rinitis alergi dan sinusitis

47
BAB I STATUS PASIEN THT IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. N Pekerjaan : Pelajar Umur : 17 tahun Alamat : Jl. Kampung Sumur Jenis Kelamin : Laki-laki Tgl. Datang : 3 Februari 2014 Agama : Islam No. RM : xxxxx ANAMNESIS Autoanamnesis 1. Keluhan Utama Sering Pilek sejak umur 4 tahun 2. Keluhan Tambahan Batuk, demam, sakit kepala, bersin, hidung tersumbat dan gatal 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pilek dirasakan terus menerus sejak umur 4 tahun, disertai hidung tersumbat terutama bila menunduk. Sering bersin lebih dari 5x terutama dipagi hari. Hidung sering gatal. Demam, Batuk, Sakit kepala baru dirasakan 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi saat malam, sekarang sudah mendingan. Sakit kepala sampai membuat terbangun 3-4x saat tidur. Batuk disertai dahak berwarna kuning. nyeri tenggorokan (-), napas berbau (-), nyeri saat menelan (-), sakit gigi (-), gigi berlubang (-),

Upload: fathul-yasin

Post on 23-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Semoga bermanfaat

TRANSCRIPT

Page 1: Rinitis alergi dan sinusitis

BAB I

STATUS PASIEN THT

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N Pekerjaan : Pelajar

Umur : 17 tahun Alamat : Jl. Kampung Sumur

Jenis Kelamin : Laki-laki Tgl. Datang : 3 Februari 2014

Agama : Islam No. RM : xxxxx

ANAMNESIS

Autoanamnesis

1. Keluhan Utama

Sering Pilek sejak umur 4 tahun

2. Keluhan Tambahan

Batuk, demam, sakit kepala, bersin, hidung tersumbat dan gatal

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pilek dirasakan terus menerus sejak umur 4 tahun, disertai hidung tersumbat terutama

bila menunduk. Sering bersin lebih dari 5x terutama dipagi hari. Hidung sering gatal.

Demam, Batuk, Sakit kepala baru dirasakan 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Demam tinggi saat malam, sekarang sudah mendingan. Sakit kepala sampai membuat

terbangun 3-4x saat tidur. Batuk disertai dahak berwarna kuning. nyeri tenggorokan

(-), napas berbau (-), nyeri saat menelan (-), sakit gigi (-), gigi berlubang (-), tidur

mendengkur (-), keluar cairan dari telinga (-), gangguan pendengaran (-), telinga

berdenging (-), sesak napas (-).

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah sakit paru-paru saat berumur 3 tahun

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama seperti pasien.

6. Riwayat Pengobatan

Pasien sudah meminum obat panadol namun tidak sembuh.

7. Riwayat Alergi

Alergi terhadap bumbu masakan, cuaca dingin, debu. Alergi terhadap obat-obatan

disangkal

Page 2: Rinitis alergi dan sinusitis

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda Vital

Tekanan Darah : Tidak diperiksa

Nadi : 80 x/menit, kuat, reguler

Frekuensi Napas : 20 x/menit

Suhu : 37,5 C

A. Status Generalis

Kepala : Normochepal

Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)

Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-/-), massa (-/-), scar (-/-)

Abdomen : Supel, massa (-), scar (-)

Ekstremitas : Deformitas (-), edema (-)

Kulit : Scar (-)

B. Status Pemeriksaan Lokalis THT

Telinga

Bagian Kelainan Auris

Dextra Sinistra

Preaurikula Kelainan kongenitalRadangTumorTraumaNyeri tekan

-----

-----

Aurikula Kelainan kongenitalRadangTumorTraumaNyeri tarik

-----

-----

Page 3: Rinitis alergi dan sinusitis

Retroaurikula EdemaHiperemisNyeri tekanRadangTumorSikatriks

------

------

CanalisAcustikusExterna

Kelainan kongenitalKulitSekretSerumenEdemaJaringan granulasiMassaCholesteatoma

-Tenang------

-Tenang------

MembranaTimpani

IntakReflek cahayaPerforasiGambar

++-

++-

Tes PenalaInterpretasi pada AurisDextra Sinistra

Tes Rhinne Tidak dilakukan Tidak dilakukanTes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukanTes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Keadaan LuarWarna, bentuk dan ukuran

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Rhinoskopi anterior

MukosaSekretConcha inferiorSeptumPolip/tumorPasase udara

Livid+Eutrofi

Livid+Eutrofi

Hiperemis dan Septum Deviasi ke kiri

-+

-+

Page 4: Rinitis alergi dan sinusitis

Tenggorok

Bagian Kelainan Keterangan

Mulut

Mukosa mulutLidahPalatum molleGigi geligiUvula Halitosis

LembabBersihTenangCaries (-)Simetris-

Tonsil

MukosaBesarKriptaDetritus

Hiperemis (-)T1Tidak melebar-/-

Faring MukosaGranulaPost nasal drip

Hiperemis (-)--

Laring

EpiglotisGlotisAritenoidPita suara

Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto Rontgen Sinus 3 posisi

RESUME

Anamnesis:

Tn. N merasakan pilek terus menerus sejak umur 4 tahun, disertai hidung

tersumbat terutama bila menunduk. Sering bersin lebih dari 5x terutama dipagi hari.

Hidung sering gatal. Demam, Batuk, Sakit kepala baru dirasakan 1 hari sebelum masuk

rumah sakit. Demam tinggi saat malam, sekarang sudah mendingan. Sakit kepala sampai

membuat terbangun 3-4x saat tidur. Batuk disertai dahak berwarna kuning. Pasien sudah

meminum obat panadol namun tidak sembuh. Pasien alergi terhadap bumbu masakan,

cuaca dingin, debu.

Pemeriksaan fisik:

TTV dalam batas normal

Rinoskopi anterior : Mucosa : Livid. Septum Hiperemis dan deviasi kekiri

Page 5: Rinitis alergi dan sinusitis

DIAGNOSIS

Sinusitis e.c rinitis alergi

PENATALAKSANAAN

Non-medikamentosa

- Tirah baring

- Banyak minum air putih

- Makan-makanan bergizi

Medikamentosa

- Obat tetes hidung 1-2x pada masing-masing lubang hidung

- Ampisilin 500mg 3x1 selama 5 hari

Pembedahan

Pasien tidak responsif dengan terapi medikamentosa yang maksimal rujuk ke

dokter spesialis THT untuk dilakukan pembedahan

PROGNOSIS

• Quo ad vitam : ad bonam

• Quo ad fungsionam : ad bonam

• Quo ad sanactionam : ad bonam

Page 6: Rinitis alergi dan sinusitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung

perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar

atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta

fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu

diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

1) pangkal hidung (bridge)

2) dorsum nasi

3) puncak hidung

4) ala nasi

5) kolumela

6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

1) tulang hidung (os nasalis)

2) prosesus frontalis os maksila

3) prosesus nasalis os frontal

Nares anterior

Page 7: Rinitis alergi dan sinusitis

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan

yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :

1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago

alar mayor,

3) beberapa pasang kartilago alar minor dan

4) tepi anterior kartilago septum.

Page 8: Rinitis alergi dan sinusitis

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan

kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang

nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai

banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior

dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista

nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago

septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Page 9: Rinitis alergi dan sinusitis

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium

pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian

depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat

konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih

kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari

labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,

medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar

hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

(ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga

hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus

semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah

sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus

etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung dan

merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang

(kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian

posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Page 10: Rinitis alergi dan sinusitis

Kompleks Ostiomeatal (KOM)

KOM merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka

media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah

prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi,

dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi

dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid

anterior dan frontal.

Page 11: Rinitis alergi dan sinusitis

Infundibulum ethmoid

Perkembangan infundibulum mendahului sinus. Dibentuk oleh struktur yang

kompleks. Dinding anterior dibentuk oleh processus uncinatus, dinding medial dibentuk

oleh processus frontalis os maxila dan lamina papyracea. Infundibulum etmoid adalah

terowongan tiga dimensi yang menghubungkan ostium natural sinus maksilaris dengan

meatus medius melalui hiatus semilunaris.

Batas-batas infundibulum etmoid

Batas medial : prosesus unsinatus dan hiatus semilunaris

Batas lateral : lamina papirasea

Batas anterior : pertemuan antara prosesus unsinatus dengan lamina papiracea

Batas posterior: permukaan anterior bulla etmoid

Batas superior : bervariasi tergantung dari perlekatan prosesus unsinatus

Prosesus uncinatus

Merupakan sebuah lamina yang melengkung pada os etmoid, yang menjorok

kebawah dan kebelakang dan dibentuk oleh bagian kecil dari dinding medial sinus

maxilaris, dan dihubungkan dengan processus etmoid dari konka nasal inferior.

Resesus frontalis

Page 12: Rinitis alergi dan sinusitis

Merupakan ruang antara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang menuju ke

aliran sinus. Bagian anterior dibatasi oleh sel ager nasi, superior oleh sinus frontalis,

medial oleh konka medial dan bagian lateral oleh lamina papyracea.

Bula ethmoid

` Terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral/ inferiornya, dan tepi

superior procesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid

anterior terbesar. Arteri etmoid anterior menyilang terhadap atap sel ini. Bulla etmoid

merupakan salah satu sel etmoid anterior yang paling konstan dan paling besar. Di

superior, dinding anterior bulla etmoid dapat meluas sampai ke basis kranii dan

membentuk batas posterior dari resesus frontalis. Bila bulla etmoid tidak mencapai

basis kranii, maka akan terbentuk resesus suprabullar antara basis kranii dengan

permukaan superior dari bulla. Di posterior, bulla bertautan langsung dengan lamina

basalis atau terdapat ruang antara bulla dan lamina basalis yang disebut resesus

retrobullar.

Sel-sel ethmoid anterior

Sel dibagian anterior menuju lamella basal. Pengalirannya ke meatus medial

melalui infundibulum etmoid. Termasuk sel ager nasi, bulla etmoid dan sel-sel

anterior lainnya.

Hiatus semilunaris

Hiatus semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit terletak antara posterior

tepi bebas prosesus unsinatus dengan dinding anterior bulla etmoid.

Ostium sinus maksilaris

Ostium naturalis sinus maksilaris mengalirkan sekretnya ke dalam

infundibulum. Ostium ini terletak di dinding medial sinus maksilaris sedikit ditepi

bawah lantai orbita. Van Alyea melaporkan bahwa 10% ostium maksilaris berada di

1/3 superior, 25% berada di 1/3 tengah dan 65% berada di 1/3 bawah dari

infundibulum. Ostium aksesoris sinus maksilaris ditemukan pada 20% - 25% kasus.

Ostium naturalis sinus maksilaris berbentuk bulat sedangkan ostium aksesoris

biasanya berbentuk elips dan berada di posterior ostium naturalis.

Sel agger nasi

Page 13: Rinitis alergi dan sinusitis

Sel ager nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel etmoid

anterior. Terletak agak ke anterior dari perlekatan anterosuperior konka media dan

anterior dari resesus frontal. Sel ager nasi yang membesar dapat meluas ke sinus

frontal dan menyebabkan penyempitan resesus frontal.

Batas-batas sel agger nasi

Batas anterior : prosesus frontal os maksila

Batas superior : resesus frontalis

Batas anteroleteral : os nasalis

Batas inferomedial : prosesus uncinatus

Batas inferolateral : os lakrimalis

Kompleks ostiomeatal merupakan istilah yang digunakan oleh ahli bedah

kepala leher untuk menunjukkan daerah yang dibatasi oleh turbinate tengah pada

bagian medial, lamina papyracea pada bagian lateral, dan lamella basalis pada bagian

superior dan posterior. Batas inferior dan anterior dari kompleks osteomeatal ini

terbuka.

Isi dari ruang ini adalah sel agger nasi, resesus nasofrontal (reses frontal),

infundibulum, bula ethmoidalis dan kelompok anterior sel udara ethmoidal.

Kompleks ini terdiri dari area anatomi yang sempit, yaitu:

1. Beberapa struktur tulang (turbinate tengah, prosessus uncinatus, bulla

ethmoidalis)

2. Ruang udara (resessus frontal, infundibulum ethmoidal, meatus media)

3. Ostium dari sinus ethmoidal, maksila dan frontal anterior.

Pada area ini, permukaan mukosanya sangat dekat, kadang-kadang bahkan dapat

terjadi kontak antar mukosa yang menyebabkan penumpukan sekresi. Silia dengan

gerakan menyapunya dapat mendorong sekret hidung. Jika mukosa yang melapisi

daerah ini menjadi meradang dan bengkak, pembersihan mukosiliar dapat terhambat,

yang akhirnya menghalangi sinus-sinus di kepala.

Beberapa penulis membagi kompleks osteomeatal menjadi bagian anterior dan

posterior. Kompleks osteomeatal klasik digambarkan sebagai kompleks osteomeatal

anterior, sedangkan ruang di belakang lamella basalis yang mengandung sel-sel

ethmoidal posterior disebut sebagai kompleks ethmoidal posterior, sehingga

mengakui pentingnya lamella basalis sebagai landasan anatomi pada sistem ethmoidal

posterior. Oleh karena itu kompleks osteomeatal anterior dan posterior memiliki

Page 14: Rinitis alergi dan sinusitis

sistem drainase yang terpisah. Jadi, ketika penyakit ini terbatas pada kompartemen

anterior dari kompleks osteomeatal, sel-sel ethmoid dapat dibuka dan jaringan yang

sakit dapat dibuang sejauh lamella basalis, meninggalkan lamella basalis tanpa

gangguan serta meminimalkan risiko selama operasi.

Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna

membersihkan KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran

drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus,

meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan

itu sering dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di

tenggorokan dikenal dengan nama post-nasal drip.

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara

saluran dari sinus maksilaris, sinus frontal, sinus sphenoid dan sinus etmoid. Daerah

ini rumit dan sempit, dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari

infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,

bula etmoid, sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris.

Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna

membersihkan KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran

drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus,

meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan

itu sering dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di

tenggorokan dikenal dengan nama post-nasal drip.

Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari

a.karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris

interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari

foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di

belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan

dari cabang-cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang

Page 15: Rinitis alergi dan sinusitis

disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah

cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke

v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak

memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran

infeksi sampai ke intrakranial.

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris

dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.

Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus

superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion

sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Page 16: Rinitis alergi dan sinusitis

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina

kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel

reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung

n.olfaktoirus.

• Hanya 5 % yang digunakan untuk menghidu

• Mebrana olfaktoria terletak pd celah sempit pada bagian superior rongga hidung

• Luas permukaan membran 10 cm² ~ panjang 170 cm²

• Celah olfaktorius perempuan > laki-laki, berhubungan dengan pigmentasi

• Membran olfaktoria terdiri dari 3 lapis : lapisan penunjang, lapisan sel-sel reseptor,

dan lapisan sel basal

Sinus Paranasal

• Sinus maksila kanan dan kiri

• Sinus frontal kanan dan kiri,

• Sinus ethmoid kanan dan kiri

• Sinus sfenoid kanan dan kiri

Frontal

sinussfenoi

d sinusEthmoid

sinusMaxil

a sinus

Frontal

sinus

sfenoid

sinus

Ethmoid

sinusMaxil

a sinus

Page 17: Rinitis alergi dan sinusitis

B. Fisiologi Hidung

1. Sebagai Jalan Nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi

konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran

udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui

koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan

tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang

membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara

yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim

panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,

sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui

hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai Penyaring Dan Pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan

dilakukan oleh :

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut

lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra Penghirup

Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius

pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau

bila menarik nafas dengan kuat.

Page 18: Rinitis alergi dan sinusitis

• Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi 250 ml/sec

• Inspirasi dalam molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius

sensasi bau tercium

• zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang

berada pada permukaan membrane.

5. Resonansi Suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung

akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara

sengau.

6. Proses Bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana

rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk

aliran udara.

7. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung

menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.

Fungsi Sinus Paranasal

Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur

kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati

Page 19: Rinitis alergi dan sinusitis

pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran

udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,

sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula

mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa

hidung.

Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita

dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi

kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ

yang dilindungi.

Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.

Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan

pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak

bermakna.

Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan

ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak

ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat

rendah.

Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

Membantu produksi mucus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan

partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus

medius, tempat yang paling strategis.

Page 20: Rinitis alergi dan sinusitis

C. Rhinitis Alergi

a. Definisi

Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut. Menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on

Asthma) 2001, merupakan kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE.

b. Etiologi

Faktor genetik dan herediter .

Tersering :

Alergen inhalan pada dewasa

Alergen ingestan pada anak-anak.

Alergen adalah antigen yang menginduksi dan bereaksi dgn antibodi IgE

• Inhalan : Masuk bersama udara pernapasan

• Ingestan : Masuk ke saluran cerna

• Injektan : Masuk melalui suntikan/tusukan

• Kontaktan : Masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa

c. Epidemiologi

Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan

berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir.

Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi

berkembang dengan usia 20 tahun. Biasanya rinitis alergi timbul pada usia

muda (remaja dan dewasa muda). Dalam suatu penelitian di Medan, dari 31

penderita rinitis alergi, ditemukan perempuan lebih banyak daripada laki-laki

dengan perbandingan 1.58 : 1 .

Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 12.946 orang pasien

berumur 5-62 tahun yang datang ke poliklinik sub bagian Alergi Imunologi

bagian THT FKUI/RSCM selama tahun 1992, ditemui penderita rinitis alergi

Page 21: Rinitis alergi dan sinusitis

sejumlah 147 orang, atau berkisar 1,14%. Gejala yang paling banyak adalah

bersin-bersin/gatal hidung (89,80%), rinore (87,07%) dan obstruksi hidung

(76,19%). Kelompok umur 1-10 tahun berjumlah paling sedikit (3,40%)

kemudian meningkat dengan bertambahnya umur, dan selanjutnya menurun

setelah berumur 40 tahun, dengan frekuensi terbanyak pada kelompok umur

21-30 tahun (37,41%) (Rusmono, 1993).

d. Patofisiologi

Reaksi alergi dibagi 2, yaitu rekasi alergi fase cepat dan reaksi alergi

fase lambat. Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya. Sedangkan rekasi alergi fase lambat berlangsung 2-4

jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai

24-48 jam. Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi,

makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan

menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II

yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji

akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai

sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13.

IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi immunoglobulin

E (Ig E). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh

reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit atau basofil sehingga ke dua sel ini

menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator

yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan

allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik

dan terjadi degranulasi dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia

yang sudah terbentuk terutama histamin. Selain histamine juga dikeluarkan

prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4, bradikinin, PAF, sitokin.

Inilah yang disebut rekasi alergi tipe cepat.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin

Page 22: Rinitis alergi dan sinusitis

juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rhinore.

Gejala lain hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

e. Gejala klinik

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin

berulang. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada

pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self

cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali

setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai

bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,

hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan

banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,

mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung

melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering

menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute),

pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung

bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk

edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata

(allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau

otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal

termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.

Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang

tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,

penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga

mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit

tidur.

Page 23: Rinitis alergi dan sinusitis

f. Diagnosis Rhinitis Alergi

- Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari

anamnesis saja.

- Pemeriksaan rhinoskopi anterior

Tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya

secret encer yang banyak

- Pemeriksaan naso endoskopi

- Pemeriksaan sitologi hidung

Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemugkinan alergi inhalan. Jika basofil mungkin disebbakan

alergi makanan sedangkkan jika ditemukannya sel PMN menunjukkan

adanya infeksi bakteri.

- Hitung eosinofil dalam darah tepi

Hasil yang didapat bisa normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila

tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit.

- Uji kulit allergen penyebab dapat dicari secara invivo

Ada beberapa cara yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal

atau berseri (SET), uji cukit dan uji gores. Kedalaman kulit yang dicapai pada

kedua uji kulit sama. Uji SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan

menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga dapat alergi

serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat

diandalkan.Diagnosa biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan

provokasi.Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5

hari. Karena itu dalam uji provokasi, makanan yang dicurigai diberikan pada

pasien setelah berpantang selama 5 hari selanjutnya diamati reaksinya.

Page 24: Rinitis alergi dan sinusitis

g. Penatalaksanaan

- Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan

allergen penyebabnya dan eliminasi.

- Simtomatis

1. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1 yang

bekerja pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama

pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat kombinasi dengan

dekongestan secara peroral atau tanpa kombinasi. Antihistamin dibagi

2 kelompok yaitu generasi ke-1 bersifat lipofilik yang menembus

sawar darah otak dan plasenta sehingga mempunyai efek kolinergik,

sedangkan generasi ke-2 bersifat lipofobik sehingga sulit menembus

sawar darah otak.

Preparat agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung

oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal.

Namun pemakaian topikal hanya untuk menghindari terjadinya rhinitis

medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama

sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi obat

lain.

Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal. Kortikosteroid

topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa

hidung, mencegah pengeluaran protein, sitotoksik dari eosinofil,

mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma.

2. Operatif

Tindakan konkotomi perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi

berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25%.

- Imunoterapi

Desensitisasi dan hiposensitisasi cara pengobatan ini dilakukan pada alergi

inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan

pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Page 25: Rinitis alergi dan sinusitis

h. Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ;

1. Polip Hidung

2. Otitis Media yang sering residif

3. Sinus paranasal

D. Sinusitis

a. Definisi

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter

sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan

di seluruh dunia.

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasl.

Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut

rinosinusitis. Penyebab utamanya adalah salesma (common cold) yang

merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.

Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila

mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering

terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang

dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.

Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat dengan akar

gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis

dentogen.

Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke

orbita dan intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang

sulit diobati.

Page 26: Rinitis alergi dan sinusitis

b. Etiologi dan Faktor Predisposis

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita

hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi

konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi,

kelainan imunologi, dyskinesia silia seperti pada sidroma Kartagener, dan di

luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab

adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan

adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan

rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher

posisi lateral.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara

dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama

menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

c. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam KOM. Mucus

juga mengandung substansi antimicrobial daan zat-zat yang berfungsi sebagai

mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernapasan.

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila

terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia

tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative

didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula

serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan

biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Page 27: Rinitis alergi dan sinusitis

Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus

merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Secret

menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan

memerlukan terapi antibiotic.

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),

inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia, dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa

makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar

sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid

atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan

tindakan operasi.

d. klasifikasi

Consensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut

dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Consensus

tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut

antara 4 minggu sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.

Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan

lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis

kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada

sinusitis akut adalah Streptococcus pneumonia (20-40%), Hemophylus

influenzae (20-40%), dan Moraaxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.

catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).

Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi

umumnya bakteri yang ada lebih condong kea rah bakteri gram negative dan

anaerob.

Sinusitis Dentogen

Merupakan, salah satu penyebab penting sinusitis kronik.

Page 28: Rinitis alergi dan sinusitis

Dasar sinus maksila prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas,

sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar

gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi apical akar gigi

atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus,

atau melalui pembuluh darah dan limfe.

Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik

yang mengenai satu sisi dengan ingus purulent dan napas berbau busuk. Untuk

mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan

pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu

dilakukan irigasi sinus maksila.

e. Gejala klinik

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai

nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke

tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan

lesu.

Keluhan nyeri atau rasa tekanan didaerah sinus yang terkena

merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa

ditempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri

diantara atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri

di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis

sfenoid, nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan daerah

mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan

telinga.

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal

drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-

kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini, yaitu sakit kepala kronik

post-nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat

sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis

Page 29: Rinitis alergi dan sinusitis

(sino-bronkitis), bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan asma yang

meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat

menyebabkan gastroenteritis.

f. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,

pemeriksaaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih

tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis

maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis

etmoid posterior dan sfenoid).

Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering

ada pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan.

Foto polos posisi Waters, PA, dan lateral, umumnya hanya mampu menilai

kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan

terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan

mukosa.

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena

mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan

sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya

dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik

dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan

operasi sinus.

Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram

atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas

kegunaannya.

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan

mengambil secret dari meatus superior/medius, untuk mendapat antibiotic

Page 30: Rinitis alergi dan sinusitis

yang tepat guna. Lebih baik lagi jika diambil secret yang keluar dari pungsi

sinus maksila.

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus

maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi

sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk

terapi.

g. Terapi

Tujuan terapi sinusitis adalaha 1) mempercepat penyembuhan; 2)

mencegah komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip

pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi

sinus-sinus pulih secara alami.

Antibiotic dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis

akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotic yang dipilih adalah golongan

penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau

memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan sefalosporin generasi ke-

2. Pada sinusitis, antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis

sudah hilang.

Pada sinusitis kronis diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman

gram negative dan anaerob.

Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika

diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topical, pencucian rongga

hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin

diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih

kental. Bila ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.

Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi

tambahan yang dapat bermanfaat.

Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan

alergi yang berat.

Page 31: Rinitis alergi dan sinusitis

Tindakan Operasi

Badan Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi

terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah

menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan

hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.

Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi

adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip

ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

h. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

antibiotic. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada

sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau

intracranial.

Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan

dengan mata. Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan

maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan

perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema subperiostal,

abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernous.

Kelainan intracranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau

subdural, abses otak, dan thrombosis sinus kavernous.

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:

Osteomyelitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat

sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis

sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.

Page 32: Rinitis alergi dan sinusitis

Kelainan paru. Seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya

kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut

sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial

yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta, 1997

Guyton, AC, Hall, JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan, ed. 9,

1997, Jakarta: EGC

Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta, 2004

Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates, Jakarta,

1994.

Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher edisi 7, FK UI, 2012.

Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga

Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000

Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media Aesculapius FK-UI

2000