askep lansia

Upload: pus-meong-aja-dech

Post on 10-Jul-2015

319 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB II PEMBAHASAN

2.1 TEORI SISTEM PENGLIHATAN A. DEFINISI Sistem penglihatan merupakan alat komunikasi antara dunia luar dan dalam tubuh serta bagian dalam tubuh melalui organ mata. Mata merupakan organ sensori yang mentransmisikan rangsang melalui jaras pada otak ke lobus oksipital, di mana rasa penglihatan ini diterima. B. ANATOMI Mata sebagai organ penglihatan terdiri dari: 1) OKULI ASSESORIUS a. Kavum Orbita Kavum orbita merupakan rongga mata yang berbentuk seperti kerucut dengan puncaknya mengarah kedepan dan ke dalam. Rongga mata ini berisi jaringan lemak, otot fasia, saraf, pembulu darah dan apratus lakrimalis. Dinding rongga mata ini dibentuk oleh tulang yaitu os frontalis, os zigomatikum,os stenoidal, etmoidal, platum, lakrimal. Rongga mata ini juga mempunyai beberapa celah yang menghubungkan rongga mata dan rongga otak, rongga hidung, rongga etmoidalis. b. Supersilium / Alis Mata Merupakan batas orbita dan potongan kulit tebal yang melengkung, ditumbuhi, oleh bulu pendek yang berfungsi sebagai pelindung mata dari sisnar matahari dan sebagai alat kecantikan atau kosmetik. c. Palpebra / kelopak mata Terdiri dari kelopak mata atas dan kelompak mata bawah yang terletak di depan bulbus okuli, kelopak mata atas lebih lebar dari kelopak mata bawah. Kelopak mata atas lebih mudah digerakan yang terdiri dari muskulus levator palpebra superior. Pada pinggiran kelopak mata terdapat sillia ( bulu mata ) Tarsus merupakan bagian kelopak yang berlipat-lipat. Pada kedua tarus terdapat beberapa kelenjar, yaitu kelenjar tarsalia, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Fungsi kelopak mata pelindung bola mata terhadap gangguan pada mata untuk menutup dan membuka mata d. Aparatus Lakrimalis Air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimalis superior dan inferior, melalui duktus eksretouris lakrimalis masuk ke dalam duktus konjungtiva, melalui bagian depan bola mata terus ke sudut tengah bola mata ke dalam kanalis lakrimalis mengalir ke duktus nasolakrimalis terus ke meatus nasalis inferior

e.

Muskulus Okuli Merupakan otot ekstrinstik mata yang terdiri dari 7 buah otot, 6 buah otot diantaranya melekat dengan os kavum orbitalis dan 1 buah mengangkat kelopak mata ke atas. 1. muskulus levator palpebralis superior inferior, fungsinya mengangkat kelopak mata 2. muskullus orbikularis okuli otot lingkar mata, fungsinya menutup mata 3. muskulus rektus okuli inferior 4. muskulus rektus okulli medial, fungsinya menggerakan mata dalam ( bola mata ) 5. muskulus obliques okuli inferior, fungsinya menggerakan bola mata ke bawah dan ke dalam 6. muskulus obliques okuli superior, fungsinya memutar mata ke atas, ke bawah,dan ke luar f. Konjungtiva Konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu 1. Konjungtiva palpebra, yaitu permukaan dalam kelopak mata 2. Konjungtiva bulbi, yaitu lapisan mukosa, bagian yang membelok dan kemudian melekat pada bola mata Pada konjungtiva ini banyak sekali kelenjat-kelenjar limfe dan pembulu darah. 2) OKULUS / BOLA MATA a. Tunika Okuli 1. kornea Merupakan bagian depan bola mata, bening dan transparan yang selalu terpapar udara, selaput yang tembus cahaya dan tidak mengandung pembulu darah. 2. sklera Merupakan lapisan fibrous yang elastis merupakan bagian dinding luar bola mata berwarna putih, serta bagian depan seklera tertutup oleh kantong konjungtiva b. Tunika vaskulosa okuli koroid Merupakan selaput yang tipis dan lembab yang merupakan bagian belakang dari tunika vaskulosa okuli. Fungsinya memberikan nutrisi. 2. korpus siliaris Merupakan lapiasan yang tebal terbentang mulai dari ora serta sampai iris. Fungsinya untuk terjadinya akomodasi, pada proses melihat muskulus siliaris harus berkontraksi. 3. iris Merupakan bagian terdepan tunika vaskulosa okuli, yang berfungsi sebagai penahan sinar masuk ke mata. Iris ini berwarna karena mengandung pigmen, warna hitam pada orang berpigmen hitam dan 1.

warna biru pada orang kulit putih, sedangkan orang albino tidak terdapat pigmen di iris sehingga cahaya masuk mata berlebihan dan menyilaukan. 4. pupil Celah bagian tengah iris, tempat lewatnya cahaya dari luar ke dalam bola mata. Pupil melebar bila cahaya masuk mata berkurang, dan menyempit bila cahaya terang. c. Tunika nervosa Merupakan lapisan terdalam bola mata. Di lapisan ini terdapat retina yang didalamnya terdapat sel reseptor cahaya yaitu: 1. sel batang sel batang merupakan reseptor untuk melihat hitam putih. Di dalamya terdapat pigmen batang atau rodopsin 2. sel kerucut sel kerucut merupakan reseptor untuk melihat warna dan cahaya yang terang 3. pembulu darah untuk memberi darah pada retina, yang keluar masuk melalui bintik buta 4. serabut saraf serabut sraf ini yang mengantarkan implus dari reseptor ( sel batang dan sel kerucut ) ke pusat penglihatan, keluar retina melalui bintik buta. 5. bintik kuning merupakan bagian retina paling belakang yang paling banyak berisi sel kerucut sehingga sianr yang jatuh di daerah ini lebih tajam 6. bintik buta bagian retina tempat keluar masuk pembuluh darah dan serabut saraf, dan tidak terdapat sel reseptor. Bila sinar jatuh di daerah ini tidak dapat tergambar atau di hayati. Bulbus okuli berisi tiga jenis cairan refrakting media dan masing-masing cairan mempunyai kekentalan yang berlainan. Cairan-cairan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Aques humor Cairan ini seperti limfe yang mengisi bagian depan mata, vairan ini diproduksi di prosessus siliaris kemudian masuk ke dalam kamera okuli posterior, melalui celah fontana ( sudut iris ) masuk ke dalam kamera okuli anterior. Setelah masuk melalui saluran schlem dan menghilang ke dalam pembulu vena siliaris anterior. Jumlah cairan ini menentukan tekanan bola mata. Bia produksinya lebih banyak dari penyerapanya maka tekanan dalam bola mata meningakat dan dapat terjadi glaukoma. 2. Lensa kristalina Merupakan masa yang tembus cahay berbentuk bikonkaf terletak antara iris dan korpus vitrous yang sangat elastis. 3. Korpus vitrous Merupakan cairan bening kental seperti agar, transparan, yang mengembangkan bola mata, mencegah bola mata kolaps atau kempes. Korpus vitrous terletak antara lensa dan retina.

C. FISIOLOGI Cahaya masuk ke dalam mata diterima oleh media refraksi (kornea, humor aqueous, lensa, humor vitreous) untuk diatur ketajamannya sehingga cahya terarah tepat ke retina. Mata mempunyai kemampuan untuk berakomodasi ketika melihat objek yang jaraknya bervariasi dengan menipiskan dan menebalkan lensa. Penglihatan dekat memerlukan kontraksi dari badan siliary, yang bisa memendekkan jarak antara kedua sisi badan ciliary yang diikuti dengan relaksasi ligamen pada lensa, dengan demikian lensa menjadi lebih cembung agar cahaya dapat terfokuskan pada retina. Begitu juga sebaliknya untuk jarak jauh. Akomodasi juga di bantu dengan perubahan ukuran pupil. Pada penglihatan dekat, iris akan mengecilkan pupil agar cahaya lebih kuat melelui lensa yang tebal. Cahaya yang diterima oleh fotoreseptor pada retina (sel batang dan sel kerucut) akan dirubah menjadi aktivitas listrik diteruskan ke kortek visual di otak. 2.2 PROSES AGING SISTEM PENGLIHATAN A. PERUBAHAN STRUKTUR KELOPAK MATA Dengan bertambahnya usia, maka akan menyebabkan kekendoran pada seluruh jaringan kelopak mata. Perubahan ini yang juga disebut dengan perubahan ivolusional, yang antara lain terjadi pada : 1. M. Orbicularis Perubahan pada M. orbicularis bisa menyebabkan perubahan kedudukan palpebra yaitu terjadi entropion / ektropion senilis / involusional. Adapun proses terjadinya hampir sama hanya yang membedakan adalah perubahan pada M. orbicularis preseptal dimana pada netopion musculus tersebut berpindah posisi ke tepi bawah tarsus, sedangkan pada ekstopion muskulus tersebut relative stabil. Pada ektropion, bila margo palpebra mulai eversi, konjungtiva tarsalis menjadi terpapar (ekspose), hal ini menyebabkan inflamasi sekunder dan tarsus akan menebal sehingga secara mekanik akan memperberat ektopionnya. 2. Retractor palpebra inferior Kekendoran retractor palpebra inferior akan mengakibatkan tepi bawah tarsus rotasi atau berputar kea rah luar sehingga memperberat terjadinya entropion.

3. Tarsus Jika tarsus kurang kaku karena proses atropi, maka akan menyebabkan tepi atas lebih melengkung ke dalam sehingga entropion lebih nyata. 4. Tendo kantus medial/lateral

Perubahan involusional pada usia lanjut juga akan mengenai tendon kantus medial / lateral sehingga secara horizontal, kekencangan palpebra berkurang. Perubahan pada jaringan palpebra juga diperberat dimana keadaan bola mata pada usia lanjut lebih enoftalmus karena proses atropi lemak orbita. Akibatnya kekencangan palpebra secara horizontal relative lebih nyata. Jadi proses involusional yang menyebabkan margo palpebra menjadi inversi atau eversi tergantung pada perubahan erubahan yang terjadi pada M. orbicularis oculi, rektraktor palpebra inferior dan tarsus. 5. Aponeurosis muskulus revator palpebra Dengan bertambahnya usia, maka Aponeurosis muskulus revator palpebra akan mengalami disinsersi dan terjadi penipisan, akibatnya terjadi blefaroptosis akuisita. Meskipun terjadi perubahan pada aponeurosis muskulus revator palpebra namun M. levatornya sendiri relative stabil sepanjang usia. Bila blefaroptosis tersebut menggangu penglihatan atau secara kosmetik menjadi keluhan, maka hal ini dapat diatasi dengan cara operasi.

6. Kulit Pada usia lanjut, kulit palpebra mengalami atropi dan kehilangan elastisitasnya, sehingga menimbulkan kerutan dan lipatan lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini biasanya diperberat dengan terjadinya peregangan sputum orbita dan migrasi lemak pre aponeurotik ke anterior. Keadaan ini bisa terjadi pada palpebra superior maupun inferior dan disebut juga sebagai dermatokalasis. Tanda dan Gejalanya, antara lain : Kesulitan mengangkat palpebara superior. Rasa ridak enak dibagian periorbita akibat pengguanaan otot ocipitofrontalis dan otot orbicularis oculi dalam mengatasi kesulitan palpebra. Terbatasnya lapangan pandang superior. Keluhan kosmetik.

Penanganan : Dilakukan blefaroplasti untuk mengatasi gejala dan memperbaiki penampilan. Dengan terjadinya perubahan struktur pada kelopak amta akibat proses penuaan, maka secara klinis manifestasi yang sering muncul antara lain : o Entropion involusional. o o Ektropion involusional. Blefaroptosis.

o

Dermatokalasis.

B. PERUBAHAN SISTEM LAKRIMAL Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos. Kegagalan fungsi pompa pada system kanalis lakrimalis disebabkan Karena kelemahan palpebra, eversi punctum atau malposisi palpebra sehingga akan menimbulkan keluhan epifora. Namun sumbatan system kanalis lakrimalis yang sebenarnya atau dacryostenosis akuisita tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita dibandingkan pria. Adapun pathogenesis terjadinya sumbatan ductus nasolakrimalis masih belum jelas, namun diduga terjadi karena proses jaringan mukosa dan berakibat terjadinya sumbatan. Setelah usia 40 tahun khususnya wanita pasca menopause sekresi basal kelenjar lakrimal secara progresif berkurang. Sehingga sering kali pasien dengan sumbatan pada duktus nasolakrimalis tidak menunjukan gejala epifora karena volume air mata berkurang atau sedikit. Akan tetapi, bila sumbatan sistim lakrimalis tidak nyata akan menyebabkan mata kering yaitu adanya rasa tidak enak seperti adanya benda asing atau seperti ada pasir, mata terasa lelah dan kering bahkan kabur. Sedangkan gejala obyektif yang didapatkan diantarnya konjungtiva bulbi kusam dan menebal kadang hiperemi. Pada kornea didapatkan erosi dan filament. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah Schirmer, Rose Bengal, Tear film break up time. C. PROSES PENUAAN PADA KORNEA 1) Arcus Senilis (Gerontoxon, Arcus Cornea). Merupakan manifestasi dari prose penuaan pada kornea yang biasanya sering dijumpai pada usia lanjut. Keberadaan arcus sinilis ini tidak memberikan keluhan, hanya secara kosmetik sering terjdi masalah. Kelaianan ini dapat berupa infiltrasi bahan lemak yang berwarna keputihan, berbentuk cincin dibagian tepi kornea. Mula mula timbulnnya diagnosa inferior kemudian diikuti bagian superior dan berlangsung meluas dan pada akhirnya membentuk cincin. Etiologi arcus sinilis diduga ada hubungannya dengan peningkatan kolesterol dan low density lipoprotein (LDL). Bahan bahan yang membentuk cincin tersebut terdiri dari ester kolesterol, kolesterol dan gliserid. Arcus senilis mulai dijumpai pada 60% individu usia 40 60 tahun dan terjadi pada hamper semua orang yang berusia diatas 80 tahun dimana laki laki lebih awal timbulnya disbanding wanita. 2) Perubahan Sensitivitas Dan Fragilitas Kornea Lansia Dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan sensivitas kornea yang ditimbulkan oleh rangsangan mekanis. Bagian sentral kornea lebih lama menurunnya dibandingkan dengan bagian lainnnya. Pengukuran CTT (Corneal Touch Threshold) pada orang sehat yang berbeda usianya yaitu dengan merangsang kornea dengan menggunakan benang nylon microfilament dengan berbagai ukuran panjang, menunjukan bahwa CTT masih tetap sama antara usia 7 40 tahun. Mulai awal decade kelima, CTT menjdi bagian lebih tinggi. Penyebab penurunan sensitivitas kornea kemungkinan disebabkan karena penebalan jaringan fibrous korne, penurunan kandngan air atau atropi serabut serabut saraf.

Fragilitas kornea diukur dengan menentukan sebarapa besar tekanan yang diperlukan untuk mencapai ambang kerusakan secara mekanis. Sampai usia 40 tahun fragilitas masih tetap sama. Namun setelah itu akan meningkat. Berdasarkan pengalaman klinis, hali ini sejalan dengan peningkatan fragilitas kulit pada usia yang makin lanjut. D. PERUBAHAN MUSKULUS SILIARIS Dengan bertambahnya usia, bentuk dari muskulus siliaris akan mengalami perubahan. Pada masa kanak kanak, musculus tersebut cendrung flat, namun semakin bertambahnya usia seseorang, maka serabut otot dan jaringan ikatnya bertambah, sehingga muskulus tersebut menjdi lebih tebal, terutama bagian interior. Proses tersebut berlanjut dan mencapai tebal maksimal pada usia 45 tahun. Setelah itu terjadi proses degenerasi dimana muskulus tersebut mengalami atropi sehingga menimbulkan pengerutan dan ini diduga untuk mempertahankan bentuk. Dengan usia makin lanjut, selain muskulus siliaris mengalami proses atropi juga terdapat hialinisasi. Terjadi peningkatan jaringan ikat diantara serabut serabut muskulus siliaris dan nukleusnya menipis. Tampak pula butiran lemak dan deposit kalsium diantara serabut muskulus tersebut. Mengenai manofestasi klinik yang dikaitkan dengan perubahan muskulus siliaris pada usia lanjut, dikatakan bahwa degenerasi muskulus siliaris bukan merupakan factor utama yang mendasari terjadinya presbiopia. Dengan bertambahnya usia terjadi penurunan amplitudo akomodasi dengan manifestasi klinik yaitu presbiopia. Penurunan amplitude akomodasi ini dikaitkan dengan perubahan serabut serabut lensa yang menjadi padat dan kapsulnya kurang elastic, sehingga lensa kurang dapat menyesuaikan bentuknya. Untuk mengatasi hal tesebut muskulus siliaris mengadakan kompensasi sehingga mengalami hipertropi. Proses ini terus berlanjut dengan semakin bertambahnya usia sehingga terjadi manifestasi presbiopia. E. PRODUKSI HUMOR AQUEOUS Pada mata sehat dengan pemeriksaan fluorofotometer diperkirakan produksi humor aqueous 2,4 0,06 micro liter/menit. Beberapa factor berpengaruh terhadap produksi humor aqueous. Dengan pemeriksaan fluorofotometer menunjukan bahwa dengan bertambahnya usia terjadi penurunan produksi humor aqueous 2% (0,06 micro liter/menit) tiap decade. Penurunan ini tidak sebanyak yang diperkirakan, dengan bertambahnya usia sebenarnya produksi humor aqueous lebih stabil disbanding perbahan tekanan intara okuler atau volume COA. F. PERUBAHAN REFRAKSI Pada orang muda, hipermeropi data diatasi dengan kontraksi muskulus siliaris. Dengan betambahnya usia hipermetropi laten menjadi lebih manifest karena hilangnya cadangan akomodasi. Namun bila terjadi sklerosis nucleus pada lensa, hipermetropi menjadi berkurang atau terjadi miopisasi karena pross kekeruhan di lensa cenderung lebih cembung. Perubahan asigamt terlihat pada umur 10-20 tahun dengan astigmat with the rule 75,5% dan astigmat against the rule 6,8%. Pada umur 70-80 tahun didapatkan keadaan astigmat with rule 37,2% dan against the rule 35%. Factor factor yang mempengaruhi perubahan astigmat antara lain kornea yang mengkerut karena perubahan hidrasi pada kornea dan proses penuaan pada kornea.

Penurunan daya akomodasi dengan manifestasi presbiopia dimana seseorang akan kesulitan untuk melihat dekat dipengaruhi oleh berkurangnya elastisitas lensa dan perubahan ada muskulus silliaris karena proses penuaan. G. PERUBAHAN STRUKTUR JARINGAN DALAM BOLA MATA 1. Lensa Crystallina Bentuk cakram biconvex, berukuran diameter 9 mm dan tebal bagian sentral 4 mm. Susunan anatominya : Kapsul Korteks Nucleus

Pada usia muda lensa tidak bernukleus, pada usia 20 tahun nucleus mulai terbentuk. Semakin bertambah umur nucleus makin membesar dan padat, sedangkan volume lensa tetap sehingga bagian korteks maki menipis, elastisitas lensa jadi berkurang, indeks bias berubah (membias sinar jadi lemah). Lensa yang mula mula bening transparan kemudian menjadi tampak keruh. (skeloris). 2. Iris

Mengalami proses degenerasi menjadi kurang cemerlang dan mengalami depigmentasi tampak ada bercak berwarna muda sampai putih. 3. Pupil

Konstriksi, mula mula berdiameter 3 mm, pada usia tua terjadi 1 mm, reflek direk lemah. 4. Badan Kaca (Vitreous)

Terjadi degenerasi, konsistensi lebih encer (synchisis), dapat menimbulkan keluhan photopsia (melihat kilatan cahaya saat ada perubahan posisi bola mata).5.

Retina

Terjadi degenerasi (Senile Degenerasi). Gambaran fundus mata mula mula merah jingga cemerlang, menjadi suram dan ada jalur jalur berpigment (Tygroid Appearance) terkesan seperti kulit harimau. Jumlah sel fotoreseptor berkurang sehingga adaptasi gelap dan terang memanjang dan terjadi penyempitan lapangan pandang. H. PERUBAHAN FUNGSIONAL Proses degenerasi dialami oleh berbagai jaringan didalam bola mata, media refrakta menjadi kurang cemerlang dan sel sel reseptor berkurang, visus kurang

tajam dibandingkan pada usia muda. Keluhan silau (fotofobia) timbul akibat proses penuaan pada cornea dan lensa. 2.3 PENYAKIT DEGENERATIF SISTEM PENGLIHATAN A. Katarak Katarak adalah kerusakan mata yang menyebabkan lensa mata berselaput dan rabun. Lensa mata menjadi keruh dan cahaya tidak dapat menembusnya. Keadaan ini membuat kabur penglihataan dan jika makin parah dan tidak dirawat akan menjadi buta. Proses perjalanannya melalui 4 stadium : a. Stadium Insipiens Belum terdapat penrunan visus, kekeruhannya pada korteks daerah equator , yang dapat ditegakkan diagnosis bila pupil dilebarkan. b. Stadium Immatur Kekeruhan lensa lebih merata, sudah menimbulkan keluhan visus saat itu terjadi inbibisi cairan ke dalam lensa sehingga bentuk lensa cembung menyebabkan perubahan refraksi kea rah miopi. Disamping itu dapat terjadi komplikasi glukoma sekunder yang menyebabkan kamar dapat lebih dangkal dan sudut Irido-Cornealis lebih sempit. c. Stadium Matura Kekeruhan lebi padat dan rata, pemeriksaan reflex fundus tidak tampak. Pada stadium ini, indikasi paling baik untuk melakukan operasi katarak ekstrasi. d. Stadium Hipermatura Korteks lensa mencair, sehingga nucleus tidak lagi pada posisi sentral, menggesar ke bawah dan dapat bergoyang bila bola mata bergerak. Kapsula lentis mengalami exfoliasi yang dapat menimbukan Lens Induced Uveitis dan glukoma sekunder. Penyebab dari katarak belum jelas, penyakit diabetes melittus dapat mempercepat terjadinya cataract. Perubahan biokimiawi yang dapat ditemukan adalah meningkatnya jumlah protein insoluble dan ion calcium dalam lensa dan berkurangnya Gluatathoin dan vitamin C. Penatalaksanaan Katarak tahap dini dengna mengganti kaca mata, menggunakan lensa pembesar serta pencahayaan yang lebih terang Pembedahan dengann pengangkatan lensa yang berkabut dan mengganti dengan lensa yang baru yaitu lensa intra okuler atau lensa buatan yang bersifat permanen dan harus bertahan seumur hidup pasien. Phacoemulsification merupakan metode yang paling sering dilakukan. Caranya dengna insisi korne kemudian dimasukan alat yang mengandung gelombang ultrasund yang akan melembutkan dan memecahkan lensa yang berkabut sehingga dapat dkeluarkan mengunakan suction. B. Glaukoma

Glaucoma adalah penyakit mata dengan tanda : tekanan intraokuler meninggi, penyempitan lapang pandang dan atrofi papil syaraf opticus umumnya terjadi pada usia diatas 40 tahun. Terdapat 2 macam glukoma : 1. Glaucoma Primer Terdapat 2 macam glukoma primer, antara lain : a) Glaucoma sudut sempit / tertutup. Perjalanan proses glukoma sudut tertutup melalui 4 stadium : Stadium Prodromal. Stadium ini mempunyai ciri khas ialah terjadi serangan (Attack), tekanan intraokuler mendadak meningkat dengan keluhan visus menurun dan nrocos. Gambaran obyektif adanya tanda kongestif (Edema cornea dan Iris, kamar Depan Dangkal dan Pupil Melebar). Stadium Akut. Bila stadium prodormal tidak dikelola dengan baik maka akan timbul stadium akut . keluhan subyektif dan gambaran kongestif menetap, terkadang disertai Cephalgia dan mual. Funduscopy terdapat Excavatio Glaukomaosa stadium ini termaksuk kedaruratan medis. Stadium Kronis. Masih terdapat gambran kongestif dengan tambahan kelainan yang disebabkan oleh proses yang menetap lama. Tekanan intraokuler meningkat dan sulit diturunkan dengan obat. Stadium Absolut Terjadi kebutaan (Ophtalmological Blind) dengan visus nol, tidak dapat melihat atau menerima rangsang cahaya. Visus tidak dapat direhabilitasi dengan upaya apapun. Upaya pencegahan kebutaan dan glukoma harus dilakukan sedini mungkin yaitu pada stadium prodormal, dilakukan operasi Iredektomy. Bila terjadi perubahan (Atrophy) pada papil syaraf optic, maka visus tidak lagi dapat kembali normal. b) Glaucoma sudut lebar / terbuka Dalam perjalanan proses penyakit ini, tidak pernah menimbulkan keluhan sakit yang mencolok, visus menurun secara perlahan dan lapang pandang menyempit. Pada penderita fundus copy sudah tampak terjadi Excavasio Glaukomatosa dan Atrophy Papil Syaraf Opticus. Pengelolaan penyakit ini lebih ditekankan pada pemakaian obat anti glukoma. Operasi baru dapat dilakukan bila tekanan intra okuler menetap tinggi dan tidak dapat turun dengan pemberian obat. Pemakaian obat anti

glukoma dengan jangka panjang sering menimbulkan keluhan dan efek samping obat. Obat dapat dihentikan sementara dan diganti dengan tindakan Laser Trabeculoplasty, obat dipergunakan kembali kira kira setelah dua bulan.

2. Glaucoma sekunder Merupakan glaucoma yang terjadi akibat adanya penyakit mata yang lain. C. Kelainan refraksi ( presbiopsi ) Presbiopsi merupakan kesulitan melihat objek yang letaknya dekat. Pada usia > 40 tahun, lensa mata banyak kehilangan kelenturanya sehingga tidak mampu memfokuskan dengan tajam objek-objek yang letaknya dekat. Penatalaksanaan untuk presbiopsi adalah dengan penggunaan kaca mata baca. D. Age Related Macular Degeneration (ARMD) Terdapat dua type ARMD : Atrophic ARMD Rxudative ARMD Beberapa fakto resiko terjadinya ARMD : Atherosclerosis Diet lipid tinggi Kadar kolesterol serum tinggi Merokok dan adanya refraksi anomaly hypermetropi.

Teori yang mengemukakan bahwa ARMD disebabkan oleh kerusakan retinal pigment epithelium (RPE) akibat dari terkena paparan sinar yang kuat (Excessive exposure light) atau karena defisiensi vitamin antioksidan dan mineral dalam diet. Patogenesis ARMD berpangkal pada peningkatan resitensi Sirkulasi Choroid (tekanan Chorio-Capilar), menyebabkan gangguan perfusi dan terjadi gangguan metaboisme dalam RPE, terjadi degenerasi dan atropht RPE, ini merupakan gambaran ARMD type Atrphy. Peningkatan tensi Choroid-Capilaris menyebabkan gangguan transport metabolit didalam RPE terjadi akumulasi drusendan deposit pada membrane basalis juga deposit lipoid dan membrane brunch, mudah terjadi RPE detachment dan membrane neo vaskuler Choroidal, ini gambaran klasik dan bentuk ARMD exudative dan proliferative.

Prognosis pada dua type ARMD, jelek, lebih-lebih pada type proliferative sangat mudah terjadi perdarahan sub retina, akibatnya visus mendadak hilang. E. Degenerasi Retina Senilis Sejalan dengan bertambahnya umur maka organ-organ pada manusiapun, salah satu bagian organ mata yang juga mengalami perubahan yaitu RETINA. Perubahan retina karena usia merupakan hal yang fisiologis, degenerasi retina senilis. Pada pemeriksaan obyektif di dapatkan suatu gambaran fundus senilis, fundu tygroid. Factor-faktor yang mendukung dari gambaran fundus normal, adalah : a) Darah di dalam pembuluh darah besar dan chorio-capilaris choroid merupakan kompinen merah. b) Kepadatan pigment dalam sel RPE dan sel Melanosit di lapisan choroid merupakan komponen coklat. c) Jenis dan intesitas cahaya yang berasal dari alat yang untuk melakukan pemeriksaan merupakan sinar gelombang panjang (merah-kuning) Perpaduan komponen merah dan coklat yang mendapat pacan sinar merahkuning mendapatkan hasil merah-jingga yang cemerlang, sebagai gambaran fundus mata normal. Perubahan elemen-elemen di retina dan choroid yang menyebabkan terjadi gambaran obyektif fundus Tygroid: a) Sklerosis Involusional/sklerosis senilis, terjadi pada arteriole di retina dan choroid, menyebabkan berkurangnya komponen merah. b) Kerusakan RPE dapat menimbulkan bercak hyper-pigmentasi, disamping kepadatan pigment dalam sel Melanosi choroid F. Degenerasi Retina Perifer (Peripheral Retinal Degeneration) Pada usia tua tetina di bagian perifer (antara Ora Serrata dan Equator) mengalami proses degenerasi lebih awal bila dibandingkan dengan bagian sentral. Beberapa macam yang dapat / sering ditemukan : a) Paving Stone degeneration (Meyer Schwiekerath, 1960)

Terjadi pada 40% populasi usia diatas 45 tahun, lesi mulai di sebelah bawah. Degenerasi macam ini berhubungan dengan penipisan reina, hilangnya sejumlah sel reseptor, membrane limitans luar sertasejumlah sel RPE, retina kurang melekat pada membrane Brunch dan adanya perubahan ChoroidCapilaris. Lesi permulaaan berbentuk bulat, diameter ira-kira 1,5 mm, dapat melebar dan bergabung (Confluency) menjadi lebih besar. Tidak ada terapy.

b)

Cystoid degeneration

Tampak ada rongga-rongga pada lapisan pleksiformis luar umumnya area temporo-inferior. Lesi dapat menyebabkan gangguan lapangan pandang dan apat berkembang menjadi retinoschisis. c) Retinoschisis

Pemisahan lapisan retina basanya pada lapisan pleksiformis luar sebagai perluasan dari degenerasi cystoid progresif. Dinding retinoschisis yang meluas kebelakang equator menimbulkan gangguan lalangan pandang. Setiap ada lesi retinoschisis perlu tindakan untuk mencegah Retinal Detachment, dengan laser foto-koagulasi. G. Entropion sinilis / involusional Yaitu suatu keadaan dimana margo palpebra mengalami inverse yang terjadi pada usia lanjut. Tanda dan Gejala : Mata merah Berair dan gatal Hal ini disebabkan karena iritasi dan abrasi kornea. Jika hal ini berlanjut maka akan bisa menyababkan ulcus kornea. Penanganan : Koreksi entropion yaitu dengan cara : Jahitan eversi Prosedur weis (spilliting palpebra transversa dan jahitan eversi) dengan atau tanpa pemendekan horizontal. Plikasi retractor palpebra inferior.

H. Ektropion senilis / involusional Yaitu suatu keadaan dimana margo palpebra mengalami eversi yang terjadi pada usia lanjut. Tanda dan Gejala : Epifora Konjungtiva palpebra hiperemi dan hipertropi Konjungtiva bulbi hiperem

Penanganan : Koreksi ektropion dengan cara : Lazy T

Eksisi diamond tersokonjungtiva Pemendekan palpebra horizontal

2.4 ASUHAN KEPERAWATAN Dalam makalah ini, kelompok kami tidak membahas Asuhan Keperawatan untuk semua masalah pada sistem penglihatan, melainkan hanya membahas Asuhan Keperawatan pada salah satu masalah yaitu Katarak. Yang melatarbelakangi kami memutuskan untuk membahas Asuhan Keperawatan pada Katarak adalah : Menurut WHO, Katarak merupakan penyebab kebuaan No. 1 di dunia Sekitar 50 juta orang di dunia buta karena katarak Tingginya pravalensi kejadian katarak pada lansia, yaitu lebih dari 50% orang berusai >65 th menderita katarak, dan 60% pada orang > 75 th. A. PENGKAJIAN Wawancara fokus pengkajian pada masalah penglihatan lansia : a. Rasa nyeri pada mata b. kelemahan penglihatan atau buram c. penglihatan ganda d. kehilangan penglihatan yang datang tiba-tiba e. Silau f. Pandangan kabur/ redup g. Riwayat penyakit diabetes h. Kebiasaan merokok i. Konsumsi steroid jangka panjang. Pengkajian fisik Pengkajian mata dengan mudah memberi pemeriksa petunjuk status fisik dan emosi dari klien. Karena kompleksitas dan komponen multipel dari pemeriksaan mata, perawat harus melaksanakaan pengkajiaan mata dalam bentuk sisitematik. Dalam pengkajian mata pada lansia menggunakan metode efektif adalah untuk memulai dengan pengujian ketajamaan penglihatan dan lapang pandang penglihatan, kemudiaan dilanjutkan pada pengkajiaan fungsi otot ekstraokuler ( OEA ), diikuti dengan pengkajian struktural internal dan ekstranal serta dilengkapi dengan pemeriksaan oftalmoskopi. 1. Ketajaman penglihatan Pengkajian ini dilakukan untuk mengukur ketajamaan penglihatan seseorang. Teknik : Tempatkan kartu snellen 20 kaki dari klien pada cahaya terang. Tes mata secara individual, minta klien untuk menutup satu mata dengan kartu buram. Minta klien untuk membaca huruf pada lajur yang dapat dibaca klien paling baik. Tentukan lajur yang paling kecil dimana klien mengidentifikasi semua huruf dan catat ketajamaan pada lajur tersebut. Ulangi pada mata yang satunya.

Normal : 20/20 sampai 20/30 OU dengan lensa korektif Penyimpangan : Adanya lajur di atas lajur 20/30 pada kartu. 2. Lapang pandang Teknik : Duduk atau berdiri berlawanan dengan klien pada setinggi mata, 1 sampai 2 kaki terpisah. Minta klien untuk menutup mata kanan dengan kartu buranm sambil pemeriksa menutup mata kiri saling menatap lurus. Pemeriksa merentangkan tangan dengan penuh ke samping diantara klien dengan dirinya sendiri, secara bertahap maju ke arah garis tengah dengan jari bergerak. Instruksikan klien untuk menandai bila gerakanjari pertama kali terlihat. Bandingkan dengan respon klien dengan respon anda sendiri. Ulangi untuk mengetes lapang pandang superior, inferior dan temporal. Ulangi seluruh prosedur dengan mata yang lain tertutup. Normal : Klien dan pemeriksa melihat jari bergerak pada waktu yang bersamaan: Secara nasal : 60 Secara posterior : 50 Secara inferior : 70 Secara temporal : 90 Penyimpangan : Klien tidak melihat jari bergerak bersamaan dengan pemeriksa 3. Fungsi otot ekstraokuler Terdapat enam lapang pandang utama. Teknik : Minta klien untuk menahan kepala pada posisi terfiksasi dan hanya satu mata mengikuti jari pemeriksa saat bergerak melalui enam lapang ppandang utama. Minta klien untuk melihat pada posisi temporal ekstrem sementara pemeriksa memegang jari pada posisi ini secara sementara. Normal : Gerakan halus dan terkoordinasi melalui keenam posisi , tidak ada divergen pada suatu posisi. Penyimpangan : Gerakan kaku, tak terkoordinasi pada suatu posisi pada penderita nistagmus. 4. Kornea Teknik : Minta klien menatap lurus ke depan saat pemeroksa menyalakan pena senter pada nasal dari jarak 12 sampai 15 inci. Normal :

Sinar direfleksikan secara sistematis dari kedua pupil Penyimpangan : Refleksi sinar asimetris pada masing-masing mata. 5. Tes tutup-tak tertutup Teknik : Minta klien untuk menatap llurus ke depan pada titik terfiksasi. Tutup satu mata klien dengan kartu buram dan observasi mata yang tak tertutup terhadap gerakan terhadap fokus titik yang ditunjukan. Lepaskan penutup dan observasi mata sama dengann mata yang tak ditutup untuk gerakan yang sama. Ulangi prosedur dengan mata yang lain. Normal : Mata tak tertutup tidak bergerak saat kartu ditempatkan di atas mata yang lain; mata yang baru tak ditutup tidak bergerak. Penyimpangan : Gerakan mata tak ditutup terhadap fokus titik terfiksasi; mata yang baru tak ditutup bergerak terhadap fokus. 6. Struktur okular Inspeksi kelopak mata terhadap posisi dan warana, penutup, tinggi fisura palbebra, pengedipan, dan posisi bola mata Normal : Posisi simetris dengna berbagai derajat penurunan kelopak mata atas; warna konsistensi dengan kulit tubuh, tidak ada kemerahan. Secara bilateral fisura palbebra tingginya sama. Penyimpangan : Penurunana kelopak mata yang berlebih mempengaruhi peglihatan, posisi asimettris, berkedip cepat, blefarospasme, menetap satu titik, enofltamus atau eksofltamus. 7. Inspeksi alis mata Pada insfeksi pada alis mata terhadap kuantitas, kondisi, dan distribusi rambut, dan terhadap gerakan Normal : Tipis sedang, khususnya pada sisi temporal dan kasar. Tumbuh secara simetris sesuai dengan penonjolan tulang di atas orbita serta mengaangkat alis simetris. Penyimpangan : Kepadatan berkurang atau sama sekali tidak ada atau alis simetris. 8. Inspeksi dan palpasi kelenjar lakrimal Inspeksi dan palapsi kelenjar lakrimalis, punkta, dan duktus terhadap edema, nyeri tekan, kemerahan, rabas.

Normal : Merah muda, tak ada eritema pada area punkta dan duktus, tanpa edema, kemerahan, nyeri tekan, eksudat dan cairan. Penyimpangan : Kemerahan, edema, nyeri tekan, drainase, kering atau air mata berlebihaan. 9. Inspeksi sklera dan konjungtiva Inspeksi sklera dan konjungtiva terhadap warna, pola vaskuler, edema. Teknik : Pisahkan kelopak mata dengan lebar dengan ibu jari dan jari telunjuk berikan tekanan terhadap tonjolan tulang orbita disekitar mata. Minta klien untuk melihat ke atas, ke bawah, dan ke samping. Ulangi prosedur pada mata yang lain. Normal : Sklera putih terdapat titik coklat dekat limbus. Konjungtiva bulbaris penampilannya agak kering, jelas, dengan pembuluh darah kecil yang dapat dilihat. Pinguekula mungkin ada di dekat limbus. Konjungtiva palpebra merah muda terang tanpa lesi atau rabas. Penyimpangan: Sangat kuning atau biru gelap : peningkatan jumlah dan ukuran pembuluh darah yang dapat dilihat pucat atau sangat merah terdapat lesi atau rabas. 10. Inspeksi kornea Inspeksi kornea terhadap karakteristik transparan dan permukaan. Teknik : Senter langsung secara menyerong dari berbagai posisi. Tes sensitivitas Teknik : Instuksikan klien untuk mempertahankan mata terbuka dan melihat secara menjauh saat pemeriksa menyentuh kornea dengan gulungan kapas halus. Normal : Transparan, bulat halus, jelas, sering kuning : arkus senelis mungkin ada. Penyimpangan : Keruh atau buram : pigmentasi, abrasi atau ulserasi permukaan, petrigium, kegagalan reflek berkedip secara unilateral atau bilateral. 11. Iris

Inspeksi iris terhadap warna dan bentuk. Normal : Simetris, tapi mungkin sedikit dangkal, bulat, halus agak cekung, ada bagian yang mungkin hilang sekunder pengangkatan katarak. Penyimpangan : Inkontinensia diantara mata, bentuknya tak teratur. 12. Pupil Inspeksi pupil terhadap ukuran dan bentuk. Normal: Bulat, simetris, dilatasi lebar atau pinpoin dibawah kondisi sinar normal; agak lebih kecil sesuai petambahan usia. Konstriksi cep0at dari pupil yang diterangi (respon langsung) dan konstriksi secara simultan pada pupil yang lain (respon konsensual) Penyimpangan: Ukuran tak sama, bentuk tak teratur, tak ada atau respons tak sama. 13. Tes reaksi sinar dan akomodasi Teknik : Buat cahaya ruangan redup. Instruksikan klien mempertahankan mata terbuka dan melihat lurus ke depan saat anda mendekatkan pena senter dari satu sisi dan menyalakan langsung ke pupil. Ulangi prosedur pada maa yang lain. Instruksikan klien untuk melihat pada objek yang jauh. Pegang obyek (jari, pena senter) kira-kira 10 cm dari batang hidung klien. Minta klien untuk memfokuskan mata pada objek dekat. Normal: Pupil lebar dan secara simetris konstriksi saat mata memfokuskan pada obyek dekat. Penyimpangan: Konvergen tak ada atau tak sama atau konstriksi. 14. Pembuluh darah retina Arteriol lebih kecil dalam diameter (rasio 2:3 atau 4:5) dari pada venula yang menyertai. Penyempitan lapisan di tengah arteriol, arteriol tampak lebih buram, warna abu-abu dan lebih sempit. Venula warna lebih gelap (merah-keunguan) dengan bercak atau tak ada refleksi sinar. Potongan arteriol-venula tidak harus mengubah besar lubang pembuluh darah besar. Penyimpangan : Arteriol menjadi lebih sempit, lapisan cahaya lebih dari sepertiga arteriol, sangat buram atau sangat pusat, venula menjadi lebih besar.

15. Latar belakang retina Kuning atau merah muda seluruhnya permukaan granular dan halus.

Penyimpangan : Pucat umum atau lokal, hemoragic noda merah atau gelap dari berbagai ukuran dekat pembuluh darah, mikroaneurisma terlihat sebagian kecil, titik merah terisolasi, drusen. 16. Area makula Agak gelap dari pada latar belakang retina. Retina fovea sentralis (titik tengah berkilau) kurang terang sesuai pertambahan usia. Penyimpangan : Peningkatan pigmentasi disekitan makula. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Dalam makalah ini, Diagnosa keperawatan untuk katarak terbagi ke dalam diagnosa preoperatif dan postoperatif: Preoperatif a. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan ketajamanan peglihatan, b. Gangguan sensori presepsi berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori atau status organ indera c. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungna dengan tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi. d. Self care defisit B/D kerusakan penglihatane. Social isolation B/D penglihatan yang tidak jelas, aktifitas gerak yang tidak bebas

f.

Kecemasan berhubungan dengan kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan

Postoperatif a. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan prosedure tindakan invasiv insisi jaringan tubuh b. Nyeri berhubungan dengan perlukaan sekunder operasi miles prosedur

C. RENCANA TINDAKAN Preoperatif a. Gangguan peersepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera. Tujuan : Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu, mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan. Kriteria Hasil : - Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan. - Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan. Intervensi: :

Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau dua mata terlibat. Orientasikan klien tehadap lingkungan Observasi tanda-tanda disorientasi. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata. Ingatkan klien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25 persen. Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan/posisi yang tidak dioperasi. Pastikan derajat atau tipe ketajamaan penglihatan Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilanhan atau kemungkinaan kehilangan penglihatan Tunjukaan pemberian tetes mata contoh menghitung tetesan, mengikuti jadwal, tidak salah dosis. Lakukan tindakan untuk membantu pasien menangani keterbatasan penglihatan cotoh, kurangi kekacauan, atur perabotan, ingatkan memutar kepala ke subjek yang terlihat, perbaiki sinar suaram, lantai tidak licin dan masalah penglihatan malam Kolaborasi obat sesuai indikasi b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan ketajamanan peglihatan Tujuan : cidera tidak terjadi Kriteria Hasil: menunjukan perubahan perilaku/pola hidup untuk melindungi diri dari cidera Intervensi: Hindari adanya lantai licin Orientasi pada ruangan Modifikasi ruangan seseuai kenyamanan klien Berikan penerangan yang cukup pada ruangan Bantu aktivitas harian dan ambulasi c. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungna dengan tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi. Tujuan : pasien mengetahui tentang kondisi, prognosis danpengobatan Kriterian hasil : - pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan - mengidentifikasi hubungna antar tanda atau gejalka dengan proses penyakit - melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan Intervensi : diskusikan perluanya mengidentifikasi tanda dan gejala tunjukan teknik yang benar pemberian tetes mata kaji pentingnya mempertahankan jadwal obat serta diskusikan oabat yang harus dihindari

identifikasi efek samping dari pengobatan dorong pasien membut perubahan pola hidup tekankan pentingnya pemeriksaan rutin nasehati pasien untuk melaporkan dengan segera nyeri mata yang hebat, inflamasi, peningkatan fotofobia, peningkatan lakrimasi d. isolasi sosial B/D penglihatan yang tidak jelas, aktifitas gerak yang tidak bebastujuan : gangguan isolasi sosial dapat teratasi dan kemampuan koping klien meningkat. Kriteria hasil : klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas sosial Intervensi:

e.

Dorong klien untuk menerima pengunjung Beri kesempatan klien untuk mengekspresikan perasaan cemas, ketakutan, kemarahan dan penolakan. Motivasi klien untuk bersosialisasi

Kecemasan berhubungan dengan kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan. Tujuan/kriteria evaluasi: - Pasien mengungkapkan dan mendiskusikan rasa cemas/takutnya. - Pasien tampak rileks tidak tegang dan melaporkan kecemasannya berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi. - Pasien dapat mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang pembedahan Intervensi : Kaji tingkat kecemasan pasien dan catat adanya tanda- tanda verbal dannonverbal. Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya. Observasi tanda vital dan peningkatan respon fisik pasien Beri penjelasan pasien tentang prosedur tindakan operasi, harapan dan akibatnya. Beri penjelasan dan suport pada pasien pada setiap melakukan prosedurtindakan Lakukan orientasi dan perkenalan pasien terhadap ruangan, petugas, dan peralatan yang akan digunakan.

Postoperatif a. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan prosedure tindakan invasiv insisi jaringan tubuh Tujuan/kriteria evalusi: Tidak terjadi penyebaran infeksi selama tindakan prosedur pembedahan ditandai dengan penggunaan teknik antiseptik dan desinfeksi secara tepat dan benar. Intervensi: - Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan secara tepat.

-

Ciptakan lingkungan ruangan yang bersih dan babas dari kontaminasi dunia luar Jaga area kesterilan luka operasi Lakukan teknik aseptik dan desinfeksi secara tepat dalam merawat luka Kolaborasi terapi medik pemberian antibiotika profilaksis

b. Nyeri berhubungan dengan perlukaan sekunder prosedur operasi Tujuan/kriteria evaluasi: - Klien mengungkapkan nyeri berkurang/hilang - Tidak merintih atau menangis - Ekspresi wajah rileks - Klien mampu beristrahat dengan baik. Intervensi : Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik dan intensitas nyeri (skala 0-10). Motivasi untuk melakukan teknik pengaturan nafas dan mengalihkan perhatian. Hindari sentuhan seminimal mungkin untuk mengurangi rangsangan nyeri. Berikan analgetik sesuai dengan program medis. c. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kehilangan vitreus, perdarahan intraokuler Tujuan : Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera. Kriteria hasil : - Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera - Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan. Intervensi : Diskusikan apa yang terjadi tentang kondisi paska operasi, nyeri, pembatasan aktifitas, penampilan, balutan mata. Beri klien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan. Batasi aktifitas seperti menggerakan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membongkok. Ambulasi dengan bantuan : berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anestesi. Dorong nafas dalam, batuk untuk menjaga kebersihan paru. Anjurkan menggunakan tehnik manajemen stress. Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi. Minta klien membedakan antara ketidaknyamanan dan nyeri tajam tiba-tiba, Selidiki kegelisahan, disorientasi, gangguan balutan. Observasi pembengkakan lika, bilik anterior kempes, pupil berbentuk buah pir.

Berikan obat sesuai indikasi antiemetik, Asetolamid, sikloplegis, analgesik.