selendang merah - yayasan masyarakat nusa...

4
1 C e r i t a I n k l u s i pendamping Edisi I/April-Mei 2016 www.samanta.id KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA K edua tangan Domi - sopir kami - dengan cekat- an memegang kemudi mobil yang kami tump- angi, baginya jalan berbatu menuju ke lokasi dampingan Samanta di Meorumba, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur adalah hal biasa. Roda mo- bil sepertinya paham kemana jalur yang akan dilalui. Pa- dahal kami yang ada di dalam mobil terombang-ambing. Bagi masyarakat Meorumba dan Mauramba kondisi jalan ini makanan sehari-hari jikalau menuju ke kota kabupat- en atau kecamatan. “Aduh..!...aduh...” jerit mbak Siska menahan rasa takut ketika sesekali mobil tidak mampu menaiki tanja- kan tajam atau sesekali antret mengambil ancang-ancang. Wartawati Kantor Berita ANTARA ini terlihat pucat pasi dan berkeringat dingin. Dari raut wajahnya kalau ia sa- ngat gugup. Wajar saja, terkadang roda- roda mobil HI- LUX ini berputar ditempat seakan beradu dengan keri- kil-kerikil yang berserakan tanpa aturan. Batu-batu talfod ukuran besar justru mengganggu pergerakan roda mobil, dan butuh kesabaran sang sopir agar tidak tergelincir di- luar jalur. Kalau dengan mobil saja sudah begitu susah, bagaimana jika dengan motor?. Perjalanan ini bukanlah perjalanan biasa, ini merupa- kan kegiatan “JOURNALIST VISIT PEDULI UNTUK MASYARAKAT ADAT YANG TEREKSLUSI DI SUM- BA TIMUR” yang diikuti oleh Tim Kemitraan, Utusan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Wartawan Antara, dan Wartawan Jurnal Nasional ke Desa Mauramba dan Meo- rumba. Dengan jarak tempuh sekitar 80 km dari Kota Waingapu, tim tak henti-hentinya mengagumi keindahan alam Sumba Timur, berkali-kali mengabadikan momen dan objek yang dilalui, manusia, rumah, kuda, pohon dan bentang alam, burung dan apa saja yang menarik untuk difoto, sehingga perjalanan yang biasanya dapat ditem- puh 2 jam molor menjadi 3 jam lebih. Kejutan kembali didapatkan rombongan ini. Mas- yarakat Desa Meorumba mengadakan penyambutan adat dan ada sekitar 200 orang yang hadir. Sungguh suatu diluar prediksi kami, walau kami sudah berkoordina- si untuk persiapan seperti tempat menginap, konsumsi dan rute kunjungan, tapi tak pernah terbayangkan ma- JOURNALIST VISIT PEDULI UNTUK MASYARAKAT ADAT YANG TEREKSLUSI DI SUMBA TIMUR Selendang Merah dari Sumba Timur Barisan para tokoh berpakaian adat lengkap mengiringi Kepala Desa Meorumba dengan diiringi Tarian Harama menyambut rombongan Tim Kemitraan dan wartawan na- sional maupun lokal ke Desa Meorumba, 22-25 April 2016. Sebaris gadis cank berpakaian adat membawa talam berisi empat helai selendang, Mas Yaury, mas Mering, mbak Siska dan saya dikalungkan selendang khas Sumba, bahkan wakil Bupa Sumba Timur pun tak mengalami momen ini. Bagi masyarakat Sumba Timur, penyambutan dengan Tarian Harama biasanya digunakan untuk menyambut para pahlawan usai dari medan peperangan. Masyarakat berarak sepanjang jalan sambil meneriakan yel- yel asli Sumba Timur yang di sebut kayaka. Gong dan tambur terus bertalu seirama gerakan kaki dan tangan penari mengayunkan pedang dan tombak. cerita Stepanus Landu Paranggi (Fasilitator Program Peduli)

Upload: lamhanh

Post on 25-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

Cerita InklusipendampingEdisi I/April-Mei 2016

www.samanta.id

The Asia Foundation

KEMENTERIAN KOORDINATORBIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

REPUBLIK INDONESIA

Kedua tangan Domi - sopir kami - dengan cekat-an memegang kemudi mobil yang kami tump-angi, baginya jalan berbatu menuju ke lokasi dampingan Samanta di Meorumba, Kecamatan

Kahaungu Eti, Sumba Timur adalah hal biasa. Roda mo-bil seperti nya paham kemana jalur yang akan dilalui. Pa-dahal kami yang ada di dalam mobil terombang-ambing. Bagi masyarakat Meorumba dan Mauramba kondisi jalan ini makanan sehari-hari jikalau menuju ke kota kabupat-en atau ke camatan.

“Aduh..!...aduh...” jerit mbak Siska menahan rasa

takut ketika sesekali mobil tidak mampu menaiki tanja-kan tajam atau sesekali antret mengambil ancang-ancang. Wartawati Kantor Berita ANTARA ini terlihat pucat pasi dan berkeringat dingin. Dari raut wajahnya kalau ia sa-ngat gugup. Wajar saja, terkadang roda- roda mobil HI-LUX ini berputar ditempat seakan beradu dengan keri-kil-kerikil yang berserakan tanpa aturan. Batu-batu talfod ukuran besar justru mengganggu pergerakan roda mobil, dan butuh kesabaran sang sopir agar tidak tergelincir di-luar jalur. Kalau dengan mobil saja sudah begitu susah, bagaimana jika dengan motor?.

Perjalanan ini bukanlah perjalanan biasa, ini merupa-kan kegiatan “JOURNALIST VISIT PEDULI UNTUK MASYARAKAT ADAT YANG TEREKSLUSI DI SUM-BA TIMUR” yang diikuti oleh Tim Kemitraan, Utusan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Wartawan Antara, dan Wartawan Jurnal Nasional ke Desa Mauramba dan Meo-rumba. Dengan jarak tempuh sekitar 80 km dari Kota Waingapu, tim tak henti-hentinya mengagumi keindahan alam Sumba Timur, berkali-kali mengabadikan momen dan objek yang dilalui, manusia, rumah, kuda, pohon dan bentang alam, burung dan apa saja yang menarik untuk difoto, sehingga perjalanan yang biasanya dapat ditem-puh 2 jam molor menjadi 3 jam lebih.

Kejutan kembali didapatkan rombongan ini. Mas-yarakat Desa Meorumba mengadakan penyambutan adat dan ada sekitar 200 orang yang hadir. Sungguh suatu diluar prediksi kami, walau kami sudah berkoordina-si untuk persiapan seperti tempat menginap, konsumsi dan rute kunjungan, tapi tak pernah terbayangkan ma-

JOURNALIST VISIT PEDULI UNTUK MASYARAKAT ADAT YANG TEREKSLUSI DI SUMBA TIMUR

Selendang Merahdari Sumba Timur

Barisan para tokoh berpakaian adat lengkap mengiringi Kepala Desa Meorumba dengan diiringi Tarian Harama menyambut rombongan Tim Kemitraan dan wartawan na-sional maupun lokal ke Desa Meorumba, 22-25 April 2016. Sebaris gadis cantik berpakaian adat membawa talam berisi empat helai selendang, Mas Yaury, mas Mering, mbak Siska dan saya dikalungkan selendang khas Sumba, bahkan wakil Bupati Sumba Timur pun tak mengalami momen ini. Bagi masyarakat Sumba Timur, penyambutan dengan Tarian Harama biasanya digunakan untuk menyambut para pahlawan usai dari medan peperangan. Masyarakat berarak sepanjang jalan sambil meneriakan yel- yel asli Sumba Timur yang di sebut kayaka. Gong dan tambur terus bertalu seirama gerakan kaki dan tangan penari mengayunkan pedang dan tombak.

cerita Stepanus Landu Paranggi (Fasilitator Program Peduli)

2

syarakat Desa Meorumba mengada-kan penyambutan adat yang sangat meriah ini. Samar-sama Kampung Uma Jawa, Desa Meorumba mulai terlihat Dari kejauhan bunyi gong dan tambur, alat kesenian tradisional Sumba sayup-sayup memggema me-mantul dicelah-celah lembah yang masih tampak menghijau. Ringkik kuda sandlewood berjalan perkasa diantara sekian kuda betina. Itulah ciri khas daratan Sumba yang bia-sanya disebut negeri kuda.

Sekitar lebih 500 meter lagi dari Kampung Uma Jawa, sekelompok penari menyambut kedatangan tTim Kemitraan. Penari lelaki dan perem-puan itu begitu lincah memainkan pedang dan tombak. Tarian ini ada-lah tarian khas pahlawan Sumba yang disebut Harama. Konon cerita tarian ini adalah sebuah tarian adat Sumba yang sering digunakan men-yambut para pahlawan ketika pulang dari medan perang tempo dulu. Ker-umunan manusia membuat kami berempat ibarat rusa yang terkepung pemburu. Masyarakat berarak sepan-jang jalan sambil meneriakan yel- yel asli Sumba Timur yang di sebut kay-aka. Gong dan tambur terus bertalu seirama gerakan kaki dan tangan pe-nari mengayunkan pedang dan tom-bak.

Kepala Desa Meorumba, Umbu Balla Nggiku menyambut kedatang-an Tim Jurnalistik diiring tokoh ag-ama serta dilakukan pengalungan empat selendang Sumba kepada rombongan. Sungguh...sebuah peng-hormatan yang luar biasa dari mas-yarakat. Tanpa sadar beberapa dari kami menitiskan air mata. Air mata kebahagiaan dan bangga, bahagia karena orang Sumba sangat meng-hormati siapa saja tamu yang datang asal denga niat baik. Bahagia kare-na sambutan secara budaya terha-

dap tim kemitraan menceritakan bah-wa budaya Sumba belum hilang di bumi Nusantara.

Tidak lama kemudian, sebaris perempuan seten-gah baya berjejer membagikan sirih dan pinang, se-buah tradisi bu-daya yang masih kental. Pemerian sirih pinang pada sang tamu menan-dakan bahwa kita diterima masuk

dalam rumah seseorang. Aroma sirih pinang berbaur dengan kepulan rokok daun berbalut pucuk lontar.

“Harus dimakan yah?” tanya mbak Siska sambil menimang-se-genggam sirih dan pinang.

“Paling tidak diambil dan di-genggam,“ jawab mas Yaury sudah faham dengan budaya setempat.

“Andainya tidak diambil sama sekali?” tanya Siska lagi ingin tahu.

“Dianggap tidak sopan dan tidak menghargai tuan rumah.” balas mas Mering.

Tak lama berselang, dua pasang wunang (juru bicara adat) duduk ber-simpuh di depan para tamu. Syair-syair bahasa sakral dalam lantunan merdu ibarat membaca puisi dengan intonasi yang cukup teratur. Baitan- baitan bahasa sastra ala Kromo Ing-gil Keraton Jogja memecah kehenin-gan malam. Pesannya adalah selain ucapan selamat datang untuk sang tamu, harapannya agar apa yang dili-hat, di dengar dan dirasakan tentang kondisi ril masyarakat Meorumba disampaikan kepada para pemimpin Negara.

Masyarakat Desa Meorumba bu-kan berharap akan mendapat hadiah dari Tim Kemitraan. Penyambutan ala budaya Sumba dengan prosesi adat sakral berirama syair adat baha-sa wunang (syair bahasa adat) bukan tanpa alasan..”Umbuuu....nama jan-ga ya na tana, nama ngadu ya na luku, pangga mu pataka aru kinya ,, lai ina mbulungu, i , ama mbulungu, jaka ng-gara ya na pa ilu mu la mata, nggara ya napa ndata mu la huratu.” Artinya “Umbu (panggilan terhormat untuk bangsawan) yang menjelajah bukit dan menelusuri sungai (Jurnalis dan Kemitraan ), sampaikanlah kepada Ibu Menteri maupun bapak Presiden, tentang kondisi kami masyarakat di Desa Meorumba. Demikian salah

satu pesan moral para juru bicara adat (wunang) dalam prosesi adat penerimaan tim pada malam itu

Animo masyarakat terhadap pro-gram Peduli sangat tinggi, tidak her-an ketika tim Kemitraan berkunjung ke desa ini kehadiran masyarakat justru diluar dugaan. Menurut ketua panitia penyambutan tim, Umbu Lay Ria jumlah warga yang makan pada malam tanggal 22 April 2016 ada 280 orang. Secara tidak langsung, kita dapat mengambil kesimpulan bah-wa sebanyak itulah yang masyarakat yang menyambut Tim Jurnalis dan Kemitraan. Malam itu di Desa Meo-rumba berubah terang benderang oleh cahaya listrik walau hanya gen-set pinjaman. Masyarakat dan pe-merintah desa kelihatan gembira, keiklasan dan ketulusan mereka jelas tergurat dari wajah-wajah penuh senyuman saat menyodorkan sirih pinang kepada sang tamu.

“Dari dulu belum ada penyam-butan secara budaya semeriah ini?” tanyaku

“Waktu pak Bupati datang saja belum begini.” itu bisik-bisik mas-yarakat setempat.

Terus apa yang membuat mer-eka sesemangat ini? Ada kesada-ran dari Pemerintah setempat dan masyarakat. Sadar kalau kehadiran Jurnalis adalah kesempatan untuk menyuarakan pendapat. Perubahan paling menyolok adalah antusias dari Pemerintah Desa mulai dari Kepa-la Desa dan perangkatnya. Mereka mampu dalam mengorganisir mas-yarakat dalam kunjungan tim. Perso-alan paling sulit dalam pendampin-gan LSM ditingkat desa adalah ketika Kepala Desa tidak mendukung pro-gram dan masyarakat tidak merasa memiliki program itu sendiri. Hal ini terjadi karena Pemerintah Desa dan masyarakat sangat memahami arah perjuangan program Peduli. Perubahan berikutnya adalah ketika masyarakat yang dulunya cenderung meminta dana kini berubah menjadi ingin tahu dan meminta solusi. Ber-beda pada 3-4 tahun sebelumnya, jangankan tamu dari Jakarta dengan LSM Lokal saja mereka bertanya ma-cam-macam.

Namun kali ini sangat berbeda, masyarakat lebih banyak bertanya dan mengeluh tentang kondisi kese-hatan, pendidikan, sarana dan prasa-rana. Sesekali mereka memohon ten-tang beberapa hal.

“Pak, mohon sampaikan pada pemerintah pusat agar mendorong pemda supaya jalan di Desa Meo-

Penyambutan rombongan oleh masyarakat Desa Meorumba.

3

rumba diperhatikan.” kata Bapak Dundu Kamendak dari Dusun Ta-natuku.

“ Kami ingin sekolahkan anak tetapi tenaga Guru PNS hanya satu orang bagaimana caranya?” Tanya ibu Maria di La kombu.

“Pak di Puskesmas Pemban-tu (Pustu) sering kehabisan obat, bagaimana solusinya?” tanya Kopa Maramba.

“Ibu wartawan, kami aliran ke-percayaan Marapu sering disebut kaf-ir.” kata Tunggu Jama.

“ Pak kami tinggal dalam ka-wasan hutan lidung tetapi tidak boleh bangun jalan, bagaimana kami bisa sejahtera? “ tanya Pak Goris.

Masih ada puluhan bahkan ra-tusan pertanyaan masyarakat yang disampaikan pada kunjungan tim Ke-mitraan. Mas Yaury dan Mering beru-saha memberi jawaban dan menawar-kan solusi pada masyarakat. Entah puas atau tidak puas dengan jawaban tersebut, masyarakat tetap saja men-gangguk tanda menghargai jawaban seseorang karena merasa dihargai.

Pernyataan sangat mengejut-kan dari masyarakat adalah sejak tahun 2002 sampai saat ini baru 500 meter ruas jalan Mauramba – Meo-rumba yang diaspal. Menurut mer-eka, setiap proses pembangunan sangat diwilayahnya sangat lamban dibandingkan dengan desa-desa lain disekitar mereka. Tidak saja pada pembangunan fisik tetapi termasuk pelayanan dasar.

“Kami sering jadi korban poli-tik,”.

“Pembangunan sering dikaitkan dengan besarnya dukungan terha-dap paket tertentu.” kata seorang ibu

yang tidak mau disebut namanya. Justru yang paling menarik kali ini, malah perempuan yang begitu berse-mangat untuk bersuara walau harus menggunakan penerjemah.

Benar atau tidak pernyataan ini kita tidak tahu, namun jelas Mau-ramba dan Meorumba masih jauh ketinggalan dibandingkan desa-desa lainnya. Jika menoleh pada sejarah desa, kedua desa ini merupakan desa tertua di Kabupaten Sumba Timur. Dahulu ke dua desa tersebut berada di wilayah Kecamatan Paberiwai. Be-berapa tahun kemudian Kecamatan Paberiwai di mekarkan lagi menja-di Dua Kecamatan yaitu Kecamatan Karera. Waktu itu Desa Mauramba dan Meorumba masih di wilayah Ke-camatan Paberiwai. Kemudian ada pemekaran kecamatan baru yang dibagi menjadi tiga wilayah lagi yaitu Kecamatan Matawai Lapawu dan Kecamatan Kahaungu Eti. Desa Mauramba dan Meorumba berada di wilayah Kecamatan Kahaungu Eti sampai sekarang. Benarkah semangat pemekaran wilayah untuk mendekat-kan pelayanan? Terus, kenapa desa pemekaran baru terkadang lebih maju dari desa induk? Pertanyaan ini mungkin menjadi pekerjaan rumah semua pihak terutama pemerintah.

Tumpukan persoalan dan kelu-han masyarakat pada malam itu di Dusun Jangga Meha benar-benar tel-ah tereksplorasi, tinggal bagaimana mengolahnya . Program Peduli seo-lah-olah sebagai malaikat penolong. Kehadiran media nasional tidak disia-siakan oleh masyarakat. Mas Yaury benar-benar di daulat oleh masyarakat sebagai duta mereka un-tuk menyampaikan persoalan – per-

soalan desa pada pemerintah pusat. Tidak sebatas pesan lisan, para pen-ganut keyakinan Marapu melakukan ritual hamayang kepada para leluhur agar tim Kemitraan diberi hikmat dan kebijakan dalam memperjuang-kan persoalan mereka.

Suasana haru berbalut sedih ter-gambar ketika masih di kampung Maukabunu, terutama para ibu. Mungkin saja selama i ni mereka belum pernah merasakan keakraban yang begtu erat dari orang luar.

“Dari dulu belum pernah ada orang Jakarta yang mau tinggal di rumah rakyat “.

“ Baru sekarang ada pejabat yang mau makan dirumah jelek’

Tak lama kemudian, mobil yang kami tumpangi mulai memanas-kan mesinnya. Berarti sebentar lagi kami hendak pulang ke kota. Se-bentar lagi kampung itu akan kem-bali sunyi berselimut gulita seperti biasanya. Puluhan pasang mata ke-lihatan berbinar,bahkan adayang su-dah menitiskan air bening. Mereka adalah perempuan-perempuan kam-pung yang kehilangan sahabat walau hanya dalam satu malam.

Dibalik rasa bangga dan bahagia, ada beban dalam hati saya, beban sebagai seorang fasilitator. Jika men-galungkan selendang kepada tamu adalah hal yang lumrah dalam bu-daya masyarakat Sumba. Namun jika masyarakat atau pemerintah desa turut mengalungkan selendang di leherku? Patut dicerna. Secara ekon-omis, harga sehelai selendang mun-gkin tak seberapa, tetapi yang aku pikirkan adalah bagaiman menghar-gai penghargaan masyarakat yang selama ini aku dampingi.(*)

Impian Kelompok Perempuan “Ndaku Mbuata Monung”

MASYARAKAT desa Meorumba masih layak disebut terisolir dan tertinggal. Untuk mencapai desa saja membutuhkan keberanian jika menggunakan kenda-raan roda. Buruknya sarana dan sarana transportasi

adalah salah satu faktor kesulitan untuk memperoleh akses in-formasi. Kondisi tersebut sangat berpengaruh pada minimnya pendapatan keluarga disebabkan semakin tingginya harga ke-butuhan pokok sedangkan komoditi masyarakat semakin murah.

Bukan saja masalah harga yang mahal, lebih parah lagi kalau stokter kebutuhan pokok seperti minyak tanah, bensin, beras, sabun, gula dan sebagainya tidak tersedia lagi di desa. Di desa Meorumba hanya ada satu buah kios yang terletak di Laitenggi, kalaupun ada yang coba jualan tidak ada yang bertah-

an lama, dua atau tiga bulan sudah gulung tikar. Permasalahan yang bangkrut bukan karena salah manajamen atau hancur kare-na ada yang bon barang. Masalahnya adalah transportasi. Tarif DAMRI Rp. 35.000 sekali jalan, berarti pulang pergi Rp.70.000 belum termasuk ongkos barang. Ongkos barang misalnya 1 doz super Mie Rp.5000. 1 karung bobot 50 kg, Rp. 10.000, kalau 1 karung 100 kg berisi wortel atau bawang merah Rp. 20.000 – Rp.25.000 tergantung isinya. Kalau sudah demikian, masyarakat jadi trauma untuk buka kios.

Kelompok Usah Bersama Simpan Pinjam ( UBSP ) Ndaku Mbota Monung di Labunggur, desa Meorumba berupaya mer-ubah kondisi merea. Kelompok yang awalnya hanya mengu-rus gotong royong dan usaha simpan pinjam, kini memperluas

4

dalam kelompok pemasaran, kalau ada ang gota, biar dia laki-laki tidak patuh pada AD/ ART dikasih keluar dari kelompok” sambungnya.

Perubahan yang luar biasa. Pe-rempuan yang selama ini tidak mengerti berorganisasi apa lagi aturan organisasi sudah mampu bersuara. Selain itu pada awalnya perempuan yang terakomodir da-lam kelompok ini 70% adalah buta huruf atau tidak bisa baca tulis, 30%nya tidak tamat SMP.

Tapi jangan keliru, mereka cuk-up mengerti dengan administrasi dan keuang an kelompok. Mereka cukup hafal yang namanya cara bagi pembagian sisa hasil usaha (SHU).

Mungkin hal inilah yang menarik per-hatian Kepala Desa Meorumba Umbu Balla Nggiku sehingga menyempatkan diri melakukan kunjungan khusus pada kelompok tersebut.

“Saya bangga dengan perempuan di Labunggur karena telah mengharumkan nama Desa Meorumba,” katanya di sela-sela pertemuan kelompok.

“ Silakan usulkan apa saja, saya siap mengakomodir.”

“Desa kita sudah punya uang banyak, dana sebanyak ini untuk masyarakat dan bukan untuk aparat Desa,” katanya penuh semangat.

Bahkan Kepala desa berjanji, jika tidak menyalahi petunjuk teknis penggu-naan dana desa, ia akan menambah mod-al kelompok pemasaran.

Pada kesempatan ini Kepala desa menyerahkan buku rekening dan cap kelompok pada kelompok perempuan Ndaku Mbuata Monung. Untuk diketahui, pada bulan Maret 2016, kelompok ini telah membuka rekening kelompok BRI. Se-lain kenyamanan dan keamanan penyim-panan uang, juga bermanfaat untuk mem-numbuh kembangkan budaya menabung pada masyarakat miskin. Sebahagian dari modal awal pembukaan rekening berasal dari pihak ke tiga ( yang enggan disebut namanya). Sedangkan pembuatan cap kelompok dibantu oleh pemerintah Desa, atas dasar inilah Kepala Desa menyerah-kan buku rekening dan cap secara resmi.

“Jika anda menanam jagung dari sebutir menjadi setongkol, saya yakin

saudari-saudari anggota kelompok mam-pu mejadikan uang yang sedikit ini menja-di banyak,” kata Kepala Desa.

Ada sebuah kutipan menarik dari kepala desa “Lebih baik kita jago mena-bung dari pada jago meminjam.” katanya yang disambut tepuk tangan peserta per-temuan.

Perubahan menarik pada kelompok ini tidak saja karena kesuksesan kelom-pok mempengaruhi kelompok lain dalam pemasaran bersama. Kelompok ini telah mampu menarik perhatian pemerintah desa yang selama ini tidak pernah terja-di. Hal itu diakui sendiri oleh Kepala Desa, “Sejak Kepala Desa terdahulu kelompok memang sudah ada tetapi belum pernah ada yang bertahan apa lagi punya impian besar seperti kelompok ini” katanya.

Hal ini juga yang membuat pemerin-tah desa pemalas untuk berkunjung apa lagi mendampingi karena mental kita pada tahun-tahun sebelumnya hanya mental menghabiskan. “Kita patut ber terima kasih kepada Program Peduli yang telah berha-sil melakukan revolusi mental, dari mental ingin mendapat bantuan, menghabiskan bantuan, dan meminta kembali bantuan” sambung kepala desa agak bercanda.

Umbu Nai Ndima, salah satu tokoh masyarakat di Labunggur, baru kali ini kepala Desa tertarik untuk hadir dalam pertemuan kelompok. Dulu Pemerintah Desa lebih sibuk dengan kegiatan-kegia-tan formal ditingkat pemerintahan. Selain itu mereka lebih tertarik memenuhi undan-gan keluarga atau upacara adat. Kalau pada hari ini Kepala Desa turut hadir da-lam kegiatan kelompok dan memberi moti-vasi serta dukungan itu adalah perubahan yang luar biasa katanya.

Kisah diatas adalah sebahagian kecil dari perjuangan kelompok dalam mem-pertahankan hidup. Melihat perubahan memerlukan waktu yang panjang dan pengorbanan. Namun apa yang dilakukan oleh pemerintah Desa merupakan langkah maju kedepan untuk mendorong keber-dayaan masyarakat miskin. Hal ini pent-ing, karena tanpa dukungan Pemerintah dan pihak lain akan sulit untuk mendapat-kan perubahan hidup masyarakat.

Fasilitator atau Program Peduli bu-kanlah dewa penyelamat, yang penting adalah bahwa masyarakat sudah be-rani memulai. Yang terpenting adalah bagaimana mengawal yang sudah ada agar tetap terpelihara. Strategi keberlan-jutan program yang sudah dirintis perlu terobosan dan keberanian. Sudah mer-upakan penyakit kronis kalau pendampin-gan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) sudah selesai semangat masyarakat mulai pudar bahkan hilang. Selain dari itu pergantian pemimpin ditingkat desa ser-ing mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat. (Yohanis Landu Praing)

usaha nya dengan usaha Kios kelompok.“Kios kelompok cukup membantu

ang gotanya dalam memperoleh kebutuh-an sehari-hari”.

“Kami tidak lagi meminjam direntenir” kata Ibu Kahi Ana Amah sebagai ketua.

Dalam proses distribusi barang se-cara gotong royong 12 anggotanya me-ngantar komoditi ke jalan raya sejauh ku-rang lebih 7 km untuk di angkut ke kota dan dipasarkan. Sekembali dari kota, mereka belanja sembako dan dijemput bersama 12 anggota untuk diangkut ke Labunggur. Begitulah seterusnya setiap minggu dua sampai tiga kali angkut ba-rang dengan berjalan kaki.

Berangkat dari kondisi inilah kelom-pok ini memiliki sebuah impian atau ci-ta-cita. Mereka mulai mempengaruhi kelompok lainya (kelompok laki-laki) untuk bersatu membangun kekuatan. Alasannya petani harus bersatu, untuk bersatu dibutuhkan suatu kekuatan yaitu kebersamaan. Tak tanggung-tanggung, 18 anggota kelompok laki-laki Ndaku Mbuata Monung melebur diri untuk membentuk 1 unit usaha. Usaha tersebut yaitu pemasa-ran komoditi bersama. Selain itu mereka memiliki keinginan untuk membentuk KO-PERASI atau sejenisnya.

Keberanian kelompok perempuan ini dipandang sebagai hal yang luar biasa. Luar biasa karena berhasil mempengar-ruhi orang lain , apa lagi yang dipengaruhi adalah laki-laki.

Tidak kuatir kalau berkelompok atau berusaha dengan laki- laki ?, tanya pak Stef dicelah-celah pertemuan kelompok.

“Tidak ada yang dikuatirkan , dalam kelompok ada aturan main” Ibu Since.

Pada 13 April 2016 SAMANTA melakukan pendampingan pada Kelom-pok Ndaku Mbota Monung yang tidak lagi hanya 12 anggota tetapi 30 anggota. 18 orang diantanya adalah laki-laki. Tujuan pertemuan ini adalah membentuk kelom-pok pengelola usaha pemasaran bersa-ma.

“SAMANTA tolong fasiltasi pembua-tan AD/ ART kelompok pemasaran,“ kata ibu Since sebagai sekretaris kelompok.

“Apa pentingnya AD?/ ART?”, tanya pak Stef.

“AD/ ART adalah undang-undang

Pertemuan kelompok perempuan “Ndaku Mbuata Monung” desa Meorumba