sdm 5-7

7
BAB V PERMASALAHAN DAN PERLUNYA PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN Pada dasarnya permasalahan yang harus diselesaikan adalah kesenjangan antara keadaan nyata pendidikan kejuruan pada akhir PJP I dengan tuntutan PJP II, dengan memperhatikan tinjauan teoritik dan empirik. Perkembangan ilmu pengtahuan dan teknologi yang terjadi selama PJP I yang menghasilkan kemajuan pesat dalam bidang informasi dan transportasi telah menimbulkan gelombang dan arus globalisasi dengan dampak nyata berupa era perdagangan dan investasi bebas. Maka dari itu Indonesia harus melakukan pengkajian ulang terhadap sistem pendidikan kejuruannya. Sistem pendidikan kejuruan yang diperhitungkan handal menghadapi tantangan pada PJP II, adalah sistem pendidikan kejuruan yang handal/tangguh (realible), luwes (flexible), adaptif, dan antisipatif Untuk menuju ke arah itu, pada bab ini akan dicoba diuraikan berbagai permaslahan yang dihadapi oleh pendidikan kejuruan pada akhir PJP I, dilihat dari segi: konsep, program, dan operasionalnya. 1. Konsep Konsep pendidikan kejuruan model konvensional yang dimiliki oleh Indonesia sampai dengan akhir PJP I, dapat digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Supply Driven, totalitas pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan program pendidikan (kurikulum), pelaksanaan pendidikan (pengajaran), penilaian hasil belajar (evaluasi), dilakukan secara sepihak oleh para pelaku pandidikan (dalam presepsi masyarakat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). b. School Based Program, seluruh kegiatan pendidikan dilakukan di sekolah, 40 jam pelajaran per minggu rata-rata setiap hari belajar di sekolah dari pukul 07.00 sampai pukul 13.30. sistem konvensional selalu berusaha melengkapi dan memodernisasi paralatan praktek kejuruan dengan maksud

Upload: darkyz45

Post on 25-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

SDM 5-7

TRANSCRIPT

Page 1: SDM 5-7

BAB V

PERMASALAHAN DAN PERLUNYA PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN

Pada dasarnya permasalahan yang harus diselesaikan adalah kesenjangan antara keadaan nyata pendidikan kejuruan pada akhir PJP I dengan tuntutan PJP II, dengan memperhatikan tinjauan teoritik dan empirik.

Perkembangan ilmu pengtahuan dan teknologi yang terjadi selama PJP I yang menghasilkan kemajuan pesat dalam bidang informasi dan transportasi telah menimbulkan gelombang dan arus globalisasi dengan dampak nyata berupa era perdagangan dan investasi bebas. Maka dari itu Indonesia harus melakukan pengkajian ulang terhadap sistem pendidikan kejuruannya. Sistem pendidikan kejuruan yang diperhitungkan handal menghadapi tantangan pada PJP II, adalah sistem pendidikan kejuruan yang handal/tangguh (realible), luwes (flexible), adaptif, dan antisipatif

Untuk menuju ke arah itu, pada bab ini akan dicoba diuraikan berbagai permaslahan yang dihadapi oleh pendidikan kejuruan pada akhir PJP I, dilihat dari segi: konsep, program, dan operasionalnya.

1. KonsepKonsep pendidikan kejuruan model konvensional yang dimiliki oleh Indonesia sampai dengan akhir PJP I, dapat digambarkan dengan ciri-ciri sebagai berikut:a. Supply Driven, totalitas pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan program

pendidikan (kurikulum), pelaksanaan pendidikan (pengajaran), penilaian hasil belajar (evaluasi), dilakukan secara sepihak oleh para pelaku pandidikan (dalam presepsi masyarakat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

b. School Based Program, seluruh kegiatan pendidikan dilakukan di sekolah, 40 jam pelajaran per minggu rata-rata setiap hari belajar di sekolah dari pukul 07.00 sampai pukul 13.30. sistem konvensional selalu berusaha melengkapi dan memodernisasi paralatan praktek kejuruan dengan maksud menghasilkan tamatan yang berkualitas profesional dan siap pakai di dunia industri. Berbagai kebiasaan dan perilaku yang pada akhirny membentuk “sikap” tamatan SMK yang tidak sesuai dengan tuntutan dunia industri antara lain:1. Tamatan SMK terbiasa santai dengan jam belajar dan bekerja yang sedikit, padahal

di industri harus bekerja keras denga jam rata-rata 40 jam per minggu, bahkan sering bekerja sampai malam hari.

2. Tamatan SMK kurang memiliki kepedulian dan keterkaiatan pada mutu, karena di sekolah kurang mengajarkan resiko kerugian atas kegagalan, sedangkan di industri kegagalan adalah kerugian yang harus ditanggung oleh pekerja dan perusahaan.

3. Di SMK Pertanian misalnya, banyak kegiatan keahlian yang dikerjakan pada pagi, sore atau malam hari (misalnya mengawinkan ikan, memerah susu, menyadat karet, dsb). Padahal sekolah hanya menyediakan jam kerja, dari pukul 07.00 sampai pukul 13.30.

Page 2: SDM 5-7

c. Tidak ada Recognition of Prior Learning, membuat program pendidikan kejuruan menjadi kaku dan tidak efektif. Keahlian kejuruan pada dasarnya diperoleh dimana saja. Tetapi yang terjadi, keahlian yang diperolah diluar SMK tidak diakui dan tidak dihargai oleh sistem SMK.

d. “Dead End”, setelah tamat dari SMK, masuk ke dunia kerja, sekan-akan itulah akhir karir prndidikan tamatan SMK. Belum ada sistem pendidikan kejuruan yang ,menghargai dan mengakui keahlian yang diperoleh tematan SMK dari pengalaman kerjanya, yang sebenarnya dapat diperhitungkan sebagai modal untuk mengikuti pendidikan kejuruan yang lebih tinggi dan sekaligus memotivasi tamatan SMK berprestasi dan belajar labih banyak dari pengalaman kerjanya.

e. Guru Kejuruan yang tidak berpengalaman industri. Secara teoristis guru hanya akan mengajarkan apa yang dia tahu, apa yang dia bisa, dan menternsfer nilai-nilai melalui perilaku kerjanya.

f. Pendidikan merupakan tanggungjawab Depdikbud, adalah konsep berpikir yang dimiliki oleh masyarakat industri, para pelaku pendidikan, dan masyarakat luas.

g. Pendidikan Kejuruan masih beroriantasi pada penyiapan keahlian unuk mengisi keperluan sektor formal, padahal lapangan kerja yang terbuka sangat potensial, dan masih lebih besar di sektor informal.

h. Pembiayaan Pendidikan Kejuruan (di SMK Negeri) masih snagat tergantung pada subsidi pemerintah pusat (snagat dependable), padahal potensi masyarakat sangat besar untuk digali, dan kemampuan keuangan pemerintah akan selalu terbatas.

2. ProgramProgram pendidikan kejuruan yang diformulasikan dalam Kurikulum 1994 (yang disiapkan pada pelita V), maish merupakan produk dari konsep seperti tersebut di atas, cenderung bersifat “Supply Driven” untuk “School Based Program”. Beberapa permasalahan yang dapat diangkat dari program pendidikan Kuirkulum 1994 adalah:a. Program pendidikan cenderung berorientasi pada pengajaran mata-mata pelajaran, dan

tidak terfokus pada pencapaian kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.b. Penjurusan yang dimulai dari awal (tahun pertama) kurang memberikan dasar yang kuat

dan bekal dasar yang memadai untuk fleksibilitas menghadapi perkembangan masa mendatang.

c. Muatan program yang akan menjadi kompetensi kunci menghadapi perkembangan masa mendatang belum memadai.

d. Jumlah jam pelajaran per minggu belum merupakan jam yang membiasakan siswa memasuki jam kerja di dunia industri.

Page 3: SDM 5-7

3. OperasionalPada akhir Pelita V ditemukan banyak perilaku salah dalam kegiatan belajar mengajar di SMK (lihat tabel 2), bahkan terbentuk menjadi kebiasaan yang diterima menjadi suatu kewajaran. Beberapa contoh yang ditemukan, antara lain:a. Pelajaran praktek dasar kejuruan tidak diajarkan secara mendasar.b. Dalam pelajaran praktek, siswa sering dibiarkan bekerja dengan cara yang salah.c. Membiarkan siswa bekerja dengan mutu hasil kerja “asal jadi”.d. Kegiatan praktek siswa tidak mengikuti prinsip belajar tuntas (mastery learning).e. Siswa sering bekerja tanpa bimbingan dan pengawasan guru.f. Siswa sering dibiarkan bekerja tanpa memperhatikan persyaratan keselamatan kerja.g. Masih sering dijumpai kebiasaan siswa bekerja praktek dengan cara yang tidak

bertanggungjawab.h. Masih sering ditemukan siswa bekerja praktek tanpa disertai lembar kerja.i. Masih banyak guru yang berada di sekolah hanya pada jam mengajar saja.j. Masih ditemukan ada guru yang mengajar dengan cara menulis di papan tulis.k. SMK kurang memiliki wawasan ekonomi.l. Kurang kepedulian untuk membentuk “etos-kerja”.

Tabel 2. Dua belas kebiasaan salah di SMK

No. DUA BELAS KEBIASAAN SALAH DI SMK12

3

456789101112

Praktek dasar kejuruan, tidak diajarkan sesuai dengan prinsip dasarSiswa dibiarkan bekerja dengan cara kerja yang salah, (tidak seperti cara kerja di industri)

Siswa bergerombol bekerja dengan mesin kerja Siswa bekerja di lantai, padahal ada bangku kerja Obeng menjadi pahat, dan pahat menjadi obeng

Hasil kerja, berkualitas “asal jadi” (standar mutu sekkolah berbeda dengan standar mutu industri)Tidak menerapkan sistem belajar tuntas (Mastery Learning)Tidak mengindahkan persyaratan keselamatan kerja, dan kelestarian lingkungan hidupTidak mencantumkan dan mengisi kartu pemakaian dan kartu pemeliharaan mesinGuru mengajar dengan cara menukis di papan tulisGuru tidak aktif membimbing dan mengawasi siswa pada saat kerja.Guru tidak membuat lembar kerja atau satuan pelajaranGuru berada di sekolah hanya pada saat jam mengajarGuru tidak mendorong siswa belajar dari bukuProses pengajaran yang ditampilkan, tidak berwawasan ekonomi, tidak berwawasan nilai tambah, dan tidak membentuk etos kerja.

Page 4: SDM 5-7

BAB VI

WAWASAN LINK-AND-MATCH SEBAGAI DASAR PEMBARUAN

Menuntun SMK memperhatikan prinsip-prinsip berikut:- SMK menghasilkan tamanatn dengan bidang keahlian, jumlah, dan mutu yang sesuai

dengan kebutuhan pembangunan ini akan dicapai melalui pendekatan “demand driven”.- Setiap alokasi pembangunan dana SMK, harus dilihat sebagai investasi. Keberhasilannya

akan diukur dengan rate of return.- Keberhasilan SMK mencapai tujuannya (dengan dana investasi dan biaya operasional

yang tinggi) sangat tergantung kepada kehandalan manajemen sekolah.- Kemampuan keuangan pemerintah membelanjai pembangunan dan penyelenggaraan

pendidikan kejuruan, akan selalu terbatas. Kebijakan link and match membuka peluang menggali tambahan dana.

1. Kebijakan link and match mengharapkan perbaikan yang mendasar dan menyeluruh, menyangkut perbaikan konsep, program, dan perilaku operasionalnya.

2. Kebijakan link and match membuka wawasan dan pola pikir sehingga mampu memahami perubahan yang terjadi dan fenomene baru yang timbul.

3. Kebijakan link and match membuka dan mendorong kemitraan kerjasama antara pendidikan kejuruan dengan dunia usaha, yang pada dasarnya mendekatkan supply-demand.

4. Link and match meliputi spektrum internal dan eksternal.5. Kebijakan link and match bermaksud memposisikan pendidikan menengah kejuruan pada

posisi yang seharusnya.6. Link and match bermaksud meningkatkan efisiensi dan relevansi semua sub-sistem

pendidikan dalam satu sistem pendidikan nasional yang handal.7. Link and match menghendaki perubahan sistem nilai, pola pikir, sikap mental,dan perilaku

para pelaku pendidikan, supaya mampu memahami, menyadari, peduli, dan komit terhadap perubahan dari “pendidikan demi pendidikan” ke pendidikan kejuruan sebagai wahana pengembangan sumberdaya manusia.

Page 5: SDM 5-7

BAB VII

DIMENSI PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN

Hakekat pembaruan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebijakan link and match adalah perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk pendidikan deni pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas, dan konkrit menjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan sumberdaya manusia. Berbagai dimensi pembaruan yang diturunkan dari kebijakan link and match, antara lain adalah:

1. Perubahan dari pendekatan Supply Driven ke Demand Driven2. Perubahan dari Pendidikan Berbasis Sekolah (School Bassed Program) ke Sistem Berbasis

Ganda (Dual Based Program)3. Perubahan dari model pengajaran yang mengajarkan mata-mata pelajaran ke model

pengajaran berbasis kompetensi4. Perubahan dari program dasar yang sempit (narrow based) ke program dasar yang

mendasar, kuat dan luas (broad based)5. Perubahan dari sistem pendidikan formal yang kaku, ke sistem yang luwes dan menganut

prinsip Multy Entry, Multy Exit6. Perubahan dari sistem yang tidak mengakui keahlian yang telah diperoleh sebelumnya, ke

sistem yang mengakui keahlian yang diperoleh dari mana dan dengan cara apapun kompetensi itu diperoleh (Recognition Of Prior Learning)

7. Perubahan dari pemisahan antara pendidikan dengan pelatihan kejuruan, ke sisitem baru yang mengintegrasikan pendidikan dan pelatihan kejuruan secara terpadu

8. Perubahan dari sistem terminal ke sistem berkelanjutan9. Perubahan dari manajemen terpusat ke pola manajemen (Prinsip Desentralisasi)10. Perubahan dari ketergantungan sepenuhnya dari pembiayaan pemerintah pusat, ke

swadana dengan subsidi pemerintah pusat