global sisterhood sebagai konsep untuk integrasi imigran di prancis
TRANSCRIPT
1
Global Sisterhood sebagai Konsep untuk Integrasi Imigran di
Prancis
MAKALAH
Diselesaikan sebagai Ujian Akhir Semester mata kuliah Jender dalam Hubungan
Internasional
Oleh
Hana Maulida 1106063023
UNIVERSITAS INDONESIA
2013
2
Daftar Isi
Halaman Judul
Daftar Isi 2
Bab I Pendahuluan 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
D. Signifikansi Penelitian 5
E. Metodologi Penelitian 5
F. Kerangka Teoretis 5
G. Ruang Lingkup 6
Bab II Global Sisterhood sebagai Konsep Integrasi Imigran di Prancis 8
A. Imigran dan Modèle Républican d’Intégration 8
B. Global Sisterhood sebagai Konsep untuk Mengintegrasikan Imigran di Prancis 9
Bab III Kesimpulan 13
Daftar Pustaka 14
Lampiran 15
3
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
I. Poskolonialisme dan Feminis
Setelah masa kolonialisme berakhir, muncul sebuah fenomena yang
terjadi di masyarakat dunia ketiga. Fenomena yang ditimbulkan
pascakolonialisasi adalah munculnya hagemoni barat pada masyarakat dunia
ketiga. Kemunculan hagemoni tersebut tidak lepas dari kenyataan bahwa
dunia barat yang mengolonialisasi dunia ketiga secara tidak langsung
menunjukkan bahwa bangsa barat itu lebih baik daripada bangsa dunia ketiga.
Hal ini bagi sebagian besar masyarakat dunia ketiga menjadi ingin mencapai
apa yang telah dicapai oleh orang barat dan bahkan pergi ke negara-negara
dunia pertama untuk meningkatkan taraf hidup karena mereka meyakini
disana adalah sumber kesejahteraan.
Fenomena ini juga terjadi terhadap perempuan. Banyak perempuan
dunia ketiga yang bermigrasi ke dunia pertama untuk mencari pekerjaan
dengan pikiran bahwa mereka akan lebih sejahtera disana dibandingkan
tinggal di negaranya. Akan tetapi, faktanya berkata lain yakni mereka,
khususnya perempuan, justru hanya menjadi buruh. Mereka menjadi korban
dari sistem ekonomi kapitalis yang digunakan di dunia pertama. Para feminis
dunia pertama juga melihat bahwa perempuan dunia ketiga juga mengalami
opresi dari kebudayaannya sendiri sehingga terjadilah ‘double colonisation’
terhadap dunia ketiga. Dengan ini telah memperlihatkan adanya keberagaman
identitas perempuan di dunia dan dibutuhkan suatu solidaritas antarperempuan.
Dengan ini, Mohanty melihat bahwa dibutuhkan solidaritas feminis atau
global sisterhood sebagai solusi.
II. Imigran dan Proses Integrasinya di Prancis
Fenomena poskolonialisme ini juga terjadi di Prancis. Kita dapat
mengetahuinya melalui sejarah imigran di Prancis. Prancis dan imigran
memang memiliki sejarah yang panjang. Sebelum revolusi industri terjadi,
imigran yang datang adalah kaum bangsawan. Namun, sejak pascaperang
dunia II, imigran yang datang ke Prancis adalah masyarakat dari negara bekas
jajahan Prancis dengan motif ekonomi. Sejarah panjang Prancis dengan
4
imigran ini tidak lepas dari identitas Prancis sebagai la terre d’acceuille1
sehingga pascaperang dunia II Prancis menjadi negara yang begitu
menggiurkan bagi masyarakat dunia ketiga, khususnya negara bekas jajahan
untuk memperbaiki taraf hidup.
Menurut Le Haut Conseil d’Intégration2, imigran adalah orang yang
lahir di luar teritori Prancis dan masuk ke wilayah Prancis dengan niat untuk
tinggal dan menetap dalam teritori Prancis untuk waktu yang lama. Imigran
dapat menjadi warga negara Prancis dengan cara naturalisasi. (Miranda; 11-
12). Namun, di Prancis meski telah berganti warga negara menjadi seorang
Prancis ataupun keturunanya, mereka tetap disebut imigran oleh masyarakat
Prancis.
Sejak perang dunia II berakhir sampai pertengah tahun 1970, imigran
yang datang adalah laki-laki. Akan tetapi, sejak tahun 1974, imigran yang
datang adalah para perempuan beserta anaknya untuk berkumpul kembali
dengan suaminya yang telah terlebih dahulu ke Prancis. Di tahun 2008, satu
dari dua imigran adalah perempuan. Mereka ini mayoritas berasal dari negara
maghreb yaitu Tunisia, Maroko, dan Aljazair.3
Banyaknya imigran di Prancis tentu mendatangkan masalah baru.
Diantara masalah-masalah tersebut diantaranya adalah masalah integrasi
imigran. Imigran yang datang pascaperang dunia II sebagian besar telah
berganti kewarganegaraan serta memiliki anak dan cucu saat ini. Keberadaan
mereka di Prancis menjadi masalah karena jumlahnya yang terus meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini menjadikan Prancis sebagai negara yang
multikultural. Proses integrasi tentu menjadi poin penting di Prancis.
Pemerintah pun telah berusaha untuk mengintegrasikan kaum imigran dan
masyarakatnya dengan metode integrasi yang dinamakan Modèle Républican
d’Intégration (MRI). Namun sayangnya, MRI menemui kegagalan yang
disebabkan oleh beberapa faktor dan hingga saat ini integrasi imigran di
Prancis masih sebuah keniscayaan.
B. Rumusan Masalah
1 Prancis merupakan negara yang terbuka bagi siapa saja. Negara penerima.
2 Le Haut Conseil d’Intégration adalah instansi pemerintah Prancis yang mengurus dan memberikan pendapat,
atas permintaan Perdana Menteri atau kabinet, mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan integrasi warga asing dan/atau imigran. http://www.premier-ministre.gouv.fr 3 http://www.insee.fr/fr/themes/document.asp?ref_id=T12F039
5
Apakah realisasi konsep global sisterhood dapat memperbaiki proses integrasi
imigran di Prancis?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah konsep global sisterhood dapat menjadi
cara baru integrasi antara imigran dan orang Prancis mengingat bahwa hingga saat ini
integrasi imigran belum terealisasikan.
D. Siginifikansi Penelitian
Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan sebagai solusi dari permasalahan integrasi
imigran di Prancis yang hingga saat ini masih merupakan masalah yang belum
terpecahkan oleh pemerintah Prancis. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi awalan
untuk mempertimbangkan dan melanjutkan penelitian berikutnya untuk mengkaji
lebih dalam lagi apakah memang konsep global sisterhood memungkinkan untuk
integrasi.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi pustaka. Metode yang
digunakan adalah studi kasus.
F. Kerangka Teoretis
Dalam menjelaskan fenomena imigran di Prancis, saya menggunakan teori
feminis poskolonial yang diikuti oleh global sisterhood sebagai konsep yang
ditawarkan feminis untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam
poskolonialisme. Saya juga akan menggunakan konsep integrasi untuk melihat
seberapa besar kemungkinan realisasi global sisterhood untuk mengintegrasikan
imigran di Prancis tanpa meninggalkan karakteristik dari masyarakat Prancis itu
sendiri. Berikut akan saya jelaskan teori-teori yang saya gunakan
I. Feminis Poskolonial dan Global Sisterhood
Kolonialisme berdampak pada munculnya hagemoni barat di dunia
ketiga. Hagemoni ini dapat terlihat melalui banyaknya mayarakat dunia ketiga
yang bermigrasi ke negara dunia pertama untuk mencari pekerjaan. Mereka,
khususnya perempuan, setelah sesampainya disana hanya menjadi buruh di
6
pabrik yang memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal ini diakibatkan
oleh sistem ekonomi kapitalis yang digunakan.
Poskolonial juga telah melahirkan pembedaan terhadap kelas sosial
terutama di negara-negara dunia pertama. Pembedaan kelas sosial yang terjadi
bukan hanya berdasarkan pekerjaan tetapi juga berdasarkan ras, etnis, dan
gender. Perempuan berwarna, begitu masyarakat barat menyebutnya, banyak
menduduki kelas sosial rendah. Hal ini disebabkan selain karena pekerjaan
mereka tetapi juga karena ras dan etnis mereka yang berbeda sehingga mereka
kerap mendapatkan diskriminasi.
Bukan hanya teropresi pada sistem ekonomi global yang kapitalis dan
stereotipe, mereka juga teropresi dengan kebudayaan patriarki yang mereka
punya. Hal ini menunjukkan bahwa diantara perempuan di dunia terdapat
masalah yang berbeda. Identitas perempuan beragam bukan satu. Melihat hal
semua hal ini, Chandra Mohanty dalam ‘Under Western Eyes: Feminist
Scholarship and Colonial Discourses’ mengemukakan bahwa pentingnya
solidaritas feminis (global sisterhood) untuk mengatasi masalah ini.
Perempuan dunia pertama harus membantu perjuangan perempuan
dunia ketiga dan antarperempuan harus saling memberdayakan demi kemajuan
perempuan. Meskipun untuk mewujudkan hal ini masih terdapat sejumlah
tantangan seperti rasa kebangaan dan istimewa menjadi orang kulit putih, hal
tersebut tidak menjadi halangan berhubung berkembangnya konsep
multikulturalisme di negara-negara barat yang lebih mengakomodir etnis
minoritas. Sejalan dengan hal tersebut, ada tiga tahap kerja yang ditawarkan
Frankenberg, 1993, yaitu, reexamination of personal history, theoretical
transformation and political, and political engagement.
II. Konsep Integrasi
Integrasi adalah sebuah proses yang hanya bisa dibicarakan setelah
pelaksanaannya, untuk menetukan apakah proses itu berhasil atau tidak.
Integrasi adalah proses yang berangkat dari perbedaan paling radikal menuju
persamaan mutlak. (Miranda; 15)
G. Ruang Lingkup Penelitian
7
Penelitian ini dibatasi dari tahun 2000 hingga kini dan integrasi imigran yang akan
menjadi fokus dalam penelitian ini adalah imigran yang berasal dari benua Afrika,
baik utara maupun selatan. Pemilihan periode didasarkan pada dimulainya MRI. Saya
memilih imigran yang berasal dari benua Afrika disebabkan imigran Afrikalah yang
berjumlah paling banyak di Prancis dan dianggap paling sulit melakukan integrasi.
8
Bab II
Global Sisterhood sebagai Konsep Integrasi Imigran di Prancis
A. Imigran dan Modèle Républican d’Intégration
Imigran memang selalu menjadi masalah yang tidak terselesaikan hingga saat
ini di Prancis. Lambatnya pemerintah Prancis dalam menyadari permasalahan imigran
memberi dampak besar pada kondisi imigran saat ini. Ditengah sulitnya
menyelesaikan persoalan mengenai imigran, jumlah imigran ke Prancis justru
bertambah dari tahun ke tahun terutama dari negara-negara magribi (Aljazair, Maroko,
Tunisia). Permasalahan imigran di Prancis hampir mencakup semua aspek kehidupan.
Mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan, sampai masalah tempat tinggal.
Melihat ini semua, integrasi antara imigran dan orang Prancis harus dilakukan.
Pemerintah mengeluarkan cara untuk mengintegrasikan imigran warga negara
pribumi. Cara ini dikenal dengan nama Modèle Républican d’Intégration (MRI).
Dalam metode integrasi ini, imigran diharuskan berasimilasi secara individual
ke dalam nilai-nilai republikan Prancis. Dengan metode ini, diharapkan semua nilai-
nilai negara Prancis dapat terserap dengan baik ke dalam diri setiap individu imigran.
Untuk menanamkan hal tersebut, bidang pendidikan adalah bagian yang paling
penting karena nilai-nilai tersebut ditanamkan di sekolah. Keikutsertaan dengan
organisasi-organisasi politik/non-politik, angkatan bersenjata, atau klub olah raga juga
dianggap penting untuk menanamkan nilai-nilai Prancis. Hal ini berbeda dengan
konsep integrasi di Amerika Serikat dan Inggris yang menekankan pada
pengintegrasian secara komunal. Prancis justru menerapkan metode integrasi secara
individual. (Miranda; 16)
Titik akhir dari proses integrasi ini adalah ketika imigran telah menyerap
seluruh nilai-nilai republikan dan yang bisa menentukan apakah imigran telah berhasil
atau tidak adalah orang Prancis. Disini, masyarakat Prancis bersifat pasif. Mereka
hanya menunggu para imigran untuk menyatukan dirinya kepada mereka. Selain itu,
yang menentukan keberhasilan dari proses integrasi adalah orang Prancis.
Metode yang digunakan pemerintah Prancis ini, pada praktiknya, dapat
dikatakan gagal karena kondisi imigran yang tidak kunjung berubah setelah
penerapannya. Kondisi ekonomi imigran tidak membaik yang dibuktikan melalui
9
masih tetap banyak imigran yang bekerja pada kategori pekerjaan rendah dalam PCS4.
Begitu juga di bidang sosial, mereka tinggal di pinggiran kota (banlieue5) seakan
terperangkap dalam dunianya sendiri karena di lingkungan mereka hanya ada
sekumpulan imigran tanpa orang Prancis. Seringnya kerusuhan yang terjadi di
banlieue turut membuktikan bahwa MRI belum berhasil.
B. Global Sisterhood sebagai Konsep untuk Mengintegrasikan Imigran di Prancis
Fenomena kedatangan imigran ke Prancis dapat dijelaskan dengan lengkap
oleh teori pos-kolonial. Begitu juga dengan kondisi imigran di Prancis, khususnya
kaum perempuan, yang mendapatkan opresi berganda; budayanya dan sistem
ekonomi. Seperti yang telah saya paparkan dalam bab I mengenai pos-kolonial dan
global sisterhood bahwa perempuan dunia pertama dan perempuan dunia ketiga harus
saling membantu, saling memberdayakan agar perempuan terlepas dari segala macam
opresi seperti itu.
Melihat lahirnya gagasan global sisterhood dan permasalahan imigran di
Prancis yang semakin sulit setelah gagalnya proses integrasi menekankan bahwa
realisasi global sisterhood merupakan sebuah kebutuhan untuk diwujudkan,
khususnya di Prancis. Terdapat beberapa hal yang memungkinkan global sisterhood
untuk menjadi jawaban atas permasalahan integrasi di Prancis.
Pertama, konsep global sisterhood adalah perempuan dunia pertama
membantu perjuangan perempuan dunia ketiga dan bahwa sesama perempuan saling
memberdayakan demi kemajuan perempuan. Dari konsep ini, terlihat bahwa aksi
dimulai oleh perempuan dunia pertama yang dapat kita asosiasikan langsung dengan
perempuan barat/kulit putih kepada perempuan dunia ketiga yang bermakna
perempuan non-barat/kulit berwarna dan aksi ini bersifat dua arah. Dua hal ini adalah
konsep penting yang harus ada dalam sebuah proses integrasi. Ketiadaan dua hal ini
pulalah yang menjadi faktor gagalnya MRI. Itu memperlihatkan bahwa global
sisterhood dapat menjadi cara berintegrasi.
Namun demikian, satu hal yang tidak terlupakan bahwa konsep ini lahir atas
dasar rasa solidaritas diantara perempuan. Maka dari itu, kita harus melihat seberapa
4 PCS adalah Profession et Catégorie Socioprofessionnelle. PCS merupakan sistem pengelompokan jenis
pekerjaan di Prancis. Sistem ini digunakan untuk mengetahui status profesi masyarakat yang tinggal di Prancis, baik warga negara Prancis ataupun imigran. Statistik terlampir. 5 Banlieue atau dalam bahasa Indonesia adalah pinggiran kota merupakan tempat tinggal para imigran. Tidak
ada orang Prancis yang tinggal di daerah ini. Kata banlieue sering diasosiasikan dengan imigran, kumuh, dan tidak aman.
10
banyak perempuan imigran yang bekerja di Prancis dan bagaimana kondisi
perempuan Prancis sehingga konsep ini dapat diterapkan dan dalam hal ini perempuan
sebagai pelopor dan penggerak integrasi. Berdasarkan data dari INSEE6, sejak tahun
2008, satu dari dua imigran yang datang ke Prancis adalah perempuan. Mereka
biasanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pengurus anak, ataupun buruh
pabrik. Adapun kondisi perempuan di Prancis yang sudah sedemikian maju. Pasca-
PD II, perempuan mulai bekerja di sektor publik dan perjuang kesetaraan semakin
menjadi dan kondisi perempuan semakin maju setelah peristiwa Mei 19687 di Prancis.
Sejak saat itu, perempuan memiliki hak sepenuhnya terhadap dirinya, partisipasi
perempuan di ranah publik semakin meningkat, dan perempuan yang mengenyam
pendidikan tinggi semakin banyak bahkan melebihi tingkat partisipasi laki-laki.
Semua hal ini memperlihatkan bahwa paham feminis telah berkembang di Prancis dan
praktik global sisterhood dapat dilakukan.
Kedua, kesadaran para feminis pos-kolonialis akan keberagaman identitas
perempuan. Perempuan berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi
oleh perbedaan sejarah dan kebudayaan. Hal ini memperlihatkan bahwa feminis pos-
kolonialis telah membuka jalan untuk terjadinya dialog antar-budaya dimana mereka
menghargai identitas kultural antar-perempuan. Hal ini pulalah yang menjadi titik
lemah dari MRI yang juga merupakan faktor kegagalan integrasi imigran di Prancis.
Ketiga, sifat komunal dalam global sisterhood. Metode integrasi MRI yang
mengusung peleburan individu ke dalam nilai-nilai Prancis turut menjadikan proses
integrasi berlangsung sulit. Hal ini berbeda dengan global sisterhood yang mengusung
konsep komunal. Kemungkinan keberhasilan suatu proses integrasi dengan cara
komunal tentu lebih besar daripada individu. Hal ini telah terbukti di AS dan Inggris
yang memiliki konsep komunitaris dalam proses pengintegrasiannya.
Meskipun, konsep global sisterhood dapat menjadi jawaban atas semua faktor
kegagalan dan kekurangan dalam MRI bukan berarti global sisterhood lantas dapat
menjadi solusi bagi pengintegrasian imigran di Prancis. Kita harus
mempertimbangkan kondisi sosial dalam hal ini adalah bagaimana hubungan
6 INSEE merupakan singkatan dari Institut National de la Statistique et des Études Économiques. INSEE
merupakan badan statistik milik pemerintaha Prancis. 7 Peristiwa Mei 1968 adalah demo besar-besaran yang diawali oleh para mahasiswa. Demo ini kemudian
memberi efek domino kepada bidang lainnya termasuk perjuangan perempuan Prancis untuk mendapatkan kesetaraan dan kewenangan atas tubuhnya. Peristiwa ini mengakibatkan Presiden yang menjabat saat itu, Charles de Gaulle, harus mundur dari jabatannya.
11
masyarakat Prancis dengan imigran. Sekiranya terdapat dua hal yang menjadi
penghalang dalam mewujudkan konsep global sisterhood di Prancis.
Pertama, pandangan buruk dan xenophobia8 terhadap imigran. Tidak bisa
dipungkiri bahwa faktor kegagalan integrasi di Prancis selain kekurangaan yang ada
pada MRI adalah stereotip buruk terhadap imigran dan bahkan ada yang berujung
pada xenophobia. Bagi orang Prancis, imigran selalu diasosiasikan dengan kata
“masalah”. Imigran selalu dijadikan alasan bagi setiap terjadinya permasalahan di
Prancis. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda Eropa belakangan ini,
imigran dijadikan ‘sasaran empuk’ untuk menjelaskan faktor dibalik terjadinya krisis.
Fakta bahwa tingkat pengangguran tertinggi ditempati oleh imigran dan oleh karena
itu menjadikan beban pemerintah bertambah untuk memberikan jaminan sosial
kepada mereka dijadikan alasan utama dari krisis. Hal tersebut memang benar tetapi
dengan menitikberatkan pada keadaan tersebut tanpa memberi perhatian yang sama
dengan alasan lainnya menjadikan posisi imigran sulit. Padahal, Prancis seharusnya
berterima kasih kepada imigran karena yang membangun Prancis dari kehancuran
total pada Perang Dunia II hingga semakmur ini tidak lepas dari andil imigran9.
Melihat adanya pandangan buruk yang telah begitu melekat pada diri imigran
menjadikan realisasi konsep global sisterhood berkurang. Akan tetapi, dengan adanya
rasa solidaritas antara sesama perempuan dan pemikiran bahwa setiap perempuan
harus saling memberdayakan dapat mengurangi pandangan buruk yang melekat pada
imigran. Selain itu, kesadaran bahwa apa yang dilakukan oleh imigran (kerusuhan dan
angka pengangguran yang tinggi) adalah akibat dari sistem yang ada di Prancis akan
membuat perempuan Prancis mentolerasi bahkan memperjuangkan perubahan sistem
yang mengukung imigran. Kita harus menyadari bahwa kondisi perempuan di Prancis
telah sangat maju sehingga hal ini memungkinkan untuk dicapai.
Kedua, ketakutan Prancis akan hilangnya identitas mereka. Masalah identitas
adalah masalah yang hangat diperdebatkan di media Prancis belakangan ini ketika
membicarakan perihal imigran. Isu mengenai identitas pertama kali diangkat oleh
Jean-Marie Le Pen, mantan pemimpin partai politik Front National di Prancis yang
beraliran ekstrem kanan. Keberadaan imigran menjadi ancaman akan lunturnya
8 Xenophobia adalah ketakutan tanpa alasan terhadap orang asing.
9 Dalam sejarah imigran di Prancis, perubahan imgran yang masuk ke Prancis dari orang-orang Eropa menjadi
orang-orang Afrika (khususnya bekas jajahan Prancis) dimulai saat pasca-PD II. Saat itu imigran dari Afrika begitu diinginkan dan dibutuhkan karena sedikitnya SDM di Prancis akibat banyaknya yang tewas dalam perang dan kualitas imigran Afrika yang rendah sehingga dapat dibayar murah menjadi keuntungan tersendiri bagi para bos.
12
identitas nasional Prancis. (Vladescu, 2006; 6) Isu identitas ini yang dibawa Le Pen.
Contoh kecil dari krisisnya identitas Prancis adalah wajah tim nasional sepak bola
Prancis. Kita dapat melihat bahwa sedikit wajah Prancis dalam timnas sepak bola.
Wajah arab dan kulit hitam justru lebih banyak menghiasi wajah timnas Prancis.
Bukan hanya permasalah identitas being10
, Le Pen juga melihat bahwa Prancis mulai
mentolerir kebudayaan yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Prancis.
Salah satunya adalah penggunaan kerudung (simbol agama) di ruang publik11
.
Ketakutan terhadap terkikisnya identitas Prancis dapat menjadi alasan
mengapa dalam MRI tidak mengakui adanya keberadaan identitas kultural. Metode
MRI yang secara tidak langsung memperlihatkan arogansi orang Prancis dapat
dilatarbelakangi juga hal ini. Permasalahan identitas yang dibawa oleh Le Pen cukup
menarik perhatian masyarakat Prancis dalam melihat masalah imigran. Kebencian Le
Pen terhadap imigran ini didukung oleh fakta di lapangan yang memperlihatkan
keburukan imigran (tingginya angka pengangguran dan kriminalitas yang sering
dilakukan imigran). Akhirnya, isu identitas semakin mengukuhkan sterotip buruk dan
xenophobia terhadap imigran.
Global sisterhood memang dapat menjawab semua faktor kegagalan yang ada
dalam MRI dan bahkan hal ini turut didukung oleh kondisi perempuan Prancis yang
telah sedemikan maju dan feminisme yang telah sedemikian berkembang di Prancis.
Namun, disisi lain terdapat dua hal yang menjadi batu sandungan dalam mewujudkan
hal ini yaitu sterotip buruk dan xenophobia orang Prancis terhadap imigran dan
ketakutan akan hilangnya identitas nasional akibat semakin banyaknya jumlah
imigran di Prancis. Adanya hambatan ini membuat realisasi global sisterhood
mendapatkan tantangan. Penelitian lebih dalam sangat diperlukan untuk melihat
sejauh mana kedua hal ini menjadi aral melintang bagi terwujudnya integrasi di
Prancis.
10
Menurut Stuart Hall, 1990, Identitas terbagi menjadi dua macam yaitu identitas being dan identitas becoming. Identitas being adalah identitas yang tidak bisa diubah, contohnya ras, etnis, warna kulit, jenis kelamin. Sedangkan, identitas becoming adalah identitas yang dapat diubah. Misalnya, profesi. 11
Prancis adalah negara sekuler (laïque) dan hal ini telah menjadi prinsip negara Prancis (tercantum dalam pasal 1 Undang-Undang 1958 Prancis). Hal ini membuat penggunaan simbol-simbol agama di ruang publik tidak diperbolehkan.
13
Bab III
Kesimpulan
Fenomena imigran di Prancis pasca-PD II dapat dijelaskan dengan teori pos-kolonial.
Begitu juga dengan terjadinya peningkatan jumlah perempuan dunia ketiga (dalam hal ini
dari benua Afrika) yang bermigrasi ke Prancis dengan motifasi ekonomi terus meningkat.
Apa yang dijelaskan oleh teori feminis pos-kolonial tentang posisi perempuan dunia ketiga
memang menunjukkan bahwa diperlukan global sisterhood untuk saling memberdayakan
perempuan.
Realisasi konsep global sisterhood di Prancis bukan hanya berdampak bagi
peningkatan taraf hidup perempuan imigran di Prancis tetapi dapat menjadi pemantik bagi
pengintegrasian imigran dengan masyarakat Prancis. Kekurangan MRI dalam
mengintegrasikan imigran dapat tertutupi dengan konsep global sisterhood. Hal ini membuat
konsep persaudaraan antar-perempuan menjadi semakin memungkinkan untuk
pengintegrasian imigran. Ditambah lagi dengan kondisi perempuan Prancis yang telah
sedemikian maju dan konsep feminisme di Prancis yang berkembang pasca peristiwa Mei
1968 semakin menegaskan bahwa gerakan perempuan dapat menjadi pelopor bagi terjadinya
perubahan yang lebih baik dalam bidang sosial di Prancis. Namun demikian, konsep global
sisterhood tidak menjadi serta merta hal yang mudah untuk diwujudkan. Pandangan buruk
dan xenophobia terhadap imigran serta ketakutan akan hilangnya identitas nasional menjadi
hambatan yang harus dihadapi dalam mewujudkan global sisterhood sebagai konsep integrasi
di Prancis.
14
Daftar Pustaka
Mohanty, Chandra. 2003. Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial
Discourses. Dalam Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin (Ed.) The Post-Colonial
Studies Reader (hlm. 259-263). New York: Routledge.
Bernacchi, Erika. 2012. International Feminist Solidarity, A Possible Response to the
Postcolonial Crituque of Global Sisterhood?. Dalam Socheolas: Limerick Student Journal of
Sociology (Vol (4).1, hlm. 6-21). Limerick: University of Limerick.
Airin, Miranda. Masalah Integrasi di Prancis.
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/airin.miranda/publication/masalahintegrasidiprancis-amx.pdf
Diah, Kartini Lasman. 2010. Representasi Identitas Kaum Muda Imigran di Prancis dalam
Lagu Rapp Karya ROHFF. Depok; Universitas Indonesia. (Tesis)
http://www.insee.fr/fr/themes/document.asp?ref_id=T12F039 ,diakses pada 9 Desember 2013.
http://www.insee.fr/fr/themes/tableau_local.asp?ref_id=IMG3B&millesime=2010&niveau=1&nivge
o=METRODOM&codgeo=1 , diakses pada tanggal 23 Desember 2013
http://travail-emploi.gouv.fr/IMG/pdf/2012-077.pdf , diakses pada tanggal 23 Desember 2013
Vladescu, Eloisa. 2006. The Assimilation of Immigrant groups in France – Mythe or
Reality?. Jean Monet/Robert Schuman paper series, 5 (39).
15
Lampiran
Imigran Berdasarkan Kategori Sosioprofesional (PCS) dan Negara
Kelahiran – Prancis Metropolitan12
Sex : Perempuan
Pertani
an
Seniman,
Pedagang
, dan
Pemilik
Perusaha
an
Profesi
Intelek
tual
Superi
or
Profesi
Interme
diet
Karyaw
an
Buruh Pensiu
nan
Penganggu
ran
Total
Portugal 412 5 655 7 324 18 731 106 907 35
134
62 109 50 925 287
197
Itali 197 2 167 6 820 8 220 16 944 3 925 85 532 30 878 154
683
Spanyol 468 2 005 6 715 10 056 22 480 4 928 67 663 24 814 139
129
Negara
UE
Lainnya
2 112 10 587 38 837 49 713 57 738 11
580
103 423 108 477 382
466
Negara
Eropa
non-UE
364 2 532 9 639 14 392 25 334 8 450 21 243 52 375 134
328
Aljazair 78 3 935 11 384 24 784 86 977 21
851
46 223 152 262 347
494
Maroko 180 4 052 11 245 23 182 81 894 27
090
27 043 148 562 323
248
Tunisia 29 1 632 4 668 6 499 22 152 6 687 16 585 41 598 99 851
Negara
Afrika
Lainnya
223 5 647 14 143 33 754 139 268 31
848
12 895 121 831 359
608
Turki 63 2 196 1 678 4 464 16 428 14
278
7 154 68 007 114
268
Negara
Lain
354 11 676 37 289 45 788 94 762 31
214
30 197 159 645 410
925
Total 4 479 52 084 149 742 239 584 670 882 196
986
480 067 959 374 2 753
197
12
Prancis Metropolitan adalah wilayah Prancis yang ada di benua Eropa.
16
Sumber : Insee RP 2010 exploitation complémentaire