sekuritas sosial bagi orang lanjut usia (lansia) di...
TRANSCRIPT
SEKURITAS SOSIAL
BAGI ORANG LANJUT USIA (LANSIA) DI DESA BOTOLEMPANGAN
KECAMATAN BONTOA KABUPATEN MAROS
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar Magister
Pada Program Pasca Sarjana Studi Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Hasanuddin
Oleh :
MAKMUR
NIM : E042 17 1 010
PROGRAM MAGISTER ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
iii
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT, karena atas berkat Rahmat dan Ridho-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “ Sekuritas Sosial Bagi Orang
Lanjut Usia (Lansia) di Desa Botolempangan Kecamatan Bontoa
Kabupaten Maros”. Salam dan Sholawat semoga selalu tercurah kepada
Nabi Besar Muhammad SAW, manusia mulia yang insya Allah selalu
menjadi panutan dan suri tauladan hingga akhir hayat.
Mulai dari awal proses perkuliahan hingga selesai, banyak
tantangan dan hambatan yang penulis dihadapi, berkat bantuan doa dan
motivasi dari berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis dengan
tulus dan iklas menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Armin Arsyad, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar yang telah mendukung
aktivitas dan proses perkuliahan sampai selesai
2. Kepala Badan Litbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
telah memberikan izin belajar kepada penulis sehingga dapat
melanjutkan pendidikan di Program Magister Pacasarjana Antropologi
Universitas Hasanuddin.
iv
3. Dr. Muhammad Basir, MA. selaku Ketua Program Studi S2 Antropologi
Universitas Hasanuddin Makassar yang terus memberikan bimbingan
dan semangat kepada kami.
4. Prof. Dr. Mahmud Tang, MA. dan Dr. Safriadi, S.IP., M.Si, selaku
pembimbing 1 dan pembimbing 2 yang dengan penuh kesabaran telah
bersedia memberikan bimbingan, arahan, dan masukan mulai sejak
penyusunan proposal hingga penyusunan tesis.
5. Dosen penguji, bapak Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA., ibu Prof. Nurul
Ilmi Idrus, Ph.D., dan bapak Dr. Muhammad Basir, MA. yang telah
memberikan kritikan dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.
6. Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, seluruh peneliti, dan staf
yang selalu memberikan support untuk melanjutkan pendidikan di
Program Magister Pacasarjana Antropologi Universitas Hasanuddin.
7. Ayahanda tercinta H. Nurdin dan Ibunda tercinta Hj. Baji yang selalu
mendoakan anaknya agar dapat menyelesaikan pendidikan di
Program Magister Pacasarjana Antropologi Universitas Hasanuddin.
8. Buat Istriku Nurhajriani, S.Psi., dan anak-anakku tercinta Alya
Mukhbita dan Amirah Makmur yang selalu mendampingi, memberikan
doa dan menjadi penyemangat dalam hidupku.
9. Kepala desa bapak Muhammad Warif, S.Pdi, M.Pdi., seluruh
staf/perangkat desa, bapak Abd. Rahman penyuluh BKKBN, dan
seluruh informan beserta masyarakat Desa Botolempangan yang telah
memberikan izin dan membantu dalam proses penelitian.
v
10. Kepada bapak Irman, S.Sos dan ibu Ira yang telah memberikan
pelayanan administrasi di Pascasarjana FISIP Unhas dengan sangat
baik.
11. Teman-teman mahasiswa S2 Antropologi Universitas Hasanuddin
angkatan 2017 dan 2018 yang selalu memberi warna dalam setiap
moment perkuliahan. Terima kasih atas persahabatan, kekompakan,
dan kekonyolan serta keseruan kalian.
12. Kepala keluarga besar yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
terima kasih atas bantuan, doa, dan motivasinya semoga Allah SWT
membalas kebaikan kita semua.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pihak
yang berkepentingan, dan semoga amal ibadah dan kebaikan
bapak/ibu/saudari (i) mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah
SWT. Amiinn.
Wassalamu Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Penulis
Makassar, Agustus 2019
Makmur
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………. i
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………. ii
PRAKATA ……………………………………………………………………… iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………… vi
ABSTRACT …………………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL ……….……………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR…….……………………………………………………… xii
BAB I PENDAHULUAN .…………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
B. Permasalahan ……………………………………………………....... 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………... 6
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………………. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 8
A. Sekuritas Sosial …………………………………………………....... 8
1. Penelitian Terdahulu Tentang Sekuritas Sosial Tradisional…. 8
2. Sejarah Sekuritas Sosial ………………………………………… 10
3. Konsep Sekuritas Sosial ……………………………………....... 14
a. Sekuritas Sosial Secara Formal (Pemerintah) ……………. 16
b. Sekuritas Sosial Secara Tradisional (Informal) …………… 17
4. Sekuritas Sosial Dalam Perspektif Fungsionalisme ………….. 18
B. Lanjut Usia (Lansia) ………………………………………………….. 19
ix
1. Konsep Lanjut Usia Dalam Perspektif Budaya …………………. 19
2. Lansia Dalam Persektif Institusi Formal ……………………….. 24
3. Karakteristik Prilaku Lansia ………..……………………………. 25
4. Perubahan Pada Lansia …………………………………………. 26
C. Kerangka Pikir ………………………………………………………… 32
BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………………. 34
A. Jenis Penelitian ………………………………………………………. 34
B. Lokasi Penelitian …………………………………………………….. 35
C. Waktu Penelitian …………………………………………………….. 35
D. Informan ……………………………………………………………… 36
E. Sumber Data …………………………………………………………. 36
F. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………. 36
G. Analisis Data ………………………………………………………….. 37
H. Etika Penelitian ……………………………………………………….. 38
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………. 39
A. Asal Usul Nama Desa ……………………………………………….. 39
B. Sejarah Singkat Pemerintahan Desa ………………………………. 40
C. Kondisi Geografis …………………………………………………….. 45
D. Fasilitas Umum ……………………………………………………….. 46
E. Keadaan Penduduk …………………………………………….......... 46
F. Mata Pencaharian …………………………………………………….. 49
G. Sistem Kekerabatan ………………………………………………….. 51
x
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………….. 53
A. Kondisi Kehidupan Sosial Budaya Orang Lanjut Usia ……………. 55
1. Peran Lansia Dalam Keluarga …………………………………... 56
2. Lansia Dalam Kehidupan Masyarakat ………………………….. 66
B. Bentuk Sekuritas Sosial ……………………………………………… 70
1. Sekuritas Sosial Tradisional (Informal) ………………………… 71
2. Sekuritas Sosial Formal …………………………………………. 79
C. Konsepsi Pelaksanaan Sekuritas Sosial …………………………... 84
BAB VI PENUTUP …………………………………………………………… 90
A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 90
B. Saran – Saran ………………………………………………………… 93
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penduduk Desa Botolempangan berdasarkan kelompok
umur dan jenis kelamin …………….……………………………………….. 44
Tabel 2. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Botolempangan…………… 47
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pikir ……………………………………….…………… 33
Gambar 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Botolempangan …... 44
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siklus pertumbuhan dan perkembangan manusia berlangsung
secara bertahap, mulai dari janin, bayi, balita, remaja, dewasa hingga
masa tua. Proses menua berlangsung secara alamiah, terus menerus dan
berkesinambungan. Pada akhirnya akan menyebabkan perubahan
anatomi, fisiologi dan biokimia pada jaringan tubuh sehingga
mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan
(Kemenkes RI 2012:4).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi
di dalam kehidupan manusia. Di masa usia tua seseorang mengalami
kemunduran mental dan fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur,
rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan bentuk tubuh yang
tidak proporsional, sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari
lagi dengan baik (Kholifah 2016:5).
Menurut World Health Organization (WHO) lanjut usia
dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu, usia pertengahan atau pra
lansia (45-59 tahun), lanjut usia muda (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90
tahun), dan lanjut usia sangat tua di atas 90 tahun (WHO 2002). Di
Indonesia, defenisi tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menetapkan bahwa
2
batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas (Undang-
Undang 1998:3).
Populasi orang berusia di atas 60 tahun sedunia sekarang berada
disekitar 700 juta orang atau 12.3% penduduk dunia (Senjaya 2016:1;
Suratno 2016:1). Indonesia menempati urutan keempat terbanyak
penduduk lansia setelah RRC, India dan Amerika Serikat (Sutikno
2011:1), ini merupakan indikator keberhasilan pembangunan di bidang
kesehatan karena banyak orang berusia lanjut (lansia) menujukkan angka
Umur Harapan Hidup (UHH) semakin meningkat.
Pesatnya peningkatan lansia di Indonesia merupakan hasil dari
suatu proses dinamika kependudukan yang di mulai pada awal 1900-an
dan masih berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan sensus penduduk
tahun 1971, jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas sebesar 5,3 juta
(4,5%) dari jumlah penduduk. Selanjutnya pada tahun 1980 jumlah
penduduk ini meningkat menjadi 8 juta (5,5%), tahun 1990 meningkat
menjadi 11.3 juta (6,4%), tahun 2000 meningkat menjadi 15,3 juta (7,4%),
pada tahun 2010 meningkat 18,04 juta (7,59%) dan pada tahun 2017
meningkat 23,4 juta (8.97%) dari penduduk Indoensia (BPS 2017:11-13;
BPS 2010:20; Titus et al. 2013:2).
Proyeksi data World Health Organization (WHO) memperkirakan
tahun 2025 jumlah lansia di seluruh dunia akan mencapai 1,2 miliar orang
dan akan terus bertambah hingga 2 miliar orang di tahun 2050. Data
World Health Organization (WHO) juga memperkirakan 75% populasi
lansia di dunia pada tahun 2025 berada di negara berkembang (Ferdian et
3
al. 2015:310). Jumlah penduduk lansia di Indonesia diprediksi pada tahun
2020 sebanyak 27,08 juta, tahun 2025 sebanyak 33,69 juta, tahun 2030
menjadi 40,95 juta dan tahun 2035 terus bertambah sekitar 48,19 juta
(Kemenkes 2017:1). Fenomena tersebut tidak lepas dari era baby boom
pada tahun 1970-an yang mulai bergeser menjadi penduduk produktif, dan
nantinya akan menjadi penduduk lansia.
Peningkatan populasi lansia menunjukkan bahwa Umur Harapan
Hidup (UHH) lansia juga meningkat. Pada saat ini Umur Harapan Hidup
(UHH) di Indonesia sekitar 72 tahun, dan umumnya perempuan lebih
tinggi dari pada laki-laki (Abikusno 2013:25). Hal ini di satu sisi merupakan
indikator keberhasilan pencapaian pembangunan nasional terutama di
bidang kesehatan, namun di sisi lain dapat menimbulkan permasalahan
jika lansia tidak mendapatkan layanan kesejahteraan dengan baik
(Kholifah 2016:1; Dehe et al. 2016:235).
Penanggulangan terhadap berbagai kesulitan yang dialami oleh
lansia, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberi kepastian
layanan kepada lanjut usia di antaranya tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia, yang antara lain meliputi: 1)
Pelayanan keagamaan dan mental spiritual seperti pembangunan sarana
ibadah dengan pelayanan aksesibilitas bagi lanjut usia; 2) Pelayanan
kesehatan melalui peningkatan upaya penyembuhan (kuratif), diperluas
pada bidang pelayanan geriatrik/gerontologik; 3) Pelayanan untuk
prasarana umum, yaitu mendapatkan kemudahan dalam penggunaan
4
fasilitas umum, keringanan biaya, kemudahan dalam melakukan
perjalanan, penyediaan fasilitas rekreasi dan olahraga khusus; 4)
Kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum, seperti pelayanan
administrasi pemerintah (kartu tanda penduduk seumur hidup), pelayanan
kesehatan pada sarana kesehatan milik pemerintah, pelayanan dan
keringanan biaya untuk pembelian tiket perjalanan, akomodasi,
pembayaran pajak, pembelian tiket rekreasi, penyediaan tempat duduk
khusus, penyediaan loket khusus, penyediaan kartu wisata khusus,
mendahulukan para lanjut usia (Kemenkes 2016:2; Suratno 2016:1).
Implementasi peraturan pemerintah tersebut diwujudkan dalam
program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pada lansia
yaitu dengan dibentuknya posyandu lansia, pelatihan kader usia lanjut
dibidang kesehatan, pembinaan senam bugar lansia, pembentukan
kelompok Bina Keluarga Lansia (BKL), serta memperlakukan KTP seumur
hidup. Diharapkan dengan adanya pelatihan yang dilakukan oleh
pemerintah maka kualitas hidup lansia akan meningkat dan menjadi lebih
baik.
Realisasi program pemerintah seperti layanan posyandu khusus
lansia masih jauh dari harapan. Hasil penelitian yang dilakukan Metkono
et al. (2017:59:67) di posyandu Puskesmas Getasan Kota Semarang
Provinsi Jawa Tengah dan Suratno (2016:61-64) di posyandu Dusun
Krekah Desa Gilangharjo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul Daerah
Istimewa Yogyakarta, memperlihatkan redahnya minat lansia untuk
memanfaatkan fasilitas layanan posyandu seperti pemeriksaan kesehatan
5
dan olah raga senam untuk lansia. Pada hal olahraga dan melakukan
pekerjaan rumah secara teratur dapat meningkat status kesehatan lansia
(Abdi et al. 2017:272-280).
Sementara program Bina Keluarga Lansia (BKL) terus digalakan,
agar dukungan keluarga dapat meminimalkan kondisi perubahan fungsi
fisik lansia dan dapat membantu respon lansia kearah yang lebih adaptif.
Dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan respon
psikososial pada lansia, melalui komunikasi reguler, dukungan emosional,
dukungan interaksi sosial, dukungan melalui upaya mempertahankan
aktifitas atau kegiatan rumah tangga yang masih mampu dilakukan lansia
(Nugroho 2007:45-57; Sutikno 2011:1-46).
Secara umum, jangkauan program pemerintah masih sangat
terbatas, seperti rumah tangga lansia penerima beras sejahtera (rastra)
dalam empat bulan terakhir di tahun 2017 yaitu sebesar 42,63%. Kartu
Perlindungan Sosial (KPS) yang digantikan oleh Kartu Keluarga Sejahtera
(KKS) baru sebesar 17,38%. Jaminan sosial hanya diberikan kepada para
peserta sesuai dengan kontribusinya berupa premi atau tabungan yang
dibayarkannya seperti jaminan pensiun/veteran, jaminan hari tua, asuransi
kecelakaan kerja, asuransi kematian, dan pesangon PHK sebanyak
12.63%. Program Keluarga Harapan (PKH) selama tahun 2017 rumah
tangga lansia yang masih tercatat/menjadi penerima PKH yaitu sebesar
4,25%. Jaminan kesehatan baru menjangkau 63,24% lansia (BPS
2017:75-85).
6
Mengingat kondisi fisik dan kesehatan lansia yang sangat terbatas,
serta minimnya jangkauan jaminan atau perlindungan sosial secara formal
yang diberikan oleh pemerintah, maka sangat penting untuk mencari
potensi perlindungan sosial bagi orang lanjut usia secara
tradisonal/informal. Maka fokus penelitian ini ialah melihat lansia dari
perspektif budaya khususnya pada pelaksanaan sekuritas sosial secara
tradisional bagi lansia yang dilakukan oleh masyarakat baik itu keluarga
inti, keluarga luas, kelompok keluarga, dan lembaga keagamaan untuk
mengatasi kesulitan yang dialami oleh lanjut usia, terutama dalam hal
pemenuhan kebutuhan pokoknya. Serta melihat implementasi program
pemerintah khusus bagi lansia.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka masalah
pokok yang akan diteliti ialah :
1. Bagaimana keadaan sosial budaya orang lanjut usia (lansia) di
Desa Botolempangan?
2. Bagaimana bentuk sekuritas sosial untuk warga lanjut usia di Desa
Botolepangan?
3. Konsepsi apa saja yang mendasari pelaksanaan sekuritas sosial di
Desa Botolepangan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan keadaan sosial budaya orang lanjut usia
(lansia) di Desa Botolepangan.
7
2. Untuk mendeskripsikan bentuk sekuritas sosial dalam rangka
mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat lanjut usia
(lansia) di Desa Botolepangan.
3. Untuk menganalisis konsepsi-konsepsi yang mendasari
pelaksanaan sekuritas sosial di Desa Botolepangan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademiknya sebagai sumbangan dalam ilmu-ilmu sosial
khususnya mengenai masalah sekuritas sosial secara tradisional
dan tentang orang lanjut usia (lansia).
2. Manfaat dari segi praktisnya sebagai sumbangan informasi dalam
upaya mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh lanjut usia (lansia),
serta memberikan informasi kepada semua kalangan tentang
kehidupan orang lanjut usia (lansia).
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sekuritas Sosial
1. Penelitian Terdahulu Tentang Sekuritas Sosial Tradisional
Sekuritas sosial tradisional dapat di lihat sebagai suatu pendekatan
fungsional, yaitu berbagai tindakan atau bantuan dari berbagai pihak untuk
dapat mengatasi kesulitan, khususnya kebutuhan dasar bagi anggota
masyarakat. Hal tersebut dapat di lihat dalam penelitian Amirullah (2001),
membahas berbagai bentuk sekuritas sosial dalam komunitas petani
sawah di Desa Tinggimae Kecamatan Pallanga Kabupaten Gowa. Seperti
pemberian lahan garapan bagi orang yang tidak memiliki sawah (Tesang),
saling memberi bibit yang dianggap bagus, saling bantu membantu dalam
proses penanaman padi, pemeliharaan sampai tahapan panen padi.
Implementasi pelaksanaan sekuritas sosial secara
tradisional/informal yang dilakukan oleh masyarakat, juga terlihat pada
tradisi upacara akkattere dalam komunitas adat Kajang di Bulukumba
yang dikemukan dalam penelitian Anwar (2010). Tradisi akkattere
merupakan tradisi pemotongan rambut yang menyerupai pelaksanaan
tahallul di tanah suci yang dilakukan oleh komunitas adat Kajang (ilalang
embayya). Pelaksanaan tradisi akkattere membutuhkan biaya, tenaga,
serta makanan yang banyak karena melibatkan berbagai pihak. Sikap
tolong menolong (situlung-tulung) dan saling menasihi (sipetta-petta)
9
antara warga masyarakat merupakan solusi bagi pihak yang
melaksanakan tradisi upacara akkattere.
Sementara dalam penelitian Ramdani (2015) melihat, sekuritas
sosial dalam relasi kerja antara pengusaha kepiting dengan pekerja anak
perempuan di Pulau Salemo Kabupaten Pangkep. Selain manfaat
sekuritas sosial yang dirasakan oleh pekerja seperti manfaat kesehatan,
pendidikan, kesehatan, dan keselamatan kerja, sekuritas sosial juga
berfungsi menjadi penyeimbang hubungan antara pengusaha kepiting
dengan para pekerja pengupas kepiting.
Berbeda halnya yang saya ingin teliti, yaitu bagaimana sekuritas
sosial tradisional bagi orang lanjut usia, karena meningat orang lanjut usia
mengalami berbagai kesulitan karena proses penuaan secara degeneratif
yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia,
tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan
seksual.
Penelitian tentang sekuritas sosial terhadap orang lanjut usia
sesugguhnya telah dilakukan oleh Mahmud Tang (1996) dalam penelitian
tentang aneka ragam pengaturan sekuritas sosial di bekas Kerajaan Berru
Sulawesi Selatan. Namun mengingat penelitian tersebut dilaksanakan
pada tahun 1996 atau sudah berlalu selama 22 tahun. Dalam kurung
waktu tersebut telah banyak mengalami perubahan sosial, sistem
pemerintahan orde baru ke orde reformasi, ekonomi, teknologi dan
perubahan demografi khususnya orang lanjut usia (lansia). Seperti contoh,
dalam penelitian Tang (1996:155) berkesimpulan bahwa pelayanan dari
10
keluarga terdekat terhadap orang tua khususnya orang lanjut usia masih
sangat bagus, karena orang yang menghidari kewajiban melayani orang
tua mendapatkan tekanan sosial, sehingga semua orang masih
memelihara orang lanjut usia. Berbeda halnya hari ini, dimana kondisi
sosial sudah sangat melonggar di tengah masyarakat yang diakibatkan
oleh berbagai faktor. Maka dari itu saya tertarik melakukan penelitian
tentang sekuritas sosial tradisional bagi orang lanjut usia di tengah
masyarakat yang sudah modern.
2. Sejarah Sekuritas Sosial
Istilah jaminan sosial muncul pertama kali di Amerika Serikat dalam
The Social Security Act tahun 1935 untuk mengatasi masalah-masalah
pengangguran, manula, orang-orang sakit dan anak-anak akibat depresi
ekonomi. Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial di negara-negara
maju belakangan ini mengalami perubahan, pada dasarnya
penyelenggaraan jaminan sosial di sana hakekatnya difahami sebagai
bentuk nyata perlindungan negara terhadap rakyatnya (Mudiyono
2002:68).
Perlindungan negara terhadap rakyatnya merupakan wujud dari
Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep Negara Kesejahteraan
(Welfare State) secara garis besar setidaknya mengandung 4 (empat)
makna, antara lain: (1) Sebagai kondisi sejahtera (well-being), dimana
kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya
kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala
kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,
11
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi
serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko
utama yang mengancam kehidupannya; (2) Sebagai pelayanan sosial,
umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security),
pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial
personal (personal social services); (3) Sebagai tunjangan sosial,
kesejahteraan sosial yang diberikan kepada orang miskin. Karena
sebagian besar penerima kesejahteraan adalah masyarakat miskin, cacat,
pengangguran yang kemudian keadaan ini menimbulkan konotasi negatif
pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan,
ketergantungan, dan lain sebagainya; (4) Sebagai proses atau usaha
terencana, sebuah proses yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-
lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan
tunjangan sosial (Rofieq 2011:4).
Upaya menghadirkan perlindungan sosial bagi rakyat Indonesia
telah di mulai sejak berdirinya negara Republik Indonesia. Pada masa
awal kemerdekaan atau era kepemimpinan Soekarno, jaminan sosial
secara terbatas diberlakukan untuk sektor perburuhan dan aparatur
negara. Jaminan sosial pada masa ini ditandai dengan karakteristik yang
top-down, ditujukan untuk menguatkan kapasitas aparatur negara dan
sebagai bentuk akomodasi atas kekuatan buruh yang memiliki peran
cukup signifikan dalam perjuangan kemerdekaan. Jaminan sosial untuk
sektor perburuhan dapat dilihat dari UU No. 33 Tahun 1947 tentang
12
Keselamatan Kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 48 Tahun
1952 tentang Pengaturan Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan
Kesehatan Buruh, PMP No. 15 Tahun 1957 tentang Yayasan Sosial
Buruh, dan PMP No. 5 tahun 1964 tentang Yayasan Dana Jaminan Sosial.
Sedangkan jaminan sosial untuk perangkat negara (PNS dan militer)
diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1956 tentang
Pembelanjaan Pensiun, PP No. 9 Tahun 1963 tentang Pembelajaan
Pegawai Negeri, dan PP No. 10 Tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi
dan Pegawai Negeri (TASPEN).
Pada era Orde Baru, jaminan sosial tetap memiliki karakter yang
terbatas dan fragmentatif, sehingga tidak semua rakyat Indonesia
mendapatkannya. Jaminan sosial yang tersedia di antaranya adalah
Asuransi Kesehatan (ASKES) untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), Asuransi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) untuk militer/ABRI,
Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri (TASPEN) sebagai tabungan
pensiun dan jaminan hari tua bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) untuk buruh yang terdaftar.
Semua badan penyelenggara jaminan sosial pada masa Orde Baru
telah mengalami privatisasi dengan bentuk Perseroan dan BUMN. Dengan
bentuk demikian, maka lembaga penyelenggara jaminan sosial juga
memiliki orientasi untuk mencari keuntungan. Privatisasi ini terkait dengan
terbukanya Indonesia terhadap kekuatan ekonomi global. Desain institusi
itu juga ditujukan untuk menopang agenda negara yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (developmental state). Oleh
13
karena itu, poros jaminan sosial banyak bertumpu pada aparatus negara,
yang diikuti dengan pendisiplinan buruh.
Kemudian, krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 menjadi latar
belakang desain penyelengaraan jaminan sosial pasca-Soeharto di
Indonesia. Hadirnya IMF, World Bank, dan Asian Development Bank
(ADB) dalam mengatasi krisis turut membentuk perubahan institusi,
terutama dalam sektor ekonomi dan politik di Indonesia melalui skema
Structural Adjustment Programme (SAP), dalam hal ini termasuk pada
institusi jaminan sosial. Melalui skema tersebut, penyelenggaraan
perlindungan sosial tidak semata-mata untuk melindungi rakyat dari
segala kerentanan sosial, tetapi lebih ditempatkan dalam kerangka
penyelamatan ekonomi, terkhusus pada sektor finansial.
Pasca reformasi, rancangan program jaminan sosial dituangkan
dalam UndangUndang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40
Tahun 2004. Kemudian, sebagai turunan dari UndangUndang SJSN,
dibuatlah UndangUndang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial No. 24
tahun 2011 yang menempatkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) sebagai badan khusus yang mengelola dana jaminan sosial
secara terintegrasi. BPJS Kesehatan sebagai badan resmi jaminan sosial
di Indonesia pun mulai dijalankan sejak 1 Januari 2014, sementara BPJS
Ketenagakerjaan akan berjalan mulai 1 Juli 2015. Implikasinya, berbagai
badan yang sebelumnya mengelola dana jaminan sosial seperti PT
ASKES untuk PNS, PT TASPEN untuk Pensiunan, PT ASABRI untuk
anggota TNI dan POLRI, serta PT JAMSOSTEK untuk para buruh, akan
14
dilebur dan digabungkan ke dalam BPJS. Hanya saja, PT TASPEN dan
PT ASABRI masih dalam proses peralihan hingga tenggat waktu
peleburannya pada tahun 2029 (Dwiananta 2016).
3. Konsep Sekuritas Sosial
Industrialisasi di Eropa pada akhir abad ke-19 telah menghadirkan
pusat-pusat industri yang menjadi magnet bagi masyarakat desa untuk
berpindah ke kota (urbanisasi) untuk menjadi tenaga buruh pabrik.
Persoalan paling sering terjadi dalan dunia industri yakni kecelakan kerja.
Menurut Assiba‟I (dalam Tang 1996:8) Jerman merupakan negara yang
pertama kali memberikan perhatian terhadap masalah sekuritas sosial
pada tahun 1883. Kemudian tahun 1889 memberi jaminan kesehatan,
jaminan pensiun bagi pekerja pabrik. Pada tahun 1911 keluar lagi undang-
undang untuk seluruh pegawai negeri, dan tahun 1923 sudah mencakup
pekerja di pertambangan. Pelaksanaan undang-undang tentang sekuritas
sosial pada tahun 1923 telah diimplementasikan di 62 negara karena
dirasakan manfaatnya.
Depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1930-an mengakibatkan
meluasnya kemiskinan di Eropa. Untuk menghambat meluasnya
kemisikinan maka Amerika Serikat lebih melengkapi istilah sekuritas sosial
(social security) berdasarkan atas Social Security Act 1935. Pada
perkembangan berikutnya organisasi buruh dunia yakni International
Labour Organisation (ILO) selangkah lebih jauh dengan secara sistimatis
mengabadikan prinsip-prinsip sekuritas sosial modem ini ke dalam hukum
(Schmidt 1992:18-19).
15
Konsep jaminan sosial yang lazim dipakai adalah dari International
Labour Office (ILO):
“The protection which society provides for its members, though a series of public measures, against the economic and social distress that otherwise would be caused by the stoppage or substantial reduction of earnings resulting from sickness, maternity, employment injury, unemployment, old age and death; the provision of medical care; and the provision of subsidies for families with children”. (artinya : Perlindungan yang diberikan masyarakat terhadap anggota-anggotanya melalui seperangkat usaha publik terhadap kesulitan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh pemberhentian atau pengurangan secara substansial terhadap penghasilan sebagai akibat dari penyakit, kehamilan/melahirkan, kecelakaan kerja, pengangguran, usia tua dan kematian; penyediaan perawatan medis; dan penyediaan sumbangan untuk keluarga dengan anak-anak).
Sekuritas sosial yang digunakan oleh ILO hanya melihat bantuan
yang disediakan oleh pemerintah untuk mengatasi situasi yang sulit.
Defenisi tersebut tidak memperhitungkan bantuan dan interaksi dari pihak
lain seperti keluarga, tetangga, oraganisasi-organisasi kemasyarakatan,
sehingga konsepsi ILO tentang sekuritas sosial tidak dapat memberikan
gambaran yang lengkap (Benda-Beckman 1984:268 dan Burgess & Stern
1991:44).
Penegertian yang bersumber dari ILO di atas dirasakan sangat
terbatas, maka pemerintah Indonesia meredefenisi mengenai sekuritas
sosial dengan suatu batasan yang lebih luas, yaitu seluruh sistem
perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara
taraf kesejahteraan sosial di Indonesia merupakan tanggung jawab
16
bersama antara pemerintah dan masyarakat bersama-sama atas dasar
kekeluargaan (Tang et al. 2005).
Dalam pengertian luas sekuritas sosial dapat dirujukkan kepada
berbagai usaha individu, kelompok, keluarga, swasta dan institusi
pemerintahan untuk mengatasi berbagai kebutuhan hidup pokok dari
anggota masyarakat seperti bahan makanan yang memadai, perumahan,
pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, dan sebagainya (Sulastomo
2008). Selain itu, jaminan pada saat ada peristiwa atau keadaan tertentu
yang menimpa mereka, seperti sakit, cacat, kehilangan pekerjaan, lanjut
usia, dan kematian. Tujuannya untuk memenuhi standar hidup yang
sesuai dengan norma-norma masyarakat (Soetomo 2013). Sedangkan
pemberian kepada seseorang atau pihak lain yang tidak mengalami
kesulitan merupakan pemberian biasa saja bukan sekuritas sosial.
a. Sekuritas Sosial Secara Formal (Pemerintah)
Sekuritas sosial yang terdapat pada rencana pembangunan
nasional diartikan sebagai suatu langkah kebijakan yang dilakukan untuk
memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin,
terutama kelompok masyarakat yang paling miskin (the poorest) dan
kelompok masyarakat miskin (the poor). Menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, perlindungan sosial adalah
semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari
guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok,
17
dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai
dengan kebutuhan dasar minimal (BPS 2017:75).
Jenis sekuritas sosial yang diberikan oleh pemerintah adalah :
Bantuan beras sejahtera (rastra)
Kartu Perlindungan Sosial (KPS)/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)
Jaminan sosial
Program Keluarga Harapan (PKH)
Bantuan kredit usaha
Program jaminan pembiayaan/asuransi kesehatan
b. Sekuritas Sosial Secara Tradisional (Informal)
Sekuritas sosial tradisional (informal) adalah pemberian yang
sumbernya dari luar institusi pemerintah, secara turun temurun diberikan
atau diterima dari adanya hubungan sosial seperti kerabat, tetangga,
orang sekampung, teman, patron-klien, dan sebagainya. Pemberian
tersebut bertujuan untuk mengatasi kesulitan yang diamali oleh orang lain
(Tang et al. 2005).
Pada masyarakat Bugis dan Makassar, nilai-nilai lokal seperti rasa
harga diri (siriq) dan rasa solidaritas yang tinggi atau rasa kasihan
(pesse/pacce) merupakan roh yang melandasi terwujudnya sekuritas
sosial secara tradisional (Tang 1996:158).
18
4. Sekuritas Dalam Persektif Fungsionalisme
Untuk melihat sekuritas sosial bagi orang lanjut usia, penulis
menggunakan paradigma fungsionalisme, yaitu sebuah sudut pandang
luas yang berupaya menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam
hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya, terutama norma, adat,
tradisi, dan institusi. Fungsionalisme bertumpu pada analogi organisme,
yang membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam
organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan
melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan
kelestarian hidup organisme itu.
Bronislaw Malinowski (1884-1942), merupakan tokoh
yang mengembangkan teori fungsional tentang kebudayaan, atau a
functional theory of culture (Koentjaraningrat 2014:162). Inti dari teori
Malinowski menjelaskan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu
sebenarnya memuaskan suatu rangkaian kebutuhan naluri makhluk
manusia yang berhubungan dengan kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi
kebutuhan primer/biologis maupun kebutuhan sekunder/psikologis,
kebutuhan mendasar yang muncul dari kebudayaan itu sendiri.
Malinowski berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia
sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat
psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan
tersebut. Menurut pendapatnya, ada tiga tingkatan yang harus terekayasa
dalam kebudayaan, yaitu:
19
Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti
kebutuhan akan pangan dan prokreasi
Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti
kebutuhan akan hukum dan pendidikan.
Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama
dan kesenian.
Sekuritas sosial yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah
suatu konsep analitis yang berkenaan dengan pendekatan fungsional,
yaitu berbagai tindakan atau bantuan dari berbagai pihak untuk dapat
mengatasi kesulitan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar, baik
itu kebutuhan materil maupun non-materil bagi orang yang sudah lanjut
usia (lansia).
B. Lanjut Usia (Lansia)
1. Lansia Dalam Persektif Budaya
Penuaan merupakan perubahan kumulatif dari kemunduran fisik
dan mental pada manusia, proses tersebut sesungguhnya merupakan
fenomena biologis dan psikologis. Akan tetapi berbeda halnya pada
persektif budaya, dimana budaya memiliki peran dominan dalam
mengkonstruksi peran, status, dan fungsi lansia dalam keluarga dan
masyarakat. Seperti dikemukakan oleh P. Gulliver (dalam Haviland
1985:131), bahwa unsur utama dalam menentukan status sosial
seseorang ialah umur.
20
Peran dan fungsi sosial orang yang sudah lanjut usia (lansia) di
berbagai budaya memiliki pandangan dan nilai-nilai yang sangat beragam.
Namun demikian secara universal, ditengah masyarakat orang lansia
dianggap mempunyai berbagai pengalaman serta keahlian tertentu
sehingga prilaku lansia di tengah masyarakat maupun dalam keluarga
lebih bijaksana dan arif (Swasono 1989). Pengalaman dan keahlian yang
dimiliki oleh lansia dijadikan oleh generasi berikutnya sebagai sistem
pengetahuan dan pedoman dalam bertingkah laku, serta diintegrasikan
kedalam aturan-aturan, norma, dan nilai dalam masyarakat
(Koentjaaningrat 2011:72-76).
Pada masyarakat suku Bugis menurut Mattulada (1985), orang tua
memilki peran sangat penting dalam pewarisan nilai-nilai dalam keluarga
dan masyarakat. Seperti dalam naskah lontarak Bugis, terdapat kumpulan
amanat orang-orang tua bijaksana yang dinyatakan dalam bentuk paseng
(pesan), hal ini diamanatkan secara turun temurun. Dalam naskah
lontarak itu pula terdapat pappangaja yakni kumpulan nasehat orang tua
yang dapat menjadi pedoman hidup bagi generasi muda.
Senada dengan Mattulada, hasil penelitian Hijjang (2014:658-668),
mendapatkan temuan bahwa (1) Dalam keluarga atau komunitas masih
ada lansia yang berfungsi untuk mewariskan pengetahuan kepada
generasi berikutnya; (2) Masih ada peran-peran tradisional lansia dalam
keluarga dan komunitas yang secara konsisten masih dilakukan; (3) Masih
ada nilai-nilai budaya yang mendukung pelibatan lansia mengatasi resiko
psikososiobudaya.
21
Bagi orang Bugis menurut Tang (1996:122), terdapat nilai-nilai
moral dan kepercayaan bahwa memperlakukan orang tua dengan buruk
atau membiarkan hidup terlantar bisa mengakibatkan berbagai bentuk
kecelakaan. Salah satu bentuk kecelakaan yang paling ditakuti oleh
seorang anak yaitu penyakit yang mempunyai gejala "perut
membengkak", penyakit tersebut dapat berakibat kematian. Penyakit
seperti itu dianggap sebagai balasan dari perbuatan buruk kepada orang
tua (mabusung).
Selain takut mabusung, masyarakat Bugis juga takut tidak
mendapatkan kebaikan dunia maupun di akhirat, seperti adanya
anggapan bahwa “narekko madorakai ri tomaiowanna. Pura deq naitai
parempaja ri lino kuwaetopa ri akheraq matti”. Artinya jika seseorang
durhaka terhadap orang tuanya, maka ia tidak mendapatkan kebaikan,
baik dunia maupun di akhirat nanti. Padangan tersebut sangat
mempengaruhi prilaku keseharian orang bugis sehingga menjadi sebuah
nilai “penghargaan dan penghormatan” yang dikemas dalam siriq na
pesse. Siriq merupakan unsur pangadereng (adat istiadat) yang
mendorong timbulnya kesadaran mendalam akan harga diri dan
kehormatan. Siapapun yang menyia-nyiakan orang tuanya akan menjadi
terhina, tidak memiliki harga diri, dan tidak patut diberi penghormatan.
Siriq ini pula yang menjadi sumber panggilan pesse yang memungkinkan
terjadinya prilaku yang begitu menghargai orang tua (Sani 2016:94).
Kewajiban anak terhadap orang tuanya dalam masyarakat Bugis,
ada kepercayaan bahwa tanggungjawab anak tidak hanya terbatas saat
22
orang tuanya hidup, akan tetapi terus berlanjut setelah orang tuanya
meninggal. Kewajiban itu antara lain membacakan doa yang disertai
dengan persembahan makanan yang lebih istimewa dari pada makanan
yang dimakan sehari-hari. Karena itu, tradisi membaca doa (mabbaca
doang) kepada orang tua yang telah meninggal dunia masih dilaksanakan
hingga saat ini (Tang 1996:122).
Hasil penelitian Laiya (1983:54-55) pada suku bangsa Nias,
menemukan bahwa disaat usia tua fungsi utama dalam keluarga dan
komunitas yakni menjadi penasehat, sehingga mereka sangat dihormati.
Di Nias usia tua (bawa lewato) dianggap sebagai pintu gerbang menuju
kematian, sehingga sanak keluarga selalu melayani dengan baik dalam
bentuk memberikan makanan, pakaian, serta mematuhi segala
perintahnya.
Pada suku bangsa Jawa, orang tua yang memiliki pengetahuan
tinggi baik itu ilmu kebatinan atau praktis, meraka mendapatkan
perlakukan yang terhormat. Tetapi berbeda halnya bagi yang sudah jompo
dan pikun sudah kurang mendapatkan penghormatan (Geertz 1985:149).
Prilaku hormat kepada orang tua dapat terlihat saat berbicara dengan
menggunakan bahasa yang halus (krama). Bahkan dalam keluarga priyayi
tradisional sebelum berbicara harus menyembah terlebih dahulu
(Koentjaraningrat 1994:273).
Hasil penelitian Navis (1984) dan Indrizal (2005) pada suku bangsa
Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal yaitu garis
keturunan dari pihak ibu, memandang orang tua dalam keluarga luas
23
sebagai orang yang patut dihormati. Orang tua selalu memberikan
nasehat terutama yang berkaitan dengan adat. Sebagaimana dinyatakan
dalam ungkapan kok pai tampek batanyo, kok pulang tampek babarito,
artinya jika pergi tempat bertanya, jika pulang tempat mengadu.
Hubungan struktur keluarga, ikatan solidaritas sosial, dan tradisi
merantau, kesemuanya itu menjadi sangat fungsional sebagai jaminan
sosial bagi orang lansia pada masyarakat Minangkabau sehingga orang
lansia tidak boleh hidup tersia-sia di hari tuanya, maka hal itu dapat
menjadi aib malu anak, kemenakan, keluarga, kerabat atau bahkan orang
sekampung (Indrizal 2005).
Dari berbagi hasil penelitian tersebut, maka dalam tulisan ini
konsep lansia dalan persektif budaya yaitu orang tua yang tidak hanya
terbatas kepada ayah dan ibu kandung saja, tetapi juga mencakup kakek,
nenek, paman dan bibi dari ke dua belah pihak orang tua. Peranan dan
fungsi sosial lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat penting,
karena merupakan pewarisan nilai-nilai, tradisi dan pengetahuannya
kepada generasi berikutnya. Sehingga lansia harus diperlakukan dengan
baik, serta memberikan perhatian penuh kasih sayang, menyuguhkan
makanan yang layak, pakaian bagus, dan mematuhi perintah mereka
serta melayani mereka dengan hormat. Jika ada lansia yang
diterlantarkan, maka hal itu dapat menjadi aib bagi keluarga serta dapat
mengakibatkan berbagai bentuk keburukan dunia dan akhirat.
24
2. Lansia Dalam Persektif Institusi Formal
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang
berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan
proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan
dari dalam dan luar tubuh (Kholifah 2016:3). Di dalam Undang-Undang
No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, telah
menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia
harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin
bertambah.
Banyak di antara lanjut usia yang masih produktif dan mampu
berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada
hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya
bangsa. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang
terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses
sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi
dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses
alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu
anak, dewasa dan tua (Nugroho 2000).
Menurut World Health Organization (WHO) lanjut usia
dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu, usia pertengahan atau pra
25
lansia (45-59 tahun), lanjut usia muda (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90
tahun), dan lanjut usia sangat tua diatas 90 tahun (WHO 2002). Di
Indonesia, defenisi tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menetapkan bahwa
batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas (Undang-
Undang 1998:3). Menurut Kementerian Kesehatan RI, lanjut usia
dikelompokkan menjadi Pra lanjut usia (45-59 tahun), Lanjut usia (60-69
tahun), dan Lanjut usia risiko tinggi (> 70 tahun atau usia, > 60 tahun
dengan masalah kesehatan) (Kemenkes 2012:4).
3. Karakteristik Prilaku Lansia
Menurut Kholifah (2016) terdapat ciri-ciri prilaku orang lanjut usia, yaitu :
a. Lansia merupakan periode kemunduran. Kemunduran pada lansia
sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Motivasi
memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia.
Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam
melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran
fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi,
maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas. Kondisi ini sebagai
akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia
dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia
yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap
sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang
26
mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran. Perubahan peran tersebut
dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam
segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas
dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.
Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai
Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia. Perlakuan yang buruk
terhadap lansia membuat mereka cenderung mengembangkan
konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk
perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat
penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang
tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat
tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.
4. Perubahan Pada Lansia
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan
secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan
pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif,
perasaan, sosial dan sexual (Azizah 2011).
27
Tahap usia lanjut adalah tahap di mana terjadi penurunan fungsi
tubuh. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas
fungsional. Menurut Kholifah (2016) perubahan yang terjadi pada orang
lanjut usia adalah :
a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada
pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya)
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi
suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit
dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
2) Sistem Intergumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering
dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi
tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula
sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna
coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.
3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaaringan
penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan
sendi. Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang,
kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
bentangan yang tidak teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada
28
persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi, sehingga
permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung
kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan
menjadi rentan terhadap gesekan. Berkurangnya kepadatan
tulang setelah diamati adalah bagian dari penuaan fisiologi,
sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih lanjut
akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Perubahan
struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah
dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan
jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Pada
lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.
4) Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah
massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi
sehingga peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi
karena perubahan jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh
penumpukan lipofusin, klasifikasi SA Node dan jaringan
konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
5) Sistem Respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru
bertambah untuk mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara
29
yang mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot,
kartilago dan sendi torak mengakibatkan gerakan pernapasan
terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.
6) Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti
penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata
karena kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar
menurun (kepekaan rasa lapar menurun), liver (hati) makin
mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, dan
berkurangnya aliran darah.
7) Sistem Perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.
Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju
filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem Saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami
penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan
aktifitas sehari-hari.
9) Sistem Reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan
menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada
laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa,
meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur.
30
b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quotient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
c. Perubahan Mental
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :
2) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
3) Kesehatan umum
4) Tingkat pendidikan
5) Keturunan (hereditas)
6) Lingkungan
7) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
8) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
9) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan
dengan teman dan famili.
10) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
31
d. Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal
ini terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.
e. Perubahan Psikososial
1) Kesepian terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat
meninggal terutama jika lansia mengalami penurunan
kesehatan, seperti menderita penyakit fisik berat, gangguan
mobilitas atau gangguan sensorik terutama pendengaran.
2) Duka cita (bereavement), meninggalnya pasangan hidup,
teman dekat, atau bahkan hewan kesayangan dapat
meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh pada lansia. Hal
tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
3) Depresi duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan
kosong, lalu diikuti dengan keinginan untuk menangis yang
berlanjut menjadi suatu episode depresi. Depresi juga dapat
disebabkan karena stres lingkungan dan menurunnya
kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas dibagi dalam beberapa golongan: fobia,
panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma
dan gangguan obsesif kompulsif, gangguangangguan tersebut
merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan berhubungan
32
dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek samping
obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.
5) Parafrenia suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai
dengan waham (curiga), lansia sering merasa tetangganya
mencuri barang-barangnya atau berniat membunuhnya.
Biasanya terjadi pada lansia yang terisolasi/diisolasi atau
menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma diogenes, suatu kelainan dimana lansia menunjukkan
penampilan perilaku sangat mengganggu. Rumah atau kamar
kotor dan bau karena lansia bermain-main dengan feses dan
urin nya, sering menumpuk barang dengan tidak teratur.
Walaupun telah dibersihkan, keadaan tersebut dapat terulang
kembali.
C. Kerangka Pikir
Menua merupakan bagian dari siklus kehidupan manusia yang
terjadi secara alamiah. Di masa usia tua seseorang sudah tidak maksimal
lagi menjalankan tugas kesehariannya seperti disaat usia muda. Akibat
dari proses tersebut, maka orang yang sudah lanjut usia (lansia) paling
rentang mengalami berbagai kesulitan karena secara fisik, mental, dan
psikologis telah menurun secara drastis.
Sekuritas sosial bagi orang lanjut usia dapat di lihat sebagai suatu
pendekatan fungsional, yaitu berbagai tindakan atau bantuan dari
berbagai pihak untuk dapat berfungsi mengatasi kesulitan yang dialami
33
oleh lansia. Untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dialami oleh lansia
maka ada dua sumber utama yakni sekuritas sosial formal dan tradisional
(informal).
Sekuritas sosial format bagi lansia bersumber dari negara yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Hal tersebut dilakukan oleh negara
karena negara bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya sebagai wujud
dari negara kesejahteraan (welfare state). Sedangkan sekuritas sosial
tradisional merupakan pemberian yang sumbernya dari keluarga inti,
kerabat, tetangga, orang sekampung, teman, dan patron-klien.
Penyelanggaraan sekuritas sosial formal dan tradisional merupakan
jaminan sosial dapat membantu orang yang sudah lanjut usia dalam
aspek pemenuhan kebutuhan pokoknya sehingga lansia dapat hidup
dengan layak.
Kondisi Kehidupan
Orang Lanjut Usia
(Lansia)
Sekuritas Sosial
Pemerintah (Formal) Tradisional (Informal)
Kondisi Keterjaminan Sosial
Orang Lanjut Usia (Lansia)
Gambar 1. Kerangka Pikir
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian sekuritas sosial
bagi orang lanjut usia (lansia) adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan
menggunakan metode etnografi berorientasi pada topik, yaitu
mendeskripsikan kehidupan orang lanjut usia (lansia) dan segala bentuk
bantuan yang diterimanya dari sudut pandang lansia dan pihak yang
memberikan bantuan.
Penggunaan pendekatan kualitatif karena penelitian kualitatif
merupakan suatu proses penyelidikan untuk memahami masalah yang
dialami oleh lansia. Kondisi kehidupan lansia digambarkan secara holistik
yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara
terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah (Creswell 2002).
Sehingga penelitian deskriptif ini akan menghasilkan data berupa kata-
kata tertulis, lisan, dan perilaku yang dapat diamati dari lansia serta semua
pihak yang memberikan bantuannya (Moleong 2009).
Dalam penelitian kualitatif ini, saya selaku peneliti akan
memposisikan diri saya sebagai instrumen utama dalam mengumpulkan
dan menganalisa data, serta menempatkan diri saya sebagai orang dalam
(insider) dan bukan sebagai orang luar (outsider). Hal tersebut saya
lakukan sebab menurut Spradley (2006:3-4), bahwa penelitian etnografi
melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang lain untuk belajar
35
melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang
berbeda, untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli. Sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski
(1922) bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang
penduduk asli untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di lakukan pada Desa Botolempangan Kecamatan
Bontoa Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian ini
dilakukan secara purposive atau sengaja yaitu dengan beberapa
pertimbangan, yaitu :
1. Berdasarkan data BPS Kabupaten Maros Tahun 2018, Desa
Botolempangan Kecamatan Bontoa merupakan daerah yang
memiliki keluarga pra sejahtera terbanyak yaitu 393 keluarga (BPS
Kecamatan Bontoa Dalam Angka 2018:39).
2. Berdasarkan data Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga
Berencana (DPPKB) Kabupaten Maros perbandingan jumlah orang
lanjut usia (lansia) dengan jumlah jiwa penduduk, di Kecamatan
Bontoa yang paling banyak ialah Desa Botolempangan yang
berjumlah 10.66% dari jumlah penduduk, melebihi jumlah rata-rata
lansia nasional yaitu 8.97% (DPPKB 2017).
C. Waktu Penelitian
Penelitian lapangan ini direncanakan selama enam bulan, yaitu
dimulai pada bulan Januari hingga Juni 2019. Adapun pelaksanaannya
akan dilakukan setelah seminar proposal penelitian.
36
D. Informan
Penentuan Informan kami tentukan secara sengaja (purposive)
yaitu orang lanjut usia (lansia), keluarga inti lansia, kerabat lansia,
tetangga lansia, pemerintah, dan tokoh masyarakat yang terkait dan
terlibat langsung dalam kehidupan lansia.
E. Sumber Data
1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lokasi
penelitian yaitu orang lanjut usia (lansia), keluarga inti lansia,
kerabat lansia, tetangga lansia, pemerintah, tokoh masyarakat serta
pihak yang memberikan bantuan kepada lansia melalui observasi
dan wawancara.
2. Data sekunder yaitu data pendukung yang diperoleh dari buku,
desertasi, tesis, skripsi, artikel, dan berita yang terkait dengan
lansia..
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Melakukan studi pustaka untuk mencari informasi tentang orang
lanjut usia (lansia) melalui buku, desertasi, tesis, skripsi, artikel, dan
berita.
2. Pengamatan (observation) pada masyarakat yang teliti selama
melakukan penelitian dengan cara mengikuti kegiatan lansia sehari-
hari dan pengamatan terhadap peranan-peranan sosial individu,
kerabat, tentangga, organisasi kelompok yang memberikan
perlindungan sosial terhadap kehidupan orang lanjut usia (lansia).
37
3. Wawancara mendalam (indepth intervieuw) terhadap informan dari
orang lanjut usia (lansia), keluarga inti, kerabat, tetanga, pemuka
masyarakat, pejabat pemerintah dan kelompok masyarakat.
G. Analisis Data
Data yang terkumpul berupa hasil pengamatan terhadap keseharian
lansia dan wawancara, diolah dengan cara mengklasifikasi data,
mensistematiskan data dan menafsirkan data sehingga menghasilkan
kesimpulan deskriptif kualitatif. Teknik analisis data yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan 5 langkah seperti yang dikemukakan oleh
Creswell (2012), yaitu :
1. Mengelolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis berupa
catatan lapangan dan rekaman wawancara terhadap lansia dan
pihak-pihak yang memberi bantuan. Langkah ini mendengarkan
kembali seluruh rekaman wawancara, men-scanning materi,
mengetik data lapangan, serta menyusun data.
2. Membaca keseluruhan catatan lapangan dan mendengarkan
rekaman wawancara untuk membangun general sense atau
informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara
keseluruhan.
3. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data. Coding
merupakan proses pengelolaan data lapangan.
4. Terapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-
orang lanjut usia dan pihak-pihak yang memberikan bantuan, serta
38
menemukan kategori-kategori dan tema-tema budaya yang terkait
dengan pelaksanaan sekuritas sosial bagi lansia.
5. Mendeskripsikan tema-tema yang akan disajikan ke dalam bentuk
narasi/laporan kualitatif.
H. Etika Penelitian
Etika dalam penelitian ini mencakup: penjelasan kepada informan
mengenai tujuan dari penelitian ini, meminta kesediaan informan untuk
terlibat dengan penelitian ini kemudian meminta kesediaan waktu bagi
informan untuk dilakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara,
maka saya terlebih dahulu meminta persetujuan informan untuk
menggunakan alat perekam. Informasi yang terkait dengan identitas
informan disamarkan dengan menggunakan nama samaran (pseudonym)
untuk menjaga kerahasiaan identitas informan. Wawancara akan di
lakukan di tempat-tempat yang disepakati di mana mereka merasa
nyaman untuk diwawancarai.
39
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Asal Usul Nama Desa
Botolempangan terdiri dari dua pengalan kata, yaitu Boto dan
Lempangan. Kata Boto merupakan sebuah nama gelar yang diberikan
kepada orang-orang tertentu pada masa lampau. Menurut masyarakat
setempat, pada masa lampau pernah ada sosok manusia yang pernah
tinggal di Botolempangan, orang tersebut memiliki kesaktian yang luar
biasa yaitu dapat mengetahui hal-hal yang akan terjadi sebelumnya dan
hal tersebut mendapatkan pengakuan oleh Raja Gowa setelah teruji
kebenarannya. Pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa kesaktian yang
dimiliki orang tersebut dinamakan ahli nujung, dalam bahasa makassar
dinamakan Tau Tarrusu juga di gelar Tunipakammayya Kananna. Karena
kesakitiannya orang tersebut diberikan gelar Boto. Sedangkan kata
Lempangan adalah nama kampung yang berasal dari bahasa Bugis
disebut Leppangen, mengadung arti tempat singgah atau persinggahan,
tetapi penduduk setempat berbahasa makassar sehingga terucap
Lempangan.
Di kampung ini pula mempunyai tanda yaitu sebuah batu nisan
yang ada di pekuburan Islam Lempangan, bentuknya lonjong dari jenis
batu asah (batu gosok), batu nisan tersebut diyakini oleh masyarakat
merupakan pusaran orang yang bergelar Boto tersebut. Batu nisan
tersebut oleh masyarakat dijadikan penanda bahwa kampung ini telah
40
disinggahi dan di huni oleh sosok manusia yang bergelar Boto, yang
sampai saat ini dipelihara dan sering di kunjungi oleh orang dari luar
daerah maupun masyarakat dalam desa sendiri. Dari perpaduan kata Boto
dan Lempangan maka dalam musyawarah pembentukan desa pada
Tahun 1965 disepakati Botolempangan sebagai nama desa.
B. Sejarah Singkat Pemerintahan Desa
Desa Botolempangan pada masa silam disebut koordinator
dibawah wilayah kekuasaan distrik Bontoa, kemudian pada tahun 1965
sebelum pemberontakan G.30S/PKI, desa Botolempangan terbentuk
melalui musyawarah yang dipimpin oleh Ismail (dikenal Galla Samaila)
mantan pejabat koordinator.
Desa Botolempangan yang pertama kalinya dipimpin oleh Bapak
Basrah Dg. Masiga (dikenal Galla Salenrang) berkedudukan di kampung
Lempangan dibawah wilayah pemerintahan Kecamatan Bantimurung.
Pada Tahun 1992 Desa Botolempangan dimekarkan menjadi dua desa,
yaitu Desa Salenrang. Setelah terbentuknya pemerintahan Kecamatan
Maros Utara, selanjutnya Desa Botolempangan beralih kembali pada
wilayah Pemerintahan Kecamatan Maros Utara yang berkedudukan di
Panjallingan yang sekarang disebut Kecamatan Bontoa. Pada tahun 2001
Kecamatan Maros Utara berganti nama menjadi Kecamatan Bontoa.
Adapun pelaksanaan pemerintahan Desa Botolempangan sejak
awal terbentuknya sampai saat ini adalah :
41
1. Basrah Dg. Masigah Tahun 1965 s/d 1968
2. H. Sattar Dg. Emba Tahun 1968 s/d 1978
3. Batollah Dg. Gasssing Tahun 1978 s/d 1982
4. Ambo Dg. Beta Tahun 1982 s/d 1986
5. H. Yakka Dg. Naba Tahun 1986 s/d 1997
6. H. Maing, S.Ip Tahun 1997 s/d 2012
7. Abd. Azis Tahun 2012 s/d 2017
8. Muhammad Idris (PLT) Tahun 2017 s/d 2018
9. Muhammad Warif, S.Pdi, M.Pdi Tahun 2019 - Sekarang
Wilayah Desa Botolempangan sejak terbentuknya pada tahun 1965
dibawah naungan wilayah Kecamatan Bantimurung memiliki kampung /
dusun sebagai berikut :
1. Kampung Lempangan
2. Kampung Salenrang
3. Kampung Pannambungan
4. Kampung Ujung Bulu
5. Kampung Mangemba
6. Kampung Tangaparang
Setalah Desa Botolempangan dimekarkan menjadi dua desa yaitu Desa
Salenrang berdiri sendiri dibawah pemerintahan Kecamatan Maros Utara
pada Tahun 1992, maka kampung atau dusun Desa Botolempangan
tinggal 5 (lima) dusun yaitu :
1. Dusun Lempangan
2. Dusun Ujung Bulu
42
3. Dusun Mangemba
4. Dusun Tangaparang
5. Dusun Tamangesang
Pada masa lalu ke lima kampung/dusun tersebut dipimpin oleh berbagai
istilah pemimpin yaitu Gallarang, Matoa, RK dan Kepala Dusun.
1. Kampung Lempangan dipimpin oleh :
a. Gallarang Muhammad
b. Gallarang Lewa
c. Gallarang Borra
d. Gallarang Mangngasi
e. Gallarang Samaila
f. Gallarang Kolleng
g. RK Mansyur
h. Kepala Dusun H. Ambo Upa
i. Kepala Dusun Rahmani
2. Kampung Ujung Bulu dipimpin oleh :
a. Matoa Janggo
b. Matoa Makkasau
c. Matoa H.M. Nur
d. RK Taji Dg. Sikki
e. Kepala Dusun M. Alwi Dg. Nanrang
f. Kepala Dusun H. Amri Turu
g. Kepala Dusun Abdul Gaffar
43
3. Kampung Mangemba dipimpin oleh :
a. Matoa Kambara
b. Matoa Tani
c. Matoa Hamzah
d. Kepala Dusun H. Muh. Arsyad
4. Kampung Tangaparang dipimpin oleh :
a. Matoa Taru
b. Matoa Dg. Manyare
c. Matoa Dongi
d. Matoa Bampe
e. Matoa Nape
f. Matoa Nakku
g. Matoa Sunre
h. Kepala Dusun H. Yakka Dg. Naba
i. Kepala Dusun H. Hamri
j. Kepala Dusun H. Madeamin
k. Kepala Dusun Abd. Azis
5. Pada Tahun 2000 Dusun Tangaparang dimekarkan menjadi dua
dusun, maka terbentuklah Dusun Tamangesang, yang awalnya
dipimpin oleh :
a. Kepala Dusun Sakka
b. Kepala Dusun Lewanuddin
44
Dalam menjalankan pemerintahan, kepala Desa Botolempangan
Muhammad Warif, S.Pdi, M.Pdi dibantu oleh staf perangkat desa, berikut
ini struktur pemerintahan Desa Botolempangan :
Gambar 2. Struktur Oraganisasi Pemerintahan Desa Botolempangan
Kepala Desa Muhammad Warif, S.Pdi, M.Pdi
Badan Permusyawaratan Desa
(BPD)
H. Suardi Isma, S.Kep (Ketua)
Umar Abba
Muh. Agus
Rahmawati
Sitti Ratna
Kasma
H. Haeruddin
H. Muh. Daud
Abd. Rahman
Kaharuddin
Muh. Anwar `
Sekertaris Rabanong, S.Ip
Seksi Pemerintahan Pirman Firdaus
Seksi Kesejahteraan dan Pemerintahan Srywahyuni Amra
Urusan Umum dan Perencanaan Abdul Kadir
Urusan Keuangan Kasma
Dusun Lempangan Abdul Malik Thaba, SP
Dusun Ujung Bulu H. Mutsng
Dusun Tangaparang Samsul Bahri
Dusun Mangemba Darwis
Dusun Tamangesang M. Safri
45
C. Kondisi Geografis
Desa Botolempangan terletak di sebelah utara Kabupaten Maros, di
lintasi oleh jalan poros propinsi Sulawesi Selatan dan berbatasan
langsung Kabupaten Maros dengan Kabupaten Pangkep. Secara
administrasi Desa Botolempangan berbatasan dengan :
Sebelah utara : Desa Bontolangkasa Kab. Pangkep
Sebelah Selatan : Desa Salenrang Kab. Maros
Sebelah Timur : Kelurahan Majannang Kab. Pangkep
Sebelah barat : Desa Minasa Upa Kab. Maros
Kondisi alam Desa Botolempangan merupakan wilayah,
pengunungan, dataran pertaninan, dan pesisir pantai. Di sebelah timur
Desa Botolempangan merupakan kawasan pengunungan karts Maros-
Pangkep, gugusan karts yang terbesar dan terindah kedua dari Cina.
Sebelah timur terdapat garis pantai yang terbentang menghadap ke Selat
Makassar. Di antara pengunungan dan pantai terdapat dataran yang
diperuntukan untuk area tambak dan lahan pertanian, dataran yang subur
mampu menopang kehidupan masyarakat Desa Botolempangan sejak
dulu.
Luas wilayah Desa Botolempangan adalah 17.42 Km², meliputi
lahan pertaninan sawah 372, 74 hektar, lahan tambak 190,68 hektar,
lahan perusahaan 6,7 hektar, pemukiman 50 hektar, hutan / pegunungan
700 hektar dan jalan, sungai dll sebanyak 415,33 hektar.
Desa Botolempangan memiliki iklim curah hujan diatas 200
mm/bulan dengan bulan basah 5 hingga 6 bulan dan bulan kering dengan
46
curah hujan 100 mm/bulan selama 2 sampai 4 bulan, curah hujan tertinggi
antara bulan Desember sampai Maret dan curah hujan terendah terjadi
antara Juli – September setiap tahun.
D. Fasilitas Umum
Sarana Jalan Desa Botolempangan yang menyambungkan antara
satu dusun dengan dusun yang lain sudah terbuat dari jalan beton yang
panjang jalan desa sekitar 8 km. Sarana Pendidikan terdiri dari TK 5 unit,
SD 3 unit, Madrasah Stawaniyah 1 unit, Madrasah Aliyah 1 unit. Untuk
sarana kesehatan masyarakat ada Puskesmas Pembantu (Pustu) 1 unit,
poskesdes 1 unit, posyandu 5 unit, dan bidan desa 1 orang. Dalam
menyalankan keagamaan masyarakat disediakan sarana peribadatan
beruapa 5 bangunan masjid.
E. Keadaan Penduduk
Desa Botolempangan merupakan daerah pertemuan dua suku
besar yang menghuni Sulawesi Selatan yaitu suku Makassar dan Bugis,
sehingga dalam keseharian masyarakat Desa Botolempangan
menggunakan dua bahasa (bilingual). Kedua pengguna bahasa tersebut
hanya dip isah oleh sungai yang melintas di tengah Desa Botolempangan.
Penutur bahasa Bugis berada di sisi timur yang meliputi tiga dusun yaitu
Dusun Mengemba, Dusun Tangaparang, dan Dusun Tamangesang.
Sedangkan Masyarakat yang menggunakan bahasa Makassar berada di
bagian barat, mencakup Dusun Lempangan dan Dusun Ujung Bulu.
47
Penduduk Desa Botolempangan sejak dulu secara turun temurun
sudah bermukim di desa ini. Populasi penduduk Desa Botolempangan
saat ini sudah mencapai 3.553 jiwa yang terdiri dari 1.736 berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan sebanyak 1.817 jiwa. Sedangkan postur
penduduk Desa Botolempangan berdasarkan kelompok umur dan jenis
kelamin sebagai berikut :
Tabel 1. Penduduk Desa Botolempangan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin.
No Kelompok Umur
(Tahun)
Jumlah Penduduk
Laki – Laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0 - 4 185 169 354
2 5 - 9 174 165 339
3 10 - 14 181 170 351
4 15 - 19 192 184 376
5 20 - 24 182 162 344
6 25 - 29 129 139 268
7 30 - 34 113 132 245
8 35 -39 105 126 231
9 40 - 44 111 134 245
10 45 - 50 103 109 212
11 50 - 54 76 99 175
12 55 - 59 67 69 136
13 60 - 64 44 56 100
14 65 + 74 103 177
Sumber : PBS Maros, Kecamatan Bontoa Dalam Angka 2018
Dari data tersebut memperlihatkan bahwa postur penduduk Desa
Botolempangan ialah kelompok usia yang paling banyak usia anak-anak
48
dan remaja (usia 0 sampai 24 tahun), kemudian disusul oleh kelompok
usia 25 sampai 60 tahun, sedangkan orang yang sudah berusia lanjut
lebih sedikit dari populasi penduduk.
Masyarakat Desa Botolempangan pada umumnya mendirikan
rumah di sepanjang jalan desa. Secara umum, kondisi rumah mayarakat
berbentuk rumah panggung, pada bagian bawahnya dimanfaatkan
sebagai kandang ayam atau kandang sapi, apa pula masyarakat yang
pada bagian bawah rumahnya diperuntukan untuk hunian bagi keluarga
baru. Selain rumah panggung, sebagian juga masyarakat mendirikan
bangunan rumah tapak yang permanen atau rumah batu. Masyarakat
berasalan, rumah batu lebih kuat dan kokoh, sedangkan dari aspek biaya
mendirikan rumah panggung/rumah kayu dan rumah batu biaya yang
dikeluarkan relatif hampir sama.
Keyakinan keagamaan masyarakat yang berdomisili di Desa
Botolempangan semuanya menganut agama Islam. Untuk menunjang
kegiatan keagamaan di setiap dusun memiliki masjid sebagai sarana
melaksanakan ibadah. Pada saat saya melaksanakan sholat lima waktu di
masjid-masjid yang ada di Desa Botolempangan, partisipasi masyarakat
dalam melaksanakan ibadah lima waktu di masjid pada umumnya hanya
terisi setangah sampai satu shaf, itupun sebagian hanya orang-orang
sudah berusia tua, sebab orang-orang yang masih mudah lebih sibuk
dalam aktifitas berkerja dan sekolah. Tetapi pada saat pelaksanaan sholat
jumat, masjid dipenuhi oleh jemaah karena sholat jumat harus dikerjakan
secara bersama-sama dan tidak bisa dikerjakan secara individual.
49
F. Mata Pencaharian
Kegiatan ekonomi masyarakat Desa Botolempangan masih
didominiasi pada sektor pertanian, mengingat desa ini merupakan daerah
hamparan persawahan, khususnya masyarakat Dusun Lempangan, Ujung
Bulu, Mangemba dan Tanggaparang. Jenis persawahan di Desa
Botolempangan merupakan sawah tadah hujan. Meskipun sawah tadah
hujan tetapi saat ini masyarakat sudah dapat menikmati dua kali panen
dalam setahun, sebab saat musim hujan masyarakat mulai menanam
pada bulan November dan panen di bulan April, dan setelah panen
langsung dilanjutkan untuk masa tanam musim kemarau karena antara
bulan Mei dan Juli Desa Botolempangan masih mendapatkan hujan.
Khusus untuk masyarakat Dusun Tamangesang yang merupakan
daerah perbukitan gunung kapur, masyarakatnya masyoaritas
mengadalkan sektor tambang galian C yaitu tambang batu kapur untuk
batu pondasi bangunan. Berbagai kegiatan ekonomi di sektor tambang
galian C, ada yang bergerak di sektor pengangkutan (penyewaan truk)
dan adapula di sektor tambang batu, masyarakat setempat menamakan
profesi pemukul batu dengan istilah “Pakebung Batu”. Batu-batu hasil
tambang batu kapur dari Dusun Tamangesang lebih banyak di ]pasarkan
di wilayah Makassar.
Selain pertaninan dan tambang batu kapur, sumber penghasilan
masyarakat Botolempangan berasal dari petambak, nelayan, beternak
sapi, kambing, dan ayam. Profesi masyarakat pada sektor jasa berupa
50
tukang batu, tukang kayu, penjahit, pedagang, buruh tani, karyawan
swasta dan sebagian kecil menjadi PNS.
Populasi penduduk Desa Botolempangan dari tahun ketahun terus
bertambah, sementara pada sisi lain, sumber ekonomi utama desa yaitu
sektor pertanian dan tambang batu kapur hanya bisa memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat. Hal tersebut tergambar dalam perbicangan
saya dengan bapak AL di teras rumahnya, beliau mengatakan :
“… saat ini sawah hanya untuk makan saja, sudah tidak bisa dijual lagi hasilnya karena luasnya kecil, berbeda pada saat sawah dimiliki oleh orang tua saya, cukup luas, tetapi saya bersaudara tiga orang, jadi sawahnya dibagi tiga”. Postur ekonomi masyarakat secara umum, dari 786 keluarga
terdapat 50% berada di bawah garis kemiskinan (prasejahtera),
sedangkan yang rentang miskin terdapat 30.41% keluarga, berikut ini data
lengkapnya :
Tabel 2. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Botolempangan
No Tahap Sejahtera Jumlah
Keluarga Persentase
1 Prasejahtera 393 50 %
2 Sejahtera I 239 30.41 %
3 Sejahtera II 81 10.31 %
4 Sejahtera III 50 6.36 %
5 Sejahtera III Plus 23 2.93 %
Jumlah 786 100 %
Sumber : BPS Maros, Kecamatan Bontoa Dalam Angka 2018
51
G. Sistem Kekerabatan
Masyarakat desa Botolempangan terdiri dari dua rumpung
keluarga, karena desa ini merupakan perjumpaan dua suku yakni Bugis
dan Makassar. Muhammad Warif merupakan kepala Desa
Botolempangan mengatakan, “antara dusun Lempangan dan Ujung Bulu
tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu rumpung keluarga, tidak ada
orang lain tapi Bija Pammanakang semua, dalam kesehariannya
menggunakan bahasa Makassar, sedangkan yang di sebelah sungai ada
tiga dusun yaitu Mangemba, Tangaparang, dan Tamangesang mereka
juga satu rumpung keluarga (Asseajingeng) yang dalam kesehariannya
menggunakan bahasa Bugis”.
Meskipun dalam keseharian masyarakat Desa Botolempangan
menggunakan dua bahasa (bilingual) akan tetapi sistem kekerabatannya
sama yaitu bilateral. Sistem kekerabatan seperti ini mengikuti lingkungan
pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu atau garis keturunan
berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadi sangat
luas disebabkan karena, selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga
menjadi anggota keluarga dari pihak ayah.
Sistem kekerabatan bilateral memberikan pemahaman bahwa
kedudukan suami istri dalam keluarga dekat adalah sama. Dengan
demikian bagi setiap individu dalam masyarakat, sesama kaum kerabat
ibu maupun ayah masuk dalam batas hubungan kerabatnya. Jalinan
kekerabatan di antara mereka memegang peranan penting dalam
membangun semangat kebersamaan untuk saling tolong menolong, baik
52
itu dalam hal kegiatan daur hidup seperti lahiran, sunatan, pesta
pernikahan, kematian, maupun dalam pemenuhan kebutuhan pokok bagi
orang lanjut usia (sekuritas sosial tradisional).
Hubungan kekeluargaan pada masyarakat Desa Botolempangan
mereka menyebut dalam bahasa Bugis: Asseajingeng, Makassar: Bija
Pammanakang yang terbentuk melalui pertaliaan darah maupun melalui
pernikahan (sialle). Sistem kekerabatan masyarakat Desa Botolempangan
melalui dua jalur, yaitu hubungan kerabat sedarah (consanguinity) yang
disebut Bugis: seajing Makassar: bija ma’reppese, dan hubungan kerabat
karena perkawinan (affinal) yang disebut Bugis: siteppa-teppa Makassar:
bija bella. Kerabat sedarah amat besar peranannya dalam kehidupan
sehari-hari, selain berkewajiban mengurus masalah perkawinan dan
kekerabatan. Anggota keluarga dekat inilah yang menjadi orang yang
malu (siriq) bila ada orang yang sudah lanjut usia (lansia) hidup terlantar
karena tidak memilki harta benda. Sementara keluarga jauh baru berperan
banyak apabila keluarga luas tersebut mengadakan upacara-upacara
seputar daur hidup, seperti upacara perkawinan, kelahiran, kematian,
mendirikan rumah baru, dan sebagainya.
53
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan kegiatan penelitian lapangan untuk
penyelesaian studi program magister saya. Rasa khawatir sudah tentu
ada, terutama soal kemampuan untuk beradaptasi, agar dapat berbaur
dengan orang yang sudah lanjut usia (lansia) dan masyarakat setempat,
yaitu masyarakat Desa Botolempangan Kecamatan Bontoa Kabupaten
Maros, Sulawesi Selatan. Rasa khawatir menjadi sedikit berkurang karena
lokasi penelitian terletak di Kabupaten Maros yang merupakan tempat
kelahiranku, meskipun lahir di Maros tetapi sesungguhnya saya tidak
pernah menginjakan kaki di Desa Botolempangan dan sudah berhijrah
dari Maros ke Makassar sekitar 20 tahun yang lalu karena alasan
pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan.
Di kala matahari mulai menyapa bumi dengan kehangatan sinarnya
di pagi 04 Maret 2019, saya bergegas meninggalkan rumah untuk menuju
lokasi penelitian dengan berbekal satu tas ransel berisi beberapa lembar
pakaian, alat tulis, buku, alat perekam, laptop, handphone, dan obat-
obatan. Perjalanan menuju Desa Botolempangan saya tempuh sekitar dua
jam perjalanan dengan kendaraan sepeda motor dari tempat tinggal saya
di BTP Makassar.
Saat tiba di kantor Desa Botolempangan, saya harus menunggu
karena kepala desa belum ada, seorang staf kantor desa mempersilahkan
54
saya untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu, dengan rasa
canggung dan malu-malu saya pun duduk bersama dua orang yang
bernasib sama menunggu kepala desa. Sorotan mata para staf desa
menujuh kearahku dengan tajam, tatapan tersebut semakin meempertebal
kegalauan pikiran dan perasaanku, ya rasa khawatir kembali bergejolak
mengingat saya adalah “orang asing” bagi masyarakat yang didatangi.
Salah satu staf desa datang menghampiriku dan bertanya “dari mana
pak?” jawabku, “mahasiswa dari Unhas”, ketika saya ingin menjelaskan
lebih lanjut maksud dan tujuan saya, justru staf tersebut beranjak pergi
menuju teman kerjanya sambil menyapaikan tentang asalku dan
pandangan mereka sedikit mulai teduh dan ramah.
Kesibukan mulai mengeliat, ketika kepala desa memasuki kantor,
orang disamping saya langsung bangkit dari tempat duduknya menuju
ruangan pelayanan masyarakat. Tiba giliran saya untuk dilayani, oleh
kepala desa diarahkan masuk keruangannya, bukan di ruang pelayanan
masyarakat. Mendapatkan perlakukan khusus, sedikit mampu meretas
rasa kekhawatiranku. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan penelitian
yang saya akan lakukan, dengan penuh antusias kepala desa merespon
positif, bahkan sebelum bermohon tinggal, beliau lebih duhulu
menawarkan rumahnya untuk saya tempati dan jadikan base camp, tampa
berpikir panjang langsung saya setujui dan berterima kasih. Hari pertama
di lokasi penelitian merupakan hari keberuntungan bagi saya sebab,
setelah bertemu dengan Kepala Desa Botolempangan di kantornya,
55
kekhawatiran tentang berbagai kesulitan yang saya pikirkan nampaknya
mulai tidak terbukti dengan kemudahan yang saya dapatkan.
A. Kondisi Kehidupan Sosial Budaya Orang Lanjut Usia
Proses menjadi tua merupakan fenomena alami, akan tetapi dalam
menentukan pola kegiatan, sikap, larangan, kewajiban, kedudukan, dan
peranan orang lansia dalam keluarga dan masyarakat sangat ditentukan
oleh sistem sosial budaya yang dimiliki oleh keluarga dan masyarakat
tersebut. Karena sistem sosial budaya merupakan suatu keseluruhan dari
unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling
berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta
bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan
hidup manusia dalam masyarakat.
Menjadi lansia merupakan tahap akhir dari siklus kehidupan
manusia, tua bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan
dan akan dialami oleh setiap mahluk hidup termasuk manusia. Pada tahap
ini manusia mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses
penuaan normal, seperti rambut mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di
wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya
tahan tubuh, semua itu merupakan acaman bagi integritas orang usia
lanjut. Belum lagi saat di masa lanjut usia harus berhadapan dengan
kehilangan berbagai peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan
dengan orang-orang yang dicintai. Dari berbagai akumulasi problem
56
dialami oleh lansia sehingga muncul stigma secara umum bahwa lansia itu
lemah dan tidak berdaya, stigma tersebut tidak sepenuhnya benar karena
di tengah masyarakat Botolempangan masih ada lansia yang tangguh.
1. Peran Lansia Dalam Keluarga
TA seorang lansia yang berusia sekitar 70 tahun bersama istrinya
SA berumur 65 tahun tinggal berdua-duan di rumah panggung yang
berukuran 4x6 meter di Dusun Tamangesang. Di rumah itu TA dan SA
telah mengarungi bahtera kehidupan rumahtangganya sudah melewati
setengah abad, usia pernikahan emas mereka berdua sudah raih karena
anak tertuanya saat ini berumur 51 tahun. Di dalam rumah yang selama ini
menaungi mereka berdua terasa sesak, karena depan pintu masuk ada
tumpukan padi sebagai stok pangan untuk satu tahun, pada bagian kiri
terdapat ranjang besi dilengkapi kasur tipis dan sprei yang sudah lusuh,
disamping tempat tidur terlihat lemari pakaian. Di area dapur terdapat
tungku api yang di atasnya ada rak penyimpanan kayu bakar, tempat
mencuci piring dan tempat untuk makan. Sedangkan untuk area kolom
rumah, mereka berdua memanfaatkan untuk beternak ayam dan bebek.
Pekerjaan pokok TA saat ini adalah bertani, pekerjaan ini sudah dia
tekuni sejak berhenti menjadi penambang batu kapur sekitar 10 tahun lalu.
Sebagian sawah yang dia kerjakan merupakan miliknya sendiri, sawah
tersebut dia peroleh dari hasil kerja kerasnya menambang batu kapur
sejak usia muda. Selain sawah miliknya, TA juga makatenning galung
(memegang gadai sawah) orang lain. Tipologi persawahan yang
dikerjakan oleh TA merupakan sawah tadah hujan, hanya bisa dikelola
57
sekali dalam setahun karena lokasinya berada di dataran tinggi antara
area perbukitan batu kapur.
Selain bertani, TA bersama istrinya menanfaatkan area padang
rumput yang tumbuh subur di sekitar rumahnya dengan cara mamppi sapi
(beternak sapi), jumlah sapi yang digembalakan saat ini mencapai
sembilang ekor, sapi-sapi tersebut dia kandangkan di depan rumahnya.
Menurut TA, sapi-sapi tersebut merupakan tabungannya yang bisa dia jual
kapan saja dia membutuhkan uang.
Di usia yang sudah lansia mereka berdua sering dilanda penyakit,
TA menderita penyakit masemmeng (panas dingin) yang dia derita sejak
muda, sedangkan istrinya menderita sakit malipunu (pusing kepala), tetapi
penyakit tersebut bukan penghalang baginya untuk bertani dan beternak
sapi. Hasil yang dia peroleh dari bertani, sebagian padinya diberikan
kepada anak-anaknya, begitu pula ketika dia menjual sapi sebagian
uangnya diperuntukan ketiga anak dan ketujuh cucu-cucunya yang tinggal
disamping rumahnya.
Meskipun TA memberikan jaminan beras dan terkadang juga uang
kepada anak dan cucunya, pada saat yang sama TA juga membutuhkan
perhatian dan kasih sayang seperti anak bungsunya tadinya tinggal diluar
kampung kemudian ikhlas menjual rumahnya dan pindah kedekat rumah
orang tuanya, sehingga saat ini kesemua anaknya sudah tinggal dekat
rumahnya. TA merasa “makesingi ko cede’ bolaki anak-anakta na saba
eso-esonaki si’ita (bagus kalau dekat rumah dengan anak karena setiap
hari ketemu)”. Kemandirian TA bersama istri bukan berarti tidak ada
58
kesulitan, anaknya masih memberi beberapa bantuan misalnya, bantuan
sambungan listrik gratis, ketika sakit anaknya membawah ke Pustu
(Puskesmas Pembantu) untuk berobat dan keponakannya juga
memberikan bantuan pengobatan secara tradisional.
Kepedulian TA tidak terbatas hanya terhadap keluarga intinya,
tetapi juga perhatian terhadap kerabat yang tidak mampu. Solidaritas TA
diwujudkan dalam bentuk saat panen padinya tidak diberikan kepada jasa
pemotongan padi dengan mobil (doros), karena TA memandang orang-
orang tersebut tau masogi (orang kaya) karena bisa beli mobil pemotong
padi yang harganya ratusan juta. Jadi TA lebih memilih padinya dipotong
oleh keluarganya yang miskin karena dia menganggap “di are’ na sitinaja,
apalagi elo toni na karesoi” (diberikan saja itu wajar apalagi dia ingin
kerjakan). Hal tersebut memperlihatkan bahwa TA masih sangat menjaga
sistem kekerabatan dalam keluarganya.
Usaha keras TA dalam bekerja mulai usia muda hingga lanjut usia
disebabkan, “makonami bawang idi’ tau ma towae na diberusahaki, na
jako macoaki eloki manre depa ni mate, na de nauleki na areng ana-anae
na deto aga-aga sehingga berusahaki mel’li tana ko engka doita, na ia tu
dijaga tau pedalamange” (bahwa kami ini orang tua berusaha sebab
jangan sampai pada saat tua nanti kami mau makan karena belum
meninggal sementara anak-anak tidak bisa memberi makan karena
mereka juga tidak punya apa-apa, sehingga kalau ada uang berusaha beli
sawah, sebab itulah yang dijaga sebagai orang kampung).
59
Peran pewarisan nilai-nilai dan tradisi keluarga masih sangat dijaga
dan terus dilestarikan oleh TA. Seperti kegiatan tradisi mabbaca nanre
doang (membaca doa makanan persembahan) untuk orang tua yang
sudah meninggal dunia. TA mengaggap mabbaca nanre doang sebagai
bentuk tanggungjawab dan kewajibannya saat masih hidup. Kegiatan
tradisi mabbaca nanre doang biasanya dilaksanakan sebelum memasuki
bulan suci ramadhan, saat hari lebaran (idhul fitri), dan saat lebaran haji
(idhul adha). Tempat penyelenggaran mabbaca nanre doang dipusatkan
pada rumah TA dan semua anak dan cucu-cucunya (keluarga inti) wajib
untuk datang untuk memasak dan berdoa bersama-sama.
Di usia yang tidak muda lagi, keberadaan TA dalam keluarganya
sangat penting karena mengajarkan nilai-nilai dan tradisi serta merupakan
perekat (pemersatu) keluarga, kebanggaan, dan panutan (rool model) bagi
anak dan cucu-cucunya. NS (49 tahun) merupakan anak kedua TA, saat
saya bertemu dengannya, dia mengatakan :
“Saya sangat bangga pada orang tuaku karena memiliki berbagai kelebihan seperti pekerja keras untuk menghidupi keluarganya, keahlian mabaca-baca doang, kalau ada masalah orang tuaku bisa selalu memberikan nasehat dan pengalamannya juga banyak”.
Selain TA, PS juga merupakan sosok perekat dan penjaga tradisi
dalam keluarganya. Meskipun anak-anaknya sudah memiliki rumah
masing-masing, sehingga PS harus tinggal seorang sendiri dirumahnya di
Dusun Tangaparang dan tidak bisa lagi menjadi sumber nafkah bagi anak-
anaknya, tetapi diusia 80 tahun dia masih diandalkan oleh anak-anaknya
untuk memutuskan hal-hal yang penting dalam keluarga seperti dalam hal
60
diterima atau tidaknya lamaran pernikahan dalam keluarganya masih
ditentukan oleh PS.
Di dusun yang sama, SK juga merupakan lansia yang memiliki
peran penting bagi keluarganya. SK anak ketiga dari lima bersaudara,
saat ini dia berusia sekitar 65 tahun, suami yang dia sayangi sudah
berpulang kerahmatullah sembilang tahun yang lalu. Dari hasil
perkawainannya, SK dikaruniai dua orang putra. Melalui anak tertuanya,
SK telah memiliki enam appo (cucu) dan dua appo uttu (cicik).
SK tinggal di rumah panggung sederhana yang terletak di tengah
area persawahan Dusun Tangaparang. Sepeninggal suaminya SK
menjadi single parent (orang tua tunggal) untuk membesarkan anak-
anaknya. Saat saya berkunjung kerumahnya, dia hanya ditemani oleh
anak bungsunya KR (30 tahun) yang masih membujang hingga saat ini.
Sementara anak tertuanya yakni SM, pergi merantau bersama istrinya.
Keikhlasan SM untuk memberikan anaknya kepada ibunya (SK) untuk
dibesarkan, sangat membuat SK merasa sangat senang karena bisa
tinggal bersama dengan cucu yang sangat dia dambakan. Hasil kerja
keras SK untuk merawat dan mendidik cucunya sudah membuahkan hasil,
saat ini keduanya sudah bekerja dan mamupu menghasilkan uang sendiri.
Ketika saya berbincang-bincang dengan SK di teras rumah
panggungnya, dengan wajah yang sudah mulai keriput tapi masih nampak
berseri, sesekali dia mengusap matanya karena mengeluarkan air mata,
dia begitu bangga mengatakan :
61
“Syukuruna kasi, na saba ma’jamani dua appoku di jupandang, ya ro se’dia ma’jamai ri galonge’, ya to se’dia ma’jamai ri ayam potong.” Artinya : Saya sudah begitu bersyukur, sebab kedua cucuku sudah bekerja di Ujung Pandang (kini Makassar), yang satu berkerja di depo air minum, sedangkan yang satu bekerja di usaha ayam potong.
Sebagai seorang single parent yang sudah lansia, SK memperoleh
nafkah untuk membesarkan anak dan cucunya dari keahliannya sebagai
sanro pammana (dukung beranak) dan sanro pa’bura (dukung penyakit)
khususnya penyakit tipes (panas dingin), sarampa (cacar), dan kerasukan
setan. Keahlian tersebut dia peroleh dengan belajar sejak kecil dari
ayahnya.
SK saat ini tidak selincah seperti dulu lagi sebagai seorang sanro,
sebab dua tahun lalu kaki kanannya terkilir dan sampai saat ini tidak
kunjung sembuh. Untuk mengobati penyakitnya, SK mengobati diri sendiri
dengan menggunakan minyak urut, dia tidak pernah terpikir untuk
menggunakan jasa dokter karena seumur hidupnya tidak pernah makan
obat dokter dan masih yakin bisa sembuh dengan minyak urut.
Profesi sanro masih punya tempat istimewa dibanyak masyarakat
Desa Botolempangan, khususnya sanro pammana. Meskipun sudah ada
bidan desa, ibu hamil masih mempercayakan penanganan kehamilannya
kepada sanro pammana, mulai tujuh bulanan, pendampingan saat
persalinan serta perawatan bayi baru lahir secara spiritual. Secara turun
temurun, keluarga SK sudah dikenal sebagai sanro, sehingga dia sudah
memiliki pasien tetap yang sudah ada sejak dulu hingga saat ini. SK juga
bekerjasama dengan praktek persalinan bidan, jadi masyarakat yang ingin
62
didampingi oleh sanro pammana dalam proses melahirkan, bidan tersebut
menggunakan jasanya.
Profesi serupa yakni sanro pammana juga digeluti oleh TJ. TJ
sebenarnya jauh lebih senior dari SK, karena usianya saat ini sudah di
atas 80 tahun. Secara fisik, tubuhnya sudah membungkuk tetapi masih
lincah bergerak untuk mengambilkan saya kursi plastik untuk duduk saat
berkunjung kerumahnya, semua rambutnya sudah memutih, gigi sudah
ompong, kulitnya keriput tetapi nampak bersih dan putih, saat saya
berbicara dengannya harus lebih dekat dengan suara keras karena
pendengaran sudah kurang jelas, penglihatan masih baik namun mata di
sebelah kanan mengalami kerusakan dua tahun lalu, disebabkan saat
hendak memasak menggunakan kayu bakar, saat itu dia mengkira minyak
tanah pada hal itu bensin, sehingga membuat apinya langsung membesar
dan menyambar bagian matanya.
Diusianya yang sudah sangat tua sehingga secara degeneratif
berdampak pada perubahan fisik TJ, tetapi hal tersebut bukan penghalang
baginya untuk menjadi sanro pammana. AL yang menemani saya saat
bertemu dengan TJ mengatakan, “Ma TJ masih sehat karena masih bisa
berjalan dan menjalankan kegiatan sehari-hari, banyak orang muda dia
kalahkan karena sudah tua tapi masih bisa dapat uang”.
Setiap orang yang menggunakan jasanya sebagai sanro pammana,
dia mendapatkan uang dan jajakan (persembahan yang berisi beras
empat liter, gula, dan kepala masing-masing satu biji). Penghasilan yang
diperoleh dia berikan kepada kedua cucunya yang tinggal di samping kiri
63
dan kanan rumahnya. Meskipun TJ memberikan bantuan kepada cucunya
tetapi sesunggunhnya dengan kesediaan cucunya menerima bantuan dari
neneknya membuat TJ merasa senang karena masih bermanfaat,
dibandingkan pemberian cucunya jauh lebih besar karena setiap hari
memberi bantuan makanan siap saji kepada TJ.
Saat ini, TJ lebih memilih tinggal sendiri dari pada tinggal di rumah
anak semata wayangnya karena pertimbangan banyak kenangan indah
bersama suami tercinta ketika masih hidup. Selain faktor kenangan,
pertimbangan yang lain menurut dia ialah di rumahnya sendiri lebih
tenang, bebas, tidak merepotkan. Dalam psikologi disebut kepribadian
Schizoid, yaitu suatu sifat kepribadian pemalu, perasa, pendiam, suka
menyendiri, menghindari kontak sosial dengan orang lain. Ciri utamanya
adalah cara menyesuaikan diri dan mempertahankan diri ditempuh
dengan menarik diri, mengasingkan diri, dan juga sering berperilaku aneh
(ekstrinsik). Pemikiran autistik selalu ingin hidup dalam dunianya sendiri,
melamun berlebihan, dan ketidamampuan menyatakan rasa permusuhan.
Sekitar 200 meter dari rumah TJ, terdapat lansia yang tak kalah
tangguhnya dalam memainkan perannya sebagai kepala rumah tangga.
Sosok tersebut ialah MR, menjadi inspirasi bagi warga sekitar rumahnya.
NR tetangga MR, mengenal bahwa “MR matinulu ma’jama (rajin bekerja)”.
MR merupakan janda yang sudah lansia, usianya saat ini sudah sekiter 65
tahun. Meskipun usianya sudah sepuh, berbagai kegiatan dia harus
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
64
Keahilian utama MR sejak muda hanya sebagai buruh sawah, hasil
yang diperoleh dari memotong padi sudah tidak banyak lagi. Selain faktor
tenaga, yang menjadi penyebabnya ialah moderenisasi pertanian. Dengan
nada kesal dan muka yang pasrah, dia mengatakan “ma susani ma’kokoe,
na saba engkani oto doros (saat ini sudah susah karena sudah ada mobil
pemotong padi)”. Keberadaan mobil pemotong padi memang membuat
profesi buruh sawah mengalami kehilangan lapangan pekerjaan. Di antara
pemilik sawah masih ada yang berbaik hati untuk tidak menggunakan
mobil pemotong padi karena pertimbangan kemanusiaan. LT memiliki
beberapa petak sawah, satu petak sawah yang ukurannya kecil diberikan
khusus ke MR untuk dipotong padinya. Jika dia berhasil memotong padi
lima belle (ember) maka mendapatkan satu belle, terkandang juga
mendapatkan bonus satu belle.
Usaha kerja keras MR memotong padi diusia yang sudah lansia
bukan tanpa sebab, karena dia memandang “iyaro berre’e panting, ko
engkani di bolae dena susa (beras itu penting, kalau sudah ada di rumah
sudah tidak susah lagi)”. Pilihan MR untuk bekerja keras memotong padi
merupakan tindakan rasional (rational choice), sebab beras merupakan
makanan pokok baginya.
Kegiatan usaha yang lain untuk menambah pendapatannya, MR
beternak ayam kampung, dia bisa menjual sekitar dua ekor setiap tiga
bulan. Saat banyak bekerja, badannya terasa pegel-pegel dan sakit pada
bagian ulu hati, tetapi sakit tersebut harus dia tahan demi untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya. Bahkan setiap hari, demi untuk memenuhi
65
kebutuhan serat dia pergi memetik sayur-sayuran yang ada disekitar
rumahnya.
Dari berbagai usaha dan kerja keras yang dia lakukan baik saat ini
maupun waktu suaminya masih hidup delapan tahun yang lalu, tidak
membuat keluarga MR menjadi sejahtera. Harta benda satu-satunya yang
dia miliki saat ini adalah rumah yang berukuran 3x5 meter. Rumah
tersebut terbuat dari atap dan dinding seng, sedangkan lantainya dari
plaster semen tipis yang atasnya dilapisi terpal plastik. Ketika hendak
masuk kerumah, saya harus permisi terlebih dahulu kepada seorang
wanita paruh baya yang lagi membuat minyak goreng dari santan kepala
di depan pintu. Saat ada di dalam rumah, saya dipersilahkan untuk duduk
di atas ranjang besi yang sudah tua lengkap dengan kelambu dan sprei
berwarna putih yang lusuh dan sudah berubah warna menjadi sedikit
kecoklatan. Karena merasa sangat tidak sopan duduk di atas tempat tidur
maka saya lebih memilih duduk bersilah di bawah lantai jalan masuk
kebagian belakang. Pada bagian belakang sebelah kiri terlihat ada lemari
pakaian dari kayu yang sudah miring kekanan, di samping lemari ada
ember berisi beras, baskom, panci, rak kecil untuk menyimpan piring dan
bagian belakang sebelah kanan difungsikan untuk memasak dengan
menggunakan kayu bakar.
Di rumah yang berukuran 3x5 meter yang terletak di atas bukit batu
gamping, dia tinggal bersama dengan anak bungsunya yaitu NA (wanita
paruh baya yang lagi membuat minyak goreng dari santan kepala di
depan pintu). Anak bungsunya saat ini sudah menjanda dua kali karena
66
kedua sumainya meninggal dunia. Sedangkan kesembilang anak MR
yang lain sudah tinggal sendiri-sendiri, hanya ada dua anaknya yang
tinggal berdekatan rumah, yang lain tinggal di luar daerah, bahkan ada
yang tinggal di Kendari dan Kalimatan. Kesepuluh anak MR belum ada
yang mapan secara ekonomi sehingga dimasa usianya yang tua belum
bisa bersantai-santai menikmati hasil jerih payah anak-anaknya, tetapi
masih harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
2. Lansia Dalam Kehidupan Masyarakat
Kehidupan keseharian masyarakat Desa Botolempangan
didominiasi pada sektor pertanian, mengingat desa ini merupakan daerah
hamparan persawahan, khususnya masyarakat Dusun Lempangan, Ujung
Bulu, Mangemba dan Tanggaparang. Sedangankan masyarakat Dusun
Tamangesang yang merupakan daerah perbukitan gunung kapur,
masyarakatnya mayoritas mengadalkan sektor tambang galian C yaitu
tambang batu kapur untuk batu pondasi bangunan. Berbagai kegiatan
ekonomi disektor tambang galian C, ada yang bergerak disektor
pengangkutan (penyewaan truk) dan adapula di sektor pemukul batu,
masyarakat setempat menamakan profesi pemukul batu dengan istilah
“pakebung batu”.
Kegiatan bertani dan pakebung batu (pemukul batu) merupakan
profesi yang memerlukan tenaga ekstra kuat sehingga pada saat usia
lanjut kegiatan tersebut sudah banyak ditinggalkan. PS merupakan lansia
tinggal di Dusun Tangaparang memiliki beberapa petak sawah, “pura
maneni uareng galuku ri anakku na saba dena ullei resoi (semua sawahku
67
sudah kuserahkan ke anak saya karena sudah tidak bisa mengerjakan
lagi)”. TM merupakan warga Dusun Tamangesang, sejak muda berprofesi
sebagai pakebung batu (pemukul batu), “macoani denagaga tenaga ma
kebung batu (sudah tua tenaga tidak ada lagi untuk memukul batu)”.
Akibat dari penurunan gerak fisik, pendengaran, penglihatan secara
drastis, banyak lansia di Desa Botolempangan lebih memilih berdiam diri
dalam rumah. Karena di era modern ini selalu mengadalkan kekuatan,
kecepatan, dan penggunakan teknologi canggih, sehingga membuat
orang yang lanjut usia sangat kesulitan untuk beradaptasi, dimana dia
dituntut untuk mampu hidup dalam perubahan zaman. Kebudayaan masa
lalu yang telah membentuk kepribadiannya jauh dari penggunaan
teknologi canggih dan kini lansia dituntut beradaptasi dengan zaman
modern membuat banyak lansia mengalami sulit.
Selain penerapan teknologi canggih dalam kehidupan manusia,
berbagai peraturan pemerintah membuat lansia di pedesaan sulit untuk
berperan dalam kehidupan sosial khususnya di bidang pemerintahan,
perannya sudah banyak dibatasi oleh berbagai aturan. Peraturan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015
Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Desa, dalam
aturan tersebut telah membatasi usia perangkat desa (sekertaris, staf, dan
kepala dusun). Untuk pengakatan perangkat desa yang baru usianya
minimal 20 tahun sampai 42 tahun dan berpendidikan paling rendah
68
Sekolah Menengah Umum (SMU), sedangkan yang sementara menjabat
jika usianya sudah 60 tahun harus diberhentikan.
LA merupakan mantan perangkat desa yang juga sudah lansia
menganggap “saat ini sudah susah, tidak bisa bersaing sama anak muda
karena cuma tamatan SD dan sekarang serba komputer”. Senada dengan
LA, NH mengatakan “dulu, kepala dusun harus orang tua supaya disegani
dan dihormati, sekarang sudah tidak bia lagi harus yang muda”.
Meskipun peran lansia dalam pemerintahan desa sudah dibatasi
oleh peraturan pemerintah, lansia masih dapat berfungsi dengan baik di
tengah masyarakat dalam hal keagamaan dan tradisi. RH merupakan
lansia yang sudah berusia sekitar 65 tahun, masih dipercaya oleh
masyarakat untuk menjadi imam dusun sekaligus imam masjid. ST juga
merupakan lansia yang sudah berumur 60 tahun masih aktif dan setia
mengajari anak-anak di sekitar rumahnya untuk membaca al-quran, dari
profesi tersebut ST memperoleh reski dan menjadikan sebagai sumber
penghasilan.
Masyarakat Desa Botolempangan semuanya memeluk agama
Islam dan sebagian besar mengikuti ajaran Nahdatul Ulama (NU) yang
mengabungan antara ajaran agama Islam dengan tradisi-tradisi
masyarakat yang tidak bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.
Pembacaan barazanji (kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW), sudah
merupakan bagian yang tidak dapat di pisah dari upacara adat seperti
perkawinan, menre aji (naik haji), umroh, oto baru (mobil baru), akikah,
dan tradisi lainnya. Aktor-aktor yang membacakan barazanji pada
69
umumnya penduduk yang sudah tua dan lansia. Dari kegiatan membaca
barazanji para lansia memperoleh imbalan berupa hidangan makan serta
bingkisan yang di bawah pulang berupa pisang, sokko, kue, dan uang
saku yang jumlahnya sangat variatif antara 20 ribu sampai 50 ribu rupiah.
TA lansia berumur 70 tahun tinggal di Dusun Tamangesang,
memiliki peran penting bagi hidupan masyarakat sekitar. Tradisi ma’tama
bola (masuk rumah), ma’patetong bola (mendirikan rumah), majappi tau
ma’lasa (mengobati orang sakit), dan mabbaca nanre doang (membaca
doa makanan persembahan) merupakan layanan yang diberikan dia
kepada masyarakat disekitarnya. Pada saat yang sama TA memperoleh
imbalan berupa hidangan makan, pisang, sokko, kue, dan uang saku serta
penghormatan dari masyarakat sekitarnya.
Di bidang kesehatan, khususnya kesuburan, kehamilan, kelahiran,
sampai pada proses perayaan keselamatan anak. SK dan TJ sebagai
seorang sanro pammana memiliki peran penting dalam kehidupan
masyarakat Botolempangan dan sekitarnya. RS sudah memiliki tiga anak,
kesemuanya proses kelahirannya selain menggunakan jasa bidan, dia
juga didampingi oleh sanro pammana. “kalau sudah tujuh bulan pergi ke
sanro pammana dan melaksanakan appassili untuk menghilangkan sial
agar ibu dan bayi selamat dalam proses persalinan, kalau mau melahirkan
didampingi oleh sanro pammana untuk memeriksa posisi bayi dalam
kandungan serta meniupkan doa kedalam air untuk diminum dan
diusapkan pada bagian perut, setelah bayi lahir maka ibu diurut selama
tiga hari berturut-turut agar darah dan sisa air ketubang dalam kandung
70
keluar semua, setelah tujuh hari maka bayi di panoi cemme (acara
selamatan) yang dipimpin oleh sanro pammana”.
Struktur kehidupan masyarakat modern memang sulit memberikan
peran fungsional pada warga usia lanjut karena selalu mengadalkan
penerapan teknologi yang canggih. Di antara modernisasi yang membawa
berbagai konsekuensi pergeseran budaya, masih ada tradisi yang dapat
eksis di tengah masyarakat. Kesemua tradisi tersebut hampir semuanya
diperankan oleh lansia, peran tersebut sekaligus merupakan sumber
pendapatan bagi lansia.
B. Bentuk Sekuritas Sosial
Sekuritas sosial dapat dilihat sebagai suatu pendekatan fungsional,
yaitu berbagai tindakan atau bantuan dari berbagai pihak untuk dapat
berfungsi mengatasi kesulitan yang dialami oleh seseorang, khususnya
kebutuhan dasar bagi anggota masyarakat. Lansia merupakan kelompok
masyarakat yang paling rentang mengalami berbagai kesulitan karena
secara fisik, mental, dan psikologis telah menurun secara drastis.
Untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dialami oleh lansia maka
ada dua sumber utama yakni sekuritas sosial tradisional (informal) adalah
pemberian yang sumbernya dari keluarga inti, kerabat, tetangga, orang
sekampung, teman, dan patron-klien. Sedangkan sekuritas sosial formal
yakni pemberian bersumber dari institusi pemerintah dan organisasi
formal.
71
1. Sekuritas Sosial Tradisional (Informal)
Kondisi kehidupan sosial ekonomi antara satu lansia dengan lansia
yang lain di Desa Botolempangan sangat bervariasi. TA merupakan
contoh keluarga lansia masih baik karena diusianya yang sudah 70 tahun
masih bisa mandiri secara ekonomi dan telah mengarungi bahtera
kehidupan mahligai rumahtangga selama setengah abad bersama istri
tercinta. Di samping rumahnya terdapat tiga rumah anaknya, dia merasa
“makesingi ko cede’ bolaki anak-anakta na saba eso-esonaki si’ita (bagus
kalau dekat rumah dengan anak karena setiap hari ketemu)”. Kemandirian
TA bersama istri bukan berarti tidak ada kesulitan, anaknya masih
memberi beberapa bantuan misalnya, bantuan sambungan listrik gratis,
ketika sakit anaknya membawah ke Pustu (Puskesmas Pembantu) untuk
berobat dan keponakannya juga memberikan bantuan pengobatan secara
tradisional.
Lansia lainya yang secara ekonomi masih mandiri ialah TJ, diusia
yang sudah di atas 80 tahun masih aktif menjalankan profesinya sebagai
sanro pammana. Setiap orang yang menggunakan jasanya, dia
mendapatkan uang 350 ribu dan jajakan (persembahan yang berisi beras
empat liter, gula, dan kelapa masing-masing satu biji). Untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya, sejak dua tahun terakhir TJ sudah dilarang untuk
memasak sendiri karena dikhawatirkan terjadi kebakaran, sehingga dia
mendapatkan jaminan makanan siap saji dari kedua cucunya yang
berdampingan rumah. FT bertugas menyiapkan makan siang sedangkan
72
BT untuk makan malam. Layanan sambungan listrik dan WC diperoleh
dari rumah FT secara gratis.
MR tidak seberuntung TJ yang profesinya sebagai sanro
pammana, masih mendapatkan ruang dalam masyarakat dan tidak
tergusur dengan kehadiran bidan bahkan cenderung bekerja sama.
Keahlian satu-satunya MR yang ditekuni sejak usia muda sampai di usia
lansia ialah memotong padi, kehadiran mobil pemotong padi membuatnya
harus gigit jari karena efisiensi dan efektifitas penggunakan mobil
pemotong padi dirasakan oleh pemilik sawah sehingga beralih
menggunakan teknologi mesin pemotong padi.
Untuk memenuhi kebutuhan pokok khususnya beras, jasa MR
sebagai pemotong padi masih mendapatkan layanan kerjasama dari LT
untuk dipotongkan padinya dan sumber beras lainnya berasal dari imam
kampung (zakat fitra) dan sedekah dari tetangganya ketika habis panen
padi. AL merupakan tetangganya “ko purani ma sangki, engka tona berre’
cede’ diwarengngi MR (kalau sudah potong padi, sudah ada beras sedikit
dikasi MR)”.
Di samping rumah MR, terdapat rumah anaknya yakni SG. SG
memberi bantuan sambungan penerangan listrik secara gratis dan
sesekali memberikan lauk pauk kepada ibunya. Para tetangga sesekali
membawahkan kue, kopi dan gula. Untuk bantuan tenaga MR
bendapatkan dari tetangga seperti ketika dia memperbaiki rumah
dikerjakan oleh AL dan saat habis panen mendapatkan bantuan
pengangkutan gabah ke rumahnya secara cuma-cuma.
73
Serupa dengan MR, SN merupakan lansia yang juga kesulitan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar khususnya beras. Orang tua SN
dahulu memiliki sawah tetapi semua sudah dijual “labusuki na’balukang
barangna tau toaya, tujuka asaribatang nampa lima burane, labusuki
na’balukang na’pabaineang (habis dijual harta (sawah) orang tua, saya
tujuh bersaudara ada lima laki-laki, semua habis dijual untuk
mengawinkan anak-anaknya)”. Jadi saat ini SN harus beli beras, jika tidak
ada uang maka berharap bantuan dari keluarga, “puna tenamo doi
dipaballi berasa’ na dieromi angganre mae mamaki appala-pala ri
kamanakanga (jika sudah tidak ada uang dibelikan beras dan sudah ingin
makan maka terpaksa pergi mengemis di keponakan)”.
Kesulitan tersebut sering dialami oleh SN, karena dia hanya
berkerja sebagai nelayan pesisir. Untuk mendapatkan uang 100 ribu dia
harus pergi berlayar menelusuri bibir pantai hingga ke wilayah Segeri
Pangkep untuk menangkap kepiting bakau. Perjalanan dia tempuh selama
tiga hari tiga malam dan tidur diatas perahu. Profesi tersebut sudah dia
tekuni sejak enam tahun terakhir. Sebelum menjadi nelayan, SN
sebenarnya memiliki profesi yang dia sangat senangi yakni sopir truk, tapi
naas, profesi yang sudah membesarkan selama 25 tahun, membuat dia
harus kehilangan pendengaran akibat mobil yang dia kemudikan jatuh
terguling-guling ke sungai terjal di daerah Barru.
Di usia yang sudah menginjak 65 tahun, SN kini hidup berdua
menjalin mahligai rumahtangga dengan istri ketiganya bernama AT yang
juga sudah lansia. AT hanya memiliki keahlian di dapur, itupun
74
keahliannya hanya masakan-masakan yang tidak terlalu rumit. Para
tetangga dan keluarga sering menggunakan jasa AT ketika ada hajatan
untuk memasak dan membersihkan. Sepulang dari acara AT biasanya
membawa uang, beras, gula dan makanan jadi.
Dari hasil perkawinan pertamanya, SN dikarunai dua orang putri
yakni SG dan BL. Kedua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah
masing-masing, SG tinggal di daerah Maros dan BL menjadi TKI di
Malaysia. Karena keduanya sudah berkeluarga dan juga belum mapan
secara ekonomi jadi SN hanya sesekali diberikan uang dengan jumlah
yang tidak banyak.
Di Desa Botolempangan ada pula lansia yang secara total hanya
tinggal di dalam rumah dan mendapatkan pelayanan penuh dari keluarga.
SG seorang lansia perempuan sudah berusia di atas 80 tahun, dia hanya
tinggal di dalam rumah semi permanen yang berukuran 6x8 meter. Rumah
tersebut diperoleh dari hasil gotong royong anak-anaknya karena rumah
peninggalan suami habis dilalap api. SG sedikit beruntung sebab dari
kelima anaknya, ada dua berdekatan rumah sedang yang lain tinggal di
luar daerah.
Paska kejadian yang memilukan itu, SG mendapatkan pelayanan
dan fasilitas dari anaknya yakni RB untuk tinggal bersama di rumah batu
berlantai dua nampak paling mewah di antara rumah yang lain. SG hidup
nyaman bertahun-tahun di rumah RB karena mulai dari kebutuhan
makanan, kesehatan, dan kasih sayang semuanya terlayani dengan
sangat baik. Di tahun 2017, SG kembali mengalami cobaan berat, dia
75
terjatuh dari tangga sehingga membuatnya harus masuk rumah sakit dan
mengalami patah tulang pada bagian tangan kanan. Kejadian itu pula
membuat trauma tinggal di rumah RB dan memaksa untuk kembali tinggal
di rumahnya sendiri.
Meskipun tinggal sendiri, SG tetap mendapatkan sekuritas penuh,
RB tetap melayani orang tuanya sama ketika tinggal bersama, khususnya
pada masa perawatan saat sakit, “sebelum pergi kerja, saya kesana dulu
kasi mandi, ganti popoknya, kasi minum obat, dan kasi makan. Kalau saya
pulang kerja hanya buka jilbab dan langsung ke sana”. Untuk bantuan
penerangan listrik, sambungan air bersih, dan makanan sehari-hari SG
memperoleh dari bantuan dari RF yang juga merupakan anaknya.
Anaknya yang berada di luar daerah sesekali datang membesuk dan
memberinya uang.
Menurut RB yang selama ini merawat orang tuanya, “pemeliharaan
orang tua tidak hanya sekedar memberi uang dan makanan, tetapi orang
tua lebih butuh teman bicara, canda, tawa, dan kasih sayang”.
Pengetahuan tersebut dia peroleh ketika ibunya mengeluh “iyanu,
sangging na’sare tonja doena, tapi tiyai anjo kusaring kukeroki, tapi eroku
nakke ammempo-mempo tongko anjo naung accarita-carita tongki,
ammakkala-makkala, ampuru’-purusuka (dia seseorang, sering juga dia
memberi saya uang, tapi bukan itu yang saya mau, mau saya dia duduk-
duduk dahulu, sambil kita bercerita, ketawa-ketawa, dan mengelus-
gelusku)”.
76
Bentuk pelayanan tersebut merupakan kearifan lokal yang dapat
dipahami sebagai gagasan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan
bernilai baik bagi lansia karena pemberian tidak hanya terbatas pada
aspek materil, tetapi aspek non-materil berupa perhatian dan kasih
sayang.
Senanda apa yang disampaikan oleh ibu RB, pengalaman SB
ketika merawat PS orang tuanya yang sudah berusia diatas 80 tahun.
“Pernah dulu, dia (PS) gemetar sambil menangis, pada hal disediakan
makanan tapi tidak mau makan, saya telepon semua saudara karena
tambah loyoh takutnya dia meninggal, itu malam semua saudara datang.
Saat semua anaknya datang penyakitnya langsung terobati. Jadi menurut
pengalaman saya, yang paling dibutuhkan adalah kasih sayang, kalau
semua anak-anaknya datang perasaanya enak, kalau anak-anaknya
sudah pergi semua dan sendiri di rumah kerjanya tidur saja, tapi kalau ada
yang datang langsung dia bangun pakai baju dan semangat bercerita
serta mukanya cerah, sehingga saya beranggapan ini orang tua (PS) mau
dihibur terus”.
Meskipun SG dan PS sudah tidak bisa menghidupi diri sendiri, tapi
mereka sangat beruntung karena diusia 80 tahun, secara materil
(dukungan ekonomi) dan non-materil (dukungan psikologis) dapat
terlayani dengan baik oleh anak-anak mereka. Nasib jauh berbeda dengan
yang dialami RK, seorang lansia laki-laki berusia 70 tahun harus tinggal
sendiri dilanda rindu (ma’dani) yang amat dalam ke anak satu-satunya
karena tak kunjung datang, sejak kecil harus terpisah karena pergi
77
merantau untuk mencari penghidupan ekonomi yang lebih baik. Anak
semata wayangnya yakni RH terakhir mengunjunginya di tahun 2009 dan
tidak pernah lagi datang sampai saat ini. SH menganggap, “RH
merupakan anak yang berdosa dan sangat tega kepada orang tuanya”.
Kurangnya kepedulian RH terhadap orang tuanya tidak terlepas
dari peristiwa masa lampau. SH (keponakan) mengaku bahwa RK
terkadang bercerita padanya “mungkin saya kasi begini (tidak dirawat)
oleh anak karena sejak kecil saya juga tidak merawatnya”. RH sejak balita
dibesarkan oleh neneknya karena ibunya meninggal dunia karena ditabrak
mobil. Sepeninggal ibunya, bapaknya (RK) pergi merantau dan beristri lagi
sebanyak dua kali di perantauan. Di saat usia tua, RK kembali ke
kampung tetapi tidak menjumpai lagi anaknya karena RH sejak dewasa
juga pergi meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan
ekonomi yang lebih baik. Terpaksa RK harus tinggal sendiri dan
menumpang lahan orang lain untuk mendirikan pondok bambu.
Untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, air bersih, serta aliran
listrik, RK mendapatkan sekuritas dari keponakan (JM) yang ada di
samping rumah. Sebelum tinggal di rumah sekarang, RK tinggal di gubuk
bambu beratap rumbia, tetapi karena kebaikan SH (keponakan)
menguruskan pembangunan rumah panggung beratap seng serta lantai
dan dindingnya dari kayu papan sehingga memperoleh rumah layak huni.
Di dalam rumah hanya tampak satu kopor, gabus styrofoam berisi
beberapa lembar pakaian, kasur tipis tanpa sprei yang dilengkapi bantal
dan guling tak bersarung. Dalam menjalani hari-hari RK hanya berdiam
78
diri di dalam rumah, saat saya berbincang-bincang tentang kegiatan
kesehariannya, tiba-tiba mata sayunya beralih menatap kedinding dengan
tatapan kosong dan berkata dengan suara pelan terbata-bata
“ma’dodongni nyawaku (saya sudah tidak kuat lagi)”.
Nasib malang juga dialami ST, diusia sekitar 60 tahun dengan
kondisi fisik yang sering sakit-sakitan harus menjalani hidup seorang diri di
gubuk reyot tanpa ada aliran listrik, yang diakuinya gubuk tersebut
dibangunkan tiga tahun yang lalu oleh kedua sepupunya yakni HS dan
PD. Kondisi gubuk berukuran 3x3 meter yang ditempati oleh ST jauh dari
kata layak sebagai tempat tinggal. Selain tidak memiliki aliran listrik, atap
dan dindingnya berbahan seng tua juga sudah bocor, untuk menutupi
bocor kiri kanan hanya dilapisi baliho usang, sedangkan lantainya dari
tanah yang becek saat musim hujan. Di dalam rumah tidak terlihat satu
pun barang berharga, hanya tampak tumpukan baju diatas bale-bale
bambu kecil yang biasa dia tempati tidur. Di belakang pintu masuk d iatas
lantai tanah yang becek ada kompor satu mata, panci, piring kotor yang
masih dalam baskom berisi air.
Sejak empat tahun lalu, ST mengaku harus berhenti beraktifitas
menjadi pembantu rumah tangga dan hanya berdiam diri dalam rumah
lantaran pingul dan kaki kanannya sakit. “ruang tauma lebbaka na lappo
motor (dua tahun yang lalu saya ditabrak motor)”. Celakanya dia
merupakan korban tabrak lari dan sampai saat ini belum ditemukan siapa
pelakunya.
79
Lantaran tidak dapat lagi bekerja seperti biasa, untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, ST sebagai janda tua dan hidup sebatang kara
sangat menggantukan hidupnya pada bantuan orang lain. “tena apa-
apangku, panggamaseang mami ri parangta rupa tau (tidak punya apa-
apa lagi, hanya berharap rasa kasihan sesama orang)”. ST mendapatkan
bantuan beras, telur, dan uang dari ML yang merupakan keponakannya
dan bantuan sambungan listrik dari tetangganya yakni DS yang juga
merupakan kerabat dekat.
2. Sekuritas Sosial Formal
Sekuritas sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai
suatu langkah kebijakan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman
bagi masyarakat miskin (the poor), terutama kelompok masyarakat yang
paling miskin (the poorest). Perlindungan sosial diarahkan untuk
mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial
seseorang, keluarga, kelompok dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar.
Kelompok masyarakat yang berusia lanjut merupakan masyarakat
yang sangat rentan mengalami kesulitan karena faktor usia. Negera
merupakan penyelenggara pemerintahan memiliki kewajiban untuk
melindungi rakyatnya, maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan lanjut
usia, yang antara lain meliputi pelayanan keagamaan, pelayanan
kesehatan, pelayanan untuk prasarana umum, dan kemudahan dalam
penggunaan fasilitas umum.
80
Implementasi peraturan pemerintah tersebut diwujudkan dalam
program untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pada lansia
yaitu dengan dibentuknya posyandu lansia, pelatihan kader usia lanjut
dibidang kesehatan, pembinaan senam bugar lansia, pembentukan
kelompok Bina Keluarga Lansia (BKL), serta memperlakukan KTP seumur
hidup. Sementara jaminan seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) untuk
bantuan beras, Program Keluarga Harapan (PKH) untuk bantuan uang
tunai, Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk jaminan kesehatan merupakan
program pemerintah yang sifatnya umum untuk semua masyarakat miskin
bukan khusus untuk orang lanjut usia. Realisasi program pemerintah yang
dapat dirasakan oleh orang lanjut usia di Desa Botolempangan seperti :
a. Bantuan beras sejahtera (rastra), berupa beras dan telur senilai Rp.
110.00. Pelaksanaan program rastra mengalami berbagai kendala
khususnya untuk orang lansia. ST merupakan lansia yang hidup
sebatang kara tidak mendapatkan bantuan beras sejahtera karena
tidak memiliki administrasi kependudukan. RK juga lansia yang
hidup seorang diri tapi tidak mendapatkan bantuan beras “dua
tahun yang lalu saya masih dapat tapi sekarang katanya nama
saya tidak ada lagi”. SK seorang lansia yang pernah mendapatkan
bantuan beras “waktu keponakan saya jadi kepala desa saya
mendapatkan bantuan tapi sekarang sudah tidak jadi kepala desa
tidak dapat maki juga bantuan”. Sama dengan SK, orang tua RB
yang juga sudah lansia “waktu adik saya jadi kepala dusun, orang
tua saya dapat bantuan beras, tapi saat adik saya sudah tidak
81
menjabat nama orang tua saya juga sudah hilang dalam daftar
penerima bantuan”. Nasib serupa juga dialami oleh SN seorang
lansia miskin dan tidak memiliki sawah “ruang tauma tena
kunggappa berasa’, mudah-mudahan ane anggapma ka
kamanakangmi anjari kepala desa (sudah dua tahun saya tidak
dapat beras, semoga nanti sudah dapat beras karena keponakan
jadi kepala desa)”. Sebaliknya justru ada beberapa yang menurut
masyarakat sudah mampu tapi masih ada dalam daftar penerima
bantuan beras sejahtera. Salah satu petugas yang enggan disebut
namanya mengatakan “disini ada beberapa nama penerima
bantuan beras yang sudah mampu contohnya ada beberapa orang
memiliki empang luas sawah luas motornya tiga dan ada juga PNS
dapat bantuan beras, sedangkan yang layak mendapatkan bantuan
justru namanya dicoret atau tidak ada dalam daftar penerima
bantuan.
b. Program Keluarga Harapan yang selanjutnya disebut PKH adalah
program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga
Penerima Manfaat (KPM) yang telah ditetapkan. Jenis bantuan
yang diterima oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang
sifatnya tetap ialah :
Satu keluarga penerima PKH reguler sebesar Rp 550.000
per tahun.
Sementara untuk PKH Akses atau khusus keluarga yang
sulit terjangkau sebesar Rp 1 juta pertahun.
82
Selain bantuan bersifat tetap, setiap keluarga juga akan menerima
tambahan dana bantuan yang berbeda-beda tergantung dari
komponen yang dimiliki keluarga tersebut. Ada tujuh komponen
yang telah ditetapkan pemerintah untuk mendapat dana tambahan,
tetapi setiap keluarga dibatasi bisa mendapatkan dana untuk
maksimal empat komponen, yaitu :
Ibu hamil Rp 2,4 juta per tahun
Balita Rp 2,4 juta per tahun
Anak SD Rp 900 ribu per tahun
Anak SMP Rp 1,5 juta per tahun
Anak SMA Rp 2 juta per tahun
Lansia diatas 60 tahun Rp 2,4 Juta per tahun
Penyandang Disabilitas Rp 2,4 Juta per tahun
Bantuan PKH khususnya untuk lansia di Desa Botolempangan
masih ada dinamikan yang dalam masyarakat, seperti keluarga
lansia RK, ST, SN, SK, PS, SG, TJ merupakan lansia yang memiliki
rumah tangga sendiri dan miskin tetapi tidak menerima bantuan
PKH untuk lansia.
c. Pelayanan kesehatan lansia di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan
dalam menentukan kebijaksanaan pembinaan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang pelaksanaan
upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia yang menyebutkan
bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan
83
meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lanjut usia,
upaya penyuluhan, penyembuhan dan pengembangan lembaga.
Posyandu lansia merupakan program puskesmas dengan
sasarannya adalah lansia (60 tahun keatas), selain itu ditujukan
juga untuk pra-lansia (45-59 tahun) dengan tujuan agar siap
menghadapi usia lanjut dengan mandiri dan sehat. Pelayanan di
posyandu lansia meliputi pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-
hari, penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan,
pengukuran tekanan darah, penyuluhan kesehatan, pemeriksaan
laboratorium sederhana (kadar gula darah, asam urat, kolesterol),
pemeriksaan status mental dan emosional, pengobatan sederhana
dan upaya rujukan bila diperlukan. Penyelenggaran layanan
kesehatan untuk lansia di Desa Botolempangan dilakukan oleh
Puskesmas Kecamatan Bontoa setiap dua minggu sekali. Jika
dilihat dari partisipasi lansia yang datang memeriksa kesehatanya
belum maksimal karena ada kepercayaan masyarakat tentang
pengobatan tradisional. “TJ merupakan lansia yang mengalami
sakit mata lebih memilih mengobati dirinya sendiri dengan obat
daun tammate”. Sama juga “SK yang mengalami sakit pada bagian
kaki lebih memilih mengurut sendiri kakinya dengan minyak”.
Sedangkan program senam kebugaran lansia hanya diikuti oleh
peserta pra-lansia (45-59 tahun), KM merupakan kader lansia
mengatakan “tidak ada lansia yang mau datang senam karena
malu-maluki joget-joget”.
84
d. Sedangakan program pemerintah tentang Panti Werdha atau Panti
Jompo, dalam diskusi dengan para kader lansia mengatakan
bahwa “kami di Desa Botolempangan masih menjunjung tinggi
adat, jadi apapun kondisi lansia tidak akan kami masukan ke panti
jompo karena panti jompo itu sama dengan tempat pembuangan
orang tua, jadi kalau orang tua tidak memiliki anak biasanya
saudara atau keponakan yang pelihara”.
C. Konsepsi Pelaksanaan Sekuritas Sosial
Usia harapan hidup di Desa Botolempangan cukup tinggi, sehingga
populasi lansia cukup banyak karena itu dalam satu keluarga inti biasanya
terdapat satu sampai dua lansia baik itu orang tua, paman, tante dari
pihak suami maupun dari pihak istri. Secara umum, sekuritas sosial
secara tradisional terhadap orang lanjut usia dilakukan oleh anak sendiri
atau keponakan.
Pemeliharan terhadap orang tua yang dilakukan anak atau
keponakan sudah merupakan ketentuan adat istiadat bagi orang Bugis
Makassar. Memperlakukan lansia dengan layak merupakan nilai budaya
yang tumbuh dan terjaga dalam masyarakat. Jika ada orang tua yang
tidak terurus dengan baik, maka merupakan aib bagi keluarga, sehingga
nilai budaya tersebut tersebut berfungsi sebagai pengatur kelakukan bagi
pemeliharan lansia.
“RB seorang pegawai pemerintahan dan suaminya pedagang
sukses memiliki ibu (SG) yang sudah berusia diatas 80 tahun. RB
85
berusaha keras untuk membujuk orang tuanya untuk tinggal bersama
karena merasa malu (siriq) sama orang sekampung kalau dia dianggap
menelantarkan orang tuanya karena membiarkan tinggal sendiri
sementara dia memiliki rumah batu bagus berlantai dua. Nilai-nilai budaya
seperti siriq (rasa malu) yang hidup di dalam masyarakat sangat
fungsional untuk melindungi kehidupan lansia.
RB juga merasa kasihan (pacce) melihat kondisi ibunya yang sudah
tua dan tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya lagi, sehingga RB
selalu memberikan makanan, uang, dan perhatian kepada ibunya”.
Pacce merupakan kecerdasan emosional untuk turut merasakan
kepedihan atau kesusahan orang lain, dalam psikologi disebut rasa
empati. Nilai budaya ini memberi dampak terhadap perilaku masyarakat
dalam hal menjaga dan memenuhi kebutuhan pokok bagi lansia.
“SH memiliki paman (RK) yang tinggal di gubuk bambu sendirian
dengan kondisi kesehatan yang sudah sakit-sakitan. SH merasa kasihan
(pesse) melihat kondisi pamannya karena ditinggal sendiri serta tidak
diurus oleh anaknya yakni RH. SH menganggap, “RH merupakan anak
yang berdosa dan sangat tega kepada orang tuanya”. Sehingga SH
mengajak RK untuk tinggal bersama, tetapi pamannya menolak karena
merasa sudah tua dan cara hidupnya sudah kotor (ma’rantasana kasina).
SH berusaha menguruskan bantuan bedah rumah dari pemerintah
(bantuan bahan) sedangkan pengerjaan pembangunan rumah dilakukan
oleh SH bersama ketiga saudaranya. Untuk memenuhi kebutuhan makan
86
sehari-hari RK mendapatkan pelayanan dari JL karena kasihan (pesse)
tidak bisa lagi bekerja”.
“ML merupakan keluarga jauh dari ST seorang lansia yang hidup
sebatang kara di gubuk yang sudah reyot. ML merasa kasihan (pacce)
melihat kondisi kehidupan SP sehingga berupaya menganggapnya
sebagai orang tua agar selalu termotivasi untuk memberikan selalu
sekuritas berupa beras, telur dan uang serta perhatian”.
Dalam kasus di atas, kita dapat melihat bagaimana pelaksanaan
sekuritas tradisional dilandasi oleh rasa harga diri (siriq) dan rasa kasihan
(Makassar: pacce, Bugis: pesse) mendorong seseorang untuk
memberikan sekuritas kepada orang tua ataupun kerabat. Selain dari
kesadaran akan kewajiban melayani orang tua atau kerabat yang sudah
lanjut usia yang didorong oleh nilai-nilai budaya, norma agama khususnya
ajaran syariat Islam yang dianut oleh masyarakat Desa Botolempangan
juga berkonstribusi positif untuk memberikan sekuritas sosial terhadap
orang yang mengalami kesulitan.
“ML berkeyakinan berdasarkan pandangan keagamannya bahwa
kalau ada orang yang tidak bisa memasak lantaran tidak memiliki beras,
maka 40 rumah ke depan, ke belakang, ke samping kanan, dan ke
samping kiri dari rumah orang itu akan mendapatkan dosa (doraka).
Padangan tersebut didasari hadist Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam, yaitu :
87
Artinya : Dari Anas bin Malik radhiyallahu „anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, „Tidaklah beriman kepadaku, seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya tidur dalam keadaan lapar, dan dia mengetahui hal tersebut‟” (H.R.Thabrani dan Baihaqi)
Sedangkan konsep bertetangga bersumber dari :
Artinya : Dari Aisyah, batasan tetangga adalah 40 rumah dari segala penjuru, demikian pula pendapat dari Al-Auza‟i.
Dalam norma agama Islam, jika membiarkan orang lain kelaparan
akan mendapatkan dosa (doraka), sehinggan norman tersebut sangat
fungsional dalam menjaga kelangsungan hidup dan kohesi sosial dalam
masyarakat khususnya pemberian sekuritas sosial bagi lansia. Selain
takut berdosa, ML juga menggap bahwa reski yang dia peroleh tidak akan
berberkah (baraka’) jika tidak di keluarkan zakatnya. Dari reski yang dia
peroleh di keluarkan zakatnya kemudian selalu diberikan kepada ST yang
merupakan lansia hidup sebatang kara”.
Aspek ekonomi atau harta-benda yang dimiliki orang tua
merupakan daya tarik sendiri bagi anak atau sanak keluarga untuk
memelihara dan menemaninya tinggal bersama disaat berusia lanjut.
“Sepulang dari Malaysia MD lebih memilih tinggal bersama neneknya (SG)
dari pada orang tuanya karena SG memiliki rumah sendiri dan ada
kepercayaan, barang siapapun yang tinggal bersama maka rumah
tersebut akan diberikan kepadanya”. “Prilaku serupa juga dilakukan oleh
SB, yang membiarkan dan membiasakan anaknya yang masih kecil untuk
tinggal bersama neneknya (PS) yang tinggal sendiri”. “Meskipun JL bukan
88
anak kandung RK, tetapi RK sudah berwasiat bahwa rumahnya akan dia
berikan kepada JL karena dimasa tuanya dirawat oleh JL”.
Dalam masyarakat Desa Botolempangan ada kebiasaan, rumah
dijadikan harta ampikale yakni harta benda yang akan diberikan kepada
anak, cucu, atau kerabat yang tinggal bersama dan memiliki
tanggungjawab lebih dalam mengurusnya sampai akhir hayat. Orang tua
yang masih memegang otoritas terhadap harta kekayaan seperti sawah,
rumah, ternak sapi masih sangat dihargai oleh anak-anaknya
dibandingkan orang tua yang sudah melepas atau sudah mewariskan
hartanya, apalagi orang tua yang sama sekali tidak memiliki harta
kekayaan cenderung tidak terlayani dengan baik oleh anak-anak mererka.
“TA merupakan contoh lansia yang masih memegang otoritas
terhadap sawah dan ternak sapi, masih mendapatkan layanan perhatian
lebih dari anak-anaknya. Dibandingkan dengan PS yang sudah
mewariskan seluruh sawahnya kepada anak-anaknya sehingga PS hanya
mendapatkan sedikit pembagian. Apa lagi dibandingkan dengan MR
seorang lansia yang tidak memiliki harta benda sama sekali, dari
keterangan tetangganya bahwa MR kerap mendapatkan perlakuan yang
tidak layak dari anaknya”.
Daya tarik selain harta benda yang dimiliki oleh orang tua ialah,
pengetahuan atau keahlian tertentu, seperti keahlian dibidang
keagamaan, keahlian mengenai tatacara pelaksanaan upacara-upacara
menyangkut lingkaran hidup, keahlian memilih hari-hari yang baik untuk
pelaksanaan upacara, keahlian seorang dukun beranak (sanro pammana),
89
dan dukun yang dapat mengobati orang sakit. Dengan peranan-peranan
seperti itu orang yang sudah lanjut usia menempati posisi yang penting di
dalam kelompok keluarga dan masyarakat serta mendapatkan imbalan
dari keahlian yang dimiliki.
Sementara pelaksanaan sekuritas sosial formal yang bersumber
dari pemerintah seperti beras sejahtera (rastra), Program Keluarga
Harapan (PKH), dan program-prorgam lainya, masyarakat berpandangan
bahwa pengaturan-pengaturan tentang siapa yang berhak dan tidak
berhak menerima lebih dominan faktor hubungan kekerabatan.
90
BAB VI
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang sekuritas sosial bagi orang
lanjut usia (lansia) di Desa Botolempangan Kecamatan Bontoa Kabupaten
Maros dengan menggunakan metode etnografi berorientasi pada topik,
yaitu mendeskripsikan kehidupan orang lanjut usia dan segala bentuk
bantuan yang diterimanya dari sudut pandang orang lanjut usia dan pihak
yang memberikan bantuan. Maka berdasarkan permasalahan penelitian
dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Keadaan sosial budaya orang yang sudah lanjut usia (lansia) yaitu :
a. Masih ada lansia berstatus sebagai kepala rumah tangga dan
menjadi sumber ekonomi bagi keluarganya. Mereka para lansia
mencari nafkah disektor pertanian, peternakan, sanro pammana
(dukun melahirkan), sanro pabura (dukun penyakit), sanro bola
(dukun rumah) dan kegiatan keagamaan. Kegiatan tersebut
merupakan sumber penghasilan sekaligus menjadi sekuritas
bagi lansia;
b. Adapula lansia yang hanya dilayani oleh anak-anak mereka
karena seluruh sumber-sumber penghasilan seperti sawah dan
ternak sapi telah diwariskan;
c. Ada juga lansia yang kondisinya sangat memprihatinkan seperti
tidak memiliki sumber penghasilan, anak-anak mereka lebih
91
memilih berpisah dengan orang tua untuk membentuk keluarga
kecil, anak-anak mereka pergi marantau, dan ada pula lansia
hidup sebatang kara sehingga hanya berharap belas kasih
sanak keluarga;
d. Dalam kehidupan keluarga dan publik, lansia lebih banyak
berperan dalam pewarisan dan pelestarian nilai-nilai tradisi,
seperti tradisi keagamaan berupa pembacaan barazanji (kisah
kehidupan Nabi Muhammad SAW), sudah merupakan bagian
yang tidak dapat dipisah dari upacara adat seperti perkawinan,
menre aji (naik haji), umroh, oto baru (mobil baru), akikah. Dan
tradisi lokal seperti ma’tama bola (masuk rumah), ma’patetong
bola (mendirikan rumah), majappi tau ma’lasa (mengobati orang
sakit), dan mabbaca nanre doang (membaca doa makanan
persembahan). Kesemua tradisi tersebut lebih banyak
diperankan oleh orang yang sudah lanjut usia.
2. Bentuk-bentuk sekuritas sosial dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Sekuritas tradisional (informal) terhadap lansia di Desa
Botolempangan merupakan bantuan dari berbagai pihak berupa
bantuan materil seperti uang, beras, lauk pauk, gula, kopi, dan
kue. Sedangkan bentuk layanan berupa bantuan tenaga,
penerangan listrik, air bersih, dan kerjasama pemotongan padi.
Di atas sekuritas materil, masih ada sekuritas yang lebih
dibutuhkan oleh lansia yakni sekuritas non-materil (dukungan
92
psikologis) berupa perhatian, kasih sayang, canda tawa, dan
teman ngobrol;
b. Sekuritas formal yang bersumber dari institusi pemerintah
seperti beras sejahtera (rastra), Program Keluarga Harapan
(PKH), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan program senam
kebugaran lansia/senam lansia.
3. Konsepsi yang melandasi pelaksanaan sekuritas sosial bagi lansia
yaitu :
a. Nilai budaya dan moral yang masih terjaga di tengah
masyarakat seperti siriq (rasa harga diri) dan pacce atau pesse
(rasa empati);
b. Norma agama khususnya ajaran syariat Islam yang dianut oleh
masyarakat seperti kaidah tentang zakat fitra, zakat harta, dan
sedekah;
c. Aspek ekonomi atau harta-benda yang dimiliki orang tua seperti
harta ampikale yakni harta benda yang akan diberikan kepada
orang yang mengurusnya sampai akhir hayat didasari oleh
prinsip resiprositas;
d. Daya tarik yang lain ialah, pengetahuan atau keahlian tertentu,
seperti keahlian di bidang keagamaan dan keahlian pada tradisi-
tradisi lokal karena akan menempati posisi yang penting di
dalam keluarga dan masyarakat didasari oleh penghargaan
pada keahlian yang ditekuni oleh lansia;
93
e. Sementara pelaksanaan sekuritas sosial formal yang bersumber
dari pemerintah seperti beras sejahtera (rastra), Program
Keluarga Harapan (PKH), dan program-prorgam lainya,
merupakan tanggungjawab negara dalam mensejahterakan
rakyatnya sebagai wujud dari negara kesejahteraan (welfare
state) yang diatur oleh undang-undang kesejahteraan sosial.
B. Saran – Saran
Sebagai sumbangan informasi dalam upaya mengatasi kesulitan
yang dihadapi oleh lanjut usia (lansia), serta memberikan informasi
kepada semua kalangan tentang kehidupan orang lanjut usia, maka kami
sarankan :
1. Mengingat kondisi lansia yang mengalami berbagai keterbatasan,
maka dalam rangka memenuhi kebutuhan pokoknya maka
pelaksanaan sekuritas sosial tradisional sangat dibutuhkan;
2. Bagi semua pihak yang memiliki lansia, selain memberikan bantuan
materil juga memberikan bantuan non-meteril (dukungan
psikologis) seperti perhatian, kasih sayang, canda tawa, dan
bersedia menjadi teman berbicara. Pertemuan antara pihak yang
memberikan layanan sekuritas sosial tradisional non-materil tidak
hanya pada qaulity time (kualitas pertemuan) tetapi juga quantity
time (jumlah pertemuan) yang lebih banyak;
3. Pelestarian nilai dan tradisi baik itu tradisi keagamaan maupun
tradisi lokal yang masih baik dalam masyarakat agar dapat terus
94
dijaga keberlangsungannya karena menjadi salah satu sumber
pendapat bagi lansia;
4. Bagi semua pihak yang akan mengalami usia lanjut agar memiliki
harta ampikale yang akan dia berikan kepada orang yang
melayaninya disaat lansia;
5. Bagi semua kalangan yang memiliki harta benda yang menjadi
sumber penghasilan agar tidak mewariskannya sebelum meninggal
dunia karena akan berdampak kurangnya perhatian yang diperoleh
di masa lansia;
6. Bagi penyelenggara pemerintahan agar dapat memproritaskan
lansia dalam memberikan bantuan mengingat kondisi lansia yang
mengalami berbagai kekurangan dan sekulitan;
7. Bagi para akademisi dan peneliti agar dapat terus mengkaji lebih
dalam tentang konsep-konsep sekuritas sosial tidak hanya terbatas
pada pemberian bantuan kebutuhan pokok yang sifatnya materil
seperti bahan makanan, makanan siap saji, uang, pakaian, dan lain
sebagainya. Tetapi kebutuhan non-materil (dukungan psikologis)
seperti perhatian, kasih sayang, memotifasi, membangun
kepercayaan diri dan menghargai sangat dibutuhkan bagi orang
yang mengalami sesulitan khususnya orang lanjut usia (lansia).
DAFTAR PUSTAKA
Abikusuno, Nugroho. 2013. “Kelanjutusian Sehat Menuju Masyarakat Sehat Untuk Segala Usia”. Buletin dan Jendala Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Inonesia
Abdi, Arahaf. Hariyanto, Tanto. Ardiyani, Vita Maryah. 2017. “Aktivitas Lansia Berhubungan Dengan Status Kesehatan Lansia Di Posyandu Permadi Kelurahan Tlogomas Kecamatan Lowokwaru Kota Malang”. Jurnal Nursing News Volume 2 (3) : 272-280.
Amirullah. 2001. “Sekuritas Sosial Dalam Komunitas Petani Sawah di Desa Tinggimae Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa (Suatu Tinjauan Antropologi Hukum)”. Makassar: Program Studi Antropologi Pasca Sarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar.
Anwar, Ahsani Amalia. 2010. “Sekuritas Sosial Pada Upacara Akkattere Dalam Komunitas Adat Kajang Di Kabupaten Bulukumba”. Makassar: Program Studi Antropologi Pasca Sarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar.
Azizah, L.M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Benda-Beckmann, F. von 1984. The Broken Stairways to Consensus: village justice and state courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.
Burgess, R. and N.Stern 1991. "Social security in Developing Countries: What, Why, Who, and How?", in E. Ahmad and J.Dreze (eds.) Social Security in Developing Countries. Oxford: Clarendon Press.
BPS. 2010. “Statistik Penduduk Lansia Tahun 2010”. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
------. 2017. “Statistik Penduduk Lansia Tahun 2017”. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
------. 2018. “Kecamatan Bontoa Dalam Angka 2018”. Maros: Badan Pusat Statistik.
Cresswell, John W. 2002. Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (terj). Jakarta: KIK Press.
Dehe, Stela Involata. Rumayar, Adisti A. Kolibu, Febi K. 2016. “Hubungan Antara Peran Keluarga Dengan Pemenuhan Aktivitas Fisik Lanjut Usia (Lansia) Di Desa Tomahalu Halmahera Utara Tahun 2015”. PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 5 (4): 234-242.
DPPKB, Maros 2017. Data Lansia Yang Ada Di Kabupaten Maros Tahun 2017. Maros: Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana.
Dwiananta, Dicky. 2016. “Perlindungan Sosial di Indonesia: Problem Saat Ini dan Tawaran ke Depan”. diunduh dari: https://ddananta.wordpress.com/2016/08/18/perlindungan-sosial-di-indonesia-problem-saat-ini-dan-tawaran-ke-depan/ diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 Pukul :10.50 Wita.
Ferdian, Surya. Rihiantoro, Tori. Handayani, Ririn Sri. 2015. “Pengaruh Madu Terhadap Kualitas Tidur Pada Lansia”. Jurnal Keperawatan, Volume XI (2): 310-317.
Geertz, Hilded. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti pers. Haviland, A William. 1985. Antropologi Edisi Keempat Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
Hijjang, Pawennari. 2014. “Revitalisasi Peran Tradisional Penduduk Lansia Dalam Keluarga Dan komunitas Di Daerah Rawan Bencana”. Prosiding Seminar Nasional Ke-1. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Padang.
Indrizal, Edi. 2005. “Problematika Orang Lansia tanpa Anak di dalam Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat”. Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA. Volume: 29. Nomor: 1.
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Inonesia
-------------------. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Inonesia
-------------------. 2017. Analisis Lansia di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Inonesia
Kholifah, Siti Nur. 2016. Keperawatan Gerontik. Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Inonesia.
Koentjaraningrat. 2011. Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta.
---------------------. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Laiya, Bambowo.1983. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Malinowski, Bronislaw. 1922. Aronauts of the Westerm Pacific. London: Routledge.
Mattulada. 1984. Beletin Penelitian Unhas. Nomor 15 Edisi III Mei – Sepetmber.
Metkono, Yoktan Samb. Nusawakan, Arwyn W. Sujana, Treesia. 2017. “Strategi Intervensi Kesehatan Lansia Di Posyandu”. Jurnal IKESMA Volume 13 (1): 59-67.
Moleong, Lexy. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mudiyono. 2002. “Jaminan Sosial Di Indonesia: Relevansi Pendekatan Informal”. Jurnal Ilmu Sosial dan llmu Politik Volume 6 (1): 67-78.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
Nugroho, Heryanto Adi. 2007. “Perubahan Fungsi Fisik Dan Dukungan Keluarga Dengan Respon Psikososiat Pada Lansia Di Keturahan Kembangarum Semarang”. Jurnal Keperawatan FIKKES Volume 1 (1): 45-57.
Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ramdani, Fauziah. 2015. “Sekuritas Sosial Dalam Relasi Kerja Antara Pengusaha Kepiting dan Pekerja Anak Perempuan Di Pulau Salemo Kabupaten Pangkep”. Makassar: Program Studi Antropologi Pasca Sarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar.
Rofieq, Ainur. 2011. “Pelayanan Publik dan Walfare State”. Jurnal
Governance, Volume 2 (1) : 99-111.
Sani, Muhammad Yami. 2016. Dinamika Kependudukan dan Pengembangan Sosial. Makassar: Masagena Press.
Schmidt, S. 1992. Social security in developing countries: basic tenets and fields of state intervention, in LP. Getubig and Schmidt (eds.), Rethinking social security: reaching out to the poor. Kuala Lumpur/Eschborn: APDC and GTZ: pp. 18-40.
Senjaya, Asep Arifin. 2016. “Gigi Lansia”. Jurnal Skala Husada Volume 13 (1) : 72–80.
Soetomo. 2013. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Spradley. James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sulastomo. 2008. Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Rajawali Press.
Suratno. 2016. “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Posyandu Lansia Di Dusun Krekah Gilangharjo Pandak Bantul”. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani
Sutikno, Ekawati. 2011. “Hubungan Fungsi Keluarga Dengan Kualitas Hidup Lansia”. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Swasono, Meutia Farida Hatta. 1989. “Proses Menua di Barat dan Timur: Suatu Tinjauan Antropologis”. Makalah diajukan pada Seminar Sehari Tentang Usia Lanjut oleh Pusat Pengembangan Psikiatri dan Kesehatan Jiwa. Jakarta 14 Januari 1989.
Tang, Mahmud. 1996. Aneka Ragam Pengaturan Sekuritas Sosial di Bekas Kerajaan Berru, Sulawesi Selatan, Indonesia. Grafisch Service Centrum Van Gils B.V., Wageningen. The Netherlands: University of Wageningen.
---------------------. dkk. 2005. Kajian Sekuritas Sosial Bagi Keluarga
Nelayan Miskin Di Kota Pare-Pare Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Baru-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Jakarta: Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial Depsos RI.
Titus, Irto. Rachman, Watief A. Rahman, Arsyad. 2013. “Gambaran Perilaku Lansia Terhadap Kecemasan Di Panti Sosial Tresna Werdha Theodora Makassar”. Makassar: Universitas Hasanuddin. Diunduh di http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4601 Pada Tanggal 10 Oktober 2018 Pukul 2:23 Wita.
WHO. 2002. “Proposed working definition of an older person in Africa for the MDS Project”. Diundu dari: http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/ Pada Tanggal 9 Oktober 2018 Pukul 2:03 Wita.
Peraturan Pemerintah :
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia. Jakarta: Presiden Republik Indonesia