sejarah peradilan milite1.docx

17
TUGAS HUKUM: RESUME PERADILAN MILITER CICI SINTAMAYA 133060017984 AKUNTANSI 1N SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGAR

Upload: cici-sintamaya

Post on 21-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sejarah peradilan militer

TRANSCRIPT

Page 1: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

TUGAS HUKUM:

RESUME PERADILAN MILITER

CICI SINTAMAYA

133060017984

AKUNTANSI 1N

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGAR

Page 2: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

A. PENGERTIAN PERADILAN MILITER

Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan

rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan

penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang

melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.

Menurut Pasal 5 UU No.31 tahun 1997, Peradilan Militer adalah pelaksanaan kekuasaan

kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata , untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan

memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara

B.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA

Hukum Militer Belanda di Indonesia sebelum PD II dikenal dengan nama ‘ Krijgsraad’ dan ‘Hoog

Militair Gerechtshof’ .Keduanya tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De

militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog

Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 No. 163.

Peradilan ini meliputi pidana militer yang anggota-aggotanya berasal dari Angkatan Darat Hindia

Belanda(KNIL) dan Angkatan Laut Belanda. KNIL diadali oleh ‘Krijgsraad’ pada tingkat pertama

dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’ pada tingkat banding sedangkan Angkatan Laut Belanda diadili oleh

Zee Krijgsraad pada tingkat pertama dan Hoog Militair Gerecht Shoof pada tingkat banding.

Mengapa pengadilan KNIL dan Angkatan Laut Belanda berbeda? Karena KNIL merupaka oraganisasi

tersendiri dan terlepas dari Angkatan Darat Belanda ,berbeda dengan Angkatan Laut Belanda yang

merupaka bagian dari Angktaan Laut Kerajaan Belanda

Krisjgraad mengadili perkara pidana pertama kepada anggota militer dengan pangkat kapten ke

bawah dan orang-orang sipil yang berkerja pada militer, sedangkan Hoog Militair Gerecht adalah

pengadilan instansi kedua(banding) serta mengadili pada tingkat pertama para anggota militer dengan

pangkat kapten keatas dan yang tertinggi di Hindia Belanda,berkedudukan di Jakarta, Krisjgsraad

berkedudukan di Cimahi, Ujung Pandang dan Padang

Untuk daerah di Jawa-Madura dan di luar daerah, Penguasa Belanda mengadakan ‘Temporaire

Kijgsraad’ yaitu mahkamah militer sementara yang mempunyai wewenang pula untuk mengadili

tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang bukan militer serta bukan di golongkan sebagai

bangsa Indonesia. Majelis Hakim terdiri dari tiga orang , dan oditur adalah Jaksa landgerecht.

Mahkamah militer sementara itu bersidang dengan majelis hakim.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Berdasarkan Osamu Gunrei No.2

tahun 1942, dibentuklah Gunritukaig (peradilan militer) untuk mngadili perkara pelanggaran undang-

undang militer Jepang. Pengadilan ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat

menganggu , menghalang-halangi dan tindakan melawan Jepang dengan pidana terberat adalah

hukuman mati.

Page 3: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, Angkatan Bersenjata telah dibentuk pada tanggal 5

Oktober 1945 tanpa adanya pembentukan peradilan militer . Peradilan militer baru di bentuk setelah

adanya UU no.7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara.

Pada tanggal 8 Juni 1946, untuk mengisi kekosongan hukum diterapkan disiplin militer dan

dikelurkalah UU no.8 tahun 1946 yang mengatur tentang Hukum Acara Pidana bagi peradilan militer.

Dalam UU no.7 tahun 1946, Peradilan Tentara dibagi menjadi dua tingkat yaitu:

1. Mahkamah Tentara

2. Makamah Tentara Agung

Peradilan Tentara berwenang untuk mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh:

1. Prajurit Tentara (AD) Republik Indonesia, Angkatan laut dan Angkatan Udara

2. Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit

3. Orang yang tidak termasuk golongan (a) dan (b) tetapi berhubungan dengan

kepentingan ketentaraan

Mahkamah Tentara adalah pengadilan tingkat pertama dan berwenang mengadili perkara dengan

tersangka prajurit berpangkat kapten kebawah

Sedangkan Mahkamah Tentara Agung pada tingkat pertama dan terakhir berwenang mengadili

perkara :

1. Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor

2. Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA

3. Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara

Mahkamah Tentara Agung mengadili pada tingkat kedua dan terkhir setelah di putus oleh

Mahkamah Tentara dan persidangan dibagi menjadi dua yaitu persidangan untuk perkara

kejahatan dan persidangan untuk perkara pelanggaran.

Pada tahun 1948, terjadi perubahan susunan,kedudukan dan daerah hukum dengan

diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948, susunanya adalah :

1. Mahkamah Tentara

2. Mahkamah Tentara Tinggi

3. Mahkamah Tentara Agung

Masing-masing mahkamah memiliki kewenangan sendiri, yaitu:

1. Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang

dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah.

2. Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat

Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah

diputus mahkamah tentara .

3. Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus

perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf

Angkatan Perang, Kastaf Angkatan Darat, Kastaf Angkatan Laut, Kastaf Angkatan

Page 4: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan

Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa

Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.

Dalam peraturan tersebut juga diatur tentang tingkat kejaksaan tentara,yaitu:

1. Kejaksaan Tentara

2. Kejaksaan Tentara Tinggi

3. Kejaksaan Tentara Agung

Hukum Pidana Meteril yang diteapkan ketika berlakunya UU nomor 7 tahun 1946 dan Peraturan

Pemerintah nomor 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut :

1. KUHP (UU No 1 tahun 1946)

2. KUPT (UU No.39 tahun 1947 jo S.1934 No,167)

3. KUDT (UU No.40 tahun 1947 jo.S.1934 No.168)

Pada masa tahun 1946-1948 terbentuklah Peradilan Militer Khusus, akibat dari peperangan yang

terus terjadi dan berakibat pada putusnya hubungan antar daerah. Peradilan Khusus Militer meliputi

antara lain:

1. Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP No.5 tahun 1946)

2. Mahkamah Tentara Sementara (PP No.22 tahun 1947)

3. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP No.23 tahun 1947)

Pada tanggal 19 Desember 1948, terjadi angresi militer oleh Belanda shingga dikeluarkanlah

peraturan darurat tahun 1949 Nomor 46/MBKD/49 yang mengatur peradilan militer untuk seluruh

pulau Jawa dan Madura . Peraturan tersebut memuat tentang:

1. Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer

2. Pengadilan Sipil Pemrintah Militer

3. Mahkamah Luar Biasa

4. Cara menjalankan Hukuman Penjara

Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:

1. Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan

ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.

2. Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM

yang berwenang mengadili perwira pertama hingga kapten.

3. Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer (MTGM), berkedudukan sama dengan

Gubernur militer yang berwenang mengadili Kapten sampai Letnan Kolonel.

Peraturan Tersebut hanya berjalan slama 6 bulan, kemudain pada 12 Juli 1940 Menteri

Kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Tanggal 25 Desember 1949 dikeluarkan PERPU

No.36 tahun 1949 yang mencabut seluruh materi peraturan darurat NO.46/MBKD/49 dan aturan yang

berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.

Page 5: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

Lalu diterbitkanlah UU darurat No.16 tahun 1950 yang mengatur peradilan tentara dan kejaksaan

dalam tiga tingkatan seperti dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948. UU darurat No.16

tahun 1950 kemudian di cabut dengan lahirnya UU No.5 tahun 1950 tetapi materinya tetap tidak

mengalami perubahan

Pasa periode 1950-1959 di Indonesia terjadi keadaan darurat, berbagai permaslahan terjdi seperti

pemberontakan Andi Azis di Makassar, APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di

Jawa Barat, Jawa Tengah ,Aceh dan Sulawesi Selatan dan peristiwa PRRI/Permesta di Sumatera dan

Sulawesi.

Akibat dari kondisi diatas dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka

dibentuklah Peradilan Militer Khusus yang meliputi

1. Mahkamah Tentara Luar Biasa

2. Mahkamah Angkatan Darat/Udara Pertempuran

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit dan meyatakan pembubaran

konstiuante dan berlakunya lembali UUD 1945. Sejak dikeluarkanya dekrit presiden UU No.5 tahun

1950 tetap berlaku tetapi seiring perkembangan penerapannya berbeda dengan periode sebelum

dikeluarkannya dekrit presiden. Dalam hal ini , dirasakan perlunya fungsi peradilan militer

diselenggarakan oleh anggota militer.

Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penatapan Presiden No.22 tahun 1965 tentang

perubahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU No.5 tahun 1950. Perubahan-perubahan tersebut

mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.

Pada tahun 1961, merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para

perwira ahli atau sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah Agung No 229/2A/1961

mengenai pemberlakuan hakim militer dalam memimpin siding pengadilan militer begitu pula dengan

kejaksaan sejak September 1961.

Perkembangan selanjutnya diundangkannya UU No.3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan

Hukum Pidana Tentara ,Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan

Kepolisian pada tanggal 15 Maret 1965.

Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 30 Oktober 1965 lahirlah UU No.23 PNPS 1965 yang

menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama,bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak

pidana diadili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya, diadili di

badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk Kepulaun Riau.

Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri

dari:

1. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat

2. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut

3. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara

4. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian

Page 6: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

Peradilan ini berlangsung hingga setelah 11 Maret 1966.

Tahun 1970 lahirlah UU No.14 tahun 1970 menggantika UU No.19 tahun 1964 tentang

ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah itu berubah dengan dikeluarkannya

berturut-turut:

1. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10

Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72

2. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal

19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat

kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara

dan kejaksaan tentara.

Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Peradilan militer tidak

lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer

dibawah naungan departemen pertahanan dan keamanan. Berdasarkan SK bersama tersebut,

nama peradilan ketentaraan diubah. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dalam peradilan

militer dilakukan oleh:

1. Mahkamah Militer (MAHMIL)

2. Mahkamah Militer Tinggi ( MAHMILTI)

3. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG)

Tahun 1982 dikeluarkan UU No.20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok

pertahanan keamanan Republik Indonesia yang kemudian diubah menjadi UU No.1 tahun 1988.

Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang signufikan dalam pelaksanaan peradilan

militer di Indonesia.

Pada tahun 1997 dibentuk UU No.31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang

ini dibuat atas perlunya perubahan dalam peradilan militer yang dipandang sudah tidak sesuai

lagi dengan UU No.14 tahun 1970 tentang kekuasaan pokok kehakiman. Undang-undang ini

kemudian.

Undang-undang ini kemuadian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari:

1. Pengadilan Militer

2. Pengadilan Militer Tinggi

3. Pengadilan Militer Utama

4. Pengadilan Militer Pertempuran.

Dengan diundangkannya keentuan ini, UU No. 5 tahun 1950 sebagaimana telah diubah

dengan UU No.22 PNPS tahun 1965 dan UU No.6 tahun 1950 yang telah diubah dengan UU

No.1 Drt tahun 1958 , keduanya dinyatakan sudah tidak berlaku lagi dan berlaku hingga

sekarang

C. ASAS-ASAS DALAM PERADILAN MILITER

Page 7: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

1. Asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan umum.

2. Asas keseimbangan antara doelmatigheid dengan rechtsmatighed.

3. Asas kesatuan komando(unity of command and hirarkhi)

4. Asas komandan bertanggung jawa penuh terhadap baik buruknya kesatuan yang

dipimpin

5. Asas pertanggung jawaban mutlak.

6. Asas komandan tidak boleh membiarkan bawahannya melakukan pelanggaran

7. Asas mendidik

8. Asas cepat

9. Asas perwira sebgai penyerah perkara

D. DASAR HUKUM PERADILAN MILITER

Peradilan militer sudah diatur dalam konstitusi yaitu pasal 24 ayat 2 UUD 45

1. UU No.5 tahun 1950 jo UU No.22 PNPS tahun 1965 tentang susunan dan kekuasaan

Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan ketentaraan.

2. UU No.6 tahun 1950 jo UU No.1 Drt tahun 1958 tentang Hukum Acara Pidana Pengadilan

Ketentaraan.

3. UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

4. Surat Keputusan bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman No.KEP/10/M/XII/1983

M.57.PR.09.03.th.1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang Tim Tetap Penyidikan Perkara

Pidana Koneksitas.

5. Keputusan Pangab Nomor : KEP/01/P/I/1984 tanggal 20 Januari 1985 lampiran “K” tentang

organisasi dan prosedur Badan Pembinaan Hukum ABRI.

6. UU No.2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.

7. UU No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

8. UU No. 48 tahun 2009, Tentang perubahan atas UU No. 4 tahun 2004, Tentang kekuasaan

Kehakiman

E. FUNGSI PERADILAN MILITER

1. Menurut UU No.26 tahun 1997 ,bertugas dan berwenang menjatuhkan sanksi dari aparat yang

ditunjuk jika terjadi pelanggaran hukum disiplin

2. Memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap setiap pelanggaran oleh prajurit dalam lingkup

kewenangan pengadilan militer (undang-undang No.31 tahun 1997).

F.HUKUM PIDANA MILITER

Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang militer tentang tindakan-

tindakan mana yang merupakan pelanggaran ,kejahatan , larangan atau keharusan dan diberikan

ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Hukum Pidana Militer bukanlah suatu hukum

Page 8: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan

oleh Prajurit TNI atau yang menurut ketentuan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit TNI.

Yang berwenang dalam proses peradilan militer adalah

a. Komandan satuan selaku Ankum dan atau Papera.

b. Polisi Militer sebagai Penyidik.

c. Oditur Militer selaku penyidik, penuntut umum dan eksekutor

d. Hakim Militer di Pengadilan Militer

Ditinjau dari perannya dalam fungsi penegakan hukum militer, Komandan atau Ankum adalah

atasan yang atas dasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit diberi

kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada di bawah

wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin.

Apabila pelanggaran hukum tersebut merupakan tindak pidana, maka Komandan-Komandan tertentu

yang berkedudukan setingkat Komandan Korem dapat bertindak sebagai Perwira Penyerah Perkara

atau Papera yang oleh undang-undang diberi kewenangan menyerahkan perkara setelah

mempertimbangkan saran pendapat Oditur Militer. Saran pendapat hukum dari Oditur Militer ini

disampaikan kepada Papera berdasarkan be-rita acara pemeriksaan hasil penyidikan Polisi Militer.

Peran Oditur Militer dalam proses Hukum Pidana Militer selain ber-kewajiban menyusun berita

acara pendapat kepada Papera untuk terangnya suatu perkara pidana, juga bertindak selaku pejabat

yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan sebagai pelaksana putusan atau

penetapan Pengadilan Militer. Oditur Militer juga dapat bertindak sebagai penyidik untuk melakukan

pemeriksaan tambahan guna meleng-kapi hasil pemeriksaan Penyidik Polisi Militer apabila dinilai

belum lengkap. Apabila Papera telah menerima berita acara pendapat dari Oditur Militer, selanjutnya

Papera dengan kewenangannya mempertimbangkan untuk menentukan perkara pidana tersebut

diserahkan kepada atau diselesaikan di Pengadilan Militer. Dengan diterbitkannya Surat Keputus-an

Penyerahan Perkara (Skepera) ter-sebut, menunjukkan telah dimulainya proses pemeriksaan perkara

di Pengadilan Militer.

G.PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERADILAN MILITER

Ada 4 tahap : dalam proses penyelesaian perkara di peradilan militer

1. Tahap penyidikan

2. Tahap penuntutan

3. Tahap pemeriksaan di persidangan

4. Tahap pelaksanaan putusan

1.Tahap penyidikan.

- suatu penyelidikan dan penyidikan dimulai dari adanya laporan polisi.

a.     Laporan polisi kepada polisi militer memuat

1)     Keterangan yang jelas tentang waktu dan tempat kejadian.

Page 9: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

2)     Uraian kejadian.

3)     Akibat kejadian (misal : mati, luka-luka, kekerasan atau kehilangan barang).

4)     Nama, umur, pekerjaan serta alamat tersangka dan para saksi.

b.  Syarat laporan polisi

1)     Kejadian yang dilaporkan harus merupakan suatu tindak pidana.

2)     Fakta perbuatan tersangka harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur

dan diancam dengan pidana dalam perundang-undang pidana.

3)     Tersangka adalah seorang atau lebih yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah

anggota tni atau yang disamakan.

c.     Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan merupakan delik aduan maka disamping laporan polisi

harus dibuat juga pengaduan dari pihak yang dirugikan.

d.    Pemanggilan kepada tersangka dan saksi.

e.   Pemeriksaan tersangka dan saksi.

f.     Penangkapan dan penahanan:

g. Pelaksanaan penyidikan

2.   Tahap penuntutan

Pelimpahan perkara kepada oditur :

- Setelah penyidik dalam hal ini polisi militer selesai melakukan penyidikan terhadap tersangka

selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada oditur militer dan tindakan oditur setelah menerima

berkas adalah:

a.  Meneliti persyaratan materiil / formil.

b.  Bila hasilnya belum lengkap meminta kepada penyidik agar melengkapi.

c.  Oditur dapat melengkapi sendiri atau mengembalikan berkas kepada penyidik dengan

petunjuk.

d.  Berkas perkara desersi yang tersangkanya tidak diketemukan, berita acara pemeriksaan

tersangka tidak merupakan syarat kelengkapan berkas.

e.  Setelah meneliti berkas oditur membuat dan menyampaikan pendapat hukum kepada papera

dengan permintaan agar perkara diserahkan ke pengadilan, di disiplinkan atau ditutup.

3.   Tahap pemeriksaan di persidangan

a. Berkas perkara yang diterima pengadilan militer dari oditur militer di catat oleh kataud dalam

agenda surat masuk, selanjutnya berkas perkara digabungkan dengan surat-surat lain yang terkait

dengan perkara tersebut.

b.  Kepala pengadilan kemudian menyerahkan berkas perkara kepaa katera melalui kataud untuk

dicatat dalam register perkara dan kepala pengadilan militer meneliti  apa berkas tersebut sudah

memenuhi syarat formil maupun materiil.

c.   Dalam hal kepala pengadilan militer berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak

berwenang memeriksa perkara tersebut karena terdakwa berubah pangkat dari perwira pertama ke

Page 10: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

perwira menengah maka berkas harus segera di kembalikan ke oditur militer dengan penetapan

untuk dilimpahkan ke pengadilan yang lebih berwenang.

d.   Dalam hal terdakwa telah berpindah tugas ketempat lain diluar daerah hukum suatu pengadilan

maka berkas perkara segera dikembalikan ke oditur militer dengan penetapatn dari kepala

pengadilan untuk dilimpahkan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tugas

terdakwa (sesuai pasal 10b undang-undang nomor 31 tahun 1997).

e. Dalam hal kepala pengadilan berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk dalam kewenangan

pengadilan yang dipimpinnya maka ia segera menunjuk hakim yang menyidangkan perkara

tersebut dan panitera membuar rencana sidang untuk di serahkan kepada oditur militer dengan

perintah supaya oditur memanggil terdakwa dan para saksi untuk hadir dipersidangan.

f. Pada saat pemeriksaan di persidangan pada dasarnya tata caranya sama dengan pemeriksaan di

pengadilan hukum.

g. Penasihat hukum

1) Guna kepentingan pembelaan, terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau

lebih penasihat hukum untuk mendampinginya dalam persidangan.

2) Pemberian  dan bantuan dan nasihat hukum kepada anggota Ini diatur dalam surat keputusan

panglima tni tentang petunjuk pelaksanaan.

3) Dalam hal terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan:

a) Pidana mati;

b) Pidana penjara lima belas tahun atau lebih;

c) Pidana penjara lima tahun atau lebih sedangkan terdakwa tidak mampu mengusahakan

penasihat hukum sendiri;maka hakim ketua wajib mengusahakan penasihat hukum bagi

terdakwa malalui papera yang bersangkutan atas biaya negara untuk mendampingi terdakwa di

sidang, kecuali apabila terdakwa sanggup mengusahakan sendiri penasihat hukum.

4) Penunjukan penasihat hukum ditetapkan dalam suatu penetapan oleh hakim ketua yang

bersangkutan

4.  Tahap pelaksanaan putusan.

- Sesuai ketentuan undang-undang bahwa yang melaksanakan putusan hakim adalah oditur militer,

putusan hakim bisa memuat pidana pokok dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer atau

hanya pidana penjara saja.

- Dalam hal terdakwa dijatuhi pidana pokok pejara dan pidana tambahan (dipecat dari dinas militer)

dan terdakwa menerima putusan tersebut maka pidana tersebut dijalani di lp umum, tetapi apabila

terdakwa atau oditur masih upaya hukum terhadap putusan tersebut maka terdakwa ditahan sambil

menunggu putusan banding, hal ini dilakukan karena dikhawatirkan terdakwa melarikan diri,

menghilangkan barang bukti, merusak barang bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana.

Penyelesaian perkara disersi dan delik aduan di peradilan militer

1.Perkara desersi

Page 11: SEJARAH PERADILAN MILITE1.docx

- Sesuai ketentuan pasal 143 undang-undang nomor 31 tahun 1997 perkara desersi bisa di sidangkan

tanpa hadirRya terdakwa (in absentia) dengan ketentuan setelah dilimpahkan ke pengadilan militer

selama 6 bulan dan direncanakan sidang sebanyak 4 kali:

Tujuan : untuk kepastian hukum bagi terdakwa yang masih melarikan diri dan menertibkan

administrasi personil yang bersangkutan.,ada hukuman tambahan di pecat dari dinas militer.

2.Delik aduan

- Oditur militer dapat menuntut terdakwa yang melakukan tindak pidana aduan (delik aduan) apabila

ada pengaduan dari yang berhak mengadu sesuai ketentuan pasal 74 ayat 11 kuhp.

- Sesuai hukum acara pidana terhadap delik aduan, sebelum pemeriksaan sidang dimulai pihak yang

berhak mengadu boleh mencabut pengaduannya.

- Dalam hal  pengaduan dicabut maka syarat penuntutan tidak ada dan erdakwa tidak bisa dituntut di

persidangan oleh odiitur militer karena perbuatan terdakwa tidak layak dilakukan oleh anggota tni  

(melanggar kehidupan disiplin milite)r maka perkara tersebut oleh oditur diserahkan kepada papera

(perwira penyerah perkara) untuk diselesaikan melalui hukum disiplin prajurit sesuai undang-

undang nomor 26 tahun 1997 tentang hukum disiplin prajurit.

- Sesuai ketentuan pasal 5 undang-undang nomor 26 tahun 1997 tentang hukum disiplin ada 3 yaitu:

1.Teguran

2.Penahanan ringan paling lama 14 hari

3.Penahanan berat paling lama 21 hari

H. Gugatan Tata Usaha Militer

- Diatur dalam pasal 256 sampai dengan 325 undang-undang nomor 31 tahun 1997

1. Sesuai ketentuan pasal 265 undang-undang nomor 31 tahun 1997 maka:

   - orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya di rugikan oleh suatu keputusan tata

usaha angkatan bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan militer tinggi

yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugut yang berisi tuntutan

supaya keputusan tata usaha angkatan bersenjata tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan

atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi.

2. Semua produk yudikatif tidak dapat digugat tata usaha militer.

3. Tenggang waktu gugatan 90 hari terhitung sejak saat diterimanya/ diumumkannya keputusan

badan / pejabat tata usaha angkatan bersenjata.

4. Dalam hal penggugat mengadakan upaya hukum banding maka permohonannya diajukan ke

pengadilan militer utama, untuk kasasi diajukan ke mahkamah agung