seni sebagai artikulasi identitas agama (studi kasus...

109
i TESIS MAGISTER SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul) TESIS Diajukan Kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Dalam Ilmu Religi dan Budaya Oleh: MUH. KAMSUN NIM: 016322004 UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2005 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: trannguyet

Post on 17-May-2019

248 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

i

TESIS MAGISTER

SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

TESIS

Diajukan Kepada

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Dalam Ilmu Religi dan Budaya

Oleh:

MUH. KAMSUN

NIM: 016322004

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2005

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

'.!#f,NGSSAS*i{

Itlug

SENI SEEAGAI ARTIK'TJ'Iffi}ENflTAS AGAMA

( Studi Kasus Hrr*uf*#ah di Gunungkidul )

Yog),akqrta" 25 Scu*enber 2005

ill

!6U_x*XnMSrX

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

Yang bertanda tangan di bawah ini,

PERI{YATAAN KEASLIAN TE,SIS

Muh, Kamsun0t6322004Program Pascasarjana Ilmu Religi dan BudayaSanata Dharma

NamaNIMProgramUniversitas

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis

Judul

PembimbingTanggal diuji

: Seni Sebagai Artikulasi Identitas Agama ( StudiKasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul )

: Dr. G. Budi Subanar,S.J.: 24 Agustus 2005

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di datam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagiantulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau

meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olahsebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau menirutulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia

menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana

Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasukpencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 24 Agustus 2005

Yang meinberikan pemyataan

Muh. Kamsun

lv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

LEMBAR PERI{YATAAN PERSETUJUAIT PI,JBLIKASIKARYA ILMIAH IJNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Muh. Kamsun

NomorMahasiswa :016322004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

SENI SEBAGAI ARTIKIiLASI IDENTITAS AGAMA

(Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidut)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan

data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di intemet atau

media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya

maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis.Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenamya.

Muh. Kamsun

Yogyakarta, 2{ Agustus 2005

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

vi

PRAKATA

Setelah sekian waktu “berlama-lama” dalam studi di Program Magister

Ilmu Religi dan Budaya Fakultas Pascasarjana Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, akhirnya selesai juga formalitas belajar tersebut. Durasi waktu yang

tersedia agaknya hampir terlewatkan ketika pada waktu yang bersamaan

operasional belajar belum memperlihatkan tanda-tanda akan khatam seperti yang

diharapkan. Lewat perjalanan yang tertatih-tatih, pada akhirnya lunas jualah rasa

berutang kepada orang-orang terdekat serta mereka yang berharap akan usainya

studi penulis dengan lulus pada penyelesaian tugas akhir. Meskipun penuh dengan

aneka kesusahan batin, rampungnya tugas belajar ini telah membuka kesempatan

baru bagi penulis untuk meraih obsesi ala kadarnya yang tersimpan dalam dirinya.

Dan yang lebih penting semoga penyelesaian tugas akhir ini merupakan

awal dari sebuah perjalanan hidup yang lebih bermakna ke depan untuk cinta dan

kemanusiaan. Dan tentu saja penulis banyak berutang budi kepada berbagai pihak

selama studi ini berlangsung. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati,

penulis ingin dan pantas menyampaikan sungkem terima kasih kepada pihak-

pihak yang terhormat itu:

1. Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Direktur Pascasarjana, dan

seluruh sivitas akademika.

2. Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, Dr. St. Sunardi, beserta seluruh civitas akademika. Ustadz St.

Sunardi, sering begitu cemas dengan ketertinggalan yang dialami penulis

namun terus mendorong penulis untuk belajar sampai mati.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

vii

3. Dosen Pembimbing, Romo Dr. G. Budi Subanar, S.J., dan Dr. Budiawan.

Kedua ustadz ini telah memberikan perhatian dan bimbingan yang serius guna

penyelesaian tugas akhir ini. Tanpa dorongan mereka mungkin tugas akhir ini

takkan terwujud.

4. Yang mulia para pengajar di IRB yang telah berbuat untuk dan demi kebaikan

mahasiswanya.

5. Ayahanda tercinta Amak Mahsun (alm.) dan Ibunda Inak Mahsun yang jasa-

jasanya tak mungkin terbalaskan walau anaknya hidup berbakti seribu tahun

lamanya. Kepada seluruh semeton (saudara dekat) di Lombok, jasa-jasa Anda

sangat berguna, yang juga tak terbalaskan.

6. Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Gubukrubuh, Getas,

Playen, Gunungkidul, Drs. K.H. Yusuf Masyhuri, M.Pd.I, berikut segenap

anggota kelompok hadrah Badru Tamam yang telah bersedia membantu dalam

penelitian dan penulisan tesis penulis. Begitu juga para seniman salawatan di

Gunungkidul yang tidak dapat disebut satu persatu.

7. Pendamping tercinta, Sri Astuti, yang begitu sabar dalam menghadapi

perlakuan suaminya yang kadangkala kurang menyenangkan selama studi

berlangsung. Berbagai “ketidakwajaran” sikap suaminya selalu dimakluminya

dan mengalah karena dia tahu suaminya “stress”.

8. Petugas administrasi di IRB dan juga petugas perpustakaan IRB.

9. Segenap kawan-kawan muda NU di Gunungkidul yang sering menanyakan

kapan studi penulis akan berakhir. Begitu pula rekan-rekan pegawai Kantor

Urusan Agama Kecamatan Patuk yang memaklumi kalau penulis sering tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

viii

berada di antara mereka.

10. Juga kepada seluruh pihak yang telah mendukung penulis selama dan hingga

studinya berakhir.

Mudah-mudahan semua pihak tersebut selalu mendapatkan kebahagiaan,

kemudahan dan kemuliaan. Semoga Allah Yang Mahakuasa, selalu memberikan

kekuatan kepada mereka dalam berbuat sesuatu yang berguna bagi kemanusiaan.

“Penulis merasa iri kepada mereka yang telah berbuat kebaikan untuk bangsa,

negara dan dunia. Tetapi lebih iri lagi kepada mereka yang telah menebar

kesalehan untuk memuliakan manusia.”

Penulis telah berusaha melakukan tugas akhir ini dengan semampunya,

namun inilah hasilnya. Meski begitu semoga karya yang remeh dan banyak

kekurangan ini memberikan inspirasi bagi orang lain. Dan inilah sekedar harapan

yang paling pantas penulis ucapkan. Semoga!

Yogyakarta, 24 Agustus 2005

Hormat penulis

Muh. Kamsun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................. i

Halaman Persetujuan ........................................................................................ ii

Halaman Pengesahan ....................................................................................... iii

Pernyataan Keaslian Tesis…………………………………………………... iv

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi …………………………………. v

Prakata .............................................................................................................. vi

Daftar Isi........................................................................................................... ix

Abstrak ............................................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .............................................................................. 4

C. Alasan Pemilihan Topik ....................................................................... 6

D. Tujuan dan Signifikansi Penulisan Tesis ............................................. 6

E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................................... 7

F. Landasan Teori ..................................................................................... 11

G. Metodologi Penelitian .......................................................................... 18

H. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 21

BAB II KESENIAN DALAM DUNIA SANTRI ............................................ 23

A. Masyarakat Santri di Gunungkidul ...................................................... 24

B. Ragam Kesenian Santri di Gunungkidul .............................................. 30

C. Bentuk-Bentuk Kesenian Santri di Antara Kesenian Kontemporer ..... 37

D. Kreativitas: Dari Festival Hingga Konversi ......................................... 40

E. Momen Kesenian .................................................................................. 45

BAB III HADRAH: SENI PERTUNJUKAN KAUM SANTRI ..................... 49

A. Fase Awal ............................................................................................. 49

B. Organisasi dan Latihan ......................................................................... 55

B.1. Organisasi ..................................................................................... 55

B.2. Latihan .......................................................................................... 56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

x

B.3. Pementasan ................................................................................... 58

B.4. Pengadministrasian ....................................................................... 60

C. Pendanaan ............................................................................................. 62

D. Unsur Pendukung ................................................................................ 65

BAB IV HADRAH SEBAGAI ARTIKULASI IDENTIFIKASI DIRI KAUM

SANTRI ............................................................................................... 71

A. Komunitas dalam Proses Liminalitas Hadrah ...................................... 73

A.1. Aspek Jender ................................................................................ 76

A.2. Hirarki Sosial ............................................................................... 80

A.3. Aspek Sakral-Profan .................................................................... 81

B. Hibriditas Hadrah ................................................................................. 85

BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

xi

ABSTRAK

Dunia santri pondok pesantren dipenuhi ragam perilaku kehidupan khas.

Sebagai sebuah subkultur, memang pesantren memiliki dunia keseharian yang

mencerminkan diri sebagai institusi pendidikan tradisional dengan andalan suplai

pendukung dari kalangan masyarakat bawah dan petani pedesaan. Citra mereka

mewujud dalam keseharian yang sederhana, bersarung, berpecis dan sandal jepit.

Tetapi penampilan lahiriah ini selalu dalam dominasi ketaatan dan kesalehan

normative terutama di lingkungan sekitar pondok. Dan dari suasana semacam

itulah kemudian muncul berbagai aktifitas, yang salah satunya adalah kelompok

kesenian yang mendendangkan syair salawat lengkap dengan rebana atau perkusi

sebagai instrumen utamanya. Itulah hadrah, satu dari jenis kesenian (salawatan)

santri pondok pesantren.

Seni mencerminkan pemilik dan penikmatnya. Seni muncul sesuai dengan

nilai-nilai masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu sejauh manakah para santri

memaknai dunia seni yang mereka geluti. Tesis ini membahas salah satu jenis

kesenian santri pondok pesantren, yaitu hadrah. Pembahasan ditujukan untuk

menunjukkan mengapa dan bagaimana kesenian hadrah bisa menjadi bagian dari

artikulasi identitas keagamaan santri. Lebih jauh tesis ini berusaha memberikan

pemahaman bagaimana kaum santri memproduksi seni mereka, kemudian

menggali konstruksi makna budaya komunitas santri dalam hadrah. Kajian

fenomena kesenian ini dilakukan dengan menggunakan teori “liminalitas” yang

dikembangkan oleh Victor Turner dan teori Homi Babha tentang apa yang disebut

“ruang ketiga”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

xii

ABSTRACT

The world of traditional moslem school students (santri pondok pesantren)

is fulfilled with many kinds of special life behavior. As a subculture, pesantren

has the daily world that shows special characteristic as traditional institution with

great support from low level society and village farmers. Their image is seen in

the sample life daily activity, wearing sarung, wearing moslem caps, and sandals.

This performance always represent obedience and piety, especially in Islamic

religious school environment. From this condition then many activities appear,

one of them is a group of hadrah music with shalawat lyric song complited with

music instrument rebana or percussion. That is the music hadrah, one of religious

school music which is called shalawatan.

Generally art of music expresses the owners and the lovers. The art

appears in accordance with the value of society. Therefore how far the religious

school students give significant to the world of music art that they apply. This

discusses the music art of Islamic school students that is hadrah. This discussion is

aimed to show why and how the hadrah music can be apart of religious Islamic

student identity. Further more this thesis gives more understanding how religious

students produce their music art, then construct the meaning of the culture of

religious school student in hadrah. The study of this art is done by applying

liminality theory which is developed by Victor Turner and the theory of Homi

Bhabha which is called “the third space”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Panggung seni pertunjukan di kalangan masyarakat muslim santri akhir-

akhir ini menunjukkan gairah yang meningkat. Hal ini dapat dilihat dari

bermunculannya berbagai kelompok kesenian bernuansa Islam. Kemunculan

kelompok-kelompok kesenian tersebut tidak hanya terjadi di daerah perkotaan,

namun juga merambah ke pelosok pedusunan yang jauh dari pusat keramaian

kota. Di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, blantika musik

santri memperlihatkan gejala perkembangan yang semakin meluas. Hal ini terlihat

pada bermunculannya album rekaman musik bernuansa keislaman yang beredar di

pasaran, termasuk tampilan mereka di media elektronik radio dan televisi.1

Kehadiran seni musik keagamaan ini dengan demikian turut memperluas pilihan

musik sebagai hiburan bagi masyarakat umum. Bahkan diharapkan fenomena ini

memperkuat pandangan sebagian orang bahwa seni tidak hanya menjadi objek

tontonan tetapi juga tuntunan.

Di Gunungkidul gejala yang hampir sama terjadi. Di daerah ini, di

samping bermunculan aneka kelompok musik campursari, sejumlah kelompok

kesenian bernafaskan Islam juga hadir secara intens. Kehadiran berbagai jenis

kelompok kesenian, baik yang lama maupun baru, entah bernuansa jawa, pop,

1 Lihat majalah Fadilah, Edisi III Agustus 2003, hal 5-15 dan Fadilah, Edisi IV

September 2003, hal 5-10. Fadilah adalah sebuah majalah yang diterbitkan oleh para santri di

Yogyakarta yang mengupas dan menyajikan sekitar seni budaya pesantren.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

2

atau religius, telah menambah khazanah berkesenian di daerah ini.2 Sebagaimana

diketahui, Gunungkidul merupakan kawasan subur tempat tumbuh-kembangnya

kesenian lokal, semisal musik campursari. Sedangkan beberapa kesenian lokal

religius yang telah lama berkembang di daerah ini antara lain salawatan,

terbangan, rodat, berzanjen, diba’an, manakiban dan sebagainya.3

Salah satu jenis kesenian bernuansa Islam yang kini banyak tumbuh di

Gunungkidul adalah hadrah. Kesenian ini muncul di kalangan warga muslim yang

telah atau sedang belajar agama di pondok pesantren. Namun hadrah sebenarnya

banyak muncul di kalangan santri aktif di lingkungan pondok pesantren. Para

santri muda sebagai pendukung utama kesenian ini mendirikan kelompok hadrah

sekaligus berperan sebagai pemain dan penyanyi. Walau demikian, tidak semua

pondok pesantren melahirkan hadrah. Pada kenyataannya jenis kesenian ini hanya

muncul di kalangan santri pondok pesantren yang secara sosiologis dikenal

sebagai pondok pesantren kaum Nahdliyyin (warga Nahdlatul Ulama).

Hadrah, yang kadang disebut juga samrah atau kasidah, merupakan satu

dari beberapa jenis kesenian santri selain salawatan, rodat, berzanjen, diba’an,

manakiban, terbangan, dan campursari religius. Semua jenis kesenian ini

memiliki karakter dan gaya tersendiri. Perbedaan masing-masing antara lain

terletak pada alat atau instrumen, pemain, vokal, syair lagu dan sebagainya.

Meskipun syair yang dilagukan sama, tetapi ketika dimainkan pada jenis kesenian

2 Menurut catatan Panitia Festival Sholawat se-Kabupaten Gunungkidul tahun 2003, grup

kesenian salawatan yang ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut sebanyak 30 buah. Panitia

terpaksa membatasi jumlah peserta festival karena dikhawatirkan akan butuh waktu lama untuk

kegiatan tersebut disebabkan banyaknya peserta. Lembaran lepas. 3 Mengenai berbagai jenis kelompok kesenian lokal religius terutama yang dikembangkan

masyarakat santri akan dibahas pada bab selanjutnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

3

yang berbeda, maka nuansa perbedaan itu akan tampak. Jenis kelompok seni

santri ini ada yang tergolong seni sastralisan dan ada pula kesenian yang

menggunakan alat musik, baik tradisional maupun modern.

Salah satu grup kesenian hadrah yang cukup popular di Gunungkidul

adalah kelompok kesenian Badru Tamam. Grup ini lahir di pondok pesantren Al

Hikmah Gubukrubuh, Desa Getas, Kecamatan Playen, sekitar 12 kilometer dari

kota Wonosari. Kelompok Badru Tamam muncul atas inisiatif para santri yang

baru pulang belajar dari pondok pesantren Wonokromo, Bantul. Hal ini

memperlihatkan bahwa keberadaan kesenian hadrah di Gunungkidul terkait erat

dengan kesenian yang dikembangkan para santri pondok pesantren di daerah lain.

Kehadiran hadrah pada kenyataannya mendapat sambutan hangat di

kalangan masyarakat Gunungkidul. Sebagai kesenian religius yang menghibur,

hadrah sering mendapat undangan tampil, baik dalam acara hajatan keluarga,

peringatan hari-hari besar Islam tertentu maupun dalam peristiwa-peristiwa

lainnya. Bahkan pernah kelompok hadrah Badru Tamam pentas pada acara

hiburan dalam rangka hari ulang tahun sebuah organisasi profesi pinggiran, yaitu

organisasi tukang ojek. Dalam pentas tersebut hadrah tampil selama 2 jam dengan

menyajikan 20 lagu. Ini menunjukkan bahwa hadrah sebenarnya telah menjadi

bagian dari dunia kesenian di Gunungkidul. Sebagai salah satu grup hiburan

massa bernuansa religius, hadrah mampu bertahan bahkan berkembang di tengah-

tengah hegemoni musik lokal dimana telah hidup puluhan kelompok musik

campursari di kawasan selatan Yogyakarta ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

4

B. Perumusan Masalah

Hadrah merupakan kelompok musik pertunjukan yang bernafaskan

religius. Di samping memiliki fungsi sebagai media hiburan bagi warga

masyarakat, keberadaan hadrah juga memiliki fungsi sebagai arena bagi

pembentukan identitas kaum santri yang diwujudkan dengan pementasan mereka

pada acara-acara tertentu. Ini menunjukkan bahwa eksistensi kelompok hadrah

telah menghadirkan warna tersendiri bagi khazanah musik pertunjukan lokal di

tengah-tengah pergumulan dunia kesenian kontemporer, khususnya di

Gunungkidul.

Fase awal kehadiran hadrah sebenarnya merupakan kelanjutan atau

perkembangan mutakhir dari jenis kesenian yang telah ada sebelumnya, yaitu

kesenian rodat. Kelompok yang terakhir ini hadir dan berkembang puluhan tahun

yang lalu. Menurut salah seorang pimpinan pondok pesantren setempat, rodat teah

mulai berkembang di kalangan para santri sejak tahun 1940-an. Pada tahun 1960-

an rodat sangat digandrungi oleh masyarakat. Kelompok rodat banyak

bermunculan hampir di tiap dusun. Bahkan di Gubukrubuh personilnya mencapai

ratusan orang. Namun sejak decade 1980-an perkembangan rodat mulai menurun.

Pementasan mulai berkurang, jumlah personil menurun, sementara generasi muda

kurang meminati jenis kesenian tradisional ini. Sesekali memang ada pementasan,

namun lebih sebagai pemenuhan atas undangan tertentu, misalnya dari instansi

pemerintah dalam rangka pameran dan sebagainya.4

4 Wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan K.H.M. Yusuf Masyhuri, pimpinan dan

pengasuh pondok pesantren Al Hikmah Gubukrubuh, Getas, Playen Kyai yang hafal Al-Quran ini

pada masa mudanya adalah pemain kesenian rodat setempat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

5

Sementara itu para santri yang pulang belajar dari daerah lain mulai

tertarik dengan jenis musik hadrah yang mereka lihat di pesantren tempat mereka

nyantri. Kemudian sekitar tahun 1998 mereka mendirikan sebuah kelompok

hadrah dan ternyata mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Dalam peristiwa-

peristiwa tertentu kelompok ini sering diundang untuk pentas sehingga untuk itu

mereka terus memperbaiki penampilan mereka agar terus menarik perhatian

penonton.

Sebagai kelompok musik tradisional, penampilan mereka nampak

sederhana. Namun demikian mereka selalu dituntut agar pementasan tetap

menarik. Kesederhanaan tampak dari ciri hadrah yang hanya diperkuat oleh

beberapa instrumen perkusi dengan suara khas masing-masing. Lagu-lagu yang

menjadi andalan adalah madah, yaitu syair-syair pujian kepada Kanjeng Nabi

Muhammad, yang biasa disebut salawat. Selain menyajikan lagu-lagu salawat

berbahasa Arab mereka juga melantunkan beberapa lagu hasil kreasi mereka.

Semangat berhadrah mereka yang paling mutakhir adlah merekam dalam pita

kaset untuk dapat disebarluaskan kepada umum dengan biaya patungan para

pendukungnya.5

Dari uraian di atas permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan

dalam pertanyaan: Mengapa dan bagaimana kesenian hadrah bisa menjadi bagian

dari artikulasi identitas santri? Lebih lanjut pertanyaan ini dikembangkan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah jenis-jenis kesenian yang dikembangkan komunitas santri

5 Ibid

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

6

khususnya para santri pondok pesantren di Gunungkidul?

2. Bagaimana kalangan santri memproduksi kesenian hadrah?

3. Apa makna seni musik hadrah sebagai bagian dari artikulasi identifikasi diri

kaum santri?

C. Alasan Pemilihan Topik

Topik ini menarik perhatian penulis, setidaknya karena beberapa

pertimbangan sebagai berikut:

1. Permasalahan budaya santri, khususnya kesenian santri tradisional belum

banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan terutama kaum akedemisi

untuk diangkat dalam bentuk karya tulis ilmiah.

2. Sebagai kesenian rakyat pinggiran yang banyak tumbuh di berbagai daerah

khususnya di Jawa, kesenian santri semacam hadrah perlu diapresiasi sebagai

salah satu fenomena budaya yang dikembangkan para pendukungnya.

3. Penulis ingin mengeskplorasi bagaimana ekspresi seni di kalangan kaum

santri pondok pesantren dan terpinggirkan menjadi bagian dari artikulasi

identitas mereka.

D. Tujuan dan Signifikansi Penulis Tesis

Penelitian terhadap seni komunitas santri pondok pesantren ini bertujuan:

1) Memberikan pemahaman bagaimana kaum santri membentuk atau

memproduksi jenis seni khas mereka sendiri; 2) Menggali konstruksi makna

budaya oleh komunitas santri dalam kesenian hadrah; dan 3) Menunjukkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

7

ocal a mengapa pada santri pondok pesantren mengartikulasi identitas

keagamaan mereka melalui hadrah.

Sedangkan manfaat penelitian, secara teoritis penelitian ini diharapkan

dapat memberikan sumbangan analisis dan ocal ative tentang salah satu ocal

budaya yang secara nyata dikembangkan oleh komunitas pendukung yang begitu

tersebar di masyarakat, khususnya masyarakat santri melalui perspektif kajian

budaya. Secara praktis penelitian ini akan bermanfaat bagi kalangan pengamat dan

peminat budaya dalam rangka mendalami makna keberadaan kesenian ocal

sebagai bagian dari khazanah seni tradisi yang hidup di negeri ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian tentang ikhwal kesenian di kalangan santri dan pondok

pesantren tergolong masih sedikit. Beberapa diantaranya dapat dikemukakan

sebagai berikut :

Pertama, penelitian berjudul Kesenian Badui Al Huda Tajem

Maguwoharjo (Kajian Antropologi Budaya Tentang Nilai-Nilai Islam dan Fungsi

Sosial),6yang ditulis oleh Sujadi. Penelitian ini sebagaimana dilihat dari judulnya

mencoba menggali dalam perspektif antropologi budaya tentang nilai-nilai Islami

dan fungsi sosial dari sebuah kelompok kesenian bernafaskan keagamaan yang

ada di sebuah kawasan pedusunan di Sleman, Yogyakarta. Dengan andalan

observasi lapangan melalui teknik wawancara peneliti ini berhasil menggali

6 Lihat Sujadi, “Kesenian Badui Al Huda Tajem Maguwoharjo (Kajian Antropologi

Budaya Tentang Nilai-Nilai Islam dan Fungsi Sosial) dalam Jurnal Bahasa, Peradaban dan

Informasi Islam, Thaqafiyyat, Vol. 4, No. 1 Januari-Juni 2003, hal. 76-97, diterbitkan Fakultas

Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

8

eksistensi objeknya sejak mulai berdiri, pementasannya, materi lagu, pemain,

perangkat kesenian, hingga kostum dan makna serta nilai-nilai yang diusung oleh

kesenian Badui tersebut. Menurutnya kesenian Badui merupakan jenis tarian

rakyat yang menggambarkan suatu adegan peperangan dan muncul sekitar tahun

1960-an. Kemunculannya dipengaruhi oleh kegemaran penduduk setempat

terhadap salawatan dimana para pendukungnya adalah para santri dari pondok

pesantren yang telah terbiasa dengan kegiatan salawatan. Keberadaan kesenian

Badui tidak lepas dari kebutuhan masyarakat tersebut untuk mengekspresikan

nilai-nilai estetis yang dipadukan dengan kepentingan dakwah. Kelangkaan

penelitian atas kesenian para santri nampak jelas dari acuan kepustakaan Sujadi.

Tidak ada satu pun karya hasil penelitian mendalam bidang kesenian santri yang

menjadi rujukan penelitiannya.

Kedua, Budaya dan Masyarakat, karya Kuntowijoyo.7 Buku ini

merupakan kumpulan tulisan penulisnya yang pernah dipresentasikan dalam

beberapa seminar. Meskipun bukan merupakan hasil penelitian, buku ini

memberikan informasi yang cukup dalam mengenai perkembangan masyarakat

dan perubahan kebudayaan termasuk didalamnya kebudayaan berbasis pesantren.

Secara rinci dibahas bagaimana pengalaman masyarakat Indonesia dalam masa

transisi menuju masyarakat industri, dengan mengganti atribut dan masyarakat

tradisional agraris yang telah berlangsung sejak awal abad XX, menuju suatu

masyarakat yang bertatanan baru sama sekali. Dalam buku ini, Kuntowijoyo

memaparkan bagaimana peranan pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan

7 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: P.T. WIra Wacana, 1999

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

9

humaniora di samping istana dan perguruan sebagai locus pendidikan humaniora

dalam masyarakat tradisional Jawa. Menurutnya, pesantren merupakan sumber

penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan. Pesantren dapat dikatakan

sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dalam telaahnya atas dunia pesantren,

Kuntowijoyo menegaskan bahwa kesenian yang secara jelas mencerminkan

subkultur santri sangat banyak. Ekspresi estetis santri dapat berupa manakiban,

musik gambus, pembacaan kita barzanji, salawatan, dan sebagainya. Budaya

pesantren kemudian dialirkan ke pedesaan dan sampai sekarang bentuk-bentuk

kesenian yang ada di desa sangat dipengaruhi oleh pesantren, misalnya salawatan

dalam berbagai variasinya.

Ketiga, Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa, karya

penelitian sebuah tim.8 Buku ini merupan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Penelitian ini difokuskan pada sekitar pergumulan Muhammadiyah terhadap seni

lokal yang mengambil seting di Lamongan, Jawa Timur. Meskipun lebih

ditujukan pada pergumulan ormas keagamaan Muhammadiyah terhadap seni

lokal, dimana seni lokal dipandang dalam kacamata syariah sehingga harus

dikritisi secara syariah pula,9 buku ini memberikan banyak informasi sekitar

kesenian yang dikembangkan oleh komunitas santri di daerah ini. Justru cara

pandang dari buku inilah yang memberikan inspirasi pada penulis sehingga

merasa tertantang untuk mengeksplorasi lebih jauh dari perspektif yang berbeda.

8 Zakiyuddin Baidhawy, Ed., Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa:

Muhammadiyah dan Semi Lokal, Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, 2003 9 Maksudnya, bahwa fenomena budaya dimana didalamnya bercampur antara unsur

tradisi dan ajaran agama dilihat dari perspektif hukum Islam sehingga berujung pada kategori

sesuatu yang dibolehkan, wajib atau haram (terlarang) karena dianggap penuh unsur bid’ah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

10

Pada hemat penulis, buku ini tidak memberi tempat yang positif kepada berbagai

varian kesenian lokal yang notabene adalah produksi kaum santri pedesaan.

Penelitian ini berusaha untuk meletakkan produk budaya rakyat tersebut secara

apresiatif dengan menelaah varian kesenian yang sama meskipun dengan setting

yang berbeda yaitu di Gunungkidul.

Keempat, Musik Islami: Keserasian antara Tema Verbal dan Ekspresi

Musikal, sebuah hasil karya penelitian seirang etnomusikolog, Deni Hermawan.10

Dalam kajiannya penulis ini menawarkan beberapa aspek yang menurutnya dapat

dijadikan sebagai bahan dasar kajian mengenai ciri-ciri musik Islam. Menurutnya

ciri-ciri ini meliputi beberapa aspek musikal dan nonmusikal, yaitu tentang

definisi musik Islam, tangga nada (modus), bahasa dan tema lagu, irama dan alat-

alat musik, warna lokal, kostum, dan etika penyajian. Namun demikian

penelitiannya lebih difokuskan pada aspek-aspek musikal saja. Dengan demikian

sebenarnya penulis ini mencoba mengkonstruksi tubuh dari apa yang disebut

musik Islam itu. Oleh karena itu penelitian etnomusikolog tersebut bukan

dimaksud untuk memahami keberadaan seni musik keagamaan tersebut dan

maknanya di kalangan para pendukungnya.

Kelima, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah

Maulid al Diba’ Girikusumo, karya Ahmad Anas.11

Buku ini merupakan

penelitian atas aktivitas sebuah jamaah tarekat di kawasan Pantura (Pantai Utara

Jawa). Penelitian ini dimaksudkan untuk menguak pengalaman keagamaan dalam

10

Deni Hermawan, “Musik Islami: Keserasian antara Tema Verbal dan Ekspresi

Musikal”, dalam Deni Hermawan, Etnomusikologi: Beberapa Permasalahan dalam Musik Sunda,

Bandung: STSI Press, 2002, hal. 173-200. 11

Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid

al Diba’ Girikusumo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

11

ritual pembacaan kitab Maulid al-Diba’ karya Syekh Abd. Al-Rahman al-Diba’i.

di kalangan santri pondok dikenal tradisi diba’an yang juga ditemukan di

kalangan santri di Gunungkidul. Buku ini merupakan elaborasi empirik terhadap

praktek pengalaman keagamaan yang terjadi di pondok pesantren al-Riyadh,

Girikusumo, Demak, Jawa Tengah. Kajian Anas Ahmad ini belum menyentuh

aspek lain dari pergumulan insan pondok pesantren sebagaimana yang akan

dilakukan penulis tentang seni hadrah di kalangan santri pondok pesantren di

Gunungkidul.

Dari sejumlah penelitian yang telah dikemukakan di atas jelas bahwa

kajian tentang seni budaya di kalangan masyarakat santri, khususnya santri

pondok pesantren masih menyisakan berbagai pertanyaan dan perspektif. Untuk

itulah penulis memfokuskan kajiannya pada salah sayu bentuk aktivitas seni di

kalangan masyarakat tersebut.

F. Landasan Teori

Hadrah merupakan salah satu bentuk pertunjukan rakyat yang berbentuk,

hidup, tumbuh, dan berkembang di masyarakat pedesaan. Bentuk sajiannya

bersifat sederhana. Namun, dalam kesederhanaannya itu sebenarnya tersimpan

sesuatu yang menarik, terutama bagi pendengarnya. Keberadaan kesenian hadrah

lebih banyak bergantung pada para pendukungnya. Kehidupan hadrah tidak begitu

tergantung kepada masyarakat penanggap, oleh karena kelompok kesenian ini

tidak mengandalkan keberadaannya dari penerimaan pembayaran. Para pemain

kesenian ini tidak menggantungkan hidupnya dari bermain hadrah. Berkesenian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

12

hadrah lebih didasarkan pada kepuasan batin serta menghibur penonton tanpa

mengharapkan imbalan. Bahkan dengan melantunkan salawat, kegiatan seni

diniati dan dianggap sebagai suatu ibadah.

Herbert Spencer melalui teori strukturnya mencoba mengungkap peran

pendukung kesenian dan para elit penanggap sekaligus penyangga semangat hidup

kesenian dalam konteks seni pertunjukkan. Menurutnya, para pelaku seni dan

masyarakat penikmat adalah sebuah organisasi ymbol. Masing-masing memiliki

wujud yang berbeda, terpisah, tetapi saling berdampingan satu sama lain untuk

membentuk kelangsungan hidupnya.12

Para pelaku seni dan penikmat seni memiliki peran dalam kelangsungan

hidup hadrah. Pada kenyataannya, masing-masing pihak tidak terlepas dari tujuan-

tujuan mereka semisal untuk meraih ketenaran dan untuk menaikkan status

ymbol. Menurut Maslow, setiap orang memiliki hasrat akan nama baik atau

gengsi, prestise, status dan ketenaran.13

Munculnya hadrah diduga sebagai transformasi dari rodat, karena unsur-

unsur yang terdapat dalam rodat masih tampak dalam hadrah. Instrumen berupa

perkusi atau terbangan, misalnya, adalah jenis ymbol yang dimainkan

dalam rodat. Hal ini sesuai dengan penjelasan Holt bahwa kehadiran unsur-unsur

baru dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan budaya tidak berarti unsur-unsur

budaya yang ada sebelumnya menghilang. Antara unsur budaya lama dengan

12

Herbert Spencer dalam Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta:

Rineka Cipta, 1993, hal. 74 13

H. Abraham Maslow, Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Pendekatan

Hierarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan Nurul Iman Bandung, PT. Pustaka Binaman Pressindo,

1994, hal. 54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

13

unsur budaya baru dapat saja hidup berdampingan, berbaur atau bahkan tindih.14

Pandangan ini sangat berguna dalam memahami fenomena hibriditas dalam

kesenian termasuk hadrah yang didalamnya terdapat unsur Islam, Jawa dan Arab.

Kajian atas kelompok hadrah sebagai sebuah aktivitas seni santri pondok

pesantren di Gunungkidul akan menggunakan teori liminitas yang dikembangkan

oleh Victor Turner.15

Penulis juga akan menyandingkannya dengan teori Homi

Bhabha tentang apa yang disebut “ruang ketiga”.16

Pada mulanya teori liminitas Turner merupakan hasil telaahnya atas

fenomena ymbol dan ritus dalam masyarakat Ddembu di Afrika. Menurutnya,

aspek yang terpenting dalam ritus adalah tahap liminitas, yaitu tahap atau periode

tertentu dimana subjek ritual mengalami keadaan yang ambigu. Liminitas

mempunyai sifat-sifat yang begitu kaya sehingga memberikan perspektif

tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Pertama, di dalam liminitas orang

mengalami pengalaman dasar sebagai manusia. Kedua, liminitas menjadi tahap

refleksi formatif, yang berarti bahwa dalam tahap ini si subjek ritual diberi waktu

untuk merefleksikan ajaran-ajaran dan adat istiadat masyarakat. Dengan

merefleksi diharapkan dia dibentuk menjadi anggota masyarakat yang baru yang

telah mengalami perubahan pandangan maupun kedudukannya. Ketiga, dari teori

liminitas ini dikembangkanlah teori komunitas, yang merupakan pandangan dasar

14

Claire Holt, Art In Indonesia: Continuities and Change, Ithaka-New York: Cornell

University Press, 1967, hlm.3, seperti dikutip oleh Een Herdiani dalam bukunya Bajidoran di

Karawang: Kontinuitas dan Perubahan, Jakarta : Hasta Wahana, 2003, hal. 23 15

Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminitas dan Komunitas

Menurut Victor Turner, Yogyakarta: Kanisius, 1990. 16

Teori tentang liminitas Homi Bhabha ini dinukil dari Tulisan J. Supriyono, “Mencari

Identitas Kultur Keindonesiaan: UPaya Mencari Teori Liminitas Homi K. Bhabha, “dalam Mudji

Sutrisno dan Hendar Putranto (Ed), Hermeneutika Pascakolonial: Tentang Identitas, Yogyakarta:

Kanisius, 2004, hal. 139-153

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

14

Turner. Sebab dari konsep inilah Turner mengembangkan analisa mengenai

berbagai peristiwa baik dalam kehidupan ymbol maupun dalam kehidupan

masyarakat pada umumnya.17

Liminitas merupakan tahap dimana orang mengalami situasi

ketidakberbedaan. Di sini orang mengalami sesuatu yang lain dengan keadaan

hidup sehari-hari, yaitu pengalaman “antistruktur”. Istilah liminitas itu sendiri

berasal dari kata Latin limen, yang berarti ambang pintu. Maka liminitas dapat

dilihat sebagai pengalaman ambang. Istilah ini semula dipinjam dari ritus-ritus

peralihan, rites the passage yang dibahas secara luas oleh van Gennep.18

Satu hal

penting dalam konsep tentang liminitas Turner adalah teori mengenai komunitas.

Menurutnya, komunitas merupakan suatu konsep dasar yang berarti relasi-relasi

ymbol yang terjadi antar pribadi yang konkret, yang langsung. Hubungan yang

terjadi adalah hubungan yang lain dengan yang dialami dalam kehidupan sehari-

hari. Konsep tentang komunitas inilah yang merupakan sumbangan besar Turner

mengenai analisa masyarakat yang khas dalam studi ilmu-ilmu ymbol. Dengan

konsep komunitas, Victor Turner membuka cakrawala pada gejala-gejala budaya

dan masyarakat dewasa ini.19

Selain Victor Turner, tokoh lain yang mengemukakan konsep liminitas

adalah Homi Babha. Teori liminitasnya dimaksudkan sebagai upaya menelanjangi

pertentangan yang keliru antara “teori” dan “praktek” dalam wacana kolonialisme.

Dekonstruksi liminal Bhabha merupakan sarana kritik untuk menggagas kembali

oposisi biner yang sudah terlalu disederhanakan sebagai “penjajah” dan “terjajah”

17

Lihat Y.W. Wartaya Winangun, op.cit. hal. 31 18

Idem, hal. 32 19

Idem, hal. 46

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

15

sekaligus untuk mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para

teoretikus pascakolonial. Liminitsa ini diajukan untuk menghidupkan ruang yang

tidak memisahkan tetapi, sebaliknya, menjembatani hubungan timbal balik

(reciprocal) antara keduanya, yaitu antara teori dan praktek. Bagi Bhabha, antara

teori dan praktek tidak dapat dipilih salah satu saja untuk dikritik. Teori dan

praktek berada bersebelahan. Teori adalah wahana ymbol dan dalam

mewujudkannya, teori menciptakan situasi politis. Dengan menyandingkan

keduanya, Bhabha berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara

keduanya yang melahirkan hibriditas.20

Mengenai urgensi teorinya, Bhabha mengatakan bahwa pentingnya

liminitas untuk teori pascakolonial adalah ketepatgunaannya untuk

mendeskripsikan suatu “ruang antara” dimana perubahan budaya dapat

berlangsung: ruang antar budaya dimana strategi-strategi kedirian personal

maupun komunal dapat dikembangkan (can be elaborated), suatu wilayah dimana

terdapat progress gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus

menerus. Sebagai contoh, kelompok terjajah dapat berada di ruang ambang ini di

antara wacana ymbol dengan anggapan-anggapan identitas konkolonial

baru. Identifikasi semacam itu memang bukan sekedar gerak pindah sederhana

dari satu identitas ke identitas lain, identifikasi ini adalah proses keterlibatan,

kontestasi, dan penyesuaian. Secara implisit dikatakan bahwa pencarian identitas

itu idealnya tidak berhenti; identitas mengalir sebagai sesuatu yang senantiasa

20

J. Supriyono, op.cit. hal. 141

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

16

mengalami perubahan.21

Babha melukiskan bagaimana budaya-budaya itu bergerak keluar masuk

ruang ketiga dengan indahnya. Ruang ketiga itu diibaratkan sebuah tangga-

hubung yang merupakan ruang ambang yang mampu berperan sebagai ruang

untuk interaksi simbolik. Ruang yang dapat berperan sebagai ruang ketiga itu

adalah teks. Dan teks itu dapat dihadirkan dalam novel, film dan ymbo. Dalam

teks, aneka pemaknaan dilakukan. Menulis, memang sama sekali berbeda dengan

mencatat realitas ymbol. Tetapi sebaliknya, menulis berarti memberikan makan

pada realitas tersebut.22

Kajian tentang kesenian hadrah ini dilakukan dalam

kerangka teori liminitas di atas dengan asumsi bahwa panggung hadrah adalah

sebuah momen liminal yang berproses dan eksis di kalangan masyarakat santri di

Gunungkidul.

Sedangkan pemahaman sosiologis atas masyarakat dimana kesenian rakyat

ini menjadi pendukungnya akan mengacu pada kategori yang dikembangkan oleh

Geertz dan Dhofier. Geertz telah membuat kajian yang sistematis terhadap agama

di Jawa dan varian-variannya, yakni abangan, santri, dan priyayi.23

Banyak

tanggapan telah diarahkan pada karya Geertz ini, seperti dikemukakan oleh

Harsya W. Bachtiar dalam pengantar edisi Indonesia karya antropolog tersebut.

Satu hal yang tidak disinggung Geertz adalah tidak membuat uraian yang adil

mengenai pembentukan ymbol pada setiap varian. Untuk priyayi, Geertz

memonopoli terhadap kesenian klasik dan popular, sesuatu yang tidak

21

Bandingkan dengan pendapat Stuart Hall dalam “The Question fo Cultural Identity”,

hal. 122 22

J. Supriyono, op.cit., hal. 142-143 23

Clifford Geertz, Abangan dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya,

1978

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

17

diberikannya kepada dua varian lainnya. Untuk abangan hanya dikemukakan

ymbol-simbol berupa magis, mitologi, ritual. Sedangkan untuk varian santri

hanya berkisar pada soal organisasi ymbol dari agama. Menurut Kuntowijoyo24

sejak buku itu terbit, belum ada usaha yang berarti ymbol pemenuhan

kekurangan tersebut. Untuk itu diperlukan sebuah kerangka kerja untuk

mengungkapkan sebagian kecil dari pembentukan ymbol di kalangan santri,

yaitu tentang hubungan agama dan seni dalam ymbol budaya Islam di Jawa.

Sangat penting mengetahui bagaimana unsur-unsur estetis hadir dalam ymbol

keagamaan, dan sebaliknya, bagaimana unsur-unsur agama hadir dalam kesenian

Islam.

Tidak diragukan lagi bahwa para santri di Jawa juga menciptakan

ymbol-simbol, kendati tidak semua ymbol mempunyai kadar kekayaan makna

yang sama. Di dalam lingkungan budaya Islam ada semacam proses yang

berlawanan arah. Di satu pihak ada usaha pemiskinan ymbol yang dikerjakan

oleh gerakan puritan yang menghendaki agama bersih dari kaitan simbolis yang

dapat merusak citra agama yang murni, dan di lain pihak terdapat gejala yang

membuat penggandaan dan pengkayaan simbolis. Tekstualisasi citra sekitar

masalah ini tampak jelas pada tulisan Baidhawy dan kawan-kawan25

yang

mengupas purifikasi dan reproduksi budaya di pantai utara Jawa.

Santri, semula adalah sebutan untuk para pelajar di pondok pesantren di

bawah asuhan kyai. Pengertian awal ini belakangan telah bergeser menyebar,

tidak lagi hanya mengacu pada pelajar pondok pesantren. Kini telah menjadi

24

Kuntowijoyo, op.cit., hal. 51 25

Lihat Baidhawy, op.cit

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

18

sebutan dari siswa Taman Pendidikan Al-Quran, golongan melek agama, sampai

intelektual muslim. Bahkan kini sering dipakai untuk menyebut lapisan terpelajar

muslim. Apabila mengacu pada pengertian awal, santri terbagi pada dua

kelompok26

, santri mukim dan santri kalong. Yang pertama adalah murid yang

berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kompleks pesantren. Kelompok

terakhir mengacu pada murid yang berasal dari daerah atau desa sekitar pesantren

yang biasanya tidak menetap di dalam pesantren. Dalam tulisan ini istilah santri

(tanpa tambahan kata dibelakangnya) mengacu pada kelompok atau individu-

individu yang mempunyai pengetahuan agama Islam dan mengamalkannya dalam

kehidupan sehari-hari, termasuk orang-orang yang tinggal di komplek pondok

pesantren. Sedangkan apabila disebut santri pondok, amak yang diacu adalah

murid-murid yang belajar di pondok pesantren baik yang tinggal di pondok

pesantren maupun di luar pondok pesantren.

G. Metodologi Penelitian

1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini memilih aktivitas kelompok kesenian hadrah Badru Tamam,

sebuah kelompok hadrah yang berlokasi di Gubukrubuh, Desa Getas, Kecamatan

Playen, Gunungkidul. Persisnya grup kesenian ini ada di pondok pesantren Al-

Hikmah, dengan pimpinan K.H. Muh Yusuf. Di pondok inilah berdiri hadrah yang

didukung para pengasuh dan santri Al Hikmah sekitar tahun 1998. Kelompok

hadrah ini dipilih karena kelompok inilah yang memberikan inspirasi bagi santri-

26

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan HIdup Kyai,

Jakarta: LP3ES, 1984, hal. 51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

19

santri lain di Gunungkidul unuk mendirikan kelompok serupa. Kelompok

kesenian hadrah inilah yang paling banyak mendapat tawaran pentas di kawasan

Gunungkidul. Bahkan kelompok ini telah membuat rekaman dan diedarkan di

kalangan terbatas, khususnya para pecinta kesenian santri. Pondok pesantren Al

Hikmah Gubukrubuh terletak sekitar 12 km arah barat kota Wonosari.

2. Penentuan Informan

Untuk menentukan informan digunakan konsep Sparadley dan Benard27

yang pada prinsipnya menghendaki seorang informan itu harus paham terhadap

budaya yang dibutuhkan. Penentuan informan dilakukan menggunakan teknik

snowballing, yaitu berdasarkan informan sebelumnya untuk mendapatkan

informan berikutnya sampai mendapatkan ‘data jenuh’ (tidak dapat informan

lagi).

Berdasarkan pendapat itu, informan kunci yang dipilih adalah para

pendukung yang tergabung dalam kelompok kesenian hadrah Badru Tamam dan

para pengelola kesenian hadrah di Gunungkidul. Para pendukung dimaksud

adalah pelaku utama dalam kesenian dimaksud serta pimpinan sekaligus pengasuh

pondok pesantren Al-Hikmah. Informasi lain ditentukan secara snowballing,

menurut informasi estafet dari pelaku utama kesenian hadrah. Pelaku utama ini

diasumsikan yang paling mengetahui hal ihwal hadrah yang mereka tekuni. Dari

informasi pelaku utama ini ditentukan informan lain, yaitu para pemain hadrah di

luar kelompok Badru Tamam.

3. Teknik Pengumpulan Data

27

Dikutip dari Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2003, hal. 239

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

20

Pengumpulan data menggunakan teknik participatory observation dan

indepth interview.28

Dalam melakukan observasi partisipan juga berpegang pada

pendapat Spradley29

bahwa peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan,

membuat penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan, dan tidak

menanyakan makna tetapi gunanya. Pengamatan partisipasi dipilih untuk menjalin

hubungan baik dengan informan. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan

partisipatoris pada saat latihan penyelenggaraan pementasan dari awal sampai

akhir.

Adapun wawancara mendalam dilakukan sebelum dan sesudah latihan atau

pementasan. Bisa juga dilaksanakan pada selain waktu tersebut. Wawancara awal

dilakukan kepada informan kunci, yakni dari para pelaku kesenian hadrah Badru

Tamam hingga pelaku hadrah grup lain yang telah direkomendasikan oleh

mereka. Begitu seterusnya peneliti meneruskan wawancara kepada informan lain

berikutnya sampai mendapat “data jenuh”, yakni tidak ditemukan informasi lagi.

4. Analisa Data

Analisis dimulai sejak pengumpulan data. Setiap informasi disilang

melalui komentar responden yang berbeda untuk menggali validasi informasi dan

mengumpulkan bahan dalam wawancara dan observasi lanjutan. Selanjutnya, data

dikategorikan berdasarkan kepentingan penelitian ini. Setiap kategori dikaji dan

dimintakan komentar dari responden, kemudian diuji silang dengan responden

lain.

Analisis dilakukan melalui penyaringan data, penggolongan, penyimpulan,

28

Ibid. 29

Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

21

dan uji ulang. Data yang terkumpul disaring, disusun dalam kategori-kategori, dan

saling dihubungkan satu sama lain. Melalui proses inilah konstruksi kesimpulan

penelitian dibuat. Tujuannya adalah untuk memperkokoh dan memperluas bukti

yang dijadikan landasan pengambilan kesimpulan tersebut.

H. Sistematika Pembahasan

Laporan penelitian ini ditulis dalam lima bab. Bab I merupakan

pendahuluan, terdiri atas enam sub bab. Pemaparan dalam bab pertama ini

berkisar pada berbagai hal mengenai penelitian ini. Didalamnya meliputi latar

belakang, perumusan masalah yang dibahas, alasan pemilihan topik, tujuan dan

signifikansi penulisan tesis, tinjauan kepustakaan, landasan teori, metodoloi

penelitian dan sistematika penulisan. Bab II membahas tentang kesenian dalam

dunia santri. Pembahasan dibatasi pada dunia seni yang digeluti kaum santri serta

subjek santri itu sendiri. Secara berurutan bab II ini dirangkai dalam beberapa sub

bab meliputi masyarakat santri di Gunungkidul, ragam kesenian santri, kesenian

nonsantri di mata santri, kreativitas, dan momen ekspresi estetika.

Bab III membahas profil kesenian hadrah sebagai salah satu bentuk seni

pertunjukan yang digeluti kaum santri, khususnya santri pondok pesantren.

Pembahasan di dalamnya dimulai dengan masa awal pertumbuhan kesenian

hadrah di Gubukrubuh, Desa Getas, Kecamatan Playen, yang dilanjutkan dengan

uraian tentang organisasi dan latihan kelomopok seni hadrah Badru Tamam.

Didalamnya juga dibahas tentang pementasan dan pengadministrasian. Dua sub

bab terakhir tentang pendanaan dan subjek atau pelaku seni hadrah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

22

Pada bab IV dilakukan pembahasan tentang hadrah dipandang sebagai

artikulasi identifikasi diri kaum santri. Bab ini berusaha memahami makna seni

hadrah bagi kaum santri dengan menggunakan kerangka teori liminitas. Dalam

sub bab pertama tentang komunitas santri dalam liminitas hadrah, dikemukakan

tiga aspek “dekonstruksi” yang terjadi dalam ruang liminal panggung seni hadrah,

yaitu aspek jender, hirarki sosial, dan aspek sakral-profan. Bagian akhir bab ini

membahas sekitar hibriditas dalam kesenian hadrah. Sedangkan bab V berisi

tentang kesimpulan dari pokok persoalan yang menjadi topik kajian dalam tesis

ini. Butir kesimpulan berupa hasil kajian terhadap seni hadrah sebagai artikulasi

identitas santri dilihat dari perspektif kajian budaya dengan menggunakan teori

liminitas. Pada bab ini juga disampaikan implikasi dari kesimpulan dan

kekurangan dalam tesis ini serta saran penelitian lebih lanjut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

23

BAB II

KESENIAN DALAM DUNIA SANTRI

Berbicara tentang santri pondok pesantren masih muncul dalam pikiran

banyak orang tentang anak muda usia yang hidup dan tinggal bergerombol di

bilik-bilik sempit di sekitar komplek pondok pesantren. Para santri tersebut setiap

hari belajar dan mengaji, duduk di hadapan kyai dan ustadz dengan penampilan

keseharian yang sederhana. Bahkan penampilan mereka sebagai “orang desa”

dengan pakaian alakadarnya berupa sarung, baju biasa dan pecis. Ciri-ciri lahiriah

ini pada kenyataannya memang masih dijumpai walaupun pondok pesantren

tempat santri belajar tersebut berada di pusat keramaian kota, termasuk di

Yogyakarta.

Bab ini tidak akan mengemukakan tentang citra lahiriah santri seperti

disebutkan di atas, melainkan tentang kegiatan dan pandangan para santri pondok

pesantren di Gunungkidul dalam bidang kesenian. Uraian tentang dunia kesenian

para santri ini dilakukan secara deskriptif-analitis. Uraian ini diharapkan dapat

memberikan perspektif tertentu kepada kegiatan kesenian dengan fokus pada

subjek atau pelaku seni, yaitu santri secara umum. Secara rinci deskipsi ini akan

membahas dunia kesenian santri dalam beberapa sub bab, yaitu masyarakat santri

di Gunungkidul, aneka bentuk kesenian santri, bentuk-bentuk kesenian nonsantri

di mata santri, kreativitas kesenian para santri dan momen-momen pertunjukan

kesenian mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

24

A. Masyarakat Santri di Gunungkidul

Meskipun banyak mendapat kritik, kategorisasi yang dibuat Clifford

Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto untuk mematra golongan masyarakat

setempat ke dalam tiga varian yaitu santri, abangan, dan priyayi, hingga saat ini

tetap popular. Kritik yang disampaikan kepada Geertz sebenarnya adalah soal titik

tolak peristilahan yang tidak beranjak dari satu perspektif kategori sosiologis.

Santri dan abangan adalah kategori sosial berdasarkan aspek penghayatan

keagamaan, sedangkan priyayi adalah kategori sosial dalam stratifikasi struktur

kehidupan masyarakat Jawa.1

Istilah santri dalam kamus bahasa Indonesia berarti siswa di pondok

pesantren.2 Beberapa penulis mencoba memberikan asal-usul dan makna kata

santri A.H. Johns menegaskan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil,

yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah

tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu

buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Hindu. Kata

shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama

atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.3 Dhofier sendiri memberikan

pengertian santri sebagai pelajar pondok pesantren dan membaginya ke dalam dua

1 Buku Clifford Geertz, The Religion of Java, mengenai agama orang Jawa itu

mengandung deskripsi pertama yang pernah dibuat oleh seorang ahli mengenai kedua varian

agama Islam di Jawa. Buku ini banyak mendapat perhatian pada ahli mengenai Indonesia baik

asing maupun dalam negeri sendiri. H.W. Bachtiar telah menulis tinjauan panjang mengenai buku

Geertz yang telah mendominasi literature mengenai religi orang Jawa selama lebih dari dua

dasawarsa. Lihat catatan kaki nomor 1 KUntjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka,

1994, hal. 312 2 EM Zul FAjri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Difa

Publisher, 2000, hal.312 3 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,

Jakarta: LP3ES, 1984, hal. 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

25

kategori, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah murid-murid

yang berasal dari daerah jauh dana menetap dalam pondok pesantren. Santri

kalong adalah murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren,

yang biasanya tidak menetap dalam lingkungan pesantren.4

Pengertian ini mendekati pandangan yang dikemukakan oleh

Kuntjaraningrat.5 Secara umum antropolog ini membagi agama Islam Jawa ke

dalam dua kategori, yaitu Agama Jawi dan Agama Islam Santri. Yang pertama

adalah Agama Islam Jawa yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra

Hindu, Hindu dan Islam. Konsep ini dapat disamakan dengan abangan dalam

istilah Geertz. Sedangkan yang kedua menunjuk pada agama Islam yang puritan,

atau yang mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Menurut Kuntjaraningrat,

apabila orang Jawa ditanya apa agamanya, pada umumnya mereka akan

menjawab Islam. Walaupun demikian, sebagian besar tidak menjalankan rukun

Islam secara serius, semisal sholat lima watau atau sholat Jum’at. Seringkali tidak

terlalu peduli dengan pantangan makan daging babi. Banyak di antara mereka

tidak berkeinginan menunaikan ibadah haji, meskipun mereka juga taat berpuasa

pada bulan Ramadhan.6 Sedangkan varian Agama Islam Santri, yaitu Islam

puritan, walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animism dan

anasir Hindu-Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang

sebenarnya. Kelak upaya mengikis sisa-sisa yang dianggap sinkretis yang masih

ada dalam kelompok Agama Islam Santri ini melahirkan gerakan puritanisme

4 Lihat Ibid, hal. 51-52

5 Kuntjaraningrat, op.cit., hal. 310-312

6 Ibid, hal. 312

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

26

ketat bernama Muhammadiyah.7 Sedangkan gerakan Islam yang masih sedikit

banyak mempertahankan atau tepatnya membiarkan praktek-praktek tradisi

budaya sepanjang tidak menyimpang dari akidah dan syariat Islam, termasuk di

dalamnya tradisi Jawa seperti slametan, kenduren, dan lain-lain, menjadi bagian

dari fenomena yang dekat dengan karakter warga Nahdlatul Ulama.8 Hingga kini

orang-orang muslim yang menjadi bagian dari kedua varian Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah dan beberapa organisasi kemasyarakatan Islam lain inilah yang

dimaksud sebagai Islam santri.

Namun demikian, istilah santri dalam penelitian ini mengacu kepda dua

macam pengertian. Yang pertama adalah mereka yang mempelajari agama Islam

dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam maupun di luar

lingkungan pondok pesantren. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya para

kyai, ulama, mubaligh, guru agama Islam, petani, pedagang dan sebagainya. Para

santri tersebut secara ideologis berafiliasi atau simpati dengan kultur Nahdlatul

Ulama. Para santri yang berafiliasi dengan kultur NU tersebut mempunyai satu

kekhasan tertentu yang terkait dengan bidang kesenian tertentu yang akan menjadi

bagian penelitian ini. Sedangkan para santri di luar Nahdliyyin dibedakan karena

cenderung mengembangkan tradisi dan kesenian yang berbeda.9 Adapun

7 Organisasi keagamaan Islam ini lahir tahun 1912 dipelopori K.H. Ahmad Dahlan di

Yogyakarta 8 Nahdlatul Ulama lahir tahun 1926 di Surabaya sebagai wadah perjuangan para

pemimpin Islam berhaluan tradisional yang dipelopori K.H. Hasyim Asy’ari. Anggaran Dasar

organisasi para ulama yang saat itu sebagian besar anggota/pendukungnya di daerah pedesaan

disusun tahun 1927 yang merumuskan tentang tujuan dan kegiatan organisasi tersebut. Lihat

Dhofier, op.cit., hal. 97-98. 9 Menurut pengamatan penulis, komunitas santri di kalangan Nahdliyyin di Gunungkidul

dan beberapa tempat lain di Jawa cenderung memiliki dan mengembangkan jenis kesenian yang

sama, yang meliputi salawatan dan sejenisnya. Sedangkan komunitas santri bukan Nahdliyyin

khususnya Muhammadiyah, meskipun memiliki sejumlah pondok pesantren namun tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

27

pengertian kedua adalah para pelajar di pondok pesantren NU di Gunungkidul.

Dalam hal yang terakhir ini biasanya masyarakat menyebutnya santri pondok.

Untuk melihat sekilas peta penduduk Gunungkidul akan dikemukakan

beberapa data kependudukan terbaru. Menurut statistik tahun 2003, jumlah

penduduk Gunungkidul tercatat 754.047 jiwa. Mereka terdiri dari laki-laki

320.320 jiwa dan perempuan 384.727 jiwa. Sebagian besar orang dewasa, dengan

rincian anak laki-laki 118.551 jiwa dan perempuan 197.986 jiwa, sedangkan laki-

laki dewasa 343.366 jiwa dan perempuan 269.356 jiwa.10

Secara formal ada lima agama yang dipeluk penduduk Gunungkidul, yaitu

Islam dengan jumlah pemeluk 716.782 orang, dan jumlah masjid 1.365 buah,

mushola 280 buah dan langgar 389 buah. Agama Kristen dengan jumlah pemeluk

14.792 orang dengan jumlah gereja 50 buah, rumah kebaktian 7 buah. Agama

Katolik dengan jumlah pemeluk 16.659 orang, dan jumlah gereja 31 buah serta

kapel 21 buah. Agama Hindu dengan jumlah pemeluk 1.962 orang dengan pura

sejumlah 9 unit. Agama Budha dengan jumlah pemeluk 443 orang dengan vihara

sejumlah 5 buah, dan cetya 1 buah. Sisanya memeluk aliran-aliran kebatinan

setempat.11

Dari data tersebut, pemeluk Islam jelas kelompok mayoritas. Secara garis

besar pemeluk Islam di Gunungkidul dapat dibedakan ke dalam dua golongan

mengembangkan jenis kesenian seperti di komunitas NU. Satu kelompok seni pertunjukkan yang

berkembnag dalam komunitas Muhammadiyah Gunungkidul adalah kelompok Sabilul Huda di

Wonosari yang pada awalnya di bawah pembinaan H.M. Wasito Dinosaroyo (alm) ketua DPRD

Kabupaten Gunungkidul 2000-2004. Dalam beberapa kali penulis menonton pentasnya, kelompok

ini tidak menonjolkan lagu-lagu dengan tema salawat, melainkan lagu-lagu keagamaan (Islam)

secara umum. 10

Gunungkidul dalam Angka 2003, Badan Pusat Statistik Kab. Gunungkidul tahun 2004. 11

Ibid. hal. 94-95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

28

yaitu santri dan abangan, atau dalam istilah Kuntjaraningrat, penganut agama

Islam santri dan penganut agama Jawi. Jumlah masing-masing varian belum dapat

diketahui secara pasti. Para pemuka Islam setempat seringkali mengira-ngira

dengan mengatakan bahwa muslim santri di Gunungkidul sekitar 30 persen saja.

Di beberapa wilayah kecamatan bahkan prosentasenya bisa jadi lebih kecil.

Artinya kaum muslim abangan jauh lebih besar daripada kaum santri.12

Persebaran kaum santri di daerah ini tidak merata. Beberapa kawasan yang

dapat dikatakan sebagai daerah kantong santri terbesar adalah Kecamatan

Wonosari, Playen, Karangmojo, Ponjong. Beberapa kecamatan lainnya terdapat

perkiraan santri yang relatif kecil. Pada keempat kecamatan tersebut ditandai

dengan adanya lembaga pendidikan keagamaan seperti pondon pesantren dan

madrasah. Namun sejumlah pondok pesantren juga dijumpai pada beberapa

kecamatan selain empat kecamatan yang disebutkan tadi. Secara keseluruhan

jumlah lembaga pendidikan santri di Gunungkidul baik yang diselenggarakan oleh

organisasi masyarakat keagamaan (Islam) maupun oleh pemerintah, sebagai

berikut : pondok pesantren 30 buah, Madrasah 108 buah, Diniyah 77 buah, belum

terhitung Taman Kanak-kanak bercirikan Islam dan Taman Pendidikan Al-Qur’an

karena data yang belum tersedia.13

Proses terbentuknya generasi santri di Gunungkidul berlangsung melalui

12

Wawancara dengan beberapa orang tokoh agama seperti H.A.Tsamin Fauzi,

H.M.Yusuf, dan H.Bardan Usman. Seorang pejabat Departemen Agama Kantor Kabupaten

GUnungkidul Drs, H. Masdjuri, M.Si. bahkan memperkirakan bahwa muslim santri di

Gunungkidul berkisar 20% saja. Wawancara tanggal 6 Mei 2005. 13

Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul per-Mei tahun 2005.

Organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki lembaga pendidikan cuup banyak di

Gunungkidul adalah NU dan Muhammadiyah. Ada juga yang didirikan oleh yayasan atau pondok

pesantren yang tidak berafiliasi dengan kedua ormas tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

29

lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut, terutama pondok pesantren.

Lembaga ini memang tempat untuk pembelajaran agama Islam. Pondok pesantren

inilah basis utama pendidikan santri. Beberapa kyai dan tokoh agama terkemuka

di Indonesia termasuk di Gunungkidul adalah santri yang pernah belajar di

pondok pesantren. Sejumlah kyai panutan adalah para khuffadh, yang di samping

ulim adalah lafal kitab suci Al Qur’an. Di antara mereka adalah para lulusan

pondok pesantren di luar Gunungkidul bahkan ada yang lulusan luar negeri.14

Dalam lima tahun terakhir ini jumlah pondok pesantren terus bertambah seiring

dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat muslim setempat untuk

membangun sumber daya manusia berbasis pesantren.

Awal masuk dan tersebarnya Islam di Gunungkidul tidak diketahui secara

pasti. Diperkirakan Islam masuk bersamaan dengan di daerah lain di Jawa

khususnya di Yogyakarta. Menurut para kyai setempat Islam bersemi di daerah ini

secara efektif melalui pengiriman santri ke pusat-pusat pendidikan Islam (pondok

pesantren) di luar Gunungkidul. Mereka juga berkeyakinan bahwa pada awalnya

Islam tersebar di daerah ini oleh para walisongo. Pada permulaan abad ke-20, para

santri yang pulang belajar dari pondok pesantren di luar Gunungkidul mulai

mengajarkan Islam kepada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini

misalnya terjadi di Gubukrubuh dan Getas di Kecamatan Playen.

Di dua dusun ini diperkirakan Islam masuk secara efektif sekitar tahun

1920-an. Para santri yang baru pulang belajar dari pondok di luar Gunungkidul

saat itu mengajarkan agama Islam kepada warga di lingkungan tempat tinggal

14

Wawancara tanggal 20 Februari 2005 dengan Drs. H. Kharits Masduki, L.C. Kyai ini

adalah pendiri, pimpinan dan pengasuh pondok pesantren Darul Qur’an wal Irsyad, Ledoksari,

Kepek, Wonosari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

30

mereka. Meskipun demikian mereka belum dapat mendirikan lembaga pendidikan

Islam baik berupa madrasah maupun pondok pesantren. Pondok pesantren

pertama di Getas adalah pondok pesantren Al Hikmah, didirikan oleh K.H. Yusuf

Masyhuri, pada tahun 1978.15

Sedangkan para penyebar Islam di Gubukrubuh dan

Getas adalah para santri yang belajar agama Islam di pondok pesantren

Wonokromo, Pleret Bantul, dan Kotagede, Yogyakarta.16

Dua orang saudara K.H.

Yusuf Masyhuri bermukim di Wonosari, masing-masing mendirikan sebuah

pondok pesantren bernama Fajar Sa’adah dan Sabilunnajah. Ponspes Al Hikmah

sendiri kini memiliki santri sebanyak 200 orang putra putri. Di komplek Al

Hikmah terdapat 3 madrasah dan 1 sekolah Menengah Kejuruan.17

B. Ragam Kesenian Santri di Gunungkidul

Daerah Gunungkidul merupakan tempat subur bagi tumbuhnya beraneka

jenis kesenian, khususnya kesenian tradisional. Seperti halnya daerah lain di

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, keberadaan aneka kesenian tradisional di

Gunungkidul relatif masih bertahan hingga saat ini.

Berdasarkan catatan resmi pemerintah setempat kesenian dibagi menjadi

15

Data yang ada di Kantor Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul menunjukkan

bahwa pondok-pondok pesantren di Gunungkidul lahir dalam kurun waktu antara tahun 1978

sampai 2004 dan pondok pesantren Al Hikmah adalah yang tertua (1978). Menurut K.H. Yusuf

Masyhuri, sebelum tahun-tahun tersebut memang belum ada pondok pesantren. Para tokoh

masyarakat Islam yang ada di Gunungkidul adalah alumni dari berbagai pondok pesantren di luar

daerah Gunungkidul. Ketika mereka pulang ke daerahnya para alumni ini mengajarkan agama

Islam kepada warga di lingkungan masing-masing tanpa mendirikan institusi pendidikan seperti

pondok pesantren. Wawancara dengan K.H. Yusuf Masyhuri tanggal 16 Oktober 2003. 16

Di antaranya adalah K. Abu Amar, K.H. Masyhuri, dan K.M. Badawi. Menurut

Sumpeno mereka adalah pelaku seni rodat pada masa-masa awal dakwah Islam di Getas, Playen.

Lihat Sumpeno S.M., Mengenal Sholawatan Rodad Syubbanul Muslimin, naskah stensilan tidak

dipublikasikan, tanpa tahun, hal. 3. 17

Sumber data : Pondok Pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen, Gunungkidul

per Mei 2005.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

31

empat macam, yaiatu seni teater, seni tari, seni rupa dan seni musik. Data terakhir

menunjukkan bahwa seni tari terdiri atas 4 topeng 1 buah, reog 148 buah, jathilan

42 buah, doger 25 buah, tayub 4 buah, roda 6 buah, badut 1 buah, dan jluntur 1

buah. Sedangkan seni musik terdiri atas karawitan 419 buah, keroncong 24 buah,

angklung 4 buah, rebana 205 buah, kulintang 7 buah, band 18 buah, siteran 104

buah, campursari 61 buah, gejok lesung 43 buah, rinding, 2 buah, gambang 1

buah, mocopat 51 buah, santi suaran 6 buah, samroh 33 buah, dan maranggono

267 orang.18

Dari data tersebut ada tiga jenis kesenian yang dapat dikategorikan

bernuansa keislaman, yaitu rodat, rebana, dan samroh. Dalam jajaran seni teater

hanya mencatata varian rodat sebanyak 6 kelompok. Keenam kelompok tersebut

terdapat di 2 kecamatan yaitu Playen dan Karangmojo. Sementara itu pada

kelompok seni musik tercatata jenis rebana sebanyak 205 kelompok. Dari

keseluruhan data seni musik, angka ini menempati urutan nomor dua setelah

karawitan. Semuanya tersebar di beberapa lokasi kecamatan di Gunungkidul.

Sedangkan untuk kelompok samroh tercatat sebanyak 33 buah.

Berikut ini paparan deskriptif beberapa jenis kegaitan yang dikembangkan

kaum santri di Gunungkidul. Uraian ini berdasarkan data lapangan terutama jenis

kesenian yang masih hidup di kalangan santri dan pondok pesantren. Namun

demikian perlu dikemukakan mengenai komunitas santri yang menjadi pendukung

kesenian mereka. Dipandang dari lokalitas pendukungnya kesenian bernuansa

keislaman ini dibagi ke dalam dua bagian. Kelompok pendukung pertama adalah

18

Gunungkidul dalam Angka 2003.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

32

para santri yang bertempat tinggal di sekitar pondok pesantren. Termasuk di

dalamnya para santri aktif, ustadz dan ustadzah, pengasuh pondok pesantren, dan

warga sekitar yang turut dalam kegiatan pondok pesantren. Kelompok pendukung

kedua adalah para santri di luar pondok pesantren. Di dalamnya terdiri atas para

remaja, guru agama, aktivis masjid, kyai, da’i, mubaligh, dan sebagainya yang

secara fisik berdomisili di luar lingkungan pondok pesantren.

Pada dasarnya kedua kelompok santri pendukung kesenian bernuansa

keislaman ini mengembangkan syair-syair salawat sebagai materi lagu pokok.19

Itulah sebabnya hamper keseluruhan seni musik maupun seni teater yang

berkembang itu disebut sebagai seni salawatan.20

Fenomena salawat yang

diekspresikan dalam wajah seni ini pun tidak jarang mendapat reaksi dan

tantangan keras dari sebagian masyarakat muslim.21

Berdasarkan pengamatan pada kedua komunitas pendukung di atas,

kesenian yang mereka kembangkan terbagi dalam tiga kelompok, yaitu rodat,

salawatan, dan manakiban. Pertama, kesenian rodat mreupakan salah satu jenis

seni pertunjukkan dengan memadukan unsur salawat, tarian, dan terbangan.

Sebenarnya rodat ini juga melantunkan syair-syair shalawat, namun lebih atraktif

19

Berbagai teks shalawat yang menjadi sumber syair-syair lagu salawatan antara lain

Kumpulan Qosidah Terpopuler Abad ini, disusun H. Abdullah Zaini D. Asnawi, diterbitkan Gema

Suara Pesantren Purwodadi, 2004, dan Majmu’ah Maulid wa Ad’iyyah, tanpa pengarang,

Semarang, Toha Putra, tanpa tahun. 20

Para peneliti seperti Umar Kayam dkk menyebutkan seni salawtan sebagai jenis seni

tersendiri tetapi menggolongkannya ke dalam kelompok seni teater. Lihat Umar Kayam

“Pertunjukkan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.),

Ketika Orang Jawa Nyeni, Yogyakarta : Galang Press, 2000, hal. 339. 21

Para muballigh Muhammadiyah memandang kesenian santri yang banyak

dikembangkan masyarakat lokal di pesisir utara Jawa Timur seperti syi’iran dan salawatan sebagai

peristiwa bid’ah dan khurofat dengan beralasan bahwa apa yang dikembangkan tersebut tidak

pernah dilakukan di masa Nabi Muhammad, dan bahkan mengandung contradiction in terminis.

Lihat Baidhowi dkk (Ed.), Puruifikasi & Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa

Muhammadiyah dan Seni Lokal, Surakarta : PSB-PS-UMS, 2003, hal. 130.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

33

sehingga unsur tariannya tampak sangat menonjol. Kesenian rodat jarang sekali

tampil dalam pertunjukan, kecuali pada saat-saat tertentu seperti memenuhi

undangan perayaan sekaten.22

Rodat, yang dalam beberapa tulisan ditulis rodad,23

merupakan bentuk

kesenian kelompok salawatan yang sudah lama tumbuh di masyarakat muslim di

Gunungkidul dan sekarang tidak banyak jumlahnya. Berdasarkan data resmi

kelompok kesenian ini tercatat sebanyak 6 buah. Fungsi dari pertunjukan adalah

sebagai tontonan hiburan bagi masyarakat umum, dimana penontonnya tidak

dipungut bayaran.

Jumlah pendukung pementasan kesenian ini mencapai 30 orang, yang

terdiri dari 10 orang penari dan 10 orang pelantun syair salawat dan lainnya

pemain instrumen berupa beberapa buah alat perkusi yang biasa disebut

terbangan. Syair-syair salawat yang dilantunkan berpedoman pada kitab Al

Barzanji. Para pemainnya menggunakan kostum berupa peci, baju dan celana

sergam. Mereka selalu membawa kipas dari kertas atau saputangan sebagai

perlengkapan tangan. Penari berada dalam posisi duduk bersimpuh dan jengkeng.

Hanya pada waktu srokal24

saja mereka berdiri dengan posisi badan tegak dan

22

Pada perayaan sekaten tahun 2005 ini kelompok kesenian rodat Syubbanul Muslimin,

Getas, Playen mendapat undangan pentas di Yogyakarta. Pada saat itu Kelompok kesenian ini

menampilkan personil sebanyak 30 orang dengan menampilkan 5 buah lagu. Wawancara tanggal 9

Januari 2005 dengan Sumpeno, S.M., anggota pemain rodat tersebut. 23

Kata rodat berasal dari kata rodda yang berarti berulang-ulang. Dalam seni rodat

memang terjadi gerak tarian yang dilakukan berulang-ulang. Wawancara tanggal 16 Oktober 2003

dengan K.H.Yusuf, mantan pemain rodat di Gubukrubuh, Getas, Playen. 24

Srokal adalah istilah untuk menyebut saat dimana dibaca bait-bait syair yang dimulai

dengan kata Arab asyrokal badru alaina …(telah terbit bulan purnama [Nabi Muhammad] di atas

kami dan seterusnya yang diambil dari bait salawat dalam kitab Al Barzanji. Pada saat membaca

syair tersebut maka semua yang hadir bangkit berdiri hingga akhir pembacaan syair salawat

tersebut. Di kalangan santri, saat berdiri itu disebut dengan istilah berbahasa Arab, mahallul

qiyam, artinya posisi berdiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

34

kaki tertutup. Pendapat lain mengatakan bahwa gerak lebih dipusatkan pda tangan

dan kepala, yang memang memiliki sentuhan spiritual dan kadang-kadang

dibarengi oleh liukan-liukan badan.

Di Getas, Kecamatan Playen, kesenian rodat diperkirakan masuk bersama-

sama dengan masuknya agama Islam di desa tersebut. Hal ini terjadi kurang lebih

tahun 1920-an dan mengalami kesempurnaan sebagai rodat sekitar tahun 1950.

Kesenian rodat ini diprakarsai oleh para kyai pondok pesantren dari Wonokromo,

Bantul dan dikembangkan oleh para santri dan dikembangkan oleh para santri asal

Getas yang pulang belajar dari pondok tersebut.25

Kedua, dalam kelompok salawatan terdapat beberapa varianhadrah,

berzanjen, diba’an, samroh/kasidah, dan salawat jowo. Masing-masing memiliki

ciri-ciri yang dapat membedakan satu dengan lainnya. Hadrah, samroh/kasidah

dan salawat jawa adalah jenis seni pertunjukan yang memadukan antara bacaan

salawat yang dilagukan dengan diiringi alat musik berupa rebana atau terbangan.

Bisa juga dengan ditambah alat kesenian lainnya seperti keyboard, gitar,

biola, dan sebagainya. Pada hadrah, syair salawat yang dinyanyikan menggunakan

bahasa Arab yang pendukungnya kalangan muda, putra maupun putri. Sedangkan

pada samroh disamping menyanyikan syair salawat berbahasa Arab juga

menggunakan syair lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Jawa. Pendukung samroh

kebanyakan kaum muda putri dengan peralatan berupa rebana. Sementara

25

Sumpeno S.M., op.cit., hal. 2 Prakarsa kayai dalam pendirian kelompok kesenian

seperti rodat ini menunjukkan bahwa sesepuh pondok pesantren, yaitu para kyai, tidak hanya

merestui keberadaan aktivitas seni di kalangan santri pondok pesantren atau di kalangan

masyarakat muslim, melain justeru langsung mewujudkannya. Bukti ini memperkuat pandangan

bahwa para kayi juga menempuh jalur kesenian di dalam mendidik para santrinya, terutama dalam

bentuk pelantunan syair-syair salawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

35

kelompok seni salawat jowo, kebanyakan syair menggunakan bahasa Jawa. Jika

kelompok terakhir ini menyanyikan tembang shalawat berbahasa Arab maka

sangat jelas dalam pengucapan syair tersebut tidak dipengaruhi dialek bahasa

Jawa. Para pendukungnya kebanyakan orang tua, putra dan putri. Peralatan musik

salawat jowo yang paling sederhana menggunakan terbangan, sedangkan untuk

kelompok yang komplit di samping menggunakan terbangan, penggunaan

gamelan lebih menonjol, bahkan ditambah dengan alat musik modern seperti

keyboard dan drum.

Pembacaan kitab Al Barzanji, yang oleh komunitas santri disebut

berzanjen merupakan forum baca bersama syair-syair salawat berbahasa Arab

yang mengacu pada kitab Al Barzanji.26

Para pendukung kegiatan ini tidak

terbatas umur tetapi kebanyakan dilakukan oleh kaum santri putra. Pada berzanjen

tidak diiringi musik rebana atau alat musik lainnya, sehingga lebih bernuansa

sacral, dalam arti pembacaan shalawat tersebut dilakukan secara khusus dalam

suasana khidmat. Teks Al Barzanji terdiri dari dua bentuk, prosa dan syair

bersajak. Berzanjen dipimpin seseorang yang biasanya membaca sendirian

salawat yang berupa prosa, sedangkan pembacaan salawat bersajak dilakukan

bersama. Salawat dengan teks bersajak dibaca dengan berbagai lagu variasi yang

sudah biasa dilagukan. Beberapa dari syair salawat Al Barzanji telah menjadi syair

lagu-lagu pada seni pertunjukan seperti hadrah, samroh, dan rodat.

Sementara Diba’an adalah jenis forum pembacaan salawat yang mengacu

26

Penulis salawat Al Barzanji adalah Abu Ja’far Al Madani Al Barzanji, seorang khotib

Masjid Nabawi di kota Madinah Arab Saudi (wafat 1763 M/1177 H). Lihat Ahmad Anas,

Menguak Pengalaman Ssufistik : Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

36

pada teks salawat dalam kitab Ad-Diba’i. Teks salawat dalam kitab ini berupa

syair bersajak yang dibaca dengan lagu tertentu. Pendukungnya para santri muda,

putra-putri. Kadang-kadang juga dihadiri oleh para santri senior dan orang tua.

Diba’an tidak selalu diiringi alat musik rebana atau terbangan. Jenis salawatan ini

bukan untuk dipertontonkan, melainkan diadakan di rumah-rumah atau di masjid

dan mushola. Diba’an biasanya dilakukan pada malam hari sebagai lanjutan dari

kegiatan Yasinan.

Bentuk seni yang ketiga adalah Manakiban, yaitu jenis sastra lisan berupa

pembacaan hikayat atau kisah-kisah para nabi, sahabat nabi, wali-wali dan

sebagainya yang diperdengarkan kepada kelompok audiens tertentu. Pembacaan

Manakib dilakukan oleh seoran gkyai di hadapan para jama’ah. Kitab Manakib

merupakan sebuah buku yang ditulis dalam bahasa Arab yang saat pembacaan

langsung diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Di Gunungkidul, Manakiban

termasuk kegiatan yang jarang dilakukan oleh kaum santri.27

C. Bentuk-bentuk Kesenian Santri di Antara Kesenian Kontemporer

Sebenarnya pemisahan antara kesenian santri dan non santri mengacu pada

kecenderungan kedua varian tersebut dalam mengembangkan kesenian yang lebih

khas. Dalam banyak kasus, beberapa jenis kesenian santri dimainkan juga oleh

kelompok kesenian non santri. Namun sebaliknya, pelaku kesenian santri jarang

memainkan lagu-lagu yang sering dilagukan non santri. Dalam hal pertama, dapat

ditemukan pada beberapa kelompok musik campursari yang menampilkan lagu-

27

Wawancara dengan Drs. H. Bardan Usman, M.Pd.I, tanggal 10 Januari 2005. Pada saat

wawancara, kyai ini mengatakan dapat melakukan Manakiban asal ada warga pengajian yang

menghendaki.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

37

lagu salawatan sebagai variasi, atau atas permintaan penanggap. Lagu salawatan

yang sering ditampilkan adalah Salawat Badar, sebuah lagu yang sangat popular

di kalangan dunia santri pondok pesantren.

Ada beberapa kecenderungan perbedaan antara santri dan non santri. Pada

kesenian kaum santri lagu-lagunya bernuansa keagamaan (religious), kebanyakan

berbahasa Arab, pemain atau pelaku kesenian lebih bermotivasi ibadah daripada

sebagai pekerjaan tetap. Mereka melakukannya lebih sebagai kegiatan sampingan

dan penyalur hobi. Busana yang dipakai busana muslim, dan peralatan yang

dipakai sederhana meskipun juga beberapa kelompok menambahkan dengan

penggunaan alat-alat musik modern.

Sedangkan kesenian nonsantri, lagu-lagunya bukan bernuansa keagamaan

meskipun seringkali menampilkan lagu-lagu keagamaan, tidak menggunakan

bahasa atau syair Arab, melainkan bahasa non-Arab, entah bahasa Jawa atau

Indonesia. Banyak pelaku seni nonsantri adalah pemain profesional, bersifat

komersil, busana yang dipakai bukan busana muslim, melainkan busana adat

Jawa. Peralatan yang dipakai disamping menggunakan perangkat gamelan juga

dilengkapi dengan peralatan musik modern lainnya semisal keyboard, gitar, drum

dan sebagainya.28

Para santri memiliki padangan yang khas tentang kesenian nonsantri.

Sebagian besar kaum santri berpandangan bahwa beberapa kesenian daerah di

Gunungkidul seperti jathilan, doger, reog dan campursari harus dipertahankan dan

dilestarikan. Kesenian tersebut merupakan hiburan dan dibutuhkan oleh

28

Wawancara tanggal 12 Januari 2005 dengan Drs. H. Ahmad Supono, seorang santri

senior pelaku dan Pembina kelompok seni Salawat Jowo Prajurit Mataram Narendra Pranana,

Kepek, Wonosari, Gunungkidul.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

38

masyarakat. Dalam bebagai peristiwa lokal seperti perayaan sedekah bumi atau

biasa disebut rasulan, penampilan reog, jathilan, dan wayangan dianggap suatu

keharusan. Dalam berbagai hajatan keluarga, menghadirkan hiburan musik

campursari sering menjadi kebanggaan tersendiri. Begitu juga hiburan lain

semimal kethoprak dan seni karawitan.

Meskipun para santri berpandangan bahwa berbagai jenis kesenian daerah

harus dilestarikan, namun pada kenyataannya mereka kurang memberikan

kesempatan kepada kelompok seni tertentu untuk ditampilkan. Mereka memang

senang mendengarkan hiburan semisal campursari, tetapi para keluarga santri

jarang yang mengundang kelompok kesenian ini pada acara-acara hajatan

keluarga seperti resepsi pernikahan. Padahal secara umum pada setiap hajatan

perkawinan para keluarga yang mampu menanggap musik campursari atau

kethoprak secara live. Masyarakat santri merasa kurang mantap mengundang

hiburan campursari dengan alasan stereotipe yang agak negatif. Di antara mereka

ada yang berpandangan bahwa hiburan campursari, teurtama yang diadakan pada

malam hari, seringkali dibarengi dengan caran minum-minuman keras dan

terkadang menimbulkan keributan. Dalam padangan mereka minuman keras

adalah sumber keonaran dan jelas dilarang agama. “Minumas keras haram dalam

Islam”.29

Dalam acara hajatan keluarga, pada umumnya hiburan dapat berupa

pertunjukan kelompok seni langsung, maupun dalam bentuk pemutaran kaset atau

29

Wawancara tanggal 8 Januari 2005 dengan Ali Maksum dan Ali Ikhsan, keduanya

santri senior di pondok Pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen, Gunungkidul. Hal yang

sama juga diungkapkan oleh Ahmad Fauzi seorang santri pondok pesantren Darul Qur’an wal

Irsyad, Ledoksari, Wonosari, Gunungkidul.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

39

compact disc melalui tape recorder atau pengeras suara. Meskipun banyak

keluarga yang punya hajat tertentu tidak mengundang grup kesenian campursari,

tetapi mereka yang kurang mampu umumnya memutar kaset atau compact disc

dengan load speaker.

Tidak seperti pada masyarakat umumnya di Gunungkidul, dimana pada

saat upacara prosesi adat perkawinan diperdengarkan suara gamelan, masyarakat

santri di Getas justru menaggantinya dengan tabuhan musik rebana dengan

nyanyian salawat. Hal ini berlaku dalam bentuk tampilan iringan langsung oleh

grup rebana semisal hadrah ataupun dengan pemutaran kaset. Mereka memandang

iringan musik salawatan sebagai symbol keislaman dan menginginkan hajatannya

sebagai peristiwa budaya sekaligus religius. Pandangan ini berarti bahwa pemilik

hajatan tersebut hendak menunjukkan keislamannya melalui iringan musik

religius kepada para tamu yang menyaksikan, termasuk kepada keluarga besan.

Bentuk lain citra keislaman dalam acara hajatan perkawinan di Getas

diwujudkan dalam kegiatan semacam pengajian. Ceramah agama ini termasuk

bagian dari rangkaian dalam peristiwa resepsi perkawinan. Penceramah di undang

secara khusus oleh pemilik hajatan dengan menampilkan da’i kondang setempat.

Dalam istilah lain, ceramah pengajian ini disebut juga dalam bahasa Jawa ular-

ular atau sabdotomo. Tema ceramah adalah sekitar membina rumah tangga dan

keluarga harmonis yang secara khusus diperuntukkan sebagai nasihat perkawinan

bagi pengantin.

D. Kreativitas: Dari Festival hingga Konversi

Sebagai sebuah kelompok seni pertunjukan, seperti halnya berbagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

40

kelompok seni lainnya di Gunungkidul, seni bernafaskan keislaman

memanfaatkan berbagai kesempatan untuk menunjukkan diri di tengah kelompok-

kelompok kesenian yang ada. Tentu menjadi kesenangan tersendiri apabila

kelompok seni tertentu mendapat apresiasi dari warga masyarakat. Bentuk

apresiasi itu dapat berupa undangan manggung untuk hajatan keluarga atau

perkumpulan, kegiatan festival, atau pada peristiwa khusus seperti hari besar

Islam dan semacamnya sampai acara yang berbau politik.30

Juga pada peristiwa

hajatan dinas instansi pemerintah seperti kegiatan karnaval yang secara rutin

diselenggarakan di Gunungkidul. Dalam berbagai peristiwa ini kelompok

kesenian termasuk milik para santri ikut ambil bagian kendati mereka harus

menanggung sendiri biaya yang diperlukan.

Masyarakat santri sendiri memiliki waktu tertentu untuk menampilkan seni

khas mereka. Selain pada momentum di atas, aktivitas berseni di kalangan santri

telah menjadi kegiatan rutin yang bersifat mingguan. Bagi para santri pondok

pesantren Al Hikmah Gubukrubuh, misalnya salawatan merupakan kegiatan yang

hampir tiap minggu dilakukan. Jenis salawatan yang diperdengarkan adalah

berzanjen, diba’an, dan juga hadrah. Salawatan seringkali merupakan kegiatan

yang dilakukan setelah yasinan pada malam hari dan pada umumnya diikuti oleh

para remaja putra-putri. Kegiatan seni yang bersifat harian pun juga ada. Hal ini

dapat kita temukan pada masjid-masjid tertentu dimana menjelang waktu-waktu

sholat lima waktu, jamaah atau petugas masjid melantunkan puji-pujian yang

30

Kelompok Salawat Jowo, Prajurit Narendra Pranama, Trimulyo, Kepek, Wonosari,

pernah diundang oleh salah satu pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati periode 2005-2009,

untuk mengiringi saat calon tersebut hendak mendaftarkan diri di kantor Komisi Pemilihan Umum

Daerah Kabupaten Gunungkidul, pada tanggal 6 April 2005. Wawancara tanggal 12 Januari 2005

dengan Ahmad Supono, pemimpin kelompok seni Salawat Jowo tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

41

mengandung doa, salawatan dan dakwah.31

Di samping melakukan berbagai aktivitas kesenian di lingkungan mereka

atau atas undangan tertentu, para santri di Gunungkidul memiliki agenda khusus

dalam mengembangkan kesenian mereka. Ternyata kelompok-kelompok kesenian

para santri tidak hanya aktif mengikuti kegiatan festival yang diadakan di luar

Gunungkidul. Mereka juga telah membuat agenda dua tahunan berupa festival

salawat tingkat kabupaten Gunungkidul. Pada tahun 2005 festival salawat

merupakan festival ketiga sejak diadakan dua kali sebelumnya, yaitu tahun 2001

dan 2003 yang lalu.

Untuk mengetahui gambaran dan semangat kolektif kaum santri

mengembangkan kesenian mereka, berikut ini dikemukakan deskripsi kegiatan

festival dua tahunan tersebut. Festival salawat yang ketiga kalinya ini

dilaksanakan selama lima malam dari tanggal 4 sampai dengan 8 Mei 2005,

bertempat di kompleks masjid Al Hidayah, Kepek, Wonosari. Peserta festival

sebanyak 33 kelompok kesenian se-Kabupaten Gunungkidul. Lomba salawatan

dibagi dalam tiga kategori, yaitu hadrah klasik, hadrah modern dan salawat Jowo.

Klasifikasi tersebut tampaknya didasarkan atas instrument dasar kesenian. Untuk

kategori hadrah klasik dimaksudkan sebagai kelompok kesenian yang

instrumennya menggunakan jenis perkusi atau terbangan. Kelompok hadrah

modern mengacu pada penggunaan alat-alat musik modern seperti gitar, keyboard,

biola, drum dan sebagainya di samping menggunakan alat-alat instrumen

31

Bacaan shalawat doa, pujian dan sebagainya, masih dapat didengar di beberapa masjid

seperti masjid Al Huda, Bansari, Kepek, Wonosari, Masjid Darul Qur’an wal Irsyad di Ledoksari,

Kepek, Wonosari dan sejumlah masjid di Getas, Playen. Pada umumnya bacaan-bacaan tersebut

masih diperdengarkan di masjid-masjid yang jamaahnya komunitas Nahdliyyin.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

42

tradisional. Materi lagu yang dilombakan tidak jauh dari lagu-lagu pada festival-

festival sebelumnya, yaitu lagu-lagu favorit yang selama ini diperdengarkan oleh

kelompok-kelompok kesenian santri. Para peserta festival diharuskan

menyanyikan lagu wajib dan lagu pilihan yang telah ditentukan.32

Para yuri diambilkan dari para santri senior yang dipandang ahli dan

pengalaman dalam bermain musik seni salawatan. Sesuai dengan bidang yang

dinilai, tim yuri terdiri atas 4 orang. Di antara mereka adalah para santri senior

yang sehari-hari adalah Pegawai Negeri Sipil di Gunungkidul. Sedangkan

kejuaraan ditetapkan untuk masing-masing ketiga kategori tersebut : juara satu,

dua, dan tiga ditambah dua juara harapan. Masing-masing juara mendapat hadiah

berupa piala dan uang pembinaan.33

Penyelenggaraan kegiatan festival terakhir ini menelan dana yang cukup

besar. Untuk itu panitia berusaha mencari dana dari berbagai pihak seperti

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, para donator dari kalangan santri,

pengusaha, perorangan, hingga tokoh partai politik. Ternyata untuk

penyelenggaraan festival salawat tahun ini dana terbesar bersumber dari seseorang

yang saat itu menjadi calon pejabat Bupati dari salah satu partai politik di

Gunungkidul.

Bentuk lain dari kreatifitas santri dalam dunia kesehatan adalah mencipta

32

Pada festival tahun ketiga tanggal 4 sampai dengan 8 Mei 2005 ini masing-masing regu

tampil dalam waktu 20 menit. Lagu wajib untuk semua jenis kategori yang dilombakan adalah

Salawat Badar, sedangkan lagu pilihan bebas. 33

Pada tahun ini hadiah untuk kejuaraan berupa tropi Bupati Gunungkidul. Dari

wawancara dengan sejumlah peserta lomba salawatan, terkesan mereka tidak berambisi untuk

memperoleh juara. Mereka sudah merasa senang ikut berpartisipasi dalam festival, yang di mata

mereka sebagai ajang unjuk kebolehan dalam seni salawat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

43

Lagu. Seperti yang akan dibahas dalam bab berikutnya, lagu merupakan bagian

penting dari penampilan kesenian santri. Pada umumnya para santri mengambil

syair-syair salawat sebagai materi lagu. Syair-syair salawat yang bersumber dari

karya para pujangga Arab terdahulu itu kini dikoleksi dalam sebuah kitab berjudul

Majmu’ah Mawalid wa Ad’iyyah, ditulis dalam bahasa Arab.34

Bentuk lain dari kreatifitas santri dalam dunia kesenian adalah mencipta

lagu. Seperti yang akan dibahas dalam bab berikutnya, lagu merupakan bagian-

bagian penting dari penampilan kesenian santri. Pada umumnya para santri

mengambil syair-syair salawat sebagai materi lagu. Syair-syair salawat yang

bersumber dari karya para pujangga Arab terdahulu itu kini dikoleksi dalam

sebuah kitab berjudul Majmu’ah Mawalid wa Ad’iyyah, ditulis dalam bahasa

Arab.35

Di Gunungkidul, sebagaimana halnya di daerah lain di Jawa, syair-syair

salawat selain berbahasa Arab, banyak didapati berbahasa Jawa. Oleh karena itu

lagu-lagu atau syair pujian kita dapati di daerah ini hamper semuanya

menggunakan bahasa Arab dan Jawa.

Sebagian santri senior dan kyai yang terlibat dalam aktivitas kesenian di

34

Wawancara tanggal 12 Januari 2005 dengan Drs. H. Ahmad Supono, ketua panitia

penyelenggara festival salawatan tahun 2005. Dia juga Pembina kelompok seni salawatan Jowo,

Prajurit Narendra Pratama, Kepek, Wonosari. Peristiwa ini menunjukkan bahwa seni keagamaan

tidak hanya untuk peristiwa keagamaan saja tetapi dapat dilibatkan dalam kegiatan kegiatan

nonkeagamaan seperti kegiatan bernuansa politik. Dalam kasus ini sang kandidat memanfaatkan

kelompok kesenian keagamaan antara lain untuk membangun citra kedekatannya dengan para

pelaku seni termasuk komunitas dari mana kelompok seni tersebut muncul. 35

Buku ini berisi kumpulan syair-syair yang berisi sanjungan terhadap Nabi Muhammad

SAW, serta keluarga, dan para sahabat Nabi. Syair-syair sanjungan ini tertulis dalam bentuk

Nadhom, bait sajak, dan berupa Natsar, karangan prosa. Para penulisnya adalah Imam Jalil

Abdurrahman Al Diba’i berjudul Maulidu Al Diba’i, Al Barzanji berjudul Maulid Al Barzanji

Natsran wa Nadhman, Syekh Muhammad Al ‘Azab berjudul Maulid Al ‘Azab, dan ada yang

berjudul Syaroful Anam, tanpa nama pengarang. Kumpulan kitab ini juga membuat beberapa

macam doa. Kitab yang diterbitkan di Semarang ini tidak mencamtumka sumber pengambilan

teks-teks salawat di dalamnya. Lebih lanjut lihat Majmu’ah Maulid wa Adi’iyyah, tanpa

pengarang, Semarang : Toha Putra, tanpa tahun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

44

Gunungkidul merasa kurang puas dengan hanya menyanyikan lagu-lagu dengan

syair berbahasa Arab. Oleh karena itu di antara mereka ada yang berusaha

mengubah lagu untuk dinyanyikan kelompok kesenian mereka. Satu fenomena

penting dari kreativitas para seniman santri adalah memodifikasi atau membuat

syair/lirik lagu secara baru dan irama lagu-lagu yang sudah popular. Hal itu

berlaku baik pada lagu-lagu berbahasa Indonesia maupun lagu-lagu campursari

berbahasa Jawa. H. Bardan Usman adalah seorang santri senior yang banyak

bergelut dalam menggarap konversi lagu-lagu berbahasa Jawa. Disebut konversi

karena syair yang dibuat belakangan terkadang amat kontraditif dengan makna

dan isi lagu yang asli. Sejumlah syair lagu yang di mata kebanyakan orang,

apalagi para santri, sangat berbau porno, dengan cerdik diubahnya menjadi syair

religius.36

Gejala ini dilakukan tidak lepas dari keinginan para santri tersebut

dengan memanfaatkan popularitas lagu untuk kepentingan tertentu, misalnya

dakwah agama. Dengan demikian kreativitas ini dilakukan sebagai wujud

kepedulian mreeka untuk mengimbangi sekaligus memanfaatkan kesenian

nonsantri menjadi konsumsi yang layak bagi komunitas santri. Ini sebagai bentuk

persaingan canggih antara dua wujud ekspresi seni sehingga dapat diterima oleh

masyarakat pendukungnya. Sebuah pertarungan wacana antara dua arus, kaum

santri dan nonsantri dalam kemasan seni. Nada dan iramanya sama tetapi dengan

konversi tersebut isi dan pesan lagu menjadi sangat berbeda. Beberapa lagu

campursari popular yang kemudian dimodifikasi syairnya sehingga bernuansa

religius adalah Cucak Rowo, Rondo Kempling, Mendem Wedoan, Perahu Layar,

36

Fenonema ini muncul sebagai upaya santri untuk menjadikan tontonan menjadi

tuntunan. Sebagai contoh yang paling menonjol adalah lagu Cucak Rowo, yang syairnya dianggap

porno kemudian diubah sehingga tidak porno lagi bahkan bersifat ajakan dakwah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

45

dan lain-lain.37

E. Momen Kesenian

Yang disebut dengan momen kesenian adalah peristiwa-peristiwa sosial

dan keagamaan yang menyediakan atau menjadi ajang bagi para kelompok

kesenian untuk mengartikulasikan rasa kebersenian mereka. Paparan ini akan

memberikan pemahaman apakah kesenian para santri hanya berkaitan erat dengan

peristiwa keagamaan saja, atau di luar acara yang bernuansa keagamaan. Dengan

kata lain sejauh manakah kesenian santri menjadi bagian dari keberagaman

mereka serta sejauh mana pula kesenian mereka menjadi bagian dari kreativitas

seni yang dinikmati oleh masyarakat luas?

Secara umum kesenian yang hadir di tengah-tengah masyarakat baik

sebagai hiburan atau ritual berkaitan erat dengan kondisi sosial masyarakat.

Beberapa momen yang menjadi arena bagi pementasan kesenian di Gunungkidul

antara lain peristiwa keagamaan, upacara tradisi masyarakat, peristiwa indisentil

baik individual maupun instansi, festival, uang tahun (kabupaten Gunungkidul,

pondok pesantren atau lembaga tertentu), hingga momen berbau politik, dan lain-

lain. Berbagai peristiwa sosial maupun politik seringkali menjadi ajang pentas

bagi para seniman local untuk menunjukkan kebolehan mereka.

Aneka momen yang ada itu pada umumnya menyediakan ruang bagi

kesenian sesuai dengan misi masing-masing. Oleh karena itu setiap jenis kesenian

37

Wawancara tanggal 9 Januari 2005 dengan Drs. H. Bardan Usman , M.Pd.I. Kyai ini

termasuk sangat kreatif dalam mengkonversi lagu-lagu yang sudah popular di masyarakat. Lagu–

lagu hasil karya konversinya ditulis dalam sebuah buku stensilan kecil berjudul Lelagon

Sholawatan Khoirum Nisa’ Bansari. Di dalamnya dimuat lagu-lagu karyanya sebanyak 12 buah

lagu dengan syair bahasa Jawa dan Arab.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

46

boleh dikatakan memiliki ruang yang khas untuk mereka. Dalam peristiwa bersih

dusun misalnya, kesenian yang ditampilkan antara lain reog, jathilan, doger,

kethoprak, wayang dan sebagainya. Jenis-jenis kesenian ini memang merupakan

bagian penting dari ritual budaya masyarakat yang hingga kini masih semarak di

Gunungkidul itu. Demikian pula halnya dengan peristiwa ulang tahun pondok

pesantren atau kegiatan khatmil qur’an. Pada peristiwa yang diselenggarakan oleh

komunitas pesantren ini, sesuai dengan keberadaannya sebagai salah satu pusat

pendidikan keagamaan Islam di masyarakat, jenis kesenian yang ditampilkan

mencerminkan misi dan aktivitas keagamaan mereka. Di sini tentu bukanlah reog

atau campursari yang disuguhkan, melainkan kesenian yang telah menjadi bagian

dari dunia santri misalnya hadrah.38

Secara khusus, momen pertunjukan kesenian para santri tidak terbatas

pada kegiatn yang bersifat keagamaan saja, seperti pengajian dan peringatan hari

besar Islam. Salah satu peristiwa yang menjadi arena penampilan hadrah adalah

pada acara resepsi perkawinan. Penampilan mereka tentulah sangat khusus, karena

pada umumnya resepsi perkawinan kebanyakan keluarga di Gunungkidul

menghadirkan hiburan campursari atau grup elekton. Hanya keluarga tertentu sjaa

yang dalam resepsi perkawinan menghadirkan kesenian salawat hadrah sebagai

hiburan mereka. Para keluarga peminat kesenian hadrah ini umumnya adalah

38

Khatmil qur’an adalah kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian prestasi tertentu

dalam studi Al Qur’an di pondok pesantren. Pencapaian prestasi ini misalnya khatam (tamat)

membaca al Qur’an 30 juz, atau khatam hafalan Al Qur’an beberapa juz dengan bilangan tertentu

misalnya lima, sepuluh atau tiga puluh juz. Pada acara khatmil qur’an pondok pesantren Darul

Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari, yang diadakan pada tanggal 27 Juli 2004,

kelompok hadrah dari santri pondok pesantren tersebut menyajikan suguhan hadrah mereka dan

menyusun lagu-lagu salawatan yang mereka bawakan dengan judul Senandung Rindu. Dalam

stensilan berukuran kecil yang tidak dipublikasikan ini dimuat 5 buah lagu (syair) salawat,

semuanya dalam bahasa Arab.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

47

keluarga dari tokoh masyarakat yang termasuk keluarga santri.39

Momen lain yang menjadi ajang pementasan kesenian santri adalah

festival. Festival yang khusus diadakan untuk para seniman hadrah

diselenggarakan oleh pengurus sebuah organisasi keagamaan di Gunungkidul

dalam periode dua tahunan. Pada festival inilah para kelompok kesenian

salawatan seantero Gunungkidul berunjuk kebolehan mereka. Dalam arena

festival ini hadir puluhan kelompok salawatan yang oleh panitia dibagi ke dalam

tiga kelompok, yaitu salawat Jowo, hadrah klasi dan hadrah modern, sebagaimana

telah dikemukakan di muka.

Seni salawatan di Gunungkidul juga tampil dalam berbagai kegiatan

nonkeagamaan, seperti ulang tahun suatu organisasi. Seperti yang dialami oleh

kelompok hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas, Playen, pernah tampil

dalam suatu acara ulang tahun organisasi angkutan ojek di perempatan pasar

Playen. Ini menunjukkan bahwa kesenian hadrah tidak hanya dinikmati oleh

masyarakat santri saja, melainkan oleh masyarakat umum. Keberadaan hadrah

sebagai kesenian religius bukan hanya untuk masyarakat elitis, tetapi telah

menjadi sesuatu yang bersifat terbuka untuk kalangan yang tidak terbatas. Dengan

demikian sebenarnya kelompok kesenian apapun dapat hadir dan dinikmati oleh

masyarakat lintas batas kultur atau subkultur.

Dari paparan di muka jelaslah bahwa masyarakat santri, khususnya kaum

39

Sebagai contoh, pada tanggal 20 Juni 2005 lalu kelompok hadrah Syawariqul Anwar

diundang dalam acara resepsi perkawinan keluarga Drs. H. Kasiman di Plembutan, Playen.

Pemilik hajat tersebut adalah seorang pegawai Departemen Agama Kab. Gunungkidul yang juga

pernah menjadi santri di pondok pesantren Al Ummah, Kotagede, Yogyakarta. Wawancara tanggal

22 Juli 2005 dengan Ahmad Fauzi Ansori, anggota kelompok hadrah Syawariqul Anwar,

Ledoksari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

48

santri pondok pesantren di Gunungkidul memiliki tradisi kesenian yang telah

mereka kembangkan sendiri serta bagaimana mekanisme mereka

mengembangkannya seperti dalam bentuk festival. Jelas bagaimana memandang

seni di luar mereka dan dalam kesadaran ini pula proses dialektika berjalan. Pada

bab berikut akan dikemukakan bagaimana bentuk atau profil sebuah kesenian

yang digeluti kaum santri Gunungkidul yang menjadi fokus bahasan dalam kajian

ini yaitu seni pertunjukan hadrah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

49

BAB III

HADRAH : SENI PERTUNJUKAN KAUM SANTRI

Bab ini mendeskripsikan harah sebagai sebuah seni pertunjukkan yang

hidup di kalangan santri pondok pesantren di Gunungkidul. Deskripsi ini dimulai

dengan paparan tentang sejarah awal kehadiran hadrah di Gubukrubuh sebagai

kelompok salawatan yang eksis hingga kini. Deskripsi berikutnya adalah sekitar

bagaimana organisasi kelompok kesenian ini dikelola oleh para pendukungnya,

berikut kegiatan latihan, pementasan dan pengadministrasiannya. Untuk

mengetahui aspek pendanaan kelompok hadrah Badru Tamam, demikian nama

kelompok kesenian ini, akan dikemukakan sekitar pendanaan kelompok tersebut

baik di masa awal maupun masa-masa berikutnya. Bagian akhir akan membahas

unsur pendukung atau subjek pelaku dari kesenian santri tersebut.

A. Fase Awal

Kelompok kesenian hadrah pertama kali muncul di Gubukrubuh sekitar

tahun 1998 dan diprakarsai beberapa orang santri yaitu Ali Maksum, M. Ali Ihsan

dan Habibullah, serta didukung H.M.Yusuf, pimpinan sekaligus pengasuh pondok

pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh. Keinginan membuat kelompok kesenian itu

didorong oleh pengalaman Ali Maksum dan Ali Ikhsan ketika terlihat kesenian

hadrah saat menjadi santri di Wonokromo, Pleret, Bantul. Sedangkan Habibullah

adalah seorang santri yang memiliki suara yang merdu dalam membawakan

lantunan salawat diajak bergabung sebagai vokalis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

50

Kelompok hadrah yang baru diberi nama Badru Tamam, sebuah nama

yang diambil dari nama kesenian rodat lama yang pernah ada di dusun

Gubukrubuh tahun 1960-an. Penamaan itu dimaksudkan sebagai kelanjutan dari

kesenian rodat. Nama Badru Tamam diambil dari kata Arab “badru” dan

“tamam”, yang masing-masing berarti bulan dan sempurna. Jadi berarti bulan

purnama. Dengan nama ini para pemain hadrah menggunakan metafora bulan

purnama sebagai simbol aktivitas seni mereka dengan harapan kehadiran baru itu

dapat menjadi penerang kesunyian di lingkungan pondok pesantren dan

sekitarnya.1 Menurut para penggagasnya, di samping memecah kesunyian,

kehadiran kelompok seni hadrah diharapkan juga akan memberikan hiburan bagi

warga masyarakat, khususnya para santri sendiri dan komunitas pondok pesantren

pada umumnya.

Ali Maksum dan Ali Ikhsan sebagai pemrakarsa hadrah pada awalnya

mengajak beberapa orang santri untuk berlatih dalam kelompok kesenian itu.

Mereka bejumlah sekitar sepuluh orang santri laki-laki. Sebelumnya para

pemrakarsa terlebih dahulu menyiapkan alat rebana dengan membeli di Magelang

melalui seorang warga Gubukrubuh yang berasal dari Magelang. Peralatan musik

yang dibeli berupa empat buah alat perkusi oleh para santri dinamakan reginjing,

tikah, golong, dan jidor. Bahannya terbuat dari kayu dan kulit serta di pinggirnya

dipasangkan lempengan logam. Keempat alat inilah yang menjadi alat musik inti

hadrah. Dalam kelompok hadrah ini empat orang menjadi pemegang instrumen,

satu atau dua orang sebagai penyanyi dan lainnya sebagai pendukung vokal. Pada

1 Wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan H.M.Yusuf, pimpinan pondok pesantren

Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

51

fase awal bahkan hingga kini latihan dilakukan di mushola Al Hikmah yang

berada di lingkungan pondok pesantren Al Hikmah. Kegiatan latihan pada masa

awal ini tanpa bimbingan pelatih khusus dari luar, melainkan oleh para santri

senior seperti Ali Ikhsan. Lagu-lagu yang dinyanyikan adalah sebagai syair

salawat yang sering dilantunkan para santri pondok pesantren pada umumnya.

Dalam mempelajari berbagai lagu para santri mencontoh dari kaset-kaset

salawatan yang ada dengan panduan buku kumpulan lagu-lagu salawat.2

Para pemain hadrah yang direkrut berasal dari pondok pesantren Al

Hikmah. Mereka adalah santri yang selama ini sering terlibat dalam aktivitas

pondok seperti salawatan, diba’an, yasinan dan sejenisnya. Mereka berjumlah

sepuluh sampai lima belas orang. Latihan bertempat di mushola Al Hikmah pada

sore hari dan terkadang malam hari. Peralatan berupa perkusi yang terdiri dari

reginjing, tikah dan golong diadakan dengan membeli ke Magelang. Dana

pembelian berasal dari hasil patungan para santri dan dibantu pimpinan pondok

pesantren.3 Proses pengadaan alat-alat kesenian ini menunjukkan kebersamaan di

antara para antri serta kyai sekaligus pertansa sense of belonging mereka.

Sebelum menekuni kesenian hadrah para santri senior Al Hikmah

sebenarnya telah berusaha menghidupkan kembali kesenian rodat yang pada tahun

1960-an hingga 1980-an pernah eksis. Pada masa-masa itu rodat banyak diundang

untuk hiburan berbagai keperluan, seperti hajat perkawinan. Tetapi pada

2 Ada beberapa buah buku kumpulan salawat yang dijadikan sumber lagu-lagu antara lain

Majmu’ah Maulid wa Ad’iyah, tanpa nama penyusun, Semarang : Toha Putera, tanpa tahun;

IKSAP PP. API Tegalrejo, Kumpulan Sholawat Terpopuler II, Magelang, 2000, dan H. Abdullah

Zaini D. Asnawi, Kumpulan Qosidah Terpopuler Abad ini, Purwodadi : Gema Suara Pesantren,

2004. 3 Wawancara tanggal 6 Februari 2004 dengan Ali Ikhsan Ali Maksum.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

52

kenyataannya para santri yang dilibatkan kurang begitu terterik dan miskin

semangat untuk menemuki kesenian itu. Bahkan mereka menganggap rodat

sebagai kesenian “kuno” dan milik para orang tua.

Kesenian rodat itu sendiri, seperti diceritakan seorang mantan pemainnya,

beranggotakan puluhan orang dan sering pentas di berbagai tempat di

Gunungkidul.4 Menurutnya, dalam masa kejayaannya, kesenian rodat banyak

mendapat undangan pentas. Setiap kali pentas selalu mendapat honor. Bahkan

kelompok rodat yang diikutinya pernah memiliki sejumlah seratus ekor lebih

kambing dari hasil undangan pentas. Kas yang terkumpul dari hasil tanggapan itu

diwujudkan dalam bentuk ternak dan dipelihara oleh warga kampong di

Gubukrubuh.5

Ada beberapa sebab megnapa kesenian jenis rodat kurang berkembang dan

diminati para generasi santri baru. Pertama, berkurangnya minat dari kalangan

santri senior dan sesepuh untuk terlibat secara serius dalam aktivitas latihan.

Kurangnya minat para senior dan sesepuh ini disebabkan oleh kesibukan mereka

masing-masing dan karena semakin berkurangnya rasa solidaritas dan

kebersamaan para warga sekitar seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal ini

mungkin sebagai bagian dari orientasi kesenian yang sudah tergeser dengan

kehadiran kesenian baru yang sangat “dahsyat”, misanya campursari. Ini berarti di

masyarakat sudah terjadi pergeseran selera seni dari model kesenian yang lama

kepada jenis yang baru. Kedua, rodat membutuhkan pemain hingga puluhan

orang. Seperti diketahui bahwa pertunjukan kesenian rodat merupakan perpaduan

4 Salah seorang mantan pemain rodat adalah H.M.Yusuf, yang kini menjadi pimpinan dan

pengasuh pondok pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen. 5 Wawancara tanggal 16Oktober 2003 dengan H.M.Yusuf

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

53

antara unsur salawat dan tarian yang dimainkan oleh puluhan pemain. Biasanya

sekitar dua puluh hingga tiga puluhan orang terdiri dari pelantun salawat (vokal

dan penyanyi pengiring), penabuh terbangan, dan penari, serta pemimpin regu

yang biasa disebut rois. Mencari pemain sebanyak itu jelas tidak mudah untuk

ukuran sekarang. Ketiga, berkurangnya minat masyarakat untuk mengundang

kesenian rodat. Lebih-lebih dengan munculnya jenis kesenian campursari,

peristiwa hajatan lebih berminat untuk menampilkan kesenian yang terakhir ini

sebagai hiburan. Dengan kata lain rodat sudah digeser keberadaannya oleh jenis

kesenian lain seperti kesenian campursari yang sekaligus berarti lebih digemari

oleh masyarakat. Keempat, khususnya di kalangan santri muda, mereka lebih

menyukai kesenian hadrah daripada rodat. Di mata para santri muda, kesenian

rodat adalah salawatan untuk orang-orang tua dan dianggap “sudah kuno”.

Dengan demikian santri yang masih berusia muda (kebanyakan umur belasan

tahun) merasa perlu untuk membedakan diri dengan identitas kawula mudanya

dari dunia kesenian yang digandrungi kaum yang lebih tua.

Pembentukan kelompok seni salawatan hadrah di Gubukrubuh sebenarnya

tidaklah merupakan hal yang betul-betul baru terutama dalam hal materi salawat.

Hal baru yang dirasakan adalah penggunaan instrumen perkusi dengan jenis

pukulan tertentu. Jadi kesenian hadrah adalah format lain dari penampilan

salawatan yang biasa dilakukan di kalangan santri pondok pesantren. Jika Selama

ini lantunan salawat dilakukan tanpa alat musik terbangan, maka dengan hadrah

salawatan menjadi sesuatu yang bernuansa agak lain. Di sini telah terjadi suatu

pergeseran dari nuansa religius menjadi sesuatu yang bersifat kultural.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

54

Belakangan hadrah menjadi arena baru para santri khususnya senimannya, lewat

rupa-rupa kreativitas seni yang melahirkan beberapa lagu yang dipandang penting

dalam kisah penentuan identitas diri. Sebelum hadrah muncul, salawatan itu

sendiri merupakan kegiatan para santri yang bersifat rutin bulanan bahkan

mingguan, baik yang dilaksanakan pada waktu malam hari maupun sore hari yang

dihadiri beberapa orang santri. Kegiatan salawatan para santri berlangsung pada

satu tempat di mana laki-laki dan perempuan memiliki kelompok tersendiri.

Kegiatan salawatan yang sering dilakukan di Gubukrubuh selama ini

adalah diba’an dan barzanji. Kecuali salawatan, mereka juga secara rutin

mengadakan kegiatan yasinan, yaitu membaca kitab suci Al Qur’an dan surat

Yasin secara bersama-sama. Kedua jenis salawatan barzanji dan diba’an memiliki

kekhasan masing-masing. Perbedaan terletak pada bacaan shalawat, irama,

sumber salawat, dan teknis lainnya.

Pada prinsipnya, tradisi atau praktek bersalawat dalam ajaran agama Islam

berdasarkan perintah untuk membaca salawat atas Kanjeng Nabi Muhammad

SAW. Anjuran itu tertuang dalam Al Qur’an, yang berbunyi (artinya) : “Hai

orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu sekalian atas Nabi (Muhammad)

dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.6 Itulah yang menjadi salah satu

dasar mengapa di kalangan umat Islam membaca salawat menjadi bagian ritual

penting yang waktu membacanya tak terikat secara khusus.

6 Al Qur’an surat Al Ahzab ayat 56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

55

B. Organisai dan Latihan

B.1. Organisasi

Sebagai sebuah kelompok sosial yang antara lain memiliki kegiatan seni,

para personil yang terlibat dalam setiap kegiatan kelompok mengandaikan sebuah

gabungan dari beberapa individu. Gabungan tersebut diikat oleh sesuatu yang

menjadi orientasi kebersamaan. Maka hadirlah sesuatu yang menghasilkan sarana

bagi tercapainya tujuan. Bentukan gabungan beberapa individu yang

menghasilkan kebersamaan cita dan aktifitas pada akhirnya mewujud dalam

rangkaian struktur yang disebut organisasi. Maka organisasi berperan

menggerakkan anggota untuk mencapai sasaran yang telah dirumuskan bersama.

Kelompok kesenian adalah sebuah gabungan dari beberapa individu yang

mengorganisasikan diri untuk beraktivitas bersama berkesenian secara sengaja.

Struktur organisasi kelompok kesenaian tidak selalu mengikuti bentuk struktur

organisasi suatu lembaga besar. Ia dapat disusun secara sederhana namun

dianggap memadai untuk menangani kegiatan kelompok. Efektivitas kelompok

kesenian mutlak dibutuhkan untuk dapat menghasilkan karya dan penampilan seni

hiburan yang memuaskan khalayak. Bahkan kehidupan dan kelangsungan

organisasi kelompok pekerja seni hiburan yang amat bergantung kepada

efektifitas mesin organisasi. Organisasi yang baik akan mampu mempertahankan

bahkan meningkatkan kualitas produksi serta memperoleh citra baik di mata

publik.

Kelompok hadrah Badru Tamam saat ini dipimpin H.M.Yusuf, pengasuh

sekaligus pimpinan pondok pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh. Namun pelaksana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

56

kegiatan kesenian seluruhnya dipegang oleh Ali Maksum dan Ali Ikhsan.

Kelompok Badru Tamam sendiri secara formal sebenarnya tidaklah

memiliki organisasi yang ditata dengan struktur yang ketat dan jelas. Pembagian

tugaspun tidak diatur secara rinci. Masing-masing personil melakukan tugas atau

pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dan perintah ketua, dalam hal ini pelaksana.

Sebagai pimpinan pun H.M.Yusuf lebih bersikap sebagai sesepuh saja. Secara

teknis dia tidak banyak terlibat baik saat latihan maupun saat pementasan.

Aktivitas kesenian Badru Tamam sekurang-kurangnya dapat dibagi dalam

beberapa kegiatan, yaitu pelatihan, pementasan, dan pengadministrasian.

Termasuk dalam kegiatan terakhir adalah penaganan pemeliharaan (alat-alat

musik), busaa, surat menyurat, dokumentasi dan keuangan. Pada setiap kegiatan,

masing-masing personil yang ada dapat melakukan tugas mempersiapkan segala

sesuatunya dengan penuh tanggungjawab sesuai dengan perintah koordinator.

Pada saat latihan semua pemain hadir cukup melalui ajakan lisan. Pada pra

pementasan semua personil mempersiapkan peralatan pentas untuk dibawa ke

tempat pertunjukan. Jika undangan pertunjukan membutuhkan kendaraan sebagai

alat transportasi, maka seorang anggota akan mempersiapkannya termasuk untuk

transportasi kepulangan sehabis pertunjukan. Pada saat pentas pimpinan

rombonganlah yang mengatur seluruh kegiatan sejak pertama hingga penampilan

berakhir. Bahkan pimpinan rombongan seringkali sekaligus berperan sebagai

pemandu acara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

57

B.2. Latihan

Latihan merupakan salah satu kegiatn penting bagi suatu kelompok seni

pertunjukan. Pementasan yang kurang mempersiapkan diri dengan latihan yang

baik sebelumnya dapat berakibat rendahnya kualitas pementasan. Pertunjukan

yang sukses sangat banyak ditentukan oleh keseriusan dan intensitas latihan.

Mengabaikan faktor latihan dapat berujung pada kurangnya minat orang untuk

menikmati atau mengundang mereka di kala ada hajatan tertentu.

Kelompok kesenian hadrah Badru Tamam dalam satu tahun terakhir ini

tidak banyak melakukan aktivitas latihan secara khusus. Kegitan latihan dilakukan

beberapa kali menjelang pementasan. Berarti intensitas latihan tergantung dari

pementasan. Biasanya persiapan dalam bentuk latihan berhadrah dilakukan empat

atau lima kali sebelum pementasan. Kegiatan ini dilakukan pada siang atau malam

hari. Tempat latihan disekitar komplek pondok pesantren Al Hikmah. Namun

kegiatan latihan sebenarnya lebih banyak dilakukan pada malam hari karena pada

siang harinya para pemain sibuk dengan kegiatan yang lain. Jika pun dilakukan

selain malam hari maka waktunya pada sore hari.

Pada tahun 2002-2003, kelompok hadrah Badru Tamam kedatangan dua

orang pelatih dari Yogyakarta. Pelatih ini dikirim oleh sebuah lembaga di bawah

ormas keagamaan NU, yaitu LKPSM-NU (Lajnah Kajian dan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama) Yogyakarta bekerjasama dengan FKI

(Forum Kesenian Indonesia) Yogyakarta. Kedua lembaga ini banyak memberikan

perhatian khusus terhadap pembinaan sekaligus untuk memajukan kesenian

berbasis pesantren. Kegiatan latihan menjadi semakin baik dan kehadiran pelatih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

58

memberikan motivasi yang tinggi bagi kalangan personil hadrah. Jika pada

penampilan-penampilan sebelumnya hadrah hanya tampil dengan instrumen

terbangan berupa empat buah perkusi ditambah satu jidor sebagai bas, sejak ada

pelatih dari Yogyakarta instrumen ditambah dengan alat musik elektrik seperti

keyboard dan gitar.

Sejak pertengahan tahun 2003 kegiatan latihan mulai menurun. Hal ini

disebabkan oleh faktor pelatih yang secara bertahap mengurangi kegiatan

pelatihan. Menurut pimpinan pondok pesantren Al Hikmah, pelatih yang selama

ini bertempat tinggal di sekitar pondok itu lebih banyak mengikuti kegiatan suatu

partai partai politik tertentu yang ternyata berbeda dari kecenderungan sang kiyai.7

Komunikasi antara pelatih dengan kyai dan peserta latihan mulai renggang. Sejak

saat itu kegiatan latihan dilakukan manakala ada undangan pentas baik untuk hajat

perkawinan, pengajian atau festival, dengan pelatih ditangani oleh para santri

senior.

B.3. Pementasan

Pementasan hadrah kebanyakan berkaitan dengan peristiwa hajatan

keluarga, pengajian dan festival. Ada juga undangan khusus berupa undangan

pada acara tertentu seperti ulang tahun, hari besar Islam atau hari besar nasional,

7 Ketika wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan Kyai H.M. Yusuf, pimpinan

pondok pesantren Al Hikmah, terkesan wajah dan mimiknya kurang simpatik lagi dengan sang

pelatih, Zainal Abidin. Pasalnya pelatih ini sering bepergian untuk urusan partai politik yang

ternyata berbeda dengan partai komunitas santri Al Hikmah, yaitu partai yang dilahirkan oleh

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Partai Kebangkitan Bangsa. Dan sejak itu pelatih dari

Yogyakarta tersebut jarang tinggal di pondok dan bahkan pergi tanpa pamit kepada kyai. Selama

aktif melatih, Zainal Abidin tinggal di rumah kiyai H.M.Yusuf di lingkungan pondok pesantren Al

Hikmah Gubukrubuh.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

59

MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), dan lain-lain.

Pementasan dalam rangka peristiwa hajatan keluarga terutama adalah

untuk acara resepsi perkawinan atau dalam istilah Islam walimatul ursyi.8 Pentas

ini murni atas undangan keluarga yang mempunyai hajat. Penampilan hadrah pada

acara resepsi perkawinan di samping sebagai pengiring pada rangkaian acara adat,

juga sebagai hiburanyang dihadirkan secara langsung. Jika sebagian besar resepsi

perkawinan di Gunungkidul menggunakan musik pengiring sekaligus hiburan

berupa musik campursari, maka di Gubukrubuh hal itu tidak selalu demikian.

Hiburan dan pengiring acara resepsi di Gubukrubuh sreing dilakukan oleh

kelompok kesenian hadrah milik para santri pondok pesantren Al Hikmah. Di sini

gema salawat dengan iringan alat perkusi rebana telah mendapat tempat khusus di

kalangan warga dusun dan sebagian besar desa ini.

Pada pementasan untuk suatu acara pengajian, hadrah ditampilkan

sebelum acara berlangsung. Penampilan pada peristiwa semcam pengajian ini

dimaksudkan sebagai hiburan bagi jama’ah yang hadir menunggu acara dimulai.

Lagu-lagu yang diperdengarkan tidak lain dari syair-syair salawatan. Kehadiran

kelompok kesenian hadrah pada kegiatan pengajian atau mujahadah, seringkali

atas inisiatif kelompok sendiri. Untuk hal ini panitia hanya menyediakan suguhan

seperlunya tanpa harus memikirkan biaya transportasi mereka. Sebaliknya apabila

diundang mereka diberikan uang transport alakadarnya. Seringkali pula kelompok

kesenian ini menolak pemberian tersebut. Mereka sudah merasa senang dapat

8 Tradisi walimatul ‘ursyi dalam komunitas muslim berdasarkan perintah Nabi

Muhammad dalam sebuah sabdanya, yang artinya : “Adakanlah walimatul ursy itu walau hanya

dengan seekor kambing”. Lihat Sualiman Rasjid, Fiqih Islam, Surabaya : Bulan Bintang, 1990,

hal. 227

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

60

bersalawat di hadapan para jama’ah. Kehadiran mereka lebih dimotivasi oleh

kepuasan batin dapat bersalawat sambil menghibur. Namun demikian tidak jarang

pula ada kelompok kesenian yang menerima pemberian dari panitia, terutama bila

jarak yang ditempuh ke tempat pementasan/pengajian cukup jauh.

Kegiatan pentas para seniman hadrah yang tidak kalah pentingnya adalah

pada peristiwa-peristiwa festival. Beberapa festival yang pernah dihadiri

kelompok hadrah Badru Tamam telah mengangkat citra baik kelompok kesenian

santri ini, khususnya di kalangan masyarakat dan kelompok kesenian salawatan di

Gunungkidul. Beberapa kali hadrah asal Getas ini mewakili Gunungkidul pada

festival kesenian di Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan di Gunungkidul

sendiri kelompok ini selalu ambil bagian dalam festival dua tahunan. Seperti telah

disinggung sebelumnya bahwa festival salawat di Kabupaten Gunungkidul

merupakan ajang para santri untuk berkompetisi dan meningkatkan kualitas

kesenian mereka. Festival salawat yang diadakan di Kabupaten Gunungkidul

bukanlah prakarsa pemerintah, melainkan inisiatif pada pecinta seni salawatan di

Gunungkidul. Ini merupakan cara komunitas NU untuk memberikan kesempatan

kepada para pecinta seni salawatan sekaligus sebagai arena mengembangkan seni

salawatan itu sendiri. Festival itu sendiri sebenarnya diselenggarkaan dalam

rangka Maulud Nabi, yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.9

B.4. Pengadministrasian

Beberapa aspek dalam pengadministrasian hadrah sebagai sebuah

9 Festival salawat di Kabupaten Gunungkidul merupakan kegiatan dua tahunan yang

diselenggarakan oleh Pengurus Majlis Wilayah Nahdlatul Ulama Kecamatan Wonosari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

61

kelompok organisasi diatur secara rinci. Uraian kegiatan yang dilakukan dalam

administrasi dianggap sederhana. Rincian kegiatan tidak dipandang perlu oleh

anggota. Bahkan kelompok hadrah Badru Tamam tidak memiliki semacam

peraturan tertulis yang harus dipegang oleh para anggotanya. Semua kegiatan

dilakukan berdasarkan kebiasaan lisan.

Dalam hal menangani perlengkapan hadrah seperti alat-alat terbangan,

penyimpanan dilakukan di rumah seorang anggota yang dekat dengan tempat

latihan. Terkadang peralatan tidak disimpan secara teratur melainkan ditinggal di

lemari mushola Al Hikmah tempat latihan.

Empat instrumen pokok hadrah yaitu reginjing, tikah, golong I dan golong

II serta jidor merupakan sejenis rebana yang terbuat dari kayu dengan penampang

kulit. Pada pinggir rebana terdapat lempengan tembaga untuk menghasilkan bunyi

krecekan dengan cara digerakkan saat dipukul dengan jari tangan. Alat-alat

sederhana ini tidak sulit untuk dipelihara dan penyimpanannya juga mudah serta

tidak membutuhkan tempat luas dan petugas khusus. Sedangkan penanganan

busana para pemain pada umumnya dilakukan oleh masing-masing pemain. Para

pemain mencuci dan menyimpan busana hadrah mereka yang terdiri dari baju

koko, selana panjang dan kopiah untuk putra. Sedangkan pakaian putri berupa

busana muslimah lengkap dengan kerudung juga ditangani oleh masing-masing

anggota. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi kelompok hadrah ini dikelola

dengan manajemen berbasis kepercayaan.

Adapun surat menyurat dilakukan oleh koordinator, yaitu Ali Maksum dan

Ali Ikhsan, baik pembuatan, pengiriman dan penerimaanya. Perihal persuratan ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

62

tidak dilakukan pembuuan, karena komunikasi dengan pihak luar seringkali

dilakukan secara langsung atau melalui telepon. Sedangkan keuangan tidak

dibukukan secara rapi. Penerimaan uang, misalnya dari hasil pentas, biasanya

langsung dipegang oleh ketua rombongan. Hal ini lagi-lagi sebagai wujud dari

penerapan manajemen berbasis kepercayaan yang dianut kelompok mereka.

Kemudian masing-masing anggota menerima sesuai dengan perhitungan yang

dianggap pantas. Biasanya uang hasil pentas yang tidak seberapa besarnyaitu

sebagian besar untuk biaya sewa kendaraan. Bila ada sisa barulah pemain

mendapat jatah seadanya.

C. Pendanaan

Berbicara tentang seni pertunjukan pada umumnya, ada beberapa aspek

penting yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah aspek pembiayaan.

Pembiayaan atas suatu kegiatan seni merupakan komponen penting untuk

operasionalissai dan keberlangsungannya. Hampir tidak ada kegiatan kelompok

seni pertunjukan yang dapat hidup dengan baik tanpa tersedianya dukungan dana

untuk pembiayaan produksinya. Oleh karena itu dana merupakan sisi lain yang

harus diperhitungkan untuk sebuah perkumpulan seni agar mampu bertahan

hidup.

Kelompok seni yang hidup di pondok pesantren meskipun Nampak tidak

terlalu tergantung pada tersedianya dana yang cukup, namun pada kenyataanya

tetap saja membutuhkan. Hanya saja besarnya dana yang diperlukan tentu sangat

tergantung pada kepentingannya. Karena pada umumnya kelompok-kelompok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

63

seni ala pesatren mengandalkan peralatan yang sederhana, dan ini merupakan ciri

mereka, maka besarnya dana yang diperlukan tidak sebesar kelompok seni

pertunjukan lain semisal campursari. Pada dasarnya hal-hal yang memerlukan

uang untuk pembiayaan kehidupan kesenian hadrah Badru Tamam di pondok

pesantren Al Hikmah sebagai berikut : pengadaan alat-alat musik, pengadaan

seragam, pelatihan, pementasan, dan rekaman.

Untuk keperluan pengadaan alat-alat musik kelompok hadrah Badru

Tamam membelinya di luar Gunungkidul yaitu di Magelang. Pertama kali mereka

membeli empat buah alat terbangan yang masing-masing mereka sebut reginjing,

tikah, golong I dan golong II. Dana untuk membeli peralatn tersebut sebagian

besar berasal dari saku pengasuh pondok pesantren sendiri ditambah dari beberapa

santri senior. Harga keseluruhan alat perkusi tersebut Rp 450.000,-. Dibandingkan

dengan harga sebuah keyboard ukuran kecil yang bisa mencapai 3 juta rupiah,

harga alat bermusik para santri jauh lebih murah. Kelompok hadrah Badru Tamam

hingga kini memang hanya memiliki empat alat perkusi tersebut. Bila suatu

kelompok hadrah hanya memainkan keempat alat musik terbangan tersebut, maka

hal itu dikategorikan sebagai hadrah klasik. Sedangkan bila keempat alat

terbangan itu ditambah alat-alat musik modern lain seperti keyboard, gitar, atau

drum maka dikategorikan sebagai hadrah modern.10

Untuk pengadaan kostum, kelompok masih mengandalkan pada masing-

masing anggota. Hal ini disebabkan karena masing-masing anggota hadrah

10

Wawancara tanggal 6 Februari 2004 dengan Ali Maksum dan Ali Ikhsan. Namun

keduanya mengaku tidak ahli dalam memainkan alat musik seperti keyboard. Apabila

kelompoknya menggunakan alat ini biasanya mengundang santri dari pondok lain seperti santri

pondok Darul Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

64

umumnya memiliki busana yang dipakai dalam pentas, yaitu celana panjang dan

baju koko serta peci hitam bagi putra dan busana muslimah bagi putri. Oleh

karena itu, disamping kelompok tidak mampu menyediakan kostum khusus, para

anggota merasa tidak keberatan dengan kebiasaan itu. Ini berarti para anggota

harus menyediakan sendiri busana mereka, misalnya berwarna gelap atau hitam,

baju koko putih dan peci hitam.11

Kegiatan latihan sebenarnya tidak memerlukan uang secara langsung.

Namun pada kenyataannya, khususnya terkait dengan kehadiran pelatih dari

Yogyakarta, sedikit-banyak dibutuhkan dana. Seperti yang terjadi pada tahun

kedua berdirinya kelompok kesenian Badru Tamam, ada pihak ketiga yang

mengirimkan dua orang pelatih ke pondok pesantren Al Hikmah.12

Pihak pondok

tidak diharuskan membayar kepada kedua orang tersebut, melainkan menyediakan

tempat akomodasi dan makan. Kedua orang pelatih tersebut tidak terikat kapan

harus datang ke pondok, tetapi biasanya tiap akhir minggu selama dua hari.

Namun demikian salah seorang dari mereka terkadang sering tinggal berminggu-

minggu di pondok. Namun sejak akhir tahun 2003 kedua pelatih tersebut sudah

tidak pernah datang lagi ke Gubukrubuh. Dan sejak itu kegiatan latihan semakin

jarang dilakukan kecuali menjelang saat-saat pentas.

Untuk pementasan, kelompok hadrah seringkali menyewa kendaraan

sebagai alat transportasi terutama jika pentas di luar pondok. Apabila pentas atas

11

Mengenai busana, kelompok hadrah Syawariqul Anwar dari pondok pesantren Darul

Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari lebih sering memakai sarung, baju koko dan peci

putih dalam penampilan mereka. Wawancara dnegan Ahmad Fauzi Ansori, anggota kelompok

hadrah Syawariqul Anwar, tanggal 31 Juli 2005. 12

Kedua pelatih tersbut yang oleh kalangan santri disebut dengan Pembina, masing-

masing adalah Mustofa W. Hasyim dan Zainal Abidin. Pelatih ini dikirim atas kerjasama LKPSM-

NU Yogyakarta dan Forum Kesenian Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

65

undangan khusus hajatan perorangan, maka biasanya honor yang diterima dipakai

untuk sewa kendaraan. Sedangkan apabila apabila kelompok kesenian ini

diundang ke luar kota, misalnya untuk mewakili daerah Gunungkidul, maka biaya

transporsai biasanya ditanggung oleh instansi yang mengirim dan para anggota

yang terkadang mendapat sekedar uang lelah.13

Pernah juga kelompok mengadakan rekaman album. Usaha tersebut

diadakan tidak kelompok seni hadrah. Sesuai kesepakatan untuk keperluan

tersebut biaya ditanggung bersama. Ketiga kelompok seni tersbut adalah Badru

Tamam, Syawariqul Anwar dan Al I’anah.14

Pada prakteknya ternyata biaya

rekaman album itu ditanggung sendiri oleh kelompok hadrah Badru Tamam

Gubukrubuh. Akhirnya dengan agak terpaksa pimpinan pondok Al Hikmah

campur tangan dalam pendanaan album rekaman salawat itu.15

D. Unsur Pendukung

Yang dimaksud dengan pendukung adalah mereka yang terlibat langsung

dalam pertunjukan kelompok kesenian. Unsur pendukung utama kelompok

kesenian hadrah tidaklah banyak. Sekurangnya terdapat dua unsur, yaitu vokalis

dan penabuh terbang. Vokalis dalam sebuah kelompok hadrah bisa satu orang atau

lebih. Syarat utama seorang vokalis adalah memiliki suara merdu dan indah.

13

Kelompok Badru Tamam misalnya pernah dikirim oleh Pemerintah Kabupaten

Gunungkidul untuk mengisi acara Festival Kesenian diYogyakarta atau mengisi acara dalam

kegiatan Sekaten. 14

Syawariqul Anwar adalah kelompok seni salawatan hadrah yang ada di pondok

pesantren Darul Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari di bawah asuhan Drs. K.H. Harits

Masdki, Lc. Sedangkan Al I’anakh adalah kelompok seni salawatan milik santri pondok pesantren

Al I’anah, Ngawu, Playen, di bawah asuhan Drs.K.H. Suparman, M.Si. 15

Wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan K.H.M.Yusuf, M.Pd.I, pemimpin dan

pengasuh pondok pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

66

Kalangan santri umumnya berpendapat bahwa kegiatan hadrah terletak pada

kualitas vokalnya.16

Ini berarti posisi penyanyi dalam hadrah, seperti halnya pada

jenis kesenian lain, sangat penting dan menonjol.

Di kalangan para santri terutama pelaku hadrah tidak dijumpai adanya

upaya untuk meningkatkan kemampuan vokal. Beberapa vokalis hadrah yang ada

hanya mengandalkan bakat yang sudah ada, tanpa ada pembinaan khusus,

sebagaimana halnya kursus bina vokalia. Hal ini mencerminkan bahwa

masyarakat santri di Gunungkidul belum memberikan perhatian khusus pada

upaya meningkatkan mutu seni milik sendiri. Beberapa orang penyanyi hadrah

mengatakan bahwa kegiatan sebagai penyanyi lebih merupakan penyalur hobi dan

bakat belaka. Mereka tidak merasa perlu belajar olah vokal dan kalaupun ingin

belajar tidak ada guru yang khusus untuk itu. Jadi dalam menyanyi, yaitu

melantunkan lagu-lagu shalawat, para penyanyi hadrah masih aksi potensial yang

original, dalam arti belum mendapat polesan dan sentuhan seni olah vokal yang

sesungguhnya.17

Selain vokalis terdapat beberapa orang penyanyi pengiring. Para santri

menyebutnya backing vocal. Gejala penggunaan istilah bahasa Inggris ini

menunjukkan bahwa para sanri sudah memahami idiom bahasa asing sekaligus

pertanda bahwa terjangkau simbol globalitas saat ini. Kadang-kadang para

16

Wawancara tanggal 6 Februari 2004 dengan Ali Ikhsan, pemain hadrah Badru Tamam. 17

Para vokalis hadrah yang menonjol pada umumnya adalah qori’ (pembaca Al Qur’an

yang mahir dalam tajwid dan lagu, seperti Habibullah dari Badru Tamam Getas dan Risyanto dari

Nidaul Muna, hadrah milik pondok pesantren Al Khalifah, Mulusan, Paliyan. Keduanya adalah

qori’ yang pernah beberapa kali mewakili Kabupaten Gunungkidul dalam Musabaqah Tilawatil

Qur’an (MTQ) tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan mereka bergabung dalam

kelompok hadrah karena hobi mereka dalam melantunkan salawat dengan irama suara yang

merdu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

67

penabuh alat terbangan juga bertindak sebagai penyanyi pengiring. Dalam dunia

hadrah tidak dijumpai istilah-istilah khusus semisal sinden dalam musik

tradisional Jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena seni yang mereka geluti

belum memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan dunia kesenian kaum

santri pondok pesantren, khususnya di Gunungkidul. Mereka justeru

menggunakan istilah-istilah berbahasa asing (Inggris) seperti vocal dan backing

vocal. Istilah ini adalah istilah yang dikenal dalam seni-seni kontemporer (musik

populer) yang lain.

Para vokalis yang tergabung dalam hadrah Badru Tamam memiliki 4 orag

vokalis putra dan putri yaitu Habibullah, Agus Najib, Lilik Ifa dan Maifita.

Sedangkan penyanyi pendukung putra sebanyak 6 orang masing-masing adalah

Saiful Rahman, Andi Pristanto, Akhid, M.Zaki, Maman, dan Priyo Susilo.

Penyanyi pengiring putri lainnya adalah Ani Muhibah, Nurwahyuni, Ririn

Farkhanah dan Ida Isnaini. Dari nama-nama mereka tampak bahwa para anggota

adalah dari keluarga santri atau dekat dengan tradisi santri, misalnya dengan

mengggunakan nama-nama Arab. Begitu juga dengan nama-nama yang khas

dalam khazanah Jawa. Hal demikian dapat diartikan sebagai adanya perbedaan

latar belakang sosial mereka. Hadrah mempertemukan dan mempersatukan

mereka. Karena itu panggung hadrah merupakan arena bagi perjumpaan orang-

orang dari latar sosial yang berbeda. Tampak pula bahwa perbedaan mereka tidak

hanya soal latar sosiologis keagamaan, bahkan perbedaan yang ada adalah

perbedaan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.

Keterlibatan para santri menjadi anggota personil hadrah adalah atas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

68

ajakan para santri senior yaitu Ali Maksum, Ali Ikhsan dan Habibullah. Ketiga

orang santri senior yaitu Ali Maksum, Ali Ikhsan dan Habibullah. Ketiga orang

santri ini mengkoordinir sekaligus melatih para anggoa terutama menjelang saat-

saat tampil untuk suatu pementasan. Keanggotaan mereka tidak terikat secara

ketat. Namun demikian para anggota dengan senang hati akan mengikuti ajakan

latihan para senior mereka. Hal ini dapat terjadi karena para santri yang masih

muda cenderung untuk mentaati kakak Pembina mereka, sekaligus menunjukkan

betapa penting arti senioritas. Akhir-akhir ini para santri senior tidak banyak

terlibat dalam pentas hadrah, kecuali saat-saat tertentu saja, seperti apabila

pementasan dilakukan untuk suatu undangan di luar Gunungkidul. Khusus dalam

pentas untuk festival hadrah, sebagian besar personil adalah para santri yang

masih muda. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengkaderan agar keberadaan seni

hadrah dapat dipertahankan. Hampir semua personil dalam hadrah Badru Tamam

berumur antara 15 hingga 25 tahun. Di antara mereka adalah siswa Sekolah

Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Gubukrubuh.

Unsur pendukung lain dalam kesenian hadrah adalah penabuh terbangan.

Dalam kesenian hadrah jenis klasik, instrumen hanya terdiri dari reginjing, tikah,

golong I dan II. Oleh karena itu para pemain instrumen perkusi dalam hadrah ada

empat orang. Mereka adalah Ali Ikhsan, Purwanto, Ismail dan Ali Maksum.

Sedangkan dalam kelompok hadrah modern selain keempat instrumen pokok

tersebut ada beberapa jenis alat musik modern lain, seperti gitar, keyboard, biola,

drum dan lain-lain. Bagi mereka penggunaan alat musik modern ini tidak

berpengaruh pada baik citra keislaman, maupun pada penyajian seni mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

69

Penggunaan alat-alat ini pun sebenarnya tergantung dari ada atau tidaknya jenis

alat tersebut, dan jika ada pakah ada santri yang bisa memainkannya. Dengan

demikian jumlah pemain alat musik tergantung dari banyaknya instrumen musik

yang digunakan.

Para pemegang alat perkusi dalam hadrah umumnya tidak terlalu sulit

untuk menguasai teknik tabuhan. Oleh karena itu tidak sulit pula untuk menentuka

siapa akan memainkan alat musik apa. Kesulitan terletak pada kekompakan esmua

unsur di dalam menciptakan dan menghasilkan irama yang padu sesuai dengan

harmoni musikal hadrah. Oleh karena itu tetap dibutuhkan latihan yang baik

karena tabuhan perkusi dalam hadrah memiliki aturan tersendiri. Dengan latihan

yang teratur para penabuh pemuda akan dengan mudah menguasai cara

penggunaan instrumen. Hal penting dan perlu diperhatikan dalam tabuhan adalah

keserasian bunyi yang dihasilkan secara harmoni dari keempat alat perkusi.

Masing-masing perkusi memiliki jenis pukulan yang berbeda. Bunyi harmoni

perkusi yang dihasilkan adalah suara bersahutan dari pukulan perkusi.

Dibandingkan dengan alat musik karawitan, pengusaan dalam bermain musik

hadrah lebih sedikit mudah. Ini tidak lain dari sifat kesederhanaan dalam kesenian

milik para santri ini. Kesederhaan adalah satu ciri penting hadrah sebagai cermin

dari kebersahajaan para pendukung seni budaya ini.18

Seperti halnya personil

vokal, para pemegang alat perkusi direkrut melalui ajakan lisan. Mereka diajak

18

Para santri pondok pesantren umumnya dikenal sebagai santri sederhana, terutama dari

segi penampilan keseharian mereka seperti penggunaan sandal jepit, sarung, kopiah dan

sebagainya. Mereka cenderung tidak menampakkan penampilan yang terkesan mewah dan

menonjol baik di dalam komplek pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren. Hal yang

sama juga terlihat pada penampilan keseharian kyai dan pengasuh pondon pesantre umumnya di

Gunungkidul.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

70

oleh para santri senior untuk bergabung dan memilih atau ditunjuk untuk

memegang jenis perkusi tertentu.

Demikianlah paparan sekitar hadrah sebagai sebuah seni pertunjukan yang

keberadaannya tidak lepas dari pendukungnya dari kalangan santri pondok

pesantren. Pada awalnya hadrah dikembangkan oleh para santri yang pernah

belajar di pondok pesantren di luar Gunungkidul. Ternyata di samping

memperkaya khazanah kesenian, khususnya kesenian di kalangan masyarakat

santri, juga merupakan varian lain dari seni salawatan yang mengisi kekosongan

dunia seni pesantren pascarodat. Pengelolaan kelompok kesenian yang meliputi

penanganan peralatan, latihan, penanganan administrasi termasuk keuangan, para

pendukung, semuanya dilakukan dengan manajemen sederhana, yaitu manajemen

berbasis kepercayaan. Dengan manajemen tersebut kelompok hadrah mampu

bertahan dan menjumpai peminatnya di tengah derasnya kepungan berbagai jenis

sajian kesenian di sekitar mereka. Bab berikutnya akan membahas makna

kesenian hadrah bagi para pendukungnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

71

BAB IV

HADRAH SEBAGAI ARTIKULASI INDENTIFIKASI DIRI KAUM

SANTRI

Para aktivis hadrah merasa bahwa seni yang mereka geluti melalui

salawatan mengandung unsur-unsur penting. Mereka berpendapat bahwa melalui

kerja seni seperti hadrah inilah kiprah dan kreativitas seni mereka terartikulasikan.

Seni salawatan dengan berbagai varian penyajian ini menjadi media artikulasi

identitas mereka yang paling sesuai. Jika komunitas lain mengembangkan jenis

kesenian tertentu sesuai dengan tuntutan kepentingan praktis, komunitas santri

yang hidup dengan citra ketaatan beragama menghadirkan ekspresi dan selera seni

yang mencerminkan citra keberagaman mereka. Adolph S. Tomars dalam sebuah

tulisannya yang berjudul ‘Class System and the Arts” mengatakan bahwa

kehadiran sebuah kelas atau golongan masyarakat akan menghadirkan pula gaya

dan bentuk seni yang khas, sesuai dengan selera estetis golongan tersebut.1 Dalam

ungkapan lain seni mencerminkan masyarakat. Karena itu harus dibaca bahwa

seni merupakan cermin nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat di suatu

zaman. Cermin masyarakat adalah cermin keinginan, cermin jiwa, atau cermin

minat masyarakatnya.2

Dari beberapa pandangan yang diperoleh, pergumulan para santri di

1 Dikutip dari R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,

Bandung: Masyarakat Pertunjukan Indonesia, 1999, hal. 46. Contoh yang diutarakan oleh Tomars

adalah hadirnya golongan atau kelas corporate yang menghadirkan seni kolektif dan seragam,

serta hadirnya golongan atau kelas competitive yang menghadirkan seni yang memiliki ciri

ekspresi individual, Idem, hal. 46 2 Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, hal. 239

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

72

Gunungkidul dalam dunia seni salawatan, khususnya hadrah, didasarkan atas

beberapa alasan sebagai berikut.3

Pertama, aspek ajaran Islam yang menekankan pentingnya membaca salawat

kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa dalam kitab Al Qur’an maupun sunnah

dianjurkan untuk membaca salawat atas Nabi tersebut. Oleh karena itu membaca

salawat berarti menjalankan perintah agama. Dalam kata-kata mereka, “berseni

sambil beribadah”.

Kedua, bersalawat itu sekaligus berdakwah, yaitu suatu ajakan memuji Kanjeng

Nabi secara langsung maupun tidak langsung. Melalui salawatan para santri

mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, yang diyakini sebagai

bagian dari tuntunan agama. Maka sering muncul ungkapan “berseni sekaligus

berdakwah”. Atau dengan kata lain tontonan berdimensi tuntunan.

Ketiga, seni salawat identic dengan seni Islam. Mereka berpendapat bahwa

aktivitas salawatan apapun bentuknya, adalah seni Islam. Karena seni ini lahir dari

komunitas muslim, maka seni salawatan merupakan kombinasi dari perintah

keagamaan dan ekspresi seni yang dijiwai semangat agama.

Keempat, seni salawatan jelas berbeda dengan penampilan. Dalam salawatan tidak

perlu goyan gbadan atau berjingkrak-jingkrak seperti dalam dangdut atau rock.

Busana dalam salwatan tidak membutuhkan rias khusus, paaian yang

dipentingkan adalah menutu aurat. Dalam hal ini dikenal dengan busana muslim

atau muslimah untuk pria dan wanita. Perbedaan dalam pakaian ini juga

menggambarkan bahwa salawatan tidak akan dijumpai citra hura-hura, melainkan

3 Kesimpulan wawancara dengan Ali Maksum, Ali Ikhsan, Habibullah dan Ahmad Fauzi

Ansori. Hal yang sama juga dikemukakan oleh K. Habib Wardani, seorang tokoh agama Islam di

Getas, yang juga pernah aktif dalam kegiatan salawatan pada waktu mudanya yaitu kesenian rodat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

73

ketenangan dan kesejukan.4

A. Komunitas dalam Proses Liminalitas Hadrah

Sebenarnya bukan hal-hal di atas itu saja yang menjadi alasan mengapa

kaum santri begitu menyukai seni salawatan, terutama hadrah. Di balik itu semua,

pergulatan mereka dengan seni pertunjukan ini tentulah mengandung makna

penting mengapa ekspresi seni hadrah ini dilakukan. Fungsi hiburan sekaligus

beribadah dan berdakwah dalam seni hadrah merupakan bagian dari kreasi

individual dan kolektif para aktor dan menjadi hiburan bagi penikmat hadrah dari

sisi ini maka hadrah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jenis sajian hiburan

lainnya. Sebagai media hiburan sekaligus dakwah, salawatan pastilah memiliki

sisi lain yang menjadi alasan penting mengapa begitu popular dalam komunitas

santri, khususnya santri pondok pesanten Nadhliyin di Gunungkidul.

Sekurang-kurangnya ada tiga tiga fakta menarik tentang tradisi salawatan

di kalangan santri pondok pesantren NU di Gunungkidul. Pertama, hampir semua

pondok pesantren NU di Gunungkidul memiiki kelompok seni salawatan yang

dilakukan oleh para santri. Kedua, pada kebanyakan penampilan mereka, uang

bukanlah tujuan utama. Ketiga, kegiatan salawatan yang tidak bersifat komersil

ini justru dilakukan dengan pengorbanan baik waktu, tenaga, dan uang. Semua hal

ini akan dibahas dengan menggunakan konsep liminalitas dan komunitas yang

dikemukakan Victor Turner.5

4 Bandingkan dengan Ahmad Annas, Menguak Pengalaman Sufistik : Pengalaman

Keagamaan Jamaah al-Diba’ Girikusumo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 10 5Konsep ini merujuk kepada Masyarakat Bebas Struktur : Liminalitas dan Komunitas

Menurut Turner, yang ditulis Y.W, Wartaya Winangun, Yogyakarta : Kanisisus, 1990

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

74

Liminalitas merupakan suatu konsep yang dikembangkan Victor Turner

dalam penelitiannya mengenai upacara ritual masyarakat Ndembu di Afrika. Ia

berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam ritus adalah liminalitas.

Liminalitas berarti suatu tahap atau periode dimana subjek ritual mengalami

keadaan ambigu, yaitu tidak di sana dan tidak di sini. Oleh Victor Turner,

liminalitas dalam masyakat Ndembu tidak hanya diterapkan untuk menganalisis

ritual semata, melainkan juga untuk menganalisis masyarakat. Liminalitas

memiliki sifat-sifat yang begitu kaya sehingga memberikan perspektif tersendiri

dalam kehidupan masyarakat.

Satu hal yang menarik dalam proses liminalitas menurut Turner adalah

bentuk relasi sosial khas yag disebutnya komunitas. Di dalam liminalitas terjadi

komunitas, yaitu suat konsep yang berarti cara relasi sosial antar pribadi yang

konkret, yang langsung. Hubungan yang terjadi adalah moda hubungan lain yang

berbeda dari hubungan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata

lain, dalam keadaan seperti itu subjek ritual tidak hanya mengalami situasi

ambigu, tetapi juga secara kolektif mengalami bentuk sosialnya yang disebut

sebagai komunitas itu. Dalam suasana yang berbeda dari situasi dan keadaan

hidup sehari-hari tercipta suatu komunitas dengan ciri terpenting antistruktur.

Ciri-ciri antristruktur ini ditandai dengan suasana sosial yang tak terbedakan,

egalitarian, langsung, nonrasional dan eksistensial.6

Kehidupan kaum santri dalam keseharian sebagai bagian dari masyarakat

di Gunungkidul, baik di lingkup sosial keluarga, ketetanggan serta dalam

6 Lihat, Idem. hal. 49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

75

pergaulan di luar itu seperti sekolah dan pesantren, jelas merupakan dunia

kehidupan structural. Dalam realitas demikian kehidupan para santri berada dalam

jaringan aneka struktur yang ditandai dengan adanya berbagai perbedaan, hirarki

dan disparitas sosial lainnya. Dalam keseharian seperti itu hampir taka da ruang

yang bebas dari kondisi dan realitas structural baik dalam pertentangaan, sekolah,

pondok pesantren, hingga dalam praktek peribadatan.

Panggung, itulah istilah yang tepat untuk menyebut kehidupan sosial

ketiga, yaitu kehidupan bersama dalam perjumpaan para pemain seni pertunjukan

hadrah. Kehidupan sosial pertama adalah dalam keluarga, sedangkan kehidupan

sosial dalam masyarakat keseharian sebagai ruan glingkup sosial kedua. Maka

panggung hadrah dalam konsep ini dilihat sebagai sebuah arena dan proses

liminalitas yang berada pada ruang sosial ketiga. Jika demikian halnya maka

panggung hadrah tampak sengaja diciptakan dengan melibatkan beberapa orang

dan bersifat sementara. Dengan demikian dalam panggung hadrah tercipta sebuah

relasi sosial baru yang oleh Turner disebut komunitas.

Realitas struktural dalam kehidupan keseharian santri di masyarakat

memang tidak bisa dihindari. Demikianlah, maka dalam keluarga terdapat

kenyataan adanya perbedaan yang nyata yang terdiri atas bapak, ibu dan anak.

Hirarki dalam keluarga ini jelas pertanda keberbedaan didalamnya. Begitu juga

dalam keseharian di pondok pesantren, sekolah, ibadat di masjid dan lain-lain.

Dalam kenyataan-kenyataan hidup keseharian pada modal keberbedaan ini

nampak bahwa suasana kehidupan itu ditandai oleh cara bersama yang penuh

dengan pengaruh struktural. Artinya bahwa cara bertindak, bergaul, dan berelasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

76

sosial sangat tergantung pada konstruk sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.

Dan disitulah juga para santri berada dan sekaligus mempraktekkan kehidupan

nyata sesuai dengan lingkungan mereka. Lingkungan struktural itulah yang

membentuk cara hidup dan pola berpikir santri hingga mereka dewasa, bahkan

sepanjang hidupnya.

Dalam liminitas panggung kesenian, termasuk panggung hadrah, aneka

moda struktur sosial atau keberbedaan masing-masing asal pelaku saling bertemu.

Tiga hal berikut yang akan dikemukakan adalah menyangkut masalah jender,

hirarki sosial, dan sakral-profan yang berproses dalam pengalaman panggung

hadrah. Ketiga hal ini akan menunjukkan dan menjawab pertanyaan mengapa

kaum santri pondok pesantren di Gunungkidul melakukan kegiatan seni salawatan

hadrah. Pada akhirnya hadrah merupakan panggung yang memiliki nilai formatif

dalam rangka pembentukan nilai-nilai keislaman seturut dengan nilai-nilai

kesantrian yang dipangku untuk diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

A.1. Aspek Jender

Panggung hadrah sebagai arena kegiatan bersama para santri menyediakan

ruang dan peluang didalamnya. Dalam kehadiran itu para anggota kelompok

memberikan partisipasinya sesuai dengan fungsi masing-masing sebagai

penyanyi, penabuh dan penyanyi pendukung serta anggota kru lainnya.

Kedatangan dan kehadiran masing-masing pemain ditujukan untuk bermain musik

baik dalam latihan maupun pentas yang sesungguhnya. Arena ini benar-benar

telah menjadi ruang ketiga bagi setiap anggota kelompok yang secara bersama-

sama beraktivitas guna kesuksesan penampilan mereka. Panggung hadrah menjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

77

ruang dimana para pemain dengan berbagai latar belakang sosial dan jenis

kelamin bergabung menjadi satu dalam sebuah pentas yang berbeda dari

kehidupan keseharian mereka.

Persoalan laki-laki dan perempuan dalam Islam jelas terdapat perbedaan

dalam beberapa hal. Dalam fikih Islam, wacana sekitar perbedaan gender itu,

meskipun terdapat beda pandangan antar-fuqaha (ahli fikih, ahli dalam hukum-

hukum agama Islam), memperlihatkan betapa bentuk-bentuk pelakuan dan hak

serta kewajiban antara dua jenis kelamin itu dibedakan. Pembedaan itu

ditunjukkan atas dasar interpretasi teks baik Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai

ilustrasi, beberapa contoh dapat dikemukakan: dalam soal harta warisan, seorang

anak perempuan berhak mendapat setengah dari bagian seorang anak laki-laki.

Dalam shalat secara berjamaah, perempuan tidak dapat menjadi imam atas

makmum (jamaah yang diimami) laki-laki tetapi dapat menjadi imam atas

makmum perempuan. Sebaliknya laki-laki menjadi imam atas makmum laki-laki

atau perempuan. Di dalam shalat juga perempuan berada di belakang shaf

(barisan) laki-laki, atau di samping shaf laki-laki dengan dibatasi hijab. Bahkan

dalah shalat, perempuan yang berada pada shaf paling belakang adalah yang

utama. Dalam pergaulan atau bepergian seorang perempuan dapat melakukannya

hanya kalau ditemani oleh muhrimnya. Di dalam keluarga disebutkan bahwa laki-

laki atau suami adalah pemimpin atas perempuan/istri. Demikian juga dalam

ibadah haji ke Mekah, perempuan hanya dapat melakukannya dengan didampingi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

78

muhrimnya.7

Jika secara normatif ada perbedaan dalam hal laki-laki dan perempuan,

aapakah hal-hal tersebut juga berlaku dalam kegiatan salawatan hadrah pada

santri? Haruskah dilakukan pembedaan berdasarkan jenis kelamin? Ternyata,

dalam panggung hadrah perbedaan jenis kelamin tidak menjadi sesuatu yang

mendasari pembedaan peran. Pembagian tugas dalam seni hadrah sama sekali

tidak atas dasar jenis kelamin, melainkan berdasarkan kemampuan. Oleh karena

itu dalam kelompok seni hadrah yang berbeda, peran penyanyi tidak selalu

dipegang perempuan. Demikian pula dalam hal formasi pemain, tidak ada aturan

yang mengharuskan laki-laki berada di bagian belakang atau di bagian depan.

Terkadang penyanyi laki-laki berada di bagian depan kemudian deretan penyanyi

perempuan dibelakangnya. Atau yang sering terjadi bahwa penyanyi perempuan

berderet di bagian depan dan disusul dibelakangnya adalah penabuh alat musik.

Berbeda dari keadaan di luar panggung hadrah, jelas terdapat peraturan

bahwa formasi atau tempat seseorang tergantung pada jenis kelaminnya. Dalam

shalat misalnya, perempuan pasti berada di belakang barisan laki-laki dan tidak

dibenarkan sebaliknya. Semua aturan dalam ibadat ini tidak berlaku dalam

kegiatan hadrah. Demikian pula, jika seorang perempuan dalam keseharian tidak

dibenarkan (secara normatif) bepergian atau bergaul bersama dengan lain jenis,

maka dalam hadrah hal tersebut menjadi buyar. Bahkan formasi campur baur

tersebut dipertontonkan kepada audiens pada saat pertunjukan. Intinya bahwa

dalam panggung hadrah telah terjadi penjungkirbalikan atas aturan-aturan

7 Berbagai komentar dan interpretasi Islam atas perbedaan peraturan hukum tentang relasi

perempuan dan laki-laki oleh para intektual muslim, lihat Nurcholis Madjid, Ed., Fiqih Lintas

Agama: Membangun Masyarakat Insklusif Pluralis, Jakarta, 2004

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

79

normatif keagamaan yang berlaku dalam kehidupan keseharian kaum santri.

Corak kebersamaan yang berbeda ini berkaitan pula dengan pola hubungan

sosial yang terjadi di dalam dan di luar panggung hadrah. Hal ini seturut dengan

pola hubungan sosial sebagaimana yang ditunjukkan dalam konsep tentang

komunitas menurut Victor Turner. Dalam kehidupan komunitas, menurut Turner,

perbedaan struktural menjadi cair. Pola hubungan sosial yang terjadi didalamnya

tidak dibatasi oleh sekat-sekat struktural seperti yang terjadi dalam kehidupan

keseharian di masyarakat. Di arena komunitas panggung, pola hubungan sosial

menjadi lain dari kebiasaan dalam keseharian. Didalamnya tidak ada lagi

pembedaan pejabat-karyawan, atasan-bawahan, imam-makmum, penguasa-

pelayan kuasa, laki-laki-perempuan dan seterusnya. Hubungan yang tercipta

adalah hubungan dalam konstruk kesederajatan. Mereka hanya bertindak sesuai

dengan peran yang telah menjadi kesepakatan bersama. Demikianlah dalam

hadrah, persoalan jender menjadi cair. Sekat-sekat keberbedaan sebagaimana

ditunjukkan dalam ibadat tidak berlaku. Jenis kelamin tidak menentukan peran

dan tidak pula membatasi hubungan sosial. Kebersamaan dalam kesederajatan

tanpa pembedaan jenis kelamin memberikan pemahaman bahwa dalam komunitas

hadrah jalinan hubungan antistruktural menjadi kenyataan.

Sedangkan dalam hal berpakaian kelompok hadarah lebih menekankan

kesantrian dan kesederhanaan. Busana pakaian pria tidak dibedakan menurut

strata sosial yang melatarbelakanginya. Kebanyakan seragam yang digunakan pria

adalah baju takwa dan pecis sebagai penutup kepala. Sedangkan busana

perempuan sama sederhananya dengan pria, dengan mengenakan pakaian penutup

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

80

aurat yang popular disebut jilbab. Cara berpakaian pemaian hadrah memang lebih

ditekankan pada aspek kesederhanaan, keserasian, dan tuntutan menutup aurat.

Adapun rias wajah terutama bagi santri perempuan dilakukan sekedarnya tanpa

harus mempersiapkan juru rias khusus. Berbeda dengan para penyanyi pria seperti

dalam kesenian lain semisal campursari, para santri pria pemain hadrah tidak

merias wajah mereka dengan make up. Bandingkan dengan penampilan penyanyi

campursari atau dangdut lokal yang umumnya tampil dengan busana khusus

disertai make up yang tebal dan mencolok.

A.2. Hirarki Sosial

Satu hal lain yang terjadi dalam panggung hadrah adalah runtuhnya

struktur berupa hirarki sosial di antara pemain. Dalam komunitas hadrah,

sebagaimana disebutkan di muka, para pemain yang terlibat didalamnya datang

dari latar belakang sosial yang berbeda. Akan tetapi di dalam komunitas hadrah,

mereka berada pada posisi kesederajatan, dalam arti hubungan sosial yang

terbangun tidak dipengaruhi oleh posisi sosial ketika mereka berada di luar

panggung. Dalam situasi kebersamaan saat bermain hadrah, penggung merupakan

wajah baru yang berbeda dari hidup keseharian mereka. Hirarki dalam keseharian

menghilang ditelan oleh situasi liminal dominasi psikologis yang dimiliki

seseorang anggota luluh dan digantikan oleh peran-peran didalamnya.

Demikianlah maka dalam komunitas panggung hadrah, persoalan

senioritsa-yunioritas menjadi cair, tidak tampak secara vulgar sebagaimana di lua

panggung. Begitu juga halnya dnegan hubungan atasan-bawahan, sesepuh-anak

muda, kiyai-santri. Pola hubungan biner yang umum terjadi di masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

81

termasuk di lingkungan pondok pesantren adalah sesuatu yang lumrah dan

diketahui umum merupakan bagian struktural. Kiayi dan satri adalah dua sosok

yang jelas berbeda, yang satu pengendali dan yang lain dikendalikan. Begitu juga

ustadz dan santri, keduanya adalah guru dan murid. Hubungan-hubungan sosial

antarkedua pihak di lingkungan pondok pesantren dalam keseharian bersifat kaku

dan boleh dikata monologis dan terkesan antidialogis. Di sini praktek dominasi

terjadi. Dan itulah kenyataan hidup keseharian mereka.

Di atas panggung hadrah, wujud hirarki itu berubah. Situasi yang terjadi

berbeda dari kenyataan keseharian. Pangung hadrah telah terbebaskan dari

struktur hirarki yang ada selama ini. Senioritas dan yunioritas santri hanya berlaku

di luar panggung hadrah. Kiyai dan ustadz yang selama ini berada di depan santri

saat belajar, maka di panggung hadrah boleh jadi justru berada sejajar dengan para

santri. Pada saat-saat latihan seringkali kyai menonton para santrinya dari

kejauhan. Ini menunjukkan bahwa keberadaan hadrah merupakan sebuah arena

bagi penciptaan hubungan sosial baru yang lain di luar kegiatan konvensional

yang penuh dengan praktek kehidupan struktural.

A.3. Aspek Sakral-Profan

Praktek pembacaan salawat atas Nabi Muhammad, sebenarnya berangkat

dari pemahaman atas perintah Tuhan, “Hai orang-orang yang beriman,

bersalawatlah kamu sekalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan

penghormatan kepadanya”.8 Dalam hadits juga disebutkan, “Bersalawatlah kamu

sekalian untukku, maka sesungguhnya salawat untukku bagi kamu sekalian adalah

8 Lihat Al Quran, surat Al Ahzab: 56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

82

sebagai pembersih dosa dan jiwa, barangsiapa yang membaca untukku satu

salawat niscaya Allah akan memberikan rahmat sepuluh kali.”9 Pemahaman atas

teks Al Qur’an dan Sunnah Nabi ini dengan demikian melandasi tuntutan dalam

agama Islam untuk bersalawat tersebut. Oleh karena itu perintah tersebut

dipahami sebagai suatu ibadah bagi orang yang melakukannya. Ini juga berarti

bahwa membaca salawat merupakan ritual dank arena itu bersifat suci, sehingga

tidak dapat dilakukan di sembarang tempat dan waktu.

Dapatkah bacaan salawat dilakukan dengan iringan musik? Menurut

Nakata,10

musik dan musisi merupakan hal yang bersifat paradox dalam

pandangan Islam di Timur Tengah. Kenyataan ini ditunjukkan oleh

ketidaksesuaian antara teori-sikap atau pandangan negatif Islam terhadap musik

dan praktek eksistensi musik sebagai bagian yang hampir tidak dapat dipisahkan

dari kehidupan masyarakat Islam. Kenyataan yang sama juga terjadi pada

masyarakat muslim Indonesia. Meskipun pemahaman atas beberapa teks Al

Qur’an dan Sunnah dimana keduanya menunjukkan kecenderungan atau seolah-

olah melarang musik, namun sumber nash Al Qur’an dan Sunnah tidak

memberikan gambaran secara jelas apakah musik itu dilarang atau diperbolehkan.

Dalam salawat hadrah, kenyataan menunjukkan bahwa aspek sakralitas

yaitu membaca salawat atas Kanjeng Nabi berbaur dengan aspek profane musik.

Dengan demikian dalam panggung hadrah keduanya menjadi kabur. Sakralitas

salawat mengalami minimalisasi dalam lantunan para penyanyi hadrah. Hal ini

9 Dikutip dari Sumpeno SM, Mengenal Seni Sholawatan Rodad Syubbanul Muslimin,

Stensilan tidak diterbitkan, hal. 3 10

Dikutip dari Deni Hermawan, Etnomusikologi: Beberapa Permasalahan dalam Musik

Sunda, Bandung: STSI, 2002, hal. 176

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

83

diperkuat dengan iringan bunyi-bunyian alat musik yang dalam teks keagamaan

mengesankan adanya semacam larangan. Terlepas dari soal dilarang atau

diperbolehkan, jelas bahwa musik secara umum adalah profan, bukan hal yang

suci. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa dalam hadrah, bacaan salawat atas

Kanjeng Nabi mengalami proses desakralisasi.

Desakralisasi salawat dalam panggung hadrah merupakan suatu fenomena

dalam proses terciptanya komunitas seperti dikemukakan Turner. Aspek sakral

salawat adalah bagian dari sesuatu yang penting menurut ajaran Islam, namun

dalam panggung hadrah hal tersebut tidak berlaku. Salawat telah menjadi

nyanyian yang diiringi bunyian instrumen musik dan diperdengarkan kepada

khalayak. Jika dalam tuntunan Islam membaca salawat dilakukan sebagai ibadat,

dan karena itu dilakukan pada waktu dan tempat tertentu, setelah ibadat shalat

misalnya, atau pada acara yang khusus untuk itu, maka pelantunan salawat

dibarengi bunyian pada acara hadrah jelas telah berbeda suasananya. Melalui

arena panggung hadrah, salawat telah mengalami proses komodifikasi dan

menjadi produk kemasan yang dikonsumsi dan kemudian diperjualbelikan kepada

khalayak umum.11

Jelaslah bahwa keberadaan panggung hadrah sebagai sebuah momen

komunitas seperti dalam teori Turner merupakan sebuah kenyataan yang lahir

bukan tanpa alasan. Seni salawatan hadrah di kalangan santri selain berhubungan

dengan fungsi hiburan, ekspresi seni, dan alasan normatif keagamaan, juga

11

Kini sangat banyak dijumpai kaset berisi seni salawatan yang diperjualbelikan di pasar,

seperti beberapa album yang sudah popular di masyarakat, antara lain album Nur Muhammad,

Ziarah Rasul, CInta Rasul 1-6, Love for the Messenger (kolaborasi bareng Victoria Philharmonic

Prhestra, Melbourne), semuanya album rekaman penyanyi Hadad Alwi dan Sulis. Lihat Fadhilah,

Edisi III Agustus 2003, hal. 8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

84

mengandung makna sebagai arena pembebasan dari realitas structural yang

menghimpit untuk menciptakan suasana yang lebih baik antar anggota keluarga

yang terlibat. Sebagai momen liminal, panggung hadrah telah menjadi ruang

ketiga, the third space, yang mampu berperan sebagai media pendidikan bagi para

santri pondok pesantren. Liminitas yang menciptakan komunitas dalam hadrah,

telah menjadi arena para santri menjalami pengalaman yang bersifat pendasaran

hidup. Sebagai pribadi atau kelompok, santri sebagai subjek hadrah, mendapat

suatu penerangan yang kemudian diaktulisasikan dalam masyarakat saat santri

sebagai subjek kembali ke dalam masyarakat sehari-hari. Waktu beraktivitas

dalam seni hadrah dan berpisah dari keseharian inilah subjek santri mengalami,

merenung dan membentuk diri. Inilah yang disebut Turner sebagai tahap reflektif-

formatif.12

Inilah makna di balik aktivitas hadrah di kalangan santri pondok

pesantren. Ciri-ciri komunitas antristruktur yang tercipta dalam panggung hadrah

adalah bahwa relasi-relasi yang terjadi itu tak terbedakan, egalitarian, langsung

ada, nonrasional dan eksistensial seturut dengan konsep Turner tentang ritual

dalam masyarakat Ndembu di Afrika.13

B. Hibriditas Hadrah

Hibriditas merupakan sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Homi

Bhabha dalam wacana poskolonial.14

Hibriditas Bhabha mengacu pada proses

dimana para penulis dan pemikir bumiputra menyingkapkan hakikat wacana

12

Lihat Turner, op cit, hal. 41 13

Ibid, hal.49 14

Dikutip dari Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Ed, Hermeneutika Pascakolonial:

Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 175

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

85

paskakolonial yang bersifat aneka ragam dan kontingen, namun berlindung di

balik klaim logika tunggal dan absolut. Akibatnya, wacana paskakolonial

dicirikan sebagai ambivalen. Hibriditas atau hibridisasi adalah bentuk lain dari

mimikri: sebuah teks hybrid yang berbeda dari teks “resmi” wacana kolonial

adalah produk dari tindakan meniru (mimikri). Meskipun penggunaan kedua

istilah ini (mimikri dan hibriditas) terbatas dalam lingkup konteks diskurtif yang

sejenis, mereka bisa menjadi alat yang ampuh dalam perjuangan antikolonial

sebab kedua istilah ini memunculkan keraguan atas ide universalisme dan

identitas-diri sebagaimana dipahami dalam ideologi-ideologi kolonial.

Apakah persoalan hibriditas merupakan keniscayaan dalam proses

pembentukan identitas kultural masyarakat Indonesia? Lebih jauh, apakah dengan

demikian proses tersebut merambah seluruh aspek budaya, utamanya dalam seni

musik secara umum dan secara khusus seni salawatan di kalangan santri pondok

pesantren, sehingga konsekuensi dari proses hibridasi di kalangan kaum santri

juga tak terhindarkan? Menurut Homi Bhabha, hibriditas memunculkan diri dalam

budaya, ras, bahasa, dan sebagainya.15

Di Jawa proses hibridisasi setidaknya

masih berlangsung hingga kini sejak masa prasejarah. Pada fase Indianisasi

dengan corak Hindu dan Budhisme, kehidupari masyarakat agraris terutama

sistem keyakinan kosmis, akhirnya meresapkan domain India dan Budhisme

dalam tradisi masyarakat Jawa. Proses hibridisasi lainnya di Indonesia khususnya

Jawa berlangsung saat masuknya Islam sehingga ditandai corak semakin

banyaknya unsur-unsur keyakinan yang berpadu di masyarakat yang dikenal kini

15

Lihat J. Supriyono, dalam Ibid., hal. 145

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

86

dengan budaya sinkretis. Begitu juga proses lanjutan yang terjadi ketika

imperialism Eropa mulai menginjakkan kakinya di Nusantara terutama di Jawa.

Ini berarti hibridisasi yang digagas Bhabha sebagai suatu proses penciptaan

identitas kultural di Jawa telah berlangsung dalam kurun yang panjang.16

Hadrah merupakan sebuah faset budaya berupa seni pertunjukan yang

dilakukan oleh sebagian masyarakat yaitu para santri pondok pesantren di

beberapa tempat di Jawa, termasuk di Gunungkidul. Pada kenyataannya, seni

pertunjukan ini mengandung beberapa unsur campuran (hibrid) di dalamnya.

Unsur tersebut berupa syair lagu berbahasa Arab, pada awalnya dikembangkan

oleh warga Indonesia keturunan Arab tetapi kemudian banyak dimainkan oleh

kalangan santri pondok pesantren NU, tema lagu yang dinyanyikan berisi syair

salawat berupa puji-pujian atas Kanjeng Nabi (berikut keluarga dan sahabatnya),

dan instrumen musik yang dipakai adalah sejenis perkusi yang sering disebut

terbangan. Unsur-unsur faktual dalam kesenian hadrah ini menimbulkan

pertanyaan, apakah hadrah merupakan artikulasi dan hasil proses hibriditas.

Secara historis, seni ini pada mulanya dikembangkan oleh para habaib

kemudian direproduksi oleh para santri pondok pesantren. Para habaib ini sendiri

adalah warga Indonesia keturunan Arab. Oleh karena itu besar kemungkinannya

kesenian hadrah juga berasal dari Timur Tengah. Keterangan ini sesuai dengan

pandangan bahwa sejak awal pertumbuharmya, pondok pesantren tidak pernah

lepas dari pengaruh budaya lokal, Arab dan Persia. Budaya lokal yang

mempengaruhi pesantren adalah budaya Jawa pra-Islarn. Pengaruh tradisi yang

16

Lihat Ibid. hal 146-147

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

87

datang dari Timur Tengah adalah dari Persia. Pengaruh ini sangat besar dalam

tradisi pesantren. Hal ini terbukti dari adanya acara pembacaan syair-syair kitab Al

Barzanji atau pembacaan marhabanan dalarn acara brokohan. Menurut Imron

Arifin, upacara pembacaan syair-syair dari kitab Al Barzanji sebenarnya

merupakan pengaruh dari paham Syi’ah, yang pada masa awal perkembangan

Islam di Indonesia dibawa oleh para ularna dari generasi Walisongo.17

Maka tidak

mengherankan jika tradisi tersebut masih begitu kental dalam kehidupan seni di

Pesantren. Tidak mengherankan pula mengapa syair-syair lagu yang

diperdengarkan dalam hadrah berbahasa Arab. Sedangkan lagu-lagu bukan

berbahasa Arab, bahasa Jawa misalnya, tidak banyak dijumpai.18

Dengan

demikian teks syair berbahasa Arab yang berisi lantunan pujian atas Kanjeng Nabi

tersebut, bukan karya otentik dari Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Arab

jelas bahwa hal tersebut setidaknya merupakan karya dan atau sekurang-

kurangnya pengaruh dari Timur Tengah. Islam lahir di Timur Tengah,

berkembang di Indonesia dan Islam tidak dapat dipisahkan dari bahasa Arab.19

Fenomena hibriditas hadrah juga ditunjukkan dengan penggunaan instrumen

musik berupa perkusi. Penggunaan alat musik tepukan merupakan pengaruh dari

musik Tirnur Tengah yang kedatangannya bersamaan dengan kehadiran Islam di

17

Dikutip dari Fadhilah Edisi IV September 2003, hal. 7 18

Beberapa kelompok hadrah yang ada di Gunungkidul, umumnya manyanyikan lagu-

lagu berbahasa Arab. Album yang pemah dikeluarkan oleh kelompok hadrah Badru Tamam

bekejasama dengan kelompok hadrah Badru Tamam bekerjassama dengan kelompok hadrah dari

pondok pesantren Al I’anah Playen dan pondok pesantren Darul Qur’an wal Irsyad Ledoksari

semuanya link berbahasa Arab. 19

Dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 10 tempat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an

diturunkan (diwahyukan) dalam bahasa Arab. Sebagai contoh lihat Al Qur’an surat Yusuf ayat 2,

berbunyi (terjemahannya): “Sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an itu dengan berbahasa

Arab agar kamu memahaminya.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

88

Nusantara pada abad ke-15 M.20

Bagi para santri, paduan tembang salawat dan bunyi tepukan perkusi yang

melahirkan hadrah, merupakan corak kesenian Islami. Bahwa asal muasal

beberapa anasir dalam kesenian tersebut bukan karya asli mereka bukanlah hal

yang penting. Bagi para santri penampilan berkarya seni lewat tembang-tembang

salawatan, termasuk di dalamnya versi hadrah, sudah rnerepresentasikan

keberagamaan mereka. Tarnpilan salawatan baik dengan iringan musik maupun

tidak tetaplah suatu citra keislaman santri, Dalam pandangan mereka, bentuk

salawatan dengan berbagai variasi inilah artikulasi identitas keislaman santri,

tanpa peduli dari mana asalnya. Yang penting bahwa seni yang mereka gelar

berupa lantunan syair-syair salawat, cara penyajian yang serasi dalam arti busana

maupun gaya tubuh yang mencerminkan kepantasan (busana muslim-muslimah),

merupakan ekspresi seni yang Islarni sebab pesan-pesan yang dikandung dalam

nyanyian tersebut bagi mereka jelas sekali. Di samping itu ketidakacuhan terhadap

asal-usul memperlihatkan sikap mereka yang terbuka terhadap perkembangan

musik di luar mereka, dalam arti bahwa dalam aktivitas bersalawat mereka juga

tidak pantang terhadap penggunaan instrumen musik dari Barat. Bahkan mereka

menyebut peralatan musik tersebut sebagai modern. Oleh karena itu dalam

pandangan dunia santri masih terlihat adanya dikotomi antara modern dan

tradisional. Mereka menyebut alat-alat musik yang dipergunakan sebagai

pengiring seni salawatan seperti terbagan dan sejenisnya sebagai alat-alat musik

tradisional. Sebaliknya alat-alat musik seperti gitar, keyboard, atau drum

20

Lihat Deni Hermawan, Etnomusikologi, hal 184

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

89

disebutnya modern. Dikotomi ini semakin terlihat jelas dalam penggolongan seni

salawatan ketika ada penyelenggaraan festival. Dalam sejumlah festival

salawatan, para peserta digolongkan dalam tigas jenis, yaitu Salawat Jowo,

Klasik, dan Modern. Masing-masing dengan ciri-cirinya tersendiri.21

Penerimaan para seniman santri terhadap pengaruh budaya luar dalam

berkesenian memperlihatkan bahwa mereka bersifat terbuka. Namun demikian

keterbukaan itu terbatas dalam hal-hal yang dianggap positif dan tidak

bertentangan dengan pandangan dan sikap keberagaman mereka. Keterbukaan itu

hanya dalam hal instrumen musik Barat, tetapi juga menyangkut penerimaan atas

pengaruh budaya di sekitar mereka. Bahkan beberapa syair lagu populer di

masyarakat yang terkesan sebagai vulgar kemudian dikemas kembali sehingga

menjadi sajian musik yang patut diperdengarkan oleh para santri, lebih-lebìh

untuk kepentingan dakwah mereka.22

Itulah analisa mengapa dan bagaimana para santri memproduksi seni

salawatan yang dianggap sebagai seni santri yang kemudian menjadi identitas

mereka. Makna keberadaan seni salawatan terutama pada jenis hadrah berkaitan

dengan upaya mereka mengembangkan kepribadian dalam arti sebagai arena

21

Dalam tiga kali festival salawatan di Gunungkidul, tiga model pengelompokan ini

selalu dipakai oleh panitia festival. Salawat Jowo mengacu pada kelompok seni salawatan yang

kebanyakan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa, kelompok salawatan kiasik mengacu pada

kelompok salawatan yang menggunakan alat-alat perkusi saja, sedangkan salawatan modern

mengacu pada kelompok seni salawatan yang disamping menggunakan alat-alat terbangan juga

menggunakan alat-alat musik modern seperti gitar, keyboard dan lain-lain. 22

Sejumlah kelompok yang menyatakan diri sebagai seni Islami semisal campursari

Islami di Bansari Kepek Wonosari pimpinan Drs. H. Bardan Uman, M.Pd.I sangat terbuka untuk

menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Arab maupun berbahasa Jawa. Sedangkan kelompok hadrah,

lebih mengkhususkan diri dengan menampilkan lagu-lagu berbahasa Arab. Kelompok hadrah

Badru Tamam di Gubukrubuh dan Syawariqul Anwar dan pondok pesantren Darul Qur’an Wal

Irsyad Ledoksri Kepek adalah kelompok hadrah yang hanya menyanyikan lagu-lagu salawat

berbahasa Arab. Wawancara tanggal 22 Juli 2005 dengan Ahmad Fauzi Ansori, santri dan pemain

hadrah dari pondok pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad Ledoksari Kepek Wonosari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

90

pendidikan yang Islami menurut para santri itu sendiri. Dalarn proses yang terjadi

di arena panggung hadrah para santri mengembangkan kebersamaan, rasa

ketakberbedaan, suasana bebas dari struktur keseharian. Semua pengalaman ini

menjadi sesuatu yang penting dalam rangka penanaman nilai-nilai serupa untuk

menjadi bekal dalam hidup bermasyarakat. Dan ternyata jalan kultural yang

mereka lewati tidak terlepas dan kondisi budaya yang tercipta dari berbagai

pengaruh dari luar lingkungan mereka. Bila diangkat ke tingkat pencarian

identitas ke-Indonesia-an, maka dapat dirumuskan bahwa Indonesia harus

dibiarkan selalu berada dalam proses persilangan akibat dan perjumpaan dengan

budaya-budaya lain yang tidak terhindarkan. Dalam kasus Indonesia proses itu

telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

91

BAB V

KESIMPULAN

Kehadiran masyarakat santri di Gunungkidul dimulai ketika para pelajar

pondok pesantren asal daerah tersebut mengembangkan agama Islam melalui

dakwah. Dalam proses perkembangan selanjutnya kaum santri tidak lepas dari

peran lembaga pendidikan seperti pondok pesantren dan madrasah. Pondok

pesantren dengan subkultur yang ada merupakan suatu komunitas yang memiliki

cara tersendiri dalam pembinaan para santrinya. Di situlah para santri

mengembangkan dan mempertahankan khazanah budaya khas mereka, yang salah

satunya dalam bentuk seni salawatan hadrah. Melalui ekspresi seni salawatan

hadrah inilah para santri menunjukkan eksistensi, kreativitas dan selera seni

mereka.

Ekspresi seni mereka itu merupakan bagian dan proses dialektika dengan

perkembangan budaya kontemporer setempat. Lebih tegas lagi ekspresi seni

mereka itu merupakan counter atas seni budaya lokal yang mereka pandang bebas

dari dimensi keagamaan. Pilihan seni mereka dilatari oleh cita-cita identitas diri

yang berbeda dari bentuk-bentuk ekspresi seni masyarakat nonsantri. Di situlah

seni salawat hadrah menempatkan diri di antara berbagai varian dan asal-usul

subjek seni yang melahirkannya.

Makna seni dalam masyarakat santri selain sebagai satu bentuk hiburan,

tidak terlepas dan aspek keberagamaan mereka, seperti sebagai media dakwah dan

ibadah. Namun tenyata, dari paparan bab-bab terdahulu, seni hadrah juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

92

bermakna sebagai ruang liminal, yakni ruang yang meniadakan struktur-struktur

sosial komunitas santri. Dalam panggung seni hadrah terbangun suatu model

relasi sosial yang berbeda dari hidup keseharian mereka. Jika dalam kehidupan

keseharian mereka terkurung di dalam struktur jender dan sosial yang hirarkhis,

ruang liminal yang muncul di atas panggung seni hadrah menghadirkan relasi-

relasi sosial yang egalitarian, baik secara sosial maupun dari aspek hubungan

jender. Pengalaman ini selanjutnya berpengaruh dalam hidup keseharian mereka.

Pesan yang patut diambil dari persitiwa ini ialah bahwa pascasituasi

panggung, subjek pelaku seni hadrah akan dapat membangun relasi-relasi sosial

baru yang lebih adil dari segi jender, sosial, dan mungkin juga ekonomi. Model

relasi sosial tersebut adalah relasi yang berlandaskan prinsip-prinsip kesamaan

dan kebersamaan sebagaimana yang dialami di atas panggung seni itu. Secara

konkret, pascasituasi panggung hadrah, para santri dapat bergaul dan

berkomunikasi secara bebas, dalam arti tidak di bawah bayang-bayang dan

tekanan psikis sang kyai, ustadz, santri senior, perbedaan kelamin, dan lain-lain.

Demikian juga dalam pergaulan dan komunikasi dengan orang lain di luar

lingkungan pondok pesantren. Justru di luar pondok inilah diperlukan pembebasan

manusia dan praktek kehidupan sosiai yang mengabaikan pninsip kesamaan

(equality) bagi setiap individu.

Dengan demikian, panggung kesenian benar-benar memiliki makna dan

fungsi strategis dalam membangun masyarakat dengan kondisi struktural dan

plural. Panggung kesenian dapat menjadi arena bagi penanarnan nilai-nilai yang

mampu menciptakan bangunan sosial yang bebas dari sekat-sekat etnis, suku,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

93

agama, budaya, ekonorni, ideologi dan sebagainya.

Oleh karena itu panggung kesenian dapat menjadi suatu model bagi upaya

menciptakan kerukunan inter dan antarumat beragarna, misalnya. Dalam model

ini sekat-sekat agama, kepercayaan, ideologi dan lain-lain boleh jadi akan

semakin cair. Hal yang sama juga dapat dipraktekkan dalam upaya menciptakan

suasana hubungan yang harmonis dalam suatu unit birokrasi seperti

kantor/instansi baik swasta maupun pemerintah.

Apapun bentuk kesenian panggung, tanpa melihat aspek kualitas dan

materialnya, tanpa harus mempedulikan popularitas, komersialitas, serta coraknya,

ruang liminal yang hadir di dalamnya ternyata mampu berfungsi untuk

memperbaharui struktur-struktur sosial yang ada. Di sinilah letak relevansi

pelestarian dan pengembangan budaya yang dilakukan oleh berbagai pihak.

Kajian ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan. Berbagai data yang

diperlukan masih kurang dan belum dapat dielaborasi lebih mendalam dengan

perspektif yang jelas. Padahal data yang komprehensif dan kajian mendalam akan

mampu memberikan pengetahuan tentang fenomena sosial budaya yang telah

menjadi bagian dan kesadaran hidup masyarakat tempat kajian dilakukan. Begitu

juga dengan aspek historis objek kajian ini belum dapat dilacak secara lebih jelas.

Difusi keseniaan juga belum dapat “dijangkau” secara lebih proporsional,

termasuk agensinya. Tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan “perhatian”

tentang aspek yang berkaitan dengan lagu-lagu yang seharusnya dapat dielaborasi

secara mendalam, karena secara materi data teks lagu dapat diperoleh dengan

mudah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

94

Dengan demikian sangat terbuka kesempatan kepada kajian lebih lanjut.

Fenomena seni dalam masyarakat santri khususnya dan masyarakat luas pada

umumnya, terutama di Gunungkidul, merupakan lautan pesona untuk digali lebih

serius sebagai upaya pemahaman akan realitas kultural masyarakat di mana

kondisi sosial, ekonomi dan geografi setempat berbeda dengan daerah lain. Di

antara berbagai faktor yang ada, tentu penulis adalah tempat keterbatasan terbesar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

95

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (Ed.). 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta:

Galang Press.

Anas. Ahmad. 2003, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan

Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anderson, Benedict R. O’G. 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di

Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa.

Baker, J.W.M.,S.J. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: BPK-Kanisius.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2004. Gunungkidul dalam Angka

2003.

Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia.

Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.

Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di

Gunungkidul, Yogyakarta: Saiwa Press.

Departemen Agama R.I 1989. Al Qur‘an dan Terjemahan. Semarang: Toha Putra.

Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai. Jakarta: LP3ES.

Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Terjemahan A. Widyamartaya.

Yogyakarta: Kanisius.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

______, 1989. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:

Pustaka Jaya.

Hall, Stuart. “The Question of Cultural Identity”.

Haryatmoko, Dr. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas.

Herdiani, Een. Bajidoran di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan. Jakarta:

Hasta Wahana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

96

Hermawan, Deni. 2002. Etnomusikologi: Beberapa Permasalahan dalam Musik

Sunda. Bandung: STSI Press.

Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca New York:

Cornell University Press.

IKSAP. 2000. Kumpulan Sholawat Terpopuler. Magelang: Pengurus Ikatan

Keluarga Santri Purworejo Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo

Magelang Periode 2000.

Kaplan, David, Albert A. Manners. 2000. Teori Budaya. Terjemahan dari The

Theory of Culture oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Kayam, Umar, “Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan” dalam,

Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2000, Ketika Orang Jawa Nyeni,

Yogyakarta: Galang Press.

Koentjaraninrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Maslow, H. Abraham. 1994. Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan

Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan Nurul Iman.

Bandung: P.T. Pustaka Binaman Pressindo.

Panitia Festival Sholawat se-Kabupaten Gunungkidul. 2003. “Daftar Grup

Festival Sholawat se-Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003”.

Lembaran lepas.

Soedarsono, R.M. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Seni Rupa.

Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

Storey, John, 2003.Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap

Konseptual Cultural Studies. Terjemahan dari An Introductory Guide

to Cultural Theory and Popular Culture, 1993, Yogyakarta: Qalam

Suharsoyo, S.K. Teater Tradisional di Sleman, Yogyakarta: Jenis dan

Persebarannya dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2000, Ketika Orang

Jawa Nyeni, Yogyakarta: Galang Press.

Sujadi. 2003. “Kesenian Badui Al Huda Tajem Maguwoharjo” dalam Jurnal

Bahasa, Peradaban & Informasi Islam Fakultas Adab IAIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, Thaqafiyyat, Vol. 4, No. 1 Januari-Juni 2003,

hlm. 76-97

Sumardjo, Jakob. 2000. FiIsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.

Sumpeno S.M. Tanpa tahun. Mengenai Seni Sholawatan Syubbanul Muslimun.

Stensilan tidak dipublikasikan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus ...repository.usd.ac.id/31942/2/016322004_full.pdfSENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)

97

Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto (Ed.). 2004. Hermeneutik Pascakolonial: Soal

Identitas. Yogyakarta: Kanisius.

Thoha, Zainal Arifin. 2002. Eksotisme Seni Budaya Islam: Khazanah Peradaban

dan Serambi Pesantren. Yogyakarta: Bukulaela.

Usman, Bardan, K.H. Tt. Lelagon Sholawatan Khoirunnisa’ Bansari. Stensilan,

tidak diterbitkan.

Sumber Majalah

Majalah Fadilah, Edisi III, Agustus 2003, hlm. 5-15.

Majalah Fadilah, Edisi IV, September 2003, hlm. 5-10.

Sumber Wawancara:

1. Drs. K.H. Yusuf Masyhuri, M.Pd.I, Pengasuh Pondok Pesantren AI Hikmah,

Gubukrubuh, Getas, Playen.

2. Drs. K.H. Bardan Usman, M.Pd. I, Tokoh Islam, Mubaligh dan Pecinta Seni

Salawatan.

3. Drs. H. Ahmad Supono, PNS, Pembina Kelompok Seni Salawat Jowo.

4. Drs. H. Masdjuri, Pegawai Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul.

5. Drs. K. Habib Wardani, Kyai, Mantan Pemain Rodat, Getas, Playen.

6. Ahmad Bahiej, S.Ag., M.Hum., Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

pemain hadrah.

7. M. Ali Ikhsan, S.Ag., Pemain Hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas,

Playen.

8. Ali Maksum,S.Ag., Pemain Hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas,

Playen.

9. Habibullah, Pemain Hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas, Playen.

10. Ahmad Fauzi Ansori,S.Ag., Pemain Hadrah Syawariqul Anwar, Ledoksari,

Kepek, Wonosari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI