s3-2015-260371-chapter1

12
1 BAB I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan konservasi sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan pada saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang sangat berat serta kompleksitas masalah yang saling terkait (Santosa, 2008). Pada sarasehannasional„Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia‟ yang diselenggarakanpada 29 Agustus 1 September 2005 selain terjadi diskursus konservasi dan pengelolaan kawasan konservasi, juga muncul gagasan dan inisiatif kemitraan di kawasan konservasi dan lindung. Perencanaan dan penataan ruang, pemberdayaan masyarakat, kelembagaan kolaboratif, kebijakan dan peraturan, serta sumberdaya manusia adalah hal-hal yang patut direfleksikan untuk membenahi kondisi konservasi dan kawasan konservasi di Indonesia, termasuk pada pengelolaan kawasan konservasi paling maju, yaitu Taman Nasional. Taman Nasional di Indonesia merupakansalah satu kawasan konservasi yang relatif paling maju baik bentuk maupun sistem pengelolaannya dibandingkan dengan Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa (Santosa, 2008). Hal ini disebabkankarena taman nasional merupakan salah satu model pengelolaan hutan yang memperhatikan fungsi konservasi, perlindungan dan ekonomi (Wiratno, 2004). Menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwataman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Keaslian ekosistem, pembagiannya dalam sistem zonasi dan berbagai manfaat yangmelekat

Upload: luthfiesangkapten

Post on 18-Feb-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

S3-2015-260371-chapter1

TRANSCRIPT

Page 1: S3-2015-260371-chapter1

1

BAB I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan konservasi sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan

pada saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang sangat berat serta kompleksitas

masalah yang saling terkait (Santosa, 2008). Pada sarasehannasional„Membangun

Kemitraan Taman Nasional di Indonesia‟ yang diselenggarakanpada 29 Agustus – 1

September 2005 selain terjadi diskursus konservasi dan pengelolaan kawasan konservasi,

juga muncul gagasan dan inisiatif kemitraan di kawasan konservasi dan lindung.

Perencanaan dan penataan ruang, pemberdayaan masyarakat, kelembagaan kolaboratif,

kebijakan dan peraturan, serta sumberdaya manusia adalah hal-hal yang patut direfleksikan

untuk membenahi kondisi konservasi dan kawasan konservasi di Indonesia, termasuk pada

pengelolaan kawasan konservasi paling maju, yaitu Taman Nasional.

Taman Nasional di Indonesia merupakansalah satu kawasan konservasi yang

relatif paling maju baik bentuk maupun sistem pengelolaannya dibandingkan dengan

Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa (Santosa,

2008). Hal ini disebabkankarena taman nasional merupakan salah satu model pengelolaan

hutan yang memperhatikan fungsi konservasi, perlindungan dan ekonomi (Wiratno, 2004).

Menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya,

disebutkan bahwataman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,

ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Keaslian

ekosistem, pembagiannya dalam sistem zonasi dan berbagai manfaat yangmelekat

Page 2: S3-2015-260371-chapter1

2

menuntutdilakukannya pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan sebagai bagian

integral dari pembangunan nasional(Brockington et al, 2008).

Dinamikapengelolaan konservasi dan kawasan konservasi di Indonesia dalam UU

No. 5 tahun 1990 sangat dipengaruhi oleh Strategi Konservasi Dunia - International Union

for Conservation of Nature and Natural / IUCN (Santosa, 2008). Kategorisasi kawasan

konservasi IUCN diadopsi di dalam UU No. 5 Tahun 1990, tetapi terdapat kelemahan

karena konsep IUCN dalam membangun kawasan konservasi lebih banyak mengadopsi

situasi di negara maju, sehingga tidak sepenuhnya cocok untuk negara berkembang seperti

Indonesia. Realitas karakteristik politik, kelembagaan dan masyarakat yang berbeda

merupakan tantangan sekaligus peluang pengelolaan berkelanjutan yang sesuai dengan

karakteristik setempat, sehingga dimensi dan atribut dalam pengelolaan taman nasional

berkelanjutan seharusnya memberikanstrategi pendekatanyangberbeda.

Konsep dimensi dalam pengelolaan taman nasional berkelanjutan tidak dibatasi

pada aspekfisik saja, tetapi meliputiruang abstrak dan terbebas dari ruang fisik yang

ditempati manusia. Dimensi juga dapat merujuk pada struktur konstituen dari semua ruang

(volum) dan posisinya dalam waktu serta cakupan spasial obyek-obyek di dalamnya

(Banchoff, 1996). Aspek lebih terperinci dari dimensi disebut atribut atau indikator

yangdidefinisikan sebagai variabel atau komponen dari ekosistem hutan atau sistem

pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status suatu kriteria (CIFOR, 1999).

Dimensi dan atribut pengelolaan berkelanjutan dalam penelitian inidiperoleh

berdasarkan kajian atas 3 (tiga) acuan pengelolaan berkelanjutan kawasan hutan, yaitu; 1)

Guidelines for Management Planning of Protected Areas yang dikembangkan oleh World

Page 3: S3-2015-260371-chapter1

3

Commision on Protected Area - International Union for Conservation of Nature and

Natural Resources (WCPA - IUCN). Panduan ini merupakan set dokumen menggunakan

pendekatan pengelolaan dan hasil yang diinginkan secara bersama sebagai kerangka kerja

dalam pengambilan keputusan, dan diaplikasikan di kawasan konservasi pada jangka waktu

tertentu, 2) Rapid Assessment and Prioritization of Protected Area Management

(RAPPAM) yang dikembangkan oleh World Wildlife Fund (Ervin, 2003). Set RAPPAM

merupakan modifikasi atau pengembangan set yang dibuat oleh IUCN, sehingga memiliki

kemiripan dalam proses dan isinya dan, 3) Acuan Generik dan Indikator Pengelolaan Hutan

yang dikembangkan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR). Acuan

generik ini berisi set kriteria dan indikator (K&I) untuk pengelolaan hutan lestari di alam

tropis yang dikelola secara komersial.

Dimensi penelitian juga merupakan kombinasi dimensi pembangunan berkelanjutan

oleh Dahuri et al. (1996), Kay dan Alder (1999), Salim (2004), dan Fauzi dan Anna (2005),

mencakup dimensi ekologi, ekonomi, sosial, hukum, kelembagaan dan teknologi. Hasil

analisis digunakan sebagai dasar untuk membangun model pengelolaan sumber daya

Taman Nasional dengan menggunakan analisis Multidimensional Scaling, analisis

prospektif dan strategi pengembangannya. Dimensi dan atribut tersebut selanjutnya

digunakan sebagai acuan dalam analisis pengelolaan berkelanjutan di Taman Nasional

Gunung Palung yang dikelilingi pemukiman pendudukpada 6 kecamatan, berada di

Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara, Propinsi Kalimantan Barat.

Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) memiliki luas 90.000 hektar.

Keanekaragaman flora dan faunanya merupakan perwakilan hutan hujan tropis dataran

rendah Indonesia dan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang memiliki ekosistem

Page 4: S3-2015-260371-chapter1

4

signifikan secara global (McKinnon, 2000; Onda, et al., 2008). Kondisi tersebut

menyebabkan TNGP terpilih sebagai kawasan penyelamatan keanekaragaman hayati

penting oleh European Commision-Indonesia Forest Programme tahun 2003–2006. Oleh

karena itutujuan pengelolaan TNGP antara lain (BTNGP, 2009):

1. Melindungi dan melestarikan keberadaan sumberdaya alam hayati yang dimiliki oleh

TNGP khususnya sebagai habitat spesies kunci Orangutan (Pongo pygmeaus

wurmbii);

2. Memanfaatkan potensi sumberdaya alam hayati yang dimiliki oleh TNGP secara

optimal dan lestari untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu

pengetahuan, pendidikan, budidaya, dan wisata alam terbatas serta kegiatan lain yang

menunjang pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan;

Kondisi sebagian besar kawasan TNGP saat initelah mengalami gangguanakibat

aktivitas manusia, seperti kebakaran hutan, penebangan liar, perladangan liar, permukiman

liar, perburuan liar dan pertambangan liar. Latar belakang berbagai permasalahan mendasar

tersebut antara lain masih adanya ketidaksepahaman antara Balai TNGP (BTNGP) dengan

Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat mengenai status dan fungsi TNGP sebagai

kawasan konservasi. Hal ini diindikasikan oleh belum temu gelang tata batas kawasan,

penegakan hukum lemah, database kawasan terbatas, kualitas sumber daya manusia

rendah, dan terbatasnya sarana dan prasarana (BTNGP, 2009). Faktor-faktor tersebut

menyebabkan hampir 9,9% luas kawasan TNGP telah mengalami perambahan dengan

kecenderungan peningkatan 12,8% dalam 5 tahun terakhir dan 3,8% luas kawasan TNGP

mengalami pencurian kayu, dengan kecenderungan peningkatan mencapai10,1% dalam 5

tahun terakhir (Zamzani, 2009).

Page 5: S3-2015-260371-chapter1

5

Penelitian Onda et al. (2008) pada kawasan penyanggamenyimpulkan bahwa faktor

utama terjadinya pembalakan hutan di TNGP oleh masyarakat setempat dikarenakan

tingginya jumlah angkatan kerja laki-laki, dibandingkan dengan faktor kemiskinan. Tenaga

kerja laki-laki terserap di sektor pertanian dan perkebunan, sedangkan tenaga kerja

perempuan terserap di sektor pengolahan produk perkebunan dan perikanan. Untuk

meningkatkan kapasitas produksi, masyarakat cenderung melakukan pembukaan hutan.

Banyaknya waktu tidak produktif dari kegiatan pertanian dan perkebunan mendorong

masyarakat untuk mencari pekerjaan lain, salah satunya pengambilan kayu alam di sekitar

dan di dalam kawasan TNGP. Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat sejak awal tahun

1990-an. Terbukanya akses jalan yang membelah TNGP, menghubungkan Kabupaten

Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang dan berhadapan langsung dengan Selat Karimata

memberikan implikasi positif berupa kemudahan dalam pengawasan, namun implikasi

negatif yang memunculkan kerentanan terhadap potensi pencurian sumber daya alamtidak

dapat dihindari (BTNGP, 2009).

PengelolaanTNGPterbagi dalam zona-zona dengan fungsi sebagaimana

ditetapkan. Sistem zonasi tersebut membatasi kegiatan-kegiatan diluar peruntukannya yang

berpotensi merubah fungsi kawasan (PP No. 68 tahun 1998). Pengaturan-pengaturan

tersebut menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk masyarakat di sekitar

kawasan TNGP (Rosyid, 2004; Paripurno, 2004). Kekhawatiran tersebut antara lain

berkaitan dengan kemungkinan munculnya konflik perebutan sumber daya lahan,

kesenjangan kemampuan ekonomi dan potensi munculnya keterasingan sosial dan budaya

(Marsono, 2008; Paripurno, 2004). Kekhawatiran dan ancaman-ancaman yang

memperlihatkan bahwa TNGP menghadapi ancaman serius, sehingga diperlukan analisa

Page 6: S3-2015-260371-chapter1

6

pengelolaan berkelanjutan, yangdapat digunakan untuk membangun strategi pengembangan

yang sesuai, mampumengakomodir berbagai kepentingan dan dapat diterapkanpada tingkat

operasionalnya.

1.2 Rumusan Masalah

Salah satu kendala dalam melakukan pengelolaan berkelanjutan di TNGP terkait

dengan belum adanya kesepahaman mengenai tujuan dan fungsi kawasan, sehingga

berpengaruh terhadap integritas kawasan TNGP dan rendahnya sumber daya pengelolaan.

Permasalahan yang timbul adalah terjadinya tumpang tindih pemanfaatan kawasan untuk

berbagai kepentingan antara Balai TNGP, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat (Propinsi

dan Kabupaten) dan masyarakat. Kondisitersebut menyebabkan sulitnya melakukan

assessmentpengelolaan berkelanjutan TNGP yang bersifat multi dimensi dalam jangka

waktu panjang.

Kendala lain yang dihadapi adalah bahwa model pengelolaan kawasan konservasi

yang dikembangkan oleh IUCN dan WWF dibuat atas gagasan pengelolaan kawasan

konservasi di negara-negara maju sehingga belum tentu sesuaiuntuk diterapkan di

Indonesia. Berbagai keterbatasan riset dan SDM menyebabkan model pengelolaan taman

nasional dari negara-negara maju masih diadopsi dalam UU No 5 Tahun 1990 sehingga

menjadi kendala paradigma pengelolaan dan aplikasinya pada level operasional. Penyusun

Guidelines for Management Planning of Protected Areas, Lausche (2011), juga mengakui

bahwa implementasi isi, gaya dan struktur pengelolaan kawasan konservasi akan berbeda

pada setiap negara. Pengetahuan dan pengalaman harus terus ditingkatkan pada level

praktis dan hal-hal mendasar sesuai perkembangan masa kini. Oleh karena itudalam

Page 7: S3-2015-260371-chapter1

7

operasionalnyadiperlukan pemahaman terhadap karakteristik dan isu-isu yang berkembang

di setiap taman nasional, termasuk TNGP, sehingga sebaiknya perlu

melakukanpenyesuaian dengan kondisi aktual yang ada. Salah satu alternatif untuk

menjawabatas kritik tersebut adalah tersusunnya seperangkat model pengelolaan

berkelanjutan yang dapat diterapkan di TNGP sesuai dengan karakter dan isu-isu strategis

yang berkembangpada kondisi setempat.

Berdasarkan pada uraian permasalahan tersebut diatas, dapat dibuatrumusan

masalah penyusunan model pengelolaan berkelanjutan TNGP adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana menyusun model pengelolaan berkelanjutan yang sesuai, dapat

diterapkandalam mengakomodir kepentingan berbagai pihak?

2. Bagaimana definisi operasional dalam pengelolaan berkelanjutan yang mencakup

berbagai dimensi dan atribut?

3. Bagaimana hasil penilaian terhadap berbagai dimensi dan atribut pengelolaan

berkelanjutan?

4. Bagaimana hasil penilaian pengelolaan berkelanjutan dapat berpengaruh terhadap

formulasi kebijakan pengelolaan di masa yang akan datang?

Solusi permasalahan pengelolaan berkelanjutan TNGP memerlukan pendekatan

multi dimensi sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan.

Permasalahan pokok yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bahwa kebijakan

pengelolaan berkelanjutan TNGPselama ini masih belum didasarkan atas pertimbangan

multi sektoral dan multi dimensi. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang diajukan

sebagai berikut:

a) Apa saja dimensi utama dalam pengelolaan berkelanjutan TNGP?

Page 8: S3-2015-260371-chapter1

8

b) Apa saja atribut untuk masing-masing dimensi dalam pengelolaan berkelanjutan

TNGP?

c) Seberapa besar nilai indeks pengelolaan berkelanjutan TNGP pada saat ini?

d) Bagaimana model pengelolaan TNGP dan skenarionya yang sesuai dengan konsep

pembangunan berkelanjutan?

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada pengelolaan TNGP. Status (kondisi)

keberlanjutan pengelolaan TNGPberdasarkan dimensi dan atribut berpengaruh hasil kajian

atas 3 (tiga) acuan pengelolaan berkelanjutan kawasan hutan yaitu IUCN, WWF dan

CIFOR sertadimensi pengelolaan berkelanjutan yang dikembangkan oleh Dahuri et al.

(1996), Kay dan Alder (1999), Salim (2004), dan Fauzi dan Anna (2005). Penilaian status

keberlanjutan pengelolaan taman nasional saat ini menghasilkan gambaran umum

(snapshot) tentang nilai indeks yang dipetakan. Penentuan atribut-atribut sensitif dari

masing-masing dimensi dilakukan dengan analisis leverage.

1.4 Keaslian Penelitian

Kajian pengelolaan TNGP berkelanjutan merupakan pengejawantahan secara

spesifik pengelolaan kawasan konservasi yang mengakomodir berbagai kepentingan tanpa

mengesampingkan kearifan lokal yang telah terbangun sejak lama. Kajian ini juga

merupakan representasi model pengelolaan yang adaptif berdasarkan situasi yang

berkembang di Indonesia secara ekonomi, politik, kelembagaan, potensi sumber daya dan

dinamika sosial yang muncul. Hal ini menjadi penting karena model pengelolaan taman

nasional di Indonesia saat ini masihmerupakanhasil adopsi dari model yang dikembangkan

Page 9: S3-2015-260371-chapter1

9

di negara-negara maju, sehingga memiliki karakteristik kajian dan ruang lingkup yang

berbeda.

Penelitian analisis pengelolaan berkelanjutan di kawasan konservasi penting

dilakukan sebagai acuan pengelolaan berdasarkan karakteristik kawasan setempat.

Pengelolaan kawasan konservasi berkelanjutan dapat memetakan dan mengoptimalkan

berbagai potensi sekaligus mereduksi berbagai ancaman yang muncul, sehingga dapat

mengakomodir kepentingan masyarakat lokal maupun kepentingan regional dan nasional.

Pertimbangan terhadap berbagai dimensi dan atribut yang berkembangsangat membantu

dalam mewujudkan pengelolaan kawasan yang mengintegrasikan berbagai kepentingan.

Oleh karena itu, kajian ini menjadi sangat penting karena belum ada penelitian yang

mengkaji dimensi-dimensi dan atribut-atribut berpengaruh dalam pengelolaan taman

nasional secara komprehensif sesuai dengan karakteristik, potensi dan dinamika

pengelolaan sebagaimana yang terjadi di Indonesia.

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai model pengelolaan taman nasional masih

dilakukan secara parsial berdasarkan salah satu dimensi saja, diantaranya penelitian

mengenai model pengelolaan konservasi berbasis ekowisata, berbasis sosial, berbasis resort

maupun tinjauan hukumnya, telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut antara

lain:

1. Asmin, 2004. Perencanaan Pengembangan Ekowisata Di Kawasan Cagar Alam

Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat.

2. Ekasari, 2010. Kajian Pengelolaan Partisipatif Kawasan Konservasi Taman Hutan

Raya Wan Abdul Rahman Propinsi Lampung.

Page 10: S3-2015-260371-chapter1

10

3. Hendarini, 2010. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata

Alam Kawasan Plawangan-Turgo Taman Nasional Gunung Merapi, Propinsi DI

Yogyakarta.

4. Haryono, 2010. Model Pengembangan Pengelolaan Taman nasional Secara

Terintegrasi. Studi kasus Pengelolaan Berbasis Ekowisata Di Taman Nasional Bukit

Tigapuluh Propinsi Riau dan Jambi.

5. Hastuti, 2010. Kajian Klasifikasi Ekosistem Sebagai Dasar Pengelolaan Taman

Nasional Gunung Merbabu, Propinsi Jawa Tengah.

6. Murwaji, 2009. Pengelolaan Terpadu Taman Nasional Berlandaskan Pendekatan

Hukum Ekonomi Lingkungan; Analisis Penyelamatan Taman Nasional Kutai,

Propinsi Kalimantan Timur.

7. Rifanjani, 2007. Analisis Lanskap Taman Nasional Gunung Palung Dengan

Pendekatan Dimensi Sosial Masyarakat; Studi di Desa Sedahan Jaya Kabupaten

Ketapang. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

8. Maria Yosefhie, Gusti Hardiansyah dan Uke Natalina. Nilai Ekonomi Ekowisata

Taman Nasional Danau Sentarum Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan

Barat. Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Pontianak.

9. Reny Sawitri dan Sofian Iskandar, 2012. Keragaman jenis burung di Taman Nasional

Kepulauan Wakatobi dan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

Penelitian ini bersifat menyeluruh untuk mengkaji model pengelolaan berkelanjutan

taman nasional dari berbagai dimensi yang belum pernah dilakukan oleh pihak lain.

Penelitian ini diharapkan memberikan solusi terhadap kritik model pengelolaan yang dibuat

oleh IUCN, WWF dan CIFORsehingga keluarannya diharapkan mampu memberikan cara

Page 11: S3-2015-260371-chapter1

11

pandang holistik mengenai model pengelolaan taman nasional yang mengintegrasikan

berbagai aspek pengelolaan secara kuantitatif. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan

dapat diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan konservasi di tempat lain, khususnya yang

berbentuk taman nasional.

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud membuat model pengelolaan taman nasional berkelanjutan

dengan tinjauan dari berbagai dimensi dan atributyang berpengaruh secara komprehensif,

sehinggatujuan penelitian ini adalah:

1. Menemukenali dimensi dan atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan keberlanjutan

TN Gunung Palung

2. Menganalisis nilai indeks keberlanjutan pengelolaan TN Gunung Palung

3. Membangun model pengelolaan secara berkelanjutan di wilayah TN Gunung Palung

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian model pengelolaan taman nasional diharapkan dapat memberikan

manfaat dalam rangka menentuan arah dan prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional

yang berkelanjutan, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap:

a. Pengelola TNGP sebagai masukan penting dalam rangka perencanaan dan

pengelolaan serta penerapannya sesuai kondisi dan kapasitas setempat dalam

pengelolaan TNGP.

b. Pengelolaan unit-unit taman nasional lainnya dapat mengadopsi dan

mengaplikasikannya melalui modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi spesifik di

setiap kawasan tersebut.

c. Ilmu Pengetahuan

Page 12: S3-2015-260371-chapter1

12

1. Sebagai bahan referensi dalam pengkajian lebih lanjut terutama dalam bidang

pengelolaan taman nasional.

2. Sebagai dasar pertimbangan metode kuantitatif berbasis pengetahuan dalam

menghasilkan alternatif keputusan.

d. Pemerintah (cq Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Sebagai acuan pemerintah dalam menyusun prencanaan pengelolaan sumber daya

hutan di TNGP, terutama dalam penentuan prioritas program aksi yang diperlukan.

e. Para pihak lain

1. Sebagai dokumen rujukan penyusunankebijakan bagi para Stakeholders.

2. Sebagai informasi dan referensi bagi stakholders dan masyarakat dalam

pengelolaan sumber daya hutan di TNGP.