salinitas

37
Salinitas Laut FEBRUARI 11, 2010 Definisi Salinitas Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau,sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine. Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas 1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. 2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas

Upload: darbos

Post on 23-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Salinitas LautFEBRUARI 11, 2010Definisi Salinitas

Salinitas adalah tingkat keasinan atau

kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat

mengacu pada kandungan garam dalam tanah.

Kandungan garam pada sebagian besar danau,sungai,

dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat

ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam

sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari

0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air

payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai

5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine.

Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas

1.Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut

di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan

sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat

penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah

kadar garamnya.

2.Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di

suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan

rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah

hujan yang turun salinitas akan tinggi.

i. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut

tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke

laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan

rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang

bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan

tinggi.

Air laut secara alami merupakan air saline dengan

kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapadanau

garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar

garam lebih tinggi dari air laut umumnya. Sebagai

contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%.

Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar

garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda

kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah di timur

Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya

bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut

Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi terbatas

membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari

sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat

lebih tinggi lagi.

Tabel 1. Salinitas air berdasarkan persentase

garam terlarut

Salinitas Air Berdasarkan Persentase Garam TerlarutAir Tawar Air Payau Air Saline Brine< 0.05 % 0.05 – 3 % 3 – 5 % > 5 %

Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-

senyawa organik yang berasal dari organisme hidup, dan

gas-gas yang terlarut. Garam-garaman utama yang

terdapat dalam air laut adalah klorida (55,04%), natrium

(30,61%), sulfat (7,68%), magnesium (3.69%), kalsium

(1,16%), kalium (1,10%) dan sisanya (kurang dari 1%)

teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium

dan florida. Tiga sumber utama dari garam-garaman di

laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik

dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal

vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman

mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas,

kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana

densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi

tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya

serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh

salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah

garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik

(konduktivitas) dan tekanan osmosis.

Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat

air laut. Karena mengandung garam, titik beku air laut

menjadi lebih rendah daripada 0 0C (air laut yang

bersalinitas 35 %o titik bekunya -1,9 0C), sementara

kerapatannya meningkat sampai titik beku (kerapatan

maksimum air murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini

sangat penting sebagai penggerak pertukaran massa air

panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang

dingin terbentuk dan tenggelam ke dasar sementara air

dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat ke atas.

Sedangkan titik beku dibawah 00 C memungkinkan

kolom air laut tidak membeku. Sifat air laut yang

dipengaruhi langsung oleh salinitas adalah konduktivitas

dan tekanan osmosis.

Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas,

dengan didasarkan bahwa halida-halida

terutama klorida adalah anion yang paling banyak dari

elemen-elemen terlarut. Dalamoseanografi, halinitas

biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam

“bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau

permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram garam

untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas

atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan

pada rasio konduktivitas elektrik sampel

terhadap “Copenhagen water”, air laut buatan yang

digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978,

oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical

Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio

konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL

standar. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa

dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram garam

per liter larutan.

Teori Asal-Usul Garam-Garam di laut

Mula-mula diperkirakan bahwa zat-zat kimia yang

menyebabkan air laut asin berasal dari darat yang

dibawa oleh sungai-sungai yang mengalir ke laut, entah

itu dari pengikisan batu-batuan darat, dari tanah

longsor, dari air hujan atau dari gejala alam lainnya,

yang terbawa oleh air sungai ke laut. Jika hal ini benar

tentunya susunan kimiawi air sungai tidak akan berbeda

dengan susunan kimiawi air laut. Namun tabel 2

menunjukkan bahwa ada perbedaan besar dalam

susunan kimiawi kedua macam air tersebut. Jadi dugaan

itu tidak benar. Lalu dari mana sebenarnya asal garam-

garam tersebut.

Menurut teori, zat-zat garam tersebut berasal dari

dalam dasar laut melalui proses outgassing, yakni

rembesan dari kulit bumi di dasar laut yang berbentuk

gas ke permukaan dasar laut. Bersama gas-gas ini,

terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan bersama-sama

garam-garam ini merembes pula air, semua dalam

perbandingan yang tetap sehingga terbentuk garam di

laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang

masa. Artinya kita tidak menjumpai bahwa air laut

makin lama makin asin.

Zat-zat yang terlarut yang membentuk garam, yang

kadarnya diukur dengan istilah salinitas dapat dibagi

menjadi empat kelompok, yakni:

1.Konstituen utama          : Cl, Na, SO4, dan Mg.

2.Gas terlarut                   : CO2, N2, dan O2.

3.Unsur Hara                   : Si, N, dan P.

4.Unsur Runut                 : I, Fe, Mn, Pb, dan Hg.

Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat

terlarut dalam air laut, sedangkan sisanya 0,3% terdiri

dari ketiga kelompok zat lainnya. Akan tetapi meskipun

kelompok zat terakhir ini sangat kecil persentasenya,

mereka banyak menentukan kehidupan di laut.

Sebaliknya kepekatan zat-zat ini banyak ditentukan oleh

aktivitas kehidupan di laut.

Selain zat-zat terlarut ini, air juga mengandung butiran-

butiran halus dalam suspense. Sebagian dari zat ini

akhirnya terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar

laut dan sisanya diurai oleh bakteri menjadi zat-zat hara

yang dimanfaatkan tumbuhan untuk fotosintesis.

Tabel 2. Perbedaan kandungan garam dan ion

utama antara air laut dan air sungai

NAMA UNSUR% jumlah berat seluruh gramAIR LAUT AIR SUNGAI

Klorida 55,04 5,68Natrium 30,61 5,79Sulfat 7,68 12,14Magnesium 3,69 3,41Kalsium 1,16 20,29Kalium 1,10 2,12Bikarbonat 0,41 -Karbonat - 35,15Brom 0,19 -Asam borak 0,07 -Strontium 0,04 -Flour 0,00 -Silika - 11,67Oksida - 2,75Nitrat - 0,90

2.3 Sebaran Salinitas di Laut

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai

faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan,

aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar

kuala dapat mempunyai struktur salinitas yang

kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara

air tawar yang relatif lebih ringan  dan air laut yang

lebih berat, juga pengadukan air sangat menentukan.

Beberapa kemungkinan ditunjukkan secara diagramatis

pada gambar 1. Pertama adalah perairan dengan

stratifikasi salinitas yang sangat kuat, terjadi di mana air

tawar merupakan lapisan yang tipis di permukaan

sedangkan di bawahnya terdapat air laut. Ini bisa

ditemukan di depan muara sungai yang alirannya kuat

sedangkan pengaruh pasang-surut kecil. Nelayan atau

pelaut di pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat

kehabisan air tawar kadang-kadang masih dapat

menyiduk air tawar di lapisan tipis teratas dengan

menggunakan piring, bila berada di depan muara sungai

besar.

Kedua, adalah perairan dengan stratifikasi sedang. Ini

terjadi karena adanya gerak pasang-surut yang

menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air

hingga terjadi pertukaran air secara vertikal. Di

permukaan, air cenderung mengalir keluar sedangkan

air laut merayap masuk dari bawah. Antara keduanya

terjadi percampuran. Akibatnya garis isohalin (=garis

yang menghubungkan salinitas yang sama) mempunyai

arah yang condong ke luar. Keadaan semacam ini juaga

bisa dijumpai di beberapa perairan estuaria di Sumatra.

Gambar 1. Tiga jenis struktur salinitas di daerah

estuaria: A. dengan stratifikasi kuat; B. dengan

stratifiksi sedang; C. dengan pencampuran vertikal.

Garis dengan angka menunjukan nilai salinitas yang

sama.

Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula

melakukan pengadukan di lapisan atas hingga

membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m

atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di

perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai

ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu

juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat

lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi

densitas yang tajam yang menghambat percampuran

antara lapisan di atas dan di bawahnya.

Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak

banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola

sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam.

Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan

mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan

salinitas minimum dengan metode inti (core layer

method).

Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah

subtropis hingga mendekati kutub) rendah di permukaan

dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap

kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu

daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS),

salinitas di permukaan lebih besar daripada di

kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di

kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga

salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara

monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di

daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah

daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi

(curah hujan).

2.3.1 Dinamika Salinitas di Daerah Estuaria

Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup

yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut

dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air

tawar. Estuaria dapat terjadi pada lembah-lembah

sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan

laut yang naik (misalnya pada zaman es mencair) atau

pun karena turunnya sebagian daratan oleh sebab-sebab

tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada muara-

muara sungai yang sebagian terlindungi oleh beting

pasir atau lumpur.

Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan

menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan

lingkungan yang bervariasi, antara lain:

(1) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus

pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu

pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air,

dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh

besar pada biotanya.

(2) Pencampuran kedua macam air tersebut

menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang

tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.

(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut

mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian

secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.

(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung

pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar

dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria

tersebut.

2.3.2 Sifat-sifat Ekologis

Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar,

salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut

lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu.

Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada

bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan

laut, sementara yang terendah berada pada tempat-

tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis

vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air

lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya.

Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di

atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam.

Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji

garam’ (salt wedge estuary).

Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi

berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’.

Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya

sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim

kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih

tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria,

menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih

tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian

tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah

permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya

berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.

Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat

mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola

persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh

geomorfologi dasar estuaria.

Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air

dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat

di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat.

Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir

berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa

aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya

adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang

terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan

yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung

dengan lamban.

2.4 Model Salinitas

”Model Salinitas” adalah suatu penggambaran atas

kadar garam yang terdapat pada air, baik kandungan

atau perbedaannya sehingga untuk tiap daerah

dimungkinkan terdapat perbedaan ”model salinitas”nya.

Perubahan salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan

musim. Ke arah darat, salinitas muara cenderung lebih

rendah. Tetapi selama musim kemarau pada saat aliran

air sungai berkurang, air laut dapat masuk lebih jauh ke

arah darat sehingga salinitas muara meningkat.

Sebaliknya pada musim hujan, air tawar mengalir dari

sungai ke laut dalam jumlah yang lebih besar sehingga

salinitas air di muara menurun.

Perbedaan salinitas dapat mengakibatkan terjadinya

lidah air tawar dan pergerakan massa di muara.

Perbedaan salinitas air laut dengan air sungai yang

bertemu di muara menyebabkan keduanya bercampur

membentuk air payau. Karena kadar garam air laut lebih

besar, maka air laut cenderung bergerak di dasar

perairan sedangkan air tawar di bagian permukaan.

Keadaan ini mengakibatkan terjadinya sirkulasi air di

muara.

Aliran air tawar yang terjadi terus-menerus dari hulu

sungai membawa mineral, bahan organik, dan sedimen

ke perairan muara. Di samping itu, unsur hara terangkut

dari laut ke daerah muara oleh adanya gerakan air

akibat arus dan pasang surut. Unsur-unsur hara yang

terbawa ke muara merupakan bahan dasar yang

diperlukan untuk fotosintesis yang menunjang

produktifitas perairan. Itulah sebabnya produktifitas

muara melebihi produktifitas ekosistem laut lepas dan

perairan tawar. Lingkungan muara yang paling produktif

di jumpai di daerah yang ditumbuhi komunitas bakau.

2.5 Hubungan Densitas Ikan Dengan Salinitas

Salinitas dipengaruhi oleh massa air oseanis di bagian

utara hingga bagian tengah perairan, dan massa air

tawar dari daratan yang mempengaruhi massa air di

bagian selatan dan bagian utara dekat pantai. Kondisi ini

mempengaruhi densitas ikan, dan kebanyakan kelompok

ikan yang ditemukan dengan densitas tinggi (0,9

ikan/mł) pada daerah bagian selatan dengan salinitas

antara 29,36-31,84 ‰, dan densitas 0,4 ikan/mł di

bagian utara  dengan salinitas 29,97-32,59 ‰ . Densitas

ikan tertinggi pada lapisan kedalaman 5-15 m (0,8

ikan/mł) ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥31,5

‰ yaitu pada bagian utara perairan. Dibagian selatan,

densitas ikan tertinggi sebesar 0,6-0,7 ikan/mł

ditemukan pada daerah dengan salinitas ≤30,0 ‰. Pola

pergeseran nilai salinitas hampir sama di tiap

kedalaman, dengan nilai yang makin bertambah sesuai

dengan makin dalam perairan. Pada lapisan kedalaman

15-25 m, kisaran salinitas meningkat hingga lebih dari

32 ‰, dan konsentrasi densitas ikan ditemukan lebih

dari 0,4 ikan/mł dengan areal yang lebih besar pada

konsentrasi salinitas ≤31,5 ‰. Konsentrasi ikan yang

ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥32,0 ‰, yaitu

di bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3 ikan/mł.

2.6 Hubungan Antara Distribusi Densitas Ikan Dengan

Salinitas

Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan 35-45 m dijumpai

kisaran salinitas yang hampir sama yaitu 31,43-32,53 ‰

dan 31,77-32,73 ‰, dengan distribusi densitas ikan

lebih banyak ditemukan pada daerah dengan salinitas

32,0-32,5 ‰ yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan

kelompok ikan dengan densitas lebih kecil dari 0,1

ikan/mł banyakditemukan pada perairan dengan

salinitas ≤32,0 ‰. Pada lapisan kedalaman 35-45 m,

konsentrasi densitas ikan makin berkurang. Densitas

tertinggi di lapisan ini hanya sebesar 0,17 ikan/mł, atau

rata-rata densitas ikan yang ditemukan di bawah 0,1

ikan/mł. Hal ini sesuai dengan ukuran ikan yang

terdeteksi, yang umumnya merupakan ikan-ikan

berukuran kecil. Dimana lebih condong terkonsentrasi

pada daerah permukaan dan dekat pantai.

2.7  Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah

Laku Dan Kelimpahan Ikan.

1.Suhu air laut

Ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya

selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya.

Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai

kemampuan untuk mengenali dan memilih range suhu

tertentu yang memberikan kesempatan untuk

melakukan aktivitas secara maksimum dan pada

akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.

Pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses

vertikall, seperti pertumbuhan dan pengambilan

makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang,

serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada

tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan.

Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat

mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air

dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-

faktor yang paling penting yang menentukan “kekuatan

keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies

ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim

pada daerah pemijahan (spawning ground) selama

musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di

daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan

suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan

tempat pemijahan (spawning ground) dan fishing

ground secara vertikal.

Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan

hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang

hari. Karena pengaruh angin, maka di lapisan teratas

sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi

pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu

hangat (sekitar 28°C) yang ertical. Oleh sebab itu

lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan vertikal.

Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan

ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal

lapisan vertikal ini sampai ke dasar. Lapisan permukaan

laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin

oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat

yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu.

Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena

percampuran oleh angin dan gelombang sehingga

lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed

layer). Mixed layer mendukung kehidupan ikan-ikan

pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur

ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah

termoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik

dan hewan laut dalam.

Pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan

termoklin ini bergerak ke atas dan gradiennya menjadi

tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat

hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas.jangka

pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh

pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di

bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan-

lahan dengan bertambahnya kedalaman.

Kedalaman termoklin di dalam lautan Hindia mencapai

120 meter. Menuju ke selatan di daerah arus equatorial

selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 meter.

1.Pengaruh arus

Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan

lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan

mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus

tampak jelas dalam organmechanoreceptor yang

terletak garis mendatar pada tubuh ikan.

Mechanoreceptoradalah reseptor yang ada pada vertikal

yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis

dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau

tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju

arus. Fishing ground yang paling baik biasanya terletak

pada daerah batas antara dua arus atau di daerah

upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan

divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain

(seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai

perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga

menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini.

Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil

biasanya berada pada tengah-tengah aruseddies.

Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-

tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa

berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam

arus eddi (melalui rantai makanan).

1.Pengaruh cahaya

Ikan bersifat fototaktik baik secara positif maupun

vertikal. Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan

pada malam hari, satu fakta yang digunakan dalam

penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan

juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain dan pada

beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam

sehari. Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik

ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah

matahari terbenam, ikan-ikan ini menyebar pada kolom

air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam setelah

matahari terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan

waktu siang hari di dasar selanjutnya naik dan menyebar

pada kolom air pada malam hari. Cahaya mempengaruhi

ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah cahaya

yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan

ikan. Jumlah cahaya juga mempengaruhi daya hidup

larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga

berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga

mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan

beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak

pada malam hari dibandingkan pada siang hari.

1.Upwelling

Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu

lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini

membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas

tinggi, dan zat-zat hara yang vertikal permukaan.

Proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk.

Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu

dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu

sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus

tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir

deras ke permukaan. Kedua, ketika dua massa air

bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang

di utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air

di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah

pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan

menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya.

Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada

jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi

ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal

ini terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut

tersebut. Ketiga, upwellingdapat pula disebabkan oleh

arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat

yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini

membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas

yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai

yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.

Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan

dapat disebabkan karena terjadinya proses air naik

(upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta

air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan

tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti

fosfat dan nitrat naik ke permukaan. Selain itu proses

air naik tersebut disertai dengan produksi plankton yang

tinggi. Di perairan Selat Makasar bagian selatan

diketahui terjadi upwelling. Proses

terjadinya upwellingtersebut disebabkan karena

pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores

bergabung kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke barat

menuju Laut Jawa. Dengan kondisi demikian

dimungkinkan massa air di permukaan di dekat pantai

Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran

tersebut dan untuk menggantikannya massa air dari

lapisan bawah naik ke atas. Proses air naik di Selat

Makasar bagian selatan ini terjadi sekitar Juni sampai

September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Air

laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu

tinggi, salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah.

Sebaliknya pada lapisan yang lebih dalam air laut

mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan

zat hara yang lebih tinggi. Pada waktu

terjadinya upwelling, akan terangkat massa air dari

lapisan bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan

kandungan zat hara yang tinggi.  Keadaan ini

mengakibatkan air laut di lapisan permukaan memiliki

suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang

lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa air laut

sebelum terjadinya proses upwelling ataupun massa air

sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas, dan zat hara secara

vertical maupun horizontal sangat membantu dalam

menduga kemungkinan terjadinya upwelling di suatu

perairan. Pola-pola sebaran oseanografi tersebut

digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang

ditempuh oleh massa air yang terangkat. Sebaran suhu

permukaan laut merupakan salah satu parameter yang

dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya

proses upwelling di suatu perairan. Dalam

prosesupwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan

laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan

daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut

merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan.

Karena perkembangan fitoplankton sangat erat

kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka

proses air naik selalu dihubungkan dengan

meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan

dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di

perairan tersebut. Upwelling di perairan Indonesia

dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa

hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan

diduga terjadi di Laut Maluku, Laut Halmahera, Barat

Sumatra, serta di Laut Flores dan Teluk

Bone. Upwelling berskala besar terjadi di selatan Jawa,

sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat

Makasar. Upwelling di perairan Indonesia bersifat

musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-September),

hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara

upwelling dan musim.

2.8  Penentuan Nilai salinitas

Ciri yang paling khas pada air laut yang diketahui oleh

semua orang adalah rasanya yang asin. Ini disebabkan

karena di dalam air laut terlarut bermacam-macam

garam, yang paling utama adalah garam natrium korida

(NaCl) yang sering pula disebut garam dapur. Selain

garam-garam korida, di dalam air laut terdapat pula

garam-garam magnesium, kalsium, kalium dan

sebagainya. Dalam literatur oseanologi dikenal istilah

salinitas (acapkali pula disebut kadar garam atau

kegaraman) yang maksudnya ialah jumlah berat semua

garam (dalam garam) yang terlarutdalam satu liter air,

biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (per mil, gram

per liter).

Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara

kimia maupun fisika. Secara  kimia untuk menentukan

nilai salinitas dilakukan dengan cara menghitung jumlah

kadar klor dalam sample air laut. Hal ini dilakukan

karena sangat susah untuk menentukan salinitas

senyawa terlarut secara keseluruhan. Oleh sebab itu

hanya dilakukan peninjauan pada komponen terbesar

yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada

tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada

satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan

oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses

kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida.

Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah

total dalam gram bahan-bahan terlarut dalam satu

kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi

oksida, semua bromida dan yodium dirubah menjadi

klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi.

Selanjutnya hubungan antara salinitas dan klorida

ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran dasar

laboratorium berdasarkan pada sampel air laut di

seluruh dunia dan dinyatakan sebagai: S (o/oo) = 0.03

+1.805 Cl (o/oo) (1902) Lambang o/oo (dibaca per mil)

adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5%

sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam

satu kilogram air laut. Persamaan tahun 1902 di atas

akan memberikan harga salinitas sebesar 0,03o/oo jika

klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik

perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam

sampel air yang digunakan untuk pengukuran

laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969

UNESCO memutuskan untuk mengulang kembali

penentuan dasar hubungan antara klorinitas dan

salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal

sebagai salinitas absolut dengan rumus: S (o/oo) =

1.80655 Cl (o/oo) (1969) Namun demikian, dari hasil

pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang

sama dengan definisi sebelumnya.

Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk

menentukan salinitas dari pengukuran konduktivitas,

temperatur dan tekanan dikembangkan. Sejak tahun

1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical

Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S,

sebagai rasio dari konduktivitas. “Salinitas praktis dari

suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio dari

konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur

15oC dan tekanan satu standar atmosfer terhadap

larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl

adalah 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang

sama. Rumus dari definisi ini adalah: S = 0.0080 –

0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 – 7.0261 K2 +

2.7081 K5/2 Sebagai catatan: dari penggunaan definisi

baru ini, dimana salinitas dinyatakan sebagai rasio,

maka satuan o/oo tidak lagi berlaku, nilai 35o/oo

berkaitan dengan nilai 35 dalam satuan praktis.

Beberapa oseanografer menggunakan satuan “psu”

dalam menuliskan harga salinitas, yang merupakan

singkatan dari “practical salinity unit”. Karena salinitas

praktis adalah rasio, maka sebenarnya ia tidak memiliki

satuan, jadi penggunaan satuan “psu” sebenarnya tidak

mengandung makna apapun dan tidak diperlukan.

Kemudian untuk menghitung nilai salinitas secara fisik

adalah ini untuk menentukan salinitas melalui

konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih

menggunakan prinsip konduktivitas. Salah satu alat

yang paling popular untuk mengukur salinitas dengan

ketelitian tinggi ialah salinometer yang bekerjanya

didasarkan pada daya hantar listrik. Makin besar

salinitas, makin besar pula daya hantar listriknya. Selain

itu telah pula dikembangkan pula alat STD (salinity-

temperature-depth recorder) yang apabila diturunkan ke

dalam laut dapat dengan otomatis membuat kurva

salinitas dan suhu terhadap kedalaman di lokasi

tersebut.

4. Desalinisasi

Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan

untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air

garam hingga level tertentu sehingga air dapat

digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran

cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air

laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat

bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya

merupakan air dengan kandungan garam terlarut

kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan untuk

keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil

sampingan dari proses desalinasi

adalah brine. Brineadalah larutan garam berkonsentrasi

tinggi (lebih dari 35000 mg/l garam terlarut).

Distilasi merupakan metode desalinasi yang paling lama

dan paling umum digunakan. Distilasi adalah metode

pemisahan dengan cara memanaskan air laut untuk

menghasilkan uap air, yang selanjutnya dikondensasi

untuk menghasilkan air bersih. Berbagai macam proses

distilasi yang umum digunakan, seperti multistage flash,

multiple effect distillation, dan vapor

compressionumumnya menggunakan prinsip

mengurangi tekanan uap dari air agar pendidihan dapat

terjadi pada temperatur yang lebih rendah, tanpa

menggunakan panas tambahan.

Metode lain desalinasi adalah dengan menggunakan

membran. Terdapat dua tipe membran yang dapat

digunakan untuk proses desalinasi, yaitu reverse

osmosis (RO) dan electrodialysis (ED). Pada proses

desalinasi menggunakan membran RO, ialah sebuah

istilah teknologi yang berasal dari

osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalam

sel hidup di mana molekul “solvent” (biasanya air) akan

mengalir dari daerah “solute” rendah ke daerah “solute”

tinggi melalui sebuah membran “semipermeable”.

Membran “semipermeable” ini menunjuk ke membran

sel atau membran apa pun yang memiliki struktur yang

mirip atau bagian dari membran sel. Gerakan dari

“solvent” berlanjut sampai sebuah konsentrasi yang

seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse

osmosis dapat diartikan proses pemaksaan

sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi

melalui sebuah membran ke sebuah daerah “solute”

rendah dengan menggunakan sebuah tekanan

melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah,

reverse osmosis adalah mendorong sebuah solusi

melalui filter yang menangkap “solute” dari satu sisi

dan membiarkan pendapatan “solvent” murni dari sisi

satunya. air pada larutan garam dipisahkan dari garam

terlarutnya dengan mengalirkannya melalui membran

water-permeable. Permeate dapat mengalir melalui

membran akibat adanya perbedaan tekanan yang

diciptakan antara umpan bertekanan dan produk, yang

memiliki tekanan dekat dengan tekanan atmosfer. Sisa

umpan selanjutnya akan terus mengalir melalui sisi

reaktor bertekanan sebagai brine. Proses ini tidak

melalui tahap pemanasan ataupun perubahan fasa.

Kebutuhan energi utama adalah untuk memberi tekanan

pada air umpan. Desalinasi air payau membutuhkan

tekanan operasi berkisar antara 250 hingga 400 psi,

sedangkan desalinasi air laut memiliki kisaran tekanan

operasi antara 800 hingga 1000 psi.

Dalam praktiknya, umpan dipompa ke

dalam container tertutup, pada membran, untuk

meningkatkan tekanan. Saat produk berupa air bersih

dapat mengalir melalui membran, sisa umpan dan

larutan brine menjadi semakin terkonsentrasi. Untuk

mengurangi konsentrasi garam terlarut pada larutan

sisa, sebagian larutan terkonsentrasi ini diambil

dari container untuk mencegah konsentrasi garam terus

meningkat.

Sistem RO terdiri dari 4 proses utama, yaitu

(1) pretreatment, (2) pressurization, (3) membrane

separation, (4) post teatment stabilization.

desalinasi dengan RO

Pretreatment: Air umpan pada

tahap pretreatment disesuaikan dengan membran

dengan cara memisahkan padatan tersuspensi,

menyesuaikan pH, dan menambahkan inhibitor untuk

mengontrol scaling yang dapat disebabkan oleh senyawa

tetentu, seperti kalsium sulfat.

Pressurization: Pompa akan meningkatkan tekanan dari

umpan yang sudah melalui prosespretreatment hingga

tekanan operasi yang sesuai dengan membran dan

salinitas air umpan.

Separation: Membran permeable akan menghalangi

aliran garam terlarut, sementara membran akan

memperbolehkan air produk terdesalinasi melewatinya.

Efek permeabilitas membran ini akan menyebabkan

terdapatnya dua aliran, yaitu aliran produk air bersih,

dan aliran brineterkonsentrasi. Karena tidak ada

membran yang sempurna pada proses pemisahan ini,

sedikit garam dapat mengalir melewati membran dan

tersisa pada air produk. Membran RO memiliki berbagai

jenis konfigurasi, antara lain spiral wound dan hollow

fine fiber membranes.

tipe membran RO

Stabilization: Air produk hasil pemisahan dengan

membran biasanya membutuhkan penyesuaian pH

sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat

digunakan sebagai air minum. Produk mengalir melalui

kolom aerasi dimana pH akan ditingkatkan dari sekitar 5

hingga mendekati 7.

Dua metode yang paling banyak digunakan adalah

Reverse Osmosis (47,2%)  ialah sebuah istilah teknologi

yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah

fenomena alam dalm sel hidup di mana molekul

“solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah

“solute” rendah ke daerah “solute” tinggi melalui sebuah

membran “semipermeable”. Membran “semipermeable”

ini menunjuk ke membran sel atau membran apa pun

yang memiliki struktur yang mirip atau bagian dari

membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai

sebuah konsentrasi yang seimbang tercapai di kedua sisi

membrane. Reverse osmosis dapat diartikan proses

pemaksaan sebuahsolvent dari daerah konsentrasi

“solute” tinggi melalui sebuah membran ke sebuah

daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah

tekanan melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih

mudah, reverse osmosis adalah mendorong sebuah

solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu

sisi dan membiarkan pendapatan “solvent” murni dari

sisi satunya. Proses ini telah digunakan untuk

mengolah air laut untuk mendapatkan air tawar, sejak

awal 1970-an.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.gewater.com/what_we_do/

water_scarcity/desalination.jsp

http://www.oas.org/dsd/publications/Unit/oea59e/

ch20.htm#TopOfPage

Nontji, A.2007. LAUT NUSANTARA. Jakarta :

Djambatan.

Romimohtarto, K. dan Juwana, S.2007. BIOLOGI LAUT :

Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta :

Djambatan.

www.oseanografi.blogspot.com/200/07/salinitas-air-

laut.html

www.wikipedia.com