s1-2014-301008-introduction

Upload: rut-christine

Post on 06-Mar-2016

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ads

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Masalah resistensi antibiotik telah menjadi perhatian dunia sejak zaman

    dahulu kala. Kasus penyakit infeksi dan jumlah kematian akibat bakteri yang telah

    mengalami resistensi antibiotik semakin meningkat setiap tahunnya. Data WHO

    menunjukkan terdapat 440.000 kasus baru Multi Drug Resistance Tuberculosis

    (MDR-TB) yang mengakibatkan 150.000 kematian di seluruh dunia pada tahun

    2008 (Anonim, 2010). Kemudian pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000

    kasus baru MDR-TB di seluruh dunia dengan jumlah kematian meningkat

    menjadi 170.000 kematian. Di Indonesia sendiri terdapat peningkatan kasus

    MDR-TB dari 200 kasus pada tahun 2010 menjadi 400 kasus pada tahun 2011 dan

    lebih dari 400 kasus pada tahun 2012 (Anonim, 2013).

    Penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi, tidak tepat cara

    penggunaan, atau konsumsi daging ternak yang diberi pakan mengandung

    antibiotik dapat menyebabkan terjadinya mutasi gen yang mengkode berbagai

    macam mekanisme resistensi antibiotik (Anonim, 2001). Hampir semua jenis

    bakteri sekarang menjadi lebih kuat dan mengalami resistensi. Contoh beberapa

    bakteri yang telah mengalami resistensi adalah Staphylococcus aureus,

    Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa (Tenover, 2006). Resistensi ini

    menimbulkan beban hidup bagi pasien karena infeksi bakteri yang awalnya dapat

    disembuhkan oleh antibiotik ringan dan murah saat ini harus menggunakan

  • 2

    antibiotik yang lebih kuat aktivitasnya, lebih mahal, dengan jumlah yang lebih

    banyak, waktu penyembuhan yang lebih lama serta dapat terjadi infeksi sekunder

    yang meningkatkan keparahan penyakit. Masalah resistensi juga menimbulkan

    keresahan bagi para peneliti karena perkembangan bakteri resisten lebih cepat

    dibandingkan dengan adanya penemuan antibiotik baru. Faktor-faktor inilah yang

    menyebabkan angka kematian akibat resistensi antibiotik mengalami peningkatan

    setiap tahunnya (Anonim, 2001). Oleh karena itu dibutuhkan suatu bahan yang

    dapat mengurangi daya resistensi bakteri atau menurunkan perkembangan bakteri

    resisten (antipatogen).

    Dewasa ini, penelitian mengenai antimikroba telah banyak diarahkan dan

    dikembangkan pada penghambatan patogenisitas bakteri, bukan pada aktivitas

    membunuh bakteri. Dengan menghambat patogenesitas bakteri maka

    perkembangan bakteri resisten tidak terjadi (Veesenmeyer dkk., 2009; Rasko dan

    Sperandio, 2010). Patogenisitas bakteri dapat dihambat melalui mekanisme

    penghambatan komunikasi antar sel bakteri (quorum sensing) (Bryant dkk., 2008).

    Tumbuhan merupakan sumber bahan yang menjanjikan untuk

    pengembangan obat baru karena kandungan zat aktifnya yang beragam dan

    berpotensi. Beberapa zat aktif tumbuhan yang berpotensi sebagai antimikroba

    adalah kuinon, alkaloid, lektin, polipeptida, flavonoid, kumarin, terpenoid,

    minyak atsiri, dan tanin (Srivastava dkk., 2013). Pemanfaatan tumbuhan sebagai

    bahan obat juga telah dilakukan dari zaman dahulu hingga sekarang. Selain itu

    juga, tumbuhan obat dipercaya memberikan sedikit (atau tidak sama sekali) efek

    samping pada penggunanya. Ketersediaan tumbuhan yang melimpah di alam juga

  • 3

    semakin menguatkan potensinya sebagai sumber bahan untuk pengembangan obat

    baru. Di Indonesia sendiri, tercatat ada sekitar 30.000 atau sekitar lebih dari 12%

    tumbuhan tingkat tinggi di hutan tropis dari yang terdapat di muka bumi (250.000

    tumbuhan) (Ersam, 2004).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Palaniappan dan Holley

    (2010), penggunaan bahan sebagai antimikroba bersamaan dengan antibiotik

    dapat meningkatkan sensitifitas bakteri yang telah mengalami resistensi terhadap

    antibiotik. Kandungan zat aktif tumbuhan seperti flavon dan alkaloid telah teruji

    dapat meningkatkan sensitivitas bakteri MRSA terhadap antibiotik -laktam (Sato

    dkk., 2004; Yu HH dkk., 2005). Menurut Srivastava dkk. (2013), bahwa

    antimikroba yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan sebagai alternatif untuk

    mengontrol resistensi karena dapat bekerja secara sinergis dengan antimikroba

    yang sudah ada.

    Salah satu tumbuhan yang telah teruji memiliki aktivitas antimikroba

    adalah tumbuhan jarak kepyar (Ricinus communis L.) karena kandungan aktifnya

    flavonoid kaempferol-3-tersubtitusi pada bagian daunnya (Setyowati, 1992).

    Selain itu, daun jarak kepyar juga mengandung metabolit sekunder lainnya yang

    menguatkan aktivitasnya sebagai antimikroba, yaitu alkaloid, tannin, saponin dan

    fenol (Obumselu dkk., 2011). Berbagai macam ekstrak daun jarak kepyar telah

    banyak diteliti dan teruji aktivitasnya dalam menghambat berbagai macam bakteri

    Gram negatif dan Gram positif seperti E. coli, S. aureus, Klebsiella pneumoniae,

    Streptococcus pyogenes, Bacillus subtilis, P. aeruginosa, Proteus vulgaris,

    Salmonella typhi, Shigella, Vibrio cholerae, dan Shigella flexneri (Iqbal dkk.,

  • 4

    2012; Islam dkk., 2010; Kensa dan Yasmin, 2011; Kota dan Manthri, 2011;

    Malook dkk., 2013; Naz dan Bano, 2012; Obumselu dkk., 2011; Sharma dkk.,

    2013).

    Pada penelitian ini dilakukan pengujian aktivitas antibakteri kembali

    pada bakteri S. aureus dan E. coli yang berstandar ATCC serta menguji aktivitas

    ekstrak daun jarak kepyar sebagai sumber senyawa antipatogen melalui uji

    penghambatan produksi pigmen pyoverdin sebagai komunikasi antar sel pada

    bakteri P. aeruginosa.

    B. Perumusan Masalah

    1. Apakah fraksi hasil fraksinasi ekstrak metanol daun jarak kepyar memiliki

    aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri S. aureus ATCC 29213 dan

    E. coli ATCC 25922 serta berapakah nilai KHM50 -nya?

    2. Apakah fraksi hasil fraksinasi ekstrak metanol daun jarak kepyar dapat

    menghambat produksi pigmen pyoverdin sebagai aksi quorum sensing

    pada P. aeruginosa ATCC 27853?

    3. Senyawa apakah yang memiliki aktivitas sebagai antipatogen?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari fraksi hasil fraksinasi ekstrak

    metanol daun jarak kepyar terhadap bakteri S. aureus ATCC 29213 dan E.

    coli ATCC 25922 beserta nilai KHM50.

    2. Untuk menyelidiki efek antipatogenik fraksi hasil fraksinasi ekstrak

    metanol daun jarak kepyar dilihat dari kemampuan menghambat produksi

    pigmen pyoverdin pada P. aeruginosa ATCC 27853.

  • 5

    3. Untuk mengetahui jenis senyawa yang memiliki aktivitas sebagai

    antipatogen.

    D. Tinjauan Pustaka

    1. Tumbuhan jarak kepyar ( Ricinus communis L.)

    Gambar 1. Ricinus communis L

    a. Klasifikasi tumbuhan. Klasifikasi/ sistematika tumbuhan jarak

    kepyar adalah sebagai berikut (Jena dan Gupta, 2012) :

    Kerajaan : Plantae

    Bangsa : Malpighiales

    Suku : Euphorbiaceae

    Sub suku : Acalyphoideae

    Tribe : Acalypheae

    Sub Tribe : Ricininae

    Marga : Ricinus

    Jenis : Ricinus communis L.

  • 6

    b. Nama daerah dan nama asing. Nama asing: Castor oil-plant

    (Inggris); Eranda, Chitra-bija, Triputi, Tribija, Vaataari, Chanchu, Manda,

    Uruvaka, Gandharva-hastaa, Panchaangula, Vardhamaana, Uttaanpatraka,

    Vyaaghrapuchha, Chitraa (Ayuverda); Bedanjeer, Arand (Unani); Ammanakku

    (Siddha/Tamil). Nama daerah : Jarak (Jawa, Melayu, Sunda, Bali, dan

    Minangkabau); Jawa: Jarak jitun, Jarak kaliki, Kaliki (Sunda); Kaleke (Madura);

    Kaleke beritah (Kangean); Sumatera : Gloah (Gayo); Lulang (batak Karo);

    Dulang (Batak Toba); Kalikih alang (Minangkabau); Jarag (Lampung); Sulawesi :

    Malasai (Mongondow); Kelalei (Tonsaw); alale (Gorontalo); Tangang-tangang

    jara (Makasar); Peleng kaliki jera (Bugis); Kalangan (Sulawesi Utara); Nusa

    tenggara : Tetanga (Bima); Luluk (Roti); Lolo (Sawu); Paku perunai (Timor);

    Maluku : Balacai tamekat (Halmahera); Balacai (Ternate) (Anonim, 1983; Khare,

    2007; Widodo dan Sumarah, 2007).

    c. Morfologi. Jarak kepyar merupakan tumbuhan perdu atau terna.

    Batang: tegak, tinggi 1-5 m, memiliki tekstur halus, dilapisi oleh lilin, berwarna

    hijau muda sampai hijau tua, diameter batang 3-5 cm yang dihitung pada

    ketinggian 50-100 cm dari permukaan tanah, berkayu lunak, berongga pada

    bagian tengah, dan memiliki bentuk cabang yang tidak beraturan. Daun :

    berwarna hijau muda sampai hijau tua, mempunyai helaian daun yang lebar

    dengan ukuran 10-75 cm, daun menjari dengan 5-12 jari, tepi daun bergerigi,

    memiliki tangkai daun dengan ukuran 35-50 cm yang berwarna hijau, dan tulang

    daun pada permukaan daun bagian bawah menonjol. Bunga : malai yang bebentuk

    tandan (tandan bagian atas adalah bunga betina sedangkan bagian bawah adalah

  • 7

    bunga jantan). Buah : bulat, berwarna hijau muda sampai hijau tua jika masih

    muda dan berwarna coklat keabu-abuan jika sudah tua, akan pecah jika sudah tua,

    berduri lunak/ berambut pendek, dan di dalamnya terdapat 3 bagian yang masing-

    masing terdapat satu biji yang berbentuk oval/lonjong yang berwarna kecoklatan

    dengan bintik-bintik atau motif tertentu (Anonim, 1978; Van Steenis, 1975;

    Widodo dan Sumarah, 2007).

    d. Habitat. Tumbuhan ini tumbuh tersebar pada daerah yang terletak

    diantara 40 LU dan 40 LS dengan ketinggian 1-2.200 m. Biasanya tumbuhan ini

    akan tumbuh pada daerah dataran rendah. Tapi, tumbuhan ini juga dapat tumbuh

    di daerah pegunungan, terutama di daerah yang agak kering. Tumbuhan ini akan

    tumbuh baik pada tanah yang bertekstur agak berpasir atau agak berlempung dan

    tempat yang terbuka karena membutuhkan cahaya penuh untuk tumbuh (Anonim,

    1978; Van Steenis, 1975; Widodo dan Sumarah, 2007).

    e. Manfaat dalam bidang pengobatan. Penggunaan secara tradisional:

    Minyak : mempermudah proses melahirkan jika diminum, sebagai zat pembawa

    hormon steroid dalam penggunaan secara parenteral, sebagai purgatif untuk anak-

    anak dan bayi, dan untuk megobati dermatosis dan eksim. Daun: kompres

    payudara dengan menggunakan dekok dan poultice daun jarak kepyar dapat

    meningkatkan sekresi air susu. Kemudian dekok juga dapat sebagai lactagogue

    dan emmenagogue jika diminum. Serbuk daun sebagai insektisida. Jus daun

    sebagai anti jamur dan mikobakteria. Selain itu, digunakan untuk emetikum dan

    untuk penyakit kuning. Penggunaan secara poultice juga dapat digunakan untuk

    menghilangkan nyeri seperti sakit gigi karena karies, bisul dan bengkak. Daun

  • 8

    yang dilapisi dengan minyak kemudian dihangatkan dapat digunakan sebagai

    penghilang kembung pada anak-anak. Infusa daun digunakan untuk

    menghilangkan sakit perut dan lotion mata. Akar : untuk sakit gigi, dekok akar

    digunakan untuk menyembuhkan sakit pinggang dan kulitnya digunakan sebagai

    purgatif. Fitofarmakologi : antioksidan, antinosiseptif, antiasma, antifertilitas,

    antihistamin, imunomodulator, hepatoprotektif, antiinflamasi, anti-implantasi,

    analgetik pusat, antitumor, sitotoksik, antimikroba, antifungi, antidiabetes,

    penyembuh luka, lipolysis, insektisida, larvasida, moluskisida, antiulcer, dan

    regenerasi tulang (Jena dan Gupta, 2012; Khare, 2007; Rana dkk., 2012).

    f. Kandungan kimia. Daun : asam gentisat, flavonoid (rutin,

    kuersetin-3-O-beta-d- xylopiranosida, kuersetin3-O-beta-d- glukopiranosida ,

    kuersetin-3-O-beta-d-rutinosida, kaempferol-3-O-beta-d-rutinosida, kaempferol-3-

    O-beta-d-xylopiranosida, dan kempferol-3-O-beta-D-glukopiranosida,), asam

    galat, alkaloid ( ricinin dan N-dimetilricinin), tanin, monoterpenoid (1,8-sineol,

    kamper, dan -pinene), dan seskuiterpen (-caryophyllene). Akar : indol-3-asam

    asetat. Biji : asam risinoleat, isorisinoleat, stearat,dan dihidroksistearat, indol-3-

    asam asetat, agglutinin, risin. Buah : alkaloid dan risinin. Batang: risinin (Jena dan

    Gupta, 2012; Rana dkk., 2012 )

    2. Maserasi

    Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana dan murah. Maserasi

    diawali dengan cara menyerbuk bahan simplisia dengan derajat halus tertentu dan

    kemudian direndam dengan cairan penyari yang sesuai pada wadah yang tertutup.

    Selanjutnya, penyari disaring dan residu diperas untuk mengeluarkan penyari

  • 9

    yang masih tertinggal dalam serbuk (Azmir dkk., 2013; Anonim, 1986). Dalam

    buku Farmakope Herbal Indonesia (2008), disebutkan bahwa proses maserasi

    dilakukan dengan memasukkan satu bagian simplisia ke dalam maserator

    kemudian ditambahkan sepuluh bagian pelarut dan direndam selama 24 jam yang

    mana pada 6 jam awal dilakukan pengadukan sesekali. Sedangkan pada buku

    Acuan Sediaan Herbal (2000) disebutkan bahwa proses maserasi tidak hanya

    dilakukan selama 24 jam melainkan selama seminggu. Tahapan maserasi

    berdasarkan Acuan Sediaan Herbal (2000) adalah melakukan maserasi dengan

    pengadukan selama 5 hari dengan 75 bagian penyari kemudian disaring dan pada

    ampas dilakukan maserasi kembali tanpa pengadukan dengan 25 bagian penyari

    selama 2 hari.

    Pada proses maserasi terjadi proses difusi dimana cairan penyari akan

    menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel yang mengandung zat aktif, zat

    aktif akan larut dan menyebabkan perbedaan konsentrasi antara penyari yang ada

    di luar sel dengan yang ada di dalam sel sehingga penyari yang ada di dalam sel

    akan didesak keluar sel. Peristiwa difusi akan terjadi berulang hingga tercapainya

    kesetimbangan konsentrasi antara penyari yang ada di dalam sel dengan yang ada

    di luar sel (Anonim, 1986). Untuk menghindari tercapainya kesetimbangan

    konsentrasi, maka diperlukan pengadukan sehingga meningkatkan hasil penyarian

    (Azmir dkk., 2013).

    Cairan penyari yang digunakan sebaiknya mempertimbangkan toksisitas

    terhadap manusia, kelestarian lingkungan, ekonomis, afinitas molekul antara zat

    yang disari dengan penyari baik, transfer massa, penggunaan co-solvent, dan

  • 10

    polaritas zat yang akan disari (Azmir dkk., 2013). Dalam Farmakope Herbal

    Indonesia (Anonim, 2008) disebutkan bahwa pelarut yang umum digunakan

    adalah etanol 70%.

    Kelarutan senyawa aktif dalam penyari berdasarkan kepolaritasannya

    dijabarkan oleh Pramono (2013) pada tabel berikut ini:

    Tabel I. Urutan kelarutan senyawa aktif dari pelarut non polar hingga pelarut polar

    Penyari Senyawa yang larut

    Heksan

    Petroleum eter

    Lemak , terpenoid atau minyak atsiri,

    steroid atau triterpenoid, antrakinon,

    kumarin, flavonoid polimetoksi,

    resin, klorofil

    Toluen

    Kloroform

    Diklorometan

    Semua senyawa aktif yang telah

    disebutkan di atas,isoflavon, alkaloid

    bebas, kurkumin dan fenil propan,

    fenol sederhana

    Dietil eter Semua senyawa aktif yang telah

    disebutkan di atas, flavonoid

    polihidroksi, asam fenolat

    Etil asetat

    Aseton

    Semua senyawa aktif yang telah

    disebutkan di atas, flavonoid

    monoglikosida, antrakinon glikosida,

    steroid glikosida, kumarin glikosida

    Etanol

    Metanol

    Semua senyawa aktif yang telah

    disebutkan di atas, flavonoid

    glikosida, tannin, saponin

    Air panas Semua senyawa aktif yang larut

    dalam penyari mulai dari dietil eter

    ke hingga metanol, alkaloid garam,

    karbohidrat, protein

    Keuntungan dari maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang

    sederhana dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang

    lama dan proses penyariannya tidak sempurna (Anonim, 1986).

    3. Uraian tentang mikrobiologi

    a. Bakteri. Berikut ini adalah uraian tentang bakteri yang akan

    diujikan, yaitu:

  • 11

    1) Staphylococcus aureus. Berdasarkan Garrity dkk. (2004),

    klasifikasi/ sistematika S. aureus adalah sebagai berikut :

    Filum : Firmicutes

    Kelas : Bacilli

    Bangsa : Bacillales

    Suku : Staphylococcaceae

    Marga : Staphylococcus

    Jenis : Staphylococcus aureus

    Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk

    bulat, berdiameter 0,8-1 m, tersusun dalam bentuk kelompok yang tidak teratur,

    bersifat fakultatif anaerob, tidak bergerak, membentuk koagulasi, penyebab

    hemolisis, mencairkan gelatin, meragikan manitol, bersifat lipolitik pada

    perbenihan yang mengandung kuning telur, membuat fosfatasa, peka terhadap

    lisostafin, dan tidak membentuk spora. Dalam media biakan cair, S. aureus dapat

    berbentuk tunggal, berpasangan, tetrad dan rantai (Brooks dkk., 2001; Gupte,

    1990; Staf Pengajar FK UI, 1994).

    Staphylococcus aureus dapat tumbuh baik pada suhu 37C dalam

    suasana aerobik dan mikroaerofilik. Bakteri ini akan tumbuh dengan membentuk

    pigmen secara optimal temperatur 20-35C. Pigmen yang dihasilkan oleh koloni

    S. aureus adalah kuning emas yang mana proses pigmentasinya akan lebih baik

    jika terdapat cahaya. Batas suhu untuk pertumbuhan S. aureus adalah 15- 40C

    dengan pH 7,4 (Brooks dkk., 2001; Gupte, 1990; Staf Pengajar FK UI, 1994).

  • 12

    Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuan

    daya sebar yang invasif dalam jaringan serta adanya toksin dan enzim yang

    dihasilkannya. Toksin dan enzim yang dihasilkan oleh S. aureus adalah hemolisin,

    fibrinolisin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksin sindroma syok, enterotoksin,

    enzim katalase, enzim koagulase, enzim fosfatase, enzim hialuronidase, dan enzim

    deoksiribonuklease (Brooks dkk., 2001; Gupte, 1990; Staf Pengajar FK UI, 1994).

    S. auerus merupakan bakteri penyebab penyakit pada kulit atau jaringan lunak,

    pembuluh darah, dan saluran pernafasan bagian bawah (Plata dkk., 2009), namun

    S. aureus ini juga bersimbiosis komensalisme dengan kulit, kelenjar kulit, dan

    membran mukosa hidung pada orang sehat (Crossley dan Archer, 1997).

    2) Escherichia coli. Berdasarkan Garrity dkk (2004), klasifikasi/

    sistematika E. coli adalah sebagai berikut :

    Filum : Proteobacteria

    Kelas : Gammaproteobacteria

    Bangsa : Enterobacteriales

    Suku : Enterobacteriaceae

    Marga : Escherichia

    Jenis : Escherichia coli

    Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang

    pendek, berukuran 0,4-0,7 m x 1,4 m, dapat meragikan laktosa pada media

    isolasi kuman enterik, mikroaerofilik, hemolisis tipe beta pada media Agar darah,

    dan bersifat fakultatif anaerob yang hidup sebagai flora normal di dalam usus

    besar manusia. E. coli akan menyebabkan penyakit pada manusia jika imunitas

  • 13

    manusia menurun dan adanya infeksi pada pelindung saluran gastrointestinal

    (Nataro dan Kaper, 1998; Staf Pengajar FK UI, 1994). Penyakit-penyakit yang

    disebabkan oleh E. coli adalah infeksi saluran kemih, sepsis atau meningitis, dan

    diare. Zat toksin yang dihasilkan oleh E. coli adalah toksin LT (heat-labile

    enterotoxin) dan toksin ST (heat-stable enterotoxin) (Staf Pengajar FK UI, 1994).

    3) Pseudomonas aeruginosa. Berdasarkan Garrity dkk (2004),

    klasifikasi/ sitematika P. aeruginosa adalah sebagai berikut :

    Filum : Proteobacteria

    Kelas : Gammaproteobacteria

    Bangsa : Pseudomonadales

    Suku : Pseudomonadaceae

    Marga : Pseudomonas

    Jenis : Pseudomonas aeruginosa

    Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif yang

    memiliki bentuk batang tunggal, ganda dan kadang-kadang membentuk rantai

    pendek; berukuran 0,5-1,0 m x 3,0-4,0 m; dapat bergerak dengan flagel polar;

    memiliki pili (fimbriae); aerob dan fakultatif anaerob; bersifat oksidase positif;

    dapat memproduksi bau amis; beberapa strain dapat menghemolisis darah; tidak

    memfermentasikan kabohidrat; bersifat saprofit pada orang sehat (Brooks dkk.,

    1991; Moore dkk., 2006; Staf Pengajar FK UI, 1994).

    Pseudomonas aeruginosa dapat tumbuh baik pada berbagai tipe media

    dengan suhu 37-42C dan pH 6,4-7,8. Bakteri ini akan membentuk lapisan lendir

    polisakarida ekstraseluler jika ditumbuhkan pada perbenihan tanpa sukrosa. P.

  • 14

    aeruginosa membentuk koloni bulat dan menghasilkan pyocyanin (pigmen

    berwarna kebiruan dan tidak berfluoresensi yang dapat berdifusi ke dalam Agar),

    pyoverdin (pigmen kehijauan dan berfluoresensi), pyorubin (pigmen merah

    gelap), dan pyomelanin (pigmen hitam) (Brooks dkk., 1991; Staf Pengajar FK UI,

    1994).

    Bakteri P. aeruginosa menginfeksi kulit dan selaput lendir pada orang

    yang mengalami penurunan daya tahan tubuh akibat penggunaan alat-alat bantu

    kedokteran, penyakit metabolik, kemoterapi, neutropenia atau luka bakar.

    Patogenesitas dari P. aeruginosa dipengaruhi oleh enzim, pili, dan toksin yang

    dihasilkan. Adapun enzim dan toksin yang dihasilkan adalah elastase, protease,

    dan hemolisin (Brooks dkk., 1991).

    b. Uji aktivitas dan potensi antimikroba. Uji antimikroba merupakan

    metode untuk membuktikan agen antimikroba sintetik maupun agen antimikroba

    yang berasal dari bahan alami. Aktivitas antimikroba dilihat dari respon

    pertumbuhan bakteri yang diuji terhadap bahan yang diujikan. Metode uji

    aktivitas dan potensi antimikroba yang lazim digunakan adalah sebagai berikut:

    1) Metode difusi. Berikut ini adalah macam-macam metode

    difusi yang sering digunakan dalam penelitian yaitu disc diffusion (tes Kirby &

    Bauer), ditch-plate technique, cup-plate technique, metode Stokes dan metode

    primary disc. Metode disc diffusion merupakan metode yang paling sering

    digunakan untuk mengukur diameter hambat yang dihasilkan oleh antimikroba

    yang terdapat dalam piringan yang mana piringan tersebut ditempelkan pada

    media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang diujikan. Media agar yang

  • 15

    biasa digunakan adalah media agar Mueller-Hinton. Metode Stokes memiliki

    prinsip yang sama dengan metode disc diffusion dan yang membedakan hanyalah

    penempatan bakteri uji dengan bakteri kontrol dalam cawan Petri. Pada Metode

    Stokes, bakteri kontrol dan bakteri uji diletakkan dalam satu cawan Petri dimana

    bakteri kontrol ditumbuhkan pada bagian tengah, sedangkan bakteri uji pada

    bagian atas dan bawah agar yang dibagi secara horizontal. Sedangkan pada

    metode disc diffusion, bakteri kontrol dan bakteri uji ditumbuhkan pada cawan

    Petri yang terpisah. Metode primary disc juga memiliki prinsip yang sama dengan

    metode disc diffusion dan metode Stokes. Namun yang membedakan hanyalah

    spesimen uji yang digunakan, pada metode disc diffusion dan metode Stokes

    menggunakan kultur bakteri murni sedangkan pada metode primary disc

    menggunakan urin atau cairan yang mengandung bakteri (Parija, 2012;

    Vasanthakumari, 2007).

    Metode lain yang memiliki prinsip sama dengan metode disc

    diffusion adalah cup-plate technique dimana tidak menggunakan disc melainkan

    menggunakan sumuran. Ditch-plate technique dilakukan dengan cara membuat

    parit pada bagian tengah agar kemudian diisi dengan bahan antimikroba. Bakteri

    uji pada ditch-plate technique diaplikasikan dengan cara digores ke arah parit

    (Pratiwi, 2008). Metode difusi yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai

    KHM adalah metode E-test dimana menggunakan strip yang mengandung

    antimikroba dengan seri kadar terendah hingga tertinggi. Strip tersebut

    ditempelkan pada media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji dimana

  • 16

    KHM ditunjukkan dengan kadar terendah yang masih memberikan tampilan zona

    jernih pada media agar (Parija, 2012; Pratiwi, 2008; Vasanthakumari, 2007).

    2) Metode dilusi. Metode dilusi yang sering digunakan ada 2

    macam, yaitu metode dilusi cair dan padat. Baik metode cair dan padat dapat

    digunakan untuk menentukan nilai MIC. Pada metode dilusi cair, nilai MIC dapat

    ditentukan dengan cara melihat seri kadar terendah dari agen antimikroba yang

    terlihat jernih. Selain itu, nilai MBC juga dapat ditentukan dengan cara melihat

    seri kadar terendah dari agen antimikroba yang terlihat jernih dan tidak ada

    pertumbuhan bakteri jika digoreskan ke media agar padat (Parija, 2012; Pratiwi,

    2008; Vasanthakumari, 2007). Sedangkan pada metode dilusi padat, nilai MIC

    merupakan konsentrasi terendah yang memberikan tampilan jernih atau tidak

    adanya bakteri yang tumbuh pada tempat dimana bakteri di gores pada media agar

    (Parija, 2012). Keuntungannya adalah dalam plate satu kadar agen antimikroba

    dapat diujikan untuk beberapa macam mikroba uji (Pratiwi, 2008;

    Vasanthakumari, 2007).

    3) Bioautografi. Uji bioautografi ini menggunakan plat KLT

    untuk mengetahui bercak mana yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri,

    antivirus atau antijamur. Ada tiga macam metode bioautografi, yaitu :

    a) Bioautografi Kontak. Pada metode ini, cara mendeteksi

    adanya aktivitas antibakteri yaitu dengan cara menyentuhkan plat pada media agar

    yang telah ditanami bakteri selama beberapa menit atau jam kemudian

    diinkubasikan dan dilihat zona jernih yang terbentuk di sekitar bercak (Choma

    dan Grzelak, 2010; Pratiwi, 2008). Kerugian menggunakan metode ini adalah

  • 17

    sulitnya mendapatkan kontak yang sempurna antara plat dan media agar serta

    dapat menempelnya adsorben pada media agar (Choma dan Grzelak, 2010).

    b) Bioautografi overlay. Pada metode ini, media yang telah

    dicampur dengan mikroba uji dituang diatas permukaan KLT. Media yang telah

    memadat bersama bakteri kemudian diinkubasikan ke dalam inkubator. Untuk

    melihat zona jernih yang dihasilkan, dilakukan penyemprotan dengan

    menggunakan tetrazolium klorida (Pratiwi, 2008). Kerugian penggunaan metode

    ini adalah adanya pengenceran agen antimikroba sehingga sensitivitasnya lebih

    rendah dibandingkan bioautografi kontak (Choma dan Grzelak, 2010).

    c) Bioautografi langsung. Untuk mendeteksi adanya aktivitas

    antibakteri, plat KLT dicelupkan dalam suspensi bakteri atau disemprot langsung

    dengan mikroba kemudian diinkubasi dan zona hambatan dilihat menggunakan

    garam tetrazolium dimana daerah yang tidak berwarna menunjukkan tidak adanya

    bakteri yang hidup (Choma dan Grzelak, 2010).

    c. Quorum sensing. Quorum sensing merupakan mekanisme

    komunikasi antar sel bakteri untuk berkoordinasi. Setiap sel bakteri menghasilkan

    autoinducer dalam jumlah yang sangat sedikit dan setiap bakteri juga memiliki

    reseptor untuk autoinducer tersebut (Lal, 2009). Autoinducer ini merupakan

    molekul sinyal yang kecil dan dapat berdifusi (Hentzer dan Givskov, 2003;

    Rasmussen dan Givskov, 2006). Konsentrasi autoinducer akan meningkat seiring

    dengan meningkatnya jumlah populasi. Jika konsentrasi autoinducer mencapai

    batas minimal, maka autoinducer akan mengaktivasi reseptor dalam sel bakteri

    yang dapat meregulasi transkripsi gen yang bertanggung jawab dalam sintesis

  • 18

    autoinducer itu sendiri dan juga memberikan respon berupa perilaku tertentu

    (Hentzer dan Givskov, 2003; Lal, 2009; Sifri, 2008; Williams, 2007). Respon

    berupa perilaku tertentu ini terjadi jika adanya perubahan densitas populasi bakteri

    yang bisa disebabkan oleh ketersediaan nutrisi dan adanya toksin dari mikroba

    lain (Lal, 2009). Inilah yang disebut dengan mekanisme quorum sensing.

    Quorum sensing meregulasi proses-proses penting seperti

    bioluminescence, pembentukan antibiotik, pembentukan biofilm, motilitas dan

    virulensi (Bosgelmez-Tinaz, 2006). Mekanisme quorum sensing pada bakteri

    patogen dalam proses terjadinya infeksi adalah dengan menundanya faktor

    virulensi bakteri hingga bakteri mencapai populasi yang cukup untuk melawan

    sistem imun tubuh dan menimbulkan infeksi. Penundaan faktor virulensi ini

    bertujuan untuk meminimalkan adanya respon dari sistem imun tubuh (Hentzer

    dan Givskov, 2003).

    Mekanisme quorum sensing pada bakteri Gram negatif dan Gram positif

    diinduksi oleh autoinducer yang berbeda. Pada bakteri Gram positif biasanya

    berupa molekul peptida yang sering disebut sebagai AIPs sedangkan pada bakteri

    Gram negatif berupa AHL. Selain itu juga ada autoinducer yang belum diketahui

    strukturnya yaitu AI-2 yang mana AI-2 ini dapat ditemukan dalam mekanisme

    quorum sensing pada bakteri E. coli (Antunnes dan Ferreira, 2009).

    Pada bakteri P. aeruginosa, quorum sensing meregulasi beberapa faktor

    virulensi meliputi AHL signaling, nucleotide-based signals (cAMP; c-di-GMP; c-

    di-GMP dan SCV; ppGpp dan pppGpp), aktivasi DKPs dan LuxR, 4-quinolone

  • 19

    signaling, sistem GAC, pigmented signal (pyoverdin dan pyocianin), dan

    diffusible signal factors (Jimenez dkk., 2012).

    Salah satu faktor virulensi, pyoverdin, merupakan senyawa fluorosensi

    hijau kuning yang larut dalam air yang berperan sebagai siderophore yang

    berikatan dengan besi dengan perbandingan stokiometri 1:1 (Mayer dan Abdallah,

    1978; Barbhaiya dan Rao, 1985; Cornelis dkk., 1989). Siderophore merupakan

    senyawa yang memiliki kemampuan membentuk khelat dengan besi dan

    membawanya ke dalam sel melalui reseptor pada permukaan sel (Neilands, 1981).

    Siderophore disekresikan jika bakteri berada dalam lingkungan yang memiliki

    kadar besi yang rendah. Besi merupakan logam yang dibutuhkan oleh bakteri

    sebagai kofaktor untuk enzim redox-dependent (Griffiths, 1987). Pyoverdin

    bertanggung jawab dalam menginisiasi beberapa fakltor virulesi seperti ToxA,

    PrpL endoprotease dan pyoverdin itu sendiri (Lamont dkk., 2002).

    E. Landasan Teori

    Berdasarkan pemakaian secara tradisional dan juga telah dibuktikan oleh

    banyak penelitian, daun jarak kepyar memiliki aktivitas antibakteri. Penelitian in

    vitro membuktikan bahwa daun jarak kepyar memberikan hambatan kepada

    berbagai macam bakteri seperti E. coli, S. aureus, Klebsiella pneumoniae,

    Streptococcus pyogenes, Bacillus subtilis, P. aeruginosa, Proteus vulgaris,

    Salmonella typhi, Shigella, Vibrio cholerae, dan Shigella flexneri. Adanya

    aktivitas antibakteri pada daun jarak kepyar dikarenakan adanya kandungan utama

    senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid memiliki gugus fenol dimana salah satu

    mekanisme aksinya dapat mendenaturasi protein mikroba. Flavonoid polihidroksi

  • 20

    lebih larut pada pelarut etil asetat dan jika dalam bentuk glikosida maka akan larut

    pada pelarut yang lebih polar seperti air. Oleh karena itu, fraksi etil asetat dan

    fraksi air dari hasil fraksinasi ekstrak metanol berpotensi memberikan efek

    antibakteri pada bakteri E. coli dan S. aureus berstandar ATCC.

    Senyawa antibakteri dapat memberikan efek penghambatan quorum

    sensing jika diberikan pada konsentrasi dibawah KHM. Penelitian Adonizio dkk.

    (2007) terhadap beberapa tumbuhan di Florida Selatan, salah satunya adalah C.

    hypericifolia yang memberikan hasil positif terhadap penghambatan pigmen

    pyoverdin pada P. aeruginosa. Tumbuhan C. hypericifolia berasal dari suku yang

    sama dengan R. communis, Euphorbiaceae. Berdasarkan buku Chemotaxonomie

    der pflanzen (1989), tumbuhan yang berasal dari suku yang sama akan memiliki

    senyawa yang hampir sama. Oleh karena itu, fraksi dari ekstrak daun jarak kepyar

    (R. communis L.) berpotensi memberikan efek antipatogen pula terhadap P.

    aeruginosa melalui mekanisme penghambatan pigmen pyoverdin.

    F. Hipotesis

    1. Fraksi etil asetat dan fraksi air ekstrak metanol daun jarak kepyar memiliki

    aktivitas antibakteri terhadap S. aureus ATCC 29213 dan E. coli ATCC

    25922.

    2. Fraksi etil asetat dan fraksi air ekstrak metanol daun jarak kepyar memiliki

    kemampuan menghambat produksi pigmen pyoverdin pada P. aeruginosa

    ATCC 27853.

    3. Senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas ekstrak daun jarak

    kepyar sebagai antipatogen adalah flavonoid.