sang pengamen
DESCRIPTION
menceritakan tentnag kehidupan pengamenTRANSCRIPT
Sang Pengamen
Oleh: Rabian Syahbana
Pagi masih muda. Kedua tangan jarum jam masih menggelayut manja di angka
sembilan, enggan merangkak naik. Langit biru jernih dan matahari bersinar tanpa
balutan kapas-kapas putih. Jumat itu, GOR Sidoarjo ramai dengan pengunjung. Ratusan
anak-anak TK dibariskan rapi seperti tentara, memakai baju karnaval lengkap dengan
segala atribut dan make up tebal. Ibu-ibu guru sibuk memberikan instruksi yang
sebenarnya sia-sia saja karena tak ada yang mendengarkan. Beberapa anak-anak di
barisan depan melambaikan tongkat perinya yang berhias pita pink ke depan kamera
reporter dengan antusias yang berlebihan. Amboi, enak sekali jadi anak kecil. Belum
paham mereka betapa susahnya cari makan.
Tak jauh dari keramaian itu, terlihat seorang kakek dengan baju batik dan celana
hitam yang sudah lusuh mengamen di depan minimarket. Ia berjalan pelan. Langkahnya
bungkuk dan terseok-seok. Suara sandal japit Swallow birunya yang bergesekan keras
dengan aspal panas terdengar memilukan. Sebuah tas kain kuning dengan tali coklat
tersampir miring dibahu kanannya. Tas itu berisi nasi bungkus pemberian ibu pemilik
warung yang baik hati dan sebotol Pocari Sweat dari anak muda yang kebutulan sedang
sarapan di warung.
Namanya adalah Sutisno. Warga Kecamatan Krembung, Sidoarjo yang
berprofesi sebagai pengamen. Ia tak mengamen setiap hari karena tubuhnya yang telah
renta tak mampu berdiri lama dan berjalan jauh. Sahabatnya adalah awan putih, bukan
awan hitam yang penuh air hujan. Ketika matahari tertutup awan, ia menyusuri
pinggiran jalan untuk mengamen. Tetapi jika awan putih telah lewat dan matahari
bersinar terik, laki-laki kelahiran 1942 ini terpaksa harus berhenti untuk berteduh. Pun
ketika hujan turun, ia harus segera mencari tempat berlindung.
Ketika berteduh hari itulah Pak Sutisno mengeluarkan bungkusan nasi
pemberian tadi. Suaranya yang dalam terbata-bata ketika ia berdoa, mengucap syukur
atas rejeki hari ini kepada Gusti Allah. Dimakannya nasi itu pelan-pelan. Tangan
kanannya yang terkena Dupuytren’s Contracture (gangguan yang menyebabkan jari
penderita kaku dan tak bisa diluruskan) dengan susah payah menyuapkan nasi ke
mulutnya. Setelah selesai makan, Pocari Sweat yang hanya sebotol itu ia tenggak
hingga habis. Bottoms up.
Pak Sutisno selama ini hidup dengan belas kasihan orang lain. Ia dan istrinya
yang baru saja menjalani operasi pengangkatan batu ginjal, hidup sendirian. Selama ini
tetangga lah yang banyak membantu. Biaya operasi istrinya ia tak tahu darimana.
Katanya dari bantuan pak RT. Kedua putri kesayangan mereka sudah tak ada. Si sulung
meninggal di usia enam belas tahun karena terbawa arus sungai, sedangkan si bungsu
pergi bekerja di Kalimantan.
Si bungsu ini sudah pergi selama empat tahun. Bungsu pergi dengan suaminya,
penjual mie ayam serta putra mereka. Ketika berpamitan dengan Pak Sutisno, ia berkata
ingin pergi merantau, memperbaiki hidup. Pak Sutisno yang sepuh ini tentu saja tak
rela. Bagaimana ia bisa tahan dan tak berubah menjadi orang gila bila anak yang
menjadi sanggahan hidup telah pergi?.
Laki-laki yang hatinya telah hancur karena kepergian Si Sulung ini, memohon
agar tak ditinggal sendiri. Ia takut putrinya ini tak kembali. Tak usah lah pergi merantau
jauh-jauh. Disini saja temani orang tuamu yang sudah bau tanah. Kerjo nang kene ae,
sing penting temen. Begitulah bujukan Pak Sutisno. Tetapi karena Si Bungsu tak kuat
hidup meralat dan ingin membangun keluarga mudanya sendiri, ia nekat pergi walau
tanpa restu orang tua.
Putrinya pergi saat pagi masih sangat buta yang ayampun merasa malas
membuka matanya. Tanpa menyisakan satu kenang-kenangan apapun keluarga kecil
anaknya itu meninggalkan mereka, seperti mereka memang tak ada sebelumnya. Tak
ada anggota keluarga pak Sutisno selain ia dan istrinya.
Mata buram Pak Sutisno berkaca-kaca ketika mengingat putrinya yang telah
melupakan orang tuanya itu. Wajahnya yang coklat terbakar matahari dan penuh
guratan mengerut menahan air mata, tak sampai hati memikirkan kekurang-ajaran
putrinya. Dengan tangan kiri, ia melepas kopiah putih bulat di kepalanya, mengusap
keringat sebentar, lalu memakainya lagi. Terlihat rambut yang sudah memutih dan
dipotong gundul. Napasnya berat dan tersengal-sengal.
Tak jauh dari tempatnya duduk ada sebungkus rokok berwarna merah dan korek
api. Isinya tinggal satu. Rokok itu milik Pak Sutisno, pemberian orang di jalan. Ketika
ditegur agar tak banyak merokok, ia hanya tertawa. Arang-arang, candanya.
Seketika bau tembakau menyergap hidung. Asap putih tipis yang panjang keluar
dari mulutnya Pak Sutisno, “Bul, Bul, Bul”. Bau tembakau agaknya membuat lelaki
renta ini terangkat semangatnya. Senyum terkembang dari bibir sang pengamen tua.
Kumis yang sewarna dengan rambutnya, bergerak-gerak ketika ia menlanjutkan kisah.
Setiap hari, ia bangun pukul setengah empat. Di pagi buta yang dinginnya bisa
membuat anak-anat TK terserang flu seminggu, ia mandi lalu memasak air hangat untuk
sang istri. Penuh kasih sayang, Pak Sutisno memandikan istrinya yang sedang sakit di
tempat tidur. Ia mengelap tubuh sang istri dengan handuk kecil dan mengeringkannya.
Setelah itu, ia bantu istrinya mengenakan baju.
Ketika adzan subuh berkumandang ia bergegas wudhu dan pergi ke masjid.
Nanti setelah dari masjid ada sedikit cuciannya yang perlu diurus. Baru lah, setelah itu
pergi mengamen ke pusat Sidoarjo sampai sore. Uang hasil mengamennya akan
digunakan untuk biaya kontrol istri dan obat-obatan. Maklum, ia tak tahu BPJS dan cara
mendaftarnya.
Pak Sutisno adalah salah seorang yang termasuk dalam lansia yang berjumlah
8,9 persen dari total populasi Indonesia seperti yang ditemukan dalam survei pada tahun
2013 yang lalu. Indonesia mempunyai UU yang mengatur mengenai kesejahteraan para
lansia, yaitu UU No. 13 tahun 1998.
Menurut Undang-Undang ini, Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun keatas. Pemerintah, masyarakat, dan keluarga bertanggungjawab atas
terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia. Namun, sepertinya
pekerjaan ini masih jauh kata selesai.
Berbeda dengan Indonesia di China ada Undang-Undang unik dari negeri tirai
bambu, Cina. Sejak Desember 2012, terdapat UU yang dikeluarkan oleh Pemerintah
yang mewajibakan anak untuk mengunjungi orang tuanya secara rutin. UU ini dibuat
untuk memberikan dukungan terhadap para orang tua, tidak hanya dari sisi material atau
finansial, tetapi juga dukungan emosional yang sangat amat dibutuhkan oleh para orang
tua. Mungkin, dukungan emosional ini lebih dibutuhkan, karena kita semua tahu, orang
tua kita tentu sangat bahagia saat melihat anaknya sukses, apalagi bila anaknya
memberikan perhatian pada orang tuanya.
Inilah yang diinginkan oleh Pak Sutisno. Ia ingin di usia senja bisa hidup tenang
dan bahagia. Tak perlu mengamen di pinggir jalan dan hidup dari belas kasihan orang
lain. Ia pun ingin sekadar meninkmati teh hangat di sore hari dengan sang istri.
Bernostalgia bersama sembari melihat cucu-cucunya bermain di teras.
Tapi apa daya baginya, jejak kaki anaknya yang dulu saat masih bersama kini
telah sepenuhnya hilang tersapu waktu. Semakin bertambahnya waktu semakin hilang
juga kenangan tentang anaknya. Pikirannya menimang-nimang selucu apa cucunya
sekarang, apakah masih bergelayun manja setiap kali bersama.
Tidak ada di dunia ini orang tua yang menerima apa adanya jika telah merawat
anaknya sampai mereka dewasa. Sebenarnya pak Sutisno tidak meminta banyak, hanya
perhatian, perhatian dari anaknya tersayang. Minimal tegur sapa atau sepucuk surat dari
sebrang yang menanyakan apa kabar. Tidaklah sulit pikirnya, jika kita membalik waktu
dan menayangkan tayangan masa lampau begitu banyak jasa yang telah dikorbankan
pak Sutisno untuk menjaga dan merawat anaknya. Serangkaian jasa yang tak kan bisa
dibayar dengan takaran uang masa kini.
Ingin rasanya pak Sutisno mengutuk dengan apa yang sedang terjadi padanya
dan menyalahkan takdir, tapi ia sadar bahwa ia adalah seorang muslim. Percuma jika
seorang muslim yang telah sholat lima waktu tapi kelakuannya sama dengan pemabuk
jalanan yang sering ia temui saat hari telah menurunkan tirai malamnya. Kini ia hidup
dengan apa adanya dirinya, mengalir laksana daun di arus.
Pak Sutisno ingat satu ayat Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 2-3 yang
terjemahannya “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatkan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya
kami telah meguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta”. Pak Sutisno sadar betul walau saat ini ia seperti diacuhkan zaman, ia
percaya Allah masih bersamanya. Masih menawarkan janji manis dan akan
menepatinya, sebuah janji yang menjamin ia nanti akan hidup damai dan tenang di
surga sana. Dan ia percaya.