romi ridwan,1 ruli herman,2 suwarman2 rumah sakit umum

8
1 Perbandingan Pengaruh Pemberian Bupivakain 0,25% Intraperitoneum dan Infiltrasi Kulit dengan Plasebo terhadap Nilai Skala Analog Visual Pascaoperasi Laparatomi Ginekologi dengan Anestesi Umum Romi Ridwan, 1 Ruli Herman, 2 Suwarman 2 1 Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman, Sumatera Barat, 2 Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Nyeri pascaoperasi adalah masalah penting dalam pembedahan. Studi terbaru menyatakan bahwa pemberian analgesik perioperatif dapat mencegah serta mengurangi nyeri pascaoperasi. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan efek analgesik preemtif dalam penanganan nyeri pascaoperasi laparatomi ginekologi. Jenis penelitian ini adalah prospektif, uji acak terkontrol buta ganda dan uji plasebo-kontrol, dimana 46 pasien dengan American Society Association (ASA) I dan II yang menjalani operasi laparatomi ginekologi secara acak di central operating theatre (COT), RS. Dr. Hasan Sadikin pada September sampai Desember 2012 diberikan 50 mL bupivakain 0,25% dengan epinefrin 5µ per mL atau 50 mL normal salin; setiap 25 mL nya dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dan infiltrasi kulit. Skor nyeri pasien dievaluasi dengan sistem Visual Analog Scale (VAS) saat diam dan mobilisasi, dinilai 6 jam pertama, lalu dilanjutkan jam ke- 8,12 dan 24 pascaoperasi. Dihitung jumlah pemakaian analgesik pertolongan selama 24 jam pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyeri saat mobilisasi grup plasebo (P) lebih tinggi dibandingkan dengan grup bupivakain (B). Skor nyeri grup P secara signifikan lebih tinggi daripada grup B saat mobilisasi (p<0,05). Kombinasi bupivakain secara intraperitoneum dan infiltrasi kulit akhir operasi laparatomi ginekologi dapat mengurangi nyeri pascaoperasi saat mobilisasi. Kata kunci: Bupivakain, intraperitoneum, nilai skala analog visual, nyeri pascaoperasi. Comparison of Effect of Intraperitoneal and Incision Bupivacaine 0.25% with Placebo of Visual Analog Scale Value Postoperative Gynecological Laparotomy Under General Anesthesia Abstract Postoperative pain is an important surgical problem. Recent studies shows that perioperative administration of analgesics may be possible to prevent or reduce postoperative pain. This study was planned to investigate the efficacy of pre-emptive analgesia on postoperative pain after major gynecologic abdominal surgeries. In this prospective, double-blinded, randomized, and placebo-controlled trial, 46 ASA physical status I and II patients undergoing major abdominal gynecologic surgeries were randomized to receive 50 mL of bupivacaine 0.25% with epinephrine 5µ per mL or 50mL of normal saline; each 25 mL of the treatment solution was administered into the peritoneal cavity and incision. The pain score of the patients was evaluated by the visual analogue scale (VAS) at rest and movement, and every hours untill 6h, 8, 12, and 24h after surgery. Pain on movement was significantly more intense in the Placebo group than in the Bupivacaine group. Measurement of the quality of pain by using the VAS values during mobilization is better than at rest. Pain scores were significantly higher in the placebo group than in the bupivacaine group on movement (p<0.05). A combination of intraperitoneal and incisional bupivacaine infiltration at the end of abdominal gynecologic surgeries reduces postoperative pain on movement. Keywords: Bupivacaine, intraperitoneal, postoperative pain, visual analog scale. LAPORAN PENELITIAN Korespondensi: Romi Ridwan, dr., SpAn, Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman, Sumatera Barat, Jl. Purus 3 No. 7 Padang 25116, Mobile 081266965406, Email [email protected]

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

1

Perbandingan Pengaruh Pemberian Bupivakain 0,25% Intraperitoneum dan Infiltrasi Kulit dengan Plasebo terhadap Nilai Skala Analog Visual

Pascaoperasi Laparatomi Ginekologi dengan Anestesi Umum

Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2

1Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman, Sumatera Barat, 2Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Nyeri pascaoperasi adalah masalah penting dalam pembedahan. Studi terbaru menyatakan bahwa pemberian analgesik perioperatif dapat mencegah serta mengurangi nyeri pascaoperasi. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan efek analgesik preemtif dalam penanganan nyeri pascaoperasi laparatomi ginekologi. Jenis penelitian ini adalah prospektif, uji acak terkontrol buta ganda dan uji plasebo-kontrol, dimana 46 pasien dengan American Society Association (ASA) I dan II yang menjalani operasi laparatomi ginekologi secara acak di central operating theatre (COT), RS. Dr. Hasan Sadikin pada September sampai Desember 2012 diberikan 50 mL bupivakain 0,25% dengan epinefrin 5µ per mL atau 50 mL normal salin; setiap 25 mL nya dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dan infiltrasi kulit. Skor nyeri pasien dievaluasi dengan sistem Visual Analog Scale (VAS) saat diam dan mobilisasi, dinilai 6 jam pertama, lalu dilanjutkan jam ke- 8,12 dan 24 pascaoperasi. Dihitung jumlah pemakaian analgesik pertolongan selama 24 jam pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyeri saat mobilisasi grup plasebo (P) lebih tinggi dibandingkan dengan grup bupivakain (B). Skor nyeri grup P secara signifikan lebih tinggi daripada grup B saat mobilisasi (p<0,05). Kombinasi bupivakain secara intraperitoneum dan infiltrasi kulit akhir operasi laparatomi ginekologi dapat mengurangi nyeri pascaoperasi saat mobilisasi.

Kata kunci: Bupivakain, intraperitoneum, nilai skala analog visual, nyeri pascaoperasi.

Comparison of Effect of Intraperitoneal and Incision Bupivacaine 0.25% with Placebo of Visual Analog Scale Value Postoperative Gynecological

Laparotomy Under General Anesthesia

Abstract

Postoperative pain is an important surgical problem. Recent studies shows that perioperative administration of analgesics may be possible to prevent or reduce postoperative pain. This study was planned to investigate the efficacy of pre-emptive analgesia on postoperative pain after major gynecologic abdominal surgeries. In this prospective, double-blinded, randomized, and placebo-controlled trial, 46 ASA physical status I and II patients undergoing major abdominal gynecologic surgeries were randomized to receive 50 mL of bupivacaine 0.25% with epinephrine 5µ per mL or 50mL of normal saline; each 25 mL of the treatment solution was administered into the peritoneal cavity and incision. The pain score of the patients was evaluated by the visual analogue scale (VAS) at rest and movement, and every hours untill 6h, 8, 12, and 24h after surgery. Pain on movement was significantly more intense in the Placebo group than in the Bupivacaine group. Measurement of the quality of pain by using the VAS values during mobilization is better than at rest. Pain scores were significantly higher in the placebo group than in the bupivacaine group on movement (p<0.05). A combination of intraperitoneal and incisional bupivacaine infiltration at the end of abdominal gynecologic surgeries reduces postoperative pain on movement.

Keywords: Bupivacaine, intraperitoneal, postoperative pain, visual analog scale.

LAPORAN PENELITIAN

Korespondensi: Romi Ridwan, dr., SpAn, Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman, Sumatera Barat, Jl. Purus 3 No. 7 Padang 25116, Mobile 081266965406, Email [email protected]

Page 2: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

●Anesthesia & Critical Care● Vol. 34 No. 1, Februari 2016

2

Pendahuluan

Penanganan nyeri pascaoperatif yang tidak adekuat dapat menyebabkan efek samping fisiologis yang akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, sehingga memperlambat penyembuhan dan aktifitas untuk dapat kembali ke normal. Penanganan nyeri pascaoperatif yang kurang baik dapat menyebabkan pasien menjadi trauma akan pembedahan serta berperan menimbulkan komplikasi lainnya. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan insiden nyeri kronis pascaoperasi.1

Rendahnya tingkat nyeri dan efek samping mual dan muntah pascaoperasi, dapat meningkatkan kepuasan pasien serta membantu untuk dilakukannya mobilisasi yang lebih awal, sehingga dapat menghemat biaya perawatan. Penanganan nyeri pascaoperasi merupakan komponen penting dalam perawatan operasi ginekologi. Strategi penggunaan analgesik yang biasa diterapkan adalah patient-controlled analgesia (PCA), dan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). Strategi ini bertujuan untuk mengontrol nyeri dimana stimulusnya telah terjadi sebelumnya. Sebaliknya, analgetik preemptif bekerja sebelum dan selama operasi untuk mengurangi dan mencegah nyeri lebih lanjut.2 ̶ 4

Nilai skor nyeri atau visual analog scale (VAS) dari operasi laparatomi ginekologi masih tinggi yaitu berkisar antara 5 ̶ 8. Untuk itu diperlukan analgesik yang adekuat untuk menurunkannya. Beberapa jenis operasi laparatomi ginekologi adalah histerektomi abdominal, histerektomi radikal, salpingoovarektomi.3 Penggunaan obat anestetik lokal untuk teknik inhalasi kulit atau blokade saraf perifer dapat memepercepat pemulihan fungsi pencernaan pascaoperasi menjadi lebih cepat dibanding dengan bila menggunakan opioid intravena sebagai antinyeri pascaoperasi. Meskipun penggunaan OAINS dapat menurunkan kebutuhan penggunaan opioid, pada suatu penelitian menyatakan obat ini kurang memberikan efek analgesik yang memuaskan untuk operasi laparaskopi minimal invasif. Efek yang tidak menguntungkan lainnya adalah iritasi lambung, gangguan trombosit serta gangguan fungsi ginjal. Selama waktu perioperatif, pasien

berisiko mengalami efek samping penggunaan OAINS yang disebabkan oleh puasa yang lama, dehidrasi dan trauma jaringan. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan metode lain untuk mengatasi hal ini. 5 ̶ 8

Kombinasi teknik infiltrasi viseral, port-site, dan instilasi intraperitoneal akan memberikan penanganan nyeri yang adekuat. Tiga dari empat prosedur operasi (laparaskopi ginekologi dan diagnostik, sterilisasi, herniorafi, kolesistektomi) pemberian kombinasi dengan intraperitoneum menghasilkan penanganan nyeri yang baik di awal pascaoperasi tapi tidak sampai lebih dari 24 jam setelah laparaskopi. Pemberian langsung drip bupivakain atau etidokain pada tuba falopi selama steril laparaskopi dalam anestesi umum, skor nyeri serta pemakaian analgesik tambahan berkurang sampai 2 jam setelah operasi. Juga disebutkan, pemberian lidokain intraperitoneum, infiltrasi ke mesosalping atau tuba falopi memberikan analgesik yang sama.8

Suatu penelitian menyatakan bahwa pemberian lidokain 200–400 mg secara intraperitoneum setelah operasi histerektomi abdominal dapat memberikan efek analgesik, dan merupakan teknik yang aman karena masih dalam konsentrasi plasma yang rendah yaitu 0,4µ per mL, dimana konsentrasi toksiknya adalah 3µg per mL. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian intraperitoneum bupivakain atau lidokain tidak memberikan efek analgesik untuk operasi histerektomi abdominal akan tetapi berguna pada operasi minor ginekologi seperti laparaskopi. Pemberian bupivakain preemptif secara intraperitoneum dan infiltrasi bisa direkomendasikan karena dapat mengurangi nyeri saat sadar dan 6 jam pascaoperasi ginekologi mayor dan dapat menghemat penggunaan opioid sebagai analgesik tambahan selama 24 jam pertama.6,9,10

Pada suatu penelitian dengan sampel pada operasi minilaparatomi ligasi tuba yang hanya diberikan lidokain intraperitoneum 0,5% 80 mL dapat mengurangi kebutuhan fentanil, ketamin dan anestesia umum darurat. Disamping itu intraperitoneum ropivakain 150 mg pada laparaskopi ginekologi dapat memberikan efek sparing morfin selama 24 jam disbanding dengan plasebo secara signifikan.10,11

Romi Ridwan, Ruli Herman, Suwarman

Page 3: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

●Anesthesia & Critical Care● Vol. 34 No. 1, Februari 2016

3

Salah satu teknik analgesik dengan cara pemberian langsung ke rongga peritoneum efektif untuk penanganan nyeri pascaoperasi dan dapat dikombinasikan dengan opioid. Pada uji klinis 100 pasien ligasi tuba postpartum dengan teknik laparaskopi, skor nyeri saat istirahat dan bergerak lebih rendah pada kombinasi antara meperidin 50 mg dan bupivakain 0,125% 80 mL dengan epinefrin 1:200.000 secara intraperitoneum dibanding dengan kombinasi meperidin 50 mg intramuskular dan bupivakain 0,125% 80 mL dengan epinefrin 1:200.000 secara intraperitoneum.11

Subjek dan Metode

Suatu penelitian eksperimental dengan melakukan uji klinis rancangan acak terkontrol buta ganda dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik. Penelitian terhadap 46 subjek penelitian jenis kelamin wanita, status fisik American Society of Anestesiologist (ASA) I-II yang menjalani tindakan operasi abdominal ginekologi elektif dengan anestesi umum.

Kriteria eksklusi dalam pemilihan subjek penelitian adalah pasien dengan riwayat penyakit jantung paru atau hepar yang berat, dan pasien yang hipersensitif terhadap obat anestetik lokal golongan amida. Berdasarkan pendekatan penelitian yang dituangkan di dalam rancangan penelitian, data dianalisis secara statistik dengan uji-t untuk membandingkan perbedaan dua rata-rata, uji Chi-kuadrat untuk membandingkan perbedaan dua proporsi data kualitatif. Kateter intravena, alat pengukur tekanan darah noninvasif dan pulse oksimetri dipasanng di ruang operasi. Kemudian pasien diberi loading cairan ringger laktat 7 mL per KgBB.

Semua pasien mendapatkan teknik anestesi standar dengan propofol 2–2,5 mg per kgBB, fentanil 1 µg per kgBB dan atrakurium 0,5 mg per kgBB secara intravena, setelah 3 menit dilakukan laringoskopi intubasi. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan menggunakan enflurane 2% dan N2O:O2 50%.

Dalam keadaan steril disiapkan preparat dalam spuilt 50 mL untuk pemberian secara intraperitoneum dan infiltrasi. Diambil bupivakain 0,5% sebanyak 25 mL dicampur NaCl 0,9% 25

mL dan ditambahkan epinefrin 250µg (0,25mL) lalu dikocok-kocok, sehingga didapat preparat bupivakain 0,25% ditambah epinefrin 5µg per mL dalam spuit 50 mL.

Tiga puluh menit sebelum operasi selesai diberikan analgesik intravena metamizol 20mg per kgBB. Pada akhir operasi diberikan antagonis pelumpuh otot dengan neostigmin 0,5mg dan sulfas atropine 0,25mg. Analgesik pascaoperasi diberikan melalui infus kontinyu petidin 75mg dan metamizol 2 gram dalam NaCl 0,9% dengan kecepatan 15 tetesan per menit.

Pada saat tindakan definitif intraoperatif telah selesai, pada kelompok B (Bupivakain) diberikan instilasi bupivakain 0,25% ditambah epinefrin 5 µ per mL sebanyak 30 mL ke dalam rongga peritoneum secara merata dan setiap lapisan sampai kulit disuntikkan 20 mL sisanya. Pada kelompok P (Plasebo) disuntikkan normal saline secara intraperitoneum sebanyak 30 mL dan 20 mL secara infiltrasi subkutis.

Setelah pasien diekstubasi lalu dipindahkan ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi selama 24 jam oleh peneliti dan paramedis di ruangan. Penilaian nyeri pascaoperasi dilakukan dengan menggunakan visual analogue scale (VAS) setiap jam selama 6 jam pertama, jam ke- 8, 12, dan 24. Bila VAS ≥4 diberikan analgesik penyelamatan dengan petidin 25 mg intravena. Pencatatan skor nyeri, laju nadi, tekanan darah, laju napas, efek samping, dan penggunaan total petidin tambahan dilakukan selama 24 jam. Penggunaan petidin dihentikan bila laju napas <12 x per menit, saturasi oksigen < 95%, atau timbul efek samping yang serius akibat pemakaian petidin. Apabila terjadi mual muntah diterapi dengan ondansetron 4 mg secara intravena.

Hasil

Berikut perbandingan karakteristik umum subjek penelitian berdasarkan usia, berat badan, body mass index (BMI), pendidikan, lama operasi dan jenis operasi antara pemberian kelompok bupivakain (B) dan kelompok plasebo (P). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai VAS saat diam (VAS 0) antara pemberian

Perbandingan Pengaruh Pemberian Bupivakain 0,25% Intraperitoneum dan Infiltrasi Kulit dengan Plasebo terhadap Nilai Skala Analog Visual Pascaoperasi Laparatomi Ginekologi dengan Anestesi Umum

Page 4: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

●Anesthesia & Critical Care● Vol. 34 No. 1, Februari 2016

4

bupivakain intraperitoneum pada pengukuran jam ke-3, 4, 5, 6 dan 8 (p≤0,05). Namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai VAS saat diam (VAS 0) antara pemberian bupivakain intraperitoneum pada pengukuran jam ke-0, 1, 2, 12 dan 24 (p>0,05; Tabel 2).

Berdasarkan tabel 3 terlihat hasil uji statistika menggunakan Uji Mann Whitney pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai VAS saat mobilisasi (VAS 1) antara pemberian bupivakain intraperitoneum pada pengukuran jam ke-0 artinya pada awal dalam keadaan homogen.Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai VAS saat mobilisasi (VAS 1) antara pemberian bupivakain intraperitoneum pada pengukuran jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 8 dan 12 (p≤0,05). Namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada nilai VAS saat mobilisasi (VAS 1) antara pemberian bupivakain intraperitoneum pada pengukuran 24 jam postoperatif (p>0,05; Tabel 3).

Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada pemakaian analgesik tambahan petidin (p<0,05). Jumlah penambahan analgesik pada kelompok plasebo intraperitoneum didapatkan 18 (78,3%) penambahan petidin sedangkan pada kelompok bupivakain intraperitoneum didapatkan 3 (13%) penambahan petidin.

Pembahasan

Penelitian dilakukan terhadap 46 pasien wanita dengan status fisik ASA I-II yang menjalani operasi abdominal ginekologi dalam anestesi umum, dengan melakukan uji klinis rancangan acak lengkap terkontrol buta ganda (double blind randomized controlled trial). Pasien dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok B (Bupivakain) dan kelompok P (NaCl 0,9%) masing-masing 23 subjek penelitian. Pembagian sampel menjadi 2 kelompok dilakukan secara random dengan metode blok permutasi.

Tabel 1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian Kelompok Bupivakain (B) dan Kelompok Plasebo (P)

Karakteristik KelompokNilai pB (n=23) P (n=23)

Usia (thn)Rata-rata (SD) 44,43 (11,208) 43,52(16,056) 0,605

RentangBerat Badan (kg)Rata-rata (SD)Rentang

23 ̶ 64

52,83 (5,024)44 ̶ 64

13 ̶ 80

56,96(9,911)40 ̶ 87

0,051

BMI (kg/m2)Rata-rata (SD)Rentang

21,43 (1,996)18 ̶ 28

23,17 (3,366)18 ̶ 30

0,069

Pendidikan 0,331SD (%) 9 (39,1) 14 (60,9)SMP (%) 6 (26,1) 6 (26,1)SMA (%) 6 (26,1) 2 (8,7)S1 2 (8,7) 1 (4,3)Lama Operasi 0,308

Rata-rata (SD) 140,43 (29,112) 131,09 (28,202)Rentang 90 ̶ 180 90 ̶ 180

Jenis Operasi 0,834Histerektomi 16(69,6) 17(73,9)Salphingo-oovarektomi 5(21,7) 5(21,7)Miomektomi 2(8,7) 1(4,3)

Keterangan: Nilai p pada variabel Pendidikan dihitung berdasarkan uji Chi- Kuadrat. Nilai p dihitung berdasarkan Uji-t tidak berpasangan (jika data normal) dan uji Mann Whitney (jika data tidak normal). Nilai P bermakna (p <0,05).

Romi Ridwan, Ruli Herman, Suwarman

Page 5: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

●Anesthesia & Critical Care● Vol. 34 No. 1, Februari 2016

5

Berdasarkan nilai rata-rata dan simpangan baku karakteristik umum subjek penelitian, pada tiap kelompok (tabel 1), terlihat bahwa usia, berat badan, body mass index (BMI), lama operasi, dan pendidikan pada kedua kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna, sehingga pasien secara statistik homogen dan layak dibandingkan.

Tindakan operasi yang dipilih juga sama pada semua subjek penelitian yaitu operasi abdominal ginekologi (histerektomi dengan atau tanpa disertai salpingektomi, salpingektomi dan kistektomi perlaparotomi). Operasi abdominal

termasuk operasi ginekologi merupakan jenis operasi dengan intensitas nyeri pascabedah yang cukup tinggi, disamping operasi orthopedi dan thorakotomi. Sehingga jenis operasi ini akan membutuhkan penanganan nyeri pascabedah yang lebih baik.4

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Uji Chi kuadrat pada derajat kepercayaan 95%, didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis operasi antara kedua kelompok perlakuan dengan nilai p>0,05. Penilaian VAS saat diam (VAS 0) antara kelompok

Tabel 2 Perbandingan Nilai VAS Saat Diam (VAS 0) Antara Kelompok Bupivakain (B) dan Plasebo (P)

WaktuPengukuran

Kelompok

Nilai pB (n=23) P (n=23)

Median Rentang Median RentangT0 0 0–1 0 0–1 0,317T1 0 0–2 1 0–2 0,184T2 1 0–2 1 0–2 0,317T3 1 0–2 1 0–4 0,008**

T4 1 0–2 1 0–4 0,344T5 1 0–2 1 1–4 0,014**

T6 1 0–3 2 0–4 0,071T8 1 0–3 1 0–3 0,033**

T12 1 0–3 1 0–3 0,601T24 1 0–2 2 0–2 0,346

Keterangan: T0=saat masuk RR, T1=jam ke-1, T2=jam ke-2, dan seterusnya. Nilai p dihitung berdasarkan Uji Mann Whitney (jika data tidak normal). Nilai P bermakna (p <0,05).

Tabel 3 Perbandingan Nilai VAS Mobilisasi (VAS 1) antara Kelompok Bupivakain Intraperitoneum

WaktuPengukuran

Kelompok

Nilai pB (n=23) P (n=23)

Median Rentang Median RentangT0

0 0–1 0 0–2 0,647T1 0 0–1 1 0–2 0,014 **T2 1 0–1 1 0–3 0,006**T3 1 0–2 2 0–4 0,001**T4 1 0–3 2 0–4 0,000**T5 1 0–3 3 1–3 0,000**T6 1 0–3 2 1–4 0,001**T8 1 0–4 2 0–3 0,040**T12 1 0–4 2 1–3 0,029**T24 1 1–3 2 0–3 0,193

Keterangan: T0=saat masuk RR, T1=1 jam, T2=2 jam, dan seterusnya. Nilai p dihitung berdasarkan Uji Mann Whitney (jika data tidak normal). Nilai P bermakna (p≤0,05).

Perbandingan Pengaruh Pemberian Bupivakain 0,25% Intraperitoneum dan Infiltrasi Kulit dengan Plasebo terhadap Nilai Skala Analog Visual Pascaoperasi Laparatomi Ginekologi dengan Anestesi Umum

Page 6: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

●Anesthesia & Critical Care● Vol. 34 No. 1, Februari 2016

6

bupivakain intraperitoneum mempunyai nilai p<0,05 pada 3 dari 10 waktu pengukuran, yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna atara nilai VAS saat diam antara kelompok perlakuan.

Penilaian VAS saat mobilisasi (VAS 1) antara kelompok bupivakain intraperitoneum dan plasebo mempunyai nilai p<0,05 pada 8 dari sepuluh waktu pengukuran. Hasil ini berhasil membuktikan bahwa secara statistik, pemberian bupivakain intraperitoneum dapat memblok transmisi nyeri memang lebih baik saat mobilisasi dibandingkan plasebo.

Berdasarkan data mengenai penambahan obat analgesik tambahan, jumlah pemakaian petidin tambahan kelompok bupivakain lebih sedikit dari plasebo, didapatkan adanya perbedaan secara bermakna antara kedua kelompok (p<0,05).

Pemberian analgesik pertolongan petidin bertujuan untuk menghilangkan nyeri pascaoperatif yang tidak tertangani oleh analgesik rumatan. Pada penelitian ini analgesik pertolongan pethidin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kgBB bolus intravena setiap kali pemberian. Dosis tersebut akan diulang sampai subjek penelitian merasa nyaman.

Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa pemberian bupivakain intraperitoneum mempunyai efek analgetik dan mengurangi kebutuhan opioid pascaoperatif. Dikatakan juga bahwa efek analgetik dan kemampuannya dalam mengurangi kebutuhan opioid pascaoperatif setara dengan obat-obatan NSAID.4,5,6 Hal ini telah dapat dibuktikan pada penelitian ini bahwa lebih dari 80% subjek penelitian tidak mendapatkan penambahan petidin tambahan.

Pemberian bupivakain sebagai anestetik lokal untuk tambahan analgesik pada anestesi

umum sudah biasa dilakukan untuk penanganan nyeri secara multimodal. Beberapa penelitian sebelumnya sudah membuktikan efek analgesik pada pemberian bupivakain secara intraperitoneum lebih baik untuk operasi ginekologi laparaskopik tetapi tidak untuk kolesistektomi perlaparaskopi. Ada juga yang berhasil membuktikan analgesik bupivakain secara infiltrasi kulit dan intraperitoneum efektif untuk operasi histerektomi abdominal. Perbedaan VAS terlihat jelas pada 4 jam pertama pascaoperasi.12,13

Penelitian yang dilakukan terhadap 46 pasien yang akan dilakukan operasi laparatomi ginekologi dengan anestesi umum dibagi menjadi 2 grup, yang pertama mendapat 0,25% bupivakain sebanyak 50 mL secara infiltrasi kulit dan intraperitoneum sedangkan yang kedua hanya diberikan plasebo, didapatkan hasil nilai VAS lebih rendah pada kelompok pertama.

Pada penelitian sebelumnya penggunaan bupivakain secara infiltrasi kulit dan intraperitoneum dapat menurunkan nilai VAS dalam waktu 24 jam pertama pascaoperasi laparatomi ginekologi dengan anestesi umum. Juga menurunkan pemakaian petidin sebagai analgesik rescue.12,13

Nyeri akut dari viseral atau organ dalam dapat disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi abnormal dari organ internal atau organ yang membungkusnya seperti peritoneum. Organ dalam dan peritoneum diinervasi oleh pleksus celiac. Empat subtipe dari nyeri viseral yaitu nyeri viseral yang terlokalisir, nyeri yang terlokalisir di parietal, nyeri viseral yang menjalar serta nyeri parietal yang menjalar. Sifat nyeri viseral biasanya tumpul, meluas dan biasanya di tengah. Jalur nosiseptif aferen pada nyeri viseral sama dengan

Tabel 4 Perbandingan Pemakaian Analgetik Tambahan Antara Kelompok Bupivakain dan Plasebo intraperitoneum

VariabelKelompok

Nilai p*)B (n=23) P (n=23)

Tanpa TambahanAnalgetik (%) 20 (87) 5 (21,7)

<0,05Dengan TambahanAnalgetik (%) 3 (13) 18 (78,3)

Keterangan: *) Uji-Chi Kuadrat Nilai P bermakna (p≤0,05).

Romi Ridwan, Ruli Herman, Suwarman

Page 7: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

●Anesthesia & Critical Care● Vol. 34 No. 1, Februari 2016

7

nyeri somatik yaitu di dorsal horn. Beberapa nosiseptif aferen somatik memberikan dua sinyal baik pada struktur viseral maupun somatik. Refleks motorik somatik menghasilkan spasme otot. Refleks aktivitas simpatis berupa motilitas usus, spasme spingter dan iskemik viseral yang akan memperparah nyeri. Anestesi spinal dan epidural seperti halnya instilasi anestesi lokal ke dalam rongga peritoneum menyebabkan paralisis sistem simpatis, yang akan meningkatkan tonus otot gastrointestinal. 14,15

Pada penelitian ini, nyeri postoperatif laparatomi ginekologi dapat dibagi menjadi dua yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Pada kelompok bupivakain, nyeri somatik ditekan melaui pemberian infiltrasi kulit sepanjang luka sayatan. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian bupivakain pada infiltrasi kulit sebelum insisi dapat menekan penggunaan opioid perioperatif dibanding dengan plasebo pada operasi histerektomi dengan anestesi umum.16

Pada table 2 terlihat bahwa VAS saat diam tidak berbeda pada jam ke 0,1,2, 12 dan 24. Sedangkan pada jam ke- 3,4,5,6 dan 8, nilai VAS pada kedua kelompok terlihat perbedaan bermakna. Berbeda dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa efek analgetik bupivakain terlihat jelas pada 6 jam pertama paskaoperasi histerektomi abdominal total.12

Sedangkan nyeri viseral baik dari organ dalam atau dari peritoneum dapat diblok melalui pemberian bupivakain ke dalam rongga peritoneum. Apabila dilakukan pergerakan atau mobilisasi diharapkan adanya tarikan pada peritoneum yang akan menyebabkan nyeri viseral bertambah. Pada penelitian ini menggambarkan perbedaan bermakna VAS saat mobilisasi pada kedua kelompok, dimana nilai nyeri kelompok B lebih rendah dibanding dengan kelompok P pada jam ke 1 sampai 12 (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa nyeri akibat rangsangan viseral juga perlu ditekan terutama pada operasi yang melibatkan tarikan dan manipulasi pada organ peritoneum. Nyeri viseral ini juga tidak dapat diblok melalui infltrasi kulit saja. Sehingga nyeri somatik dan viseral hal yang penting untuk diblok setelah laparatomi ginekologi.12

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa nyeri VAS nyeripostoperatif pada laparatomi

ginekologi dengan anestesi umum lebih besar pada saat dilakukan mobilisasi dibandingkan saat diam.

Daftar Pustaka

1. Macres SM, Moore PG, Fishman SM. Acute Pain Management. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Soelting RK, editor. Clinical Anesthesia. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins 2009. hlm.1405–40.

2. Tsui BC, Rosenquist RW. Peripheral Nerve Blockade. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Soelting RK, editor. Clinical Anesthesia. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins 2009. hlm. 718–45.

3. Rukewe A, Fatiregun A. The use of regional anesthesia by anesthesiologists in Nigeria. Anesth Analg 2010;110:234–4.

4. Atashkhoii S, Shobeiri MJ, Azarfarin R. Intraperitoneal and incisional bupivacaine analgesia for major abdominal/gynecologic surgery: a placebo-controlled trial. Iran: Medical Journal of The Islamic Republic of Iran 2006;20(1):19–22.

5. Visalyaputra S, Lertakyamanee J, Pethpaisit N, Somprakit P, Parakkamodom S, Suwanapeum P. Intraperitoneal lidocaine decreases intraoperative pain during postpartum tubal ligation. Anesth Analg. 1999;88:1077–88.

6. Ng A, Smith G. Intraperitoneal administration of analgesia: is this practice of any utility? Br J Anaesth 2002;4:535–7.

7. Simpson RB, Russell D. Anesthesia for daycase gynaecological laparoscopy: a survey of clinical practice in the United Kingdom. Anesthesia 1999;54:72–80.

8. Groudine SB, Fisher HAG, Kaufman RP, Patel MK, Wilkins LJ, Mehta SA, et al. Intravenous lidocain speeds the return of bowel function, decrease postoperative pain and shorters hospital stay in patients undergoing radical retropubic prostatectomy. Anesth Analg 1998;86:235–9.

9. Moiniche S, Jorgensen H, Wetterslev J, Berg J. Local anesthetic infiltration for postoperative pain relief after laparoscopy: a qualitative and quantitative systematic

Perbandingan Pengaruh Pemberian Bupivakain 0,25% Intraperitoneum dan Infiltrasi Kulit dengan Plasebo terhadap Nilai Skala Analog Visual Pascaoperasi Laparatomi Ginekologi dengan Anestesi Umum

Page 8: Romi Ridwan,1 Ruli Herman,2 Suwarman2 Rumah Sakit Umum

●Anesthesia & Critical Care● Vol. 34 No. 1, Februari 2016

8

review of intraperitoneal, port-site infiltration and mesosalpinx block. Anesth Analg 2000; 90:899–912.

10. Williamson KM, Cotton BR, Smith G. Intraperitoneal lignocaine for pain relief after total abdominal hysterectomy. Br J Anaesth 1997;78:675–7.

11. Ali PB, Cotton BR, Williamson KM, Smith G. Intraperitoneal bupivacaine or lidocaine does not provide analgesia after total abdominal hysterectomy. Br J Anaesth 1998;80:245–7.

12. Goldstein A, Grimault P, Henique A, Keller M, Fortin A, Darai E. Preventing postoperative pain by local anesthetic instillation after laparoscopic gynecologic surgery: a placebo-controlled comparison of bupivacaine and ropivacaine. Anesth Analg 2000;91:403–7.

13. Ng A, Swami A, Smith G, Davidson AC, Emembolu J. The analgesic effects of

intraperitoneal and incisional bupivacaine with epinephrine following total abdominal hysterectomy. Anesth Analg 2002;95:158–62.

14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Management. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editor. Clinical anesthesiology. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill;2006. hlm. 360–72.

15. Lou L, Sabar R, Kaye AD. Local Anesthetics. Dalam : Raj PP. Textbook of Regional Anesthesia. Edisi ke-3. Philadelphia. Churchill Livingstone. 2002. hlm. 214–53

16. Hannibal K, Galatius H, Hansen A, Obel E, et al. Preoperative wound infiltration with bupivacaine reduces early and late opioid requirement after hysterectomy. Anesth Analg. 1996;83:376–81

Romi Ridwan, Ruli Herman, Suwarman