selasa, 31 januari 2017 utama perkuat …gelora45.com/news/sp_20170131_03.pdfalasannya, lembaga...

1
3 Suara Pembaruan Selasa, 31 Januari 2017 Utama [JAKARTA] Kasus dugaan suap yang menjerat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, mencermin- kan perlunya penguatan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Ke depan, keber- adaan Majelis Kehormatan MK diharapkan menjadi permanen, tidak sekadar memproses laporan atau pengaduan yang masuk. “Sekarang memang ada pengawasan internal MK yakni Dewan Etik. Namun, Dewan Etik ini tidak bisa menindak jika ada hakim konstitusi melakukan pelang- garan. Karena itu, kita dorong agar Dewan Eetik dileburkan atau dilikuidasi menjadi Majelis Kehormatan MK yang sifatnya permanen untuk mengawasi, mengadili, dan menindak hakim konstitusi yang melakukan pelanggar- an,” ujar peneliti Setara Institute Ismail Hasani, di Jakarta, Selasa (31/1). Pengawasan internal melalui Dewan Etik, menu- rutnya, selama ini sangat lemah. Akibatnya, ada hakim konstitusi yang tetap melang- gar kode etik tanpa ada tin- dakan korektif. Jika ditemu- kan pelanggaran berat, Dewan Etik membentuk Majelis Kehormatan MK untuk menindak hakim bersangkut- an, dengan memberikan rekomendasi sanksi baik berupa teguran sampai pem- berhentian dengan tidak hormat. “Jadi, Majelis Kehormatan MK ini sifatnya ad hoc. Maka kita dorong agar permanen sehingga Dewan Etik dilebur saja di Majelis Kehormatan MK tersebut,” jelas dia. Dia mengingatkan, MK merupakan lembaga negara yang memiliki desain kontrol yang sangat lemah. Berbeda dengan lembaga lain, seper- ti hakim Mahkamah Agung (MA) yang bisa diawasi oleh Komisi Yudisial atau Presiden, hakim MK sekarang tidak diawasi oleh KY, dan aturan terkait itu telah dibatalkan oleh MK itu sendiri. “Agar paralel dengan peran KY, sebaiknya KY diperkuat kembali untuk mengawasi hakim MK. Desain kontrol MK sangat lemah. Kalau MA lemah atau melang- gar UU, masih ada grasi dari Presiden seperti kasus Antasari. Jika DPR dan pemerintah salah dalam membuat UU, ada kontrolnya di MK. Sementara MK, tidak ada. Dengan kata lain terjadi absolutisme kekuasaan, dan ini membuka celah korup,” tandas Ismail. Pengawasan Eksternal Secara terpisah, Ketua MK Arief Hidayat dengan tegas menolak wacana peng- awasan eksternal. Alasannya, lembaga peradilan tidak boleh diawasi, karena nanti akan menjadi subordinat atau kedudukannya menjadi lebih rendah. Sebaliknya, dia menekankan perlunya sistem untuk menjaga keluhuran hakim. “Sekali lagi, saya tidak setuju dengan istilah penga- wasan, karena badan peradil- an tidak boleh diawasi. Sebab, nanti kalau diawasi (menjadi) subordinat, kita di bawah. Namun, itu namanya adalah bagaimana memperkuat supaya hakim Mahkamah Konstitusi bisa dijaga kelu- huran martabatnya sehingga tidak menyimpang dari etik dan tidak menyimpang mela- kukan pelanggaran-pelang- garan berikutnya yang lain- nya,” tegas Arief, Senin (30/1). Oleh karena itu, secara tidak langsung dia berharap wacana pengawasan eksternal tidak dimasukkan dalam revisi UU 4/2014 tentang MK. “UU MK sampai hari ini masih di tangan pemerin- tah untuk dilakukan revisi-re- visi dalam rangka penguatan independensi hakim MK. Kedua, dalam rangka untuk mengatur hukum acara Mahkamah Konstitusi. Ketiga, memperkuat kedudukan Dewan Eetik Mahkamah Konstitusi. Tetapi nanti ter- serah bapak-bapak dari DPR untuk perubahan itu,” ujarnya. Arief menambahkan, Patrialis Akbar telah menyam- paikan pengunduran diri setelah ditangkap KPK pekan lalu. “Mahkamah Konstitusi juga menerima surat ditulis tangan dari rekan kita Patrialis Akbar. Pak Patrialis Akbar menyatakan diri mengundur- kan diri dari jabatan hakim Mahkamah Konstitusi,” katanya. Dengan pengunduran diri tersebut, lanjut Arief, akan memudahkan proses persi- dangan etik yang tengah berjalan di Majelis Kehormatan MK. “Kalau mengundurkan diri sebenar- nya akan lebih mudah, dan satu minggu sudah selesai. Segera setelah itu kita mengi- rim surat kepada Presiden untuk dilakukan pengisian jabatan hakim yang baru, supaya nanti saat pilkada hakimnya sudah lengkap 9 orang,” ungkap Arief. Bentuk Pansel Sementara itu, Presiden Joko Widodo memastikan akan membentuk panitia seleksi (pansel) untuk memi- lih calon hakim konstitusi pengganti Patrialis Akbar. Keputusan tersebut agar pemilihan hakim konstitusi berjalan secara transparan. “Kita akan lakukan rek- rutmen dengan pola terbuka, dengan pansel, sehingga masyarakat bisa memberikan masukan-masukan. Saya kira cara itu yang akan kita laku- kan dan akan kita dapatkan yang mempunyai kualitas, integritas, dan kemampuan untuk duduk di Mahkamah Konstitusi,” ujar Presiden berdasarkan rilis dari Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Senin (30/1). Sedangkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly membenarkan mengenai pembentukan pansel. “Akan dilakukan secara terbuka dan transpa- ran,” kata Yasonna. [YUS/N-8/C-6] Perkuat Pengawasan Hakim Konstitusi [JAKARTA] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan telah memiliki bukti yang cukup saat melakukan operasi tang- kap tangan (OTT) terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar pada Rabu (25/1). Sebelum ditang- kap, Patrialis menerima suap di lapangan golf. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, sebe- lum ditangkap ketika bersama seorang perempuan di Grand Indonesia, Jakarta, pada pagi harinya, Patrialis bertemu rekannya, Kamaludin. Pertemuan terjadi di sebuah lapangan golf di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Dalam pertemuan itu, Kamaludin diduga membe- rikan uang suap dari Direktur Utama (Dirut) CV Sumber Laut Perkasa, Basuki Hariman, kepada Patrialis terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Ternak. “Pada pagi hari, PAK (Patrialis Akbar, Red), hakim MK, sudah bertemu dengan KM (Kamaludin, Red), pihak swasta yang diduga sebagai perantara kasus suap ini di lapangan golf kawasan Rawamangun. Sebelum OTT, mereka bertemu di sana. Pada saat itu indikasi transaksi terjadi,” kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Senin (30/1). Keyakinan adanya trans- aksi suap itu lantaran setelah bertransaksi, tim penyidik yang langsung mengamankan Kamaludin menemukan draf putusan MK Nomor 129 tentang Uji Materi UU Nomor 41 Tahun 2014. Draf putusan itu yang diduga ditransaksikan antara Patrialis dan Basuki. “Kemudian, dalam peris- tiwa setelah melakukan pengamanan terhadap KM, ditemukan draf putusan MK No 129, yang memang ingin dipengaruhi dalam indikasi suap yang diberikan tersebut. Tim juga sudah memastikan bahwa draf yang sudah ber- pindah tangan tersebut sama dengan draf asli yang ada di MK, yang belum dibacakan,” katanya. Dari Rawamangun itu, Tim Satgas KPK kemudian bergerak ke Sunter untuk mengamankan Basuki, yang diduga sebagai pihak pem- beri suap. Setelah menangkap Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, Tim Satgas KPK baru menangkap Patrialis di GI pada malam hari. “Indikasi suap adalah di pagi hari, ketika PAK berko- munikasi dengan KM di lapangan golf Rawamangun. Tim mempunyai pertimbang- an tersendiri untuk memas- tikan transaksi itu benar-benar sudah terjadi. Salah satu bukti yang meyakinkan tim adalah ketika penangkapan KM ditemukan draf putusan MK Nomor 129 yang menjadi objek persoalan utama. Setelah itu baru kami mengejar ke Sunter dan GI untuk menang- kap PAK,” kata Febri. Untuk itu, Febri mene- gaskan, penangkapan terhadap Patrialis sudah sesuai pera- turan perundang-undangan, meskipun saat ditangkap tidak ditemukan uang yang diduga telah diterima oleh mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) itu. Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebut- kan, tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana. Atau, dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Atau, sesaat kemudian dise- rukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau, apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Dokumen Keuangan Dalam konteks ini, kata Febri, OTT dilakukan KPK beberapa saat setelah peris- tiwa terjadi, karena indikasi (suap) terjadi di lapangan golf Rawamangun. “Kami sudah tahu ada pertemuan antara PAK dan KM sebagai peran- tara dan kami cek, benar, pada Rabu pagi ada pertemuan,” ujarnya. Febri menjelaskan, dalam OTT di tiga lokasi itu dite- mukan dokumen keuangan perusahaan Basuki yang memperkuat indikasi suap telah terjadi. Dalam dokumen tersebut tercatat uang keluar dari perusahaan dengan kode-kode tertentu dan pihak-pihak tertentu. ”Jadi, perlu dipahami bahwa OTT tidak selalu melibatkan atau menemukan uang di lokasi di OTT terse- but,” katanya. Sebelum pertemuan di Lapangan Golf Rawamangun, ujar Febri, KPK telah mengantongi bukti adanya pertemuan-pertemu- an yang dihadiri Patrialis untuk mengatur agar putusan MK terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 sesu- ai yang diharapkan Basuki. [F-5] Patrialis Terima Suap di Lapangan Golf SP/JOANITO DE SAOJOAO Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (berdiri kanan) menerima Wakil Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman (berdiri kiri) bersama anggota Komisi III DPR Lainnya untuk melakukaan rapat konsultasi di Gedung MK, Jakarta, Senin (30/1). Rapat tersebut membahas tentang kasus yang menjerat Hakim MK Patrialis Akbar juga terkait persiapan Pilkada Serentak.

Upload: vuque

Post on 06-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3Sua ra Pem ba ru an Selasa, 31 Januari 2017 Utama

[JAKARTA] Kasus dugaan suap yang menjerat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, mencermin-kan perlunya penguatan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Ke depan, keber-adaan Majelis Kehormatan MK diharapkan menjadi permanen, tidak sekadar memproses laporan atau pengaduan yang masuk.

“Sekarang memang ada pengawasan internal MK yakni Dewan Etik. Namun, Dewan Etik ini tidak bisa menindak jika ada hakim konstitusi melakukan pelang-garan. Karena itu, kita dorong agar Dewan Eetik dileburkan atau dilikuidasi menjadi Majelis Kehormatan MK yang sifatnya permanen untuk mengawasi, mengadili, dan menindak hakim konstitusi yang melakukan pelanggar-an,” ujar peneliti Setara Institute Ismail Hasani, di Jakarta, Selasa (31/1).

Pengawasan internal melalui Dewan Etik, menu-rutnya, selama ini sangat lemah. Akibatnya, ada hakim konstitusi yang tetap melang-gar kode etik tanpa ada tin-dakan korektif. Jika ditemu-kan pelanggaran berat, Dewan Etik membentuk Majelis Kehormatan MK untuk menindak hakim bersangkut-an, dengan memberikan rekomendasi sanksi baik berupa teguran sampai pem-berhentian dengan tidak hormat.

“Jadi, Majelis Kehormatan MK ini sifatnya ad hoc. Maka kita dorong agar permanen sehingga Dewan Etik dilebur saja di Majelis Kehormatan MK tersebut,” jelas dia.

Dia mengingatkan, MK merupakan lembaga negara

yang memiliki desain kontrol yang sangat lemah. Berbeda dengan lembaga lain, seper-ti hakim Mahkamah Agung (MA) yang bisa diawasi oleh Komisi Yudisial atau Presiden, hakim MK sekarang tidak diawasi oleh KY, dan aturan terkait itu telah dibatalkan oleh MK itu sendiri.

“Agar paralel dengan peran KY, sebaiknya KY diperkuat kembali untuk mengawasi hakim MK. Desain kontrol MK sangat lemah. Kalau MA lemah atau melang-gar UU, masih ada grasi dari Presiden seperti kasus Antasari. Jika DPR dan pemerintah salah dalam membuat UU, ada kontrolnya

di MK. Sementara MK, tidak ada. Dengan kata lain terjadi absolutisme kekuasaan, dan ini membuka celah korup,” tandas Ismail.

Pengawasan EksternalSecara terpisah, Ketua

MK Arief Hidayat dengan tegas menolak wacana peng-awasan eksternal. Alasannya, lembaga peradilan tidak boleh diawasi, karena nanti akan menjadi subordinat atau kedudukannya menjadi lebih rendah. Sebaliknya, dia menekankan perlunya sistem untuk menjaga keluhuran hakim.

“Sekali lagi, saya tidak setuju dengan istilah penga-

wasan, karena badan peradil-an tidak boleh diawasi. Sebab, nanti kalau diawasi (menjadi) subordinat, kita di bawah. Namun, itu namanya adalah bagaimana memperkuat supaya hakim Mahkamah Konstitusi bisa dijaga kelu-huran martabatnya sehingga tidak menyimpang dari etik dan tidak menyimpang mela-kukan pelanggaran-pelang-garan berikutnya yang lain-nya,” tegas Arief, Senin (30/1).

Oleh karena itu, secara tidak langsung dia berharap wacana pengawasan eksternal tidak dimasukkan dalam revisi UU 4/2014 tentang MK. “UU MK sampai hari ini masih di tangan pemerin-

tah untuk dilakukan revisi-re-visi dalam rangka penguatan independensi hakim MK. Kedua, dalam rangka untuk mengatur hukum acara Mahkamah Konstitusi. Ketiga, memperkuat kedudukan Dewan Eetik Mahkamah Konstitusi. Tetapi nanti ter-serah bapak-bapak dari DPR untuk perubahan itu,” ujarnya.

Arief menambahkan, Patrialis Akbar telah menyam-paikan pengunduran diri setelah ditangkap KPK pekan lalu. “Mahkamah Konstitusi juga menerima surat ditulis tangan dari rekan kita Patrialis Akbar. Pak Patrialis Akbar menyatakan diri mengundur-kan diri dari jabatan hakim

Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Dengan pengunduran diri tersebut, lanjut Arief, akan memudahkan proses persi-dangan etik yang tengah b e r j a l a n d i M a j e l i s Kehormatan MK. “Kalau mengundurkan diri sebenar-nya akan lebih mudah, dan satu minggu sudah selesai. Segera setelah itu kita mengi-rim surat kepada Presiden untuk dilakukan pengisian jabatan hakim yang baru, supaya nanti saat pilkada hakimnya sudah lengkap 9 orang,” ungkap Arief.

Bentuk PanselSementara itu, Presiden

Joko Widodo memastikan akan membentuk panitia seleksi (pansel) untuk memi-lih calon hakim konstitusi pengganti Patrialis Akbar. Keputusan tersebut agar pemilihan hakim konstitusi berjalan secara transparan.

“Kita akan lakukan rek-rutmen dengan pola terbuka, dengan pansel, sehingga masyarakat bisa memberikan masukan-masukan. Saya kira cara itu yang akan kita laku-kan dan akan kita dapatkan yang mempunyai kualitas, integritas, dan kemampuan untuk duduk di Mahkamah Konstitusi,” ujar Presiden berdasarkan rilis dari Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Senin (30/1).

Sedangkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly membenarkan mengenai pembentukan pansel. “Akan dilakukan secara terbuka dan transpa-ran,” kata Yasonna.[YUS/N-8/C-6]

Perkuat Pengawasan Hakim Konstitusi

[ J A K A RTA ] K o m i s i Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan telah memiliki bukti yang cukup saat melakukan operasi tang-kap tangan (OTT) terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar pada Rabu (25/1). Sebelum ditang-kap, Patrialis menerima suap di lapangan golf.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, sebe-lum ditangkap ketika bersama seorang perempuan di Grand Indonesia, Jakarta, pada pagi harinya, Patrialis bertemu rekannya, Kamaludin. Pertemuan terjadi di sebuah lapangan golf di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.

Dalam pertemuan itu, Kamaludin diduga membe-rikan uang suap dari Direktur Utama (Dirut) CV Sumber Laut Perkasa, Basuki Hariman, kepada Patrialis

terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Ternak.

“Pada pagi hari, PAK (Patrialis Akbar, Red), hakim MK, sudah bertemu dengan KM (Kamaludin, Red), pihak swasta yang diduga sebagai perantara kasus suap ini di lapangan golf kawasan Rawamangun. Sebelum OTT, mereka bertemu di sana. Pada saat itu indikasi transaksi terjadi,” kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Senin (30/1).

Keyakinan adanya trans-aksi suap itu lantaran setelah bertransaksi, tim penyidik yang langsung mengamankan Kamaludin menemukan draf putusan MK Nomor 129 tentang Uji Materi UU Nomor 41 Tahun 2014. Draf putusan itu yang diduga ditransaksikan antara Patrialis dan Basuki.

“Kemudian, dalam peris-

tiwa setelah melakukan pengamanan terhadap KM, ditemukan draf putusan MK No 129, yang memang ingin dipengaruhi dalam indikasi suap yang diberikan tersebut. Tim juga sudah memastikan bahwa draf yang sudah ber-pindah tangan tersebut sama dengan draf asli yang ada di MK, yang belum dibacakan,” katanya.

Dari Rawamangun itu, Tim Satgas KPK kemudian bergerak ke Sunter untuk mengamankan Basuki, yang diduga sebagai pihak pem-beri suap. Setelah menangkap Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, Tim Satgas KPK baru menangkap Patrialis di GI pada malam hari.

“Indikasi suap adalah di pagi hari, ketika PAK berko-munikasi dengan KM di lapangan golf Rawamangun. Tim mempunyai pertimbang-

an tersendiri untuk memas-tikan transaksi itu benar-benar sudah terjadi. Salah satu bukti yang meyakinkan tim adalah ketika penangkapan KM ditemukan draf putusan MK Nomor 129 yang menjadi objek persoalan utama. Setelah itu baru kami mengejar ke Sunter dan GI untuk menang-kap PAK,” kata Febri.

Untuk itu, Febri mene-gaskan, penangkapan terhadap Patrialis sudah sesuai pera-turan perundang-undangan, meskipun saat ditangkap tidak ditemukan uang yang diduga telah diterima oleh mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) itu.

Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebut-kan, tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan

tindak pidana. Atau, dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Atau, sesaat kemudian dise-rukan oleh khalayak ramai s e b a g a i o r a n g y a n g melakukannya. Atau, apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

Dokumen KeuanganDalam konteks ini, kata

Febri, OTT dilakukan KPK beberapa saat setelah peris-tiwa terjadi, karena indikasi (suap) terjadi di lapangan golf Rawamangun. “Kami sudah tahu ada pertemuan antara PAK dan KM sebagai peran-tara dan kami cek, benar, pada

Rabu pagi ada pertemuan,” ujarnya.

Febri menjelaskan, dalam OTT di tiga lokasi itu dite-mukan dokumen keuangan perusahaan Basuki yang memperkuat indikasi suap telah terjadi. Dalam dokumen tersebut tercatat uang keluar dari perusahaan dengan kode-kode tertentu dan pihak-pihak tertentu.

”Jadi, perlu dipahami bahwa OTT tidak selalu melibatkan atau menemukan uang di lokasi di OTT terse-but,” katanya. Sebelum pertemuan di Lapangan Golf Rawamangun, ujar Febri, KPK telah mengantongi bukti adanya pertemuan-pertemu-an yang dihadiri Patrialis untuk mengatur agar putusan MK terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 sesu-ai yang diharapkan Basuki. [F-5]

Patrialis Terima Suap di Lapangan Golf

SP/Joanito De SaoJoao

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (berdiri kanan) menerima Wakil Ketua Komisi iii DPR Ri Benny K Harman (berdiri kiri) bersama anggota Komisi iii DPR Lainnya untuk melakukaan rapat konsultasi di Gedung MK, Jakarta, Senin (30/1). Rapat tersebut membahas tentang kasus yang menjerat Hakim MK Patrialis akbar juga terkait persiapan Pilkada Serentak.