sabtu-minggu, 25-26 maret 2017 utama sanitasi buruk …gelora45.com/news/sp_20170325_03.pdf · tor...

1
[JAKARTA] Sanitasi yang masih buruk di sejumlah wilayah menjadi ancaman bagi tumbuh kembang anak-anak di Indonesia. Saat ini, ada sekitar 9 juta (sekitar 37%) balita di Indonesia yang men- galami stunting (perkembangan tubuh dan otak terhambat). Selain karena asupan gizi yang kurang, sistem sanitasi yang buruk juga menjadi fak- tor penyebab stunting. Jika tidak segera ditangani, lebih sepertiga bibit generasi muda Indonesia terancam sulit meng- hadapi persaingan di masa depan. Pengamat gizi yang juga Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Tirta Prawita Sari mengatakan, stunting adalah salah satu tanda gizi buruk yang disebabkan dua hal, yakni adanya asupan makanan yang tidak adekuat dan penyakit infeksi yang berulang. Penyakit infeksi yang banyak diderita oleh balita, salah satunya adalah diare. Kejadian diare sangat dipenga- ruhi oleh sanitasi yang buruk. Balita yang diare berulang kali dan dalam waktu lama akan mengalami stunting. “Akibatnya, berat badan anak menurun dan tanpa per- baikan dalam waktu lama akan menjadi stunting. Tetapi, kalau badan badan turun dan diinter- vensi dengan baik, kemung- kinan stunting kecil,” kata Tirta kepada SP di Jakarta, Sabtu (25/3). Dikatakan, anak stunting bisa juga karena lahir dari ibu-ibu yang menderita mala- nutrisi saat kehamilan. Ibu hamil yang kurang gizi akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah di bawah normal 2.500 sampai 3.000 gram dan dalam keadaan gizi buruk terus menerus akan menjadi stunting. Anak stunting bisa juga lahir dari ibu dengan status gizi baik dan berat badan lahir normal, tetapi bermasalah pasca-ASI eksklusif. Persoalan terbesar pada penurunan status gizi anak Indonesia justru terjadi pada masa pasca-ASI eksklusif, yakni saat pemberi- an makanan pendamping ASI (MPASI). Kegagalan ibu-ibu bukan pada ASI, justru saat pembe- rian makanan pendamping ASI yang tidak adekuat baik dari jumlah, kandungan gizi maupun proses penyajiannya. Higienitas individu, khususnya ibu, dan buruknya sanitasi rumah tang- ga memudahkan balita terin- feksi. Anak pendek dan kurus berkaitan dengan kognetif. Karena kecukupan zat gizi, khususnya zat besi yang kurang, menyebabkan kemampuan kognitif anak tumbuh di bawah standar. Juga berkorelasi terhadap penyakit kronik di kemudian hari, seperti diabetes melitus, jantung, stroke, dan lain-lain. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang terakhir, 2013, angka stunting di Indonesia sekitar 37% atau lebih sepertiga dari anak Indonesia adalah pendek. Artinya, anak-anak itu akan tumbuh menjadi pemuda dengan kemampuan kognetif rendah dan menderita penyakit kronis saat dewasa. Kondisi ini berdampak luas. Selain angka kesakitan dan kematian tinggi, beban biaya yang harus ditanggung per- orangan maupun negara men- jadi sangat besar, karena penyakit-penyakit ini berbiaya mahal. Jika pertumbuhan balita sebagai generasi masa depan terhambat, tentu akan merugi- kan bangsa. Bonus demografi akan terlewatkan begitu saja jika generasi muda saat ini sakit-sakitan dan kognitif rendah. Di era keterbukaan dan persaingan saat ini, orang asing yang akan menguasai sumber- sumber ekonomi, menjadi pemimpin dari berbagai bidang, sedangkan penduduk Indonesia hanya menjadi penonton dan buruh. Upaya Luar Biasa Melihat angka stunting yang masih belum berubah, artinya masalah gizi di Indonesia belum teratasi dengan baik. Pemerintah harus memi- liki upaya luar biasa untuk mengatasi ini, terutama inter- vensi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak yang sangat menentukan. Pastikan semua ibu hamil tidak dalam kondisi kurang gizi dan menderita anemia. Ini merupakan syarat awal janin sejahtera, yang akan lahir menjadi bayi dan anak yang sejahtera pula. Untuk mendapatkan ibu hamil yang tidak kurang gizi dan anemia, maka persiapannya sudah harus jauh-jauh hari sebelum kehamilan, yaitu sejak remaja. Remaja perempuan sudah harus dipersiapkan sejak dini terutama dari sisi kesehat- annya. Namun, faktanya, angka anemia khusus pada kelompok anak sekolah dan remaja perempuan masih tinggi di Indonesia. Selain itu, harus ada gerak- an multisektor, di mana siner- gitas antara semua kementeri- an/lembaga dengan swasta dan organisasi masyarakat lebih diperkuat. Di pemerintahan, masalah gizi tidak bisa hanya ditimpakan ke Kementerian Kesehatan, tetapi sektor lain pun harus bertanggung jawab. Bicara gizi berarti bicara pula ketersediaan bahan pangan cukup, di bawah tanggung jawab Kementerian Pertanian. Bicara gizi juga bicara tentang sanitasi, air bersih, infrastruk- tur, dan lain-lain. Swasta perlu dilibatkan, misalnya menjaga keamanan pangan pada proses produksi. Sejauh ini, kata Tirta, sinergitas lintas sektor di pemerintahan belum terlihat nyata. Berbagai program ter- kait penanggulangan gizi dan kesehatan anak ada di sejumlah kementerian/lembaga, tetapi masih bersifat ego sektoral. Masing-masing pihak ingin mencapai hasil kerja sendiri. Misalnya, gerakan 1.000 hari pertama kehidupan anak ber- ada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan perencanannya ada di Bappenas, tetapi gerakannya belum ber- sinergi. Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemsos) Nahar mengatakan, pihaknya meluncurkan 2 pro- gram utama untuk anak ke dalam Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). “Untuk PKH, fokus- nya pada ibu-ibu hamil yang akan melahirkan. Untuk PKSA difokuskan pada anak-anak di bawah lima tahun,” katanya. Pada 2017, Kemsos menar- getkan 117.958 target PKH untuk ibu hamil, 1.952.335 target PKH untuk anak di bawah lima tahun (balita), dan dari target 100.000 anak PKSA di antaranya 4.500 orang difo- kuskan untuk anak balita. Semua itu nantinya berkaitan dengan kesehatan. Selain kesehatan, hal lain yang menjadi perhatian adalah penguatan kasih sayang orang- tua dalam pola asuh yang diharapkan agar balita benar- benar diperhatikan. Selain itu, pemerintah terus mengawasi berapa kali anak ke posyandu dan puskesmas. Dijelaskan, dalam PKH, ibu-ibu hamil dan memiliki balita dari keluarga sangat miskin bisa mendapatkan makanan yang cukup dan gizi yang baik. Pendamping PKH memastikan ibu-ibu membawa anak balitanya ke posyandu sesuai kebijakan di bidang kesehatan. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah mengatakan, kondisi kualitas air sungai terbesar di semua provinsi dalam kondisi tercemar berat, sedang, dan ringan. Dikatakan, parameter yang selalu muncul adalah fecal coli atau total coliform yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa sum- ber pencemarnya adalah limbah organik kegiatan rumah tang- ga, seperti tinja dan juga kotoran ternak. “Artinya, memang sanitasi kita masih jelek,” katanya. Terkait dengan itu, banyak program yang sudah dijalankan pemerintah, seperti pemba- ngunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di perkotaan maupun di permu- kiman nelayan. Tujuannya untuk mengurangi sumber pencemar tersebut. Misalnya, melalui Program Adipura dan Program Kali Bersih (Prokasih). “Mengingat sumber pen- cemar terbesar adalah limbah rumah tangga, maka perilaku masyarakat harus berubah menuju perilaku ramah ling- kungan. Hal itu yang memun- culkan program adiwiyata, yakni pendidikan lingkungan dimulai dari usia dini,” ujarnya. Sebelumnya, Direktur Gizi Masyarakat Kemkes Doddy Izwardy mengatakan, dari seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, hanya 9 yang tidak memiliki masalah gizi. Sementara, 404 daerah mem- punyai masalah gizi yang bersifat akut dan kronik. Jumlah ini didapat dari 496 kabupaten/ kota yang ditelusuri dalam Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015 oleh Kemkes. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemkes, Anung Sugihantono menambahkan, untuk mengatasi masalah gizi akut-kronis, Kemkes melaku- kan intervensi gabungan secara spesifik (kesehatan) dan intervensi sensitif (nonkese- hatan). Intervensi spesifik yang sudah dilakukan mulai dari pelayanan kesehatan aternatal atau kehamilan, makanan tambahan bagi ibu hamil yang kekurangan energi kronik, mendorong inisiasi menyesu- ai dini, sampai pada ASI eks- klusif. Namun, ujarnya, interven- si langsung ini hanya membe- ri kontribusi 30% terhadap permasalahan gizi. Sedangkan, intervensi sensitif memberikan kontribusi lebih besar, yaitu 70%. [D-13/R-15/D-14] 3 Suara Pembaruan Sabtu-Minggu, 25-26 Maret 2017 Utama Sanitasi Buruk Ancam Perkembangan Anak

Upload: phamkhuong

Post on 01-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sabtu-Minggu, 25-26 Maret 2017 Utama Sanitasi Buruk …gelora45.com/news/SP_20170325_03.pdf · tor penyebab stunting. ... terjadi pada masa pasca-ASI eksklusif, yakni saat pemberi-

[JAKARTA] Sanitasi yang masih buruk di sejumlah wilayah menjadi ancaman bagi tumbuh kembang anak-anak di Indonesia. Saat ini, ada sekitar 9 juta (sekitar 37%) balita di Indonesia yang men-galami stunting (perkembangan tubuh dan otak terhambat).

Selain karena asupan gizi yang kurang, sistem sanitasi yang buruk juga menjadi fak-tor penyebab stunting. Jika tidak segera ditangani, lebih sepertiga bibit generasi muda Indonesia terancam sulit meng-hadapi persaingan di masa depan.

Pengamat gizi yang juga Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Tirta Prawita Sari mengatakan, stunting adalah salah satu tanda gizi buruk yang disebabkan dua hal, yakni adanya asupan makanan yang tidak adekuat dan penyakit infeksi yang berulang.

Penyakit infeksi yang banyak diderita oleh balita, salah satunya adalah diare. Kejadian diare sangat dipenga-ruhi oleh sanitasi yang buruk. Balita yang diare berulang kali dan dalam waktu lama akan mengalami stunting.

“Akibatnya, berat badan anak menurun dan tanpa per-baikan dalam waktu lama akan menjadi stunting. Tetapi, kalau badan badan turun dan diinter-vensi dengan baik, kemung-kinan stunting kecil,” kata Tirta kepada SP di Jakarta, Sabtu (25/3).

Dikatakan, anak stunting bisa juga karena lahir dari ibu-ibu yang menderita mala-nutrisi saat kehamilan. Ibu hamil yang kurang gizi akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah di bawah normal 2.500 sampai 3.000 gram dan dalam keadaan gizi buruk terus menerus akan menjadi stunting.

Anak stunting bisa juga lahir dari ibu dengan status gizi baik dan berat badan lahir normal, tetapi bermasalah pasca-ASI eksklusif. Persoalan terbesar pada penurunan status gizi anak Indonesia justru terjadi pada masa pasca-ASI eksklusif, yakni saat pemberi-an makanan pendamping ASI (MPASI).

Kegagalan ibu-ibu bukan pada ASI, justru saat pembe-rian makanan pendamping ASI yang tidak adekuat baik dari jumlah, kandungan gizi maupun proses penyajiannya. Higienitas individu, khususnya ibu, dan buruknya sanitasi rumah tang-ga memudahkan balita terin-feksi.

Anak pendek dan kurus berkaitan dengan kognetif. Karena kecukupan zat gizi, khususnya zat besi yang kurang, menyebabkan kemampuan kognitif anak tumbuh di bawah standar. Juga berkorelasi terhadap penyakit kronik di kemudian hari, seperti diabetes melitus,

jantung, stroke, dan lain-lain.B e r d a s a r k a n R i s e t

Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang terakhir, 2013, angka stunting di Indonesia sekitar 37% atau lebih sepertiga dari anak Indonesia adalah pendek. Artinya, anak-anak itu akan tumbuh menjadi pemuda dengan kemampuan kognetif rendah dan menderita penyakit kronis saat dewasa.

Kondisi ini berdampak luas. Selain angka kesakitan dan kematian tinggi, beban biaya yang harus ditanggung per- orangan maupun negara men-jadi sangat besar, karena penyakit-penyakit ini berbiaya mahal.

Jika pertumbuhan balita sebagai generasi masa depan terhambat, tentu akan merugi-kan bangsa. Bonus demografi akan terlewatkan begitu saja jika generasi muda saat ini sakit-sakitan dan kognitif rendah. Di era keterbukaan dan persaingan saat ini, orang asing yang akan menguasai sumber-sumber ekonomi, menjadi pemimpin dari berbagai bidang, sedangkan penduduk Indonesia hanya menjadi penonton dan buruh.

Upaya Luar BiasaMelihat angka stunting

yang masih belum berubah, artinya masalah gizi di Indonesia belum teratasi dengan baik. Pemerintah harus memi-liki upaya luar biasa untuk mengatasi ini, terutama inter-vensi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak yang sangat menentukan.

Pastikan semua ibu hamil tidak dalam kondisi kurang gizi dan menderita anemia. Ini merupakan syarat awal janin sejahtera, yang akan lahir menjadi bayi dan anak yang sejahtera pula.

Untuk mendapatkan ibu hamil yang tidak kurang gizi dan anemia, maka persiapannya sudah harus jauh-jauh hari sebelum kehamilan, yaitu sejak remaja. Remaja perempuan sudah harus dipersiapkan sejak dini terutama dari sisi kesehat-annya. Namun, faktanya, angka anemia khusus pada kelompok anak sekolah dan remaja perempuan masih tinggi di Indonesia.

Selain itu, harus ada gerak-an multisektor, di mana siner-gitas antara semua kementeri-an/lembaga dengan swasta dan organisasi masyarakat lebih diperkuat. Di pemerintahan, masalah gizi tidak bisa hanya ditimpakan ke Kementerian Kesehatan, tetapi sektor lain pun harus bertanggung jawab.

Bicara gizi berarti bicara pula ketersediaan bahan pangan cukup, di bawah tanggung jawab Kementerian Pertanian. Bicara gizi juga bicara tentang sanitasi, air bersih, infrastruk-tur, dan lain-lain. Swasta perlu dilibatkan, misalnya menjaga keamanan pangan pada proses

produksi.Sejauh ini, kata Tirta,

sinergitas lintas sektor di pemerintahan belum terlihat nyata. Berbagai program ter-kait penanggulangan gizi dan kesehatan anak ada di sejumlah kementerian/lembaga, tetapi masih bersifat ego sektoral.

Masing-masing pihak ingin mencapai hasil kerja sendiri. Misalnya, gerakan 1.000 hari pertama kehidupan anak ber-ada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan perencanannya ada di Bappenas, tetapi gerakannya belum ber-sinergi.

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemsos) Nahar mengatakan, pihaknya meluncurkan 2 pro-gram utama untuk anak ke dalam Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). “Untuk PKH, fokus-nya pada ibu-ibu hamil yang akan melahirkan. Untuk PKSA difokuskan pada anak-anak di bawah lima tahun,” katanya.

Pada 2017, Kemsos menar-getkan 117.958 target PKH

untuk ibu hamil, 1.952.335 target PKH untuk anak di bawah lima tahun (balita), dan dari target 100.000 anak PKSA di antaranya 4.500 orang difo-kuskan untuk anak balita. Semua itu nantinya berkaitan dengan kesehatan.

Selain kesehatan, hal lain yang menjadi perhatian adalah penguatan kasih sayang orang-tua dalam pola asuh yang diharapkan agar balita benar- benar diperhatikan. Selain itu, pemerintah terus mengawasi berapa kali anak ke posyandu dan puskesmas.

Dijelaskan, dalam PKH, ibu-ibu hamil dan memiliki balita dari keluarga sangat miskin bisa mendapatkan makanan yang cukup dan gizi yang baik. Pendamping PKH memastikan ibu-ibu membawa anak balitanya ke posyandu sesuai kebijakan di bidang kesehatan.

D i r e k t u r J e n d e r a l Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah mengatakan, kondisi kualitas air sungai terbesar di semua provinsi

dalam kondisi tercemar berat, sedang, dan ringan.

Dikatakan, parameter yang selalu muncul adalah fecal coli atau total coliform yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa sum-ber pencemarnya adalah limbah organik kegiatan rumah tang-ga, seperti tinja dan juga kotoran ternak. “Artinya, memang sanitasi kita masih jelek,” katanya.

Terkait dengan itu, banyak program yang sudah dijalankan pemerintah, seperti pemba-ngunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di perkotaan maupun di permu-kiman nelayan. Tujuannya untuk mengurangi sumber pencemar tersebut. Misalnya, melalui Program Adipura dan Program Kali Bersih (Prokasih).

“Mengingat sumber pen-cemar terbesar adalah limbah rumah tangga, maka perilaku masyarakat harus berubah menuju perilaku ramah ling-kungan. Hal itu yang memun-culkan program adiwiyata, yakni pendidikan lingkungan dimulai dari usia dini,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Gizi Masyarakat Kemkes Doddy Izwardy mengatakan, dari

seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, hanya 9 yang tidak memiliki masalah gizi. Sementara, 404 daerah mem-punyai masalah gizi yang bersifat akut dan kronik. Jumlah ini didapat dari 496 kabupaten/kota yang ditelusuri dalam Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015 oleh Kemkes.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemkes, Anung Sugihantono menambahkan, untuk mengatasi masalah gizi akut-kronis, Kemkes melaku-kan intervensi gabungan secara spesifik (kesehatan) dan intervensi sensitif (nonkese-hatan).

Intervensi spesifik yang sudah dilakukan mulai dari pelayanan kesehatan aternatal atau kehamilan, makanan tambahan bagi ibu hamil yang kekurangan energi kronik, mendorong inisiasi menyesu-ai dini, sampai pada ASI eks-klusif.

Namun, ujarnya, interven-si langsung ini hanya membe-ri kontribusi 30% terhadap permasalahan gizi. Sedangkan, intervensi sensitif memberikan kontribusi lebih besar, yaitu 70%. [D-13/R-15/D-14]

3Sua ra Pem ba ru an Sabtu-Minggu, 25-26 Maret 2017 Utama

Sanitasi Buruk Ancam Perkembangan Anak