sejarah peradilan milite1.docx
DESCRIPTION
sejarah peradilan militerTRANSCRIPT
TUGAS HUKUM:
RESUME PERADILAN MILITER
CICI SINTAMAYA
133060017984
AKUNTANSI 1N
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGAR
A. PENGERTIAN PERADILAN MILITER
Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan
rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan
penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang
melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.
Menurut Pasal 5 UU No.31 tahun 1997, Peradilan Militer adalah pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata , untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan
memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara
B.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA
Hukum Militer Belanda di Indonesia sebelum PD II dikenal dengan nama ‘ Krijgsraad’ dan ‘Hoog
Militair Gerechtshof’ .Keduanya tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De
militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog
Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 No. 163.
Peradilan ini meliputi pidana militer yang anggota-aggotanya berasal dari Angkatan Darat Hindia
Belanda(KNIL) dan Angkatan Laut Belanda. KNIL diadali oleh ‘Krijgsraad’ pada tingkat pertama
dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’ pada tingkat banding sedangkan Angkatan Laut Belanda diadili oleh
Zee Krijgsraad pada tingkat pertama dan Hoog Militair Gerecht Shoof pada tingkat banding.
Mengapa pengadilan KNIL dan Angkatan Laut Belanda berbeda? Karena KNIL merupaka oraganisasi
tersendiri dan terlepas dari Angkatan Darat Belanda ,berbeda dengan Angkatan Laut Belanda yang
merupaka bagian dari Angktaan Laut Kerajaan Belanda
Krisjgraad mengadili perkara pidana pertama kepada anggota militer dengan pangkat kapten ke
bawah dan orang-orang sipil yang berkerja pada militer, sedangkan Hoog Militair Gerecht adalah
pengadilan instansi kedua(banding) serta mengadili pada tingkat pertama para anggota militer dengan
pangkat kapten keatas dan yang tertinggi di Hindia Belanda,berkedudukan di Jakarta, Krisjgsraad
berkedudukan di Cimahi, Ujung Pandang dan Padang
Untuk daerah di Jawa-Madura dan di luar daerah, Penguasa Belanda mengadakan ‘Temporaire
Kijgsraad’ yaitu mahkamah militer sementara yang mempunyai wewenang pula untuk mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang bukan militer serta bukan di golongkan sebagai
bangsa Indonesia. Majelis Hakim terdiri dari tiga orang , dan oditur adalah Jaksa landgerecht.
Mahkamah militer sementara itu bersidang dengan majelis hakim.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Berdasarkan Osamu Gunrei No.2
tahun 1942, dibentuklah Gunritukaig (peradilan militer) untuk mngadili perkara pelanggaran undang-
undang militer Jepang. Pengadilan ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat
menganggu , menghalang-halangi dan tindakan melawan Jepang dengan pidana terberat adalah
hukuman mati.
Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, Angkatan Bersenjata telah dibentuk pada tanggal 5
Oktober 1945 tanpa adanya pembentukan peradilan militer . Peradilan militer baru di bentuk setelah
adanya UU no.7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara.
Pada tanggal 8 Juni 1946, untuk mengisi kekosongan hukum diterapkan disiplin militer dan
dikelurkalah UU no.8 tahun 1946 yang mengatur tentang Hukum Acara Pidana bagi peradilan militer.
Dalam UU no.7 tahun 1946, Peradilan Tentara dibagi menjadi dua tingkat yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Makamah Tentara Agung
Peradilan Tentara berwenang untuk mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh:
1. Prajurit Tentara (AD) Republik Indonesia, Angkatan laut dan Angkatan Udara
2. Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
3. Orang yang tidak termasuk golongan (a) dan (b) tetapi berhubungan dengan
kepentingan ketentaraan
Mahkamah Tentara adalah pengadilan tingkat pertama dan berwenang mengadili perkara dengan
tersangka prajurit berpangkat kapten kebawah
Sedangkan Mahkamah Tentara Agung pada tingkat pertama dan terakhir berwenang mengadili
perkara :
1. Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
2. Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
3. Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung mengadili pada tingkat kedua dan terkhir setelah di putus oleh
Mahkamah Tentara dan persidangan dibagi menjadi dua yaitu persidangan untuk perkara
kejahatan dan persidangan untuk perkara pelanggaran.
Pada tahun 1948, terjadi perubahan susunan,kedudukan dan daerah hukum dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948, susunanya adalah :
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Tinggi
3. Mahkamah Tentara Agung
Masing-masing mahkamah memiliki kewenangan sendiri, yaitu:
1. Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah.
2. Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat
Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah
diputus mahkamah tentara .
3. Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus
perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf
Angkatan Perang, Kastaf Angkatan Darat, Kastaf Angkatan Laut, Kastaf Angkatan
Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan
Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa
Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam peraturan tersebut juga diatur tentang tingkat kejaksaan tentara,yaitu:
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Meteril yang diteapkan ketika berlakunya UU nomor 7 tahun 1946 dan Peraturan
Pemerintah nomor 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut :
1. KUHP (UU No 1 tahun 1946)
2. KUPT (UU No.39 tahun 1947 jo S.1934 No,167)
3. KUDT (UU No.40 tahun 1947 jo.S.1934 No.168)
Pada masa tahun 1946-1948 terbentuklah Peradilan Militer Khusus, akibat dari peperangan yang
terus terjadi dan berakibat pada putusnya hubungan antar daerah. Peradilan Khusus Militer meliputi
antara lain:
1. Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP No.5 tahun 1946)
2. Mahkamah Tentara Sementara (PP No.22 tahun 1947)
3. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP No.23 tahun 1947)
Pada tanggal 19 Desember 1948, terjadi angresi militer oleh Belanda shingga dikeluarkanlah
peraturan darurat tahun 1949 Nomor 46/MBKD/49 yang mengatur peradilan militer untuk seluruh
pulau Jawa dan Madura . Peraturan tersebut memuat tentang:
1. Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
2. Pengadilan Sipil Pemrintah Militer
3. Mahkamah Luar Biasa
4. Cara menjalankan Hukuman Penjara
Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
1. Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan
ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
2. Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM
yang berwenang mengadili perwira pertama hingga kapten.
3. Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer (MTGM), berkedudukan sama dengan
Gubernur militer yang berwenang mengadili Kapten sampai Letnan Kolonel.
Peraturan Tersebut hanya berjalan slama 6 bulan, kemudain pada 12 Juli 1940 Menteri
Kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Tanggal 25 Desember 1949 dikeluarkan PERPU
No.36 tahun 1949 yang mencabut seluruh materi peraturan darurat NO.46/MBKD/49 dan aturan yang
berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.
Lalu diterbitkanlah UU darurat No.16 tahun 1950 yang mengatur peradilan tentara dan kejaksaan
dalam tiga tingkatan seperti dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948. UU darurat No.16
tahun 1950 kemudian di cabut dengan lahirnya UU No.5 tahun 1950 tetapi materinya tetap tidak
mengalami perubahan
Pasa periode 1950-1959 di Indonesia terjadi keadaan darurat, berbagai permaslahan terjdi seperti
pemberontakan Andi Azis di Makassar, APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di
Jawa Barat, Jawa Tengah ,Aceh dan Sulawesi Selatan dan peristiwa PRRI/Permesta di Sumatera dan
Sulawesi.
Akibat dari kondisi diatas dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka
dibentuklah Peradilan Militer Khusus yang meliputi
1. Mahkamah Tentara Luar Biasa
2. Mahkamah Angkatan Darat/Udara Pertempuran
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit dan meyatakan pembubaran
konstiuante dan berlakunya lembali UUD 1945. Sejak dikeluarkanya dekrit presiden UU No.5 tahun
1950 tetap berlaku tetapi seiring perkembangan penerapannya berbeda dengan periode sebelum
dikeluarkannya dekrit presiden. Dalam hal ini , dirasakan perlunya fungsi peradilan militer
diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penatapan Presiden No.22 tahun 1965 tentang
perubahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU No.5 tahun 1950. Perubahan-perubahan tersebut
mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.
Pada tahun 1961, merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para
perwira ahli atau sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah Agung No 229/2A/1961
mengenai pemberlakuan hakim militer dalam memimpin siding pengadilan militer begitu pula dengan
kejaksaan sejak September 1961.
Perkembangan selanjutnya diundangkannya UU No.3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan
Hukum Pidana Tentara ,Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan
Kepolisian pada tanggal 15 Maret 1965.
Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 30 Oktober 1965 lahirlah UU No.23 PNPS 1965 yang
menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama,bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak
pidana diadili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya, diadili di
badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk Kepulaun Riau.
Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri
dari:
1. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
2. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
3. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
4. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian
Peradilan ini berlangsung hingga setelah 11 Maret 1966.
Tahun 1970 lahirlah UU No.14 tahun 1970 menggantika UU No.19 tahun 1964 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah itu berubah dengan dikeluarkannya
berturut-turut:
1. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10
Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72
2. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal
19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat
kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara
dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Peradilan militer tidak
lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer
dibawah naungan departemen pertahanan dan keamanan. Berdasarkan SK bersama tersebut,
nama peradilan ketentaraan diubah. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dalam peradilan
militer dilakukan oleh:
1. Mahkamah Militer (MAHMIL)
2. Mahkamah Militer Tinggi ( MAHMILTI)
3. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG)
Tahun 1982 dikeluarkan UU No.20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pertahanan keamanan Republik Indonesia yang kemudian diubah menjadi UU No.1 tahun 1988.
Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang signufikan dalam pelaksanaan peradilan
militer di Indonesia.
Pada tahun 1997 dibentuk UU No.31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang
ini dibuat atas perlunya perubahan dalam peradilan militer yang dipandang sudah tidak sesuai
lagi dengan UU No.14 tahun 1970 tentang kekuasaan pokok kehakiman. Undang-undang ini
kemudian.
Undang-undang ini kemuadian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari:
1. Pengadilan Militer
2. Pengadilan Militer Tinggi
3. Pengadilan Militer Utama
4. Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya keentuan ini, UU No. 5 tahun 1950 sebagaimana telah diubah
dengan UU No.22 PNPS tahun 1965 dan UU No.6 tahun 1950 yang telah diubah dengan UU
No.1 Drt tahun 1958 , keduanya dinyatakan sudah tidak berlaku lagi dan berlaku hingga
sekarang
C. ASAS-ASAS DALAM PERADILAN MILITER
1. Asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan umum.
2. Asas keseimbangan antara doelmatigheid dengan rechtsmatighed.
3. Asas kesatuan komando(unity of command and hirarkhi)
4. Asas komandan bertanggung jawa penuh terhadap baik buruknya kesatuan yang
dipimpin
5. Asas pertanggung jawaban mutlak.
6. Asas komandan tidak boleh membiarkan bawahannya melakukan pelanggaran
7. Asas mendidik
8. Asas cepat
9. Asas perwira sebgai penyerah perkara
D. DASAR HUKUM PERADILAN MILITER
Peradilan militer sudah diatur dalam konstitusi yaitu pasal 24 ayat 2 UUD 45
1. UU No.5 tahun 1950 jo UU No.22 PNPS tahun 1965 tentang susunan dan kekuasaan
Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan ketentaraan.
2. UU No.6 tahun 1950 jo UU No.1 Drt tahun 1958 tentang Hukum Acara Pidana Pengadilan
Ketentaraan.
3. UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4. Surat Keputusan bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman No.KEP/10/M/XII/1983
M.57.PR.09.03.th.1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang Tim Tetap Penyidikan Perkara
Pidana Koneksitas.
5. Keputusan Pangab Nomor : KEP/01/P/I/1984 tanggal 20 Januari 1985 lampiran “K” tentang
organisasi dan prosedur Badan Pembinaan Hukum ABRI.
6. UU No.2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
7. UU No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
8. UU No. 48 tahun 2009, Tentang perubahan atas UU No. 4 tahun 2004, Tentang kekuasaan
Kehakiman
E. FUNGSI PERADILAN MILITER
1. Menurut UU No.26 tahun 1997 ,bertugas dan berwenang menjatuhkan sanksi dari aparat yang
ditunjuk jika terjadi pelanggaran hukum disiplin
2. Memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap setiap pelanggaran oleh prajurit dalam lingkup
kewenangan pengadilan militer (undang-undang No.31 tahun 1997).
F.HUKUM PIDANA MILITER
Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang militer tentang tindakan-
tindakan mana yang merupakan pelanggaran ,kejahatan , larangan atau keharusan dan diberikan
ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum
yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan
oleh Prajurit TNI atau yang menurut ketentuan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit TNI.
Yang berwenang dalam proses peradilan militer adalah
a. Komandan satuan selaku Ankum dan atau Papera.
b. Polisi Militer sebagai Penyidik.
c. Oditur Militer selaku penyidik, penuntut umum dan eksekutor
d. Hakim Militer di Pengadilan Militer
Ditinjau dari perannya dalam fungsi penegakan hukum militer, Komandan atau Ankum adalah
atasan yang atas dasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit diberi
kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada di bawah
wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin.
Apabila pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka Komandan-Komandan tertentu
yang berkedudukan setingkat Komandan Korem dapat bertindak sebagai Perwira Penyerah Perkara
atau Papera yang oleh undang-undang diberi kewenangan menyerahkan perkara setelah
mempertimbangkan saran pendapat Oditur Militer. Saran pendapat hukum dari Oditur Militer ini
disampaikan kepada Papera berdasarkan be-rita acara pemeriksaan hasil penyidikan Polisi Militer.
Peran Oditur Militer dalam proses Hukum Pidana Militer selain ber-kewajiban menyusun berita
acara pendapat kepada Papera untuk terangnya suatu perkara pidana, juga bertindak selaku pejabat
yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai pelaksana putusan atau
penetapan Pengadilan Militer. Oditur Militer juga dapat bertindak sebagai penyidik untuk melakukan
pemeriksaan tambahan guna meleng-kapi hasil pemeriksaan Penyidik Polisi Militer apabila dinilai
belum lengkap. Apabila Papera telah menerima berita acara pendapat dari Oditur Militer, selanjutnya
Papera dengan kewenangannya mempertimbangkan untuk menentukan perkara pidana tersebut
diserahkan kepada atau diselesaikan di Pengadilan Militer. Dengan diterbitkannya Surat Keputus-an
Penyerahan Perkara (Skepera) ter-sebut, menunjukkan telah dimulainya proses pemeriksaan perkara
di Pengadilan Militer.
G.PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERADILAN MILITER
Ada 4 tahap : dalam proses penyelesaian perkara di peradilan militer
1. Tahap penyidikan
2. Tahap penuntutan
3. Tahap pemeriksaan di persidangan
4. Tahap pelaksanaan putusan
1.Tahap penyidikan.
- suatu penyelidikan dan penyidikan dimulai dari adanya laporan polisi.
a. Laporan polisi kepada polisi militer memuat
1) Keterangan yang jelas tentang waktu dan tempat kejadian.
2) Uraian kejadian.
3) Akibat kejadian (misal : mati, luka-luka, kekerasan atau kehilangan barang).
4) Nama, umur, pekerjaan serta alamat tersangka dan para saksi.
b. Syarat laporan polisi
1) Kejadian yang dilaporkan harus merupakan suatu tindak pidana.
2) Fakta perbuatan tersangka harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur
dan diancam dengan pidana dalam perundang-undang pidana.
3) Tersangka adalah seorang atau lebih yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah
anggota tni atau yang disamakan.
c. Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan merupakan delik aduan maka disamping laporan polisi
harus dibuat juga pengaduan dari pihak yang dirugikan.
d. Pemanggilan kepada tersangka dan saksi.
e. Pemeriksaan tersangka dan saksi.
f. Penangkapan dan penahanan:
g. Pelaksanaan penyidikan
2. Tahap penuntutan
Pelimpahan perkara kepada oditur :
- Setelah penyidik dalam hal ini polisi militer selesai melakukan penyidikan terhadap tersangka
selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada oditur militer dan tindakan oditur setelah menerima
berkas adalah:
a. Meneliti persyaratan materiil / formil.
b. Bila hasilnya belum lengkap meminta kepada penyidik agar melengkapi.
c. Oditur dapat melengkapi sendiri atau mengembalikan berkas kepada penyidik dengan
petunjuk.
d. Berkas perkara desersi yang tersangkanya tidak diketemukan, berita acara pemeriksaan
tersangka tidak merupakan syarat kelengkapan berkas.
e. Setelah meneliti berkas oditur membuat dan menyampaikan pendapat hukum kepada papera
dengan permintaan agar perkara diserahkan ke pengadilan, di disiplinkan atau ditutup.
3. Tahap pemeriksaan di persidangan
a. Berkas perkara yang diterima pengadilan militer dari oditur militer di catat oleh kataud dalam
agenda surat masuk, selanjutnya berkas perkara digabungkan dengan surat-surat lain yang terkait
dengan perkara tersebut.
b. Kepala pengadilan kemudian menyerahkan berkas perkara kepaa katera melalui kataud untuk
dicatat dalam register perkara dan kepala pengadilan militer meneliti apa berkas tersebut sudah
memenuhi syarat formil maupun materiil.
c. Dalam hal kepala pengadilan militer berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak
berwenang memeriksa perkara tersebut karena terdakwa berubah pangkat dari perwira pertama ke
perwira menengah maka berkas harus segera di kembalikan ke oditur militer dengan penetapan
untuk dilimpahkan ke pengadilan yang lebih berwenang.
d. Dalam hal terdakwa telah berpindah tugas ketempat lain diluar daerah hukum suatu pengadilan
maka berkas perkara segera dikembalikan ke oditur militer dengan penetapatn dari kepala
pengadilan untuk dilimpahkan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tugas
terdakwa (sesuai pasal 10b undang-undang nomor 31 tahun 1997).
e. Dalam hal kepala pengadilan berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk dalam kewenangan
pengadilan yang dipimpinnya maka ia segera menunjuk hakim yang menyidangkan perkara
tersebut dan panitera membuar rencana sidang untuk di serahkan kepada oditur militer dengan
perintah supaya oditur memanggil terdakwa dan para saksi untuk hadir dipersidangan.
f. Pada saat pemeriksaan di persidangan pada dasarnya tata caranya sama dengan pemeriksaan di
pengadilan hukum.
g. Penasihat hukum
1) Guna kepentingan pembelaan, terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau
lebih penasihat hukum untuk mendampinginya dalam persidangan.
2) Pemberian dan bantuan dan nasihat hukum kepada anggota Ini diatur dalam surat keputusan
panglima tni tentang petunjuk pelaksanaan.
3) Dalam hal terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan:
a) Pidana mati;
b) Pidana penjara lima belas tahun atau lebih;
c) Pidana penjara lima tahun atau lebih sedangkan terdakwa tidak mampu mengusahakan
penasihat hukum sendiri;maka hakim ketua wajib mengusahakan penasihat hukum bagi
terdakwa malalui papera yang bersangkutan atas biaya negara untuk mendampingi terdakwa di
sidang, kecuali apabila terdakwa sanggup mengusahakan sendiri penasihat hukum.
4) Penunjukan penasihat hukum ditetapkan dalam suatu penetapan oleh hakim ketua yang
bersangkutan
4. Tahap pelaksanaan putusan.
- Sesuai ketentuan undang-undang bahwa yang melaksanakan putusan hakim adalah oditur militer,
putusan hakim bisa memuat pidana pokok dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer atau
hanya pidana penjara saja.
- Dalam hal terdakwa dijatuhi pidana pokok pejara dan pidana tambahan (dipecat dari dinas militer)
dan terdakwa menerima putusan tersebut maka pidana tersebut dijalani di lp umum, tetapi apabila
terdakwa atau oditur masih upaya hukum terhadap putusan tersebut maka terdakwa ditahan sambil
menunggu putusan banding, hal ini dilakukan karena dikhawatirkan terdakwa melarikan diri,
menghilangkan barang bukti, merusak barang bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana.
Penyelesaian perkara disersi dan delik aduan di peradilan militer
1.Perkara desersi
- Sesuai ketentuan pasal 143 undang-undang nomor 31 tahun 1997 perkara desersi bisa di sidangkan
tanpa hadirRya terdakwa (in absentia) dengan ketentuan setelah dilimpahkan ke pengadilan militer
selama 6 bulan dan direncanakan sidang sebanyak 4 kali:
Tujuan : untuk kepastian hukum bagi terdakwa yang masih melarikan diri dan menertibkan
administrasi personil yang bersangkutan.,ada hukuman tambahan di pecat dari dinas militer.
2.Delik aduan
- Oditur militer dapat menuntut terdakwa yang melakukan tindak pidana aduan (delik aduan) apabila
ada pengaduan dari yang berhak mengadu sesuai ketentuan pasal 74 ayat 11 kuhp.
- Sesuai hukum acara pidana terhadap delik aduan, sebelum pemeriksaan sidang dimulai pihak yang
berhak mengadu boleh mencabut pengaduannya.
- Dalam hal pengaduan dicabut maka syarat penuntutan tidak ada dan erdakwa tidak bisa dituntut di
persidangan oleh odiitur militer karena perbuatan terdakwa tidak layak dilakukan oleh anggota tni
(melanggar kehidupan disiplin milite)r maka perkara tersebut oleh oditur diserahkan kepada papera
(perwira penyerah perkara) untuk diselesaikan melalui hukum disiplin prajurit sesuai undang-
undang nomor 26 tahun 1997 tentang hukum disiplin prajurit.
- Sesuai ketentuan pasal 5 undang-undang nomor 26 tahun 1997 tentang hukum disiplin ada 3 yaitu:
1.Teguran
2.Penahanan ringan paling lama 14 hari
3.Penahanan berat paling lama 21 hari
H. Gugatan Tata Usaha Militer
- Diatur dalam pasal 256 sampai dengan 325 undang-undang nomor 31 tahun 1997
1. Sesuai ketentuan pasal 265 undang-undang nomor 31 tahun 1997 maka:
- orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya di rugikan oleh suatu keputusan tata
usaha angkatan bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan militer tinggi
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugut yang berisi tuntutan
supaya keputusan tata usaha angkatan bersenjata tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi.
2. Semua produk yudikatif tidak dapat digugat tata usaha militer.
3. Tenggang waktu gugatan 90 hari terhitung sejak saat diterimanya/ diumumkannya keputusan
badan / pejabat tata usaha angkatan bersenjata.
4. Dalam hal penggugat mengadakan upaya hukum banding maka permohonannya diajukan ke
pengadilan militer utama, untuk kasasi diajukan ke mahkamah agung