s1-2014-301008-introduction
DESCRIPTION
adsTRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah resistensi antibiotik telah menjadi perhatian dunia sejak zaman
dahulu kala. Kasus penyakit infeksi dan jumlah kematian akibat bakteri yang telah
mengalami resistensi antibiotik semakin meningkat setiap tahunnya. Data WHO
menunjukkan terdapat 440.000 kasus baru Multi Drug Resistance Tuberculosis
(MDR-TB) yang mengakibatkan 150.000 kematian di seluruh dunia pada tahun
2008 (Anonim, 2010). Kemudian pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000
kasus baru MDR-TB di seluruh dunia dengan jumlah kematian meningkat
menjadi 170.000 kematian. Di Indonesia sendiri terdapat peningkatan kasus
MDR-TB dari 200 kasus pada tahun 2010 menjadi 400 kasus pada tahun 2011 dan
lebih dari 400 kasus pada tahun 2012 (Anonim, 2013).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi, tidak tepat cara
penggunaan, atau konsumsi daging ternak yang diberi pakan mengandung
antibiotik dapat menyebabkan terjadinya mutasi gen yang mengkode berbagai
macam mekanisme resistensi antibiotik (Anonim, 2001). Hampir semua jenis
bakteri sekarang menjadi lebih kuat dan mengalami resistensi. Contoh beberapa
bakteri yang telah mengalami resistensi adalah Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa (Tenover, 2006). Resistensi ini
menimbulkan beban hidup bagi pasien karena infeksi bakteri yang awalnya dapat
disembuhkan oleh antibiotik ringan dan murah saat ini harus menggunakan
-
2
antibiotik yang lebih kuat aktivitasnya, lebih mahal, dengan jumlah yang lebih
banyak, waktu penyembuhan yang lebih lama serta dapat terjadi infeksi sekunder
yang meningkatkan keparahan penyakit. Masalah resistensi juga menimbulkan
keresahan bagi para peneliti karena perkembangan bakteri resisten lebih cepat
dibandingkan dengan adanya penemuan antibiotik baru. Faktor-faktor inilah yang
menyebabkan angka kematian akibat resistensi antibiotik mengalami peningkatan
setiap tahunnya (Anonim, 2001). Oleh karena itu dibutuhkan suatu bahan yang
dapat mengurangi daya resistensi bakteri atau menurunkan perkembangan bakteri
resisten (antipatogen).
Dewasa ini, penelitian mengenai antimikroba telah banyak diarahkan dan
dikembangkan pada penghambatan patogenisitas bakteri, bukan pada aktivitas
membunuh bakteri. Dengan menghambat patogenesitas bakteri maka
perkembangan bakteri resisten tidak terjadi (Veesenmeyer dkk., 2009; Rasko dan
Sperandio, 2010). Patogenisitas bakteri dapat dihambat melalui mekanisme
penghambatan komunikasi antar sel bakteri (quorum sensing) (Bryant dkk., 2008).
Tumbuhan merupakan sumber bahan yang menjanjikan untuk
pengembangan obat baru karena kandungan zat aktifnya yang beragam dan
berpotensi. Beberapa zat aktif tumbuhan yang berpotensi sebagai antimikroba
adalah kuinon, alkaloid, lektin, polipeptida, flavonoid, kumarin, terpenoid,
minyak atsiri, dan tanin (Srivastava dkk., 2013). Pemanfaatan tumbuhan sebagai
bahan obat juga telah dilakukan dari zaman dahulu hingga sekarang. Selain itu
juga, tumbuhan obat dipercaya memberikan sedikit (atau tidak sama sekali) efek
samping pada penggunanya. Ketersediaan tumbuhan yang melimpah di alam juga
-
3
semakin menguatkan potensinya sebagai sumber bahan untuk pengembangan obat
baru. Di Indonesia sendiri, tercatat ada sekitar 30.000 atau sekitar lebih dari 12%
tumbuhan tingkat tinggi di hutan tropis dari yang terdapat di muka bumi (250.000
tumbuhan) (Ersam, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Palaniappan dan Holley
(2010), penggunaan bahan sebagai antimikroba bersamaan dengan antibiotik
dapat meningkatkan sensitifitas bakteri yang telah mengalami resistensi terhadap
antibiotik. Kandungan zat aktif tumbuhan seperti flavon dan alkaloid telah teruji
dapat meningkatkan sensitivitas bakteri MRSA terhadap antibiotik -laktam (Sato
dkk., 2004; Yu HH dkk., 2005). Menurut Srivastava dkk. (2013), bahwa
antimikroba yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan sebagai alternatif untuk
mengontrol resistensi karena dapat bekerja secara sinergis dengan antimikroba
yang sudah ada.
Salah satu tumbuhan yang telah teruji memiliki aktivitas antimikroba
adalah tumbuhan jarak kepyar (Ricinus communis L.) karena kandungan aktifnya
flavonoid kaempferol-3-tersubtitusi pada bagian daunnya (Setyowati, 1992).
Selain itu, daun jarak kepyar juga mengandung metabolit sekunder lainnya yang
menguatkan aktivitasnya sebagai antimikroba, yaitu alkaloid, tannin, saponin dan
fenol (Obumselu dkk., 2011). Berbagai macam ekstrak daun jarak kepyar telah
banyak diteliti dan teruji aktivitasnya dalam menghambat berbagai macam bakteri
Gram negatif dan Gram positif seperti E. coli, S. aureus, Klebsiella pneumoniae,
Streptococcus pyogenes, Bacillus subtilis, P. aeruginosa, Proteus vulgaris,
Salmonella typhi, Shigella, Vibrio cholerae, dan Shigella flexneri (Iqbal dkk.,
-
4
2012; Islam dkk., 2010; Kensa dan Yasmin, 2011; Kota dan Manthri, 2011;
Malook dkk., 2013; Naz dan Bano, 2012; Obumselu dkk., 2011; Sharma dkk.,
2013).
Pada penelitian ini dilakukan pengujian aktivitas antibakteri kembali
pada bakteri S. aureus dan E. coli yang berstandar ATCC serta menguji aktivitas
ekstrak daun jarak kepyar sebagai sumber senyawa antipatogen melalui uji
penghambatan produksi pigmen pyoverdin sebagai komunikasi antar sel pada
bakteri P. aeruginosa.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah fraksi hasil fraksinasi ekstrak metanol daun jarak kepyar memiliki
aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri S. aureus ATCC 29213 dan
E. coli ATCC 25922 serta berapakah nilai KHM50 -nya?
2. Apakah fraksi hasil fraksinasi ekstrak metanol daun jarak kepyar dapat
menghambat produksi pigmen pyoverdin sebagai aksi quorum sensing
pada P. aeruginosa ATCC 27853?
3. Senyawa apakah yang memiliki aktivitas sebagai antipatogen?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari fraksi hasil fraksinasi ekstrak
metanol daun jarak kepyar terhadap bakteri S. aureus ATCC 29213 dan E.
coli ATCC 25922 beserta nilai KHM50.
2. Untuk menyelidiki efek antipatogenik fraksi hasil fraksinasi ekstrak
metanol daun jarak kepyar dilihat dari kemampuan menghambat produksi
pigmen pyoverdin pada P. aeruginosa ATCC 27853.
-
5
3. Untuk mengetahui jenis senyawa yang memiliki aktivitas sebagai
antipatogen.
D. Tinjauan Pustaka
1. Tumbuhan jarak kepyar ( Ricinus communis L.)
Gambar 1. Ricinus communis L
a. Klasifikasi tumbuhan. Klasifikasi/ sistematika tumbuhan jarak
kepyar adalah sebagai berikut (Jena dan Gupta, 2012) :
Kerajaan : Plantae
Bangsa : Malpighiales
Suku : Euphorbiaceae
Sub suku : Acalyphoideae
Tribe : Acalypheae
Sub Tribe : Ricininae
Marga : Ricinus
Jenis : Ricinus communis L.
-
6
b. Nama daerah dan nama asing. Nama asing: Castor oil-plant
(Inggris); Eranda, Chitra-bija, Triputi, Tribija, Vaataari, Chanchu, Manda,
Uruvaka, Gandharva-hastaa, Panchaangula, Vardhamaana, Uttaanpatraka,
Vyaaghrapuchha, Chitraa (Ayuverda); Bedanjeer, Arand (Unani); Ammanakku
(Siddha/Tamil). Nama daerah : Jarak (Jawa, Melayu, Sunda, Bali, dan
Minangkabau); Jawa: Jarak jitun, Jarak kaliki, Kaliki (Sunda); Kaleke (Madura);
Kaleke beritah (Kangean); Sumatera : Gloah (Gayo); Lulang (batak Karo);
Dulang (Batak Toba); Kalikih alang (Minangkabau); Jarag (Lampung); Sulawesi :
Malasai (Mongondow); Kelalei (Tonsaw); alale (Gorontalo); Tangang-tangang
jara (Makasar); Peleng kaliki jera (Bugis); Kalangan (Sulawesi Utara); Nusa
tenggara : Tetanga (Bima); Luluk (Roti); Lolo (Sawu); Paku perunai (Timor);
Maluku : Balacai tamekat (Halmahera); Balacai (Ternate) (Anonim, 1983; Khare,
2007; Widodo dan Sumarah, 2007).
c. Morfologi. Jarak kepyar merupakan tumbuhan perdu atau terna.
Batang: tegak, tinggi 1-5 m, memiliki tekstur halus, dilapisi oleh lilin, berwarna
hijau muda sampai hijau tua, diameter batang 3-5 cm yang dihitung pada
ketinggian 50-100 cm dari permukaan tanah, berkayu lunak, berongga pada
bagian tengah, dan memiliki bentuk cabang yang tidak beraturan. Daun :
berwarna hijau muda sampai hijau tua, mempunyai helaian daun yang lebar
dengan ukuran 10-75 cm, daun menjari dengan 5-12 jari, tepi daun bergerigi,
memiliki tangkai daun dengan ukuran 35-50 cm yang berwarna hijau, dan tulang
daun pada permukaan daun bagian bawah menonjol. Bunga : malai yang bebentuk
tandan (tandan bagian atas adalah bunga betina sedangkan bagian bawah adalah
-
7
bunga jantan). Buah : bulat, berwarna hijau muda sampai hijau tua jika masih
muda dan berwarna coklat keabu-abuan jika sudah tua, akan pecah jika sudah tua,
berduri lunak/ berambut pendek, dan di dalamnya terdapat 3 bagian yang masing-
masing terdapat satu biji yang berbentuk oval/lonjong yang berwarna kecoklatan
dengan bintik-bintik atau motif tertentu (Anonim, 1978; Van Steenis, 1975;
Widodo dan Sumarah, 2007).
d. Habitat. Tumbuhan ini tumbuh tersebar pada daerah yang terletak
diantara 40 LU dan 40 LS dengan ketinggian 1-2.200 m. Biasanya tumbuhan ini
akan tumbuh pada daerah dataran rendah. Tapi, tumbuhan ini juga dapat tumbuh
di daerah pegunungan, terutama di daerah yang agak kering. Tumbuhan ini akan
tumbuh baik pada tanah yang bertekstur agak berpasir atau agak berlempung dan
tempat yang terbuka karena membutuhkan cahaya penuh untuk tumbuh (Anonim,
1978; Van Steenis, 1975; Widodo dan Sumarah, 2007).
e. Manfaat dalam bidang pengobatan. Penggunaan secara tradisional:
Minyak : mempermudah proses melahirkan jika diminum, sebagai zat pembawa
hormon steroid dalam penggunaan secara parenteral, sebagai purgatif untuk anak-
anak dan bayi, dan untuk megobati dermatosis dan eksim. Daun: kompres
payudara dengan menggunakan dekok dan poultice daun jarak kepyar dapat
meningkatkan sekresi air susu. Kemudian dekok juga dapat sebagai lactagogue
dan emmenagogue jika diminum. Serbuk daun sebagai insektisida. Jus daun
sebagai anti jamur dan mikobakteria. Selain itu, digunakan untuk emetikum dan
untuk penyakit kuning. Penggunaan secara poultice juga dapat digunakan untuk
menghilangkan nyeri seperti sakit gigi karena karies, bisul dan bengkak. Daun
-
8
yang dilapisi dengan minyak kemudian dihangatkan dapat digunakan sebagai
penghilang kembung pada anak-anak. Infusa daun digunakan untuk
menghilangkan sakit perut dan lotion mata. Akar : untuk sakit gigi, dekok akar
digunakan untuk menyembuhkan sakit pinggang dan kulitnya digunakan sebagai
purgatif. Fitofarmakologi : antioksidan, antinosiseptif, antiasma, antifertilitas,
antihistamin, imunomodulator, hepatoprotektif, antiinflamasi, anti-implantasi,
analgetik pusat, antitumor, sitotoksik, antimikroba, antifungi, antidiabetes,
penyembuh luka, lipolysis, insektisida, larvasida, moluskisida, antiulcer, dan
regenerasi tulang (Jena dan Gupta, 2012; Khare, 2007; Rana dkk., 2012).
f. Kandungan kimia. Daun : asam gentisat, flavonoid (rutin,
kuersetin-3-O-beta-d- xylopiranosida, kuersetin3-O-beta-d- glukopiranosida ,
kuersetin-3-O-beta-d-rutinosida, kaempferol-3-O-beta-d-rutinosida, kaempferol-3-
O-beta-d-xylopiranosida, dan kempferol-3-O-beta-D-glukopiranosida,), asam
galat, alkaloid ( ricinin dan N-dimetilricinin), tanin, monoterpenoid (1,8-sineol,
kamper, dan -pinene), dan seskuiterpen (-caryophyllene). Akar : indol-3-asam
asetat. Biji : asam risinoleat, isorisinoleat, stearat,dan dihidroksistearat, indol-3-
asam asetat, agglutinin, risin. Buah : alkaloid dan risinin. Batang: risinin (Jena dan
Gupta, 2012; Rana dkk., 2012 )
2. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana dan murah. Maserasi
diawali dengan cara menyerbuk bahan simplisia dengan derajat halus tertentu dan
kemudian direndam dengan cairan penyari yang sesuai pada wadah yang tertutup.
Selanjutnya, penyari disaring dan residu diperas untuk mengeluarkan penyari
-
9
yang masih tertinggal dalam serbuk (Azmir dkk., 2013; Anonim, 1986). Dalam
buku Farmakope Herbal Indonesia (2008), disebutkan bahwa proses maserasi
dilakukan dengan memasukkan satu bagian simplisia ke dalam maserator
kemudian ditambahkan sepuluh bagian pelarut dan direndam selama 24 jam yang
mana pada 6 jam awal dilakukan pengadukan sesekali. Sedangkan pada buku
Acuan Sediaan Herbal (2000) disebutkan bahwa proses maserasi tidak hanya
dilakukan selama 24 jam melainkan selama seminggu. Tahapan maserasi
berdasarkan Acuan Sediaan Herbal (2000) adalah melakukan maserasi dengan
pengadukan selama 5 hari dengan 75 bagian penyari kemudian disaring dan pada
ampas dilakukan maserasi kembali tanpa pengadukan dengan 25 bagian penyari
selama 2 hari.
Pada proses maserasi terjadi proses difusi dimana cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel yang mengandung zat aktif, zat
aktif akan larut dan menyebabkan perbedaan konsentrasi antara penyari yang ada
di luar sel dengan yang ada di dalam sel sehingga penyari yang ada di dalam sel
akan didesak keluar sel. Peristiwa difusi akan terjadi berulang hingga tercapainya
kesetimbangan konsentrasi antara penyari yang ada di dalam sel dengan yang ada
di luar sel (Anonim, 1986). Untuk menghindari tercapainya kesetimbangan
konsentrasi, maka diperlukan pengadukan sehingga meningkatkan hasil penyarian
(Azmir dkk., 2013).
Cairan penyari yang digunakan sebaiknya mempertimbangkan toksisitas
terhadap manusia, kelestarian lingkungan, ekonomis, afinitas molekul antara zat
yang disari dengan penyari baik, transfer massa, penggunaan co-solvent, dan
-
10
polaritas zat yang akan disari (Azmir dkk., 2013). Dalam Farmakope Herbal
Indonesia (Anonim, 2008) disebutkan bahwa pelarut yang umum digunakan
adalah etanol 70%.
Kelarutan senyawa aktif dalam penyari berdasarkan kepolaritasannya
dijabarkan oleh Pramono (2013) pada tabel berikut ini:
Tabel I. Urutan kelarutan senyawa aktif dari pelarut non polar hingga pelarut polar
Penyari Senyawa yang larut
Heksan
Petroleum eter
Lemak , terpenoid atau minyak atsiri,
steroid atau triterpenoid, antrakinon,
kumarin, flavonoid polimetoksi,
resin, klorofil
Toluen
Kloroform
Diklorometan
Semua senyawa aktif yang telah
disebutkan di atas,isoflavon, alkaloid
bebas, kurkumin dan fenil propan,
fenol sederhana
Dietil eter Semua senyawa aktif yang telah
disebutkan di atas, flavonoid
polihidroksi, asam fenolat
Etil asetat
Aseton
Semua senyawa aktif yang telah
disebutkan di atas, flavonoid
monoglikosida, antrakinon glikosida,
steroid glikosida, kumarin glikosida
Etanol
Metanol
Semua senyawa aktif yang telah
disebutkan di atas, flavonoid
glikosida, tannin, saponin
Air panas Semua senyawa aktif yang larut
dalam penyari mulai dari dietil eter
ke hingga metanol, alkaloid garam,
karbohidrat, protein
Keuntungan dari maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
sederhana dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang
lama dan proses penyariannya tidak sempurna (Anonim, 1986).
3. Uraian tentang mikrobiologi
a. Bakteri. Berikut ini adalah uraian tentang bakteri yang akan
diujikan, yaitu:
-
11
1) Staphylococcus aureus. Berdasarkan Garrity dkk. (2004),
klasifikasi/ sistematika S. aureus adalah sebagai berikut :
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Bangsa : Bacillales
Suku : Staphylococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk
bulat, berdiameter 0,8-1 m, tersusun dalam bentuk kelompok yang tidak teratur,
bersifat fakultatif anaerob, tidak bergerak, membentuk koagulasi, penyebab
hemolisis, mencairkan gelatin, meragikan manitol, bersifat lipolitik pada
perbenihan yang mengandung kuning telur, membuat fosfatasa, peka terhadap
lisostafin, dan tidak membentuk spora. Dalam media biakan cair, S. aureus dapat
berbentuk tunggal, berpasangan, tetrad dan rantai (Brooks dkk., 2001; Gupte,
1990; Staf Pengajar FK UI, 1994).
Staphylococcus aureus dapat tumbuh baik pada suhu 37C dalam
suasana aerobik dan mikroaerofilik. Bakteri ini akan tumbuh dengan membentuk
pigmen secara optimal temperatur 20-35C. Pigmen yang dihasilkan oleh koloni
S. aureus adalah kuning emas yang mana proses pigmentasinya akan lebih baik
jika terdapat cahaya. Batas suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah 15- 40C
dengan pH 7,4 (Brooks dkk., 2001; Gupte, 1990; Staf Pengajar FK UI, 1994).
-
12
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuan
daya sebar yang invasif dalam jaringan serta adanya toksin dan enzim yang
dihasilkannya. Toksin dan enzim yang dihasilkan oleh S. aureus adalah hemolisin,
fibrinolisin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksin sindroma syok, enterotoksin,
enzim katalase, enzim koagulase, enzim fosfatase, enzim hialuronidase, dan enzim
deoksiribonuklease (Brooks dkk., 2001; Gupte, 1990; Staf Pengajar FK UI, 1994).
S. auerus merupakan bakteri penyebab penyakit pada kulit atau jaringan lunak,
pembuluh darah, dan saluran pernafasan bagian bawah (Plata dkk., 2009), namun
S. aureus ini juga bersimbiosis komensalisme dengan kulit, kelenjar kulit, dan
membran mukosa hidung pada orang sehat (Crossley dan Archer, 1997).
2) Escherichia coli. Berdasarkan Garrity dkk (2004), klasifikasi/
sistematika E. coli adalah sebagai berikut :
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Bangsa : Enterobacteriales
Suku : Enterobacteriaceae
Marga : Escherichia
Jenis : Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang
pendek, berukuran 0,4-0,7 m x 1,4 m, dapat meragikan laktosa pada media
isolasi kuman enterik, mikroaerofilik, hemolisis tipe beta pada media Agar darah,
dan bersifat fakultatif anaerob yang hidup sebagai flora normal di dalam usus
besar manusia. E. coli akan menyebabkan penyakit pada manusia jika imunitas
-
13
manusia menurun dan adanya infeksi pada pelindung saluran gastrointestinal
(Nataro dan Kaper, 1998; Staf Pengajar FK UI, 1994). Penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh E. coli adalah infeksi saluran kemih, sepsis atau meningitis, dan
diare. Zat toksin yang dihasilkan oleh E. coli adalah toksin LT (heat-labile
enterotoxin) dan toksin ST (heat-stable enterotoxin) (Staf Pengajar FK UI, 1994).
3) Pseudomonas aeruginosa. Berdasarkan Garrity dkk (2004),
klasifikasi/ sitematika P. aeruginosa adalah sebagai berikut :
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Bangsa : Pseudomonadales
Suku : Pseudomonadaceae
Marga : Pseudomonas
Jenis : Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif yang
memiliki bentuk batang tunggal, ganda dan kadang-kadang membentuk rantai
pendek; berukuran 0,5-1,0 m x 3,0-4,0 m; dapat bergerak dengan flagel polar;
memiliki pili (fimbriae); aerob dan fakultatif anaerob; bersifat oksidase positif;
dapat memproduksi bau amis; beberapa strain dapat menghemolisis darah; tidak
memfermentasikan kabohidrat; bersifat saprofit pada orang sehat (Brooks dkk.,
1991; Moore dkk., 2006; Staf Pengajar FK UI, 1994).
Pseudomonas aeruginosa dapat tumbuh baik pada berbagai tipe media
dengan suhu 37-42C dan pH 6,4-7,8. Bakteri ini akan membentuk lapisan lendir
polisakarida ekstraseluler jika ditumbuhkan pada perbenihan tanpa sukrosa. P.
-
14
aeruginosa membentuk koloni bulat dan menghasilkan pyocyanin (pigmen
berwarna kebiruan dan tidak berfluoresensi yang dapat berdifusi ke dalam Agar),
pyoverdin (pigmen kehijauan dan berfluoresensi), pyorubin (pigmen merah
gelap), dan pyomelanin (pigmen hitam) (Brooks dkk., 1991; Staf Pengajar FK UI,
1994).
Bakteri P. aeruginosa menginfeksi kulit dan selaput lendir pada orang
yang mengalami penurunan daya tahan tubuh akibat penggunaan alat-alat bantu
kedokteran, penyakit metabolik, kemoterapi, neutropenia atau luka bakar.
Patogenesitas dari P. aeruginosa dipengaruhi oleh enzim, pili, dan toksin yang
dihasilkan. Adapun enzim dan toksin yang dihasilkan adalah elastase, protease,
dan hemolisin (Brooks dkk., 1991).
b. Uji aktivitas dan potensi antimikroba. Uji antimikroba merupakan
metode untuk membuktikan agen antimikroba sintetik maupun agen antimikroba
yang berasal dari bahan alami. Aktivitas antimikroba dilihat dari respon
pertumbuhan bakteri yang diuji terhadap bahan yang diujikan. Metode uji
aktivitas dan potensi antimikroba yang lazim digunakan adalah sebagai berikut:
1) Metode difusi. Berikut ini adalah macam-macam metode
difusi yang sering digunakan dalam penelitian yaitu disc diffusion (tes Kirby &
Bauer), ditch-plate technique, cup-plate technique, metode Stokes dan metode
primary disc. Metode disc diffusion merupakan metode yang paling sering
digunakan untuk mengukur diameter hambat yang dihasilkan oleh antimikroba
yang terdapat dalam piringan yang mana piringan tersebut ditempelkan pada
media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang diujikan. Media agar yang
-
15
biasa digunakan adalah media agar Mueller-Hinton. Metode Stokes memiliki
prinsip yang sama dengan metode disc diffusion dan yang membedakan hanyalah
penempatan bakteri uji dengan bakteri kontrol dalam cawan Petri. Pada Metode
Stokes, bakteri kontrol dan bakteri uji diletakkan dalam satu cawan Petri dimana
bakteri kontrol ditumbuhkan pada bagian tengah, sedangkan bakteri uji pada
bagian atas dan bawah agar yang dibagi secara horizontal. Sedangkan pada
metode disc diffusion, bakteri kontrol dan bakteri uji ditumbuhkan pada cawan
Petri yang terpisah. Metode primary disc juga memiliki prinsip yang sama dengan
metode disc diffusion dan metode Stokes. Namun yang membedakan hanyalah
spesimen uji yang digunakan, pada metode disc diffusion dan metode Stokes
menggunakan kultur bakteri murni sedangkan pada metode primary disc
menggunakan urin atau cairan yang mengandung bakteri (Parija, 2012;
Vasanthakumari, 2007).
Metode lain yang memiliki prinsip sama dengan metode disc
diffusion adalah cup-plate technique dimana tidak menggunakan disc melainkan
menggunakan sumuran. Ditch-plate technique dilakukan dengan cara membuat
parit pada bagian tengah agar kemudian diisi dengan bahan antimikroba. Bakteri
uji pada ditch-plate technique diaplikasikan dengan cara digores ke arah parit
(Pratiwi, 2008). Metode difusi yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai
KHM adalah metode E-test dimana menggunakan strip yang mengandung
antimikroba dengan seri kadar terendah hingga tertinggi. Strip tersebut
ditempelkan pada media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji dimana
-
16
KHM ditunjukkan dengan kadar terendah yang masih memberikan tampilan zona
jernih pada media agar (Parija, 2012; Pratiwi, 2008; Vasanthakumari, 2007).
2) Metode dilusi. Metode dilusi yang sering digunakan ada 2
macam, yaitu metode dilusi cair dan padat. Baik metode cair dan padat dapat
digunakan untuk menentukan nilai MIC. Pada metode dilusi cair, nilai MIC dapat
ditentukan dengan cara melihat seri kadar terendah dari agen antimikroba yang
terlihat jernih. Selain itu, nilai MBC juga dapat ditentukan dengan cara melihat
seri kadar terendah dari agen antimikroba yang terlihat jernih dan tidak ada
pertumbuhan bakteri jika digoreskan ke media agar padat (Parija, 2012; Pratiwi,
2008; Vasanthakumari, 2007). Sedangkan pada metode dilusi padat, nilai MIC
merupakan konsentrasi terendah yang memberikan tampilan jernih atau tidak
adanya bakteri yang tumbuh pada tempat dimana bakteri di gores pada media agar
(Parija, 2012). Keuntungannya adalah dalam plate satu kadar agen antimikroba
dapat diujikan untuk beberapa macam mikroba uji (Pratiwi, 2008;
Vasanthakumari, 2007).
3) Bioautografi. Uji bioautografi ini menggunakan plat KLT
untuk mengetahui bercak mana yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri,
antivirus atau antijamur. Ada tiga macam metode bioautografi, yaitu :
a) Bioautografi Kontak. Pada metode ini, cara mendeteksi
adanya aktivitas antibakteri yaitu dengan cara menyentuhkan plat pada media agar
yang telah ditanami bakteri selama beberapa menit atau jam kemudian
diinkubasikan dan dilihat zona jernih yang terbentuk di sekitar bercak (Choma
dan Grzelak, 2010; Pratiwi, 2008). Kerugian menggunakan metode ini adalah
-
17
sulitnya mendapatkan kontak yang sempurna antara plat dan media agar serta
dapat menempelnya adsorben pada media agar (Choma dan Grzelak, 2010).
b) Bioautografi overlay. Pada metode ini, media yang telah
dicampur dengan mikroba uji dituang diatas permukaan KLT. Media yang telah
memadat bersama bakteri kemudian diinkubasikan ke dalam inkubator. Untuk
melihat zona jernih yang dihasilkan, dilakukan penyemprotan dengan
menggunakan tetrazolium klorida (Pratiwi, 2008). Kerugian penggunaan metode
ini adalah adanya pengenceran agen antimikroba sehingga sensitivitasnya lebih
rendah dibandingkan bioautografi kontak (Choma dan Grzelak, 2010).
c) Bioautografi langsung. Untuk mendeteksi adanya aktivitas
antibakteri, plat KLT dicelupkan dalam suspensi bakteri atau disemprot langsung
dengan mikroba kemudian diinkubasi dan zona hambatan dilihat menggunakan
garam tetrazolium dimana daerah yang tidak berwarna menunjukkan tidak adanya
bakteri yang hidup (Choma dan Grzelak, 2010).
c. Quorum sensing. Quorum sensing merupakan mekanisme
komunikasi antar sel bakteri untuk berkoordinasi. Setiap sel bakteri menghasilkan
autoinducer dalam jumlah yang sangat sedikit dan setiap bakteri juga memiliki
reseptor untuk autoinducer tersebut (Lal, 2009). Autoinducer ini merupakan
molekul sinyal yang kecil dan dapat berdifusi (Hentzer dan Givskov, 2003;
Rasmussen dan Givskov, 2006). Konsentrasi autoinducer akan meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah populasi. Jika konsentrasi autoinducer mencapai
batas minimal, maka autoinducer akan mengaktivasi reseptor dalam sel bakteri
yang dapat meregulasi transkripsi gen yang bertanggung jawab dalam sintesis
-
18
autoinducer itu sendiri dan juga memberikan respon berupa perilaku tertentu
(Hentzer dan Givskov, 2003; Lal, 2009; Sifri, 2008; Williams, 2007). Respon
berupa perilaku tertentu ini terjadi jika adanya perubahan densitas populasi bakteri
yang bisa disebabkan oleh ketersediaan nutrisi dan adanya toksin dari mikroba
lain (Lal, 2009). Inilah yang disebut dengan mekanisme quorum sensing.
Quorum sensing meregulasi proses-proses penting seperti
bioluminescence, pembentukan antibiotik, pembentukan biofilm, motilitas dan
virulensi (Bosgelmez-Tinaz, 2006). Mekanisme quorum sensing pada bakteri
patogen dalam proses terjadinya infeksi adalah dengan menundanya faktor
virulensi bakteri hingga bakteri mencapai populasi yang cukup untuk melawan
sistem imun tubuh dan menimbulkan infeksi. Penundaan faktor virulensi ini
bertujuan untuk meminimalkan adanya respon dari sistem imun tubuh (Hentzer
dan Givskov, 2003).
Mekanisme quorum sensing pada bakteri Gram negatif dan Gram positif
diinduksi oleh autoinducer yang berbeda. Pada bakteri Gram positif biasanya
berupa molekul peptida yang sering disebut sebagai AIPs sedangkan pada bakteri
Gram negatif berupa AHL. Selain itu juga ada autoinducer yang belum diketahui
strukturnya yaitu AI-2 yang mana AI-2 ini dapat ditemukan dalam mekanisme
quorum sensing pada bakteri E. coli (Antunnes dan Ferreira, 2009).
Pada bakteri P. aeruginosa, quorum sensing meregulasi beberapa faktor
virulensi meliputi AHL signaling, nucleotide-based signals (cAMP; c-di-GMP; c-
di-GMP dan SCV; ppGpp dan pppGpp), aktivasi DKPs dan LuxR, 4-quinolone
-
19
signaling, sistem GAC, pigmented signal (pyoverdin dan pyocianin), dan
diffusible signal factors (Jimenez dkk., 2012).
Salah satu faktor virulensi, pyoverdin, merupakan senyawa fluorosensi
hijau kuning yang larut dalam air yang berperan sebagai siderophore yang
berikatan dengan besi dengan perbandingan stokiometri 1:1 (Mayer dan Abdallah,
1978; Barbhaiya dan Rao, 1985; Cornelis dkk., 1989). Siderophore merupakan
senyawa yang memiliki kemampuan membentuk khelat dengan besi dan
membawanya ke dalam sel melalui reseptor pada permukaan sel (Neilands, 1981).
Siderophore disekresikan jika bakteri berada dalam lingkungan yang memiliki
kadar besi yang rendah. Besi merupakan logam yang dibutuhkan oleh bakteri
sebagai kofaktor untuk enzim redox-dependent (Griffiths, 1987). Pyoverdin
bertanggung jawab dalam menginisiasi beberapa fakltor virulesi seperti ToxA,
PrpL endoprotease dan pyoverdin itu sendiri (Lamont dkk., 2002).
E. Landasan Teori
Berdasarkan pemakaian secara tradisional dan juga telah dibuktikan oleh
banyak penelitian, daun jarak kepyar memiliki aktivitas antibakteri. Penelitian in
vitro membuktikan bahwa daun jarak kepyar memberikan hambatan kepada
berbagai macam bakteri seperti E. coli, S. aureus, Klebsiella pneumoniae,
Streptococcus pyogenes, Bacillus subtilis, P. aeruginosa, Proteus vulgaris,
Salmonella typhi, Shigella, Vibrio cholerae, dan Shigella flexneri. Adanya
aktivitas antibakteri pada daun jarak kepyar dikarenakan adanya kandungan utama
senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid memiliki gugus fenol dimana salah satu
mekanisme aksinya dapat mendenaturasi protein mikroba. Flavonoid polihidroksi
-
20
lebih larut pada pelarut etil asetat dan jika dalam bentuk glikosida maka akan larut
pada pelarut yang lebih polar seperti air. Oleh karena itu, fraksi etil asetat dan
fraksi air dari hasil fraksinasi ekstrak metanol berpotensi memberikan efek
antibakteri pada bakteri E. coli dan S. aureus berstandar ATCC.
Senyawa antibakteri dapat memberikan efek penghambatan quorum
sensing jika diberikan pada konsentrasi dibawah KHM. Penelitian Adonizio dkk.
(2007) terhadap beberapa tumbuhan di Florida Selatan, salah satunya adalah C.
hypericifolia yang memberikan hasil positif terhadap penghambatan pigmen
pyoverdin pada P. aeruginosa. Tumbuhan C. hypericifolia berasal dari suku yang
sama dengan R. communis, Euphorbiaceae. Berdasarkan buku Chemotaxonomie
der pflanzen (1989), tumbuhan yang berasal dari suku yang sama akan memiliki
senyawa yang hampir sama. Oleh karena itu, fraksi dari ekstrak daun jarak kepyar
(R. communis L.) berpotensi memberikan efek antipatogen pula terhadap P.
aeruginosa melalui mekanisme penghambatan pigmen pyoverdin.
F. Hipotesis
1. Fraksi etil asetat dan fraksi air ekstrak metanol daun jarak kepyar memiliki
aktivitas antibakteri terhadap S. aureus ATCC 29213 dan E. coli ATCC
25922.
2. Fraksi etil asetat dan fraksi air ekstrak metanol daun jarak kepyar memiliki
kemampuan menghambat produksi pigmen pyoverdin pada P. aeruginosa
ATCC 27853.
3. Senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas ekstrak daun jarak
kepyar sebagai antipatogen adalah flavonoid.