rm gangguan bicara pada autisme
DESCRIPTION
ReferatTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Autisme berasal dari bahasa Yunani, “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Penderita autisme memiliki obsesi terhadap pikiran dan
khayalan sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alam”nya sendiri.1
Prevalensi terkini dari Eropa, Asia dan Amerika Serikat bervariasi dari 1 setiap
500 hingga 1 setiap 50 anak. Perbandingan antara anak laki-laki dengan perempuan
mencapai 4:1. Gejala penyerta pada autisme dapat berupa retardasi mental (75%), dan
kejang (11-39%). Angka kejadian kejang pada autisme meningkat risikonya berbanding
lurus dengan tingkat retardasi mental.2
Penderita autisme memperlihatkan lingkup gejala gangguan dalam interaksi
sosial, komunikasi, serta gangguan pola perilaku.3 Gangguan ini akan mempengaruhi
kualitas hidup penderita baik pada saat masih kanak-kanak hingga saat dewasa nanti.
Pengelolaan rehabilitasi medik bertujuan meningkatkan kualitas hidup pada anak dengan
autisme dalam bentuk memfasilitasi pengembangan bentuk komunikasi, interaksi sosial,
dan mengatasi gangguan sensorimotor melalui pelatihan yang terstruktur. Program
rehabilitasi medik melibatkan okupasi terapis, fisioterapis, terapis wicara, dan psikologis.
Berbagai teknik pun dikembangkan untuk terapi autisme, yang menggabungkan keahlian
dari terapi-terapi di atas.4
Terapis wicara memiliki pendekatan khusus pada gangguan spektrum autisme.
Pendekatan ini perlu diketahui oleh klinisi pada bidang yang terkait sebagai satu
rangkaian terapi yang bersifat menyeluruh.
1
BAB II
AUTISME
II.1 DEFINISI
Autisme atau yang lebih tepat disebut gangguan spektrum autisme (Autism
Spectrum Disorder - ASD) adalah sekumpulan gejala gangguan perkembangan
yang menyebabkan gangguan sosial, komunikasi dan perilaku yang bermakna.5
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health edisi 5 (DSM 5),
ASD adalah gangguan perkembangan (neurodevelopmental disorders) dengan
gambaran hendaya pada komunikasi serta interaksi sosial dan pola perilaku,
aktivitas dan ketertarikan yang monoton.6 Sebelumnya pada DSM 4 edisi revisi
(DSM IV-TR), ASD dikenal secara terpisah sebagai gangguan autistik (autisme
klasik, autisme infantil dini, autisme masa kanak-kanak atau autisme Kanner),
gangguan disintegratif masa kanak-kanak, gangguan perkembangan pervasif dan
sindrom Asperger.7 Sedangkan menurut ICD 10, ASD merupakan bagian dari
gangguan perkembangan pervasif yang didefinisikan sebagai gangguan
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dengan adanya gambaran
psikopatologis pada tiga area: tidak didapati adanya timbal balik saat berinteraksi
sosial, komunikasi serta perilaku yang terbatas, stereotipik dan berulang-ulang.8
Perbedaan bermakna di antara kedua pengkodean diagnosa ini adalah pada
ICD-10 gejala harus ada sebelum usia 3 tahun, sementara DSM 5 tidak
memasukkan batasan usia; hal ini mengindikasikan bahwa gejala mungkin belum
bermanifestasi hingga kebutuhan sosial melebihi kapasitas anak tersebut.9
II.2 PATOGENESIS
Patogenesis dari ASD belum sepenuhnya diketahui. Kerusakan otak pre-
perinatal baik karena antenatal bleeding pada trimester I-II, pre–post maturitas,
respiratory distress dianggap berhubungan dengan kejadian ASD.3
Konsensus umum berpendapat bahwa ASD disebabkan oleh genetik yang
menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan otak sehingga mempengaruhi
perkembangan sosial dan komunikasi sehingga menyebabkan ketertarikan anak
2
terbatas dan memiliki perilaku yang stereotipik. Teori epigenetik menyatakan
bahwa terdapat gen abnormal yang menjadi aktif pada saat perkembangan pada
janin sehingga mempengaruhi ekspresi dari gen lain yang tidak termutasi dengan
sendirinya.9
Secara garis besar terdapat teori-teori sebagai berikut:9
1. Genetik
2. Neurobiologis
3. Lingkungan dan perinatal
4. Usia orang tua
5. Imunisasi
Genetik
Beberapa bukti dimana genetik memiliki peran terhadap terjadinya
autisme dengan alasan sebagai berikut :
1. Adanya dominasi laki-laki dengan perbandingan 4:1
2. Peningkatan risiko terjadinya ASD pada saudara kandung
3. Peningkatan angka kejadian pada anak kembar monozigot
Neurobiologis
Pencitraan neuro serta studi otopsi pada pasien membuktikan adanya
kelainan otak sebagai penyebab terjadinya ASD. Kelainan yang terjadi meliputi
perbedaan ukuran dari volume substansia alba dan grisea, anatomi sulkus dan
girus otak, konsentrasi neurotransmiter di otak, jaringan neural, lateralisasi otak
serta proses kognitif dibandingkan pada individu sehat. Beberapa bagian otak
yang diduga terlibat dalam autisme adalah amigdala, yaitu pusat pengendalian
emosional terhadap rangsangan dari luar dan hipokampus yang penting dalam
fungsi memori. Sel-sel saraf yang terdapat di amigdala ditemukan bentuknya
kecil, abnormal dan tampak lebih padat dibanding sel normal. Dari hasil penelitian
juga ditemukan adanya sirkulasi darah yang lebih lambat pada beberapa bagian
lapisan luar otak (korteks), dan menurunnya jumlah sel yang bertugas meneruskan
sinyal-sinyal penghambat gerakan tubuh yang berpusat di otak kecil (serebelum)
ke korteks. Dengan foto MRI didapat gambaran pengisutan (hipoplasi) serebelum
3
dan sistem limbik. Tanda-tanda ini mengarahkan para ahli pada suatu hipotesis,
bahwa awal terjadinya autisma infantil adalah sebelum lahir.3
Gambar 1. Struktur otak yang terlibat dalam autisme3
Bukti keterlibatan kelainan otak didukung oleh temuan sebagai berikut :9
1. Pertumbuhan lingkar kepala saat balita serta peningkatan ukuran otak secara
keseluruhan (2-10%), mungkin terkait dengan peningkatan jumlah neuron di
korteks pre-frontal. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dimana dalam studi
neuropsikologis ditemukan bahwa pada saat anak mendapatkan stimulasi
4
sosial, proses emosi yang seharusnya dilakukan oleh amigdala justru
dibebankan pada area pre-frontal sehingga area tersebut bekerja lebih berat.
Tetapi dalam studi otopsi pembesaran lingkar kepala sendiri didapati karena
adanya peningkatan volume otak dimana terdapat pembesaran pada area
parietal, temporal dan oksipital.3
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) fungsional mengindikasikan pada
penderita ASD, terdapat perbedaan pola konektivitas, strategi kognitif serta
area otak yang terlibat dalam proses pengolahan informasi terkait input visual
dan auditorik; input sensorik yang dibutuhkan untuk interaksi sosial.
3. Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan bahwa penderita ASD
memiliki gangguan fungsi pembentukan serotonin.
4. Elektrofisiologi otak mengindikasikan dimana individu dengan ASD
mengalami masalah dengan pengenalan wajah serta adanya keterlambatan
sistem saraf dalam mengolah tatapan mata.
5. Terdapat gangguan neural dalam mengenali dan memahami pembicaraan.
6. Penurunan jumlah sel purkinje - berperan sebagai modulator sinyal di
serebelum, mempengaruhi pengolahan bahasa, perencanaan motorik, imajinasi
objek dan perkiraan waktu.
Akhir-akhir ini ditemukan bahwa pada otak penderita autisme, secara
makroskopis ukuran otaknya lebih besar dibanding normal. Dicurigai pembesaran
ini karena kegagalan proses perampingan/pemangkasan sel-sel saraf (apoptosis)
yang tidak diperlukan lagi pada saat perkembangan otak berlangsung. Jawaban
yang lebih pasti dan rinci atas pertanyaan dimana dan bagaimana bentuk
gangguan otak anak autisme sampai sekarang belumlah ada.3
Lingkungan dan perinatal
Kondisi maternal seperti diabetes mellitus, obesitas, hipertensi,
penggunaan asam valproat serta penghambat serotonin selama kehamilan juga
meningkatkan risiko ASD. Terdapat bukti yang cukup yang menyatakan adanya
hubungan antara faktor perinatal seperti presentasi abnormal, berat badan lahir
5
rendah, aspirasi mekoneum meningkatkan risiko ASD hingga 5 kali lipat pada
populasi umum.
Belum terdapat cukup bukti yang mendukung adanya keterlibatan faktor
lingkungan dalam konteks keterpaparan toksin dimana sangat dipengaruhi oleh
konsentrasi toksin, durasi keterpaparan, mekanisme kerja toksin serta kemampuan
toksin tersebut menembus sawar darah otak.
Usia orang tua
Peningkatan usia orang tua baik ayah ataupun ibu memiliki hubungan
dengan kejadian ASD. Hal ini mungkin disebabkan oleh mutasi gen spontan.
Imunisasi
Tidak terdapat bukti adanya hubungan antara vaksin campak dan
thimerosal (bahan pengawet yang dipakai pada vaksin, mengandung merkuri)
dengan ASD.9
Gejala ASD biasa terlihat pada saat anak berusia 2 tahun, tetapi mungkin
juga bermanifestasi lebih dini. Sesuai definisinya, ASD harus muncul pada masa
perkembangan dini, namun bisa saja tidak terlihat sampai pada saat anak lebih
dewasa (sebagai contoh, ketika kebutuhan hubungan sosial melebihi kapasitas
anak).6 Pada kondisi tertentu dengan gejala ASD ringan mungkin baru tampak
oleh guru atau orang tua pada saat berusia 4-6 tahun. Sementara ICD 10
berpedoman di mana gejala harus muncul sebelum usia 3 tahun.7
II.3 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pada ASD berbeda di setiap kasusnya, oleh karena itulah
digunakan istilah spektrum; di mana pada autisme sendiri menunjukkan adanya
cakupan gejala yang luas dari paling ringan hingga sangat berat: dari anak-anak
usia sekitar 1 tahun dengan keterlambatan perkembangan pada aspek personal
sosial ke anak-anak yang sudah mengalami perkembangan tetapi tidak mengalami
kemajuan, hingga anak-anak yang mungkin sudah mencapai tahap perkembangan
tertentu namun mengalami kemunduran. Sekitar dua dari tiga anak-anak dengan
6
ASD menunjukkan rendahnya kemampuan berkomunikasi pada dua tahun
pertama kehidupan. Sekitar satu dari empat anak dengan autis sudah mencapai
satu tahapan tertentu dari aspek perkembangan bahasa dan personal sosial namun
mengalami kemunduran pada usia 15-24 bulan. Kemunduran dapat bertahap atau
mendadak. Penurunan kemampuan merupakan gambaran penting dari ASD;
apabila penurunan kemampuan ini berkaitan dengan kelahiran adik atau pindah ke
lingkungan yang baru, diagnosis ASD sebaiknya ditunda.2 Gambaran klinis yang
sangat beragam ini juga dipengaruhi oleh: situasi keluarga, tahapan perkembangan
anak, kepribadian penderita serta berat ringannya gejala.10
Gangguan komunikasi dan interaksi sosial
Anak-anak dengan ASD tidak memiliki kemampuan untuk menyadari
keberadaan orang lain, tidak mampu ikut merasakan penderitaan yang dialami
orang lain, tidak memberi respons ketika diajak bermain bersama, tidak ada
keinginan untuk berbagi atau bermain bersama; semuanya ini mengakibatkan anak
tidak memiliki teman dan terisolasi secara sosial. Mereka juga tidak mampu
menangkap komunikasi non verbal yang ditunjukkan oleh orang tua, sehingga
sering kali orang tua berkata anak menolak untuk dibelai, kontak mata yang
sangat minimal, tidak ingin digendong, dipeluk bahkan tidak suka bila disentuh
dan tidak menangis bila ditinggal pergi oleh ibu atau orang terdekatnya.
Perilaku yang terbatas dan aktivitas yang repetitif
Perilaku dan ketertarikan yang terbatas serta aktivitas yang repetitif
ditambah dengan respon berlebihan atau sebaliknya terhadap input sensorik
merupakan gejala utama yang juga didapati dari ASD. Perilaku stereotipik -
perilaku motorik yang berulang-ulang seperti menepuk-nepuk tangan, memutar-
mutar jari, berjalan jinjit serta mempermainkan segala jenis mainan dengan cara
yang sama tanpa mempedulikan bagaimana seharusnya mainan tersebut
digunakan. Juga didapati adanya echolalia. Perilaku stereotipik ini kadang
mengarah kepada diri sendiri, karena itu perlu pengawasan karena dapat berisiko
menyakiti diri sendiri. Pada anak ASD dengan gangguan kognitif, seringkali
7
mereka membentur-benturkan kepala, menampar wajah, menggigit atau mencubit
diri sendiri. Pencetus perilaku ini dapat akibat rasa takut, rasa gembira yang
berlebihan tetapi lebih sering tidak menentu.
Dalam kehidupan sehari-hari tampak adanya rutinitas yang sangat kaku,
hal ini dapat diamati di mana mereka mungkin hanya mau makan-makanan
tertentu saja dengan cara tertentu atau pergi ke satu tujuan melalui rute yang selalu
sama.
Anak-anak ASD mengalami gangguan pengolahan sensorik, sebanyak 42-
99% memiliki respon yang berlebihan, kurang atau tidak semestinya terhadap
stimulus luar. Karena itulah anak dengan ASD menolak makanan dengan rasa
atau tekstur tertentu, terganggu dengan jenis bahan pakaian tertentu, tidak suka
dipegang dengan lembut namun menyukai dipijat, memberi respon yang tidak
semestinya terhadap nyeri, sangat terganggu dengan suara tertentu tetapi pada saat
yang sama dapat tidak terganggu sama sekali bila ada suara yang lebih dekat dan
lebih jelas mengganggu.
Intelektual
Kemampuan intelektual anak dengan ASD sangat beragam. Kemampuan
verbal lebih lemah dibanding kemampuan non verbalnya. Kemampuan sehari-hari
yang memerlukan hafalan, mekanis, visuospasial serta proses persepsi biasanya
lebih baik dibandingkan dengan proses menata konsep, pemberian alasan,
interpretasi, menggabungkan informasi serta berpikir abstrak.
Gangguan bicara dan bahasa
Gangguan bicara dan berbahasa pada anak ASD sangat beragam. Kurang
dari setengah dari jumlah penderita gagal menggunakan bicara sebagai modal
komunikasi utama mereka. Kemampuan berbahasa mungkin muncul namun tidak
digunakan untuk komunikasi, mereka mengimitasi pembicaraan orang atau
mengulang kata-kata tetapi tanpa maksud menyampaikan ide atau sesuatu yang
bermakna. Pada kasus tertentu mungkin saja berupa bicara dengan nada datar,
tanpa tekanan dan intonasi. Pada kasus yang sangat ringan mungkin mereka masih
mampu berkomunikasi dan memiliki pemahaman normal dalam aspek fonologi,
8
tata letak bahasa serta makna bahasa, namun mereka tidak mampu memahami
perspektif lawan bicara, maksud terselubung. Mereka juga tidak mampu
memahami humor serta teguran atau perkataan kasar – sarkasme.
Gambar 2. Gejala autisme
Defisit motorik
Anak dengan ASD mungkin memberikan gambaran defisit motorik seperti
gangguan jalan, berjalan jinjit atau tanda motorik abnormal lainnya seperti
hipotonia.
Makrosefal
Sekitar satu dari empat anak dengan ASD memiliki lingkar kepala lebih
dari persentil 97. Pada anak-anak dengan ASD terdapat pertumbuhan lingkar
kepala yang sangat cepat hingga 70% di tahun pertama kehidupan, walau tidak
semua anak-anak ini tidak menjadi makrosefal. Peningkatan pertumbuhan lingkar
kepala ini mungkin terkait dengan abnormalitas perkembangan otak terkait
dengan ASD. Bagaimanapun, makrosefal tidak diperlukan dalam mendiagnosis
ASD.
9
Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua pada setiap anak
penyandang autisme. Pada penyandang autisme yang berat mungkin hampir
semua gejala di atas ada, tapi pada yang ringan hanya terdapat sebagian saja dari
gejala di atas.3
II.4 DIAGNOSIS
Diagnosis ASD ditegakkan secara klinis berdasar anamnesis, pemeriksaan
fisik serta pengamatan perilaku anak. ASD harus dicurigai bila anak memiliki
masalah interaksi sosial, komunikasi serta adanya perilaku-ketertarikan dan
aktivitas yang terbatas serta repetitif. Penggunaan tools juga sebaiknya digunakan
dalam mendiagnosis ASD. Walau belum ada kesepakatan internasional tools
mana yang digunakan, American Academy of Child and Adolescent Psychiatry,
American Academy of Neurology, dan American Academy of Pediatrics
menganjurkan penggunaan tools sebagai berikut :
Berdasarkan laporan orang tua: Autism Behavior Checklist (ABC), Gilliam
Autism Rating Scale edisi 2 (GARS-2), dan Autism Diagnostic Interview-
Revised (ADI-R).
Berdasarkan pengamatan klinisi: Childhood Autism Rating Scale (CARS) dan
Autism Diagnostic Observation Schedule-Generic (ADOS-2).11
Berdasarkan DSM-5, diagnosis ASD harus memenuhi kriteria berikut:6
Gangguan komunikasi dan interaksi sosial yang menetap dan terjadi di banyak
tempat-keadaan; ditunjukkan dengan adanya gangguan pada :
- Resiprokal sosial emosi - mengulang-ulang pembicaraan, tidak mampu
berbagi kesukaan serta emosi.
- Perilaku komunikasi non verbal - kontak mata yang sangat jarang,
ketidakmampuan memahami bahasa tubuh orang lain.
- Menjaga relasi - sulit punya teman, beradaptasi dengan lingkungan sekitar,
tidak memiliki ketertarikan dengan teman sebaya-kelompok.
Perilaku, ketertarikan serta aktivitas yang terbatas dan berulang; ditunjukkan
dengan adanya gangguan pada (minimal dua):
- Gerakan stereotipik dan berulang-ulang (menggunakan objek atau bicara)
10
- Pola perilaku ritualistik, rutinitas yang kaku tanpa mempedulikan keadaan.
- Ketertarikan yang sangat terbatas pada objek tertentu
- Respon yang berlebihan atau justru kurang terhadap input sensorik (respon
yang tidak semestinya terhadap bunyi tertentu, tidak menyukai perbedaan
suhu udara, menyentuh atau menghidu objek secara berlebihan)
Gejala-gejala ini harus mengganggu fungsi sosial (atau akademik)
Gejala-gejala ini harus ada pada periode awal perkembangan. Walau mungkin
baru muncul setelah kebutuhan sosial melebihi kapasitas yang dimiliki.
Gejala-gejala ini tidak dapat sesuai dengan gangguan intelektual atau global
developmental delay
Derajat keparahan
DSM-5 merekomendasikan agar klinisi menjabarkan tingkat keparahan ASD yang
dipisah berdasarkan masing-masing aspek:6
Interaksi dan komunikasi sosial
Level 1 (“membutuhkan bantuan”) – Gangguan sudah terlihat dan
membutuhkan bantuan, kesulitan untuk memulai interaksi sosial,
ketidakmampuan memberikan respons sosial, ketertarikan untuk interaksi
sosial sangat minimal, percakapan yang berulang ulang, ketidakmampuan
mencari teman.
Level 2 (“membutuhkan bantuan mendasar”) – Gangguan yang sangat jelas
pada komunikasi, terlihat adanya ganguan walaupun dibantu, respons abnormal
terhadap interaksi sosial, kesulitan untuk membuka percakapan.
Level 3 (“sangat membutuhkan bantuan mendasar”) – Gangguan fungsi yang
berat di mana hanya terdapat sedikit inisiatif untuk berinteraksi secara sosial,
respons yang sangat minimal saat orang lain mencoba membuka percakapan
dengan penderita.
Perilaku terbatas/repetitif
Level 1 (“membutuhkan bantuan”) – Perilaku menghambat fungsi, kesulitan
merubah aktivitas, kemandirian terbatas.
11
Level 2 (“membutuhkan bantuan mendasar”) – Perilaku menghambat fungsi di
berbagai tempat, kesulitan untuk merubah fokus
Level 3 (“sangat membutuhkan bantuan mendasar”) – Perilaku menghambat
fungsi di seluruh aspek kehidupan, sangat sulit beradaptasi dengan perubahan.
Kesulitan merubah kegiatan dan fokus.
II.5 DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding dari autisme diantaranya adalah2 :
Global developmental delay
Gangguan intelektual (retardasi mental)
Gangguan perkembangan bahasa – speech delayed
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH)
Sindrom Asperger
Sindrom Rett
Sindroma disintegratif pada anak
Gangguan perkembangan bahasa (disfasia)
Dalam praktek sehari-hari, ASD sering kali memiliki gejala yang
tumpang tindih dengan GPPH dan communication disorder - speech delayed.
Pada penderita speech delayed sendiri harus dipastikan ada tidaknya gangguan
pendengaran, retardasi mental atau kurang stimulasi. Persamaan ASD dengan
GPPH adalah adanya gangguan konsentrasi, tak mampu menunggu giliran,
meminta sesuatu dengan cara non verbal, kurang peduli dengan lingkungan dan
bila marah sulit ditenangkan.10
Perbedaan antara ASD, GPPH dan speech delayed:10
ASD GPPHSpeech
Delayed
12
Stimulasi Maju lambat dan
sulit
Maju bertahap Maju bertahap
Objek bermain Ingin terus sama Berganti terus Berganti bila
sudah bosan
Bila diarahkan Sangat sulit Sulit Mudah
Reaksi Sering aneh Kadang aneh Wajar
Emosi – marah Sangat sulit
diredakan
Sulit diredakan Mudah
diredakan
Sosialisasi Tidak mau Ingin tetapi ditolak
teman
Tidak
Gangguan
perilaku
Sering
menyimpang
Kadang-kadang Tidak ada
Persepsi
sensorik
Menolak dibelai Kadang mau dibelai Senang
dibelai
Pengobatan Antipsikotik Psikostimulansia Tanpa obat
Sindroma Rett merupakan penyakit otak progresif, tetapi khusus mengenai
anak perempuan. Perkembangan anak sampai umur 5 bulan normal, namun
setelah itu mengalami kemunduran. Lingkar kepalanya sejak umur 5 bulan juga
mengalami penurunan dalam kecepatan pertumbuhannya. Umumnya kemunduran
sangat parah meliputi perkembangan bahasa, interaksi sosial, maupun motoriknya.
Sedangkan sindroma Asperger mempunyai ciri-ciri autisme, namun umumnya
intelegensinya baik dan kemampuan bahasanya juga hanya terganggu dengan
derajat ringan. Oleh karenanya sindroma Asperger sering disebut High
Functioning Autism.
Sindroma disintegratif pada anak adalah gangguan yang ditandai dengan
kemunduran dari perkembangan normal yang telah dicapai setelah umur 2 tahun,
paling sering terjadi pada umur sekitar 3-4 tahun. Anak mengalami kemunduran
dalam beberapa minggu atau bulan, dalam bahasa, keterampilan motorik,
13
kemampuan adaptif atau sosial, termasuk kontrol kandung kemih dan buang air
besar sampai pada taraf austitik. Anak laki-laki lebih sering terkena dibanding
perempuan.
Gangguan perkembangan bahasa (disfasia) terjadi karena gangguan
perkembangan otak hemisfer kiri, yang tidak berfungsi sebagai pusat berbahasa.
Ada beberapa sub-tipe gangguan ini yang mirip dengan autisme, khususnya
ditinjau dari perkembangan bahasa wicaranya, yaitu tipe disfasia tidak dijumpai
perilaku repetitif atau obsesif.
Retardasi mental seringkali sulit dibedakan dengan autisme pada praktek
sehari-hari sebab autisme juga sering disertai dengan retardasi mental. Pada
retardasi mental, tiga ciri pokok autisme tidak dijumpai.
II.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
ASD dapat merupakan gejala penyerta dalam penyakit lainnya walau
dalam jumlah sangat kecil. Penyakit tersebut antara lain: tuberosklerosis, sindrom
fragile X, sindrom Angelman. Walau frekuensi penyakit ini sangat sedikit,
penyingkiran penyakit serta mencari etiologi ASD akan sangat melegakan orang
tua serta berperan dalam konseling dalam perencanaan memiliki anak selanjutnya.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain, uji metabolik, pencitraan
neurologis (MRI) serta electroencephalography (EEG). Dalam 25% kasus didapati
adanya hiperserotoninemia. Pada pemeriksaan EEG didapati adanya abnormalitas
difus bilateral hinggal 50% pada penderita ASD.3 Pemeriksaan penunjang ini tidak
selalu harus dilakukan dan harus disesuaikan dengan anamnesis serta pemeriksaan
fisik.11
II.7 PENATALAKSANAAN
14
Tujuan utama tatalaksana ASD adalah memaksimalkan fungsi supaya anak
dapat semandiri mungkin, serta meningkatkan kualitas hidup anak. Tujuan
khususnya adalah sebagai berikut:
peningkatan fungsi sosial serta kemampuan bermain
meningkatkan kemampuan komunikasi (baik fungsional dan spontanitas)
meningkatkan kemampuan adaptasi
menurunkan perilaku negatif atau non fungsional
meningkatkan pencapaian akademis serta kemampuan kognitif anak
ASD tidak dapat disembuhkan dan merupakan kondisi kronis yang
membutuhkan penanganan yang menyeluruh. Tatalaksana harus disesuaikan
dengan usia serta kebutuhan mendasar anak. Diagnosis dan intervensi dini
memiliki potensi mempengaruhi keluaran, terutama pada aspek perilaku,
fungsional dan komunikasi. Terdapat banyak bukti yang mendukung di mana
ketika intervensi dini dilakukan akan mempengaruhi keluaran menjadi lebih baik.
Terdapat juga bukti yang mendukung di mana intervensi dini akan mengurangi
bahkan mencegah masalah perilaku. Tatalaksana ASD difokuskan pada intervensi
perilaku dan edukasi untuk mengatasi gejala utama dari ASD. Penggunaan obat-
obatan dapat dipakai untuk mengatasi atau mengontrol gejala tetapi tidak untuk
mengatasi gangguan utamanya.12
Terapi non farmakologis
Dari berbagai macam studi observasi serta kajian sistematik didapati
karakteristik terapi perilaku yang efektif, yaitu sebagai berikut:13
Rasio guru dengan murid yang tinggi (1:1 atau 1:2)
Program yang disesuaikan dengan masing-masing anak
Terapis berpengalaman dalam bekerja dengan anak autis
Minimal 25 jam per minggu dan melibatkan keluarga
Adanya evaluasi, transisi serta penyesuaian dan modifikasi program
Kurikulum yang terfokus pada peningkatan perhatian, imitasi, komunikasi,
bermain serta interaksi sosial
15
Dapat diprediksi serta terstruktur dan adanya analisis fungsional pola perilaku
Lingkungan belajar mengajar yang kondusif
Intervensi yang diberikan dapat menggunakan kurikulum berbasis ABA
(Applied Behavior Analysis), Structured Teaching (termasuk metode Treatment
and Education of Autistic and related Communication-handicapped Children
[TEACCH] model), dan atau model berbasis perkembangan seperti
Developmental Individual Difference [DIR atau Floortime]. Belum ada bukti
metode mana yang terbukti lebih baik antara satu dengan lainnya.14 Anak dengan
ASD mendapatkan keuntungan dari intervensi bahasa terutama bila diaplikasikan
dalam banyak keadaan serta dalam kegiatan sehari-hari. Terdapat banyak metode
seperti penggunaan intervensi bahasa tradisional, berbasis perilaku, menggunakan
alat bantu visual dan banyak metode lainnya. Belum ada penelitian yang dapat
menyimpulkan metode mana yang lebih baik.
Terapi perilaku
Metode terapi perilaku yang sering digunakan di Indonesia adalah metode
Lovaas, sesuai dengan nama penemunya. Intervensi perilaku ini disebut juga
Applied Behavioral Analysis (ABA). Prinsip terapi ABA adalah proses yang
disebut ”operant conditioning”, yaitu bahwa consequence memiliki pengaruh
yang kuat dan dapat diperkirakan terhadap perilaku. Suatu consequence yang
memperkuat perilaku disebut reinforcer (imbalan), misalnya makanan, sentuhan,
pelukan, pujian atau aktivitas yang disukai. bila anak mendapat imbalan setelah
berhasil berperilaku seperti yang diharapkan, maka ia akan cenderung mengulang
perilaku tersebut.
Secara sederhana proses pengajaran ABA adalah:
A-antecedent: hal yang mendahului perilaku (stimulus/ instruksi)
B-behavior: perilaku yang terjadi setelah antecedent diberikan (respon)
C-consequence: akibat yang diterima setelah perilaku terjadi (konsekuensi)
Terapis ABA harus memberi prompt (petunjuk/bantuan) bila perlu agar
anak dapat mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan belajar keterampilan
baru, kemudian secara bertahap mengurangi bantuan tersebut.
16
Teknik dasar ABA dilakukan dengan cara:
1. terapis memberikan instruksi pertama
2. bila anak berespon salah atau tidak berespon sama sekali, katakan ”tidak”
3. terapis memberikan instruksi kedua
4. anak tetap tidak berespon atau tetap salah, katakan kembali ”tidak”
5. berikan kembali instruksi ketiga, langsung bantu anak berperilaku yang
diharapkan dan segera diikuti dengan konsekuensi positif
Pengajaran aktivitas baru dimulai dengan sistem satu guru satu murid dan
satu ruangan, kemudian bertahap meningkat ke kelompok kecil hingga kelompok
besar. Kemudian anak dicoba dimasukkan dalam suatu kelas pada sekolah umum.
Di kelas anak semula didampingi terapis yang tugasnya antara lain menjembatani
instruksi dari guru kepada anak
Kepatuhan adalah terapi utama pada metode ABA, dan bila kepatuhan
sudah ada maka akan mudah memberikan pengarahan perilaku. Bila kepatuhan
telah terbina, program awal yang dijalankan adalah meniru gerakan motorik kasar,
bukan semata-mata agar anak dapat melakukan gerakan motorik yang dimaksud
(seperti tepuk tangan ke atas, dll), namun yang terpenting agar anak memahami
konsep tiru, yaitu anak harus melakukan hal serupa seperti yang dilakukan terapis
17
bila terapis menginstruksikan “tiru”. Anak juga dilatih mengidentifikasi atau
memegang bagian tubuh dan mengikuti perintah sederhana satu tahap. Program
ini ditujukan agar anak dapat mengikuti arahan lisan (auditorik).
Pada tahap berikutnya anak dilatih meniru gerakan motorik halus, gerakan
mulut yang ditujukan sebagai persiapan bicara yaitu dalam hal kekuatan,
ketepatan, kecepatan atau kelancaran. Kemudian terapis melatih untuk menirukan
suara sederhana seperti suara vokal a, i, u, e, o dan berikutnya suku kata, kata
dasar, dan akhiran dan kata-kata. Setelah anak bisa menirukan berbagai kata,
maka menggunakan kata-kata tersebut untuk melabel (menyebut nama-nama
benda atau objek). Selanjutnya anak mampu mengetahui dan menguasai secara
reseptif yaitu identifikasi bagian tubuh, benda, gambar, orang-orang terdekat
keluarga, warna, huruf, dan angka.
Berikutnya dilatih membuat kalimat sederhana seperti menjawab
pertanyaan sosial (contoh: siapa namamu, dst), menunjuk benda yang diinginkan
sambil melabel (menyebut nama) benda tersebut. Setelah itu anak dilatih
menggabung kata-kata untuk membentuk kalimat seperti “saya mau kue”.
Selain itu anak juga dilatih menggunakan konsep abstrak yaitu ya atau
tidak, kata depan, kata ganti, lawan kata dan sebelum atau sesudah. Jika mereka
telah menguasai konsep dasar tersebut di atas mereka diajarkan untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan dilibatkan pada percakapan sederhana. Hal yang juga
perlu diperhatikan adalah dilakukan generalisasi dalam hal subyek, obyek dan
tempat serta dipraktekkan pada kesempatan-kesempatan insidental atau secara
kebetulan. Dari hasil prosedur yang telah teruji, anak autis akan berkembang dari
tidak bicara hingga akhirnya menguasai banyak kemampuan bicara seperti anak-
anak usia pra sekolah lainnya.16
Terapi ABA dapat memberikan hasil yang sangat baik, namun
membutuhkan waktu dan komitmen. Secara umum direkomendasikan 25-40 jam
terapi per minggu oleh tenaga ahli. Orang tua juga harus mau ikut terlibat dalam
melatih anaknya di rumah. Masalah-masalah ini dapat menghambat keberhasilan
terapi ABA. 13
18
Peran orangtua
Intervensi dengan keterlibatan orang tua sangat membantu proses interaksi
anak dengan lingkungannya, meningkatkan perkembangan, kepuasan orang tua,
memotivasi dan sangat baik untuk kesehatan mental. Walau keluaran
maksimalnya belum diketahui, keterlibatan orang tua merupakan hal penting yang
sangat mendasar.14
Okupasi terapis
Okupasi terapis dapat membantu meningkatkan fungsi motorik halus serta
meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Terapi integrasi
sensorik yang juga dilakukan okupasi terapis, dapat diberikan untuk menenangkan
anak terhadap input sensorik tertentu atau sebaliknya meningkatkan respon
terhadap input sensorik tertentu. Terapi integrasi ini sangat baik bila digabungkan
dengan terapi perilaku serta edukasi yang sifatnya menyeluruh.14
Terapi farmakologis
Terapi perilaku harus dimaksimalkan terlebih dahulu sebelum penggunaan
obat-obatan, juga harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugian dari obat yang
akan digunakan. Pemantauan rutin juga harus dilakukan untuk memastikan efikasi
serta efek samping obat.
Bila anak dengan ASD disertai dengan gejala inatensi dan hiperaktivitas
obat yang disarankan adalah metilfenidat. Bila didapati adanya perilaku agresif
dan mencederai diri sendiri, obat yang disarankan adalah risperidone. Untuk
perilaku repetitif dan adanya gangguan kecemasan, obat yang disarankan adalah
fluoxetine atau SSRI (Selective serotonin re-uptake inhibitors) lainnya sebagai
lini pertama. Untuk gejala depresi disarankan penggunaan obat SSRI atau SNRI
(serotonin norepinephrine reuptake inhibitor) sebagai lini pertama. Penanganan
kejang pada anak ASD sama dengan penanganan kejang pada penderita non ASD.
Bila terdapat gangguan tidur (sulit tidur, restlessness, sering terbangun) dapat
dipertimbangkan penggunaan obat melatonin.15
II.8 PROGNOSIS
19
Autisme belum dapat disembuhkan hingga saat ini, namun masalah yang
dihadapi anak ASD dapat dikurangi dengan pendekatan terapi multidisipliner
yang komprehensif. Prognosis umumnya ditentukan berat ringannya gejala,
tingginya intelegensia, dan umur saat diagnosis. Bila gejala ringan, kecerdasan
cukup, dan/atau makin muda saat terdiagnosis, prognosis lebih baik.
Kemampuan intelektual dan komunikasi merupakan dua faktor yang
paling menentukan hasil akhir yang dicapai oleh anak autis setelah menjalani
program terapi. Kemajuan yang paling baik biasanya dicapai oleh anak yang tidak
disertai gangguan belajar. Sepuluh persen dari penyandang autisme mampu hidup
dengan baik pada masa dewasa, mereka memiliki pekerjaan, berkeluarga. Tetapi
60% penderita menunjukkan ketergantungan sepenuhnya pada keseluruhan aspek
kehidupan. Ketidakmampuan komunikasi yang terus berlanjut setelah melewati
usia 5 tahun dan IQ<60 menunjukkan prognosa yang kurang baik. Namun
penyandang autisme yang mampu berbicara sebelum usia 5 tahun dan memiliki
tingkat inteligensi rata rata memiliki kemungkinan meningkatkan kemampuan
penyesuaian dirinya.1
BAB III
PEMBENTUKAN BICARA DAN BAHASA
Bicara (speech) adalah produksi dan persepsi dari simbol oral.
Kemampuan bicara adalah sesuatu yang khas pada manusia, karena bicara
merupakan salah satu sistem komunikasi yang kompleks di mana seseorang
20
mengutarakan pendapat atau ide, perasaan hati, berdialog dan bersosialisasi. Agar
yang diucapkan dapat dimengerti orang lain, maka harus melalui bahasa
lingkungan budaya di mana kita tinggal, sehingga bicara dan bahasa merupakan
satu kesatuan.16
Fungsi berbahasa merupakan komponen paling penting dalam neurologi
fungsi luhur, karena ciri manusia adalah kemampuan untuk mencurahkan isi
pikiran dan perasaannya melalui fungsi bahasa dan berbicara. Pengertian bahasa
lebih luas, karena di samping berbicara (komunikasi verbal), yang terdiri dari
fonem (bunyi bahasa), morfem (kata-kata), sintaksis (tata bahasa) dan semantik
(isi bahasa), terdapat juga komunikasi non verbal seperti bahasa tulisan, bahasa
isyarat, pantomim dan musik. Bahasa terdiri dari bentuk, isi, dan penggunaan
bahasa.17
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak.
Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan
pada sistem lainnya, sebab melibatkan kemampuan kognitif, sensori motor,
psikologis, emosi, dan lingkungan di sekitar anak. Seorang anak tidak akan
mampu berbicara tanpa dukungan dari lingkungannya. Mereka harus mendengar
pembicaraan yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari maupun
pengetahuan tentang dunia. Mereka harus belajar mengekspresikan dirinya,
membagi pengalamannya dengan orang lain dan mengemukakan keinginannya.18
III.1 Anatomi fungsional
Hemisfer kiri merupakan pusat kemampuan berbahasa pada 94% orang
dewasa kanan dan lebih dari 75% pada orang dewasa kidal. Pengkhususan
hemisfer untuk fungsi bahasa sudah dimulai sejak di dalam kandungan, tetapi
berfungsi secara sempurna setelah beberapa tahun kemudian. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa anak dengan kerusakan otak unilateral sebelum
maupun sesudah lahir, diperkirakan fungsi berbahasa dapat diprogram oleh
hemisfer lainnya, walaupun kelainan yang khusus tersebut masih dapat
diketemukan dengan tes yang teliti. Plastisitas perkembangan otak seperti ini
menyebabkan perkembangan bahasa pada anak sukar ditentukan.19
21
Seperti pada orang dewasa terdapat 3 area utama pada hemisfer kiri anak
khusus untuk berbahasa yaitu di bagian anterior (area Broca dan korteks
motorik) dan di bagian posterior (area Wernicke).18,19 Maturasi maksimal sinaps
pada area Wernicke terjadi pada usia 8-24 bulan, sedangkan area Broca terjadi
pada usia 15-24 bulan. Mielinisasi maksimal area Wernicke pada area Broca
pada usia 4-6 tahun.
Penelitian terhadap 100 MRI anak berusia 0-39 bulan ditemukan 10%
mielinisasi substansia alba otak terjadi pada usia 6 bulan di daerah sensorimotor,
sedangkan daerah fungsi bicara pada usia 18 bulan. Hampir 90% mielinisasi
pada daerah sensorimotor ditemukan pada usia 8 bulan, sedangkan daerah fungsi
bicara setelah usia 35 bulan. Mielinisasi tercepat terjadi pada usia 18-24 bulan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa perkembangan bicara dapat ditunggu sampai
usia 18 bulan, stimulasi terutama pada usia 18-24 bulan. Kemungkinan
keberhasilan stimulasi diatas 25 bulan sangat kecil, oleh karena perkembangan
mielinisasi sudah sempurna.20
Proses berbicara dimulai saat mendengar pembicaraan, di mana getaran
udara yang ditimbulkan akan masuk melalui saluran telinga luar kemudian
menimbulkan getaran pada membran timpani. Kemudian rangsangan diteruskan
oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga
bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut koklea.
Saat gelombang suara mencapai koklea maka impuls ini diteruskan oleh saraf
VIII ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke bagian temporo parietal
(area Wernicke) dan dicocokkan dengan ingatan yang sudah disimpan
sebelumnya. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan oleh fasikulus
arkuata ke bagian anterior otak dimana jawaban motorik dikoordinasi dan
gerakan bicara dikontrol. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh vibrasi dari
pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paruparu, sedangkan bunyi
dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langitlangit). Jadi untuk proses
bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris di mana organ
pendengaran sangat penting. Apabila terjadi kelainan pada salah satu dari
jalannya impuls ini, maka akan terjadi kelainan bicara. Kerusakan pada bagian
22
posterior akan mengakibatkan kelainan bahasa reseptif, sedangkan kerusakan di
bagian anterior akan menyebabkan kelainan bahasa ekspresif.18,19
Gambar 3. Area bahasa di otak (proyeksi lateral sinistra)21
Periode kritis bagi perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa
adalah periode antara 9-24 bulan awal kehidupan. Pengamatan langsung terhadap
perilaku komunikasi selama pemeriksaan rutin dapat diambil dari laporan orang
tua. Anak yang sedang belajar berbicara, akan mengamati dengan seksama wajah
lawan bicaranya dan gerakan-gerakan yang dilakukannya sampai pada saat
dimana petunjuk visual menjadi tidak penting, yang menandakan peningkatan
dalam memahami sinyal lisan pendengaran.4
Dengan berkembangnya keterampilan ekspresif anak, kemampuan yang
meningkat dalam berbicara dan berbahasa menjadi lebih mudah diamati. Periode
2-4 tahun pertama menunjukkan peningkatan yang cepat dalam jumlah dan
kompleksitas perkembangan berbicara, kekayaan perbendaharaan kata dan kontrol
neuromotorik. Modulasi suara mungkin masih berlebihan, pengendalian intensitas
suara masih terbatas, demikian pula dengan pengendalian artikulasi dan ritme
berbicara. Selama periode inilah gangguan dalam kelancaran berbicara dapat lebih
kelihatan, seperti gagap atau cara bicara seperti bayi. Pengetahuan bahwa ketidak
lancaran adalah merupakan bagian dari perkembangan normal atas pengendalian
berbicara, akan meredakan kecemasan orang tua.
23
Keterampilan mengartikulasikan suara juga mengikuti pola tertentu. Yang
pertama muncul adalah suara yang paling "mudah dan paling gampang, yaitu
suara bibir (dinyatakan dalam huruf m, p, b, f, v, o). Berikutnya yang terdengar
adalah suara sederhana yang dihasilkan oleh lidah dan gusi (d, n, t). Ketika anak
mulai menguasai kontak lidah-palatum (g, k, ng), sering mereka bingung antara d
dan g serta t dan k terutama bila keduanya muncul dalam satu kata (misalnya dagu
diucapkan dadu atau gagu). Jenis duplikasi fonetik ini sering terjadi pada umur 2
tahun, dan dapat pada umur 3 tahun. Ketika anak belajar membuat pembedaan
suara, mereka juga belajar mengendalikan motorik untuk pola bicara yang lebih
kompleks dan dapat mengucapkan huruf f, v, s dan z. Karena suara-suara itu
mirip, anak umur 3 tahun dapat keliru menyebut f untuk s atau v untuk z.
Pengendalian dari berbagai bunyi ucapan biasanya dikuasai lebih dulu
pada awal kata-kata. Anak umur 2 tahun mungkin menghilangkan suara pada
akhir kata; anak umur 3 tahun dapat terpeleset pada bunyi di tengah kata, dan anak
umur 4-5 tahun dapat mengalami kesulitan dengan kata yang lebih kompleks.
Kesalahan artikulasi dapat terjadi sampai batas umur 7 tahun. Anak umur 4 tahun
adalah penerima bahasa ibu yang baik. Dapat saja terjadi kesalahan artikulasi,
tetapi ucapannya cukup dapat dimengerti dan telah menguasai dasar sintaks,
fonetik dan semantik.19
III.2 Tahapan perkembangan bicara dan bahasa
Perkembangan bicara yang dini berlangsung melalui beberapa tahapan: 22
1. Fase pra bicara ( 0 sampai 10 bulan )
Kemampuan reseptif ditandai dengan berkembangnya kemampuan mengenal
bunyi. Pada fase dini, anak telah bereaksi, kemudian menunjukkan orientasi
pada suara bel. Kemampuan ekspresif awalnya adalah suara guttural saat bayi
24
mengeluarkan suara tenggorok dan berbagai respon fisiologis seperti
menguap, batuk, menangis, gelegekan. Kemudian berkembang dalam bentuk
suara cooing, anak dapat mengeluarkan huruf hidup seperti "aaa-aaa". Umur
3 bulan ia dapat menunjukkan perhatian terhadap suara ibu. Umur 6 bulan
sudah mengeluarkan kombinasi huruf hidup dan mati misalnya "bababa,
dadada" hal ini disebut babbling.
2. Fase naming (10 sampai 18 bulan)
Pada fase ini bayi sudah mengerti bahwa benda atau manusia mempunyai
nama. Ia mulai mengucapka "mama" bila melihat ibunya. Kemampuan
resepif pada umur 1 tahun mungkin sudah mencapai 100 kata walaupun ia
baru mengucapkan 1-2 kata yang berarti. Ia dapat mengikuti perintah bila
orang menggunakan mimik. Umur 2 tahun anak sudah mengerti kata-kata
tanpa mimik. la mulai mengucapkan kalimat pendek dengan irama tertentu
(immature jargoning), kemudian kata-kata bertambah (mature jargoning).
Pada fase ini anak-anak sudah dapat mengucapkan 25 kata. Selama masa ini
menunjuk merupakan hal yang penting. Kemampuan reseptif menyebabkan ia
akan melihat ke arah benda yang ditunjuk. Menunjuk juga merupakan bagian
dari kemampuan ekspresif. Ia menunjuk kepada sesuatu yang menarik
minatnya, sambil berbicara "uh, uh, uh" untuk meminta orang dewasa
mengambil benda tersebut. Hal ini disebut sebagai protoimperative pointing.
Menunjuk juga merupakan bagian dari perkembangan personal-sosial. Dalam
hal ini ia menunjuk bukan untuk mendapatkan benda tersebut, tapi untuk
menyatakan bahwa ia mengerti adanya obyek yang menarik dan
mengharapkan agar mitranya juga merasa tertarik. Hal ini disebut sebagai
protodeclarative pointing.
3. Fase kombinasi huruf (18 sampai 24 bulan)
Ia mengatakan kata yang belum tentu sesuai dengan nama bendanya,
misalnya ia menunjuk kacamata ayahnya dan berkata "papa" bukan
"kacamata". Ia mengucapkan kombinasi kata-kata yang sering didengarnya,
misalnya "makasih". Kemudian muncul bicara telegrafis. Ia mengucapkan
kalimat pendek yang singkat misalnya "keluar" berarti "saya mau pergi keluar
25
rumah", pada saat ini 50% di antara kata-kata yang diucapkannya dapat
dimengerti oleh orang asing. Setelah umur 2 tahun, fungsi berbicara dan
berbahasa berkembang dengan cepat.
4. Fase diferensiasi (2½ - 5 tahun)
Pertambahan keterampilan berbicara pada anak terlihat sangat menonjol.
Anak mulai mengadakan diferensiasi dalam penggunaan kata-kata dan
kalimat. Telah menguasai tata bahasa orang dewasa, perbendaharaan kata
berkembang baik kuantitatif maupun kualitalif. Kata-kata yang telah dikenal
anak sebelumnya mulai lebih terdiferensiasi dalam pemakaiannya, terutama
terhadap kata benda dan kata kerja. Fungsi bahasa untuk komunikasi benar-
benar berfungsi.
5. Perkembangan bahasa sesudah usia 5 tahun
Anak sudah dapat membuat kalimat lengkap. Perkembangan kognitif
akan berkembang terus sampai usia 14 tahun, dan perubahan di bidang
kognitif ini akan tampak pada kemampuan anak di bidang linguistik.
Gangguan bicara dan bahasa terutama pada ASD dapat dideteksi sejak
dini. Di negara Jepang, deteksi dini dilakukan pada bayi usia 18 bulan. Bayi
dengan risiko tinggi bila didapati adanya ketidakpedulian dengan ibu dan orang
sekitar serta tak mau tatap mata.
Ciri-ciri anak dengan risiko tinggi:10
Bayi
1. Ekspresi emosi kurang
2. Tak peduli dan respons kurang terhadap perilaku ibu
3. Tak dapat ditenangkan dengan digendong atau bertemu ibu
4. Tak mampu mempertahankan kontak dengan sesuatu yang asing
5. Tidak tersenyum saat melihat ibu
6. Tak dapat bermain interaktif dengan ibu atau orang lain
Anak usia 2 tahun
1. Tidak bermain pura-pura
2. Tidak menunjuk atau menyebut objek
26
3. Tidak ada minat sosial
4. Tidak ada permainan sosial
5. Gangguan perhatian
Anak usia 3 tahun
1. Gangguan komunikasi baik verbal atau non verbal
2. Gangguan interaksi sosial
3. Gangguan perilaku
4. Gangguan perasaan dan emosi
5. Gangguan persepsi sensorik
BAB IV
TERAPI WICARA PADA AUTISME
Karakteristik gangguan bicara dan bahasa pada anak autis: 23
1. Fonologi:
Banyak anak autis tidak bicara atau “mute”, suara tidak keluar, anak lebih
bergumam atau hanya keluar beberapa bunyi.
27
2. Prosodi:
Anak autis tidak mempunyai variasi nada suara, sehingga nada bicaranya selalu
datar atau kadang-kadang bernada tinggi. Sukar mengatur volume suaranya,
tidak tahu kapan mesti merendahkan volume suara, misal saat membicarakan
hal-hal pribadi.
3. Sintaks:
Sering terjadi gangguan pembentukan kata dalam kalimat. Ekolalia terjadi
karena ada kesulitan dalam menemukan kata atau dapat juga karena anak tidak
mengerti kata atau kalimat.
4. Komprehensi:
Hampir selalu terganggu, sehingga sering ditemukan gangguan interpretasi
bahasa. Misalnya kaki gunung diartikan gunung berkaki. Satu kata yang
mempunyai banyak arti mungkin sulit untuk dimengerti oleh mereka.
5. Semantik:
Selalu terganggu pada anak autis. Kemampuan komunikasi fungsional sangat
terbatas. Isi pembicaraan selalu konkrit, tidak ada imajinasi, dan miskin ide
bicara. Sering menggunakan kata ganti orang yang terbalik, misalnya antara
saya dan kamu, menyebut diri sendiri sebagai “kamu”.
6. Pragmatik:
Selalu ditemukan hambatan dalam komunikasi sosialnya, misalnya:
- tidak dapat berbicara secara bergilir (turn taking)
- bicara banyak tanpa mengerti apa yang dibicarakan
- tidak ada kontak mata dengan lawan bicara
- tidak ada gerakan tubuh (gestures)
- terpaku pada pendapatnya sendiri, bicara selalu ritual dan tidak fleksibel
- sulit memulai pembicaraan
- terus mengulang pertanyaan biarpun telah mengetahui jawabannya atau
mempertahankan topik pembicaraan yang mereka sukai tanpa
mempedulikan lawan bicaranya
- sering bicara sendiri, mengulang potongan kata dari iklan televisi atau lagu
dan mengucapkannya di muka orang lain dalam suasana yang tidak sesuai
28
7. Komunikasi non verbal:
Mereka lebih banyak tidak menggunakan gerakan tubuh untuk
mengekspresikan perasaannya, misal menggelengkan kepala, melambaikan
tangan, dan sebagainya. Biasanya mereka tidak menunjuk atau memakai
gerakan tubuh untuk menyampaikan keinginannya, tetapi dengan memegang
tangan orang tuanya untuk dipakai mengambil barang yang dimaksud.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengajarkan bicara adalah:24
1. Faktor anatomi dan fisiologi
Pemeriksaan mekanisme mulut dan sekitarnya untuk mengetahui apakah ada
kelainan struktur atau fungsi organ bicara. Pada autisme, umumya secara
anatomis normal.
2. Faktor psikologis
Tidak ada kontak dengan orang atau benda
Tidak ada minat
Tidak ada / kurang inisiatif
Tidak tahu mengekpresikan keinginannya
Sangat emosional
Lingkungan rumah yang tidak menunjang perkembangan anak
3. Faktor neurologis
Ada lima saraf otak yang terlibat dalam innervasi musculator untuk bicara,
yaitu nn. V, VII, IX, X, XII
4. Faktor inteligensi
Faktor ini menentukan cepat lambatnya perkembangan bicara anak, anak yang
memiliki intelegensi normal akan cepat mengolah dan memahami tugas-tugas
yang diberikan, sebaliknya anak yang berada di bawah rata-rata proses
penerimaan berfikir dan pemahamannya akan memakan waktu yang cukup
lama
29
Program terapi wicara pada anak autis dibagi menjadi 4 tahap: 24
1. Tahap pertama:
Pada tahap ini, yang harus dilakukan adalah mencapai dahulu kepatuhan,
artinya mulai mampu merespons jika diberikan perintah/tugas. Biasanya
seorang anak autisme yang konsisten memakai metoda ABA (Applied
Behavior Analysis) dengan jumlah jam belajar minimal empat jam perhari akan
tercapai dalam 1-2 bulan.
2. Tahap kedua:
Memberikan modalitas bahasa, perlu diketahui kekurangan anak autisme dalam
bahasa adalah :
Konsep bahasa
Isi bahasa
Penggunaan bahasa
3. Tahap ketiga:
Penting mengajarkan komunikasi, karena mengajarkan bicara membutuhkan
waktu lama maka mengajarkan komunikasi diutamakan, dengan cara
mengajarkan anak berinisiatif, menyampaikan keinginannya, perasaan, dan
pikiran kepada orang lain.
4. Tahap keempat:
Mengajar bicara, terdapat dua aspek yang penting untuk bicara:
1. Aspek sensorik yang meliputi pendengaran, penglihatan dan rabaan (taktil).
Modalitas sensorik ini digunakan sebagai pintu utama untuk mengolah
stimulus dari lingkungan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan
dalam diri anak. Alat yang digunakan berupa benda kongkrit yang mana
dapat dilihat atau diraba – diproses - diamati dan dipahami. Kemudian
ditingkatkan pada tahap yang lebih abstrak yakni foto atau gambar sebagai
representasi dari obyek tadi.
2. Aspek motorik yang berhubungan dengan neurofisiologis atau saraf bicara
di otak untuk mengatur laring dan alat-alat artikulasi yang keduanya
bertanggung jawab mengeluarkan atau memproduksi suara.
30
Bicara dapat diajarkan setelah anak memiliki bahasa baik pasif atau
ekspresif, berarti setelah tiga sampai enam bulan terapi. Harus dibedakan
mengajar bicara pada anak autisme yang verbal atau lisan dengan yang non verbal
(tidak mampu berbicara lisan). Anak non verbal, jenis bantuan visualisasi yang
efisien adalah dengan PECS (picture exchange communication symbol) ataupun
COMPIC (computer pictograms for communication), yang baik untuk mengajar
bahasa atau komunikasi.
Pada anak yang mampu bicara lisan atau verbal penggunaan PECS/
COMPIC juga esensial, sebagai jembatan untuk anak belajar bahasa, komunikasi
dan bicara, tetapi jika ujaran spontanitasnya sudah tercapai baik dalam kata-
kalimat atau dalam komunikasinya sehari-hari, PECS/COMPIC dapat
ditinggalkan.
Tujuan terapi pada anak autisme adalah memfasilitasi pengembangan
komunikasi, interaksi sosial, dan mengatasi gangguan sensorimotor melalui
pelatihan yang terstruktur. Dalam latihan terstruktur, proses mengajarkan
komunikasi pada anak dengan autisme melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:24
1. Menyamakan (matching)
Dalam konsep ini anak diajarkan untuk memasangkan benda/gambar/simbol,
tujuannya adalah agar anak paham bahwa suatu benda/gambar/simbol yang
diberikan kepadanya mempunyai makna tertentu
2. Identifikasi
Pada tahap kedua ini, anak diajari agar tahu nama benda/gambar/simbol.
Anak berespon dengan memegang, mengambil, atau menunjuk
benda/gambar/simbol sesuai dengan nama yang disebutkan oleh terapis.
3. Ekspresi
Anak diminta menjawab pertanyaan tentang nama benda/gambar yang telah
dipahami tadi dengan cara menyebutkannya (melabel) atau menunjuk simbol
(bila anak belum bisa berkomunikasi verbal).
Dalam latihan bicara, kita tidak dapat mengharapkan anak mendapat
perkembangan yang optimum bila hanya mengandalkan latihan selama sesi terapi
31
oleh terapis wicara. Orang tua perlu diberi pengertian dan motivasi agar turut
berpartisipasi secara aktif dalam melatih anak di rumah.
Untuk orang tua, langkah yang perlu diperhatikan adalah:24
1. Tiru dan tambahkan
Anak meniru suara/gerakan ibu, dan ibu menambahkan kata/gerakan baru.
Misalnya ibu mengajarkan kata “baju” sambil memegang bajunya.
2. Interpretasikan
Ibu menginterpretasi apa yang diinginkan anak dengan menggunakan kata-
kata dan/atau tindakan. Contohnya anak menunjuk lubang di celananya
sambil mengeluarkan suara “oh, oh”, lalu ibu dengan tanggap mengatakan
“oh ada LUBANG...LUBANG yang besar di celana ya”. Dengan demikian
anak tahu bahwa kita memahaminya, dan ibu dapat memberikan informasi
yang dibutuhkan pada saat yang tepat.
3. Perluas
Sejalan dengan berkembangnya pemahaman anak, topik pembicaraan
diperluas untuk menambah wawasan dan kemampuannya.
KESIMPULAN
Autism Spectrum Disorder - ASD merupakan gangguan perkembangan
yang kompleks pada interaksi sosial, komunikasi verbal – non verbal, disertai
adanya tanda pola perilaku yang terbatas dan berulang. Diagnosis autisme
32
ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis DSM V. Penanganan anak autis
memerlukan intervensi multidisipliner baik dari bidang neurologi anak, pediatri
sosial, jiwa anak serta rehabilitasi medik.
Tatalaksana utama pada anak ASD adalah terapi non medikamentosa, bila
dalam pengamatan tidak didapati kemajuan dapat dipertimbangkan terapi
farmakologis sesuai gejala yang mengganggu. Tim rehabilitasi medik baik
fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara serta psikolog dapat berperan dalam
memfasilitasi pengembangan komunikasi, interaksi sosial, dan mengatasi
gangguan sensorimotor melalui pelatihan yang terstruktur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yusuf E. Autisme masa kanak. Medan: PS Psikologi FK USU; 2003.2. Augustine M. Terminology, epidemiology, and pathogenesis of autism
spectrum disorder. http://www.uptodate.com/contents/terminology -
33
epidemiology - and –pathogenesis – of – autism – spectrum - disorder. Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
3. Hartono B. Autism: Etiology and Pathology In: Pelatihan Rehabilitasi Medik pada Autisme. Semarang: Instalasi Rehabilitasi Medik - RSUP dr. Kariadi; 2002.
4. Soebadi R. Peranan rehabilitasi medik pada autisma. In: Tohamuslim A, Pandji T, Moeliono M, editors. Pertemuan Ilmiah Tahunan II 2003 4-6 September; Bandung PERDOSRI; 2003. p. 83-91.
5. Communication Problems in Children with Autism Spectrum Disorder. National Institute of Deafness and Other Communication Disorders. http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/Pages/Communication-Problems-in-Children-with-Autism-Spectrum-Disorder.aspx. Accessed 10 Oktober, 2013.
6. Association AP, Force APAD-T. Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-5. 5th ed. Washington, D.C.: American Psychiatric Association; 2013.
7. American Psychiatric Association., American Psychiatric Association. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical manual of mental disorders : DSM-IV-TR. 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 2000.
8. WHO. Chapter V: Mental and behavioral disorders. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 10th Revision (ICD-10).http://apps.who.int/classifications/icd10/browse/2010/en#/F84.0. Published 2010. Accessed 10 Oktober, 2013.
9. Augustine M. Clinical features of autism spectrum disorder. http://www.uptodate.com/contents/terminology-epidemiology-and-pathogenesis-of-autism-spectrum-disorder. Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
10. Yusuf I. Kriteria Diagnosis Autisme dan Problematikanya. In: Pelatihan Rehabilitasi Medik pada Autisme. Semarang: Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP dr. Kariadi; 2002.
11. Augustine M. Diagnosis of Autism Spectrum Disorders. http://www.uptodate.com/contents/diagnosis-of-autism-spectrum-disorder. Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
12. Weissman L, Bridgemohan C. Autism spectrum disorder in children and adolescents: Overview of management. http://www.uptodate.com/contents/autism-spectrum-disorder-in-children-and-adolescents-overview-of-management. Published 2013. Accessed Oktober 10, 2013.
13. Puspita D. Terapi applied behavior analysis yang menyenangkan bagi anak ASD. In: Konferensi Nasional Autisme I; 2003 2-4 Juli 2003; Jakarta: PPDSKJI, IDAI, PERDOSSI; 2003. p. 133-149.
14. Weissman L, Bridgemohan C. Autism spectrum disorder in children and adolescents: Behavioral and educational interventions. http://www.uptodate.com/contents/autism-spectrum-disorder-in-children-and-adolescents-behavioral-and-educational-interventions. Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
34
15. Weissman L, Bridgemohan C. Autism spectrum disorder in children and adolescents: Pharmacologic interventions. http://www.uptodate.com/contents/autism-spectrum-disorder-in-children-and-adolescents-pharmacologic-interventions. Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
16. Sidiarto L. Gangguan Berbahasa dan Bicara pada Disfasia. In: Hartono B, Rahmawati D, editors. Simposium Neuropediatri ”Child who does not speak” 2002; Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002. p. 7-13.
17. Kusumoputro. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992.
18. Soetjiningsih, Selina H. Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Bicara Pada Anak In: Simposium dan Pelatihan Deteksi Dini dan Intervensi Dini Penyimpangan Perkembangan; 2005 1-2 Oktober 2005 Surabaya; 2005.
19. Pusponegoro D, Handrastuti S, Kurniati N. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
20. Hardiono D. Gangguan Komunikasi. In: Achirul B, Aditiawati, editors. Kuliah Umum PIT IDAI I 2001; Palembang: Badan Penerbit IDAI; 2001. p. 67-82.
21. Batson DW, Avent J. Physical Medicine and Rehabilitation. In: Braddom R, editor. Physical Medicine and Rehabilitation. 4 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p. 53-64.
22. Heidi M. Evaluation and Management speech and language disorder in preschool children. Pediatrics in Review. 2005;26 (4): 131142.
23. Sipala Y. Mengajar wicara pada penyandang autisme. In: Konferensi nasional autisme I; 2003 2-4 Juli 2003; Jakarta: PPDSKJI, IDAI, PERDOSSI; 2003.
24. Sjah S, Fadhilah S. Membantu anak ASD berkomunikasi secara efektif. In: Konferensi Nasional Autisme I; 2003 2-4 Juli 2003; Jakarta: PPDSKJI, IDAI, PERDOSSI; 2003. p. 213-220.
35