satu abad artikulasi politik muhammadiyah

28
Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah 1 Oleh Sumarno 2 Pendahuluan Ketika menyampaikan khotbah iftitah saat membuka Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah di Jakarta, 21-25 November 1962, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, H.M. Junus Anies antara lain menyatakan: “Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, selalu melakukan amar ma`ruf dan nahi mungkar untuk kebaikan masyarakat seluruhnya. Kata orang: 'Kalau demikian Muhammadiyah tentu akan dimakan oleh politik sebagaimana kata-kata politikus. Sambutan kami: silahkan kalau memang doyan; tetapi awas kalau nanti kelolodan, ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar." 3 Setengah abad kemudian, menjelang Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2010, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan: ”Bagi Muhammadiyah, terjun dalam ranah politik praktis mustahil. Sebaliknya, meninggalkan politik secara totalitas juga dirasakan berbahaya. Muhammadiyah tidak 1 Untuk sebuah tulisan singkat, judul ini terkesan bombastis. Pemberian judul ini sebenarnya lebih merujuk pada momentum penulisan buku ini yang didedikasikan untuk Muktamar Satu Abad Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta. 2 Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Peneliti Politik The Habibie Center (THC), Anggota KPU DKI Jakarta dan mantan anggota Pokja Partisipasi Politik Perempuan di Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. 3 Asep Purnama Bahtiar, “Bandul Politik Muhammadiyah.” Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah (1959-1962) HM Junus Anies itu disampaikan di tengah tarikan kepentingan politik dan ideologi berbagai kekuatan politik di era 1960-an yang dirasakan membahayakan khittah Muhammadiyah saat itu. 1

Upload: ridwan-rachid

Post on 17-Apr-2015

232 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

TRANSCRIPT

Page 1: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah1

Oleh Sumarno2

Pendahuluan

Ketika menyampaikan khotbah iftitah saat membuka Muktamar Setengah Abad

Muhammadiyah di Jakarta, 21-25 November 1962, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, H.M.

Junus Anies antara lain menyatakan:

“Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, selalu melakukan amar ma`ruf dan nahi mungkar untuk kebaikan masyarakat seluruhnya. Kata orang: 'Kalau demikian Muhammadiyah tentu akan dimakan oleh politik sebagaimana kata-kata politikus. Sambutan kami: silahkan kalau memang doyan; tetapi awas kalau nanti kelolodan, ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar."3

Setengah abad kemudian, menjelang Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta

tahun 2010, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan:

”Bagi Muhammadiyah, terjun dalam ranah politik praktis mustahil. Sebaliknya, meninggalkan politik secara totalitas juga dirasakan berbahaya. Muhammadiyah tidak mungkin allout meninggalkan politik. Sebab, Islam sendiri bersifat universal yang mencakup segala aspek: ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Kendati demikian, ada sejumlah kendala jika politik ditarik ke ranah nyata. Satu-satunya cara yang strategis adalah menerapkan politik adilihung. Itulah yang tepat bagi Muhammadiyah. Sepanjang sejarah berdirinya hingga sekarang, Muhammadiyah tidak lepas dari dunia politik.”4

Apa yang bisa disimpulkan dari pernyataan dua tokoh puncak Muhammadiyah dari dua

generasi yang berbeda itu? Kedua pernyataan itu substansinya sama: Muhammadiyah bukan

organisasi politik tetapi tidak berwatak apolitis. Sejak awal didirikan oleh KH Ahmad Dahlan

1 Untuk sebuah tulisan singkat, judul ini terkesan bombastis. Pemberian judul ini sebenarnya lebih merujuk pada momentum penulisan buku ini yang didedikasikan untuk Muktamar Satu Abad Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta.

2 Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Peneliti Politik The Habibie Center (THC), Anggota KPU DKI Jakarta dan mantan anggota Pokja Partisipasi Politik Perempuan di Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.

3 Asep Purnama Bahtiar, “Bandul Politik Muhammadiyah.” Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah (1959-1962) HM Junus Anies itu disampaikan di tengah tarikan kepentingan politik dan ideologi berbagai kekuatan politik di era 1960-an yang dirasakan membahayakan khittah Muhammadiyah saat itu.

4 “Din: Muhammadiyah Kembangkan Politik Adiluhung ,” www.hidayatullah.com. Pernyataan Din Syamsuddin itu disampaikan saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional “Membangun Konstruksi Ideal Relasi Muhammadiyah dengan Politik,” di gedung PWM Jawa Timur Selasa, (16/3/2010), dalam rangkaian menyambut Muktamar Satu Abad Muhammadiyah.

1

Page 2: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

pada 18 November 1912, Muhammadiyah memang tidak pernah didesain sebagai organisasi

politik yang akan terlibat dalam pergumulan mengejar-ngejar kekuasaan (struggle for power)

dan aneka kedudukan dalam pemerintahan, sebagaimana partai politik.5 Namun, sebagai

gerakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar yang bergerak di tengah-tengah masyarakat dan

sebagai organisasi massa yang menaungi jutaan umat, ribuan amal usaha di bidang

pendidikan, kesehatan, sosial dan sebagainya, Muhammadiyah tidak mungkin

menghindarkan diri dari konstalasi politik nasional dan aneka problema kebangsaan dan

kenegaraan, baik dalam bentuk diskursus pemikiran politik maupun pertautan dengan

aktivitas politik. 6

Itulah sebabnya, dalam lintasan sejarahnya yang kini memasuki satu abad, Muhammadiyah

mencoba mengartikulasikan aspirasi politiknya dengan berbagai model sesuai dengan

dinamika jamannya: dari yang bercorak defensif, akomodatif, sampai yang kritis-kooperatif.

Setiap pimpinan Muhammadiyah memiliki gaya tersendiri dalam memimpin dan

mengartikulasikan aspirasi politik persyarikatan sesuai dengan tuntutan jaman yang

dihadapinya. Namun pada umumnya mereka memiliki sikap yang tidak berhadapan secara

diametral dengan pemerintah. Meskipun demikian bukan berarti Muhammadiyah selalu

beraliansi dengan penguasa. Bahkan tidak jarang mengambil sikap tegas terhadap kebijakan

pemerintah jika hal itu dirasakan bertentangan dengan keyakinan dan ideologi

Muhammadiyah serta nurani kebangsaan. Hal itu menunjukkan meskipun bukan sebagai

organisasi politik, Muhammdiyah tidak bisa menghindarkan diri dari pasang surut kancah

perpolitikan nasional.

5 Dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah dan pernyataan para tokoh Muhammadiyah (meskipun dengan redaksional yang berbeda) secara konsisten disebutkan Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar yang berobsesi mewujudkan masayarakat Islam yang sebenar-benarnya.

6 Diskursus pemikiran tentang Islam dan masalah kenegaraan misalnya dapat ditemukan dalam paparan tokoh Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakir yang bertajuk "Konsepsi Negara Islam" tahun 1955. Abdul Kahar Muzakir menyampaikan presentasi tersebut dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1955 di Pekalongan. "Konsepsi Negara Islam" tersebut pada mulanya berasal dari mandat Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, di mana para muktamirin mendesak agar Muhammadlyah mempunyai konsepsi negara Islam. Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian membentuk tim yang ditugaskan untuk menyusun masalah tersebut yang kemudian disempurnakan oleh Abdul Kahar Muzakir, tokoh Muhammadiyah yang juga salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) (Lihat Syaifullah, “Nalar Negara dan Aktualisasinya: Versi Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah,” makalah yang dipresentasikan dalam Kajian Tematik III Muhammadiyah di Tengah Pusaran Politik Nasional (kasus pemilu dan pilkada) oleh Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Magelang tanggal 9 Agustus 2008.)

2

Page 3: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Tulisan ini secara singkat akan menelusuri peran kesejarahan artikulasi politik

Muhammadiyah dari masa ke masa dan kemudian mencoba menariknya sampai era

kontemporer saat ini. Penelusuran akan dibagi dalam beberapa fase yang memiliki

karakteristik artikulasi yang berbeda-beda.

Gerakan Kemerdekaan

Meskipun bukan sebagai organisasi politik, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah

menunjukkan sikapnya yang tidak alergi terhadap politik. Pendiri Muhammadiyah, KH A

Dahlan (1868-1923), pernah menjadi anggota dan penasehat Syarikat Islam (SI) dan Boedi

Oetomo, meskipun ia tidak berminat menjadi tokoh penting gerakan politik itu karena lebih

memfokuskan untuk membesarkan Muhammadiyah. Pada tahun 1922, SI yang diwakili

H.O.S. Cokroaminoto dan Muhammadiyah yang diwakili KH. Ahmad Dahlan membangun

kekuatan umat Islam melalui penyelenggaraan kongres Islam di Cirebon yang diikuti oleh

seluruh potensi umat Islam Indonesia. Dalam kongres tersebut, Ahmad Dahlan

menyampaikan prasaran tentang pembaruan pemikiran Islam dan konsep pendidikan Islam.

Pada tahun 1925, Muhammadiyah yang diwakili K.H. Mas Mansur ikut membidani lahirnya

Lembaga Tinggi Hukum Islam Indonesia yang bernama Majlis Islam A’la Far’i Hindi

Syarqiyah (MIAHS) di Surabaya. Pada tahun 1926, K.H. Mas Mansur dan H.O.S.

Cokroaminoto, mewakili Indonesia, menghadiri kongres khilafah Islam di Hijaz, Arab Saudi,

sebuah kongres untuk membangun kepemimpinan dunia Islam. K.H. Mas Mansur adalah

tokoh puncak Muhammadiyah (1937-1943) dan pernah menjadi anggota dan penasihat SI.

KH Mas Mansur –bersama Wiwoho Wondoamiseno (wakil SI, yang kemudian berubah

PSII), KH. Ahmad Dahlan dan KH. Abdul Wahab (wakil NU)--adalah tokoh utama di balik

kelahiran MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) pada tahun 1937. Meskipun bukan sebagai

federasi politik umat Islam, saat itu MIAI memiliki bobot politik yang cukup penting. Dalam

MIAI, seluruh potensi Islam tertampung dan tersalurkan. Pada awalnya majlis ini tidak

memiliki kecenderungan politis, tetapi dalam perkembangannya kemudian memasuki arena

politik. Pada zaman Jepang, tepatnya pada 1943, MIAI berubah nama menjadi Masyumi dan

3

Page 4: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

nama ini diabadikan oleh pemimpin-pemimpin Islam Indonesia pada 7-8 November 1945

dengan mendirikan Partai Islam Masyumi.7

Setahun setelah berdirinya MIAI, yakni tahun 1938, berdiri Partai Islam Indonesia (PII) di

Surakarta, yang diprakarsai Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam lainnya. PII lahir pada

satu dasa warsa setelah orang-orang Muhammadiyah dan orang-orang Islam lainnya terkena

peraturan disiplin partai dari SI sebagai hasil kongres SI di Pekalongan pada 1927, yang

isinya melarang anggota-anggotanya merangkap organisasi dan harus memilih salah satu di

antara keduanya. Ini membuat orang-orang Muhammadiyah tetap berada dalam

Muhammadiyah dan keluar dari SI, termasuk K.H. Mas Mansur. Pada masa Jepang, Mas

Mansur—bersama Soekarno, Moh. Hatta dan Ki Hajar Dewantoro—duduk dalam Putera

(Pusat Tenaga Rakyat). Keempat tokoh itu kemudian dikenal dengan Empat Serangkai. 8

Setelah Mas Mansur meninggal, tongkat politik dipegang oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo,

Abdul Kahar Muzakkir dan Mr. Kasman Singodimedjo. Mereka tampil pada saat bangsa ini

membentuk negara nasional dan menyusun dasar negara serta konstitusi negara, Pancasila

dan UUD 1945. Para tokoh Muhammadiyah itu, bersama tokoh NU dan tokoh Islam lainnya,

berada di garda depan saat perdebatan di Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI saat merumuskan

dasar negara yang akan menjadi falsafah Indonesia merdeka. Mereka mengusulkan Indonesia

merdeka didasarkan pada ajaran Islam sebagai dasar negara. Para tokoh Muhammadiyah

memiliki andil besar dalam meredakan kemarahan umat akibat pengkhianatan kelompok

nasionalis sekuler terhadap konsensus nasional antara kelompok kebangsaan dan Islam yang

berakibat dihapuskannya “tujuh kata” yang terkenal itu (“dengan kewajiban menjalankan

syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945.9

Dari serangkaian data tersebut dapat disimpulkan bahwa artikulasi politik Muhammadiyah

pada periode ini bersifat akseleratif yang bertujuan untuk mempercepat terwujudnya

kemerdekaan Indonesia terbebas dari kolonialisme Belanda dan Jepang. Keterlibatan tokoh-

7 Ibid. Lihat juga Ahmad Syafii Ma’arif, “Muhammadiyah dan High Politics,” Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. VI, 1995.

8 Lihat “Kata Pengantar” Syafii Ma’arif dalam Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Grafiti Press, 1997, hal. xii.

9 Tentang masalah ini lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP, 1997. Lihat juga BJ Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1985, Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional. Bandung: Mizan, 1996.

4

Page 5: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

tokoh Muhammadiyah dalam gerakan kebangsaan pada periode 1912-1945, seperti Boedi

Oetomo, Syarikat Islam, Kongres Umat Islam, MIAI dan lain-lain dimaksudkan untuk

membangun kesadaran kolektif bangsa agar segera bangkit dan bersama-sama mewujudkan

obsesinya tentang Indonesia Merdeka. Keinginan untuk sesegera mungkin mewujudkan

Indonesia Merdeka terlihat dari peran serta tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Ki Bagoes

Hadikoesomo, Abdul Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo, bersama para founding

fathers lainnya dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI dalam membahas format negara

Indonesia merdeka, dasar negara dan konstitusi negara. Obsesi para tokoh bangsa lintas

agama, suku, bahasa dan budaya itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia

menuju kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Mendirikan Masyumi

Periode pasca kemerdekaan merupakan era di mana Muhammadiyah dan para tokohnya

banyak terlibat dalam kancah politik praktis, meskipun secara kelembagaan tidak merubah

dirinya menjadi partai politik. Contoh paling nyata adalah keterlibatan Muhammadiyah

dalam mendirikan partai politik Islam Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Masyumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di Gedung Madrasah Mu'allimin

Muhammadiyah, Yogyakarta, tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar tersebut

diputuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, dan

Masyumilah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam Indonesia. Dengan keputusan

ini, keberadaan partai politik Islam yang lain tidak diakui. Pada mulanya, yang masuk Masyumi

hanya empat organisasi, yaitu Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan

Umat Islam. Namun, dalam perkembangannya, hampir semua organisasi Islam —kecuali Perti

— baik lokal maupun nasional, menjadi anggotanya. Hanya dalam waktu setahun sejak

didirikan, Masyumi sudah mengungguli PNI dan menjadi parpol terbesar di Indonesia pada

masa itu.10

Dalam Masyumi, Muhammadiyah berstatus sebagai anggota istimewa, bersama NU (keluar

tahun 1952), Persis Bandung, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Pusa), Al Irsyad, Al Jami'ah

10 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: GIP, 199... Lihat juga PP Muhammadijah Majlis Hikmah, “Hubungan Muhammadijah dengan Masjumi” (Makalah yang disampaikan dalam sidang Majlis Tanwir di Yogyakarta, 1958) hal 1, sebagaimana dikutip dalam Syaifullah (2008).

5

Page 6: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Al Washliyah, Al Ittihadiyah Sumut, Mathla'ul Anwar Banten, dan Nahdlatul Wathan

Lombok NTB.

Keberadaan Muhammadiyah di Masyumi cukup dominan, apalagi setelah SI, Perti dan NU

menyatakan keluar dari Masyumi karena perbedaan kepentingan politik. Sampai partai ini

dibubarkan Soekarno tahun 1960, Muhammadiyah adalah anggota yang setia dan tidak

pernah sekalipun meninggalkan Masyumi. Pada kepengurusan pertama DPP Masyumi,

misalnya, dari 24 pengurus harian partai ini, 11 personal di antaranya adalah tokoh

Muhammadiyah. Mereka antara lain, Dr Sukiman Wirjosandjojo (Ketua), Wali Alfatah

(Ketua Muda II), KH Fakih Usman, M Junus Anis, Mr Mohammad Roem, HM Farid Ma'ruf,

Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II), Mr RA Kasmat (Bendahara), dan lainnya. Ketika

Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno tahun 1960 partai ini di bawah pimpinan Ketua

Umum Prawoto Mangkusasmito, Ketua I Dr Sukiman Wirjosandjojo, Ketua II KH Fakih

Usman, dan Sekretaris Umum M Junan Nasution. Para pimpinan puncak Masyumi itu dikenal

sebagai tokoh Muhammadiyah.

Eratnya hubungan Muhammadiyah-Masyumi digambarkan dengan sangat tepat oleh Hamka

(mantan anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi dan Ketua MUI Pusat era Orde

Baru) yang menyatakan seperti kuku dan daging. Keduanya, kata Hamka, saling

membutuhkan dan sulit dipisahkan. Hamka menambahkan, posisi Muhammadiyah di dalam

Masyumi lebih ditekankan sebagai perekat, penghubung, dan penggerak potensi umat. Pada

kesempatan lainnya, Hamka mengibaratkan posisi Muhammadiyah itu seperti sendi di

bangunan rumah. Yang mana posisinya tak kelihatan, tapi fungsi dan posisinya sangat

penting.11

Selama 15 tahun (1945-1960) Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi telah

menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai ini, sampai partai ini diperintahkan bubar oleh

rezim Soekarno pada akhir 1960 karena kebijakan politiknya yang menolak berlakunya

demokrasi terpimpin ala Soekarno dan sejumlah pemimpinnya terlibat gerakan

PRRI/Permesta di Sumatera Barat. Kepergian Masyumi dari pentas politik membawa krisis

politik bagi Muhammadiyah. Selama beberapa tahun Muhammadiyah sering disejajarkan

dengan organisasi terlarang yang anggotanya harus diawasi pemerintah. Periode Demokrasi

Terpimpin merupakan periode yang benar-benar kritis bagi sebagian besar warga

11 “Dinamika Politik Islam Modernis: Dari Masyumi ke PAN,” www.beritajatim.com

6

Page 7: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Muhammadiyah. Rasa takut dan cemas mencekam mereka, di manapun mereka berada.

Penguasa-penguasa lokal memandang Muhammadiyah dengan penuh curiga.12

Krisis politik itu berakhir ketika Bung Karno bersedia hadir dalam penutupan Muktamar

Setengah Abad Muhammadiyah di Jakarta tahun 1962. Tampaknya Bung Karno tidak

terpengaruh provokasi PKI agar organisasi Muhammadiyah dibubarkan. Pada waktu itu Bung

Karno menyatakan bahwa dirinya adalah anggota Muhammadiyah dan makin lama makin

cinta Muhammadiyah. Bung Karno menutup pidatonya dengan mengumandangkan slogan

“Sekali Muhmmadiyah Tetap Muhammadiyah.” Dengan pidato Presiden itu, seolah-olah

kabut tebal yang menutupi wajah Muhammadiyah lenyap seketika, sehingga tampak cerah

kembali.13

Paparan data tersebut memperlihatkan bahwa pada periode 1945-1960 Muhammadiyah

terlibat secara aktif dalam kancah politik praktis, meskipun tidak merubah organisasinya

menjadi partai politik sebagaimana dilakukan NU tahun 1952 yang kemudian menjadi peserta

Pemilu 1955. Keterlibatan aktif dalam politik itu tidak dimaksudkan untuk mengejar kursi di

parlemen atau jabatan di pemerintahan tetapi atas dasar pertimbangan efektifitas perjuangan

mengemban misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Era pasca kemerdekaan adalah era

multipartai di mana perjuangan dirasakan lebih efektif manakala menggunakan instrumen

kepartaian. Dan itulah yang dilakukan Muhammadiyah saat berperanserta dalam mendirikan

partai politik yang merepresentasikan kepentingan umat saat itu, Masyumi.

Era Kolaborasi

Kepemimpinan Soekarno yang represif di masa Demokrasi Terpimpin, membuat lawan-

lawan politiknya “tiarap” untuk menghindari penangkapan dan penahanan dengan alasan

kontra revolusi. Sejumlah tokoh nasional, termasuk dari kalangan Muhammadiyah yang

dinilai mendukung Masyumi dan tidak pro pemerintah, ditangkap dan dipenjarakan oleh

rezim Soekarno. Tokoh Islam modernis yang ditahan pada umumnya sangat kritis dengan

kebijakan Soekarno yang represif dan anti-demokrasi. Tokoh-tokoh itu antara lain

Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshari, Yunan Nasution, Mohammad

Natsir, Sjafroeddin Prawiranegara dan lain-lain. Tahun 1963, tokoh Muhammadiyah dan juga 12 Syafii Ma’arif dalam Syaifullah, op.cit, hal. xiv.13 HS Prodjokusumo, Pemasyarakatan Tradisi, Budaya dan Politik Muhamm adiyah, Jakarta: Perkasa Press, 1995, hal. 99.

7

Page 8: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

tokoh Masyumi, Kasman Singodimedjo juga ditahan dengan tuduhan akan menggulingkan

pemerintahan Soekarno. Tahun 1964, dua tokoh Muhammadiyah lainnya, Buya HAMKA dan

Ghazali Sjahlan juga ditangkap dan ditahan Soekarno. Tuduhan pada mereka beragam, tetapi

pada umumnya berkisar pada kontra revolusi dan anti-Nasakom yang dinilai Soekarno

sebagai perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik.14

Konstelasi politik era Demokrasi Terpimpin itu juga berpengaruh besar terhadap artikulasi

politik Muhammadiyah. Menurut catatan Syafii Ma’arif, Muhammadiyah di bawah

kepemimpinan KH A. Badawi (1962-1968), demi untuk survival telah pula menyesuaikan

diri dengan batas tertentu dengan irama politik yang ada. Pada 1962 Pimpinan Pusat

Muhammadiyah hasil Muktamar ke-35 di Jakarta bahkan dilantik oleh Presiden Soekarno di

Istana Bogor, suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Muhammadiyah.

Soekarno dijuluki sebagai anggota setia Muhammadiyah dan diberi gelar “Pengayom Agung

Muhammadiyah,” dan diberi “Bintang Muhammadiyah.” Bahkan pada tanggal 3 Agustus

1965, dua bulan sebelum hancurnya Demokrasi Terpimpin, Universitas Muhammadiyah

Jakarta (UMJ) di bawah Rektor Brigjend Sutjipto, SH memberikan gelar Doktor Honoris

Causa dalam Filasafat Ilmu Tauhid kepada Soekarno dengan pertimbangan bahwa Soekarno

“memiliki pengertian, perasaan dan keahlian yang sungguh-sungguh tinggi mutunya dalam

lapangan falsafah ilmu tauhid.”15

Sebagai kompensasi kolaborasi politik Muhammadiyah pada Soekarno, pada tahun-tahun

terakhir Demokrasi Terpimpin, Muhammadiyah diberi status sebagai organisasi sosial politik

dan diberi hak berpoilitik praktis, tanpa harus merubah persyarikatan menjadi partai politik.

Beberapa tokoh puncak Muhmmadiyah seperti HM Junus Anis, Djarnawi Hadikusumo dan

Muhammad Djazman al-Kindi, diangkat Bung Karno sebagai anggota DPRGR (DPR Gotong

Royong), sebuah lembaga perwakilan politik Orde Lama yang masih bertahan di masa awal

Orde Baru, sebagai pengganti DPR hasil Pemilu 1955 yang dibubarkan Soekarno tahun

1960.16

14 A. Syafii Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal. 106-107.15 Ibid, hal. 114. Tentang Piagam Universitas Muhammadiyah Jakarta pemberian gelar doktor honoris causa di bidang ilmu tauhid kepada Soekarno tersebut, dapat dilihat dalam ibid, hal. 191-192.16 Ibid, hal. 115. Lihat juga Ahmad Syafii Ma’arif, “Muhammadiyah dan High Politics,” Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. VI, 1995.

8

Page 9: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Meskipun Soekarno menyatakan diri sebagai anggota Muhammadiyah, perilaku kolaboratif

PP Muhammadiyah terhadap rezim Demokrasi Terpimpin yang represif itu, jelas

mengundang banyak kontroversi. Apalagi, saat itu, Soekarno juga memerintahkan

penangkapan terhadap sejumlah tokoh Islam eks Masyumi, termasuk tokoh Muhammadiyah,

yang tidak sejalan dengan garis politiknya yang semakin otoriter. Menurut Syafii Ma’arif,

sebagian besar anggota Muhammadiyah saat itu memandang dengan sinis perilaku politik

para pimpinan Muhammadiyah itu yang bersedia berkolaborasi dengan rezim Soekarno demi

mendapatkan perlindungan politik.

Mendukung Parmusi

Hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi tampaknya tidak mudah dipisahkan begitu saja.

Itulah sebabnya, ketika terjadi transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, banyak tokoh

Muhammadiyah yang turut mendesak pemerintah Orde Baru agar merehabilitasi nama baik

Masyumi yang dicitrakan negatif oleh rezim Soekarno. Pada tanggal 16 Desember 1965

dibentuk Badan Kordinasi Amal Muslimin (BKAM) yang terdiri atas enam belas organisasi

Islam, termasuk Muhammadiyah, yang bermaksud mengupayakan rehabilitasi Masyumi.

Dalam berbagai kesempatan, tokoh-tokoh Muhammadiyah sering mengemukakan pentingnya

rehabilitasi Masyumi sebagai representasi politik umat dalam sistem politik baru pasca Orde

Lama.

Memang, dalam periode awal pemerintahan Orde Baru muncul optimisme baru di

kalangan Islam pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya akan kehidupan

demokrasi karena romantisme perjuangan menumbangkan Orde Lama penuh dengan

retorika demokrasi. Di kalangan Islam timbul harapan untuk kembali memainkan peranannya

seperti pada masa demokrasi parlementer. Akan tetapi, keinginan ini berbenturan dengan

strategi politik Orde Baru yang terobsesi menciptakan stabilitas politik untuk menunjang

pembangunan ekonomi melalui marginalisasi peranan partai-partai politik dan sakralisasi

ideologi Pancasila serta menabukan peran agama dalam kancah politik.

Itulah sebabnya usaha sejumlah tokoh Islam, termasuk Muhmmadiyah, untuk merehabilitasi

Masyumi tersebut tidak menuai hasil. Pemerintah Orde Baru tetap menolak kehadiran

Masyumi yang telah dibubarkan rezim Soekarno. Beberapa tokoh Muhammadiyah lainnya

kemudian menginginkan untuk mengaktifkan kembali Partai Islam Indonesia (PII), parpol yang

9

Page 10: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah pada zaman pergerakan. Namun, niat ini urung

direalisasikan karena kondisi internal dan eksternal tidak memungkinkan. Tokoh Islam yang

lain hendak mendirikan partai politik Islam yang baru, yang berlainan dengan Masyumi dan

parpol Islam pada saat itu. Gagasan itu diinisiasi oleh mantan Wapres Mohammad Hatta,

bersama beberapa eksponen HMI dan PII pada tahun 1967. Partai yang hendak mereka dirikan

diberi nama PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia). Usaha itupun juga tidak mendapat

persetujuan Orde Baru.

Setelah gagal merehabilitasi Masyumi dan membentuk partai Islam lainnya, akhirnya BKAM

berhasil melahirkan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tanggal 7 April 1967.

Meskipun belum ideal, Parmusi boleh dikatakan merepresentasikan aspirasi Islam modernis,

khususnya Muhammadiyah, karena saat itu telah ada sejumlah partai politik Islam yang

menjadi wadah kalangan tradisionalis, seperti Partai NU, PSII dan Perti. Itulah sebabnya

Muhammadiyah memberikan dukungan all out terhadap Parmusi. Kelahiran Parmusi

merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam rumusan Khittah tahun 1969 ini

disebutkan bahwa dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran:

politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai

gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Untuk saluran

politik kekuasaan, Muhammadiyah membentuk partai politik di luar organisasi. Hubungan

antara Muhammadiyah dengan partai yang telah dilahirkan ini hanya sebatas ideologis, tidak

secara organisatoris.

Pada tanggal 5 Februari 1968 Pemerintah menyetujui berdirinya Parmusi dengan syarat tidak ada

seorang pun mantan pemimpin Masyumi yang memegang peranan penting dalam Parmusi.

Namun, dalam Kongres I Parmusi tanggal 4-7 November 1968 di Malang terpilih tokoh

Masyumi Moh. Roem sebagai ketua umum. Hasil kongres itu ditolak secara keras oleh

pemerintah karena dianggap akan menghidupkan kembali aspirasi politik Masyumi. Setelah

melalui berbagai lobi, pemerintahan Soeharto akhirnya menunjuk dua tokoh Muhammadiyah

untuk memimpin Masyumi, yakni H. Djarnawi Hadikoesoemo sebagai Ketua Umum dan

Lukman Harun sebagai Sekretaris Jenderal. Karena dua tokoh Muhammadiyah itu dinilai

cukup kritis dan kurang akomodatif terhadap pemerintah, akhirnya penguasa mendukung

“kudeta” kepemimpinan Masyumi yang dilakukan oleh HJ Naro dan Imran Kadir. Kudeta itu

menimbulkan konflik internal dalam Parmusi. Dengan dalih untuk menyelesaikan konflik,

pemerintah akhirnya menunjuk HMS Mintaredja, anggota Muhammadiyah, untuk memimpin

10

Page 11: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Parmusi. Penunjukan Mintaredja yang pro pemerintah bukan menyelesaikan konflik malah

mempertajam perpecahan di tubuh Parmusi. Penunjukan itu diyakini banyak kalangan saat itu

bukan untuk mengakomodasi aspirasi politik muslim modernis, khususnya Muhammadiyah dan

keluarga besar Bulan Bintang (eks Masyumi), melainkan untuk mengkooptasi mereka melalui

“orang dalam” sendiri.

Melihat intervensi pemerintah dalam Parmusi, Muhammadiyah akhirnya menjaga jarak dengan

partai itu. Minimnya dukungan Muhammadiyah berdampak pada perolehan suara Parmusi ketika

mengikuti Pemilu 1971, pemilu pertama Orde Baru. Parmusi hanya meraih dukungan 7,365

persen. Bandingkan dengan Golkar yang memperoleh suara 62,8 persen suara dan NU di urutan

kedua 18,67 persen, menyusul PNI 6, 94 persen dan Perti 2,39 persen. Muhammadiyah kecewa

dengan kondisi politik saat itu dan berniat “kembali ke khittah” yakni sebagai gerakan dakwah

amar ma’ruf nahi mungkar yang tidak terlibat dalam kancah perpolitikan secara langsung.

Kembali ke Khittah

Peristiwa traumatik dalam dunia politik yang dialami Muhammadiyah pada era Demokrasi

Terpimpin maupun awal Orde Baru menyebabkan organisasi ini dalam muktamarnya tahun

1971 di Ujung Pandang mempertegas sikapnya bukan sebagai organisasi politik dan tidak

berafiliasi dengan kekuatan politik manapun serta tidak akan berubah menjadi partai politik.

Sejak saat itu Muhammadiyah sangat berhati-hati dalam merespon berbagai persoalan politik.

Tentang hal ini, Ketua PP Muhammadiyah (1971-1990) KH AR Fakhruddin pernah

menyatakan:

“....sejak semula Muhammadiyah tegas untuk tidak berpolitik praktis. Sampai sekarang dan kelak, saya yakin prinsip itu akan dipegang oleh generasi baru Muhammadiyah. Bukan berarti politik itu tidak islami. Hanya saja Muhammadiyah berpolitik dalam tataran yang lebih makro. Prinsipnya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Coita-cita Muhammadiyah itu Cuma satu, bagaimana agar umat Islam Indonesia ini menjalankan agamanya sesuai dengan Al Qur’an dan hadits. Adapun mengenai pemerintahan, partai politik dan sebagainya, Muhammadiyah sebagai ormas tidak mencampurinya.”17

Kehati-hatian Muhammadiyah dalam merespon masalah politik nampak jelas ketika

dihadapkan pada isu asas tunggal Pancasila tahun 1985. Muhammadiyah menghindar untuk

17 Wawancara AR Fakhruddin dengan Republika, 8 Juli 1994.

11

Page 12: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

mengambil garis konfrontatif dengan pemerintah, namun juga tidak gegabah dalam

mempertahankan sesuatu yang dinilai prinsipil. Dalama merespon persoalan politik,

khususnya yang bersinggungan dengan pemerintahan, Muhammadiyah jarang

mengartikulasikannya secara keras dan mempublikasikan melalui media secara terbuka.

Hal itu misalnya ditunjukkan oleh KH AR Fakhrudin, ketua PP Muhammadiyah. Dalam salah

satu wawancaranya dengan Republika, AR Fakhruddin mengatakan:

“Saya bersama rekan-rekan di PP Muhammadiyah, berusaha menjadi mediator, ke atas dan ke bawah. Kepada umat Muhammadiyah, saya selalu katakan bahwa pemerintah ini adalah pemerintah kita. Yang duduk di pemerintahanm termasuk Presidennya, adalah orang-orang kita. Taruhlah Islam mereka belum baik, ayo kita perbaiki bersama-sama. Kalau belum sempurna, ayo sempurnakan. Tapi jangan kita musuhi, jangan kita apriori...Saya tegaskan begitu, di mana-mana di setiap kesempatan. Umat islam jangan sekali-kali memusuhi pemerintah.”18

Pendirian politik Muhammadiyah yang semacam itu terus berlanjut sampai kepemimpinan

almarhum KH Ahmad Azhar Basyir (1990-1994). Apalagi pada masa itu, pemerintah Orde

Baru mengubah haluan politiknya dari yang bersifat konfrontatif menjadi lebih akomodatif

terhadap kepentingan Islam. Disahkannya UU Peradilan Agama tahun 1988, UU Sistem

Pendidikan Nasional yang memuat aspirasi Islam dengan kewajiban pemberian pelajaran

agama di sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi tahun 1989, lahirnya Ikatan

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Bank Muamalat dan sebagainya, merupakan contoh

bentuk akomodasi negara terhadap aspirasi umat. Itulah sebabnya kepemimpinan

Muhammadiyah saat itu lebih bercorak kooperatif-akomodatif terhadap pemerintah.

Kritis Kooperatif

Artikulasi politik Muhammadiyah yang moderat akomodatif di masa AR Fakhruddin dan

Ahmad Azhar Basyir berubah 180 derajat ketika Amien Rais memimpin Muhammadiyah

menggantikan KH Azhar Basyir yang meninggal dunia, Juni 1994. Di bawah kepemimpinan

Amien, Muhammadiyah bersikap kritis terhadap kekuasaan. Para pengritik Amien di

Muhammadiyah, seperti Lukman Harun, Abdul Munir Mulkhan dan Hajrianto Y Tohari,

bahkan menyebut gaya kepemimpinan Amien cenderung konfrontatif terhadap pemerintah.

18 Ibid

12

Page 13: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Amien meluruskan pendapat itu dengan menyatakan kepemimpinannya adalah kritis

kooperatif.

Amien saat itu memang dikenal sebagai cendekiawan muslim yang vokal dan kritis terhadap

kekuasaan. Dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya tahun 1993, misalnya, Amien

sudah menyerukan perlunya suksesi kepemimpinan nasional. Padahal, saat itu tidak ada yang

berani menyuarakan penggantian kekuasaan karena kekuasaan Soeharto masih sangat kuat

sehingga pembicaraan tentang suksesi dinilai sebagai sebuah “kenekatan politik” yang sangat

beresiko. Amien juga sangat lantang menyingggung berbagai ketimpangan sosial,

ketidakadilan, penyalahgunaan wewenang, eksploitasi sumber daya alam di Freeport dan

kawasan lain serta bisnis keluarga penguasa. Menurut Amien, perubahan haluan kepemim

pinan di Muhammadiyah itu perlu dilakukan karena selama ini dakwah Muhammadiyah tidak

berjalan seimbang yakni lebih menekankan amar ma’ruf dan cenderung mengabaikan nahi

mungkar.19

Meskipun mengundang sedikit kontroversi internal di Muhammadiyah, kepemimpinan

Amien yang kritis terhadap kekuasaan mampu mempertegas jati diri ormas Islam itu sebagai

lokomotif pembaruan. Pada masa lalu citra diri pembaruan Muhammadiyah selalu dikaitkan

dengan kegigihan Muhammadiyah memberantas TBC (ejaan lama: tachajoel, bid’ah dan

choerofat). Di masa Amien, bid’ah tidak lagi dikaitkan dengan ibadah ritual seperti qunut dan

tahlil tetapi bid’ah dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan hukum. Amien tidak

memformulasikan syirik dengan mengunjungi makam dan bertawasul dengan orang yang

sudah meninggal di masa lalu yang dikeramatkan, tetapi pengertian syirik di tangan Amien

lebih aktual dan kontekstual menjadi syirik politik, yakni melakukan sakralisasi kekuasaan

Presiden Soeharto dan takut mengoreksi berbagai penyimpangan yang terjadi. Tauhid di

tangan Amien juga lebih “hidup” ketika ia membumikannnya di tengah kehidupan sosial

dengan istilah tauhid sosial. Amien mencerahkan pemikiran Muhammadiyah dari kejumudan

mitos pembaruan yang stagnan ketika ia memformulasikan kembali simbol-simbol

Muhammadiyah yang disebutnya dengan lima doktrin Muhammadiyah, yakni tauhid,

pencerahan umat, kerjasama untuk kebajikan dan tidak berpolitik praktis.20

19 Tentang alasan perubahan haluan artikulasi politik Muhammadiyah di masa Amien Rais, lihat Sumarno, “Dinamika Pemikiran dan Aksi Politik Amien Rais.” Tesis S-2 Pascasarjana Ilmu Politik UI, 2000.20 Tentang lima doktrin Muhammadiyah yang digulirkan Amien Rais, lihat bukunya, Visi dan Missi Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 1997).

13

Page 14: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Dalam perjalanan selanjutnya seiring dengan perubahan konstelasi politik nasional, Amien

kemudian menjadi tokoh garda depan gerakan reformasi yang didukung berbagai kalangan

lintas agama, lintas generasi dan lintas afiliasi. Bahkan Amien kemudian diwacanakan

berbagai kalangan sebagai kandidat presiden, meskipun saat itu Soeharto belum lengser.

Akibat gelombang gerakan reformasi yang dahsyat itu dan dipicu dengan krisis multidimensi

yang tak tertangani, rezim Orde Baru Soeharto akhirnya runtuh setelah lebih tiga puluh tahun

berkuasa.

Ujian Netralitas Politik

Artikulasi politik Muhammadiyah pasca lengsernya Soeharto 21 Mei 1998, banyak

dipengaruhi oleh ketokohan Amien Rais dalam gerakan reformasi. Kepeloporan Amien Rais

dalam reformasi saat itu menempatkan Muhammadiyah memiliki bobot politik yang cukup

tinggi. Dalam Sidang Tanwir di Semarang pada 5-7 Juli 1998 berkembang wacana agar

Muhammadiyah mendirikan partai tersendiri atau mendirikan Partai Islam Indonesia atau

menghidupkan kembali Masyumi seperti diusulkan delegasi dari Sulawesi Selatan. Dalam

sidang pleno akhirnya diputuskan Muhammadiyah tidak akan berubah menjadi partai politik

dan tidak akan membidani lahirnya partai politik. Meskipun demikian warga Muhammadiyah

tetap diberi kebebasan untuk terlibat dalam partai politik sesuai dengan hati nuraninya

masing-masing. Selain itu, Tanwir juga memutuskan memberi keleluasaan kepada Amien

Rais untuk melakukan ijtihad politik guna melanjutkan kiprahnya dalam gerakan reformasi.

Amien akhirnya memutuskan mendirikan partai politik baru yang dikenal dengan Partai

Amanat Nasional (PAN) yang dideklarasikan pada 23 Agustus 1998, sehari setelah

pengunduran dirinya sebagai Ketua PP Muhammadiyah. PAN adalah cerminan obsesi Amien

Rais tentang Indonesia baru yang dibangun di atas paradigma grand and clean coalition

dengan platform pluralisme yang berpijak pada nilai-nilai moral agama. Amien kemudian

digantikan Ahmad Syafii Ma’arif, tokoh yang selalu setia memberikan dukungan pada

langkah politik Amien Rais selama reformasi.

Meskipun ditegaskan tidak ada hubungan organisatoris dengan PAN, Muhammadiyah banyak

memfasilitasi pembentukan infrastruktur PAN di berbagai wilayah di Indonesia. Jaringan

Muhammadiyah yang sangat luas banyak dimanfaatkan kader-kader Muhammadiyah yang

kemudian bermetamorfosis menjadi kader PAN di berbagai wilayah Indonesia. Tidak heran,

14

Page 15: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

saat kampanye PAN dalam Pemilu 1999, banyak amal usaha Muhammadiyah, seperti

perguruan tinggi, sekolah dan sebagainya, yang dimobilisasi untuk menyumbangkan

massanya. Saat itu, sebagian besar warga Muhammadiyah menganggap PAN adalah

representasi politik Muhammadiyah. Dengan kata lain, PAN sesungguhnya memiliki hutang

politik yang cukup besar kepada Muhammadiyah. Di awal beridirnya, tanpa Muhammadiyah,

PAN bukanlah apa-apa.

Netralitas politik Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Syafii Ma’arif dinilai sejumlah

kalangan goyah ketika PP Muhammadiyah memberikan dukungan secara implisit terhadap

pencalonan Amien Rais sebagai Presiden RI dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

tahun 2004. Hal itu tampak jelas terbaca dari hasil Sidang Tanwir di Makasar tahun 2003 dan

dipertegas dalam Sidang Pleno PP Muhammadiyah 2004 yang antara lain menyatakan:

"Presiden Indonesia yang diharapkan terpilih dalam Pemilu 2004 adalah tokoh yang reformis,

bersih dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), menyelenggarakan tata pemerintahan yang

baik, memiliki visi kebangsaan yang luas, tegas, dan berwibawa dalam membawa bangsa ke

tengah pergaulan internasional, mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memajukan

kehidupan bangsa menuju masa depan yang lebih baik."

Dukungan Muhammadiyah pada “kader terbaik” Muhammadiyah, menurut Syafi'i,

merupakan langkah untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Langkah itu diperlukan,

karena bangsa Indonesia sudah dalam kondisi krisis dan kerusakan moral yang sempurna.

Jika Muhammadiyah tidak ikut memperbaiki kondisi bangsa itu, Syafi'i khawatir

Muhammadiyah dianggap tidak memenuhi kewajiban moralnya. Untuk memperbaiki kondisi

itu, kepemimpinan nasional harus dipegang oleh orang yang relatif bersih dari korupsi.

Seperti diketahui, Amien Rais akhirnya tidak berhasil mendulang suara yang memadai untuk

mengantarkannya menuju istana dan mewujudkan obsesinya membangun Indonesia baru

yang lebih baik.

Dalam hal relasinya dengan PAN, setelah Amien Rais tak lagi memimpin partai, hubungan

dengan Muhammadiyah tak semesra sebelumnya. Bahkan ada kecenderungan PAN ibarat

kacang yang lupa kulitnya. Dengan dalih ingin membangun konstituen yang lebih luas, bukan

hanya warga Muhammadiyah, PAN secara implisit berusaha mengaburkan hubungan moral

dan emosionalnya dengan Muhammadiyah. Dalam Pemilu 2004, muncul ketidakpuasan di

kalangan kader Muhammadiyah, khususnya Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM),

15

Page 16: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

bahwa PAN tidak lagi aspiratif dengan kepentingan Muhammadiyah. Hal itu diindikasikan

dengan daftar calon anggota legislatif (caleg) PAN yang dinilai kurang mengakomodir tokoh-

tokoh Muhammadiyah, khususnya tokoh muda Muhammadiyah.

Ketidakpuasan itu akhirnya mengkristal dengan wacana perlunya partai alternatif di luar PAN

yang bisa mengartikulasikan aspirasi politik Muhammadiyah. Para tokoh muda

Muhammadiyah merasa mendapat “lampu hijau” dari para seniornya yang melakukan Sidang

Tanwir di Mataram tahun 2004. Atas dasar “restu” itu, para aktivis muda Muhammadiyah

akhirnya mendeklarasikan Partai Matahari Bangsa (PMB) pada 8 Januari 2006. Sejak awal

berdirinya, PMB selalu mencitrakan diri sebagai partainya Muhammadiyah yang baru.

Berbagai upaya mendekat-dekatkan jarak atau memasukkan diri sebagai bagian dari

Muhammadiyah dilakukan oleh PMB, baik secara simbolis maupun praksis. Simbol PMB

juga nyaris sama dengan lambang Muhammadiyah, matahari bersinar dua belas. PMB bahkan

mendaulat Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai calon presiden 2009.

Obsesi AMM untuk menyediakan “kendaraan politik” bagi Muhammadiyah, untuk sementara

waktu, tampaknya gagal menjadi kenyataan. Pada Pemilu 2009, PMB bukan saja tidak

mampu menyaingi PAN tetapi juga gagal meraih suara yang signifikan sehingga tidak

berhasil mengantarkan wakilnya untuk duduk di Senayan. Minimnya sumber daya, sumber

dana dan mesin partai yang belum berfungsi maksimal harus diterima sebagai pembelajaran

yang berarti bagi aktivis muda Muhammadiyah untuk kembali membangun partai di masa

yang akan datang. Meskipun secara moral, PP Muhammadiyah, minimal melalui sikap politik

Ketua Umumnya Din Syamsuddin, memberikan dukungan pada PMB, ternyata tidak cukup

untuk menggiring suara warga Muhammadiyah mencontreng matahari bersinar merah yang

menjadi lambang PMB itu. Meskipun belum berhasil, keberadaan PMB secara nasional

memang “berhasil” mengurangi jumlah popular vote PAN yang dinilai tak lagi aspiratif

dengan kepentingan Muhammadiyah.

Artikulasi politik Muhammadiyah kembali diuji dalam Pemilu Presiden 2009. Pada saat itu

terjadi polarisasi politik di kalangan tokoh Muhammadiyah. Meskipun tidak ada keputusan

resmi mendukung kandidat tertentu, secara implisit maupun eksplisit, tokoh-tokoh

Muhammadiyah melabuhkan dukungannya pada pasangan Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto.

Dalam berbagai iklan televisi menjelang Pilpres, tokoh Muhammadiyah Syafii Ma’arif

menyebut Jusuf Kalla sebagai the real president. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din

16

Page 17: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Syamsuddin juga menunjukkan dukungannya pada Jusuf Kalla. Hal itu berbeda dengan sikap

Amien Rais dengan PAN yang secara terang-terangan mendukung pasangan SBY-

Boediono.21

Dukungan “diam-diam” tokoh sentral Muhammadiyah pada JK dan bukan pada SBY,

memiliki implikasi politik setelah SBY memenangkan Pilpres dengan suara yang cukup

signifikan. Dalam komposisi Kabinet Indonesia Bersatu II, jumlah orang Muhammadiyah

yang duduk di kabinet berkurang jika dibandingkan dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I.

Jika pada periode pertama pemerintahan SBY mempercayakan kementerian pendidikan dan

kesehatan pada orang Muhammadiyah, yakni Mendiknas Bambang Sudibyo dan Menkes Siti

Fadilah Supari, maka pada periode kedua, posisi itu tidak diberikan pada Muhammadiyah.

Yang paling terasa adalah posisi Mendiknas yang sejak lama dipercayakan pada tokoh

Muhammadiyah, pada kebinet sekarang diberikan kepada Muhammad Nuh dari NU. Hanya

posisi Menkumham yang diberikan pada warga Muhammadiyah, Patrialis Akbar. Sebenarnya

Patrialis lebih merepresentasikan PAN, melalui lobi orang dekat SBY Hatta Rajasa, daripada

mewakili Muhammadiyah.

Muhammadiyah memang tidak mengejar kekuasaan, tetapi hal itu membuktikan bahwa di era

multi partai saat ini, Muhammadiyah kurang berhasil mengartikulasikan politiknya secara

strategis. Sebagai organisasi yang sudah sangat panjang track recordnya bersinggungan

dengan politik, Muhammadiyah seyogyanya bisa menjaga netralitasnya dalam pusaran

perebutan kekuasaan sehingga tidak berdampak serius terhadap kepentingan perserikatan.

Muhammadiyah perlu memposisikan dirinya sebagai tenda bangsa yang dapat digunakan

untuk memayungi berbagai kelompok yang sepaham dalam menegakkan dakwah amar

ma’ruf nahi mungkar dan memajukan umat menuju umat Islam yang sebenar-benarnya.

Kini, Muhammadiyah perlu menyadari bahwa banyak kadernya yang terjun ke arena politik

praktis, seperti PAN, PMB, PPP, PKS, Golkar, Demokrat dan partai lainnya. Muhammadiyah

tidak perlu menganakemaskan partai tertentu dan memperlakukan secara diskriminatif partai

lain. Cukup bagi Muhammadiyah membuat aturan bahwa tidak boleh membawa kepentingan

politik dalam persyarikatan, tidak boleh menjadikan organisasi sebagai komoditas politik dan

tidak boleh membawa-bawa Muhammadiyah untuk memperjuangkan agenda politiknya.

21 Pada awalnya, Amien sangat keberatan dengan sosok Boediono yang dinilai neo-liberal dalam amsalah ekonomi. Melalui berbagai lobi, akhirnya Amien Rais tetap mendukung pasangan SBY-Boediono.

17

Page 18: Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah

Muhammadiyah perlu merumuskan teologi politik yang bisa dijadikan pedoman bagi

kadernya yang berkiprah di lapangan politik praktis agar mereka tetap konsisten dengan

ideologi Muhammadiyah dan memperjuangkan aspirasi Muhammadiyah.

Catatan Akhir

Merujuk pada perjalan sejarahnya, Muhammadiyah tidak mungkin menghindarkan diri dari

arena politik, meskpun harus tetap istiqamah untuk tidak terjun dalam kancah politik praktis,

sebagaimana partai politik. Artikulasi politik Muhammadiyah sangat ditentukan oleh gaya

kepemimpinan tokoh sentralnya dalam merespon dinamika politik nasional yang terjadi pada

masanya. Dalam usianya yang satu abad, sudah selayaknya Muhammadiyah memiliki format

yang jelas bagaimana mengartikulasikan politik yang aspiratif dengan kepentingan

persyarikatan.

Oleh karena itu, Muhammadiyah memerlukan sebuah konstruksi bagaimana membangun

relasinya dengan dunia politik dan kenegaraan pada umumnya sehingga di masa mendatang

Muhammadiyah tidak lagi terbata-bata saat mengeja kompleksitas alfabeta sosial politik yang

mengitarinya. Wallahu a’lam.

18