semangkuk kolak pisang buatan emak 2nd version

3
SEMANGKUK KOLAK PISANG BUATAN EMAK Hidup ini kejam. Hidup ini tak adil. Tuhan itu tak pernah ada. Kalau Tuhan Emak nyata kemana Dia selama ini? Dia tega membiarkan kita hidup di bawah garis kemiskinan, Mak!” Bentak Hidayat seraya menggebrak meja plastik yang ada dihadapannya. Hampir lah pecah meja itu dibuatnya. Meja satu- satunya yang menghiasi ruang tamu rumah Sapinah, atau yang biasa dipanggil tetangga sebagai Mak Nah. “Astagfirullahaladzim, istigfar kamu, Nak! Baru saja kamu menghina Allah Subhanahuwata’ala. Ingat dosa, Nak!” Sahut Mak Nah sambil memberdirikan posisi kursi plastik yang baru saja ditendang Dayat, anaknya. “Alaah..Mak..Mak..Tuhan kayak gitu aja dibangga-banggain. Tujuh belas tahun aku sholat, mengaji, puasa, sampai sekarang mana buktinya? Kita tetap miskin kan? Sudahlah Mak, aku bosan sholat, ngaji, puasa, tapi tetep gini gini aja, aku mau pergi saja dari sini. Aku lelah beribadah sama Dia, toh doaku biar jadi kaya gak pernah dikabulkan,” kata Dayat. Ia lalu membawa buntelan pakaian dan bergegas menuju sepeda ontel bututnya. Dayat memutuskan untuk pergi merantau, mencari kerja keluar kota untuk merubah nasib. Mak Nah yang tak rela ditinggal anaknya tergopoh-gopoh mencegah Dayat yang hendak merantau. “Nak! Mau kemana kamu, Nak? Jangan tinggalkan Emak disini sendirian, Nak!” Iba Mak Nah seraya memeluk tangan anaknya. “Ah..Mak ini jangan halangi aku lah!” Sergah Dayat mencekal tangan Emaknya lalu mendorongnya. “Mak! Aku ini bosan hidup miskin! Aku mau cari kerja di Jakarta dan Emak gak bisa menghalangi aku. Aku juga bosan beribadah sama Tuhan Emak itu. Aku mau mencari sendiri Tuhanku yang bisa kasih aku duit yang banyak. Bukan Tuhan Emak yang Cuma bisa ngasih kolak pisang tiap hari,” bentak Dayat pada Emaknya, lalu ia pun berlalu

Upload: thelord-horochimaru

Post on 29-Sep-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cuma cerpen biasa

TRANSCRIPT

SEMANGKUK KOLAK PISANG BUATAN EMAKHidup ini kejam. Hidup ini tak adil. Tuhan itu tak pernah ada. Kalau Tuhan Emak nyata kemana Dia selama ini? Dia tega membiarkan kita hidup di bawah garis kemiskinan, Mak! Bentak Hidayat seraya menggebrak meja plastik yang ada dihadapannya. Hampir lah pecah meja itu dibuatnya. Meja satu-satunya yang menghiasi ruang tamu rumah Sapinah, atau yang biasa dipanggil tetangga sebagai Mak Nah.Astagfirullahaladzim, istigfar kamu, Nak! Baru saja kamu menghina Allah Subhanahuwataala. Ingat dosa, Nak! Sahut Mak Nah sambil memberdirikan posisi kursi plastik yang baru saja ditendang Dayat, anaknya. Alaah..Mak..Mak..Tuhan kayak gitu aja dibangga-banggain. Tujuh belas tahun aku sholat, mengaji, puasa, sampai sekarang mana buktinya? Kita tetap miskin kan? Sudahlah Mak, aku bosan sholat, ngaji, puasa, tapi tetep gini gini aja, aku mau pergi saja dari sini. Aku lelah beribadah sama Dia, toh doaku biar jadi kaya gak pernah dikabulkan, kata Dayat. Ia lalu membawa buntelan pakaian dan bergegas menuju sepeda ontel bututnya. Dayat memutuskan untuk pergi merantau, mencari kerja keluar kota untuk merubah nasib.Mak Nah yang tak rela ditinggal anaknya tergopoh-gopoh mencegah Dayat yang hendak merantau. Nak! Mau kemana kamu, Nak? Jangan tinggalkan Emak disini sendirian, Nak! Iba Mak Nah seraya memeluk tangan anaknya.Ah..Mak ini jangan halangi aku lah! Sergah Dayat mencekal tangan Emaknya lalu mendorongnya. Mak! Aku ini bosan hidup miskin! Aku mau cari kerja di Jakarta dan Emak gak bisa menghalangi aku. Aku juga bosan beribadah sama Tuhan Emak itu. Aku mau mencari sendiri Tuhanku yang bisa kasih aku duit yang banyak. Bukan Tuhan Emak yang Cuma bisa ngasih kolak pisang tiap hari, bentak Dayat pada Emaknya, lalu ia pun berlalu bersama sepeda ontel bututnya menyusuri jalanan Kampung Waru yang kian menyepi diterpa angin malam.****Hujan itu kian lama kian deras. Titik-titik air mengalir dari muara jendela hati, menuruni bukit kulit tebal di pipi, dan jatuh tepat di atas mangkuk kolak pisang yang baru saja Dayat santap setelah kurang lebih 20 tahun ia mengutuk makanan itu. Matanya nanar, menerawang sesosok wanita tua yang telah lama ia lupakan. Yang dulu ia sia-siakan. Yang dulu pernah ia tinggalkan demi mencari penghidupan yang lebih layak. Emak..,ucapnya lirih. Dan satu kata yang baru saja ia ucapkan itu telah berhasil membuat hujan semakin deras. Memori di otaknya menyibak lembaran-lembaran kenangan pahit masa lalu. Penyesalan kini mulai melingkupi hatinya. Menerobos masuk ke relung jiwanya. Keheningan itu sesaat terpecahkan, kala suara lembut menyapa Dayat yang sedang asyik menggeluti dunianya dalam diam dan kesepian. Suara dari seorang wanita yang ia temukan dalam titik kejenuhan dan keputus-asaan yang kian membekapnya. Wanita itu bagaikan jelmaan surga dalam dunia yang mengingatkan Dayat untuk kembali ke jalan-Nya. Wanita itu telah berhasil membongkar kekufuran dalam dirinya. Dan wanita itu juga yang telah berhasil menyelamatkannya dari jurang kemaksiatan. Wanita itu bagaikan cahaya dalam hatinya yang gelap dan kelam, lentera yang tak pernah padam. Zulaikah, istrinya, yang baru setahun lalu dinikahinya. Dia pula yang kini membawa Dayat terjun kembali ke masa-masa sulitnya dulu, memutar memorinya melalui hidangan kolak pisang yang begitu sederhana namun berarti banyak untuknya. Mas? Kamu kenapa? Kok menangis? Ada apa dengan kolaknya? Kamu tidak suka ya? Tanya Zulaikah. Wajahnya semakin bingung karena tak ada jawaban apa-apa dari Dayat. Justru tangisnya semakin menjadi-jadi. Tangis penyesalan.Detik demi detik berlalu. Mereka masih bicara dalam diam. Zulaikah diam dalam tanya, dan Dayat diam dalam tangis. Lidah terasa kelu, tubuh terasa kaku. Tak ada yang dapat memecah senyap. Bahkan, dentingan jam pun tak mampu. Acara anniversary ulang tahun pernikahan mereka yang pertama menjadi keheningan yang tak definisi. Tiba-tiba sebuah suara parau keluar dari mulut Dayat,Aku harus pergi. Bergegas ia hapus air mata di pipinya dengan kedua tangannya lalu meraih kunci mobil dan melangkah keluar rumah. Zulaikah yang tak mampu bereaksi melihat kejadian yang begitu cepat berlalu di depan matanya itu, hanya bisa diam dalam ekspresi keheranan sekaligus kawatir akan apa yang menimpa suaminya. Ingin ia mencegah Dayat pergi, namun, ia tahu bahwa suaminya bukan orang yang suka di atur. Ia memilih untuk diam dan berdoa dalam hati, berharap tidak akan ada hal buruk yang terjadi.