (CAT) pasal 3 disebutkan bahwa "tidak ada Negara / pihak yang
boleh mengusir, mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara
lain apabila ada alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu
dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan". Dengan kata lain, bahwa
Indonesia sebagai bagian dari dunia Internasional wajib menjunjung tinggi
prinsip-prinsip HAM tersebut.
Illegal migration merupakan suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah
tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap di suatu wilayah
melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sahatau melanggar atau
tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah secara sah.
Terdapat tiga bentuk dasardari imigran gelap, yaitu:
1. Yang melintasi perbatasan secara ilegal (tidak resmi).
2. Yang melintasi perbatasan dengan cara, yang secara sepintas adalah
resmi (dengan cara yang resmi), tetapi sesungguhnya menggunakan
dokumen yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi milik
seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan dokumen
remsi dengan tujuan yang ilegal.
3. Yang tetap tinggal setelah habis masa berlakunya status resmi sebagai
imigran resmi.
Dalam menanggulangi terjadinya kejahatan imigrasi, para petugas yang
terkait dalam menjalankan kewajibannya harus mempunyai dasar
pengetahuan tentang masalah keimigrasian. Tetapi dalam praktiknya, masih
banyak petugas yang kurang memahami masalah imigrasi sehingga
penyidikan terhadap kejahatan imigrasi kurang begitu efektif.
Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan
pengetahuan para petugas yang bersangkutan dengan jalan memberikan
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 70
upgrading atau pelatihan/pendidikan agar pengetahuan yang dimilikinya bisa
membuat para petugas melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dalam penelitian ini, penekanan kerjasama antar institusi dalam
menangani permasalahan pengungsian di Kecamatan Cisarua mejadi
indikator seberapa jauh deteksi dini pencegahan konflik terhadap pengungsi
ini berjalan. Menurut Institut Titian Perdamaian (2005:18) mengungkapkan
bahwa jaringan merupakan sumber informasi sekaligus area pertukaran
gagasan dan tindakan bersama dalam rangka pencegahan konflik. Penelitian
ini juga mengungkapkan bagaimana suatu jaringan saling berhubungan satu
sama lain dalam suatu sistem.
Sistem deteksi dini jua diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU nomer 7
tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, bahwa pencegahan konflik
dilakukan dengan upaya memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
membangun sistem penyelesaian perselisihan secara damai; meredam
potensi konflik; dan membangun sistem peringatan dini. Pada ayat (2) juga
ditegaskan bahwa pencegahan tersebut dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Ekspektasi dari penelitian ini yaitu adanya sistem jaringan yang saling
berhubungan dengan berbagai pihak, misalkan dari level para pengambil
kebijakan hingga level pelaksana, atau dari level pemerintah pusat hingga ke
daerah. Tetapi ada perbedaan dari hasil yang telah diperoleh dilapangan, dari
info beberapa informan yang ada, telah menunjukkan hasil bahwa sistem
peringatan dini dalam pencegahan konflik di tingkat lokal khususnya di
Kecamatan Cisarua sudah mulai bekerja, tetapi masih belum secara
maksimal hingga keseluruhan.
Dari informasi yang disampaikan oleh Karom, bahwa tingkat lokal masih
bisa ada koordinasi antar pihak desa, tetapi kalau cakupan yang lebih besar
hingga ke pemerintah pusat hampir tidak pernah. Pernah ada satu kali
pertemuan mengenai penanganan pengungsi kebetulan saya mengikutinya,
yang dibahas dalam rapat itu ya sama saja seperti pertanyaan yang diajukan
tadi, masalah peranan, bagaimana peran IOM, UNHCR, JRS, bagaimana
ketentuan di dalam konvensi, seperti itu saja. Menurut saya peran mereka
masih di belakang layar saja. Contoh kasus pernah ada pengungsi yang
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 71
meninggal di Desa Batulayang, ketika dihubungi pengurusannya lama, hingga
pihak desa sendiri yang menangani.
Edi Sutisna juga menambahkan, adanya kerjasama Desa Kopo dengan
pihak lain semisal dengan kantor imigrasi pada saat proses pendataan saja.
Kadang organisasi dari pusat seperti UNHCR, IOM juga datang untuk
membantu dan memantau jalannya pendataan tersebut. Untuk pemantauan
secara rutin memang jarang karena belum ada permasalahan yang cukup
serius hingga membutuhkan penanganan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Agus Kurnawan, bahwa
organisasorganisasi internasional pernah juga datang kesini sewaktu-waktu,
itupun hanya proses pendataan saja, serta pengecekan distribusi bantuan
dan semacamnya, karena pengungsi dan imigran tersebut merupakan
tanggungan mereka. Ketika ada permasalahan yang melibatkan para
pengungsi, kami selaku pihak desa Tugu Selatan tetap mencoba
menghubungi mereka, dan upaya yang sering mereka lakukan hanya
melakukan kontrol jarak jauh saja, menanyakan kondisi sehari-hari saja.
Nandar juga mengatakan hal yang sama, bahwa menurut undang-undang
pengungsi dilindungi oleh UNHCR, pemerintah desa Tugu Utara secara
otomatis dalam penanganan tidak bisa berbuat cukup banyak, kita pasrahkan
kepada mereka. Tetapi ada UNHCR dan beberapa organisasi lain sesekali
kesini untuk mengontrol dan mendata pengungsi yang ada di desa tugu utara.
Temuan dari penelitian ini sebetulnya sudah mengungkapkan bahwa
sistem peringatan dini pencegahan konflik yang ada di daerah sudah mulai
berjalan, indikatornya yaitu dilihat dari terhubungnya jaringan yang ada pada
tingkat lokal seperti kepolisian, TNI, kecamatan hingga desa sudah ada sitem
koordinasi. Indikator lainnya bahwa ketika ada kasus mengenai pengungsi di
tingkat lokal, para pihak yang ada bisa menyelesaikannya. Ketika di tingkat
desa tidak bisa mengatasi permasaahan tersebut, ada kepolisian (polsek) dan
dibantu TNI (Koramil) yang membantu. Dari pendapat beberapa informan,
terlihat ada kesenjangan antara para pihak yang melakukan penanganan di
tingkat daerah, dengan para pihak atau organisasi dari pusat.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 72
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Di Kecamatan Cisarua Kab. Bogor terdapat potensi konflik antara
imigran dengan masyarakat lokal. Sumber dari potensi konflik
tersebut terdiri dari aspek sosial budaya, hukum, ideologi.
Perbedaan budaya antara masyarakat lokal dengan imigran
tersebut tentu saja dapat memicu gesekan dalam kehidupan
sosial masyarakat. Di Kecamatan Cisarua ini terdapat imigran
yang menikah dengan penduduk lokal dan membuka usaha
mandiri. Hal ini menjadi polemik bagi pemerintah setempat
mengingat bahwa Indonesia hingga saat ini masih belum menjadi
anggota dari Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967
dan juga tidak mempunyai mekanisme penentuan status
pengungsi .
2. Penanganan potensi konflik antara imigran dan masyarakat lokal
di Cisarua dilakukan dengan cara mediasi, negosiasi, dan sistem
deteksi dini pencegahan konflik. Proses mediasi dan negosiasi
yang sudah dilakukan dalam penanganan potensi konflik imigran
di Cisarua, masih belum maksimal dikarenakan belum adanya
aturan pelaksanaan yang secara teknis mengatur tentang
penanganan masalah imigran. Sistem deteksi dini pencegahan
konflik dalam hal ini hanya berjalan di tingkat Kecamatan saja,
sedangkan di tingkat pusat dalam hal ini KEMENKOPOLHUKAM,
KEMENKUMHAM, KEMENLU, UNHCR, IOM, dan JRS tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga sistem deteksi
dini pencegahan konflik tersebut masih belum maksimal.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 73
5.2 Saran
1. Pemerintah Pusat
a. Desk P2MP2S KEMENKOPOLHUKAM, diharapkan adanya
komunikasi dan koordinasi dengan Kementerian yang dinaungi
oleh KEMENKOPOLHUKAM, dan juga melibatkan pemerintah
daerah, TNI, Kepolisian, serta BINDA dalam penanganan para
imigran yang ada di daerah khususnya di Kecamatan Cisarua.
b. Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, adanya
pembentukan aturan hukum yang secara spesifik mengatur
mengenai penanganan masalah pengungsi dan imigran, agar para
stakeholder mengetahui secara teknis bagaimana mengatasi
permasalahan tentang pengungsi dan imigran yang masuk ke
wilayah Indonesia.
c. Direktorat HAM dan Multilateral, Dirjen Multilateral Kementerian
Luar Negeri RI, melakukan koordinasi dengan UNHCR terkait
kebijakan dan kerjasama internasional, terutama dalam hal
hubungan bilateral dan multilateral terhadap negara-negara yang
terlibat pada proses pengungsian.
2. Organisasi Internasional khusunya UNHCR, IOM, JR S, dan CRS .
Agar melakukan koordinasi dengan pemerintah terkait di daerah
secara periodik untuk penanganan imigran. Memantau kondisi tempat
- tempat penampungan imigran di daerah-daerah terutama
community house dan melakukan evaluasi terhadap aktivitas para
imigran terkait dengan kearifan lokal, sosial budaya, dan hukum agar
tidak terjadi konflik dengan masyarakat. Melakukan sosialisasi dan
memberi pemahaman kepada masyarakat lokal terkait dengan
keberadaan imigran dan pengungsi, bagaimana ciri identitas
pengungsi, serta hak dan kewajiban yang didapat oleh pengungsi,
agar tidak terjadi penyalahgunaan identitas yang sering dilakukan
oleh pengungsi.
3. Pemerintah Daerah
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 74
a. Pemerintah Kecamatan Cisarua, Pemerintah Desa, Polsek, dan
Koramil, diharapkan membangun kerjasama dengan masyarakat
lokal di sekitar tempat penampungan imigran terkait dengan
sistem peringatan dini pencegahan konflik, masalah keamanan,
dan penanganan imigran.
b. Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, melakukan evaluasi secara periodik terhadap daerah-
daerah yang ditempati oleh imigran dan pengungsi. Melakukan
koordinasi dengan pemerintah di tingkat Kecamatan hingga Desa,
serta melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait
keberadaan imigran dan pengungsi beserta penanganannya.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 75
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Avruch, Kevin, 1998, Culture & Conflict Resolution, Washington DC: United
States Institute of Peace Press.
Badudu, Yus, 1994, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
Bungin, M. Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Christie, D.J., Wagner, R.V., & Winter, D.A. (Eds), 2001, Peace, Conflict, and
Violence: Peace Psychology for the 21st Century, Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice-Hall.
Creswell, John W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan. Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Institut Titian Perdamaian, 2005, MariMencegah Konflik: Memahami Sistem
Peringatan Dini Berbasis Jaringan Komunitas, Jakarta: Tim CEWERS &
Yayasan TIFA.
Ismayawati, Isye, 2013, Manusia Perahu: Tragedi Kemanusiaan di Pulau
Galang, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Poetra, Heddy Sri Ahimsa 2001, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya
Sastra, Yogyakarta: Galang Press.
Romsan, Ahmad, (Eds), 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional:
Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional,
UNHCR Perwakilan Regional Jakarta, Republik Indonesia, Bandung:
Percetakan Sanic Offset.
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Sujarweni, V.W., 2014, Metodologi Penelitian Lengkap, Praktis, dan Mudah
Dipahami, Yogyakarta: Pustaka Buku.
Supriyatno, Makmur, 2014, Tentang Ilmu Pertahanan, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Tan, Mely G, 2004, The Case Of The Ethnic Chinese, Ethnic Relations And
Nation Building In Southeast Asia, Singapore: ISEAS
UNHCR, 1992, An Introduction to the International Protection of Refugees,
Training Modul RLD I Juni.
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 76
UNHCR, 2007, Melindungi Pengungsi & Peran UNHCR, Geneva: UNHCR
Media Relation and Public Information Service
Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta: Sinar Grafika.
Artikel dan Jurnal
Krustiyati, Atik, 2012, Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian
Dari Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol 1967, UBAYA.
Prahenti, D.S., 2013, Dampak Singgahnya Pencari Suaka ke Australia
terhadap Peningkatan Kejahatan Transnasional di Indonesia,
Universitas Airlangga.
Suryokumoro et al. 2013. Urgensi Penanganan Pengungsi/Migran Ilegal Di
Indonesia Sebagai Negara Transit Berdasarkan Konvensi Tentang
Status Pengungsi 1951 (Studi Di Kantor Imigrasi Kota Malang). Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Perundang-undangan
Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi Mengenai Status
Pengungsi) 1951.
Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol Mengenai Status
Pengungsi) 1967.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 77
Dst s.d. Hal 4...
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 78
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 79
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 80
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 81
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 82
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 83
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 84
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 85
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 86
Dst s.d. Hal 10...
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 87
Laporan Hasil Penelitian Dosen Unhan 2017 88