sang pengamen

7
Sang Pengamen Oleh: Rabian Syahbana Pagi masih muda. Kedua tangan jarum jam masih menggelayut manja di angka sembilan, enggan merangkak naik. Langit biru jernih dan matahari bersinar tanpa balutan kapas-kapas putih. Jumat itu, GOR Sidoarjo ramai dengan pengunjung. Ratusan anak-anak TK dibariskan rapi seperti tentara, memakai baju karnaval lengkap dengan segala atribut dan make up tebal. Ibu-ibu guru sibuk memberikan instruksi yang sebenarnya sia-sia saja karena tak ada yang mendengarkan. Beberapa anak-anak di barisan depan melambaikan tongkat perinya yang berhias pita pink ke depan kamera reporter dengan antusias yang berlebihan. Amboi, enak sekali jadi anak kecil. Belum paham mereka betapa susahnya cari makan. Tak jauh dari keramaian itu, terlihat seorang kakek dengan baju batik dan celana hitam yang sudah lusuh mengamen di depan minimarket. Ia berjalan pelan. Langkahnya bungkuk dan terseok-seok. Suara sandal japit Swallow birunya yang bergesekan keras dengan aspal panas terdengar memilukan. Sebuah tas kain kuning dengan tali coklat tersampir miring dibahu kanannya. Tas itu berisi nasi bungkus pemberian ibu pemilik warung yang baik hati dan sebotol Pocari Sweat dari anak muda yang kebutulan sedang sarapan di warung. Namanya adalah Sutisno. Warga Kecamatan Krembung, Sidoarjo yang berprofesi sebagai pengamen. Ia tak mengamen

Upload: rabian-syahbana

Post on 15-Dec-2015

218 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

menceritakan tentnag kehidupan pengamen

TRANSCRIPT

Page 1: Sang Pengamen

Sang Pengamen

Oleh: Rabian Syahbana

Pagi masih muda. Kedua tangan jarum jam masih menggelayut manja di angka

sembilan, enggan merangkak naik. Langit biru jernih dan matahari bersinar tanpa

balutan kapas-kapas putih. Jumat itu, GOR Sidoarjo ramai dengan pengunjung. Ratusan

anak-anak TK dibariskan rapi seperti tentara, memakai baju karnaval lengkap dengan

segala atribut dan make up tebal. Ibu-ibu guru sibuk memberikan instruksi yang

sebenarnya sia-sia saja karena tak ada yang mendengarkan. Beberapa anak-anak di

barisan depan melambaikan tongkat perinya yang berhias pita pink ke depan kamera

reporter dengan antusias yang berlebihan. Amboi, enak sekali jadi anak kecil. Belum

paham mereka betapa susahnya cari makan.

Tak jauh dari keramaian itu, terlihat seorang kakek dengan baju batik dan celana

hitam yang sudah lusuh mengamen di depan minimarket. Ia berjalan pelan. Langkahnya

bungkuk dan terseok-seok. Suara sandal japit Swallow birunya yang bergesekan keras

dengan aspal panas terdengar memilukan. Sebuah tas kain kuning dengan tali coklat

tersampir miring dibahu kanannya. Tas itu berisi nasi bungkus pemberian ibu pemilik

warung yang baik hati dan sebotol Pocari Sweat dari anak muda yang kebutulan sedang

sarapan di warung.

Namanya adalah Sutisno. Warga Kecamatan Krembung, Sidoarjo yang

berprofesi sebagai pengamen. Ia tak mengamen setiap hari karena tubuhnya yang telah

renta tak mampu berdiri lama dan berjalan jauh. Sahabatnya adalah awan putih, bukan

awan hitam yang penuh air hujan. Ketika matahari tertutup awan, ia menyusuri

pinggiran jalan untuk mengamen. Tetapi jika awan putih telah lewat dan matahari

bersinar terik, laki-laki kelahiran 1942 ini terpaksa harus berhenti untuk berteduh. Pun

ketika hujan turun, ia harus segera mencari tempat berlindung.

Ketika berteduh hari itulah Pak Sutisno mengeluarkan bungkusan nasi

pemberian tadi. Suaranya yang dalam terbata-bata ketika ia berdoa, mengucap syukur

atas rejeki hari ini kepada Gusti Allah. Dimakannya nasi itu pelan-pelan. Tangan

kanannya yang terkena Dupuytren’s Contracture (gangguan yang menyebabkan jari

penderita kaku dan tak bisa diluruskan) dengan susah payah menyuapkan nasi ke

mulutnya. Setelah selesai makan, Pocari Sweat yang hanya sebotol itu ia tenggak

hingga habis. Bottoms up.

Page 2: Sang Pengamen

Pak Sutisno selama ini hidup dengan belas kasihan orang lain. Ia dan istrinya

yang baru saja menjalani operasi pengangkatan batu ginjal, hidup sendirian. Selama ini

tetangga lah yang banyak membantu. Biaya operasi istrinya ia tak tahu darimana.

Katanya dari bantuan pak RT. Kedua putri kesayangan mereka sudah tak ada. Si sulung

meninggal di usia enam belas tahun karena terbawa arus sungai, sedangkan si bungsu

pergi bekerja di Kalimantan.

Si bungsu ini sudah pergi selama empat tahun. Bungsu pergi dengan suaminya,

penjual mie ayam serta putra mereka. Ketika berpamitan dengan Pak Sutisno, ia berkata

ingin pergi merantau, memperbaiki hidup. Pak Sutisno yang sepuh ini tentu saja tak

rela. Bagaimana ia bisa tahan dan tak berubah menjadi orang gila bila anak yang

menjadi sanggahan hidup telah pergi?.

Laki-laki yang hatinya telah hancur karena kepergian Si Sulung ini, memohon

agar tak ditinggal sendiri. Ia takut putrinya ini tak kembali. Tak usah lah pergi merantau

jauh-jauh. Disini saja temani orang tuamu yang sudah bau tanah. Kerjo nang kene ae,

sing penting temen. Begitulah bujukan Pak Sutisno. Tetapi karena Si Bungsu tak kuat

hidup meralat dan ingin membangun keluarga mudanya sendiri, ia nekat pergi walau

tanpa restu orang tua.

Putrinya pergi saat pagi masih sangat buta yang ayampun merasa malas

membuka matanya. Tanpa menyisakan satu kenang-kenangan apapun keluarga kecil

anaknya itu meninggalkan mereka, seperti mereka memang tak ada sebelumnya. Tak

ada anggota keluarga pak Sutisno selain ia dan istrinya.

Mata buram Pak Sutisno berkaca-kaca ketika mengingat putrinya yang telah

melupakan orang tuanya itu. Wajahnya yang coklat terbakar matahari dan penuh

guratan mengerut menahan air mata, tak sampai hati memikirkan kekurang-ajaran

putrinya. Dengan tangan kiri, ia melepas kopiah putih bulat di kepalanya, mengusap

keringat sebentar, lalu memakainya lagi. Terlihat rambut yang sudah memutih dan

dipotong gundul. Napasnya berat dan tersengal-sengal.

Tak jauh dari tempatnya duduk ada sebungkus rokok berwarna merah dan korek

api. Isinya tinggal satu. Rokok itu milik Pak Sutisno, pemberian orang di jalan. Ketika

ditegur agar tak banyak merokok, ia hanya tertawa. Arang-arang, candanya.

Seketika bau tembakau menyergap hidung. Asap putih tipis yang panjang keluar

dari mulutnya Pak Sutisno, “Bul, Bul, Bul”. Bau tembakau agaknya membuat lelaki

Page 3: Sang Pengamen

renta ini terangkat semangatnya. Senyum terkembang dari bibir sang pengamen tua.

Kumis yang sewarna dengan rambutnya, bergerak-gerak ketika ia menlanjutkan kisah.

Setiap hari, ia bangun pukul setengah empat. Di pagi buta yang dinginnya bisa

membuat anak-anat TK terserang flu seminggu, ia mandi lalu memasak air hangat untuk

sang istri. Penuh kasih sayang, Pak Sutisno memandikan istrinya yang sedang sakit di

tempat tidur. Ia mengelap tubuh sang istri dengan handuk kecil dan mengeringkannya.

Setelah itu, ia bantu istrinya mengenakan baju.

Ketika adzan subuh berkumandang ia bergegas wudhu dan pergi ke masjid.

Nanti setelah dari masjid ada sedikit cuciannya yang perlu diurus. Baru lah, setelah itu

pergi mengamen ke pusat Sidoarjo sampai sore. Uang hasil mengamennya akan

digunakan untuk biaya kontrol istri dan obat-obatan. Maklum, ia tak tahu BPJS dan cara

mendaftarnya.

Pak Sutisno adalah salah seorang yang termasuk dalam lansia yang berjumlah

8,9 persen dari total populasi Indonesia seperti yang ditemukan dalam survei pada tahun

2013 yang lalu. Indonesia mempunyai UU yang mengatur mengenai kesejahteraan para

lansia, yaitu UU No. 13 tahun 1998.

Menurut Undang-Undang ini, Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai

usia 60 tahun keatas. Pemerintah, masyarakat, dan keluarga bertanggungjawab atas

terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia. Namun, sepertinya

pekerjaan ini masih jauh kata selesai.

Berbeda dengan Indonesia di China ada Undang-Undang unik dari negeri tirai

bambu, Cina. Sejak Desember 2012, terdapat UU yang dikeluarkan oleh Pemerintah

yang mewajibakan anak untuk mengunjungi orang tuanya secara rutin. UU ini dibuat

untuk memberikan dukungan terhadap para orang tua, tidak hanya dari sisi material atau

finansial, tetapi juga dukungan emosional yang sangat amat dibutuhkan oleh para orang

tua. Mungkin, dukungan emosional ini lebih dibutuhkan, karena kita semua tahu, orang

tua kita tentu sangat bahagia saat melihat anaknya sukses, apalagi bila anaknya

memberikan perhatian pada orang tuanya.

Inilah yang diinginkan oleh Pak Sutisno. Ia ingin di usia senja bisa hidup tenang

dan bahagia. Tak perlu mengamen di pinggir jalan dan hidup dari belas kasihan orang

lain. Ia pun ingin sekadar meninkmati teh hangat di sore hari dengan sang istri.

Bernostalgia bersama sembari melihat cucu-cucunya bermain di teras.

Page 4: Sang Pengamen

Tapi apa daya baginya, jejak kaki anaknya yang dulu saat masih bersama kini

telah sepenuhnya hilang tersapu waktu. Semakin bertambahnya waktu semakin hilang

juga kenangan tentang anaknya. Pikirannya menimang-nimang selucu apa cucunya

sekarang, apakah masih bergelayun manja setiap kali bersama.

Tidak ada di dunia ini orang tua yang menerima apa adanya jika telah merawat

anaknya sampai mereka dewasa. Sebenarnya pak Sutisno tidak meminta banyak, hanya

perhatian, perhatian dari anaknya tersayang. Minimal tegur sapa atau sepucuk surat dari

sebrang yang menanyakan apa kabar. Tidaklah sulit pikirnya, jika kita membalik waktu

dan menayangkan tayangan masa lampau begitu banyak jasa yang telah dikorbankan

pak Sutisno untuk menjaga dan merawat anaknya. Serangkaian jasa yang tak kan bisa

dibayar dengan takaran uang masa kini.

Ingin rasanya pak Sutisno mengutuk dengan apa yang sedang terjadi padanya

dan menyalahkan takdir, tapi ia sadar bahwa ia adalah seorang muslim. Percuma jika

seorang muslim yang telah sholat lima waktu tapi kelakuannya sama dengan pemabuk

jalanan yang sering ia temui saat hari telah menurunkan tirai malamnya. Kini ia hidup

dengan apa adanya dirinya, mengalir laksana daun di arus.

Pak Sutisno ingat satu ayat Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 2-3 yang

terjemahannya “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)

mengatkan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya

kami telah meguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah

mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang

yang dusta”. Pak Sutisno sadar betul walau saat ini ia seperti diacuhkan zaman, ia

percaya Allah masih bersamanya. Masih menawarkan janji manis dan akan

menepatinya, sebuah janji yang menjamin ia nanti akan hidup damai dan tenang di

surga sana. Dan ia percaya.