rinitis atrofi

Upload: cupris23

Post on 09-Jul-2015

310 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

RINITIS ATROFIDEFINISIRinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronis yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa, tulang konka dan pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

EPIDEMILOGIRinitis atrofi lebih sering mengenai pada wanita, terutama pada usia pubertas. Di RS H Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk.

ETIOLOGIEtiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Banyak teori mengenai etiologi rhinitis atrofi yang dikemukakan. Diantaranya, yaitu: Rinitis atrofi diklasifikasikan menjadi 2 tipe: 1. Rinitis atrofi primer Penyebabnya belum diketahui secara pasti, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebab rhinitis atrofi: a. Faktor herediter penyakit ini diketahui berkaitan dengan hubungan keluarga yang berdekatan. b. Infeksi Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.

1

c. Defisiensi nutrisi Nutrisi yang buruk disebutkan sebagai faktor penting pada perkembangan rinitis atrofi. Beberapa penulis menyebutkan pemyakit ini berhubungan dengan defisiensi Fe. Defisiensi vitamin larut lemak (terutama vitamin A) juga dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penyebab. d. Teori developmental Pneumatisasi yang buruk dari sinus maksila, memegang peranan penting terjadinya rinitis atrofi. e. Defisiensi phospolifid analisis biokimia dari aspirasi hidung pada kasus rinitis atrofi ditemukan adanya penurunan phospolipid total yang signifikan dibandingkan pada hidung normal. f. Ketidakseimbangan hormonal Defisiensi oestrogen sebagai faktor penyebab rinitis atrofi. Insidensi penyakit ini pada perempuan pubertas, gejala yang memberat pada saat menstruasi dan kehamilan, dan berkurangnya gejala pada beberapa kasus setelah pemberian estrogen. g. Autoimun Beberapa faktor seperti infeksi virus, malnutrisi, penurunan daya tahan tubuh sebagai faktor pemicu destruksi proses autoimun dengan melepaskan antigen mukosa hidung ke sirkulasi. 2. Rinitis atrofi sekunder Pada keadaan ini umumnya rinitis atrofi disebabkan oleh infeksi hidung kronik seperti sinusitis kronis,tuberkulosis, sifilis, dan lepra. Penyebab lainnya yaitu kerusakan jaringan yang luas oleh karena operasi hidung dan trauma serta efek samping dari radiasi. Radiasi pada hidung umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan rinitis atrofi.

PATOLOGIPerubahan histologis rinitis atrofi pada stadium awal berupa proses peradangan kronis dan pada stadium lanjut berupa atrofi dan fibrosis mukosa hidung. Mula-mula

2

sel epitel toraks dan silianya akan hilang. Epitel dapat mengalami perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel gepeng berlapis. Pada stadium lanjut, sebagian besar epitel telah menjadi gepeng. Dibawah epitel, terdapat jaringan fibrosis yang padat. Akibat dari kehilangan epitel yang bersilia, menyebabkan penumpukan sekresi kental dari hidung dan menyebabkan infeksi sekunder dan pembentukan krusta. Bau dan kehilangan sensasi dari mukosa menarik lalat untuk bertelur dimana telur tersebut dapat menetas menjadi larva dan pupa yang disebut magot. Secara patologi rhinitis atrofi dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Rintis atrofi tipe I Merupakan tipe paling sering (50-80%) dari semua kasus. Dikarakteristikkan dengan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriol terminal akibat infeksi kronis dan membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. 2. Rinitis atrofi tipe II Tipe ini terdapat pada 20-50% kasus dimana terdapat vasodilatasi dari kapiler. Sel endotel dari kapiler yang berdilatasi mempunyai sitoplasma yang lebih dari normal dimana menunjukkan reaksi alkalin fosfatase yang positif pada proses resorbsi tulang. Pada tipe ini tidak dapat diterapi dengan estrogen.

DIAGNOSISAnamnesis Keluhan biasanya berupa napas berbau (fetor ex nasi), ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau atau kadang-kadang berwarna hitam, ada gangguan penghidu (hiposmia atau anosmia), sakit kepala atau nyeri pada wajah, dan hidung merasa tersumbat. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat terlihat rongga hidung sangat lapang, konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi, sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat telur/larva karena bau busuk yang timbul. Sutomo dan Samsudin membagi rhinitis atrofi ke dalam tiga tingkatan, yaitu:

3

a) b)

Tingkat I Tingkat II

Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. Atrofi mukosa hidung semakin jelas, mukosa makin kering, warna semakin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c) Tingkat III Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak sangat lapang, dapat ditemukan krusta di nasofaring, keluhan anosmia semakin jelas. Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan. Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.

Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. Pemriksaan darah tepi Pemeriksaan Fe serum Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan ini berasal dari biopsi konka media. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak

4

bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil. 4. 5. 6. Pemeriksaan mikrobiologi Uji resistensi kuman Foto rontgen sinus paranasal

Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan rongga hidung yang lapang. 7. CT scan sinus paranasal

Pada CT scan sinus paranasal terdapat gambaran penebalan dari mukosa sinus paranasal, hilangnya kompleks osteo meatal akibat destruksi bulla etmoid dan prosesus unsinatus, hipoplasia dari sinus maksilaris, pembesaran dari rongga hidung dengan destruksi dari dinding lateral hidung dan destruksi tulang konka inferior dan konka media.

Gambar CT Scan Hidung dan Sinus Paranasal Potongan Koronal pada penderita Rinitis Atrofi

DIAGNOSIS BANDING1. Rinitis Tuberculosis (TBC) Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama

5

mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pengobatan diberikan obat anti Tuberculosis dan obat cuci hidung. 2. Rinitis Sifilis Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rhinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapati sekret mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsy. Pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin. 3. Rinitis Lepra Penyebab rinitis lepra adalah Mikobakterium leprae. Lesi pada hidung sering terlihat pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat oleh karena pembentukan krusta serta adanya bercak darah. Mukosa hidung terlihat pucat. Apabila infeksi berlanjut dapat menyebabkan perforasi septum. 4. Rinitis Sika Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis. Penyakit ini biasa ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan yang berdebu, panas dan kering.

6

PENATALAKSANAANOleh karena etiologi dari rhinitis atrofi multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dan pembedahan. Konservatif 1. Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.1,2 Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. 2. Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Larutan yang dapat digunakan antara lain : a. Larutan garam hipertonik R/ NaCl Na2Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 cc

b. Larutan Betadin 1 sendok makan (15 cc) dalam 100 ml air hangat c. Larutan garam dapur R/ Na bikarbonat Na diborat NaCl Aqua ad 28,4g 28,4g 56,7g 280 ml (cc)

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. 3. Obat tetes hidung Glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa Oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml Kemisetin anti ozaena solution Streptomisin 1 g + NaCl 30 ml Pemberian dilakukan setelah krusta terangkat. Dapat diberikan antara lain:

7

4. 5.

Preparat Fe diberikan selama 2 minggu Vitamin A 3 x 50.000 unit selama 2 minggu

Pembedahan (operatif) Tujuan pembedahan pada rhinitis atrofi antara lain untuk: a. Menyempitkan rongga hidung yang lapang b. Mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta c. Mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama: 1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstranasal 2) Operasi, seperti penyempitan pada lobulus hidung atau fraktur tulang hidung kearah dalam Berapa Teknik operasi yang dilakukan: 1. Youngs operation Penutupan total salah satu rongga hidung dengan flap. Tujuan operasi ini adalah mencegah efek kekeringan, mengurangi krusta dan membuat mukosa dibawahnya tumbuh kembali. Tekanan negatif yang timbul pada lubang hidung yang tertutup menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekitarnya. Teknik originalnya dilakukan dengan menaikkan flap intranasal 1 cm dari cephalic ke lingkaran ala nasi. Flap ini akan menutup lubang hidung tepat ditengahnya. Kekurangan teknik ini adalah sulitnya membuat flap oleh karena flap mudah robek atau timbulnya parut yang dapat menyebabkan stenosis vestibulum. 2. Modified Youngs operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3. Launtenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4. Wittmack's operation Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila dengan tujuan untuk 8

membasahi rongga hidung. 5. Implantasi submukosa Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.

KOMPLIKASI1. Perforasi septum dan hidung pelana Pada kasus yang parah dan tidak diterapi, dapat menyebabkan komplikasi berupa destruksi dari tulang dan tulang rawan hidung yang mengakibatkan perforasi septum dan hidung pelana. 2. Faringitis atrofi Hal ini biasanya terjadi bersamaan dengan rinitis atrofi dimana terdapat mukosa faring yang kering. Krusta yang lepas dapat menyebabkan episoda batuk seperti tercekik. 3. Miasis nasi Merupakan komplikasi yang jarang ditemui, terutama pada pasien dengan sosio ekonomi yang rendah dimana bau busuk tersebut menarik lalat dari genus Chrysomia (C. Bezianna vilteneauve). Lalat ini meletakkan telurnya yang kemudian menetas menjadi magot. Puluhan sampai ratusan magot dapat memenuhi rongga hidung dimana mereka makan dari mukosa sampai tulang hidung. Mereka membuat terowongan di jaringan lunak hidung, sinus paranasal, nasofaring, dinding faring jaringan orbita, lakrimal, sampai dasar tengkorak yang dapat menyebabkan meningitis dan kematian.

PROGNOSISPenyakit ini dapat menetap bertahun-tahun dan ada kemungkinan untuk sembuh spontan pada usia pertengahan. Jika tidak terdapat perbaikan diharapkan dengan operasi terdapat perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.

9

DAFTAR PUSTAKAAdam, George. L, dkk. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal: 221-222. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004. Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 140-144.

10

Disusun oleh: INDRI HAPSARI Pembimbing: dr. HARI PURNAMA, Sp. THT

RUMAH SAKIT DAERAH KABUPATEN BEKASI Periode Agustus-September 2011

11